1. Profesi Bidan
Poerwadarminto (2005) memberi pengertian bahwa profesi adalah suatu lingkungan
pekerjaan dalam masyarakat yang memerlukan syarat-syarat kecakapan dan kewenangan.
Pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang ada di
dalam masyarakat atau lingkungan pekerjaan yang memerlukan syarat-syarat kecakapan
dan mempunyai kewenagan tertentu. Sofyan (2005) menekankan bahwa suatu profesi
dikatakan profesional apabila memiliki pengetahuan dan kemampuan yang dihasilkan
pendidikan yang cukup untuk memenuhi kompetensi profesionalnya. Ikatan Bidan
Indonesia (IBI) dalam Sofyan (2005) menetapkan bahwa bidan Indonesia adalah seorang
perempuan yang lulus dari pendidikan Bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi
di wilayah Negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk
diregister (STR atau Surat Tanda Registrasi), sertifikasi (SIB atau Surat Ijin Bidan) dan
atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan.
Konsil Kebidanan
Secara konseptual konsil merupakan badan yang dibentuk dalam rangka melindungi
masyarakat penerima jasa pelayanan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Konsil
Kebidanan Indonesia merupakan lembaga otonom dan independen, bertanggung jawab
kepada Presiden sebagai kepala negara. Di Indonesia, salah satu tenaga kesehatan yang
telah memiliki konsil yaitu perawat dan apoteker, selain itu tenaga medis yaitu dokter.
Dalam hal ini konsil sangat berperan dalam hal pengaturan dan pengawasan kepada tenaga
perawat dan apoteker serta dokter dalam menjalan praktik di masyarakat. Latar belakang
dibentuknya konsil kedokteran, yaitu untuk melindungi masyarakat, membina profesi dan
memberikan kepastian hukum kepada penerima jasa pelayanan kesehatan dan pemberi jasa
pelayanan kesehatan. Begitu pula yang menjadi latar belakang dibentuknya Konsil
Keperawatan yaitu meningkatkan kualitas praktik keperawatan dan juga kualitas
pendidikan keperawatan. Salah satu tugas beratnya adalah menata pendidikan dan praktik
keperawatan agar kembali ke jalur profesionalnya yang benar serta perlindungan hukum
terhadap perawat yang melakukan praktik keperawatannya serta masyarakat selaku
pengguna jasa layanan keperawatan. Di negara-negara yang sudah maju, pengaturan dan
pengawasan suatu profesi merupakan tanggung jawab dari organisasi profesi melalui suatu
lembaga konsil keprofesian yang mandiri dan dibentuk berdasarkan undang-undang.
Contoh negara yang telah memiliki konsil kebidanan yaitu Belanda, Amerika Serikat,
Inggris, dan Spanyol. Secara umum tugas dari konsil bidan di negara-negara yang telah
membentuk konsil tersebut yaitu mengatur sertifikasi bidan, sebagai pusat data bidan,
mengatur program pelatihan kepada bidan, memberikan pertimbangan untuk memberikan
skorsing/suspensi kepada bidan, dan mengawasi efektifitas dari keprofesian yang
dijalankan oleh para bidan. Selain itu konsil ini juga yang melakukan pencatatan (record)
terhadap bidan yang berpraktik dalam suatu wilayah. Di Indonesia, melalui UU tentang
Kebidanan mengatur mengenai Konsil Kebidanan. Berdasarkan Pasal 1 angka 18, Konsil
Kebidanan adalah bagian dari konsil tenaga kesehatan Indonesia yang tugas, fungsi,
wewenang, dan keanggotaannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Karakteristik Profesionalisme
Profesionalisme mencerminkan sikap seseorang terhadap profesinya. Secara sederhana,
profesionalisme yang diartikan perilaku, cara, dan kualitas yang menjadi ciri suatu profesi.
Seseorang dikatakan professional apabila pekerjannya memiliki ciri standar teknis atau
etika suatu profesi (Oerip dan Uetomo, 2000 : 264 - 265). Ada empat sifat yang dianggap
mewakili sikap profesionalisme menurut Harefa (2004).sebagai berikut :
1. Keterampilan Keterampilan yang tinggi yang didasarkan pada pengetahuan teoritis dan
sistematis, Kemampuan/keterampilan adalah kapasitas seorang individu untuk melakukan
beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Keterampilan berasal dari kata terampil yang berarti
cakap, mampu, dan cekatan dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaannya. Keterampilan
yang didasari pengetahuan teoritis dan sistematis merupakan suatu kesatuan yang
terorganizir yang biasanya terdiri dari fakta dan prosedur yang diterapkan secara langsung
terhadap untuk menunjang keterampilan yang dimiliki.
2. Pemberian jasa dan pelayanan Pemberian jasa dan pelayanan yang altruitis artinya lebih
berorientasi kepada kepentingan umum di bandingkan dengan kepentingan pribadi, seorang
yang profesional dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang alturitis agar dapat
menjunjung tinggi profesionalisme. Pemberian jasa dan pelayanan juga harus mampu
memperlakuan yang sama atas pelayanan yang diberikan. Secara konsisten memberikan
pelayanan yang berkualitas kepada semua pihak tanpa memandang suku, ras, status sosial
dan sebagainya.
3. Pengawasan Adanya pengawasan yang ketat atas perilaku pekerja melalui kode-kode etik
yang dihayati, sehingga setiap profesi harus siap menerima tanggungjawab atas apapun
yang ia kerjakan. Setiap profesi harus memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip yang
ditetapkan institusi. Pengawasan terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan kontrol
terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan menyampaikannya secara
transparan kepada masyarakat.
4. Sistem balas jasa Sistem balas jasa (berupa uang, promosi, jabatan dan kehormatan)
yang merupakan lambang prestasi kerja seorang yang memiliki profesi. Sistem balas jasa
merupakan salah satu komponen penting jika kita membicarakan masalah profesi dan kerja.
Sistem balas jasa, merupakan sesuatu yang diterima pegawai sebagai penganti kontribusi
jasa profesi. sistem balas jasa diharapkan mampu meningkatkan sikap profesionalisme
pegawai.
Kualitas Pelayanan Menurut Kotler dan Armstrong (2012) berpendapat bahwa kualitas
pelayanan harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan.
Lewis dan Booms (Tjiptono, 2008) mengatakan, kualitas pelayanan bisa diartikan sebagai
ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan ekspektasi
pelanggan. Dalam penelitian Pasuraman et al. (Bustami, 2011), terdapat lima dimensi
utama yang disusun sesuai urutan tingkat kepentingan relatifnya yang disebut dengan
Servqual (Service Quality). Kelima dimensi tersebut adalah sebagai berikut.
a. Kehandalan (reliability) Setiap pelayanan memerlukan bentuk pelayanan yang handal,
artinya dalam memberikan pelayanan, setiap pegawai diharapkan memiliki kemampuan
dalam pengetahuan, keahlian, kemandirian, penguasaan dan profesionalisme kerja yang
tinggi, sehingga aktivitas kerja yang dikerjakan menghasilkan bentuk pelayanan yang
memuaskan, tanpa ada keluhan dan kesan yang berlebihan atas pelayanan yang diterima
oleh masyarakat
b. Empati (empathy) Setiap kegiatan atau aktivitas pelayanan memerlukan adanya
pemahaman dan pengertian dalam kebersamaan asumsi atau kepentingan terhadap suatu hal
yang berkaitan dengan pelayanan. Pelayanan akan berjalan dengan lancar dan berkualitas
apabila setiap pihak yang berkepentingan dengan pelayanan memiliki adanya rasa empati
dalam menyelesaikan atau mengurus atau memiliki komitmen yang sama terhadap
pelayanan. Empati dalam suatu pelayanan adalah adanya suatu perhatian, keseriusan,
simpatik, pengertian dan keterlibatan pihak - pihak yang berkepentingan dengan pelayanan
untuk mengembangkan dan melakukan aktivitas pelayanan sesuai dengan tingkat
pengertian dan pemahaman dari masing-masing pihak tersebut.
c. Jaminan (assurance) Setiap bentuk pelayanan memerlukan adanya kepastian atas
pelayanan yang diberikan. Bentuk kepastian dari suatu pelayanan sangat ditentukan oleh
jaminan dari pegawai yang memberikan pelayanan, sehingga orang yang menerima
pelayanan merasa puas dan yakin bahwa segala bentuk urusan pelayanan yang dilakukan
atas tuntas dan selesai sesuai dengan kecepatan, ketepatan, kemudahan, kelancaran dan
kualitas layanan yang diberikan.
d. Daya tanggap (responsiveness) Setiap pegawai dalam memberikan bentukbentuk
pelayanan, mengutamakan aspek pelayanan yang sangat mempengaruhi perilaku orang
yang mendapat pelayanan, sehingga diperlukan kemampuan daya tanggap dari pegawai
untuk melayani masyarakat sesuai dengan tingkat penyerapan, pengertian, ketidaksesuaian
atas berbagai hal bentuk pelayanan yang tidak diketahuinya.
e. Bukti fisik (tangible) Pengertian bukti fisik dalam kualitas layanan adalah bentuk
aktualisasi nyata secara fisik dapat terlihat atau digunakan oleh pegawai sesuai dengan
penggunaan dan pemanfaatannya yang dapat dirasakan membantu pelayanan yang diterima
oleh orang yang menginginkan pelayanan, sehingga puas atas pelayanan yang dirasakan,
yang sekaligus menunjukkan prestasi kerja atas pemberian pelayanan yang diberikan.
Pengertian peran bidan sebagai praktisi yang otonom, teori otonomi, akuntabilitas, regulasi
Teori Akuntabilitas
Semakin meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan bersih (good governance dan clean government) telah
mendorong pengembangan dan penerapan system pertanggungjawaban yang jelas,
tepat, teratur, dan efektif yang dikenal dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (SAKIP).
Penerapan sistem tersebut bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bertanggung
jawab dan bebas dari praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Terdapat
berbagai definisi tentang akuntabilitas, yang diuraikan sebagai berikut :
1. Sjahruddin Rasul (2000) menyatakan bahwa akuntabilitas didefinisikan secara
sempit sebagai kemampuan untuk memberi jawaban kepada otoritas yang lebih
tinggi atas tindakan “seseorang” atau “sekelompok orang” terhadap masyarakat
secara luas atau dalam suatu organisasi. Dalam konteks institusi pemerintah,
“seseorang” tersebut adalah pimpinan instansi pemerintah sebagai penerima
amanat yang harus memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan amanat
tersebut kepada masyarakat atau publik sebagai pemberi amanat.
2. J.B. Ghartey (1998) menyatakan bahwa akuntabilitas ditujukan untuk mencari
jawaban atas pertanyaan yang berhubungan dengan stewardship yaitu apa, mengapa, siapa,
ke mana, yang mana, dan bagaimana suatu pertanggungjawaban harus dilaksanakan.
3. Ledvina V. Carino (2002) mengatakan bahwa akuntabilitas merupakan suatu evolusi
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh seorang petugas baik yang masih berada pada
jalur otoritasnya atau sudah keluar jauh dari tanggung jawab dan kewenangannya. Setiap
orang harus benar-benar menyadari bahwa setiap tindakannya bukan hanya akan memberi
pengaruh pada dirinya sendiri saja. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa tindakannya
juga akan membawa dampak yang
tidak kecil pada orang lain. Dengan demikian, dalam setiap tingkah lakunya seorang
pejabat pemerintah harus memperhatikan lingkungannya.
4. Akuntabilitas juga dapat berarti sebagai perwujudan pertanggungjawaban seseorang atau
unit organisasi, dalam mengelola sumber daya yang telah diberikan dan dikuasai, dalam
rangka pencapaian tujuan, melalui suatu media berupa laporan akuntabilitas kinerja secara
periodik. Sumber daya dalam hal ini merupakan sarana pendukung yang diberikan kepada
seseorang atau unit organisasi dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas yang telah
dibebankan kepadanya. Wujud dari sumber daya tersebut pada umumnya berupa sumber
daya manusia, dana, sarana prasarana, dan metode kerja. Sedangkan pengertian sumber
daya dalam konteks
negara dapat berupa aparatur pemerintah, sumber daya alam, peralatan, uang, dan
kekuasaan hukum dan politik.
5. Akuntabilitas juga dapat diuraikan sebagai kewajiban untuk menjawab dan
menjelaskan kinerja dari tindakan seseorang atau badan kepada pihak-pihak yang memiliki
hak untuk meminta jawaban atau keterangan dari orang atau badan yang telah diberikan
wewenang untuk mengelola sumber daya tertentu. Dalam konteks ini, pengertian
akuntabilitas dilihat dari sudut pandang pengendalian dan tolak ukur pengukuran kinerja.
Polidano (1998) menawarkan kategorisasi baru yang disebutnya sebagai akuntabilitas
langsung dan akuntabilitas tidak langsung. Akuntabilitas tidak langsung merujuk pada
pertanggung jawaban kepada pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen, atau kelompok
klien tertentu, sedangkan akuntabilitas langsung berkaitan dengan pertanggung jawaban
vertikal melalui rantai komando tertentu.
Polidano lebih lanjut mengidentifikasi 3 elemen utama akuntabilitas, yaitu:
1. Adanya kekuasaan untuk mendapatkan persetujuan awal sebelum sebuah keputusan
dibuat. Hal ini berkaitan dengan otoritas untuk mengatur perilaku para birokrat dengan
menundukkan mereka di bawah persyaratan prosedural tertentu serta mengharuskan adanya
otorisasi sebelum langkah tertentu diambil. Tipikal akuntabilitas seperti ini secara
tradisional dihubungkan dengan badan/lembaga pemerintah pusat (walaupun setiap
departemen/lembaga dapat saja menyusun aturan atau standarnya masing-masing).
2. Akuntabilitas peran, yang merujuk pada kemampuan seorang pejabat untuk menjalankan
peran kuncinya, yaitu berbagai tugas yang harus dijalankan sebagai kewajiban utama. Ini
merupakan tipe akuntabilitas yang langsung berkaitan dengan hasil sebagaimana
diperjuangkan paradigma manajemen publik baru (new public management). Hal ini
mungkin saja tergantung pada target kinerja formal yang berkaitan dengan gerakan
manajemen publik baru.
3. Peninjauan ulang secara retrospektif yang mengacu pada analisis operasi suatu
departemen setelah berlangsungnya suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga eksternal
seperti kantor audit, komite parlemen, ombudsmen, atau lembaga peradilan. Bisa juga
termasuk badan-badan di luar negara seperti media massa dan kelompok penekan. Aspek
subyektivitas dan ketidakterprediksikan dalam proses peninjauan ulang itu seringkali
bervariasi, tergantung pada kondisi dan aktor yang menjalankannya.
Setiap organisasi menginginkan terus berkembang untuk meningkatkan eksistensinya
dengan berbagai cara dalam memenuhi tuntutan lingkungannya. Untuk memenuhi
lingkungan berarti perlu adanya upaya organisasi untuk dapat menggunakan dukungan
kemampuan dan memperhatikan kelemahan untuk memanfaatkan peluang dan mengatasi
tantangan yang kompleks. Keberadaan organisasi salah satunya tergantung akuntabilitasnya
dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Istilah akuntabilitas tidak terlepas dari istilah
akunting ataupun akuntansi yang mempunyai makna laporan, pertanggungjawaban,
perhitungan/nilai. Pengukuran nilai agak menjadi perhatian dalam akuntabilitas
dikarenakan didasari oleh sistem akuntasi (Walters, Aydelotte, Miller, 2010).
Dalam pemahaman selanjutnya, akuntabilitas dikaitkan dengan sikap anggota organisasi
didalam melaksanakan tugasnya, dengan memperhatikan keberlangsungan organisasi di
dalam melaksanakan tugasnya, dengan memperhatikan keberlangsungan organisasi dalam
menghadapi persaingan dengan organisasi lain ke depan, dengan tidak mengurangi
perjalanan sejarah dan organisasi tersebut. Hal ini menjadi menarik dimana akuntablitas
yang dapat dipercaya untuk membantu revitalisasi, memberi kekuatan bersaing,
memperbaiki kualitas produk dan produk pelayanan perusahaan. Akan meningkatkan reaksi
organisasi terhadap kebutuhan dan keinginan pelanggan atau pemilih, mengurangi
penyalahgunaan/penyimpangan (Bachtiar Arif, 2008). Akuntabilitas merupakan sikap yang
berkelanjutan untuk bertanya apa yang dapat diperbuat untuk membangkitkan keadaan dan
hasrat/menginginkan pencapaian prestasi hasil. Ini merupakan proses tindakan melihat,
mendapatkan sesuatu, memecahkan sesuatu, dan yang harus dikerjakan ini merupakan
tingkatan kepemilikan termasuk di dalamnya pembuatan, pemelihaaran/ penyimpanan dan
secara proaktif menjawab untuk janji secara personal. Merupakan pandangan ke depan
yang mencakup kedua keadaan sekarang dan usaha masa depan daripada reaksi dan
penjelasan tentang sejarah masa lalu (Bachtiar Arif, 2008). Pendapat lain yang
menitikberatkan akuntabilitas sebagai kewajiban pada pegawai, akuntabilitas adalah
kewajiban dari pegawai untuk memberikan seluruh unsur/element yang merupakan nilai
kompensasi yang diberikan dan juga kewajiban untuk membuat pernyataan/janji keluaran
yang spesifik dengan tidak mengejutkan.
Terminologi akuntabilitas dilihat dari sudut pandang sebagai jawaban ketika ada
permintaan dari pihak lain tentang pencapaian sesuatu dan pelaporan balik
(memberitahukan) hasil pencapaian tersebut dengan menjelaskan bagaimana
menyelenggarakan atau melaksanakannya. Tampak adanya kegiatan yang dilakukan dalam
penyelenggaraan dan hasil akhir yang ingin diketahui. Hal tersebut menunjukkan dapat
diketahui bahwa apa yang dikerjakan, bagaimana mengerjakan, dan sampai pada tingkat
mana penyelesaian pekerjaan tersebut. Akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban
terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik
siapa dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain “apa yang
harus dipertanggungjawabkan, kepada siapa pertanggungjawaban tersebut diserahkan, siapa
yang bertanggung jawab terhadap berbagai bagian kegiatan dalam masyarakat, apakah
pertanggungjawaban berjalan seiring dengan kewenangan yang memadai, dan lainnya
(Lindsay Amiel, 2014).
Akuntabilitas yang merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam
pencapaian hasil pada pelayanan publik. Rentetan kegiatan-kegiatan sejak dari pemahaman
tugas dan fungsi, perencanaan, pelaksanaan, dan pencapaian hasil akhir akan mempunyai
dampak terhadap kegiatan orang lain. Khususnya pihak-pihak yang memerlukan pelayanan.
Untuk itu perlu dicermati kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan seseorang/pejabat
tersebut masih berada pada jalur otoritasnya atau sudah berada di luar jalur tanggung jawab
dan kewenangannya sehingga tingkah laku pejabat perlu memperhatikan lingkungannya.
Akuntabilitas dapat tumbuh dan berkembang dalam suasana yang transparan dan
demokratis serta adanya kebebasan dalam mengemukakan pendapat sehingga perlu disadari
bahwa semua kegiatan organisasi publik dalam memberikan pelayanan adalah hal yang
tidak dapat dipisahkan dari public (Choirul Saleh, 2012).
Deklarasi Tokyo mengenai Petunjuk Akuntabilitas Publik menetapkan definisi sebagai
berikut: berarti kewajiban-kewajiban pada individu atau penguasa yang dipercayakan
mengelola sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab
hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial dan program-program .
Pengertian yang luas akuntabilitas pelayanan publik berarti pertanggungjawaban pegawai
pemerintah terhadap publik yang menjadi konsumen pelayanannya. Hal ini terkait dengan
pemikiran/konsep masyarakat yang demokratis, dimana amanat yang diberikan oleh
masyarakat kepada seseorang/sekelompok untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, oleh
seseorang/sekelompok orang tersebut harus mempertanggungjawabkannya kepada orang
orang yang memberikan kepercayaan Transparansi/keterbukaan (Choirul Saleh, 2012).
Akuntabilitas adalah hubungan mendasar antara menunjukkan kewajiban dan keberadaan
tanggung jawab untuk mencapai hasil yang sebelumnya ada kesempatan dan harapan.
Setiap dari dalam akuntabilitas untuk keseluruhan kegiatan – termasuk di dalamnya
keputusan tidak menerima kegiatan – dalam lingkungan kerja) (Omoregie Charles Osifo,
2014).
Keterbukaan sebagai aspek yang perlu diperhatikan dalam akuntabilitas, tanpa adanya
keterbukaan tidak dapat diketahui oleh pegawai, masyarakat ataupun pelanggan. Hal yang
perlu diketahui antara lain: apa yang dilakukan; mengapa dilakukan, bagaimana cara
melakukan, bagaimana sebaiknya dilakukan, dan apa yang dilakukan untuk meningkatkan
kinerja/hasil pada waktu berikutnya. Pihak-pihak yang berhubungan adalah siapa yang
harus melakukan akuntabilitas dan kepada pihak siapa dia harus berakuntabilitas. Hasil
akan menunjukkan standar-standar tertentu yang digunakan untuk mengukurnya dan nilai
terhadap akuntabilitas itu sendiri (Choirul Saleh, 2012).
Berdasarkan berbagai definisi yang dikemukakan bahwa akuntabilitas bukanlah merupakan
suatu konsep yang sederhana. Konsep akuntabilitas menyangkut berbagai pihak yang
terkait dengan orang yang mempunyai kewenangan yang lebih tinggi, yang melaksanakan
wewenang atau yang berakuntabilitas, dan pelanggan (Omoregie Charles Osifo, 2014).
Pertanggungjawaban pada dasarnya meliputi penjelasan atau justifikasi tentang apa yang
telah dilakukan, apa yang sedang dilakukan, dan apa rencana yang akan dilakukan. Hal ini
sebagai akibat timbul dari adanya prosedur yang dibuat dan hubungan kerja dengan
berbagai macam formalitasnya. Oleh karena itu, satu pihak bertanggung jawab kepada
pihak lain dalam arti bahwa salah satu pihak dapat meminta penjelasan atau pertanggung-
jawaban atas segala tindakan apa yang telah dilakukan. Pertanggungjawaban sebagai
akuntabilitas mengisyaratkan sebuah kemampuan untuk menjelaskan kepada seseorang
yang memiliki kekuasaan untuk menilai pertanggungjawaban dan memberikan
penghargaan atau hukum. Kesemuanya digunakan untuk mewujudkan harapan-harapan
publik (masyarakat) dan standar kinerja umtuk menilai/menentukan kinerja, daya tanggap
atau bahkan moral organisasi pemerintah (Noah De Lissovoy & Peter Mclaren, 2003).
Dari berbagai definisi akuntabilitas seperti tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang
dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui
media pertanggungjawaban berupa laporan akuntabilitas kinerja secara periodik.
Bentuk Akuntabilitas
Hal-hal yang telah dijelaskan di atas merupakan peristilahan-peristilahan untuk
menjelaskan pengertian akuntabilitas dari berbagai sudut pandang. Menurut Sirajudin H
Saleh dan rekan, akuntabilitas sebenarnya merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan
manusia yang meliputi: akuntabilitas internal dan eksternal.
Dari sisi internal seseorang, akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban orang tersebut
kepada Tuhannya. Akuntabilitas yang demikian ini meliputi pertanggungjawaban diri
sendiri mengenai segala sesuatu yang dijalankannya yang hanya diketahui dan dipahami
oleh dia sendiri. Oleh karena itu, akuntabilitas internal ini disebut juga sebagai akuntabilitas
spiritual. Ledivina V. Carino mengatakan bahwa dengan disadarinya akuntabilitas spiritual
ini, maka pengertian accountable atau tidaknya seseorang bukan hanya dikarenakan dia
tidak sensitif terhadap lingkungannya. Akan tetapi, lebih jauh dari itu yakni seperti adanya
perasaan malu atas warna kulitnya, tidak bangga menjadi bagian dari suatu bangsa, kurang
nasionalis, dan sebagainya. Akuntabilitas yang satu ini sangat sulit untuk diukur karena
tidak adanya indikator yang jelas dan diterima oleh semua orang serta tidak yang
melakukan pengecekan, pengevaluasian, dan pemantauan baik sejak tahap proses sampai
dengan tahap pertanggungjawaban kegiatan itu sendiri. Semua tindakan akuntabilitas
spiritual didasarkan pada hubungan seseorang tersebut dengan Tuhan. Namun, apabila
benar-benar dilaksanakan dengan penuh iman dan takwa, kesadaran akan akuntabilitas
spiritual ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada pencapaian kinerja orang
tersebut. Itulah sebabnya mengapa seseorang dapat melaksanakan pekerjaan dengan hasil
yang berbeda dengan orang lain, atau mengapa suatu instansi dengan instansi yang lainnya
dapat menghasilkan kuantitas dan kualitas yang berbeda terhadap suatu pekerjaan yang
sama.
Akuntabilitas eksternal seseorang adalah akuntabilitas orang tersebut kepada
lingkungannya baik lingkungan formal (atasan-bawahan) maupun lingkungan masyarakat.
Kegagalan seseorang untuk memenuhi akuntabilitas eksternal mengakibatkan pemborosan
waktu, pemborosan sumber dana dan sumber-sumber daya yang lain, penyimpangan
kewenangan, dan menurunnya kepercayaan masyarakat kepadanya. Akuntabilitas eksternal
lebih mudah diukur mengingat norma dan standar yang tersedia memang sudah jelas.
Kontrol dan penilaian dari pihak
eksternal sudah ada dalam mekanisme yang terbentuk dalam suatu sistem dan prosedur
kerja.
Akuntabilitas eksternal baik di dalam organisasi maupun di luar organisasi merupakan hal
yang paling banyak dibicarakan dalam konteks akuntabilitas.
Akuntabilitas eksternal terdiri dari :
1. Akuntabilitas Eksternal untuk Pelayanan Publik pada Organisasi Sendiri. Dalam
akuntabilitas ini, setiap tingkatan pada hierarki organisasi diwajibkan untuk accountable
kepada atasannya dan kepada yang mengontrol pekerjaannya. Untuk itu, diperlukan
komitmen dari seluruh petugas untuk memenuhi kriteria pengetahuan dan keahlian dalam
pelaksanaan tugas-tugasnya sesuai dengan posisi tersebut.
2. Akuntabilitas Eksternal untuk Individu dan Organisasi Pelayanan Publik di luar
Organisasi Sendiri. Akuntabilitas ini mengandung pengertian akan kemampuan untuk
menjawab setiap pertanyaan yang berhubungan dengan capaian kinerja atas pelaksanaan
tugas dan wewenang. Untuk itu, selain kebutuhan akan pengetahuan dan keahlian seperti
yang disebutkan sebelumnya, juga dibutuhkan komitmen untuk melaksanakan kebijakan
dan program-program yang telah dijanjikan/dipersyaratkan sebelum dia memangku jabatan
tersebut.
Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Akuntabiltas Kinerja Instansi Pemerintah
Berdasarkan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
yang ditetapkan oleh Kepala Lembaga Administrasi Negara, pelaksanaan AKIP harus
berdasarkan antara lain pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Adanya komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi yang bersangkutan.
2. Berdasarkan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber-sumber daya secara
konsisten dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
3. Menunjukkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.
4. Berorientasi pada pencapaian visi dan misi, serta hasil dan manfaat yang
diperoleh.
5. Jujur, objektif, transparan, dan akurat.
6. Menyajikan keberhasilan/kegagalan dalam pencapaian sasaran dan tujuan yang telah
ditetapkan.
Selain prinsip-prinsip tersebut di atas, agar pelaksanaan sistem akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah lebih efektif, sangat diperlukan komitmen yang kuat dari organisasi yang
mempunyai wewenang dan bertanggung jawab di bidang pengawasan dan penilaian
terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.
Siklus Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Di Indonesia, kewajiban instansi pemerintah untuk menerapkan sistem akuntabilitas kinerja
berlandaskan pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah. Dalam Inpres tersebut dinyatakan bahwa akuntabilitas kinerja
instansi pemerintah adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam
mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui pertanggungjawaban secara
periodik.
Sjahruddin Rasul menyatakan bahwa siklus akuntabilitas kinerja instansi pemerintah pada
dasarnya berlandaskan pada konsep manajemen berbasis kinerja. Adapun tahapan dalam
siklus manajemen berbasis kinerja adalah sebagai berikut:
1. Penetapan perencanaan stratejik yang meliputi penetapan visi dan misi organisasi
dan strategic performance objectives.
2. Penetapan ukuran-ukuran kinerja atas perencanaan stratejik yang telah ditetapkan
yang diikuti dengan pelaksanaan kegiatan organisasi.
3. Pengumpulan data kinerja (termasuk proses pengukuran kinerja), menganalisisnya,
mereviu, dan melaporkan data tersebut.
4. Manajemen organisasi menggunakan data yang dilaporkan tersebut untuk
mendorong perbaikan kinerja, seperti melakukan perubahan-perubahan dan
koreksi-koreksi dan/atau melakukan penyelarasan (fine-tuning) atas kegiatan
organisasi. Begitu perubahan, koreksi, dan penyelarasan yang dibutuhkan telah
ditetapkan, maka siklus akan berulang lagi.
Sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah merupakan suatu tatanan, instrumen, dan
metode pertanggungjawaban yang intinya meliputi tahaptahap sebagai
berikut :
1. Penetapan perencanaan stratejik.
2. Pengukuran kinerja.
3. Pelaporan kinerja.
4. Pemanfaatan informasi kinerja bagi perbaikan kinerja secara berkesinambungan.
Siklus akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dimulai dari penyusunan perencanaan
stratejik (Renstra) yang meliputi penyusunan visi, misi, tujuan, dan sasaran serta
menetapkan strategi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang
ditetapkan. Perencanaan stratejik ini kemudian dijabarkan dalam perencanaan kinerja
tahunan yang dibuat setiap tahun. Rencana kinerja ini mengungkapkan seluruh target
kinerja yang ingin dicapai (output/outcome) dari seluruh sasaran stratejik dalam tahun yang
bersangkutan serta strategi untuk mencapainya. Rencana kinerja ini merupakan tolok ukur
yang akan digunakan dalam penilaian kinerja penyelenggaraan pemerintahan untuk suatu
periode tertentu. Setelah rencana kinerja ditetapkan, tahap selanjutnya adalah pengukuran
kinerja. Dalam melaksanakan kegiatan, dilakukan pengumpulan dan pencatatan data
kinerja.
Data kinerja tersebut merupakan capaian kinerja yang dinyatakan dalam satuan indikator
kinerja. Dengan diperlukannya data kinerja yang akan digunakan untuk pengukuran kinerja,
maka instansi pemerintah perlu mengembangkan sistem pengumpulan data kinerja, yaitu
tatanan, instrumen, dan metode pengumpulan data kinerja. Pada akhir suatu periode,
capaian kinerja tersebut dilaporkan kepada pihak yang berkepentingan atau yang meminta
dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Tahap terakhir,
informasi yang termuat dalam LAKIP tersebut dimanfaatkan bagi perbaikan kinerja instansi
secara berkesinambungan.
Dalam perkembangan selanjutnya, melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia menginstruksikan tentang
penyusunan penetapan kinerja kepada menteri, jaksa agung, panglima TNI, kepala Polri,
kepala LPND, gubernur, bupati, dan walikota, sebagaimana tercantum pada butir ketiga
Inpres tersebut, yaitu sebagai berikut :
”Membuat penetapan kinerja dengan Pejabat di bawahnya secara berjenjang, yang
bertujuan untuk mewujudkan suatu capaian kinerja tertentu dengan sumber daya tertentu,
melalui penetapan target kinerja serta indikator kinerja yang menggambarkan keberhasilan
pencapaiannya baik berupa hasil maupun manfaat.
Metode Untuk Menegakkkan Akuntabilitas Kontrol Legislatif : Di banyak negara, legislatif
melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan melalui diskusi dan sejumlah
komisi di dalamnya. Jika komisi-komisi legislatif dapat berfungsi secara efektif, maka
mereka dapat meningkatkan kualitas pembuatan keputusan (meningkatkan responsivitasnya
terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat), mengawasi penyalahgunaan kekuasaan
pemerintah melalui investigasi, dan menegakkan kinerja. Akuntabilitas Legal : Ini
merupakan karakter dominan dari suatu negara hukum. Pemerintah dituntut untuk
menghormati aturan hukum, yang didasarkan pada badan peradilan yang independen.
Aturan hukum yang dibuat berdasarkan landasan ini biasanya memiliki sistem peradilan,
dan semua pejabat publik dapat dituntut pertanggung jawabannya di depan pengadilan atas
semua tindakannya. Peran lembaga peradilan dalam menegakkan akuntabilitas berbeda
secara signifikan antara negara, antara negara yang memiliki sistem peradilan administratif
khusus seperti perancis, hingga negara yang yang memiliki tatanan hukum di mana semua
persoalan hukum diselesaikan oleh badan peradilan yang sama, termasuk yang berkaitan
dengan pernyataan tidak puas masyarakat terhadap pejabat publik. Dua faktor utama yang
menyebabkan efektivitas akuntabilitas legal adalah kualitas institusi hukum dan tingkat
akses masyarakat atas lembaga peradilan, khususnya yang berhubungan dengan biaya
pengaduan. Institusi hukum yang lemah dan biaya yang mahal (tanpa suatu sistem
pelayanan hukum yang gratis) akan menghambat efektivitas akuntabilitas legal.
Ombudsman : Dewan ombudsmen, baik yang dibentuk di dalam suatu konstitusi maupun
legislasi, berfungsi sebagai pembela hak-hak masyarakat. Ombudsmen mengakomodasi
keluhan masyarakat, melakukan investigasi, dan menyusun rekomendasi tentang bagaimana
keluhan tersebut diatasi tanpa membebani masyarakat. Sejak diperkenalkan pertama kali di
Swedia pada abad 19, Ombudsmen
telah menyebar ke berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Secara
umum, masyarakat dapat mengajukan keluhannya secara langsung kepada lembaga ini,
baik melalui surat maupun telepon. Di beberapa negara, misalnya Inggris, Ombudsmen
dilihat sebagai perluasan kontrol parlemen terhadap eksekutif dan keluhan masyarakat
disalurkan melalui anggota parlemen. Pada hampir semua kasus, Ombudsmen melakukan
tugas investigatifnya tanpa memungut biaya dari masyarakat.
Desentralisasi dan Partisipasi : Akuntabilitas dalam pelayanan publik juga dapat ditegakkan
melalui struktur pemerintah yang terdesentralisasi dan partisipasi. Terdapat beberapa situasi
khusus di mana berbagai tugas pemerintah didelegasikan ke tingkat lokal yang dijalankan
oleh para birokrat lokal yang bertanggung jawab langsung kepada masyarakat lokal.
Legitimasi elektoral juga menjadi faktor penting seperti dalam kasus pemerintah pusat.
Tetapi cakupan akuntabilitas di dalam sebuah sistem yang terdesentralisasi lebih
merupakan fungsi otonomi di tingkat lokal. Itupun sangat bervariasi secara signifikan
sesuai derajat otonomi yang diperoleh, dari otonomi yang sangat luas seperti di AS hingga
otonomi terbatas yang umum dijumpai di negara-negara berkembang. Ketergantungan yang
tinggi terhadap NGOs dan berbagai organisasi dan koperasi berbasis masyarakat dalam
penyediaan pelayanan publik menjadi salah satu perkembangan yang menjanjikan bagi
terwujudnya manajemen publik yang terdesentralisasi dan bertanggung jawab. Kontrol
Administratif Internal : Pejabat publik yang diangkat sering memainkan peran dominan
dalam menjalankan tugas pemerintahan karena relatif permanennya masa jabatan serta
keterampilan teknis. Biasanya, kepala-kepala unit pemerintahan setingkat menteri
diharapkan dapat mempertahankan kontrol hirarkis terhadap para pejabatnya dengan
dukungan aturan dan regulasi administratif dan finansial dan sistem inspeksi. Untuk negara-
negara dengan struktur administratif yang lemah, terutama di negara-negara berkembang
dan beberapa negara komunis, metode kontrol tersebut memiliki dampak yang terbatas.
Masalah ini disebabkan karena hubungan yang kurang jelas antara kepemimpinan politik
yang bersifat temporer dan pejabat publik yang diangkat secara permanen. Jika mereka
melakukan persekongkolan, akuntabilitas tidak bisa diwujudkan (hal ini juga terjadi sejak
lama di negara-negara maju) dan jika mereka terlibat dalam konflik, maka yang menjadi
korban adalah kepentingan publik.
Media massa dan Opini Publik : Hampir di semua konteks, efektivitas berbagai metode
dalam menegakkan akuntabilitas sebagaimana diuraikan di atas sangat tergantung tingkat
dukungan media massa serta opini publik. Tantangannya misalnya, adalah bagaimana dan
sejauhmana masyarakat mampu mendayagunakan media massa untuk memberitakan
penyalahgunaan kekuasaan dan menghukum para pelakunya. Terdapat 3 faktor yang
menentukan dampak aktual dari media massa dan opini publik. Pertama, kebebasan
berekspresi dan berserikat harus diterima dan dihormati. Di banyak negara, kebebasan
tersebut dilindungi dalam konstitusi. Derajat penerimaan dan rasa hormat umumnya dapat
diukur dari peran media massa (termasuk perhatian terhadap pola kepemilikan) dan
pentingnya peran kelompok kepentingan, asosiasi dagang, organisasi wanita, lembaga
konsumen, koperasi, dan asosiasi profesional. Kedua, pelaksanaan berbagai tugas
pemerintah harus transparan. Kuncinya adalah adanya akses masyarakat terhadap
informasi. Hal ini harus dijamin melalui konstitusi (misalnya, UU Kebebasan Informasi)
dengan hanya mempertimbangkan pertimbangan keamanan nasional (dalam pengertian
sempit) dan privasi setiap individu. Informasi yang dihasilkan pemerintah yang seharusnya
dapat diakses secara luas antara lain meliputi anggaran, akuntansi publik, dan laporan audit.
Tanpa akses terhadap beragai informasi tersebut, masyarakat tidak akan sepenuhnya
menyadari apa yang dilakukan dan tidak dilakukan pemerintah dan efektivitas media massa
akan sedikit dibatasi. Ketiga, adanya pendidikan sipil yang diberikan kepada warga negara,
pemahaman mereka akan hak dan kewajibannya, di samping kesiapan untuk
menjalankannya.
2. 1. Kepmenkes Republik Indonesia 900/ Menkcs/SK/ VII/ 2002 Tentang registrasi dan
praktik bidan.
2. Standar Pelayanan Kebidanan, 2001.
3. Kepmenkes Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/SK/III/ 2007 Tentang Standar
Profesi Bidan.
4. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
5. PP No 32/Tahun 1996 Tentang tenaga kesehatan.
6. Kepmenkes Republik Indonesia 1277/Menkes/SK/XI/2001 Tentang organisasi
dan tata kerja Depkes.
7. UU No 22/ 1999 Tentang Otonomi daerah.
8. UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
9. UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung, dan transplantasi.
10. KUHAP, dan KUHP, 1981.
11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 585/ Menkes/ Per/ IX/
1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.
12. UU yang terkait dengan Hak reproduksi dan Keluarga Berencana;
>UU No. 10/1992 Tentang pengembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera.
>UU No. 23/2003 Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan di
Dalam Rumah Tangga.
3. 1. Untuk mengkaji kebutuhan dan masalah kesehatan.
2. Untuk menyusun rencana asuhan kebidanan.
3. Untuk mengetahui perkembangan kebidanan melalui penelitian.
4. Berperan sebagai anggota tim kesehatan.
5. Untuk melaksanakan dokumentasi kebidanan.
6. Untuk mengelola perawatan pasien sesuai dengan lingkup tanggung jawabnya.
4. 1. Mengkaji kebutuhan dan masalah kesehatan
2. Menyusun rencana asuhan kebidanan
3. Melaksanakan asuhan kebidanan
4. Melaksanakan dokumentasi kebidanan
5. Mengelola keperawatan pasien dengan lingkup tanggung jawab
5. 1. Sistem akuntabilitas kinerja berfokus pada outcome. Menentukan outcome yang tepat
untuk diukur merupakan hal penting dan tersulit dalam mendefinisikan akuntabilitas.
Fokus pada outcome lebih mudah dalam teori daripada dalam prakteknya, karena
outcome tidak mudah didefinisikan. Keberhasilan langkah pendefinisian tergantung
pada siapa desainer sistem akuntabilitas mencoba untuk menginformasi-kannya. Hal
ini tergantung apakah dalam mencoba mengukur outcome dari kebijakan, program,
atau keduanya. Permasalahan ini bahkan muncul sebelum mengarah pada apakah
outcome dapat diukur atau tidak. Namun fokus pada hasil yang membuat proses
pengembangan sistem akuntabilitas kinerja sangat bernilai bagi pimpinan politik,
pembuat kebijakan dan juga manajer program.
2. Sistem akuntabilitas kinerja menggunakan sedikit indikator terpilih untuk mengukur
kinerja. Meskipun sistem akuntabilitas kinerja tidak membutuhkan statistik secara
keseluruhan, fokus utama adalah untuk penggunaan indikator terpilih sebagai
indikator outcome yang diinginkan. Pada suatu sistem yang ideal seharusnya sudah
mempunyai pengukuran yang sensitif dan langsung dari outcome program dan
kebijakan. Dalam kenyataannya menghadapi keterbatasan kemampuan untuk
mendefinisikan outcome dengan baik dan untuk mengumpulkan data yang tepat serta
biaya yang efektif. Dalam sistem akuntabilitas yang baik, sedikit indikator terpilih
yang mampu memberikan informasi yang besar apakah outcome yang diinginkan
akan tercapai. Tujuannya adalah untuk mempunyai jumlah indikator yang cukup valid
dan beralasan sebagai penuntun bagi pembuat kebijakan dan program ataupun
manajer.
3. Sistem akuntabilitas kinerja harus menginformasikan keputusan-keputusan
manajemen kebijakan dan program. Suatu sistem akuntabilitas membutuhkan
keseimbangan informasi yang dapat dipercaya, mudah dikumpulkan, cepat dan tepat
waktu sehingga antara pembuat kebijakan dan manajer program dapat membuat
koreksi dalam pelaksanaannya.
4. Sistem akuntabilitas kinerja menghasilkan data yang konsisten sepanjang waktu.
Sistem akuntabilitas kinerja dibangun berdasarkan struktur pemerintahan, sehingga
informasi yang dihasilkan seringkali tergantung pada perbandingan sepanjang waktu,
data harus konsisten yang terkumpul secara reguler perbulan, persemester, pertahun.
Untuk mengidentifikasikan kecenderungan dan signal kapan dibutuhkan penyesuaian
perlu dilakukan perbandingan kinerja dengan tahun-tahun sebelumnya. Perbandingan
menjadi tidak berarti apabila indikator kinerja tidak konsisten sepanjang waktu.
5. Sistem akuntabilitas kinerja melaporkan outcome secara reguler dan dipublikasikan.
Laporan reguler digunakan oleh pembuat kebijakan dan manajer program dapat
menyesuaikan dengan situasi yang berkembang dan menyediakan bukti akan
keberhasilan atau kegagalan dalam pelayanan. Laporan kinerja yang dipublikasikan
memberikan informasi kepada konsumen jasa untuk membuat pilihan yang
terinformasikan secara benar. Bagi penyedia jasa dapat memperbaiki pelayanan dan
mendemonstrasikan akuntabilitas kepada publik. Berdasarkan hal ini, disainer sistem
akuntabilitas kinerja perlu untuk memikirkan secara hati-hati siklus pelaporan, format
pelaporan hasil dan yang penting adalah penggunaan laporan.
DAFTAR PUSTAKA
Keterampilan belajar merupakan keahlian yang didapatkan (acquired skills) oleh seorang
individu melalui proses latihan yang berkesinambungan dan mencakup aspek optimalisasi
cara-cara belajar baik dalam domain kognitif, afektif ataupun psikomotorik. Namun
demikian komponen utama latihan keterampilan belajar dalam konsepsi learning how to
learn difokuskan pada individu itu sendiri sebagai learner, sehingga setiap individu dilatih
untuk mengembangkanaya dan karakteristik belajarnya sendiri dan bukan ‘dipaksa’ untuk
mengikuti gaya belajar yang one size fits for all (satu cara yang sama untuk semua orang).
Merujuk pada pengertian keterampilan belajar itu, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat
keterampilan belajar meliputi empat unsur utama yaitu:
dalam berbagai hal guna meningkatkan keahlian belajar dalam basic skills (membaca,
menulis dan mendengar) ataupun dalam menangani rasa takut dan kecemasan.
Transformasi ini tidak hanya melatih kemampuan kognitif saja akan tetapi juga meliputi
domain afektif dan psikomotorik dari setiap orang. Sehingga mampu menunjukkan
pemahaman tentang keterampilan dan strategi belajar yang diperlukan untuk sukses di
sekolah.
2. Keterampilan manajemen pribadi.
4. Kesempatan Eksplorasi.
Keempat unsur itu merupakan ciri keterampilan belajar yang utuh yang sebenarnya tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam proses pembelajaran keterampilan belajar keempat
unsur itu diharapkan dapat muncul, sehingga peserta didik dapat mengalami proses
internalisasi keterampilan belajar di dalam sikap belajarnya secara utuh dan sempurna
sehingga dapat mengurangi kemungkinan kebuntuan dalam belajar (learning shutdown).
2. Proses Belajar Proses belajar ditunjukkan dengan adanya rasa ingin tahu yang
dikemukakan dalam bentuk pertanyaan atau bertanya. Sehingga bisa dikatakan bahwa tidak
bertanya atau tidak ingin tahu berarti tidak ada proses belajar. Semakin dewasa seseorang
mestinya semakin canggih proses belajar yang berlangsung dalam dirinya, berarti semakin
canggih caranya ia bertanya. Sehingga denga demikian tanpa dibarengi rasa ingin tahu,
kegiatan seperti kuliah, membaca atau praktikum bukanlah proses belajar yang
meningkatkan kehidupan fikiran seseorang, namun sekedar kegiatan merekam dan latihan
fisik belaka.
3. Metode Mencari Jawaban Upaya sistematik setelah merumuskan rasa ingin tahu
kedalam bentuk bertanya adalah dengan mencari jawaban. Terdapat beberapa metode
mencari jawaban untuk menjawab pertanyaan yang muncul dari rasa ingin tahu, yaitu :
Konsepsi belajar sepanjang hayat
• Membaca buku Menbaca buku adalah cara yang paling objektif untuk mengetahui
berbagai informasi keilmuan yang merupakan kompilasi pengalaman manusia yang
tertulisa secara sistematik. Membaca buku dapat dilakukan oleh siapa saja, dimana saja,
dan kapan saja. Dengan membaca buku perpindahan informasi dapat langsung terjadi dari
tangan si penulis dengan seluruh pembacanya. Baca – tulis adalah budaya dasar umat
manusia untuk meningkatkan peradabannya. Oleh karena itu tingkat kemampuan membaca
dan menulis adalah kemampuan dasar kemanusiaan yang tidak akan tergantikan.
Kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis harus dipelihara setiap saat. Terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membaca, yaitu :
- Kecepatan membaca Kemampuan untuk membaca dengan cepat ini perlu dilatih,
dipelihara, dan ditingkatkan. Huruf adalah lambang bunyi, kata adalah lambang arti,
kalimat adalah lambang pesan, dan alenia adalah lambang pokok pikiran. Oleh karena itu
perlu dilatih membaca alenia agar dapat menangkap pokok-pokok pikiran secara cepat dan
tepat, yang bersamaan dengan itu dapat ditangkap pesan utamanya dari kalimat kunci, dan
pengertian dasarnya dari kata kunci.
- Kemampuan untuk memilih dan membaca buku ajar (text book) Kemampuan minimal
yang harus dikuasai oleh seorang mahasiswa. Perpustakaan dengan segala tata caranya
harus merupakan bagian dari kehidupan mahasiswa.
Mahasiswa harus bisa menggunakan katalog atau software yang tersedia untuk penelusuran
buku dan memilih buku mana yang harus dibaca. Pengertian dari setiap jenis buku harus
difahami sehingga tepat dan benar menggunakannya. Mahasiswa harus bisa membedakan
mana buku ensiklopedia, buku indeks, kamus, journal, catatan, text book.
• Praktikum Keinginan tahu seseorang juga seringkali dapat dijawab dengan membaca
langsung kenyataan alamnya. Dalam hal ini kita harus mampu berdialog secara alami dan
secara manusiawi.
Dalam dialog manusiawi dimana lawan bicara kita adalah manusia juga maka lawan bicara
mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan pikirannya sendiri dengan bahasa yang
telah sama-sama diketahui. Sedangkan dialog dengan alam terlebih dahulu kita harus
melakukan kompilasi logika alam ke dalam pikiran manusiawi kita.
Pelajaran Kimia, Fisika, Biologi, dan ilmu pengetahuan alam lainnya pada dasarnya
adalah proses kompilasi pikiran alam ke dalam pikiran manusia yang akan terungkap
kembali saat kita berdialog dengan alam.
Berdialog dengan alam tidak mudah, mungkin paling sulit. Oleh karena itu suatu cara
sistematik perlu dikembangkan, yaitu dengan cara membawa fenomena alam itu ke dalam
laboratorium untuk ditelaah. Praktikum pada dasarnya adalah latihan untuk memiliki
kemampuan itu, kemampuan berdialog dengan alam.
Dengan demikian praktikum bukan sekedar cara untuk melengkapi atau menyempurnakan
penguasaan materi perkuliahan, melainkan menanamkan pengertian dan kemampuan dasar
untuk dapat berdialog langsung dengan alam secara alami dan manusiawi.
4. Metode SQ3R Dalam membaca buku ajar (text book) metode SQ3R dapat digunakan,
yaitu: • Survey Melihat sekilas buku dengan ilustrasinya, membaca kata pengantarnya, dan
seterusnya sehingga menimbulkan rasa ingin tahu dan bertanya. • Question Bertanya-tanya
tentang bahan yang akan dibahas, dalam buku ajar seringkali disiapkan daftar pertanyaan
untuk membantu pembaca memandu rasa ingin tahunya. • Read Membaca secara cepat dan
menyeluruh untuk menangkap pokok-pokok pikiran, tidak mengulang-ulang membaca kata
atau kalimat.
Pembangunan pendidikan nasional adalah suatu usaha yang bertujuan untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia yang berkualitas, maju, mandiri, dan modern. Pembangunan
pendidikan merupakan bagian penting dari upaya membangun karakter secara menyeluruh
dan sungguh-sungguh untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Keberhasilan pendidikan dalam membangun karakter manusia diperlukan pendidikan yang
akurat karena pendidikan akan memberikan kontribusi besar pada pencapaian tujuan
pembangunan nasional secara keseluruhan. Dewasa ini, pembangunan dan pembinaan
karakter suatu bangsa menjadi suatu istilah yang semakin sering diungkapkan namun
diperlukan pemahaman yang lebih baik, khususnya dalam menjadikan pembangunan fisik
suatu bangsa sebagai salah satu instrumen dalam pembinaan karakter manusia. Secara
empirik pendidikan di Indonesia mengalami degradasi pemaknaan nilai-nilai pendidikan.
Ketika komersialisasi dalam duniapendidikan semakin merajalela, ketika pendidikan bukan
menjadi milik semua orang, dan ketika pendidikan terbaik hanya bisa dinikmati oleh orang-
orang yang memiliki kelebihan uang. Dampak terbesar yang dirasakan adalah, ketika
materialisme seolah menjadi tujuan hidup. Perlu ada sebuah terobosan dalam dunia
pendidikan di Indonesia, yang mampu memberikan pencerahan bagi peserta didik.
Pendidikan yang lebih terbuka, terarah dan tidak hanya membahas soal teknis keilmuan
semata, namun suatu pendidikan yang mampu memberikan rangsangan inspiratif bagi
terjadinya perubahan karakter peserta didik. Layanan pendidikan alternatif yang
diprogramkan di luar sistem persekolahan tersebut bisa berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal sistem persekolahan. Secara garis besar
Judith Champan dan David Aspin menguraikan tentang peran sekolah dalam mewujudkan
belajar sepanjanghayat. Hal tersebut dilakukan melalui pengembangan kerjasama antara
sekolah dengan lembaga keluarga, lembaga bisnis, lembaga lain dalam masyarakat dan
dengan masyarakat sendiri.
Di samping itu sekolah juga memiliki peran sendiri. Dalam kaitannya dengan belajar
sepanjang hayat, wajib belajar harus ditujukan pada provisi berbasis pengetahuan, dan
pengembangan meta-skill untuk belajar. Oleh karena itu wajib belajar harus dapat
memberikan pengatahuan umum untuk pengembangan kemampuan kognitif, afektif dan
pemerolehan keterampilan belajar yang diperlukan untuk belajar sepanjang hayat. Albert H.
Yee dan Joseph Y.S. Cheng mengupas tentang fenomena belajar sepanjang hayat yang
terjadi di Amerika dan Hongkong. Aspek psikologis dan kultural dijadikan pijakan dalam
analisisnya. Kedua faktor tersebut dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
proses belajar sepanjang hayat. Proses pertumbuhan dan pengasuhan berkait dengan
perkembangan manusia, dan hal tersebut terjadi dalam dan dipengaruhi oleh lingkungan
sosial budaya. Menurut Yukiko Sawono, Belajar sepanjang hayat telah mengalami
perkembangan yang sangat signifikan. Jika pada masa sebelumnya, belajar dimaknai
secara sempit pada pendidikan waktu luang, dan hobi, sekarang dipandang sebagai satu
proses pendidikan untuk semua aspek pendidikan. Perhatian terhadap penerapan prinsip ini
pun semakin nyata. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan dan implementasi
pembaharuan pendidikan. Grace O.M.Lee memaparkan tentang perkembangan belajar
sepanjang hayat di Hongkong, dan peran apa yang harus dilakukan untuk dapat
meningkatkan kegiatan belajar tersebut. Brian Rice dan John Steckely menguraikan bahwa
Setiap masyarakat berusaha untuk mempertahankan kebudayaannya, tidak terkecuali
penduduk asli di Canada.
Prosespelestarian budaya tersebut dilakukan melalui belajar. Dalam masyarakat penduduk
asli Canada, proses belajar tersebut dilakukan melalui dua cara, yaitu : a). Ceritera. Dalam
hal ini orang tua (elders) memegang peran yang sangat penting. Melalui cerita ini mereka
menyampaikan berbagai pengetahuan yang menjadi dasar identitas budayanya pada semua
anggota masyarakat. Para orang tua akan melakukan kunjungan dari satu desa ke desa yang
lainnya. Di samping itu, masyarakat juga saling berkunjung untuk berceritera, mengajar
upacara dan peran yang dibutuhkan oleh anggota masyarakat dengan maksud untuk
mempertahankan budaya mereka. b). Upacara ritual. Cara ini dilakukan secara lebih formal
dalam satu acara ritual keagamaan yang khidmat.
Sekolah sebagai Pusat Belajar Sepanjang Hayat (Oleh: Judith Champan dan David Aspin)
Peran sekolah dalam mewujudkan belajar sepanjang hayat dilakukan melalui
pengembangan kerjasama antara sekolah dengan lembaga keluarga, lembaga bisnis,
lembaga lain dalam masyarakat dan dengan masyarakat sendiri. Di samping itu sekolah
juga memiliki peranan sendiri. Dalam kaitannya dengan belajar sepanjang hayat, wajib
belajar harus ditujukan pada provisi berbasis pengetahuan, dan pengembangan meta-skill
untuk belajar. Oleh karena itu wajib belajar harus dapat memberikan pengatahuan umum
untuk pengembangan kemampuan kognitif, afektif dan pemerolehan keterampilan belajar
yang diperlukan untuk belajar sepanjang hayat. Sementara itu lembaga keluarga dapat
berfungsi sebagai sumber dukungan dan stimulus untuk meningkatkan pemahaman makna
dan nilai belajar sepanjang hayat Sebagai contoh : mengembangkan harapan tinggi pada
anak, impian masa depan, penghargaan terhadap kerja keras sebagai kunci keberhasilan,
persepsi sebagai lembaga penyelesaian masalah, ketaatan pada aturan rumah tangga,
menjalin komunikasi dengan sekolah. Di samping itu, sekolah dapat menumbuhkan
kesempatan belajar sepanjang hayat melalui kerjasama dengan keluarga. Hal lain yang
dipandang penting untuk dikembangkan adalah kerjasama dengan dunia bisnis. Kerjasama
ini dapat dikembangkan pada tingkat pengambilan kebijakan, manajemen sekolah,
pelatihan bagi para guru, pengiriman anak ke lembaga kerja, dan pembelajaran di kelas.
Untuk lebih mengoptimalkan perwujudan belajar sepanjang hayat, di samping kerjasama
sebagaimana di kemukakan di atas, lembaga sekolah juga perlu membuka diri untuk
menjalin kerjasama dengan berbagai potensi budaya masyarakat yang sangat beragam, dan
lembaga-lembaga lain yang ada di masyarakat untuk secara bersamasama memberi
kesempatan belajar bagi semua peserta didik dan anggota masyarakat.
Belajar Sepanjang Hayat di Amerika dan Hongkong: Sebelum dan sesudah Tahun 1977
(Oleh: Albert H. Yee dan Joseph Y.S. Cheng) Teori perkembangan yang dijadikan dasar
analsis Albert H. Yee dan Joseph Y.S. Cheng adalah teori Erikson. Dari delapan tahap
perkembangan Erikson, hanya tiga tahap yang digunakan sebagai pijakan untuk
menganalisis belajar sepanjang hayat, yaitu tahap awal, adolesen dan masa tua. Pada tahap
awal kemungkinan arah perkembangan yang terjadi adalah percaya vs tidak percaya.
Perkembangan ini sangat ditentukan oleh proses belajar dalam keluarga. Pada tahap
adolesen, perkembangan individu akan mengarah ke penemuan identitas diri atau
kebingungan peran. Pada tahap ini lembaga keluarga dan sekolah memiliki peran penting.
Pola asuh dalam lembaga keluarga, seperti harapan akan karier, kesuksesan, asprasi
pendidikan, akan sangat berpengaruh terhadap proses perkembangan tersebut. Dalam hal
ini remaja di Hongkong relatif tidak mengalami kesulitan bila dibandingkan dengan remaja
Amerika. Di Hongkong, lembaga keluarga memiliki tanggung jawab penuh terhadap masa
depan anaknya, oleh karena itu menaruh harapan tinggi terhadap pendidikan anaknya, dan
ikut menentukan proses pendidikannya. Sementara itu lembaga sekolah hanya memiliki
jalur linier dan tidak banyak memberi pilihan. Beda dengan di Hongkong, lembaga
keluarga Amerika lebih memberi kebebasan pada anaknya untuk memilih dan menentukan
masa depannya sendiri, dan sistem pendidikannya lebih banyak memberi pilihan
pengembangan karier. Pada tahap akhir, perkembangan akan mengarah pada kepuasaan
atau kekecewaan diri. Pada tahap ini lembaga keluarga dan masyarakat memiliki peran
penting dalam membantu perkembangan individu. Lebih lanjut penulis mengemukakan
bahwa teori perkembangan Erikson ini sangat membantu dalam mengantisipasi dan
menyiapkan perkembangan sepanjang rentang kehidupan individu. Dalam aspek kultural,
agama Konfucu dipandang memiliki pengaruh yang sangat dalam terhadap perilaku dan
pendidikan masyarakat Hongkong. Agama ini memiliki filosofi bahwa kebijaksanaan dan
pengetahuan dapat dimiliki oleh semua orang yang mau mencarinya. Oleh karena itu
individu harus belajar menjadi manusiawi melalui belajar sepanjang hayat, refleksi, disiplin
dan kerendahan hati. Dalam satu tulisan kuno, anonim, seorang ilmuwan Konfucu
mengatakan bahwa tujuan dari belajar adalah mengembangkan pengetahuan diri,
membantu orang lain mengaktualisasikan diri, dan berjuang untuk keunggulan moral.
Pentingnya pendidikan dalam ajaran Konfucu diilustrasikan Konfuscu sebagai seorang guru
dengan wajah tegang, membawa tongkat untuk menghardik murid yang malas.
Isu-Isu Global yang Muncul dari Pemikiran Tokoh Pendidikan dalam Buku Lifelong
Learning: Policies, Practices, And Programs
Pendidikan sepanjang hayat meliputi pendidikan sebagai program dan pendidikan sebagai
proses. Sebagai program maka bentuk kegiatannya antara lain meliputi Pendidikan
Informal, Pendidikan Formal dan Pendidikan Non formal. Kegiatan pendidikan sebagai
proses dicirikan dengan adanya seperangkat kegiatan penggorganisasian kegiatan
pembelajaran. Pendidikan sepanjang hayat mengacu kepada adanya serangkaian faktor
ektrinsik yang akan mendorong sesorang untuk dapat atau mau belajar. Belajar sepanjang
hayat adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang sepanjang rentang
kehidupannya, dikarenakan adanya kebutuhan untuk meningkatkan kualitas dirinya dan
kebutuhan ini bersifat intrinsik, karena bergantung kepada motivasi dan kemampuan belajar
individu tersebut. Tiga terminologi utama yang mendasari konsep pendidikan sepanjang
hayat adalah ‘hidup atau kehidupan,’ ‘sepanjang hidup (sepanjang hayat)’ dan
‘pendidikan’. Arti yang terkandung dalam setiap terminologi ini, dan interpretasi yang
diberikan kepadanya secara luas menentukan cakupan dan pengertian pendidikan sumur
hidup atau sepanjang hayat. Pendidikan tidak berakhir pada saat berakhirnya pendidikan
sekolah, tetapi dia merupakan proses sepanjang hayat. Pendidikan sepanjang hayat terjadi
selama keseluruhan kurun kehidupan individu. Pendidikan sepanjang hayat merupakan
gagasan yang universal, terutama setelah ditegaskan oleh International Commision on the
Development of Education (ICED), melalui tulisan Edgar Faure dkk. yang berjudul
“Learning To Be : The World of Education to Day and Tomorrow”. (1972). Konsep
pendidikan sepanjang hayat memandang pendidikan sebagai satu sistem yang menyeluruh,
yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip pengorganisasian untuk pengembangan
pendidikan. Di abad XXI, pendidikan sudah semakin beragam, tugas-tugas dan bentuk-
bentuknya melingkupi pengetahuan hidup tentang dunia, tentang manusia-manusia lain,
dan tentang diri mereka sendiri, dengan dilandasi empat pilar pendidikan, yaitu : belajar
mengetahui (learning to know), belajar berbuat (learning to do), belajar hidup bersama -
belajar hidup dengan orang lain (learning to live together), dan belajar menjadi seseorang
(learning to be). Pembelajaran merupakan proses yang berlangsung seumur hidup, yaitu
pembelajaran sejak lahir hingga akhir hayat yang diselenggarakan secara terbuka dan
multimakna. Pembelajaran sepanjang hayat berlangsung secara terbuka melalui jalur
formal, nonformal, dan informal yang dapat diakses oleh
peserta didik setiap saat tidak dibatasi oleh usia, tempat, dan waktu. Pembelajaran dengan
sistem terbuka diselenggarakan dengan fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian
program lintas satuan dan jalur pendidikan (multi entry-multi exit system).
5. Keterampilan belajar merupakan keahlian yang didapatkan (acquired skills) oleh seorang
individu melalui proses latihan yang berkesinambungan dan mencakup aspek
optimalisasi cara-cara belajar baik dalam domain kognitif, afektif ataupun psikomotorik.
Namun demikian komponen utama latihan keterampilan belajar dalam konsepsi learning
how to learn difokuskan pada individu itu sendiri sebagai learner, sehingga setiap
individu dilatih untuk mengembangkanaya dan karakteristik belajarnya sendiri dan
bukan ‘dipaksa’ untuk mengikuti gaya belajar yang one size fits for all (satu cara yang
sama untuk semua orang).
DAFTAR PUSTAKA
Ariyanto. 2008. Surat Ijin Praktek Bidan. http://kpt.kamparkab.go.id/?q=node/53. Diakses
tanggal 12 Juni 2009.
Arikunto S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Hal: 106-24.
Bastable S. B. 2002. Perawat sebagai Pendidik. Jakarta: EGC. Hal: 56-8.
Hartono. 2008. SPSS 16.0 Analisis Data Statistika dan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Hal: 53-92.
Hidayat A. A. A. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta:
Salemba Medika. Hal: 140-3.
Iskandar. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif).
Jakarta: Gaung Persada Press.
Kartono K. 2004. Psikologi Umum. Bandung: Mandar Maju. Hal: 45-69.
Narbuko C, Achmadi A. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara. Hal: 125-
6.
Padminingrum D, Widiyanti E. 2005. Dasar-Dasar Komunikasi. (Modul Pembelajaran).
Surakarta: UNS. Hal: 71.
Poerwadarminto, W. J. S. 2005. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hal: 756-865.
Sardiman. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press. Hal: 73.
Sofyan, M. 2005. 50 Tahun IBI Bidan Menyongsong Masa Depan. Jakarta: Pengurus Pusat
IBI. Hal: 5-164.
Sugiyono. 2005. Metodologi Penelitian Administrasi. Bandung: CV Alfabeta. Hal: 98.
Sukmadinata N. S. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Hal: 156.
Sulistiyowati. 2008. Hubungan antara Harga Diri dengan Motivasi Belajar Mahasiswa
Semester II D IV Kebidanan UNS Surakarta 2007/2008. (Karya Tulis Ilmiah). Surakarta:
UNS.
Syah M. 2005. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Hal: 136-7.
Taufiqurohman M. A. 2008. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan.
Surakarta: UNS Prees. Hal: 54.
Wahyuningsih, H. P. 2007. Etika Profesi Dilengkapi Hukum Kesehatan Dalam Kesehatan.
Yogyakarta: Fitramaya.
Ainsworth,. M. D. S.b Blchar. M. C.. Walthers, E. & Wall, S. (I97B). Patterns of
Attacbment: A Psychological Study of the Strange Situation, Hillsdale. NJ: Erlbaum.
Advisory Council for Adult and Continuing Eduction ( 1983). Continuing Education from
Policies to Practice In M Tight {Ed). Qpprortunities for adult Education. Kent: Biddles
Limited.
Association for the Study of Confucianism, Shanxi Province. (Ed.).(l988) A Compendium
of Assays on the Study of Confucian thought. Taiyuan. Shanxi, China: Shanxi Renmin
Chubanshe
Ball,C. (1993). Lifelong Learningand The School Curriculum. Paris: OECD/CERI
Bedcr.H.W(I98l). Adult Education Should not Require Support from Learner Fees. .ln B.
53
W Kreitlon (Ed). Examining Controversies in Continuing Education. San Francisco:
Jossey-Bass.
Campbell, D. (1992). Parents and Schools Working for Student Succes. NASSP Bulletin
1.9
Chapman,J.D. & Aspin,D.N. (in press). The School, The Community and Lifelong
Learning, London: Cassell.
Chukyoshin. (1996). First Report of 15th Session of the Central Council for Education: A
tnodel for tlft nation’s Education in the 2 1st Century — Zest for Living and Peace of
Mind. (Translation). Tokyo: Monbusho
Delors,J. (1996). Learning: The Treasure Within. Paris: UNESCO
Kimura, L.L. & ‘Aha Punana Leo. (1987). The Hawailan Language and its
Revitalization . In F Ahcnakcw & S. Fredeen (Eds), Our Languages, our
Survival: Proceedings of the Seventh Native American Languages Issues (pp. Il7-l23).
Saskatoon: Saskatchewan Indian Languages Institute.
Monbusho. (1996). Japanese Government Policies in Eduction, Science and Culture 1996:
Tasks and & Prospects for a Lifelong learning Society: (Translation). Tokyo: Author.
Morin. R., & Balz D. (1996, January’ 28). Americans Losing trust in each oibcr and
institutions, Washington Post. A1,A6 & A7.
Watt.Y H.W. (1994). Motivation of Adult Learnes:Astudy of Student in the Open Learning
Institue of Hong Kong, With Policy Implications. Unpublished Mas-ter’s Thesis. City
Universiiy of Hong Kong. Hong Kong.
KEGIATAN BELAJAR 4
KONSEP PENGEMBANGAN KAPASITAS DAN KETAHANAN DIRI
( RESILIENCE )
KETAHANAN DIRI
Etika diperlukan dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup
tingkat internasional. Etika merupakan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya
manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan
dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud
pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing- masing yang terlibat
agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta
terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adatkebiasaan yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Negara hukum
(rechtstaat), mengandung sekurang-kurangnya 2 (dua) makna.“Pertama, adalah
pengaturan mengenai batasan-batasan peranan negara atau pemerintahan dalam men-
campuri kehidupan dan pergaulan masyarakat. Kedua, jaminanjaminan hukum akan
hak-hak, baik sipil atau hak-hak pribadi (individual rights), hak- hak politik (political
rights), mau pun hak-hak sebagai sebuah kelompok atau hak-hak sosial sebagai hak asasi
yang melekat. secara alamiah pada setiap insan, baik secara pribadi atau
kelompok”. Hak atas pelayanan dan perlindungan ke-sehatan bagi ibu dan anak merupakan
hak dasar sebagaimana termaktub dalam Undang– undang Dasar 1945. Pasal 28 H
UUD 1945 1Bagir Manan, Teori Politik dan Konstitusi, Yog-yakarta: Fakultas Hukum
UII Press, 2003, hlm. 24 menentukan bahwa setiap orang hidup sejahtera lahir dan batin
bertempat tinggal dan mendapat lingku-ngan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 menentukan bawha
negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak.
Bidan memberikan pelayanan kebidanan yang berkesinambungan dan paripurna, berfokus
pada aspek pencegahan, promosi dengan berlandaskan kemitraan dan pemberdayaan
masyarakat bersama-sama dengan tenaga kesehatan lainnya untuk senantiasa melayani
siapa saja yang membutuhkannya, kapan dan dimanapu ia berada. Untuk menjaga
kualitas tersebut diperlukan suatu standar profesi sebagai acuan untuk melakukan segala
tindakan dan sesuatu yang diberikan dalam seluruh aspek pengabdian profesinya kepada
individu, keluarga dan masyarakat baik dari aspek input, proses dan output. Sebagai
seorang tenaga ke- sehatan yang langsung memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat, seorang bidan harus melakukan tindakan dalam praktik kebidanan secara
etis, serta harus memiliki etika kebidanan yang sesuai dengan nilai-nilai keyakinan
filosof i profesi dan masyarakat. Selain itu bidan juga berperan dalam memberikan
persalinan yang aman, memastikan bahwa semua penolong persalinan mempunyai
pengetahuan, ketrampilan dan alat untuk memberikan pertolongan yang aman dan
bersih.Keberadaan bidan di Indonesia sangat diperlukan dalam upaya
meningkatkan ke sejah ter aan ibu d an jan in n ya salah satu upaya yang d ilakukan oleh
pemer in tah adalah mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap ibu yang
membutuhkannya. Akuntabilitas bidan dalam praktik kebidanan merupakan suatu hal
yang penting dan di tuntut dari suatu profesi, terutama profesi yang berhubungan dengan
keselamatan jiwa manusia, adalah pertanggung jawaban dan 2 Yanti dan W E
Nurul, Etika Profesi Dan Hukum Kebidanan, Yogyakarta: Pustaka Rihama,2010, hlm. 85
tanggung gugat (accountability) atas semua tindakan yang dilakukuannya. Sehingga semua
tindakan yang dilakukan oleh bidan harus berbasis kompetensi dan didasari suatu evidence
based. Accountability diperkuat dengan satu landasan hokum yang mengatur batas-batas
wewenang profesi yang bersangkutan.
Berbicara mengenai hukum dibidang kesehatan (kebidanan), apabila yang dimaksud
dengan hukum itu dalam arti sebagai struktur dan aturanaturan, maka pernyataan ini meru-
pakan salah satu dari 3 (tiga) macam pedoman yang ada. Pertama, hukum dalam arti
bahwa ada kekuatan-kekuatan sosial (dan hukum) yang dalam beberapa hal dirasakan
sebagai suatu keharusan atau wajib, sehingga dalam hal demikian itu terbentuk hukum;
Kedua, baru pada hu-kumnya sendiri yang berupa struktur dan aturan yang dalam
kenyataannya juga disebutkan Berdasarkan pembagian di atas, hukum kesehatan
(kebidanan) masuk pada kategori yang kedua, yaitu struktur dan aturan-aturan sebagai
satu keseluruhan yang secara utuh berhubungan dengan sistem hukum tertentu, yaitu
sistem yang dianut dalam masyarakat dan Negara Republik Indonesia, hukum
kesehatan (kebidanan dalam hal ini) meliputi peraturan hukum tertulis, kebiasaan,
yurisprudensi dan doktrin/ajaran ilmu pengetahuan, sedangkan objek hukum ke Undang-
Undang kesehatan yang baru ini mendefinisikan Tenaga Kesehatan sebagai setiap orang
yang mengabadikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/ atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang sehatan (kebidanan) adalah
perawatan kesehatan.
Untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga
kesehatan dikelompokkan ke dalam tenaga medis (dokter, dokter gigi, dokter spesialis
dan dokter gigi spesialis), tenaga psikologis klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan,
tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga
gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisan medis, tenaga teknik biomedika, tenaga
kesehatan tradisional, dan tenaga kesehatan lain. Tenaga Kebidanan yaitu bidan baik yang
bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja
atau bidan yang diberikan tugas khusus, mereka samasama memiliki tugas sebagai
tenaga kesehatan yang memiliki hak dan kewajiban sebagai tenaga kesehatan sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 57, Pasal 58 dan Pasal 59. Kewenangan bidan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 62 ayat 1 mengatakan bahwa Tenaga kesehatan dalam menjalankan
praktek harus dilakukan sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang
dimilikinya. Menurut penjelasan Pasal 62 ayat (1) huruf c Undang-Undang RI No. 36
Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, yang dimaksud dengan “kewenangan berdasarkan
kompetensinya” adalah kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan secara mandiri
sesuai dengan lingkup dan tingkat kompentensinya, antara lain untuk bidan adalah ia
memiliki kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan ibu, pelayanan kesehatan
anak, pelayanan kesehatan reproduksi dan Keluarga Berencana. Jika bidan tidak
melaksanakan ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang RI No. 36 Tahun
2014 tentang Tenaga Kesehatan, ia dikenai sanksi administratif. Ketentuan sanksi ini diatur
dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan. Sanksi yang dikenal dalam Undang- Undang RI No. 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan adalah sanksi administratif, yakni sanksi ini dijatuhkan jika bidan yang
bersangkutan dalam menjalankan praktiknya tidak sesuai dengan kompetensi yang
dimilikinya.
B. Model Partisipasi Pemimpin oleh Vroom clan Y etton Suatu teori kepemimpinan yang
memberikan seperangkat aturan untuk menentukan ragam clan banyaknya pengambilan
keputusan partisipatif dalam situasi-situasi yang berlainan. Kebalikan dari Fiedler, Vroom
clan Yetton berasumsi bahwa pemimpin hams lebih luwes untuk mengubah gaya
kepemimpinan agar sesuai dengan situasi. Dalam mengembangkan modelnya mereka
membuat sejumlah asumsi:
a). Model tersebut hams bermanfaat bagi pemimpin atau manajer dalam menentukan gaya
kepemimpinan yang hams mereka gunakan dalam berbagai situasi.
b). Tidak ada gaya kepemimpinan tunggal dapat diterapkan dalam berbagai situasi
c). Perhatian utama terletak pada masalah yang hams dipecahkan dan situasi dimana terjadi
permasalahan.
d). Gaya kepemimpinan yang digunakan dalam suatu situasi tidak boleh bertentangan
dengan gaya yang digunakan dalam situasi yang lain
e) Terdapat sejumlah proses sosial yang mempengaruhi kadar keikutsertaan bawahan dalam
pemecahan masalah. Model ini mempertahankan 5 gaya kepemimpinan yang
menggambarkan kontinum dari pendekatan otoriter (AI, All), ke konsultatif (CI, CII)
sampai pendekatan yang sepenuhnya partisipatif (GIi ), lebih jelas dijabarkan sebagai
berikut: AI. Pemimpin menyelesaikan maslah atau membuat keputusan menggunkan
informasi yang tersedia pada saat itu. AII.Pemimpin memperoleh informasi yang
diperlukan bawahan, dan kemudian memutuskan sendiri penyelesaian atas masalah
sebenamya ketika mereka meminta informasi. Peran yang dimainkan bawahan dalam
membuat keputusan jelas menyediakan informasi yang perlu kepada manajer,
bukannya membuat atau mengevaluasi penyelesaian altematif. CI. Pemimpin berbagi
masalah dengan bawahan yang relevan secara individual, mendapatkan ide dan saran
mereka tanpa mengumpulkan mereka sebagai sebuah kelompok. Kemudian pemimpin
membuat keputusan yang bisa mencerminkan atau tidak pengamh bawahan.
CII.Pemimpin berbagi masalah dengan bawahan sebagai suatu kelompok, secara
kolektif memperoleh ide dan saran mereka.
C. ModelJalur-Tujuan (Path Goa/Mode� Seperti pendekatan kepemimpinan situasional
atau · kontingensi lainnya, model kepemimpinan jalur-tujuan berusaha meramalkan
efektifitas kepemimpinan dalam berbagai situasi, Menurut model yang dikembangkan oleh
Robert J. House (dikutip dari buku Perilaku Organisasi), pemimpin menjadi efektif karena
pengaruh motivasi · mereka yang . positif,. kemampuan . untuk melaksanakan, clan
kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai jalur-tujuan karena memfokuskan pada
bagaimana · pemimpin mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan
pengembangan diri, clan jalan untuk mencapai tujuan.
D. Teori Kepemimpinan Situasional Hersey-Blanchard Hersey clan Blanchard telah
mengembangkan suatu model kepemimpinan yang telah memperoleh pengikut yang kuat di
kalangan spesialis pengembangan manajemen>Model ini disebut teori kepemimpinan
situasional. Penekanan teori kepemimpinan situasional adalah pada pengikut-pengikut clan
tingkat· kematangan mereka. Para pemimpin hams menilai secara benar atau secara intuitif
mengetahui tingkat kematangan pengikut-pengikutnya clan kemudian menggunakan suatu
gaya kepemimpinan yang sesuai dengan tingkatan tersebut. Kesiapan didefinisikan sebagai
kemampuan clan kemauan dari orang (pengikut) untuk mengambil tanggung jawab · bagi
pengarahan perilaku mereka sendiri. Hersey clan Blanchard menggunakan studi Ohio
State .untuk mengembangkan · lebih Ian jut keempat gaya kepemimpinan yang dimiliki
manajer:
(a) mengatakan/Te//ing,
(b) Menjual/ Selling,
(c) Berpartisipasi/ Participating clan
(d) Mendelegasikan/ Delegating Kepemimpinan situasional menurut Hersey clan Blanchard
adalah didasarkan pada saling berhubungannya di antara hal-hal berikut ini :
(a) jumlah petunjuk clan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan,
(b) jumlah dukungan sosio emosional yang diberikan oleh pimpinan clan
(c) tingkat kesiapan atau kematangan para pengikut yang ditunjukkan dalam melaksanakan
tugas khusus, fungsi atau tujuan tertentu.
E. Pendekatan Hubungan Berpasangan Vertikal Suatu pandangan bahwa tidak ada hal
seperti perilaku pemimpin yang konsisten terhadap seluruh bawahan. Tiap hubungan satu-
satu memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Pendekatan ini mengusulkan bahwa pemimpin
mengklasifikasikan bawahan ke dalam anggota dalam-kelompok dan anggota luar-
kelompok. Anggota. dalam-kelompok memiliki rasa keterikatan dan sistem nilai yang
sama, dan berinteraksi dengan pemimpinnya. Anggota luar-kelompok memiliki kesamaan
yang lebih sedikit dengan pemimpinnya clan ticlak membagi banyak dengannya.
MANAJEMEN KEBIDANAN
1. KONSEP DAN PRINSIP MANAJEMEN SECARA UMUM
Manajemen adalah membuat pekerjaan selesai (getting things done). Manajemen adalah
mengungkapkan apa yang hendak dikerjakan, kemudian menyelesaikannya. Manajemen
adalah menentukan tujuan dahulu secara pasti (yakni menyatakan dengan rinci apa yang
hendak dituju) dan mencapainya. Prinsip-prinsip manajemen
a. Efisiensi
Efisiensi adalah bagaimana mencapai akhir dengan hanya menggunakan sarana yang perlu,
atau dengan menggunakan sarana sesedikit mungkin. Efisiensi adalah ukuran mengenai
hubungan antara hasil yang dicapai dan usaha yang telah di keluarkan (misalnya oleh
seorang tenaga kesehatan).
b. Efektivitas
Efektivitas adalah seberapa besar suatu tujuan sedang, atau telah tercapai, efektivitas
merupakan sesuatu yang hendak ditingkatkan oleh manajemen.
c. Rasional dalam mengambil keputusan
Pengambilan keputusan yang rasional sangat diperlukan dalam proses manajemen.
Keputusan merupakan suatu pilihan dari dua atau lebih tindakan. Dalam istilah manajemen,
pengambilan keputusan merupakan jawaban atas pertanyaan tentang perkembangan suatu
kegiatan.
MANAJEMEN KEBIDANAN
Buku 50 tahun IBI, 2007, Manajemen Kebidanan adalah pendekatan yang digunakan oleh
bidan dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis mulai dari
pengkajian, analisis data, diagnosis kebidanan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Depkes RI, 2005, manajemen kebidanan adalah metode dan pendekatan pemecahan
masalah ibu dan khusus dilakukan oleh bidan dalam memberikan asuhan kebidanan pada
individu, keluarga dan masyarakat. Helen Varney, 1997, manajemen kebidanan adalah
proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai metode untuk mengorganisasikan
pikiran dan tindakan berdasarkan teori ilmiah, penemuan-penemuan, ketrampilan dalam
rangkaian atau tahapan yang logis untuk pengambilan suatu keputusan yang berfokus pada
klien. Proses manajemen kebidanan sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh ACNM
(1999) terdiri atas:
a. Mengumpulkan dan memperbaharui data yang lengkap dan relevan secara sistematis
melalui pengkajian yang komprehensif terhadap kesehatan setiap klien, termasuk
mengkaji riwayat kesehatan dan melakukan pemeriksaan fisik.
b. Mengidentifikasi masalah dan membuat diagnosis berdasar interpretasi data dasar.
c. Mengidentifikasi kebutuhan terhadap asuhan kesehatan dalam menyelesaikan masalah
dan merumuskan tujuan asuhan kesehatan bersama klien.
d. Memberi informasi dan dukungan kepada klien sehingga mampu membuat keputusan
dan bertanggungjawab terhadap kesehatannya.
e. Membuat rencana asuhan yang komprehensif bersama klien.
f. Secara pribadi, bertanggungjawab terhadap implementasi rencana individual.
g. Melakukan konsultasi perencanaan, melaksanakan manajemen dengan berkolaborasi,
dan merujuk klien untuk mendapat asuhan selanjutnya.
h. Merencanakan manajemen terhadap komplikasi dalam situasi darurat jika terdapat
penyimpangan dari keadaan normal.
i. Melakukan evaluasi bersama klien terhadap pencapaian asuhan kesehatan dan merevisi
rencana asuhan sesuai dengan kebutuhan.
MANAJEMEN KEBIDANAN
Buku 50 tahun IBI, 2007, Manajemen Kebidanan adalah pendekatan yang digunakan oleh
bidan dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis mulai dari
pengkajian, analisis data, diagnosis kebidanan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Depkes RI, 2005, manajemen kebidanan adalah metode dan pendekatan pemecahan
masalah ibu dan khusus dilakukan oleh bidan dalam memberikan asuhan kebidanan pada
individu, keluarga dan masyarakat. Helen Varney, 1997, manajemen kebidanan adalah
proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai metode untuk mengorganisasikan
pikiran dan tindakan berdasarkan teori ilmiah, penemuan-penemuan, ketrampilan dalam
rangkaian atau tahapan yang logis untuk pengambilan suatu keputusan yang berfokus pada
klien. Proses manajemen kebidanan sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh ACNM
(1999) terdiri atas:
a. Mengumpulkan dan memperbaharui data yang lengkap dan relevan secara sistematis
melalui pengkajian yang komprehensif terhadap kesehatan setiap klien, termasuk mengkaji
riwayat kesehatan dan melakukan pemeriksaan fisik.
b. Mengidentifikasi masalah dan membuat diagnosis berdasar interpretasi data dasar.
c. Mengidentifikasi kebutuhan terhadap asuhan kesehatan dalam menyelesaikan masalah
dan merumuskan tujuan asuhan kesehatan bersama klien.
d. Memberi informasi dan dukungan kepada klien sehingga mampu membuat keputusan
dan bertanggungjawab terhadap kesehatannya.
e. Membuat rencana asuhan yang komprehensif bersama klien.
f. Secara pribadi, bertanggungjawab terhadap implementasi rencana individual.
g. Melakukan konsultasi perencanaan, melaksanakan manajemen dengan berkolaborasi,
dan merujuk klien untuk mendapat asuhan selanjutnya.
h. Merencanakan manajemen terhadap komplikasi dalam situasi darurat jika terdapat
penyimpangan dari keadaan normal.
i. Melakukan evaluasi bersama klien terhadap pencapaian asuhan kesehatan dan merevisi
rencana asuhan sesuai dengan kebutuhan.
Salah satu faktor penting yang berkontribusi terhadap kematian ibu adalah kualitas
pelayanan, data menunjukkan bahwa secara nasional sebanyak 44% kematian ibu terjadi di
rumah sakit. Sehingga kualitas pelayanan dan ketepatan waktu merujuk dari pelayanan
dasar perlu untuk ditingkatkan.iii Sambutan WaMenKes pada workshop memperingati hari
bidan sedunia tanggal 15 Mei 2012 lalu mengharapkan bidan sebagai salah satu profesi
terdepan dalam mempercepat pencapaian MDGs 2015 khususnya pada tujuan 4-5.
Kebijakan.
pemerintah yang mengakui bidan profesional dengan pendidikan minimal diploma
tiga dan pelatihan-pelatihan keterampilan profesi tambahan oleh IBI agar dapat
berimplikasi pada peningkatan kinerja bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan. Pada
kesempatan yang sama, Harni Kusno (ketua IBI 2012) menggambarkan profesi bidan
dalam memberikan pelayanan kesehatan haruslah sabar, penuh perhatian, cinta,
menyentuh, mendengarkan, penuh pengertian, pendamping perempuan dan keluarganya,
memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan praktek kebidanan.
Kinerja pada dasarnya merupakan fungsi-fungsi suatu pekerjaan atau keluaran
(outcome) suatu pekerjaan, dimana pekerjaan adalah suatu proses yang mengolah input
menjadi output (hasil kerja). Guna mengukur suatu kinerja diperlukan indikator kinerja
bidan, kinerja tersebut mengandung kompetensi dan produktivitas bidan tersebut dimana
kompetensi tersebut sesuai dengan KEPMENKES 369/2007 bahwa bidan bekerja di
berbagai tingkat pelayanan kesehatan, yakni rumah, masyarakat, rumah sakit, klinik, dll
dengan sembilan kompetensi dasar, kondisi yang ingin dicapai tahun 2015 dimana semua
ibu hamil bersalin di tempat yang memiliki fasilitas kesehatan yg berkualitas dan memnuhi
standar.
Goleman (2007) mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan
memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain serta menggunakan
perasaan-perasaan tersebut untuk memandu pikiran dan tindakan, sehingga kecerdasan
emosi sangat diperlukan untuk sukses dalam bekerja dan menghasilkan kinerja yang
menonjol dalam pekerjaan. viii Penelitian terdahulu tentang Hubungan IQ, EQ dan SQ
terhadap hasil belajar lulusan dengan indikator IPK lulusan, hasil penelitian menunjukan
kecerdasan intelektual berkontribusi terhadap nilai kelulusan mahasiswa sebesar 36,8%
(R2=0,368). Kecerdasan emosional berkontribusi terhadap nilai kelulusan mahasiswa
sebesar 31,0 % (R2=0,310) dan kecerdasan spiritual berkontribusi terhadap nilai kelulusan
mahasiswa adalah sebesar 20,2 % (R2=0,202).
Kecerdasan spiritual memungkinkan seseorang untuk berpikir kreatif, berwawasan
jauh, membuat atau bahkan mengubah aturan, yang membuat orang tersebut dapat bekerja
lebih baik. Secara singkat, kecerdasan spiritual mampu mengintegrasikan dua kemampuan
lain yang telah dikenal yakni IQ dan EQ (Idrus, 2002). Zohar dan Marshal (2001) ix
mengatakan bahwa kecerdasan spiritual mampu menjadikan manusia sebagai mahluk yang
lengkap secara intelektual, emosional dan spiritual. Menurut Gibson (1987)x ada tiga faktor
yang berpengaruh terhadap kinerja seseorang. Pertama adalah faktor individu (kemampuan,
keterampilan, latar belakang keluarga, pengalaman serta tingkat sosial dan demografi),
yang kedua adalah faktor psikologis (persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan
kepuasan kerja) serta yang ketiga adalah faktor organisasi (struktur organisasi, desain
pekerjaan, kepemimpinan dan sistem penghargaan). xi Rumah Sakit Islam Jakarta yang
berada di tiga lokasi diatas memiliki manajemen yang secara langsung dibawah pembinaan
majelis kesehatan organisasi Muhammadiyah dan termasuk kriteria Rumah Sakit Sayang
Ibu. Sebagai upaya dalam menjaga mutu pelayanan, maka setiap pasien pasca perawatan
termasuk ruang pelayanan kebidanan diberikan angket tentang kepuasan terhadap
pelayanan, setiap bulan dilakukan tabulasi terhadap angket dan dievaluasi kepuasan pasien
terhadap pelayan, lalu hasil ini disampaikan pada rapat bulanan direksi dan kepala ruangan
terkait. Dari catatan kepala ruangan kebidanan di tiga lokasi RSIslam Jakarta (RSIJ)
tersebut pada enam bulan terakhir masih terdapat 8-12% pasien yang kurang puas dengan
pelayanan yang diberikan, baik terhadap sarana prasarana, pelayanan non medis dan
pelayanan bidan yang bertugas yang tentunya hal ini juga terkait dengan kinerja bidan
sebagai pemberi pelayanan yang utama.
Perilaku terwujud secara nyata dari seperangkat pengetahuan kebudayaan. Sistem budaya,
berarti mewujudkan perilaku sebagai suatu tindakan yang kongkrit dan dapat dilihat, yang
diwujudkan dalam sistem sosial. Berbicara tentang konsep perilaku, hal ini berarti
merupakan satu kesatuan dengan konsep kebudayaan. Perilaku kesehatan seseorang sangat
berkaitan dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam lingkungan sosialnya,
berkaitan dengan terapi, pencegahan penyakit (fisik, psikis, dan sosial) berdasarkan
kebudayaan masing-masing Dumatubun (2002). Selain dengan pengamalan perilaku dalam
konteks budaya,pengamalan perilaku setiap individu sangat erat kaitannya dengan “belief,
kepercayaan” sebagai bagian nilai budaya masyarakat bersangkutan (Ngatimin,2005).
Nilai-nilai sosial budaya memiliki arti penting bagi manusia dan masyarakat penganutnya,
didalamnya tercakup segala sesuatu yang mengatur hidup mereka termasuk tatacara
mencari pengobatan bila sakit. Kekurangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan
disertai pengalaman hidup sehari-hari yang diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya membuat mereka mencari pemecahan timbulnya penyakit, penyebaran dan cara
pengobatan menuju kearah percaya akan adanya pengaruh roh halus dan tahyul.
Perilaku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan merupakan suatu tingkah laku
yang selektif, terencana, dan tanda dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan bagian
dari budaya masyarakat yang bersangkutan. Perilaku tersebut terpola dalam kehidupan nilai
sosial budaya yang ditujukan bagi masyarakat tersebut. Perilaku merupakan tindakan atau
kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang untuk kepentingan atau
pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma
kelompok yang bersangkutan. Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur,
dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial dalam
memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit
maupun menyembuhkan diri dari penyakit Kalangi (1994). Oleh karena itu dalam
memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya dengan
kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-individunya.
Penelitian yang dilakukan Emiliana dan M Hakimi (2011) di Kecamatan Banyuurip bahwa
walaupun kuat dalam beragama dan tekun beribadah, masyarakat Bayuurip masih
melakukan patangan-pantangan makanan tertentu berkenaan dengan kehamilan. Hal serupa
juga dinyatakan oleh Fauziah (2011) yaitu perempuan hamil di Aceh harus menghormati
berbagai ketentuan misterius tertentu yang disebut pantang. Keteledoran memenuhi pantang
tersebut diyakini berakibat buruk terhadap perempuan hamil maupun calon bayi.
Perempuan hamil di Aceh diharuskan mematuhi berbagai mitos selama kehamilan
disebabkan karena perempuan akan menjadi pihak yang dipersalahkan jika terjadi
gangguan kehamilan. Mitos tentang kehamilan dipercaya mempunyai peranan positif
sebagai bentuk pengawasan terhadap kehamilan.
Devy S (2011) dalam penelitiannya tentang perawatan kehamilan dalam perspektif budaya
Madura menyatakan bahwa perawatan kehamilan yang dilakukan oleh ibu hamil masih
dikaitkan dengan unsur-unsur budaya berupa ideal, aktivitas, dan artifak, walaupun tidak
berguna menurut ilmu pengetahuan medis modern namun masih dilakukan karena
menganggab budaya dalam asuhan kehamilan sudah terbukti pada orang-orang. Perawatan
kehamilan sesuai dengan budaya Madura dapat membuat rasa aman saat masa kehamilan.
Perawatan kehamilan sesuai dengan budaya Madura dianjurkan oleh keluarga ibu hamil
(orang tua,mertua dan nenek) sehingga ibu hamil tidak berani melanggar pantangan-
pantangan yang ada.
Tradisi budaya Jawa seperti minum jamu, pantang makanan tertentu, pijat untuk kebugaran
ibu setelah melahirkan masih dijalankan. Nuansa budaya Jawa tercermin dalam berbagai
ritual budaya yang diwarnai oleh agama (islam) yaitu mulai dari mitoni (munari), krayanan
(brokohan), resikan (walikan) dan kekahan (aqiqah). Kelalain orang tua mematuhi
pantangan tertentu akan berdampak yang tidak baik bagi janin yang dikandung seperti bibir
sumbing dikaitkan dengan perilaku orang tua yang tidak baik sebelum hamil (Suryawati,
2007).
Sri Handayani dalam penelitiannya yang berjudul Aspek sosial budaya pada kehamilan,
persalinan dan nifas di Indonesia menuliskan berbagai pantangan dan kebiasaaan saat hamil
diantaranya pada masyarakat Kerinci Jambi, wanita hamil dilarang makan sayur rebung
agar bayinya tidak berbulu sepeti rebung. Mereka juga dilarang makan jantung pisang agar
anaknya lahir tidak terlalu kecil, atau mengonsumsi jendawa/jamur karena akan
menyebabkan placenta menjadi kembar sehingga mengalami kesulitan waktu melahirkan,
alasan ini merupakan keyakinan budaya. Keyakinan lain pada masyarakat Keruak Lombok
timur, wanita hamil dilarang makan gurita, cumi, kepiting, udang dan ikan pari. Ikan gurita
dan cumi dianggap mempunyai kaki yang lekat dan mencengkeram, hal ini diasosiasikan
ari-ari bayi akan lekat dan mencengkeram rahim ibu sehingga bayi susah lahir. Makan
udang yang bentuknya melengkung dianggap akan menyebabkan bayi berbentuk serupa
sehingga mempersulit kelahiran. Penduduk setempat juga percaya bahwa pada saat hamil
harus makan sebanyak-banyaknya dalam arti kuantitas, bukan kualitas.
Sri Handayani (2010) juga menuliskan kebiasaan pada masyarakat Biak Numfor (Irian),
suami isteri yang tengah menantikan kelahiran bayinya dilarang makan daging hewan
tertentu diantaranya kura-kura. Pantangan yang hubungannya dengan asosiatif atau adat
memantang yang berhubungan dengan pantangan perbuatan atas dasar keyakinan sifat
ghoib, karena terdapat sejumlah pantangan perbuatan yang melarang wanita hamil dan
suaminya melakukan hal-hal tertentu yang secara ghoib diaggap dapat berakibat buruk bagi
bayi mereka, sebagai contoh di Kemantan Kabupaten Kebalai, seorang wanita hamil
pantang masuk hutan karena akan diintai harimau, pantang keluar waktu maghrib akan
menyebabkan beranak hantu, pantang menjalin rambut bila keluar rumah akan
menyebabkan leher bayi terlilit tali pusatnya sendiri, pantang duduk di tanah atau di batu,
akan sulit melahirkan, pantang bernadzar yang hebat-hebat karena kelak air liur bayinya
akan meleleh terus.
Budaya pantang makana pada ibu hamil sebenarnya justru merugikan kesehatan ibu hamil
dan janin yang dikandungnya. Misalnya ibu hamil dilarang makan telur dan daging,
padahal telur dan daging justru sangat diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan gizi ibu
hamil dan janin. Berbagai pantangan tersebut akhirnya menyebabkan ibu hamil kekurangan
gizi seperti anemia dan kurang energi kronis (KEK). Dampaknya, ibu mengalami
pendarahan pada saat persalinan dan bayi yang dilahirkan memiliki berat badan rendah
(BBLR) yaitu bayi lahir dengan berat kurang dari 2.5 kg. Tentunya hal ini sangat
mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. (Khazanah 2011) Hasil penelitian
menunjukkan makanan pantangan dari golongan hewani (udang, cumi dan ikan pari)
termasuk makanan yang mengandung zat besi golongan hem yaitu zat besi yang berasal
dari haemoglobin dan mioglobin. Zat besi pada pangan hewani lebih tinggi penyerapannya
yaitu 20-30%, sedangkan dari sumber nabati hanya 1-6%. (Arief, 2008) Penelitian di
University of Tsukuba, Jepang bahkan membuktikan kandungan sulfur pada durian bisa
menghambat metabolisme alkohol dan bisa memicu kematian. Semua itu bahaya yang ada
pada durian jika memakannya terlalu banyak atau dibarengi dengan makanan tinggi
kolesterol lainnya seperti daging atau alkohol (Boy,2011 dalam Khairunnisa, 2011).
Durian juga mengandung kalori yang tinggi. Buah durian bersifat panas sehingga pasien
diabetes atau ibu hamil sangat tidak dianjurkan makan durian. Selain itu dalam 100 gram
durian terkandung 147 Kkal. Itu artinya ketika seseorang makan 1 kg durian, jumlah kalori
yang didapatkan 1.470 Kkal atau sudah sebanding dengan porsi makannya selama satu hari.
Durian juga banyak mengandung gula meski ada kandung mangan yang bisa menjaga kadar
gula tetap stabil. Bagi ibu hamil, durian diyakini tidak baik karena mengandung banyak
gula dan sedikit alkohol. (Khairunnisa, 2011).
RANGKUMAN
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-
budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Citra budaya yang
bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai
perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam
anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan
pertalian dengan hidup mereka.
Beberapa perilaku dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pelayanan kebidanan di
komunitas diantaranya :
1. Health Believe: Tradisi-tradisi yang diberlakukan secara turun-temurun.
2. Life Style : Gaya hidup yang berpengaruh terhadap kesehatan. Contohnya gaya hidup
kawin cerai di lombok atau gaya hidup perokok (yang juga termasuk bagian dari aspek
sosial budaya).
3. Health Seeking Behavior : Salah satu bentuk perilaku sosial budaya yang mempercayai
apabila seseorang sakit tidak perlu pelayanan kesehatan, akan tetapi cukup dengan
membeli obat di warung atau mendatangi dukun. Budaya adalah kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum dan adat istiadat menurut EB
Taylor sedangkan menurut Soemardjan adalah semua hasil karya, rasa cipta, masyarakat
yang berfungsi sebagai tempat berlindung, kebutuhan makanan dan minum, pakaian dan
perhiasan serta mepunyai kepribadian Syafrudin (2009). Budaya berkenaan dengan cara
manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa
yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek
komunikasi, tindakan sosial, kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu
berdasarkan pola-pola budaya (Mulyana, 2002).
Dengan memanfaatkan media sosial, sebuah produk dapat lebih mudah dikenal oleh
konsumen, hal ini dikarenakan pada saat ini pengguna media sosial semankin banyak dan
penggunanya juga tidak terbatas oleh usia, wilayah, waktu dan lainnya. Kehadiran media
sosial dalam pemasaran pada era digital bisa dilihat dari dua sisi, yaitu sisi pengiklan dan
sisi pengguna media sosial. Dari sisi pengiklan, media sosial memberikan tawaran dengan
konten yang beragam. Iklan tidak hanya dapat diproduksi dalam bentuk teks, tapi juga bisa
audio, visual, bahkan audio-visual. Produksi iklan dan pemanfaatan media sosial juga
cenderung membutuhkan biaya yang lebih murah, dibandingkan dengan pembuatan iklan di
media massa yang bisa menghabiskan jutaan bahkan ratusan juta untuk sekedar iklan, dan
sifatnya yang terbatas sedangkan dengan menggunakan media sosial itu tidak, baik dari
segi waktu, maupun jumlah yang melihat iklan tersebut. Kehadiran media sosial
memberikan alternatif pilihan bagaimana praktik pemasaran pada era digital ini bisa
berubah dari iklan berbayar menjadi iklan berdasarkan pengguna (user experience) yang
cenderung berbiaya kecil dan terkadang tanpa biasa sama sekali. Fasilitas di media sosial
dan bagaimana pengguna memanfaatkan media sosial untuk berbagi ralitas diri offlaine-
nya secara online memberikan arah balik bagaimana periklanan itu bekerja. Pengguna
secara sadar maupun tidak, menginformasikan pengalaman mereka dalam menggunakan
produk atau jasa. Banyak riset yang menyebutkan media sosial sebagai sarana untuk
pengguna berbagi pikiran, pengalaman, bahkan pandangan terhadap sebuah peristiwa.
Karena itu, tidak mengherankan apabila pengguna media sosial adalah juga konsumen yang
bisa mempromosikan sebuah produk atau sering juga disebut Consumer Generated Media
(CGM ).
Praktik GCM meliputi :
a. Consumer Generated Multimedia (GCM2) adalah tipe konsumen yang mengunggah
pengalaman dan pendapat mereka mengenai sebuah produk atau jasa dalam berbagai
bentuk media, baik video, audio, dan audio-video. Konten ini sangt berbeda dengan
citizen advertising, dimana iklan sengaja dibuat untuk mempengaruhi atau mengajak
konsumen secara verbal memakai sebuah produk atau jasa, sedangkan CGM2 lebih
menitik beratkan pada pengalaman pengguna media sosial.
Public Relations atau hubungan masyarakat bukan pada pencitraan semata, melainkan juga
adanya komunikasi timbal balik dan saling pengertian antara perusahhan dam publik.
Keberagaman publik memerlukan konten atau program public relations yang juga berbeda-
beda,. Bayangkan, sebelum ada era internet, para praktisi harus melayangkan publikasi
semacam brosur, selebaran kepada publik mereka dengan surat berlangganan yang harus
dikirim satu demi satu kealamt rumah, dikerjakan secara berkala, dan jarang melibatkan
biaya. Kehadiran media sosial dan inovasi internet membawa perubahan terhadap praktik
public relations yang selama ini dilakukan. Apa yang ditawarkan oleh internet dan
perangkaty yang ada di media sosial bisa digunakan untuk menjangkau keberagaman
publik. Target publik di internet bisa menjadi lebih spesifik dan lebih sesuai dengan apa
yang ingin dicapai. Pengguna media sosial juga bisa dijadikan corong bagi organisasi
public relations untuk menjaga dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya
krisis komunikasi dan dalam melkukan negosiasi (lobbying) dengan pengguna media sosial
lainnya. SMK Negeri 1 Bulakamba juga menggunakan media sosial salah satunya yaitu
melalui e-mail untuk menerima masukan. Hal ini dilakukan oleh pihaksekolah untuk bisa
meningkatkan hubungan timbal balik antar sekolah dengan masyarakat, dan sekolah dengan
mitra kerja.
4. Media Sosial sebagai Tempat informasi dan Silaturahmi
Dengan memanfaatkan media sosial atau jejaring sosial, semua orang bisa melakukan
komunikasi secara online, seperti chatting, pemberitahuan kabar, dan undangan. Bahkan
bagi mereka yang sudah terbiasa, komunikasi dalam media sosial lebih efektif dari pada
melalui call atau sms mobile. Media sosial juga sebagai tempat untuk mengenal orang baru
dan membuat sebuah komunitas tertentu, sehingga kita bisa mengenal banyak orang di
berbagai daerah tanpa harus bertemu, juga membuat sebuah komunitas dengan ide atau
hoby yang sama.
2. Dapat Mengakibatkan Merosotnya Motifasi dan Prestasi bagi Pelajar. Prestasi belajar
siswa menurun akibat terlalu sering membuka situs jejaring sosial di internet. Hal ini
mungkin karena motivasi belajar siswa tersebut juga menjadi berkurang karena lebih
mementingkan jejaring sosialnya daripada prestasi belajarnya sendiri.
Jika terlalu asyik bermain menggunakan sosial media menyebabkan malas untuk membuka
kembali buku pelajaran sekolah atau kuliah. Saat ingin mengerjakan tugas sekolah atau
kuliah pun inginnya segera cepat karena sudah terfokus dengan sosial media. Alhasil
kualitas daya belajar mereka pun menurun akibat penggunaan yang berlebihan. Hal ini
senada dengan pengakuan dari seorang siswa jurusan akuntansi yang mengatakan bahwa
dia merasa prestasinya menurun karena menggunakan media sosial yang tidak terkontrol.
Akan tetapi tidak semuanya media sosial memberikan efek negatif bagi prestasi siswa,
akan tetapi juga bisa membuat prestasi siswa lebih meningkat, hal ini dirasakan sendiri oleh
Sri Intan Rokhayati yang telah menggunakan media sosial sejak tiga tahun yang lalu. Dia
mengaku bahwa prestasinya sekarang ini berkat bantuan dari media sosial,
RANGKUMAN
Evidence based practice (EBP) adalah sebuah proses yang akan membantu tenaga
kesehatan agar mampu uptodate atau cara agar mampu memperoleh informasi terbaru yang
dapat menjadi bahan untuk membuat keputusan klinis yang efektif dan efisien sehingga
dapat memberikan perawatan terbaik kepada pasien (Macnee, 2011). Sedangkan menurut
(Bostwick, 2013) evidence based practice adalah starategi untuk memperolah pengetahuan
dan skill untuk bisa meningkatkan tingkah laku yang positif sehingga bisa menerapakan
EBP didalam praktik.
Tujuan utama di implementasikannya evidance based practice di dalam praktek
keperawatan adalah untuk meningkatkan kualitas perawatan dan memberikan hasil yang
terbaik dari asuhan keperawatan yang diberikan. Selain itu juga, dengan dimaksimalkannya
kualitas perawatan tingkat kesembuhan pasien bisa lebih cepat dan lama perawatan bisa
lebih pendek serta biaya perawatan bisa ditekan (Madarshahian et al., 2012). Dalam
rutinititas sehari-hari para tenaga kesehatan profesional tidak hanya perawat namun juga
ahli farmasi, dokter, dan tenaga kesehatan profesional lainnya sering kali mencari jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul ketika memilih atau membandingkan treatment
terbaik yang akan diberikan kepada pasien/klien, misalnya saja pada pasien post operasi
bedah akan muncul pertanyaan apakah teknik pernapasan relaksasi itu lebih baik untuk
menurunkan kecemasan dibandingkan dengan cognitive behaviour theraphy, apakah teknik
relaksasi lebih efektif jika dibandingkan dengan teknik distraksi untuk mengurangi nyeri
pasien ibu partum kala 1.
JAWABAN SOAL LATIHAN
1. Evidence based practice (EBP) adalah sebuah proses yang akan membantu tenaga
kesehatan agar mampu uptodate atau cara agar mampu memperoleh informasi terbaru
yang dapat menjadi bahan untuk membuat keputusan klinis yang efektif dan efisien
sehingga dapat memberikan perawatan terbaik kepada pasien (Macnee, 2011).
Sedangkan menurut (Bostwick, 2013) evidence based practice adalah starategi untuk
memperolah pengetahuan dan skill untuk bisa meningkatkan tingkah laku yang positif
sehingga bisa menerapakan EBP didalam praktik.
2. Pentingnya evidence based practice dalam kurikulum undergraduate juga dijelaskan
didalam (Sin&Bleques, 2017) menyatakan bahwa pembelajaran evidence based practice
pada undergraduate student merupakan tahap awal dalam menyiapkan peran mereka
sebagai registered nurses (RN). Namun dalam penerapannya, ada beberapa konsep yang
memiliki kesamaan dan perbedaan dengan evidence based practice. Evidence based
practice atauevidence based nursing yang muncul dari konsep evidence based
medicinememiliki konsep yang sama dan memiliki makna yang lebih luas dari RU
atauresearch utilization.
3. Tujuan utama di implementasikannya evidance based practice di dalam praktek
keperawatan adalah untuk meningkatkan kualitas perawatan dan memberikan hasil yang
terbaik dari asuhan keperawatan yang diberikan. Selain itu juga, dengan
dimaksimalkannya kualitas perawatan tingkat kesembuhan pasien bisa lebih cepat dan
lama perawatan bisa lebih pendek serta biaya perawatan bisa ditekan.
4. 1. Intention (niat)
2. Pengetahuan
3. sikap dan prilaku
5. 1) Menumbuhkan semangat penyelidikan (inquiry)
2) Mengajukan pertanyaan PICO(T) question
3) Mencari bukti-bukti terbaik
4) Melakukan penilaian (appraisal) terhadap bukti-bukti yang ditemukan
5) Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan pilihan pasien untuk membuat
keputusan klinis terbaik
6) Evaluasi hasil dari perubahan praktek setelah penerapan EBP
7) Menyebarluaskan hasil (disseminate outcome)
DAFTAR PUSTAKA
Rebar, C. R, Gercsch, C.J.,& Macnee, C.L., & McCabe, S. (2010). Understanding nursing
research: reading and using research in evidene based practice. Philadelphia : Lippincott
Willliams & Wilkins
Swarjana, I. K. (2016). Statistic kesehatan . Yogyakarta : Perpustakaan Nasional.
Zilfikar . (2002) Manajemen Riset Dengan Pendekatan Komputasi Statistika. Yogyakarta:
CV BUDI UTAMA
KEGIATAN BELAJAR 10
KONSEP BIO ETIK DAN APLIKASINYA PADA PRAKTIK KEBIDANAN
2. Profesionalisme
Istilah profesi berkaitan dengan bidang pekerjaan yang sangat dipengaruhi oleh
pendidikan dan keahlian. Kita tidak hanya mengenal istilah profesi untuk bidang-bidang
pekerjaan seperti kedokteran, guru, militer, pengacara, dan semacamnya, tetapi meluas
sampai mencakup pula bidang seperti manajer, wartawan, pelukis, penyanyi, artis sekertaris
dan sebagainya.
Ada perbedaan antara profesi dan pekerjaan: profesi adalah suatu kegiatan yang
dilakukan seseorang untuk menafkahi diri sendiri dan keluarganya dimana profesi tersebut
diatur oleh etika profesi dimana Etika Profesi tersebut hanya berlaku sesama profesi
tersebut. Sementara pekerjaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menafkahi diri
dan keluarganya dimana pekerjaan tersebut tidak memiliki etika (Suseno, T,2010).
Seorang pekerja professional perlu dibedakan dari seorang teknisi. Baik pekerja
professional maupun teknisi dapat saja terampil dalam unjuk kerja (mis: menguasai teknik
kerja yang sama dapat memecahkan masalah teknis dalam bidang kerjanya). Akan tetapi,
seorang pekerja professional dituntut menguasai visi yang mendasari keterampilannya yang
menyangkut wawasan filosofis, pertimbangan rasional, dan memiliki sifat yang positif
dalam melaksanakan serta mengembangkan mutu karyanya (Purwoastuti, E,2017).
Seorang profesional wajib mengembangkan profesionalismenya. Pengembangan
profesionalisme dapat dicapai melalui kewajiban belajar (menguasai lebih banyak
pengetahuan teknis) dan bukan melalui interaksi dengan klien. Didalam bukunya, Moore
mengabaikan kemungkinan seorang profesional juga belajar melalui kliennya. (Moore,
Wilbert E, The Professions: Roles and Rules, New York;Russel Sage Foundation, 1970)
2. Peran Bidan
Dalam melaksanakan profesinya bidan memiliki peran sebagai pelaksana, pengelola,
pendidik, dan peneliti.
3. Fungsi Bidan
Berdasarkan peran bidan sebagai pelaksana, pengelola, pendidik serta peneliti, dari peran
tersebut bidan memiliki fungsi sesuai perannya.
5. Tugas Bidan
Berdasarkan penjelasan mengenai asuhan/ pelayanan kebidanan, sebagai seorang bidan
sudah pasti memiliki tugas, seperti member bimbingan, asuhan, dan nasihat kepada remaja
(sebagai calon ibu), ibu hamil dengan resiko tinggi, ibu melahirkan, ibu nifas, ibu
menyusui, serta ibu dalam masa klimakterium dan menopause.
6. Kompetensi Bidan
Seorang bidan harus memiliki kompetensi bidan yang meliputi pengetahuan, keterampilan,
dan perilaku dalam melaksanakan praktik kebidanan secara aman dan bertanggung jawab
dalam berbagai tatanan pelayanan kesehatan. (Drs. Surajiyo, 2014)
Kompetensi adalah kemampuan seseorang tenaga kesehatan berdasarkan ilmu
pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional untuk dapat menjalankan praktik dan
pekerjaan profesinya. (Cecep Triwibowo, 2014).
Untuk mengetehui kompetensi seorang bidan, bekerja sama antara pihak institusi dengan
badan penyelenggara uji kompetensi dilaksanakanlah uji kompetensi sebanyak 3 kali dalam
kurung waktu setahun. Uji kompetensi sendiri adalah ujian yang dilaksanakan di akhir
masa pendidikan tenaga kesehatan, sebelum melaksanakan sumpah profesi untuk menilai
pencapaian kompetensi berdasarkan standar kompetensi dalam rangka memperoleh
sertifikat kompetensi. (Buku Pedoman uji Kompetensi Kementrian Kesehatan RI, 2011)
D. Dasar bioetika, etika dan landasan hukum dalam praktik dan pelayanan kebidanan
Profesi adalah suatu moral Community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan
nilai bersama. Mereka membentuk suatu profesi disatukan karena latar belakang
pendidikan yang sama dan memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. Dengan
demikian, profesi menjadi suatu kelompok yang mempunyai kekuasaan tersendiri dan
tanggung jawab khusus.Kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu
profesi sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.
Kode etik adalah daftar kewajiban yang harus ditaati dan dbuat oleh profesi tertentu itu
serta mengikat semua anggotanya.
Kode etik bisa dilihat sebagai produk etika terapan, sebab dihasilkan berkat penerapan
pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi.Akan tetapi setelah kode etik ada,
pemikiran etis tidak berhenti.Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tetapi
sebaliknya selalu didampingi oleh refleksi etis.
Bagaimana kode etik agar berfungsi dengan baik?Kode etik supaya dapat berfungsi dengan
semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesinya
sendiri. Kode etik tidak akan efektif, kalau di drop begitu saja dari atas, yakni dari instansi
pemerintah atau instansi lain, karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai=nilai yang
hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat
kode etik dan barangkali bisa membantu juga dalam merumuskannya, tetapi pembuatan itu
harus dilakukan oleh profesi bersangkutan.
Supaya bisa berfungsi dengan baik, kode etik harus menjadi hasil self-regulation
(pengaturan diri) dari profesi. Denagn membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan
hitam diatas putih, niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang hakiki. Kode etik yang
berisikan nilai-nilai dan cita-cita yang diterima oleh profesi itu bisa mendarah daging dan
menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan dengan tekun dan konsekuen.
Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik berhasil dengan baik, yakni pelaksanaannya
diawasi terus-menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi yang dikenakan
pada pelanggar kode. Kasus-kasus pelanggaran akan dinilai dan ditindak oleh suatu
“Dewan Kehormatan” atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya untuk
mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, sering kali kode etik berisikan ketentuan
bahwa professional berkewajiban melapor, bila ketahuan teman sejawat melanggar kode
etik. Ketentuan ini merupakan akibat logis dari self-regulation yang terwujud dalam kode
etik, seperti kode itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga
diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan control terhadap pelanggar (Bertens,
1993, hlm. 277-281)(Drs. Surajiyo, 2014).
Dengan dasar demikian berarti masyarakat sulit untuk memberikan penilaian kemampuan
profesi. Oleh karena itu, jaminan yang diharapkan dilandasi pada sumpah profesi dan etika
profesi yang mengatur tingkah laku seseorang (Heryani,R,2016).
SOAL LATIHAN
1. Apakah yang dimaksud dengan bioetika ?
2. Sebutkan macam kebidanan sebagai profesi ?
3. Jelaskan pengertian etika menurut K .Bartens ?
4. Sebutkan kegunaan etika ?
5. Sebutkan macam-macam etika ?
RANGKUMAN
Secara harafiah, istilah bioetika berasal dari bahasa Yunani, yaitu bios (hidup) dan
ethike (apa yang seharusnya dilakukan manusia). Istialah itu sendiri diartikan sebagai
kajian etika mengenai isu sosial dan moral yang muncul akibat aplikasi bioteknologi dan
medis.
Bioetika merupakan studi filosofi yang mempelajari tentang kontroversi dalam etik,
menyangkut masalah biologi dan pengobatan. Lebih lanjut, bioetik difokuskan pada
pertanyaan etik yang mencul tentang hubungan antara ilmu kehidupan, bioteknologi,
pengobatan, politik hukum dan theology.
Istilah profesi berkaitan dengan bidang pekerjaan yang sangat dipengaruhi oleh
pendidikan dan keahlian. Kita tidak hanya mengenal istilah profesi untuk bidang-bidang
pekerjaan seperti kedokteran, guru, militer, pengacara, dan semacamnya, tetapi meluas
sampai mencakup pula bidang seperti manajer, wartawan, pelukis, penyanyi, artis sekertaris
dan sebagainya.
Dalam membahas etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan
atau etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya
dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya,
dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya
membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam
etika, sebagai berikut:
Etika deskriptif, yakni etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap
dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai
sesuatu yang bernilai. Artinya etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa
adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan
situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam
penghayatan nilai atau atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan
kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.
Etika normatif, yakni etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal
dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia
dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini.
Sebagai bidan profesional, selain memilikisyarat-syarat jabatan profesional bidan
juga dituntut memiliki tanggung jawab sebagai berikut:
1. Mengembangkan keterampilan dan kemahiran seorang bidan
2. Mengenali batas-batas pengetahuan, keterampilan pribadinya dan tidak berupaya
melampaui wewenangnya dalam praktik klinik
3. Menerima tanggung jawab untuk mengambil keputusan serta konsekuensi dari
keputusan tersebut
4. Berkomunikasi dengan pekerja kesehatan lainnya (bidan, dokter dan perawat)
dengan rasa hormat dan martabat
5. Memelihara kerjasama yang dengan baik dengan staf kesehatan dan rumah sakit
pendukung untuk memastikan system rujukan yang optimal
6. Melaksanakan kegiatan pemantauan mutu yang mencakup penilaian sejawat,
pendidikan berkesinambungan, mengkaji ulang kasus audit maternal/perinatal
7. Bekerja sama dengan masyarakat tempat bidan praktik
8. Meningkatkan akses dan mutu asuhan kebidanan
9. Menjadi bagian dari upaya meningkatkan status wanita, kondisi hidup mereka dan
menghilangkan praktik kultur yang merugikan kaum wanita (Purwoastuti, E,
2017)
JAWABAN SOAL LATIHAN
1. Secara harafiah, istilah bioetika berasal dari bahasa Yunani, yaitu bios (hidup) dan ethike
(apa yang seharusnya dilakukan manusia). Istialah itu sendiri diartikan sebagai kajian
etika mengenai isu sosial dan moral yang muncul akibat aplikasi bioteknologi dan medis
2. >Bidan suatu profesi
> Peran bidan
> Fungsi bidan
> Tanggung jawab bidan
> Tugas bidan
>Kompetensi bidan
3. Menurut K. Bartens dirumuskan sebagai berikut:
a) Kata etika dapat digunakan dalam arti nilai dan norma moral yang menjadi
peganganbagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
b) Etika berarti kumpulan asas atau moral, yang dimaksud disini adalah kode etik
c) Etika mempunyai arti ilmu tentang apa yang baik atau buruk
4. 1) Menjaga otonomi dari setiap individu khususnya Bidan dan Klien.
2) Menjaga kita untuk melakukan tindakan kebaikan dan mencegah tindakan yang
merugikan/membahayakan orang lain.
3) Menjaga privacy setiap individu.
4) Mengatur manusia untuk berbuat adil dan bijaksana sesuai dengan porsinya.
5) Dengan etik kita mengetahui apakah suatu tindakan itu dapat diterima dan apa
alasannya.
6) Mengarahkan pola pikir seseorang dalam bertindak atau dalam menganalisis suatu
masalah.
7) Menghasilkan tindakan yang benar
8) Mendapatkan informasi tentang hal yang sebenarnya
9) Memberikan petunjuk terhadap tingkah laku/perilaku manusia antara baik, buruk,
benar atau salah sesuai dengan moral yang berlaku pada umumnya.
10) Berhubungan dengan pengaturan hal-hal yang bersifat abstrak.
11) Memfasilitasi proses pemecahan masalah etik.
12) Mengatur hal-hal yang bersifat praktik.
13) Mengatur tata cara pergaulan baik di dalam tata tertib masyarakat maupun tata cara
di dalam organisasi profesi.
14) Mengatur sikap, tindak tanduk orang dalam menjalankan tugas profesinya yang
biasa disebut kode etik profesi (Suseno, T,2010).
5. > Etika deskriptif, yakni etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan
perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai
sesuatu yang bernilai.
> Etika normatif, yakni etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal
dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh
manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawati dan Sri Rahayu Amri, S.R. 2011. Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. Pustaka
Refleksi: Makassar.
Arimbi, Diah. 2014. Etikolegal Kebidanan. Yogyakarta: Pustaka Rihama
Heryani, R. 2013. Buku Ajar Etikolegal dalam Praktik Kebidanan untuk Mahasiswa
Kebidanan. Jakarta: TIM.
. 2016. Buku Ajar Etikolegal dalam Praktik Kebidanan untuk Mahasiswa
Kebidanan-edisi revisi. Jakarta: TIM.
Purwoastuti, E dan Walyani, E.S. 2017. Etikolegal Dalam Praktik Kebidanan. PT Pustaka
Baru : Yogyakarta.
Surajiyo. 2014. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.PT. Bumi Akasara-Jakarta.
Triwibowo, Cecep. 2014. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogykarta: Nuha Medika
Zulvadi, D. 2010. Etika dan Manajemen Kebidanan. Yogyakarta.