Anda di halaman 1dari 26

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teoritis Kasus
2.1.1 Defenisi

Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang


servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau
trauma vertebra servikalis dan ditandai dengan kompresi pada medula spinalis
daerah servikal. Dislokasi servikal adalah lepasnya salah satu struktur dari tulang
servikal. Subluksasi servikal merupakan kondisi sebagian dari tulang servikal
lepas. Trauma servikal adalah terputusnya hubungan dari badan tulang vertebra
servikalis (Muttaqin, 2011).
Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah
struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas
tulang belakang. Di antara tiap dua ruas tulang pada tulang belakang terdapat
bantalan tulang rawan. Panjang rangkaian tulang belakang pada orang dewasa
dapat mencapai 57 sampai 67 sentimeter. Seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24
buah di antaranya adalah tulang terpisah dan 9 ruas sisanya bergabung
membentuk 2 tulang (Syaifuddin, 2009).
Menurut Pearce, (2009) Vertebra dikelompokkan dan dinamai sesuai
dengan daerah yang ditempatinya yaitu sebagai berikut :
1. Tujuh vertebra servikal atau ruas tulang bagian leher membentuk daerah
tengkuk.
2. Dua belas vertebra torakalis atau ruas tulang punggung membentuk bagian
belakang torax atau dada.
3. Lima vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang membentuk daerah lumbal
atau pinggang.
4. Lima vertebra sakralis atau ruas tulang kelangkang membentuk sakrum atau
tulang kelangkang.
5. Empat vertebra kosigeus atau ruas tulang tungging membentuk tulang
koksigeus atau tulang tungging.

Program Studi Ilmu Keperawatan 5


STIKes Sumatera Utara
6

Pada tulang leher, punggung dan pinggang ruasnya tetap tinggal jelas
terpisah selama hidup dan disebut ruas yang dapat bergerak. Ruas pada dua daerah
bawah, sakrum dan koksigeus, pada masa dewasa bersatu membentuk dua tulang.
Ini disebut ruas tak bergerak (Pearce, 2009).
Dengan perkecualian dua ruas pertama dari tulang leher maka semua ruas
yang dapat bergerak memiliki ciri khas yang sama. Seperti vertebra terdiri atas
dua bagian, yaitu anterior di sebut badan vertebra dan yang posterior disebut arkus
neuralis yang melingkari kanalis neuralis (foramen vertebra atau saluran sumsum
tulang belakang) yang dilalui sumsum tulang belakang (Syafuddin, 2009).
Vertebra Servikalis atau ruas tulang leher adalah yang paling kecil.
Kecuali yang pertama dan kedua, yang berbentuk istimewa maka ruas tulang leher
pada umumnya mempunyai ciri yang berikut: badannya kecil dan persegi panjang,
lebih panjang dari samping ke samping daripada dari depan ke belakang,
lengkungnya besar. Prosesus spinosus atau taju duri di ujung memecah dua atau
bifida. Prosesus transversusnya atau taju sayap berlubang karena banyak foramina
untuk lewatnya arteri vertebralis (Syafuddin, 2009).

2.1.2 Etiologi

Cedera medulla spinalis servikal disebabkan oleh trauma langsung yang


mengenai tulang belakang di mana tulang tersebut melampaui kemampauan
tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf belakangnya. Menurut Emma,
(2011) Trauma langsung tersebut dapat berupa :
1. Kecelakaan lalulintas
2. Kecelakaan olahraga
3. Kecelakaan industri
4. Jatuh dari pohon/bangunan
5. Luka tusuk
6. Luka tembak
7. Kejatuhan benda keras

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
7

2.1.3 Manifestasi Klinis


Menurut Hudak & Gallo, (1996) menifestasi klinis trauma servikal adalah
sebagai berikut :
1. Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoid dan otot plastisma masih
berfungsi. Otot diafragma dan otot interkostal mengalami partalisis dan tidak ada
gerakan (baik secara fisik maupun fungsional) di bawah transeksi spinal tersebut.
Kehilangan sensori pada tingkat C1 malalui C3 meliputi daerah oksipital, telinga
dan beberapa daerah wajah. Kehilangan sensori diilustrasikan oleh diagfragma
dermatom tubuh.
Pasien dengan quadriplegia pada C1, C2, atau C3 membutuhkan perhatian
penuh karena ketergantungan pada semua aktivitas kebutuhan sehari-hari seperti
makan, mandi, dan berpakaian. quadriplegia pada C4 biasanya juga memerlukan
ventilator mekanis tetapi mengkin dapat dilepaskan dari ventilator secara
intermiten. Pasien biasanya tergantung pada orang lain dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari meskipun dia mungkin dapat makan sendiri dengan
alat khsus.
2. Lesi C5
Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma
rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan dilatasi
lambung dapat disertai dengan depresi pernapasan. Ekstremitas atas mengalami
rotasi ke arah luar sebagai akibat kerusakan pada otot supraspinosus. Bahu dapat
di angkat karena tidak ada kerja penghambat levator skapula dan otot trapezius.
Setelah fase akut, refleks di bawah lesi menjadi berlebihan. Sensasi ada pada
daerah leher dan triagular anterior dari daerah lengan atas.
3. Lesi C6
Pada lesi segen C6 disters pernafasan dapat terjadi karena paralisis
intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Bahu biasanya naik, dengan
lengan abduksi dan lengan bawah fleksi. Ini karena aktivitas tak terhambat dari
deltoid, bisep dan otot brakhioradialis.

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
8

4. Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesori
untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Ekstremitas atas
mengambil posisi yang sama seperti pada lesi C6. Fleksi jari tangan biasanya
berlebihan ketika kerja refleks kembali. Menurut Price, (2002 ) manifestasi klinik
pada trauma adalah sebagai berikut:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan
adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan
sekitarnya.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir
pada daerah trauma dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
jaringan sekitarnya.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar trauma.
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang trauma, nyeri atau spasme otot.
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada trauma tulang panjang.
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan.

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
9

i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma
dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
10

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
11

2.2 Penatalaksanaan
2.2.1 Medis
a. Pengertian Penyakit
Cedera servikal merupakan cedera tulang belakang yang paling sering
menimbulkan kecacatan dan kematian, dari beberapa penelitian terdapat korelasi
antara tingkat cedera servikal dengan morbiditas dan mortalitas, yaitu semakin
tinggi tingkat cedera servikal semakin tinggi pula morbiditas dan mortalitasnya
(Milby, 2008). Sekitar 10% pasien dengan penurunan kesadaran yang dikirim ke
Instalasi Gawat Darurat akibat kecelakaan lalu lintas selalu menderita cedera
servikal, baik cedera pada tulang servikal, jaringan penunjang, maupun cedera
pada cervical spine. Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh adalah penyebab sebagian
besar trauma tulang servikal. Trauma pada servikal subaksis (C3–7) lebih umum
terjadi dibanding servikal C1 dan C2. Trauma servikal sering terjadi pada pasien
dengan riwayat kecelakaan kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi, trauma
pada wajah dan kepala, terdapat defisit neurologis, nyeri pada leher, dan trauma
multiple (Weishaupt).
Pemeriksaan diagnostik menurut Muttaqin (2002) dan pemeriksaan
penunjang trauma servikal yaitu:
1) Sinar X spinal
Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (trauma, disloksi) untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
2) CT scan
Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
3) MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
4) Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
patologisnya tidak jelas atau di curigai adanya oklusi pada ruang subarakhnoid
medulla spinalis.

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
12

5) Foto rontgen torak


Memperlihatkan keadaan paru (contohnya: perubahan pada diagfragma,
anterlektasis).
6) GDA
Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.
b. Pengobatan dan lain-lain
Menurut ENA, (2000) penatalaksanaan pada pasien truama servikal yaitu:
1. Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)
2. Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin lip,
jaw thrust. Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi),
mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.
3. Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar,
imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
4. Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 - C7)
dengan menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan rotasi),
memberi lipatan selimut di bawah pelvis kemudian mengikatnya.
5. Menyediakan oksigen tambahan.
6. Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse oksimetri.
7. Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.
8. Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh dari
hipotensi dan bradikardi.
9. Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
10. Berikan antiemboli
11. Tinggikan ekstremitas bawah
12. Gunakan baju antisyok.
13. Meningkatkan tekanan darah
14. Monitor volume infus.
15. Berikan terapi farmakologi ( vasokontriksi)
16. Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika terjadi
gejala bradikardi.
17. Mengatur suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
13

18. Memepersiapkan pasien untuk reposisi spinal.


19. Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan spinal
cord : steroid dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih dari 24 jam,
dimulai dari 8 jam setelah kejadian.
a. Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat kesadaran
pasien.
b. Memasang NGT untuk mencegah distensi lambung dan kemungkinan
aspirasi jika ada indikasi.
c. Memasang kateter urin untuk pengosongan kandung kemih.
d. Mengubah posisi pasien untuk menghindari terjadinya dekubitus.
e. Mempersiapkan pasien ke pusat SCI (jika diperlukan).
f. Mengupayakan pemenuhan kebutuhan pasien yang teridentifikasi
secara konsisten untuk menumbuhkan kepercayaan pasien pada tenaga
kesehatan.
g. Melibatkan orang terdekat untuk mendukung proses penyembuhan.

2.2.2 Keperawatan
A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal pada proses keperawatan dan merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data berbagai sumber data yang
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
Keberhasilan Proses Keperawatan Sangat Bergantuang Pada Tahap Ini. Tahap Ini
1. Pengkajian Primer
Data Subyektif:
Riwayat Penyakit Sekarang:
a) Mekanisme Cedera
b) Kemampuan Neurologi
c) Status Neurologi
d) Kestabilan Bergerak

Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
14

a) Keadaan Jantung dan pernapasan


b) Penyakit Kronis
Data Obyektif:
a. Airway: adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal
sehingga mengganggu jalan napas.
b. Breathing: pernapasan dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan
dinding dada.
c. Circulation: hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi,
Kulit teraba hangat dan kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu
tubuh, yang mana suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan).
d. Disability: Kaji Kehilangan Sebagian Atau Keseluruhan Kemampuan Bergerak,
Kehilangan Sensasi, Kelemahan Otot.
2. Pengkajian Sekunder
a) Exposure: adanya deformitas tulang belakang
b) Five Intervensi:
1. Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
2. CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas
3. MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal
4. Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru
5. Sinar – X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(Fraktur/Dislokasi)
c) Give Comfort: kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
d) Head to Toe
1. Leher : Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
2. Dada : Pernapasan dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan
dinding dada, bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat
cedera spinal
3. Pelvis dan Perineum : Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses,
terjadinya gangguan pada ereksi penis (priapism)
4.Ekstrimitas : terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau
quadriparesis/quadriplegia

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
15

e) Inspeksi Back / Posterior Surface: kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan
deformitas pada tulang belakang
3. Pengumpulan Data
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus trauma servikalis adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari trauma ,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini
bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
16

d) Riwayat Penyakit Dahulu


Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab trauma dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-
penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan
trauma patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya trauma, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1)Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus trauma akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak (Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien trauma harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
17

matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal


terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi urin dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien trauma timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
(4) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang
lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan
klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya trauma
dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(5)Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6)Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien trauma yaitu timbul ketakutan akan
kecacatan akibat traumanya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien trauma daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
trauma, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat
trauma (Ignatavicius, Donna D, 1995).

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
18

(8) Pola Reproduksi Seksual


Dampak pada klien trauma yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri
yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk
jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9)Pola Penanggulangan Stress
Pada klien trauma timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping
yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
(10) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien trauma tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien
4. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1)Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
(b)Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus trauma biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
19

(2)Secara sistemik dari kepala sampai kelamin


(a)Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala.
(b) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(c) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(d) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
(e) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri
tekan.
(f) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(g) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak
pucat.
(h) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(i) Paru
(1) Inspeksi: pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi: pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi: suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi: suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
(j) Jantung
(1) Inspeksi: tidak tampak iktus jantung.

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
20

(2) Palpasi : nadi meningkat, iktus tidak teraba.


(3) Auskultasi: suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(k) Abdomen
(1)Inspeksi: bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2)Palpasi : tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3)Perkusi: suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4)Auskultasi : peristaltik usus normal  20 kali/menit.
(l) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema,
nyeri tekan
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai
status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler  5 P yaitu Pain, Palor,
Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal
adalah:
(1)Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
21

(2) Feel (palpasi)


Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan
yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary
refill time  Normal 3 – 5 “
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama
disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
1) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu
AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
22

tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pa thologi yang dicari


karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas
dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai
dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.
(3)Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4)Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1)Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
(2)Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah
di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3)Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
(4)Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1)Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2)Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3)Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1)Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
(2)Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
23

diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.


(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan trauma.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat trauma.. (Ignatavicius, Donna
D, 1995)
B. Diagnosa Keperawatan yang muncul:
1. Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan perubahan sensasi,
kerusakan muskuoskeletal dan neuromuskuler
2. Nyeri Kronis berhubungan dengan pelepasan mediator kimia/Agenspesifik
3. Defisit Cairan Tubuh berhubungan dengan dehidrasi,intake serat dan
cairan kurang, penurunan motilitas gastrointestnal
4. Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan difusi O2 terhambat dan
oedema Paru
5. Bersihan Jalan Nafas tidak efektif berhubungan dengan eksudat di
alveolus, dan obstruksi jalan nafas
C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
1. 1. Nyeri Kronis a. Comfort level Pain Manajemen
b. Pain control.
berhubungan 1.Monitor kepuasan pasien
c. Pain level
dengan Kriteria hasil: terhadap manajemen nyeri
DS: 1.Tidak ada gangguan 2.Tingkatkan istirahat dan
a.Kelelahan tidur tidur yang adekuat
b.Takut 2.Tidak ada gangguan 3.Kelola anti analgetik,
ketidakmampuan konsentrasi 4.Jelaskan pada pasien
fisik-psikososial 3.Tidak ada gangguan penyebab nyeri
kronis hubungan 5.Lakukan tehnik nonfarma-

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
24

DO: interpersonal kologis (relaksasi, masase


a.Atropi otot 4.Tidak ada ekspresi punggung)
b.Gangguan aktifitas menahan nyeri dan
c.Anoreksia ungkapan secara
d.Perubahan pola verbal
tidur 5.Tidak ada tegangan
e. Respon simpatis otot
(suhu dingin,
perubahan posisi
tubuh , hipersensitif,
perubahan berat
badan)
222. Kerusakan a. Tissue Integrity : 1. Kaji kemampuan pasien
integritas Skin and Mucous dalam mobilisasi
jaringan Membranes 2. Latih pasien dalam
berhubungan dengan: b. Wound Healing : pemenuhan kebutuhan
Gangguan sirkulasi, primer dan ADLs secara mandiri
iritasi kimia sekunder sesuai kemampuan
(ekskresi dan sekresi Kriteria hasil: 3. Dampingi dan Bantu
tubuh, medikasi), 1.Perfusi jaringan pasien saat mobilisasi
deficit cairan, normal dan bantu penuhi
kerusakan mobilitas 2.Tidak ada tanda- kebutuhan ADLs ps.
fisik, keterbatasan tanda infeksi 4. Berikan alat Bantu jika
pengetahuan, faktor 3.Ketebalan dan klien memerlukan.
mekanik (tekanan, tekstur jaringan 5. Ajarkan pasien
gesekan),kurangnya normal bagaimana merubah
nutrisi, radiasi, faktor 4.Menunjuk posisi dan berikan
suhu (suhu yang kan pemahaman bantuan jika diperlukan
ekstrim) dalam proses
DO : perbaikan kulit dan
- Kerusakan jaringan mencegah terjadinya

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
25

(membran mukosa, cidera berulang


integumen, 5. Menunjuk
subkutan) kan terjadinya proses
penyembuhan luka
3. 3 Defisit Volume a. Fluid balance 1.Pertahankan catatan intake
Cairan b. Hydration dan output yang akurat
Berhubungan c. Nutritional Status : 2.Monitor status hidrasi
dengan: Food (kelembaban membran
a.Kehilangan volume and Fluid Intake mukosa, nadi adekuat,
cairan secara aktif Kriteria hasil: tekanan darah ortostatik ),
b. Kegagalan 1. Mempertahan kan jika diperlukan
mekanisme urine output sesuai 3.Monitor hasil lab yang
pengaturan dengan usia dan BB, sesuai dengan retensi cairan
DS : Haus BJ urine normal, (BUN , Hmt , osmolalitas
DO: 2.Tekanan darah, urin, albumin, total protein )
a. Penurunan turgor nadi,suhu tubuh dalam 4.Monitor vital sign setiap
kulit/lidah batas normal 15menit – 1jam
b.Membran mukosa/ 3.Tidak ada tanda 5.Kolaborasi pemberian
kulit kering tanda dehidrasi, cairan IV
c. Peningkatan 4.Elastisitas 6.Monitor status nutrisi
denyut nadi, turgor kulit baik, 7.Berikan cairan oral
penurunan tekanan membran mukosa 8.Berikan penggantian
darah, penurunan lembab, tidak ada rasa nasogatrik sesuai output (50
volume/tekanan nadi haus yang berlebihan – 100cc/jam)
d. Pengisian vena 5.Orientasi terhadap 9.Dorong keluarga untuk
menurun waktu dan tempat baik membantu pasien makan
e.Perubahan status 6.Jumlah dan 10.Kolaborasi dokter jika
mental iramapernapasan tanda cairan berlebih
f.Konsentrasi urine dalam batas normal muncul meburuk
meningkat 7.Elektrolit, Hb, Hmt 11.Atur kemungkinan
g.Temperatur tubuh dalam batas normal tranfusi

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
26

meningkat 8.pH urin dalam batas 12.Persiapan untuk tranfusi


h.Kehilangan berat normal 13.Pasang kateter jika perlu
badan 9.Intake oral dan 14.Monitor intake dan urin
secara tiba-tiba intravena adekuat output setiap 8 jam
i.Penurunan urine
output
j.HMT meningkat
k.Kelemahan
4. 4 Pola Nafas tidak a. Respiratory status : 1.Posisikan pasien untuk
efektif Ventilation memaksimalkan ventilasi
berhubungan dengan: b. Respiratory status : 2.Pasang mayo bila perlu
a.Hiperventilasi Airway patency 3.Lakukan fisioterapi dada
b.Penurunan energi/ c.Vital sign Status jika perlu
kelelahan Kriteria hasil: 4.Keluarkan sekret dengan
c.Perusakan 1. Mendemons- batuk atau suction
/pelemahan muskulo- trasikan batuk efektif 5.Auskultasi suara nafas,
skeletal dan suara nafas yang catat adanya suara tambahan
d.Kelelahan otot bersih, 6.Berikan bronkodilator :
pernafasan 2.Tidak ada sianosis 7.Berikan pelembab udara
e.Hipoventilasi dan dyspneu (mampu Kassa basah NaCl Lembab
sindrom mengeluar-kan 8.Atur intake untuk cairan
f.Nyeri sputum, mampu mengoptimalkan
g.Kecemasan bernafas dg mudah, keseimbangan.
h.Disfungsi tidakada pursed lips) 9.Monitor respirasi dan
Neuromuskuler 3.Menunjukkan jalan status O2
i.Obesitas nafas yang paten 10.Bersihkan mulut, hidung
j.Injuri tulang (klien tidak merasa dan secret Trakea
belakang tercekik, irama nafas, 11.Pertahankan jalan nafas
DS: frekuensi pernafasan yang paten
a.Dyspnea dalam rentang normal, 12.Observasi adanya tanda
b.Nafas pendek tidak ada suara nafas tanda hipoventilasi

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
27

DO: abnormal) 13.Monitor adanya


a.Penurunan tekanan 4.Tanda Tanda vital kecemasan pasien
inspirasi/ekspirasi dalam rentang normal terhadap oksigenasi
b.Penurunan (tekanan darah, nadi, 14.Monitor vital sign
pertukaran udara per pernafasan) 15.Informasikan pada
menit pasien dan keluarga
c.Menggunakan otot tentang tehnik relaksasi
pernafasan tambahan untuk memperbaiki pola
d.Orthopnea nafas.
e.Pernafasan pursed- 16.Ajarkan bagaimana
lip batuk efektif
f.Tahap ekspirasi 17.Monitor pola nafas
berlangsung sangat
lama
g.Penurunan
kapasitas vital
- Respirasi: < 11 – 24
x /mnt
5. 5 Bersihan Jalan a.Respiratory status : 1.Pastikan kebutuhan oral /
Nafas tidak Ventilation tracheal suctioning.
efektif berhubungan b.Respiratory status : 2.Berikan O2 ……l/mnt,
dengan: Airway patency metode………
a. Infeksi, disfungsi c.Aspiration Control 3.Anjurkan pasien untuk
neuromuskular, kriteria hasil : istirahat dan napas dalam
hyperplasia dinding 1.Mendemonstra- 4. Posisikan pasien untuk
bronkus, alergi jalan sikan batuk efektif dan memaksimalkan ventilasi
nafas, asma, trauma suara nafas yang 5.Lakukan fisioterapi dada
b.Obstruksi jalan bersih, tidak ada jika perlu
nafas : spasme jalan sianosis dan dyspneu 6.Keluarkan sekret dengan
nafas, sekresi (mampu batuk atau suction
tertahan, banyaknya mengeluarkan sputum, 7. Auskultasi suara nafas,

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
28

mukus, adanya jalan bernafas dengan catat adanya suara


nafas buatan, sekresi mudah, tidak ada tambahan
bronkus, adanya pursed lips) 8.Berikan bronkodilator :
eksudat di alveolus, 2.Menunjukkan jalan 9.Monitor status
adanya benda asing nafas yang paten hemodinamik
di jalan nafas. (klien tidak merasa 10.Berikan pelembab udara
DS: tercekik, irama nafas, Kassa basah NaCl Lembab
- Dispneu frekuensi pernafasan 11.Berikan antibiotik :
DO: dalam rentang normal, 12.Atur intake untuk cairan
a.Penurunan suara tidak ada suara nafas mengoptimalkan
nafas abnormal) keseimbangan.
b.Orthopneu 3.Mampu mengidenti- 13.Monitor respirasi dan
c.Cyanosis fikasikan dan status O2
d.Kelainan suara mencegah faktor yang 14.Pertahankan hidrasi yang
nafas (rales, penyebab. adekuat untuk
wheezing) 4.Saturasi O2 dalam mengencerkan sekret
e.Kesulitan berbicara batas normal 15.Jelaskan pada pasien dan
f.Batuk, tidak 5.Foto thorak dalam keluarga tentang
efekotif atau tidak batas normal penggunaan peralatan : O2,
ada Suction, Inhalasi
g.Produksi sputum
h.Gelisah
i.Perubahan
frekuensi dan irama
nafas

D. Evaluasi
1. Pola nafas menjadi efektif
2. Bersihan jalan nafas efektif
3. Peningkatan cairan tubuh
4. Nyeri kronis menurun
Program Studi Ilmu Keperawatan
STIKes Sumatera Utara
29

5. Tidak terjadi kerusakan integritas jaringan

2.3 Resume EBN: Efektifitas dari Tindakan Chest Physiotherapy pada


Individu dengan Gangguan Faal Paru (oleh: Akhmad Alfajri, 2014)

Gangguan pada kasus paru dewasa ini merupakan masalah yang besar dan
dialami hampir di seluruh dunia. Gangguan pada kasus faal paru terbagi menjadi 2
yakni restriksi dan obstruksi. Restriksi adalah gangguan pengembangan paru oleh
sebab apapun. Paru menjadi kaku, daya tarik ke dalam lebih kuat sehingga
sangkar thorax menyempit dan volume paru mengecil. Sedangkan obstruksi
adalah gangguan saluran napas baik stuktural (anatomis) maupun fungsional yang
menyebabkan perlambatan aliran udara respirasi.
Chest physiotherapy merupakan salah satu bentuk tindakan seorang
fisioterapis dalam pelayanan kesehatan terhadap individu yang mengalami
gangguan fungsi paru secara restriksi maupun obstruksi. Menurut Anderson et al
(2002) dalam Clarice et al (2009) chest physiotherapy dalam arti luas yang
digunakan sebagai suatu teknik untuk membantu menghilangkan sekresi
(secretions) di saluran pernafasan dan meningkatkan fungsi pernafasan serta
mencegah collapse pada paru-paru. Macam tindakan chest physiotherapy yakni,
postural drainage, percussion, vibration, shaking, coughing exercise, breathing
control exercise dan chest mobilization.
Chest mobilization merupakan salah satu teknik dalam komponen chest
physiotherapy, teknik ini bertujuan untuk memperbaiki struktur sangkar thorax
yang mengalami gangguan posture, sehingga memudahkan otot-otot pernafasan
untuk berkontraksi serta membuat mudahnya pengembangan dari organ pulmonal
saat inspirasi dan ekspirasi. Chest mobilization dibagi menjadi dua teknik, yakni
passive chest mobilization dan active chest mobilization. Pada passive chest
mobilization biasa di aplikasikan kepada pasien yang berada dalam kondisi tidak
sadar seperti di ICU (gambar 7A terlampir pada jurnal) sedangkan active chest
mobilization (gambar 7A terlampir pada jurnal) dapat diaplikasikan sendiri oleh
pasien dengan dampingan seorang fisioterapis.

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara
30

Tindakan chest mobilization menurut Vibekk (1991) sangat baik


digunakan untuk keperluan peningkatan dari mobilitas pada tulang-tulang
penopang pernafasan, hal tersebut dapat dilakukan pada pasien yang mengalami,
gannguan posture, rigidity, gangguan mobilitas pada gerakan thoracic spine dan
costa.
Pada manajamen kasus dalam karya ilmiah ini, penderita mengalami
bersihan jalan nafas yang tidak efektif dikarenakan adanya obstruksi jalan
masuknya udara pada pernafasan. Untuk mengatasinya, perawat memanfaatk
teknik chest mobilization yang bertujuan untuk mmeparbaiki struktur thorax
sehingga sputum yang menyebabkan gangguan pernafasan dapat segera diatasi.
Teknik chest mobilization yang digunakan adalah metode Trunk Extension, Ribs
torsion dan Lateral Stretching technique seperti pada gambar 7 pada jurnal.
Teknik ini diharapkan akan mempercepat perbaikan jala nafas pada pasien yang
dipilih menja di kasus.

Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai