Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945.

Pekerja yang sehat adalah faktor penentu yang vital untuk pertumbuhan

sosial ekonomi yang berkesinambungan, sehingga di era globalisasi ini menuntut

pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) disetiap tempat kerja

termasuk di sektor kesehatan dalam rangka menekan serendah mungkin resiko

kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan

produktivitas dan efisiensi. Dalam pelaksanaan pekerja sehari-hari

karyawan/pekerja di sektor kesehatan akan terpajan dengan resiko bahaya di

tempat kerja. Resiko ini bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai yang

paling berat tergantung jenis pekerjaannya (Kurniawidjaya, 2010).

Masalah keselamatan dan kesehatan kerja adalah masalah dunia. Telah

banyak diketahui bahwa bekerja dimanapun selalu ada resiko terkena Penyakit

Akibat Kerja (PAK). Baik bekerja di darat, laut, udara, bawah tanah, maupun

dirgantara: bekerja di sektor jasa, industri, pertanian, kehutanan, kesehatan,

transportasi, laboratorium, rumah sakit, atau tempat lainnya. PAK tidak hanya

terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju (Kurniawidjaya, 2010).

1
2

Menurut WHO (2015) menyatakan penyakit umum pada pekerja dapat

berupa penyakit infeksi dan penyakit noninfeksi. Tenaga medis merupakan profesi

yang beresiko terinfeksi virus dari pasien. Angka kejadian tenaga kesehatan yang

tertular Hepatitis B dan C serta HIV yang ditularkan oleh pasien cenderung tinggi.

Penularan ini dapat terjadi melalui kulit yang terluka oleh jarum, pisau, dan benda

tajam lain atau paparan selaput lendir dengan cairan tubuh.

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 164

dinyatakan bahwa upaya kesehatan dan keselamatan kerja ditujukan untuk

melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbatas dari gangguan kesehatan serta

pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerja. Selanjutnya disebut bahwa cara

pencapaiannya melalui kegiatan pendekatan promotif, preventif, kuratif,

rehabilitatif dengan mengacu pada standar kesehatan kerja baik di sektor formal,

informal, maupun bagi setiap orang selain pekerja yang berada di lingkungan

tempat kerja yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Salah satu tenaga kerja sektor formal ynag berpotensi terhadap keadaan

kesehatan kerjanya adalah bidan di rumah sakit. Menurut WHO Bidan adalah

seseorang yang telah diakui secara reguler dalam program pendidikan kebidanan

sebagaimana yang diakui yuridis, dimana ia ditempatkan dan telah menyelesaikan

pendidikan kebidanan dan telah mendapatkan kualifikasi serta terdaftar disahkan

dan mendapatkan ijin melaksanakan praktik kebidanan( WHO, 2014 ).

Bidan diharuskan memberikan pelayanan kebidanan yang kontinyu

(Continuity of Care) mulai dari Ante Natal Care (ANC), Intra Natal Care (ANC),

Asuhan Bayi Baru Lahir (BBL), Asuhan Postpartum, Asuhan Neonatus  dan

Pelayanan KB yang berkualitas. Pencapaian sasaran MDGs pada tahun 2015


3

menjadi salah satu prioritas utama bangsa Indonesia. Pencapaian tujuan dan target

tersebut bukanlah semata-mata tugas pemerintah tetapi merupakan tugas seluruh

komponen bangsa. Sehingga pencapaian tujuan dan target MDGs harus menjadi

pembahasan seluruh masyarakat, termasuk Ikatan Bidan Indonesia (IBI). IBI dan

anggota IBI telah mengambil peran dalam menyukseskan pencapaian target

MDGs, khususnya target 4 dan 5 yang merupakan area pelayanan Kebidanan,

Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan Keluarga Berencana (KB) (IBI, 2015).

Mekanisme pelaksanaan Asuhan Persalinan Normal (APN) tidak terlepas

dari penggunaan alat kesehatan yang berpotensi terhadap gangguan kesehatan

bidan. Salah satu cara upaya pencegahan gangguan kesehatan akibat kerja adalah

penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) (Sari, 2017). APD yaitu alat kerja terpisah

yang digunakan untuk melindungi sebagian atau seluruh dari potensi bahaya atau

penyakit akibat kerja. Wieke (2016) menyatakan APD adalah alat yang memiliki

kekuatan melindungi pekerja dari bahaya di tempat kerja. Pemakaian APD

ditujukan untuk membuat perlindungan atau mengisolasi pekerja dari hazard

kimia atau fisik dan biologi yang mungkin didapati. APD harus memenuhi syarat-

syarat yakni enak digunakan, tak menggangu kerja, dan memberi perlindungan

yang efisien pada jenis bahaya. (Wordpres, 2017).

Survei yang dilakukan pada bidan di Amerika selama enam bulan

menunjukkan bahwa 74% bidan pernah menyentuh darah pasien dengan tangan

telanjang, 51% pernah mengami percikan darah atau cairan tubuh di wajah, 24%

mengalami pajanan jarum suntik, dan hanya 55% bidan yang memiliki perilaku

kesehatan dan keselamatan kerja yang baik. Hasil penelitian Burke dan Madan di

Inggris pada tahun 1997 menyimpulkan bahwa dari 293 bidan sebanyak 63 orang
4

bidan mengalami kecelakaan kerja selama semester kedua tahun 1996, dan hanya

29 diantara mereka yang melaporkannya ke Departemen Kesehatan Inggris. Para

bidan tidak melaporkan kecelakaan kerja yang mereka alami karena hanya

membuang buang waktu (Soni, 2016).

Angka kecelakaan kerja di RS UGM pada tahun 2014 tercatat sebanyak 6

kasus, terdiri dari 3 kasus tertusuk jarum, 2 kasus kecelakaan lalu lintas dan 1

kasus terpercik serbuk gerinda. Pada tahun 2015 terjadi kenaikan jumlah

kecelakaan kerja sebanyak 266,7% yaitu tercatat 16 kasus, yang terdiri dari 9

kasus tertusuk jarum, 3 kasus kecelakaan lalu lintas dan 4 kasus sharp injury. Dan

selama periode Januari sampai dengan Juni 2016 tercatat sudah terjadi 7 kasus

kecelakaan kerja.

Keadaan tersebut dinilai sangat berpotensi terhadap timbulnya berbagai

penyakit akibat paparan terhadap darah pasien, paparan bahan kimia lainnya,

tusukan jarum suntik atau peralatan medis lainnya, seperti hepatitis B, HIV.

Fenomena tersebut tidak mendapatkan perhatian dari manajemen Rumah Sakit

(RS) karena belum pernah terjadi kasus penyakit akibat kerja yang berarti akibat

kelalaian atau ketidakmauan bidan menggunakan APD, namun hal ini dianggap

seperti fenomena gunung es, dimana kasus PAK bisa saja terjadi ketika bidan

tidak bekerja lagi atau gejala-gejala yang ditimbulkan masih pada fase awal.

Hasil telaah catatan dan kenyataan dilapangan, pihak rumah sakit belum

melaksanakan kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) seperti rencana

berkala atau rutin pelatihan-pelatihan K3, tidak adanya media informasi tentang

K3, pengawasan yang rutin terhadap penggunaan APD, pencatatan dan pelaporan,

bahkan tidak ada sanksi tegas terhadap kelalaian bidan tersebut. Hal ini diduga
5

menjadi salah satu faktor yang menyebabkan bidan tidak menggunakan Alat

Pelindung Diri.

Berdasarkan survey singkat yang dilakukan peneliti terkait kepatuhan

penggunaan APD di Kota Tebing Tinggi terhadap 20 bidan yang ada di Kota

Tebing Tinggi didapatkan 20 bidan tersebut tidak pernah menggunakan penutup

kepala, masker, kacamata, dan sepatu bot. Sementara itu didapatkan 5 orang bidan

menggunakan sarung tangan dan celemek, dan 15 orang bidan hanya

menggunakan sarung tangan. Hal ini dikarenakan berbagai alasan diantaranya

kurangnya pengetahuan dan tidak memahami sepenuhnya pentingnya

penggunaan APD yang lengkap dan sesuai standar pelayanan persalinan normal.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka dari itu perlu untuk

melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan Perilaku

Kepatuhan Penggunaan Alat Pelindung Diri oleh bidan pada Pertolongan

Persalinan Normal di Kota Tebing Tinggu sehingga dapat diambil suatu kebijakan

konkrit terhadap peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja bagi bidan dan

petugas kesehatan lainnya di Kota Tebing Tinggi.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah masih rendahnya kepatuhan bidan dalam penggunaan

APD pada pertolongan persalinan normal di Kota Kota Tebing Tinggi Tahun

2019.
6

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Menganalisa faktor yang berhubungan dengan perilaku kepatuhan

penggunaan APD oleh bidan pada pertolongan persalinan normal di

Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Menganalisa hubungan Faktor Predisposing (umur, pendidikan, masa

kerja, pengetahuan dan sikap,) dengan perilaku kepatuhan penggunaan

APD oleh bidan pada pertolongan persalinan normal di Kota Tebing

Tinggi Tahun 2019.

b. Menganalisa hubungan Faktor Enabling (sarana ketersediaan APD di

ruang bersalin dengan perilaku kepatuhan) dengan kepatuhan

penggunaan APD oleh bidan pada pertolongan persalinan normal di

Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.

c. Menganalisa hubungan Faktor Reinforcing (penilaian organisasi dengan

perilaku kepatuhan) dengan kepatuhan penggunaan APD oleh bidan

pada pertolongan persalinan normal di Kota Tebing Tinggi Tahun 2019.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Dinas kesehatan

Sebagai masukan bagi pihak manajemen Dinas Kesehatan dalam

menentukan kebijakan dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja dan

tindakan pencegahan khususnya pada penggunaan APD pada saat

pertolongan persalinan normal.

1.4.2. Bagi Bidan


7

Sebagai masukan bagi bidan itu sendiri untuk mengetahui potensi bahaya

dan pentingnya penggunaan APD pada saat pertolongan persalinan

normal.

1.4.3. Bagi Peneliti

Untuk menambah wawasan dan mendapatkan informasi tambahan tentang

penggunaan APD pada pertolongan persalinan normal.

Anda mungkin juga menyukai