Bab 2 Terakhir
Bab 2 Terakhir
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teoritis Kasus
2.1.1 Defenisi
Pada tulang leher, punggung dan pinggang ruasnya tetap tinggal jelas
terpisah selama hidup dan disebut ruas yang dapat bergerak. Ruas pada dua daerah
bawah, sakrum dan koksigeus, pada masa dewasa bersatu membentuk dua tulang.
Ini disebut ruas tak bergerak (Pearce, 2009).
Dengan perkecualian dua ruas pertama dari tulang leher maka semua ruas
yang dapat bergerak memiliki ciri khas yang sama. Seperti vertebra terdiri atas
dua bagian, yaitu anterior di sebut badan vertebra dan yang posterior disebut arkus
neuralis yang melingkari kanalis neuralis (foramen vertebra atau saluran sumsum
tulang belakang) yang dilalui sumsum tulang belakang (Syafuddin, 2009).
Vertebra Servikalis atau ruas tulang leher adalah yang paling kecil.
Kecuali yang pertama dan kedua, yang berbentuk istimewa maka ruas tulang leher
pada umumnya mempunyai ciri yang berikut: badannya kecil dan persegi panjang,
lebih panjang dari samping ke samping daripada dari depan ke belakang,
lengkungnya besar. Prosesus spinosus atau taju duri di ujung memecah dua atau
bifida. Prosesus transversusnya atau taju sayap berlubang karena banyak foramina
untuk lewatnya arteri vertebralis (Syafuddin, 2009).
2.1.2 Etiologi
4. Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesori
untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Ekstremitas atas
mengambil posisi yang sama seperti pada lesi C6. Fleksi jari tangan biasanya
berlebihan ketika kerja refleks kembali. Menurut Price, (2002 ) manifestasi klinik
pada trauma adalah sebagai berikut:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan
adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan
sekitarnya.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir
pada daerah trauma dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
jaringan sekitarnya.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar trauma.
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang trauma, nyeri atau spasme otot.
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada trauma tulang panjang.
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan.
i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma
dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
2.2 Penatalaksanaan
2.2.1 Medis
a. Pengertian Penyakit
Cedera servikal merupakan cedera tulang belakang yang paling sering
menimbulkan kecacatan dan kematian, dari beberapa penelitian terdapat korelasi
antara tingkat cedera servikal dengan morbiditas dan mortalitas, yaitu semakin
tinggi tingkat cedera servikal semakin tinggi pula morbiditas dan mortalitasnya
(Milby, 2008). Sekitar 10% pasien dengan penurunan kesadaran yang dikirim ke
Instalasi Gawat Darurat akibat kecelakaan lalu lintas selalu menderita cedera
servikal, baik cedera pada tulang servikal, jaringan penunjang, maupun cedera
pada cervical spine. Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh adalah penyebab sebagian
besar trauma tulang servikal. Trauma pada servikal subaksis (C3–7) lebih umum
terjadi dibanding servikal C1 dan C2. Trauma servikal sering terjadi pada pasien
dengan riwayat kecelakaan kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi, trauma
pada wajah dan kepala, terdapat defisit neurologis, nyeri pada leher, dan trauma
multiple (Weishaupt).
Pemeriksaan diagnostik menurut Muttaqin (2002) dan pemeriksaan
penunjang trauma servikal yaitu:
1) Sinar X spinal
Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (trauma, disloksi) untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
2) CT scan
Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
3) MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
4) Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
patologisnya tidak jelas atau di curigai adanya oklusi pada ruang subarakhnoid
medulla spinalis.
2.2.2 Keperawatan
A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal pada proses keperawatan dan merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data berbagai sumber data yang
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
Keberhasilan Proses Keperawatan Sangat Bergantuang Pada Tahap Ini. Tahap Ini
1. Pengkajian Primer
Data Subyektif:
Riwayat Penyakit Sekarang:
a) Mekanisme Cedera
b) Kemampuan Neurologi
c) Status Neurologi
d) Kestabilan Bergerak
e) Inspeksi Back / Posterior Surface: kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan
deformitas pada tulang belakang
3. Pengumpulan Data
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus trauma servikalis adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari trauma ,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini
bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
D. Evaluasi
1. Pola nafas menjadi efektif
2. Bersihan jalan nafas efektif
3. Peningkatan cairan tubuh
4. Nyeri kronis menurun
Program Studi Ilmu Keperawatan
STIKes Sumatera Utara
29
Gangguan pada kasus paru dewasa ini merupakan masalah yang besar dan
dialami hampir di seluruh dunia. Gangguan pada kasus faal paru terbagi menjadi 2
yakni restriksi dan obstruksi. Restriksi adalah gangguan pengembangan paru oleh
sebab apapun. Paru menjadi kaku, daya tarik ke dalam lebih kuat sehingga
sangkar thorax menyempit dan volume paru mengecil. Sedangkan obstruksi
adalah gangguan saluran napas baik stuktural (anatomis) maupun fungsional yang
menyebabkan perlambatan aliran udara respirasi.
Chest physiotherapy merupakan salah satu bentuk tindakan seorang
fisioterapis dalam pelayanan kesehatan terhadap individu yang mengalami
gangguan fungsi paru secara restriksi maupun obstruksi. Menurut Anderson et al
(2002) dalam Clarice et al (2009) chest physiotherapy dalam arti luas yang
digunakan sebagai suatu teknik untuk membantu menghilangkan sekresi
(secretions) di saluran pernafasan dan meningkatkan fungsi pernafasan serta
mencegah collapse pada paru-paru. Macam tindakan chest physiotherapy yakni,
postural drainage, percussion, vibration, shaking, coughing exercise, breathing
control exercise dan chest mobilization.
Chest mobilization merupakan salah satu teknik dalam komponen chest
physiotherapy, teknik ini bertujuan untuk memperbaiki struktur sangkar thorax
yang mengalami gangguan posture, sehingga memudahkan otot-otot pernafasan
untuk berkontraksi serta membuat mudahnya pengembangan dari organ pulmonal
saat inspirasi dan ekspirasi. Chest mobilization dibagi menjadi dua teknik, yakni
passive chest mobilization dan active chest mobilization. Pada passive chest
mobilization biasa di aplikasikan kepada pasien yang berada dalam kondisi tidak
sadar seperti di ICU (gambar 7A terlampir pada jurnal) sedangkan active chest
mobilization (gambar 7A terlampir pada jurnal) dapat diaplikasikan sendiri oleh
pasien dengan dampingan seorang fisioterapis.