Anda di halaman 1dari 32

RESPONSI

ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


PERDARAHAN PASCA SALIN

Pembimbing
dr. Ali Mahmud, Sp. OG (K)

Penyusun :
Ratna Sari Eka Putri 201704200326
Raynold Gilbert Soetanto 201704200328
Rizky Silvianingrum 201704200331

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
RUMAH SAKIT UMUM HAJI SURABAYA
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul “Perdarahan Pasca salin” telah diperiksa dan


disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan
studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian Obstetri dan Ginekologi Rumah
Sakit Umum Haji Surabaya.

Mengetahui,
Dosen Pembimbing

dr. Ali Mahmud, Sp. OG (K)

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB 1 LAPORAN KASUS ............................................................................ 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 8

2.1 Definisi dan Klasifikasi ............................................................................ 8

2.2 Etiologi ................................................................................................ 10

2.3 Gejala Klinis.......................................................................................... 12

2.4 Diagnosis .............................................................................................. 12

2.5 Faktor Risiko......................................................................................... 14

2.6 Penatalaksanaan Perdarahan Pasca salin ........................................... 15


2.6.1 Prinsip “HAEMOSTASIS” .......................................................... 15
2.6.2 Intervensi Medis Untuk Manajemen PPS .................................. 21
2.6.3 Intervensi Non-Medikamentosa Untuk Manajemen PPS .......... 22
2.6.4 Terapi PPS sekunder ................................................................ 26

2.7 Pencegahan ......................................................................................... 27

2.8 Komplikasi ............................................................................................ 27


DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 29

ii
BAB 1
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. E
Usia : 19 tahun
Alamat : Tenggumung Baru Mulya I/29
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMU
Agama : Islam
Suku : Jawa
MRS : 29 November 2019
Jam MRS : 04.13WIB

II. SUBYEKTIF
KU : Kenceng-kenceng
KT : Keluar Lendir Darah
RPS :
Pasien datang ke IGD RSU Haji dengan rujukandari Rumah
Sakit Muhammadiyah Surabaya dengan diagnosa GIP0000 uk 40/41
mgg dengan kala II + mata minus ka/ki + silinder pada tanggal 29
November 2019 pukul 04.13 siang dengan keluhan kenceng-kenceng
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Kenceng – kenceng
dirasakan semakin lama semakin kuat dan sering. Pasien
mengatakan juga adanya keluar lendir darah setelah timbulnya
kenceng kenceng yang dirasakan pasien. Pasien juga menyangkal
adanya Hipertensi saat ANC, pusing, sakit kepala, mual, nyeri ulu
hati, serta pandangan kabur.
RPD:
HT : (-)
DM : (-)
Asma : (-)
Alergi : (-)

1
RPK:
HT : (+) Ayah
DM : (-)
Asma : (-)
Alergi : (-)
PJK : (+) Ayah
R.Haid:
Menarche : 12 tahun
Siklus : 28 hari, teratur
Lama : 7 hari
Dismenore : (-)
HPHT : akhir Februari 2019 (pasien lupa)
TP : akhir November 2019
UK : 40/41
R.Perkawinan:
Menikah : 1x
Lama : 3 bulan
R.Persalinan :
Anak I / Hamil ini
R.ANC:
Trimester I : 1 x / bulan
Trimester II : 1 x / bulan / bidan
Trimester III : 2 x / minggu / bidan
R.KB : -
R.PO : Selama hamil pasien mendapatkan obat dari kontrol ANC
yaitu tablet Fe, Asam Folat, Kalk, B complex,.
R. Alergi :-

III. PEMERIKSAAN FISIK


Kesadaran : Compos mentis
GCS : 456
TB : 158 cm
BB : 64 kg, sebelum hamil : 50 kg
BMI : 25,7 kg/m²/20.08 kg/m²
2
Vital Signs :
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
RR : 18 x/menit
Suhu : 36,2°C (aksiler)
Kepala :
A/I/C/D : -/-/-/-
Edem Palp. : -/-
Konj.Anemis : -/-
Sclera Ikt. : -/-
Leher :
Pembesaran KGB : (-)
Pembesaran tiroid : (-)
Deviasi trakea : (-)
Thorax :
Bentuk : Normochest, gerak simetris
Pulmo : Ves/ves, Wh -/-, Rh -/-
Cor : S1 S2 tunggal, M(-), G(-)
Abdomen :
I : Membesar, linea nigra (+), striae gravidarum(+)
A : BU (+) sde
P : Soepel, nyeri tekan (-)
P : Redup
Ekstremitas :
AH : (+)
Edem : - -
- -

Status Obstetri :
Leopold 1 : 3 jari di bawah processus xyphoideus, teraba bagian
besar, bulat, lunak, tidak melenting, batas tidak tegas,
kesan bokong

3
Leopold 2 : Teraba bagian keras janin memanjang, batas tegas,
kesan punggung pada sisi kanan ibu. Teraba bagian
kecil janin, kesan ekstremitas pada sisi kiri ibu.
Leopold 3 : Teraba bagian besar, bulat, keras, melenting, batas
tegas, kesan kepala. Sudah masuk PAP.
Leopold 4 : Divergen 1/5
TFU : 29 cm
DJJ : 160 x/menit
His : 3 x 40’’ / 10 menit
Pemeriksaan Dalam :
VT Ф10cm/100%/Ketuban+/Kepala/UUK/HIII/UPD kesan luas

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


22-9-2019
HBsAg : Negatif
Anti-HIV : Non reaktif

V. RESUME
Pasien datang ke IGD RSU Haji dengan rujukandari Rumah
Sakit Muhammadiyah Surabaya dengan diagnosa GIP0000 uk 40/41
mgg dengan kala II + mata minus ka/ki + silinder pada tanggal 29
November 2019 pukul 04.13 siang dengan keluhan kenceng-kenceng
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Kenceng – kenceng
dirasakan semakin lama semakin kuat dan sering. Pasien
mengatakan juga adanya keluar lendir darah setelah timbulnya
kenceng kenceng yang dirasakan pasien.
Selama hamil pasien mendapatkan obat dari kontrol ANC yaitu
tablet Fe, asam Folat, kalk, B complex.

4
Pemeriksaan fisik:
BMI 25,7 kg/m² /20.08 kg/m² (normal); TD 120/100 mmHg; Nadi
84x/menit; RR 18x/menit; suhu 36,2°C (aksiler)

Pemeriksaan obstetri:
Leopold 1 : 3 jari di bawah processus xyphoideus, teraba bagian
besar, bulat, lunak, tidak melenting, batas tidak tegas,
kesan bokong
Leopold 2 : Teraba bagian keras janin memanjang, batas tegas,
kesan punggung pada sisi kanan ibu. Teraba bagian
kecil janin, kesan ekstremitas pada sisi kiri ibu.
Leopold 3 : Teraba bagian besar, bulat, keras, melenting, batas
tegas, kesan kepala. Sudah masuk PAP.
Leopold 4 : Divergen 1/5
TFU : 29 cm
DJJ : 160 x/menit
His : 3 x 40’’ / 10 menit
Pemeriksaan Dalam :
VT Ф10cm/100%/Ketuban+/Kepala/UUK/HIII/UPD kesan luas

VI. DIAGNOSIS
GIP0000 38/39 minggu THIU + letkep + High Myopia + Inpartu Kala
II+ TBJ 2.480 gram

VII. PLANNING
Diagnosa : -
Terapi :
- Asuhan Peralinan Normal
Monitoring: Janin : DJJ, gerak janin
Ibu : Keluhan, TTV.

5
VIII. LAPORAN PERSALINAN DAN FOLLOW-UP
29 November 2019
Pk 04.30 - Pasien merasa keluar air + Kenceng kenceng semakin
sering
- Hasil pemeriksaan dalam VT Ф10cm/100%/Ketuban-/
Kepala/ UUK/ HIII/ UPD kesan luas
Pk 04.40 - Partus Sptb Perempuan B/p 3300/50 A-S 8/9 Ketuban
Jernih Injeksi Sinto 1 amp
Pk 04.45 - Placenta lahir Spontan Lengkap. Kontraksi uterus
Lembek. Infus RL 500cc + Sinto 2 amp 20 tpm . TFU 1
jari dibawah umbilikus. Perdarahan +- 200 cc. Ruptur
Perineum grade 2 . Pro checting Otimu R 2.0
Pk 05.00 - Evaluasi Kontraksi Uterus keras TFU 1 jari dibawah
umbulikus
- TD 110/70, Nadi 78x/menit, T 36, RR 20x/menit
Pk 06.40 - TD 100/70, Nadi 87x/menit, T 36,5, RR 20x/menit
- Kontraksi uterus lembek, perdarahan merembes
±75cc, stosil ±100cc
Pk 08.30 - TD 120/80, Nadi 76x/menit, T 36,5, RR 20x/menit
-TFU 1 jari dibawah pusar, fluxus +
-asmef 3x1, hemafort 2x1
Pk 09.00 - Kontraksi uterus lembek, TFU 3 jari dibawah pusar,
fluxus +, stolsel ±100cc\
- Misoprostol 2 tab per rectal
- Oxytocin drip 2 amp 20 tpm
- TD 120/80, Nadi 76x/menit, T 36,5, RR 20x/menit
Pk 13.00 - Kontraksi uterus keras, TFU 2 jari dibawah pusar,
perdarahan ±50cc
Pk 15.00 - TD 120/90, Nadi 82x/menit, T 37,7, RR 22x/menit
- Kontraksi uterus keras, TFU 2 jari dibawah pusar,
perdarahan ±20cc, mobilisasi +, terpasang infus RL drip
oksitosin 2 ampul 2amp, Hb 9,7, leukosit 21.870

6
Pk 16.00 - TD 120/90, Nadi 82x/menit, RR 22x/menit, Hb 9,7,
leukosit 21. 870, injeksi ceftriaxon 2x1 gr
Pk 17.00 - Perdarahan sedikit, kontraksi uterus keras, TFU 1 jari
dibawah pusar, tidak tampak anemis, Hb 9,7, P1001
spontan + HPP 525 cc, leukositosis 21.870, injeksi
ceftriaxon 2x1 gr (2 hari)
Pk 21.30 - Tidak anemis, produksi asi -/-, kontraksi uterus keras,
TFU 2 jari dibawah pusar, lochea rubra HPP 525 cc

30 November 2019
Pk 08.00 - Produksi asi cukup, TFU 2 jari dibawah pusar, Fluxus
sedikit, mobilisasi bagus. P1001 spontan + HPP 525 cc
Pk 15.00 - Asi +/+ cukup, kontraksi uterus cukup, TFU 2 jari
dibawah pusar, fluxus +,
-Injeksi ceftriaxon 2x1 gr, asmef 3x500 mg
Pk 21.30 - Produksi Asi + meneteki, kontraksi uterus keras, TFU 2
jari dibawah pusar, fluxus +

01 Desember 2019
Pk 07.30 - Perdarahan sedikit, kontraksi uterus keras, TFU 1 jari
dibawah pusar, Mobiliasai
Pk 08.30 -KRS
Assesment: P1001 post partum Spt-B hari ke-2 + HPP 525 cc +
Leukositosis

7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi


Perdarahan pasca salin terbagi menjadi berdasarkan waktu yaitu
primer dan sekunder. Perdarahan pasca salin primer didefinisikan sebagai
hilangnya darah sebanyak >500 mL dalam 24 jam paska persalinan atau
>1.000 mL setelah operasi sesar. Pada perdarahan pasca salin primer jika
melebihi 1.500 mL maka dikatakan sebagai perdarahan obstetric masif
(Massive Obstetric Haemorrhage / MOH). Sedangkan perdarahan pasca
salin sekunder didefinisikan sebagai hilangnya darah berlebih yang terjadi di
antara 24 jam hingga 6 minggu paska persalinan. Perdarahan pasca salin
primer terjadi pada sekitar 10% dari wanita dan menjadi permasalahan besar
yang berkaitan dengan kematian ibu (Impey & Child, 2017). Sumber lain
mengatakan bahwa perdarahan pasca salin sekunder terjadi antara 24 jam
hingga 12 minggu paska persalinan. Definisi di atas merupakan definisi
secara tradisional terhadap perdarahan pasca salin. Namun definisi tersebut
seringkali dipermasalahkan karena hampir setengah dari wanita yang
melahirkan secara pervaginam mengeluarkan darah sebanyak 500 mL atau
lebih dan sekitar 5% dari wanita yang melahirkan secara pervaginam
kehilangan darah lebih dari 1000 mL. Hasil tersebut tampak pada grafik
berikut (Cunningham et al, 2018):

8
Oleh sebab itu, maka American College of Obstetricians and
Gynecologists pada tahun 2017 mendefinisikan perdarahan pasca salin
sebagai kehilangan darah akumulatif sebanyak lebih dari 1.000 mL disertai
dengan tanda dan gejala hipovolemia. Studi ini menyatakan bahwa perkiraan
kehilangan darah (estimated blood loss) seringkali hanya setengah dari
kehilangan darah sesungguhnya (actual loss). Ketika hematokrit saat masuk
rumah sakit (MRS) lebih rendah dibandingkan dengan setelah melahirkan,
kehilangan darah dapat diestimasi dengan volume darah yang bertambah
dari kehamilan ditambahkan dengan 500 mL penurunan hematocrit 3%
(Cunningham et al, 2018).

Gambar 2. 1 Perhitungan volume darah pada ibu hamil (Cunningham et al, 2018)

9
2.2 Etiologi
Penyebab perdarahan pasca salin secara kesluruhan dapat
digolongkan dengan teori 4T yaitu (Buzaglo et al, 2014):
1. Tone (atonia uteri)
2. Trauma (trauma traktus genitalis, ruptur uteri, dan inversio uteri) –
20% kasus
3. Tissue (retensio plasenta atau blood clot) – 6-10% kasus
4. Thrombin (gangguan koagulasi) – 1% kasus
Terdapat beberapa penyebab dari perdarahan pasca salin primer dan
terbagi menjadi perdarahan yang umum terjadi dan jarang terjadi sebagai
berikut (Impey & Child, 2017):

1. Umum
a. Permasalahan pada uterus
Permasalahan pada uterus terjadi sebanyak 80% dari seluruh
penyebab pada perdarahan pasca salin primer lainnya, di mana
pada uterus didapatkan kegagalan dalam berkontraksi dengan
benar. Hal tersebut dapat disebabkan oleh atonia uteri atau
karena didapatkan retensio plasenta. Atonia uteri sering terjadi
pada persalinan yang memanjang, grandemultipara dan
distensi berlebih dari uterus (polihidramnion dan kehamilan
multipel), serta mioma uteri (Impey & Child, 2017).

b. Penyebab vagina
Penyebab vagina terjadi sebanyak 20% dari seluruh penyebab
perdarahan pasca salin primer. Perdarahan vagina ini dapat
terjadi akibat robekan perineum atau episiotomy, lainnya yang
lebih jarang yaitu diakibatkan oleh robekan vagina terutama
setelah dilakukan persalinan dengan instrumen (Impey & Child,
2017).

c. Retensio plasenta
Penyebab ini terjadi pada sebanyak 2,5% dari seluruh
persalinan. Lepasnya plasenta sebagian menyebabkan darah
terkumulasi di uterus dan akan semakin bertambah jumlahnya.

10
Sehingga dapat terjadi kolaps pada pasien meskipun
perdarahan di luar sedikit (Impey & Child, 2017).
2. Jarang
a. Robekan cervix
Robekan pada cervix jarang terjadi namun apabila terjadi
sering disebabkan oleh partus presipitatus dan persalinan
dengan instrumen(Impey & Child, 2017).
b. Ruptura Uteri
Kondisi ini sangat mengancam nyawa dan dapat diakibatkan
secara primer apabila terjadi pada uterus yang intak atau
secara sekunder berkaitan dengan bekas insisi atau luka atau
kelainan pada myometrium (Cunningham et al, 2018).
c. Koagulopati
Penyebab ini sangat jarang. Berkaitan dengan kelainan
kongenital, terapi antikoagulan atau adanya disseminated
intravascular coagulation (DIC). Dapat pula disebabkan oleh
penyakit Von Willebrand. Jika seorang pasien diresepkan obat
thrombolitik sebaiknya dihentikan minimal 12 jam sebelum
persalinan(Impey & Child, 2017; Cunningham et al, 2018).

Gambar 2. 2 Penyebab dan lokasi perdarahan post-partum (Impey & Child, 2017)

11
Pada perdarahan pasca salin sekunder dapat terjadi akibat
endometritis, dengan atau tanpa retensi jaringan plasenta atau yang lebih
jarang akibat patologis dari ginekologi atau penyakit gestational
thropoblastic. Biasanya ditandai dengan uterus membesar dan nyeri tekan
dengan orifisium uterus interna yang terbuka (Impey & Child, 2017).

2.3 Gejala Klinis


Klinisi harus waspada terhadap beberapa wanita yang mungkin rentan
mengalami gangguan stabilitas hemodinamiknya, hanya dengan perdarahan
dalam jumlah sedikit. Hal ini dapat terjadi pada wanita dengan hipertensi
gestasional dengan proteinuria, wanita yang mengalami anemia atau
dehidrasi dan wanita dengan perawakan pendek. Secara umum, derajat
kegawatan hemodinamik atau syok berbanding lurus dengan jumlah
perdarahan yang terjadi (Schuurmans, 2000)

Tabel 2. 1 Manifestasi klinis perdarahan pasca salin (POGI, 2016)

2.4 Diagnosis
Beberapa teori telah menyatakan bahwa pengukuran kehilangan
darah saat persalinan bertujuan untuk memastikan diagnosis perdarahan
pasca salin pada saat yang tepat dan memperbaiki luaran. Meskipun
demikian, belum ada studi yang secara langsung dapat menjawab
pertanyaan penelitian tersebut (POGI, 2016). Diagnosis dapat dimulai

12
dengan melihat adanya perdarahan masif serta pemeriksaan secara hati-hati
untuk mengetahui apa penyebabnya (Anderson, 2007).

Tabel 2. 2 Penilaian klinik Perdarahan Setelah Bayi Lahir (Abdul B.S., 2000)

13
Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja
Syok
Uterus tidak berkontraksi dan lembek. Bekuan darah pada serviks
Perdarahan segera setelah anak lahir atau posisi terlentang akan Atonia uteri
(Perdarahan Pasca salin Primer). menghambat aliran darah ke
luar
Darah segar yang mengalir segera
Pucat
setelah bayi lahir.
Lemah Robekan jalan lahir
Uterus berkontraksi dan keras.
Menggigil
Plasenta lengkap.
Tali pusat putus akibat traksi
Plasenta belum lahir setelah 30 menit.
berlebihan
Perdarahan segera. Retensio plasenta
Inversio uteri akibat tarikan
Uterus berkontraksi keras.
Perdarahan lanjutan
Plasenta lahir atau sebagian selaput
(mengandung pembuluh darah) tidak Uterus berkontraksi tetapi Tertinggalnya sebagian
lengkap. tinggi fundus tidak berkurang plasenta
Perdarahan segera
Uterus tidak teraba.
Lumen vagina terisi massa. Neurogenik syok
Inversio uteri
Tampak tali pusat (bila plasenta belum Pucat dan limbung
lahir).
Sub-involusi uterus.
Nyeri tekan perut bawah dan pada
Endometritis atau sisa
uterus. Anemia
fragmen plasenta
Perdarahan sekunder. Demam
(terinfeksi atau tidak)
Lokhia mukopurulen dan berbau (bila
disertai infeksi).

2.5 Faktor Risiko


Tabel 2. 3 Faktor Risiko Perdarahan Pasca Salin (Versaevel dan Darling, 2006)

Faktor Risiko Intrapartum/Pasca


Penyebab Faktor Risiko Antenatal
salin

14
Nulipara, riwayat perdarahan pasca salin Persalinan induksi, korioamnionitis,
sebelumnya, obesitas, fibroid pada uterus, vesica urinaria penuh, persalinan per
hipertensi gestational dengan proteinuria, vaginam dengan instrumen,
Tone
plasenta previa, abrupsio plasenta, uterus persalinan memanjang, kala III > 30
yang terlalu membesar (gemeli, menit, distosia bahu, kelahiran bayi
polihidramnion) makrosomia
Sisa plasenta, kelahiran plasenta
Tissue Plasenta abnormal (dari USG)
tidak lengkap, plasenta previa
Laserasi, ruptur/inversio uteri, SC,
Trauma Riwayat operasi pada uterus
episiotomi
Gangguan pembekuan darah yang sudah
ada (hemophilia A, von Willebrand’s)
Thrombin Gangguan pembekuan darah saat IUFD
kehamilan (ITP, DIC), trombositopenia
dengan preeclampsia)

2.6 Penatalaksanaan Perdarahan Pasca salin

2.6.1 Prinsip “HAEMOSTASIS”


Perdarahan biasanya disebabkan oleh tonus, tissue, trauma atau
thrombin. Bila terjadi atonia uterus, lakukan perbaikan pada tonus uterus.
Bila kausa perdarahan berasal dari tissue, lakukan evakuasi jaringan sisa
plasenta. Lakukan penjahitan luka terbuka bila terjadi trauma dan koreksi
faktor pembekuan bila terdapat gangguan pada thrombin.
Penatalaksanaan dilakukan dengan prinsip “HAEMOSTASIS”, yaitu (POGI,
2016):
a. Ask for HELP
Segera meminta pertolongan atau dirujuk ke rumah sakit bila persalinan
di bidan/PKM. Kehadiran ahli obstetri, bidan, ahli anestesi, dan hematologis
sangat penting. Pendekatan multidisipliner dapat mengoptimalkan monitoring
dan pemberian cairan. Monitoring elektrolit dan parameter koagulasi penting
untuk penentuan tahap tindakan berikutnya.
b. Assess (vital parameter, blood loss) and Resuscitate
Penting sekali segera menilai jumlah darah yang keluar seakurat
mungkin dan menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih baik
overestimate jumlah darah yang hilang dan bersikap proaktif daripada
underestimate dan bersikap menunggu/pasif. Nilai tingkat kesadaran, nadi,

15
tekanan darah, dan bila fasilitas memungkinkan, saturasi oksigen harus
dimonitor.
Saat memasang jalur infus dengan abocath 14G-16G, harus segera
diambil spesimen darah untuk memeriksa hemoglobin, profil pembekuan
darah, elektrolit, penentuan golongan darah, serta crossmatch (RIMOT =
Resusitasi, Infus 2 jalur, Monitoring keadaan umum, nadi dan tekanan darah,
Oksigen, dan Team approach). Diberikan cairan kristaloid dan koloid secara
cepat sambil menunggu hasil crossmatch.
c. Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood, Ecbolics
(Oxytocin, Ergometrin or Syntometrine bolus IV/IM)
Sementara resusitasi sedang berlangsung, dilakukan upaya menentukan
etiologi PPS. Nilai kontraksi uterus, cari adanya cairan bebas di abdomen,
bila ada risiko trauma (bekas seksio sesarea, partus buatan yang sulit) atau
bila kondisi pasien lebih buruk daripada jumlah darah yang keluar. Harus
dicek ulang kelengkapan plasenta dan selaput plasenta yang telah berhasil
dikeluarkan. Bila perdarahan terjadi akibat morbidly adherent placentae saat
seksio sesarea dapat diupayakan haemostatic sutures, ligasi arteri
hipogastrika dan embolisasi arteri uterina.
Morbidly adherent placentae sering terjadi pada kasus plasenta previa
pada bekas seksio sesarea. Bila hal ini sudah diketahui sebelumnya, dr.
Sarah P. Brown dan Queen Charlotte Hospital (Labour ward course)
menyarankan untuk tidak berupaya melahirkan plasenta, tetapi ditinggalkan
intrauterin dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian metotreksat seperti
pada kasus kehamilan abdominal.
Bila retensio plasenta/sisa plasenta terjadi setelah persalinan
pervaginam, dapat digunakan tamponade uterus sementara menunggu
kesiapan operasi/laparotomi.
d. Massage the uterus
Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir harus segera
ditangani dengan masase uterus dan pemberian obat-obatan uterotonika.
Bila uterus tetap lembek harus dilakukan kompresi bimanual interna dengan
menggunakan kepalan tangan di dalam untuk menekan forniks anterior
sehingga terdorong ke atas dan telapak tangan di luar melakukan
penekanan pada fundus belakang sehingga uterus terkompresi.
16
e. Oxytocin infusion/ prostaglandins – IV/ per rectal/ IM/
intramyometrial
Dapat dilakukan pemberian oksitosin 40 unit dalam 500 cc normal salin
dengan kecepatan 125 cc/jam (peringkat bukti IA, rekomendasi A). Hindari
kelebihan cairan karena dapat menyebabkan edema pulmoner hingga
edema otak yang pada akhimya dapat menyebabkan kejang karena
hiponatremia. Hal ini timbul karena efek antidiuretic hormone (ADH) - like
effect dan oksitosin; sehingga monitoring ketat masukan dan keluaran cairan
sangat esensial dalam pemberian oksitosin dalam jumlah besar.
Pemberian ergometrin sebagai lini kedua dari oksitosin dapat diberikan
secara intramuskuler atau intravena. Dosis awal 0,2 mg (secara perlahan),
dosis lanjutan 0,2 mg setelah 15 menit bila masih diperlukan. Pemberian
dapat diulang setiap 2-4 jam bila masih diperlukan. Dosis maksimal adalah 1
mg atau 5 dosis per hari.
Kontraindikasi pada pemberian ergometrin yaitu preeklampsia, vitium
cordis, dan hipertensi (peringkat bukti IA, rekomendasi A). Bila PPS masih
tidak berhasil diatasi, dapat diberikan misoprostol per rektal 800-1000 ug.
Pada perdarahan masif perlu diberikan transfusi darah, bahkan juga
diperlukan pemberian fresh frozen plasma (FFP) untuk menggantikan faktor
pembekuan yang turut hilang. Direkomendasikan pemberian 1 liter FFP (15
mL/kg) setiap 6 unit darah. Pertahankan trombosit di atas 50.000, bila perlu
diberikan transfusi trombosit. Kriopresipitat direkomendasikan bila terjadi DIC
yang ditandai dengan kadar fibrinogen <1 gr/dl (10 gr/L).

f. Shift to theatre – exclude retained products and trauma/ bimanual


compression (konservatif; non-pembedahan)
Bila perdarahan masif masih tetap terjadi, segera evakuasi pasien ke
ruang operasi. Pastikan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya sisa
plasenta atau selaput ketuban. Bila diduga ada sisa jaringan, segera lakukan
tindakan kuretase. Kompresi bimanual dapat dilakukan selama ibu dibawa ke
ruang operasi

g. Tamponade balloon/ uterine packing (konservatif; non-pembedahan)


(peringkat bukti II, rekomendasi B)

17
Bila perdarahan masih berlangsung, pikirkan kemungkinan adanya
koagulopati yang menyertai atonia yang refrakter. Tamponade uterus dapat
membantu mengurangi perdarahan. Tindakan ini juga dapat memberi
kesempatan koreksi faktor pembekuan. Dapat dilakukan tamponade test
dengan menggunakan Tube Sengstaken yang mempunyai nilai prediksi
positif 87% untuk menilai keberhasilan penanganan PPS. Bila pemasangan
tube tersebut mampu menghentikan perdarahan berarti pasien tidak
memerlukan tindakan bedah lebih lanjut. Akan tetapi, bila setelah
pemasangan tube, perdarahan masih tetap masif, pasien harus menjalani
tindakan bedah.
Pemasangan tamponade uterus dengan menggunakan baloon relatif
mudah dilaksanakan dan hanya memerlukan waktu beberapa menit.
Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan dan mencegah koagulopati
karena perdarahan masif serta kebutuhan tindakan bedah. Hal ini perlu
dilakukan pada pasien yang tidak membaik dengan terapi medis.
Pemasangan tamponade uterus dapat menggunakan Bakri SOS baloon
dan tampon balon kondom kateter. Biasanya dimasukkan 300-400 cc cairan
untuk mencapai tekanan yang cukup adekuat sehingga perdarahan berhenti.
Balon tamponade Bakri dilengkapi alat untuk membaca tekanan intrauterin
sehingga dapat diupayakan mencapai tekanan mendekati tekanan sistolik
untuk menghentikan perdarahan.

Gambar 2. 3 Intrauterine balloon untuk perdarahan pasca salin (Cunningham et al., 2014)

Segera libatkan tambahan tenaga dokter spesialis kebidanan dan


hematologis sambil menyiapkan ruang ICU.
h. Apply compression sutures – B-Lynch/ modified (pembedahan
konservatif)

18
Dalam menentukan keputusan, harus selalu dipertimbangkan antara
mempertahankan hidup dan keinginan mempertahankan fertilitas. Sebelum
mencoba setiap prosedur bedah konservatif, harus dinilai ulang keadaan
pasien berdasarkan perkiraan jumlah darah yang keluar, perdarahan yang
masih berlangsung, keadaan hemodinamik, dan paritasnya.
Keputusan untuk melakukan laparotomi harus cepat setelah melakukan
informed consent terhadap segala kemungkinan tindakan yang akan
dilakukan di ruang operasi. Penting sekali kerja sama yang baik dengan ahli
anestesi untuk menilai kemampuan pasien bertahan lebih lanjut pada
keadaan perdarahan setelah upaya konservatif gagal. Apabila tindakan B-
Lynch tidak berhasil, dipertimbangkan untuk dilakukan histerektomi.
Ikatan kompresi yang dinamakan Ikatan B-Lynch (B-Lynch suture)
pertama kali diperkenalkan oleh Christopher B-Lynch. Benang yang dapat
dipakai adalah kromik catgut no.2, Vicryl 0 (Ethicon), chromic catgut 1 dan
PDS 0 tanpa adanya komplikasi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa tindakan
B-Lynch ini harus didahului tes tamponade yaitu upaya menilai efektifitas
tindakan B- Lynch dengan cara kompresi bimanual uterus secara langsung
di meja operasi.
i. Systematic pelvic devascularization – uterine/ ovarian/ quadruple/
internal iliac (pembedahan konservatif) (peringkat bukti II,
rekomendasi B)
Ligasi a. uterina dan ligasi a. hipogastrika.
j. Interventional radiologis, if appropriate, uterine artery embolization
(pembedahan konservatif) (peringkat bukti II, rekomendasi B)
k. Subtotal/ total abdominal hysterectomy (non-konservatif) (peringkat
bukti II, rekomendasi B)

19
Gambar 2. 4 Algoritma penatalaksanaan perdarahan pasca salin (POGI, 2016)

Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti), periksa


kadar Hb:
a. Jika Hb kurang dari 7 g/dL atau Hct<20% (anemia berat). Berikan
transfusi darah dan sulfas ferrous atau ferous fumarat 120 mg
ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 3 bulan.
Setelah 3 bulan, lanjutkan dengan sulfas ferrous atau ferrous fumarat
60 mg ditambah asam folat 400mcg per oral sekali sehari selama 6
bulan.

20
b. Jika Hb 7-11g/dL, berikan sulfas ferrous atau ferous fumarat 60 mg
ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan.
(Saifuddin et al., 2018)

Penatalaksaan PPS terbagi menjadi intervensi medis dan non-


medikamentosa.

2.6.2 Intervensi Medis Untuk Manajemen PPS


Dalam manajemen PPS akibat atonia uteri, beberapa obat yang
biasanya diberikan diantaranya uterotonika injeksi (oksitosin, ergometrin,
kombinasi oksitosin dan ergometrin dosis tetap), misoprostol (bentuk tablet
yang digunakan via oral, sublingual dan rektal), asam traneksamat injeksi,
serta injeksi rekombinan faktor VIIa. Khususnya oksitosin dan ergometrin,
telah disetujui dosis yang direkomendasikan oleh WHO (POGI, 2016).

Tabel 2. 4 Jenis uterotonika dan cara pemberiannya (Saifuddin et al., 2018)


JENIS DAN CARA OKSITOSIN ERGOMETRIN MISOPROSTOL
IV: 40 unit dalam 1 L
Dosis dan cara pemberian larutan garam fisiologis Oral 600 mcg atau rektal
IM atau IV (lambat): 0,2 mg
awal dengan 60 tetes/menit 400 mcg
IM: 10 unit
Ulangi 0,2 mg IM setelah
IV: 20 unit dalam 1L
15 menit. Oral : 400 mcg 2-4 jam
Dosis lanjutan larutan garam fisiologis
Bila masih diperlukan beri setelah dosis awal
dengan 40 tetes/menit
IM/IV setiap 4 jam
Tidak lebih dari 3L larutan
Dosis maksimal per hari Total 1 g atau 5 dosis Total 1200 mg atau 3 dosis
dengan oksitosin
Pemberian IV secara cepat Preeklampsia, vitium Nyeri kontraksi
Kontraindikasi
/bolus cordis, hipertensi Asma

Rekomendasi menurut POGI, 2016:


a. Untuk manajemen PPS, oksitosin lebih dipilih dibandingkan
ergometrin tunggal, kombinasi oksitosin-ergometrin dan
prostaglandin.
b. Jika oksitosin tidak tersedia, atau perdarahan tidak berespon dengan
oksitosin dan metil ergometrin sebaiknya diberikan misoprostol.

21
c. Jika lini kedua tidak tersedia, atau jika perdarahan tidak berespon
terhadap lini kedua, prostaglandin sebaiknya ditawarkan sebagai lini
ketiga.
d. Tidak ada keuntungan dari pemberian misoprostol sebagai terapi
tambahan pada PPS pada kelompok yang sudah menerima
oksitosin pada kala III persalinan.
e. Pada perempuan yang tidak menerima oksitosin profilaksis selama
kala III persalinan, pemberian oksitosin sebaiknya diberikan sebagai
terapi pilihan untuk manajemen PPS.

2.6.3 Intervensi Non-Medikamentosa Untuk Manajemen PPS


Rekomendasi menurut POGI, 2016:
a. Masase uterus sebaiknya dilakukan segera setelah plasenta lahir dan
dipertahankan terus sampai kontraksi uterus baik.
b. Kompresi bimanual interna dapat dilakukan pada kasus PPS dengan
atonia uteri sementara menunggu terapi lebih lanjut.
c. Pada perempuan yang tidak berespon dengan terapi uterotonika atau
jika uterotonika tidak tersedia, balon intrauterus atau tamponade
kondom dapat digunakan sebagai terapi sementara (dalam proses
rujukan atau menunggu persiapan kamar operasi) pada PPS akibat
atonia uteri. Penilaian selanjutnya dilakukan di RS rujukan.
d. Kompresi eksterna sebagai terapi PPS karena atonia uteri setelah
persalinan pervaginam dapat dilakukan sebagai metode sementara
sampai terapi yang sesuai tersedia. Teknik ini dapat memperlambat
kehilangan darah.

Gambar 2. 5 Kompresi bimanual eksterna (Lalonde, 2012)

22
Gambar 2. 6 Kompresi bimanual interna (Cunningham et al., 2014)

Gambar 2. 7 Kompresi aorta abdominalis (Lalonde, 2012)

e. Jika perdarahan belum berhenti dengan terapi uterotonika, terapi


konservatif lain seperti kompresi bimanual interna dan eksterna,
kompresi aorta; intervensi pembedahan harus dikerjakan. Pendekatan
pembedahan konservatif harus dicoba lebih dulu, jika tidak berhasil
dapat diikuti oleh prosedur invasif lainnya. Jika perdarahan yang
mengancam nyawa berlanjut bahkan setelah ligasi dilakukan,
histerektomi subtotal/ supraservikal/ total subtotal sebaiknya
dilakukan.
f. Untuk pemilihan cairan pengganti/resusitasi, sebaiknya digunakan
cairan intravena dengan kristaloid isotonik dibandingkan dengan
koloid. Bukti yang ada menunjukkan bahwa koloid dosis tinggi
menyebabkan efek samping yang lebih sering daripada penggunaan
kristaloid.
g. Transfusi produk darah diperlukan bila jumlah darah yang hilang
cukup masif dan masih terus berlanjut, terutama jika tanda vital tidak
stabil. Keputusan klinis bersifat penting karena perkiraan darah yang
hilang sering tidak akurat, penentuan menggunakan konsentrasi

23
hemoglobin atau hematokrit mungkin tidak akurat dalam
merefleksikan status hematologis pasien, sedangkan tanda dan gejala
mungkin belum muncul sampai kehilangan darah melebihi batas
toleransi fisiologis tubuh. Tujuan dari transfusi produk darah adalah
untuk mengganti faktor koagulasi dan sel darah merah yang
berkapasitas membawa oksigen, bukan sebagai pengganti volume.
Pemberian transfusi darah dilakukan sesuai dengan indikasi.

Tabel 2. 5 Produk darah yang ditransfusikan untuk perdarahan obstetri (Cunningham et


al., 2014)

Metode operasi manajemen perdarahan


a. Ligasi arteri uterina

Gambar 2. 8 Ligasi arteri uterina. Sutura melewati anterior dari dinding uterus lateral,
membelok ke posterior, lalu kembali ke anterior. Ketika diikat, sutura akan melingkupi
arteri uterina (Cunningham et al., 2014)

24
b. Ligasi arteri iliaca interna

Gambar 2. 9 Ligasi arteri iliaca interna dekstra (Cunningham et al., 2014).

Jika perdarahan berasal dari uterus, ligasi arteri uterina sebaiknya dilakukan
sebelum ligasi arteri iliaca interna karena 90% vaskularisasi uterus berasal
dari arteri uterina, juga karena teknik yang lebih mudah. Ligasi arteri iliaca
interna digunakan untuk mengontrol perdarahan uterus dan vagina yang
berasal dari cabang vagina dari arteri iliaca interna (Condous dan
Arulkumaran, 2003).

c. Uterine compression sutures

Gambar 2. 10 Uterine compression suture atau “kawat” dengan teknik sutura B-Lynch dari
tampak anterior (gambar A, B, dan D) dan posterior (gambar C) (Cunningham et al., 2014).

25
d. Embolisasi arteri
Teknik ini dilakukan oleh radiologis intervensi terlatih. Caranya, arteri
femoralis ditusuk, kemudian dilakukan katerisasi berurutan dari arteri
iliaca interna, uterina, dan ovarika. Dengan menggunakan media kontras
dan angiografi, lokasi perdarahan aktif dapat diketahui. Setelah itu arteri
uterine dikaterisasi dan diembolisasi dengan absorbable gelatin sponge,
polyurethane foam, atau polyvinyl alchohol particle yang biasanya dapat
diresorbsi dalam 10 hari. Kadang diperlukan juga embolisasi arteri
ovarian, tetapi untuk mencegah isemia usus, arteri mesenterika perlu
diidentifikasi pula. Tingkat kesuksesan mencapai 85-95%. Kegagalan
terjadi pada kasus robekan serviks-vagina dan abnormalitas insersi
plasenta (plasenta akreta) (Condous dan Arulkumaran, 2003).
e. Histerektomi
Dilakukan setelah semua tindakan medis dan operasi gagal dalam
tatalaksana perdarahan pasca salin. Direkomendasikan histerektomi
subtotal karena lebih cepat, aman, mudah, dan kehilangan darah yang
lebih sedikit. Histerektomi total diperlukan jika perdarahan terjadi pada
segmen uterus bawah, seperti pada plasenta previa akreta atau robekan
jalan lahir bawah (Condous dan Arulkumaran, 2003).

2.6.4 Terapi PPS sekunder


PPS sekunder sering berhubungan dengan endometritis. Antibiotik
terpilihadalah antibiotik empiris sesuai dengan pola kuman. Pada kasus
endomiometritis atau sepsis direkomendasikan tambahan terapi antibiotik
spektrum luas. Terapi pembedahan dilakukan jika perdarahan masih
berlebihan atau tidak dapat dihentikan atau hasil USG tidak mendukung.
Investigasi mengenai PPS sekunder sebaiknya melibatkan swab
vagina rendah dan tinggi, kultur darah jika demam, darah lengkap, dan C-
reactive protein. Pemeriksan USG pelvis dapat membantu mengeksklusi
adanya produk sisa konsepsi, meskipun penampakan uterus segera setelah
pasca salin masih belum bisa dinilai baik.
Telah diterima secara umum bahwa PPS sekunder sering
berhubungan dengan infeksi dan terapi konvensional yang melibatkan
26
antibiotik dan uterotonika. Pada perdarahan yang berlanjut, insersi balon
kateter dapat bersifat efektif.
Kesimpulannya adalah bahwa kombinasi dari klindamisin dan
gentamisin tepat digunakan; dimana regimen gentamisin harian adalah
paling tidak sama efektifnya dengan regimen tiga kali harian. Ketika
endometritis secara klinis perbaikan dengan terapi intravena, tidak ada
keuntungan tambahan untuk memperpanjang terapi oral. Antibiotik ini tidak
dikontraindikasikan pada ibu menyusui (peringkat bukti II, rekomendasi B).

2.7 Pencegahan
Strategi paling efektif untuk mencegah perdarahan pasca salin adalah
melakukan manajemen aktif kala III. Manajemen aktif kala III juga dapat
menurunkan risiko kadar hemoglobin maternal pasca salin di bawah 9 g/dL,
dan kebutuhan melakukan manual removal plasenta. Komponen dari
manajemen ini meliputi:
1. Pemberian oksitosin dengan atau segera setelah kelahiran bahu
anterior.
2. Kontrol traksi cord (manuver Brandt-Andrews) untuk melahirkan
plasenta.
3. Masase uterus setelah kelahiran plasenta.
Alternatif lain dari oksitosin adalah misoprostol (Cytotec), merupakan
obat yang lebih terjangkau serta tidak memerlukan pemberian secara injeksi
dan lebih efektif dibandingkan pemberian plasebo dalam pencegahan
perdarahan pasca salin. Namun misoprostol juga menyebabkan lebih
banyak efek samping dibandingkan oksitosin, antara lain nausea, diare, dan
demam dalam waktu 3 jam setelah persalinan (Evensenetal, 2017).

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi oleh karena perdarahan pasca salin
meliputi hipotensi ortostatik, anemia, dan fatigue, yang dapat membuat
perawatan maternal menjadi lebih sulit. Anemia post-partum dapat
meningkatkan risiko depresi post-partum. Transfusi darah dapat diperlukan
dan membawa risiko yang berkaitan pula. Pada kasus yang lebih berat, syok

27
hemoragik dapat menyebabkan iskemi kelenjar pituitari anterior dengan
laktasi yang terlambat atau bahkan terganggu. Occult myocardial ischemia,
dilutional coagulopathy, dan kematian juga dapat terjadi (Anderson, 2007).

28
DAFTAR PUSTAKA

Abdul B.S. 2000. Perdarahan Kehamilan Lanjut dan Persalinan. Buku


Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan maternal dan Neonatal. Jakarta.
YBP-SP. Hal 175.

Buzaglo, N., Harlev, A., Sergienko, R., & Sheiner, E. (2014). Risk factors for
early postpartum hemorrhage (PPH) in the first vaginal delivery, and
obstetrical outcomes in subsequent pregnancy. The Journal of
Maternal-Fetal & Neonatal Medicine, 28(8), 932–937.
doi:10.3109/14767058.2014.937698

Condous, G. S. dan Arulkumaran, S. (2003) “Medical and conservative


surgical management of postpartum hemorrhage.,” Journal of obstetrics
and gynaecology Canada : JOGC. Society of Obstetricians and
Gynaecologists of Canada. Published by Elsevier Inc., 25(11), hal.
931–936. doi: 10.1016/S1701-2163(16)30241-9.

Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Spong, C. Y., Dashe, J. S.,
Hoffman, B. L., Casey, B. M. dan Sheffield, J. S. (ed.) (2014) Williams
Obstetrics. 24 ed. New York: McGraw Hill Education.

Impey, L. & Child, T. (2017). Obstetrics & Gynaecolog. 5th editions. pp.296-
301. UK: John Wiley and Sons, Ltd.

Lalonde, A. (2012) “Prevention and treatment of postpartum hemorrhage in


low-resource settings,” International Journal of Gynecology and
Obstetrics. Elsevier B.V., 117(2), hal. 108–118. doi:
10.1016/j.ijgo.2012.03.001.

POGI (2016). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Perdarahan


Pasca-Salin. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

Saifuddin, A. B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G. H. dan Waspodo, D. (ed.)


(2018) Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. 5 ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Versaevel, N. dan Darling, L. (2006) “Prevention and Management of


Postpartum Hemorrhage,” AOM Clinical Practice Guideline, (9), hal. 1–
12.

29

Anda mungkin juga menyukai