Anda di halaman 1dari 32

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. U
Nomor RM : 00-68-44-xx
Tanggal Lahir : 8 September 1949
Usia : 70tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Taman martani, Kalasan, Sleman
HMRS : 19 September 2019

II. ANAMNESIS
 Keluhan utama
Luka pada tungkai kanan

 RiwayatPenyakitSekarang
Pasien mengeluhkan luka pada tungkai sebelah kanan sekitar 2
minggu.Ukuran awal lukanya kecil namun lama kelamaan ukuran luka bertambah
besar. Mengeluh nyeri pada luka dan nyeri saat berjalan Selain itu, pasien
mengeluhkan mengalami demam. Selama mengalami luka, pasien sudah
membawa ke puskesmas tetapi tidak membaik, pasien selama 2 minggu belum
mengkonsumsi obat.

 RiwayatPenyakitDahulu
- Keluhan serupa tahun2017 (padatungkaikiri)
- Operasi varises kaki kiri tahun 2017
- Hipertensi (-)
- Stroke (-)
- Diabetes mellitus (-)
- Penyakit jantung (-)
- Asam urat (-)
- Infeksi saluran kemih (-)

 RiwayatPenyakitKeluarga
- Hipertensi (-)
- Stroke (-)
- Diabetes mellitus (-)
- Penyakit jantung (-)
- Asam urat (-)

 RiwayatPengobatan
Tidak ada mengkonsumsi obat-obat rutin

 RiwayatAlergi
Riwayatalergiobatdanmakanan (-)

 Riwayat Gaya Hidup


- Makan 3x/hari, makanan cukup serat dan tidak mengalami penurunan nafsu
makan.
- Minum air putih sekitar 1 liter/hari
- Suka makanan bersantan, daging, jeroan dan gorengan. Minum teh dan susu
(jarang).
- Merokok (-)
- Olahraga sudah tidak pernah tetapi masih mengerjakan pekerjaan rumah dan
berkebun.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada Rabu, 20 September 2019 di Ruang Dahlia
a. Status Generalis
Keadaanumum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4 V5 M6

Vital Sign
TekananDarah : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/ menit
Suhu : 36,50C
Nafas : 20 x/ menit
Keluhan Nyeri (VAS) : Skala 3
Berat badan : 65 kg
Tinggi badan : 160 cm
Indeks Massa Tubuh : 25,3 (overweight)

b. Status Lokalis
Kepala :

Ukuran : Normocephali
Mata : Konjungtivaanemis (-/-), skleraikterik (-/-)
Telinga : Bentuk normal, simetris, otorrhea (-)
Hidung : Bentuk normal, rhinorea (-), deviasi septum (-)
Mulut : Bibirkering (-), sianosis (-), lidahkotor (-), tanda radang (-)
Leher : Pembesaran limfonodi (-),pembesaran kelenjar tiroid (-), nyeri
tekan (-), JVP normal
Thorax :
Jantung

Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat


Palpasi : Iktus cordis teraba di SIC V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas dan kontur jantung normal darilineaparasternalisdextra
lineamidclavicularissinistra
Auskultasi : S1-S2 tunggal reguler, Gallop (-), Murmur (-)

Paru

Inspeksi : Bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-), jejas
(-)
Palpasi : Pengembangan dada simetris, krepitasi (-), nyeri tekan (-),
fremitus normal (kanandankirisama)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen :

Inspeksi : Dinding abdomentidakdistensi,jejas (-), massa (-), scar (-),


spider nevi (-), caput medusa (-), Dunphy’s Sign (-)
Auskultasi : Peristaltik usus normal 12x/mnt, bruit (-)

Perkusi : Timpani di seluruhregioabdomen, shifting dullness (-),


hepatosplenomegali (-), retensi urin (-)

Palpasi : Tidakadanyeri tekan padaseluruh region


Hepar : Pembesaran hepar (-), massa (-), nyeri tekan (-)

Lien : Pembesaran lien (-), massa (-), nyeri tekan (-)

Ginjal : Pembesaran ginjal (-), nyeri tekan (-/-), nyeri ketok


costovertebra (-/-)

Rectal Toucher : Tidak dilakukan

Genitalia : Tidakdilakukan

Ekstremitas

Superior : Edema (-), jejas (-), CRT < 2 detik, akral hangat, kekuatan
otot 5, keterbatasan gerak (-), deformitas (-)

Inferior : Ulkus (+), kemerahan (+), Edema (+) pada tungkai kanan,
pelebaran vena (+), nyeri tekan (+), hangat (+), CRT < 2 detik,
kekuatan otot 5, aliran pembuluh darah (+/+), T : tissue
nekrosis (+), I :infeksi (+), M : moisture basah, E :tepi rata

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium
(19/09/2019)

Pemeriksaan Hasil Satuan NilaiRujukan

Darah Rutin

GDS POCT 176 (↑) mg/dL 70.0-140.0


(19/09/2019)

Pemeriksaan Hasil Satuan NilaiRujukan

Darahrutin

Leukosit 11,8 (↑) ribu/mmk 4,5 – 11,5

Eosinofil 1,6 (↓) % 2-4

Limfosit 15,9 (↓) % 18-42

Basofil 0,3 % 0–1

Monosit 6,6 % 2-8

SegmenNeutrofil 75,6 (↑) % 50 -70

Hemoglobin 10,1 (↓) g/dl 13,2-17,3


Pemeriksaan Hasil Satuan NilaiRujukan
Hematokrit 28,6(↓) % 40-54
Kimia klinik
Eritrosit 3,40 juta/mmk 4,20 – 5,40

Trombosit 384 ribu/mmk 150 – 450


Kreatitnin 1,07 (↑) mg/dL 0.55-1.02

Ureum 50,5 (↑) mg/dL 20.0-43.0

(20/09/2019)

Urinalisa

Warna kuning

Beratjenis 1,010 1,003 – 1,030

pH 7,5 4,5 – 8,0

Glukosa negatif mg/dL negatif


Protein negatif mg/dL negatif

V. RESUME PEMERIKSAAN
Seorang perempuan, usia 70 tahun dengan keluhan mengeluhkan luka pada
tungkai kanan bawah sekitar 2 minggu yang lalu, dan nyeri awalnya luka kecil
kemudian membesar. Pasien mengeluhkan demam. Pasien pernah mengalami keluhan
serupa pada tahun 2017 pada tungkai kiri.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, kesadaran
Compos Mentis, GCS E4V5M6. Vital sign: Tensi 120/80 mmHg, nadi 84x/menit,
nafas 20x/menit, suhu 36,5ºC. Pada pemeriksaan ekstremitas inferior ditemukan
Ulkus (+), kemerahan (+), Edema (+) pada tungkai kanan, pelebaran vena (+), nyeri
tekan (+), hangat (+), CRT < 2 detik, kekuatan otot 5, aliran pembuluh darah (+/+), T
: tissue nekrosis (+), I :infeksi (+), M : moisture basah, E :tepi rata

DIAGNOSIS

Diagnosis :
Ulkus Diabetik
Diagnosis Banding:
Varises
Selulitis

VI. RENCANA TERAPI


- Infus RL
- Rawat Luka tiap hari
- Qten 30 2x1
- Zaldiar 2x1
PROGNOSIS
 Ad vitam : Bonam
 Ad functionam : Dubia ad bonam
 Ad sanationam : Dubia ad bonam

BAB II

DASAR TEORI

2.1. Definisi
Diabetes mellitus adalah suatu sindoma klinis kelainan metabolik, ditandai oleh
adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin
atau keduanya. Kaki diabetes ialah salah satu komplikasi kronik DM yang paling
ditakuti. Kaki diabetes adalah segala bentuk kelainan pada kaki yang disebabkan oleh
komplikasi dari DM.

2.2. Anatomi dan Fisiologi


Tungkai bawah (Cruris) terdiri dari 4 kompartemen, yaitu anterior, lateral,
posterior superficial dan profunda. Kompartemen anterior berisi otot tibialis anterior
dan ekstensor ibu jari kaki dan nervus peroneal profunda. Kompartemen lateral berisi
otot peroneus longus dan brevis dan nervus peroneal superfisial. Kompartemen
posterior superfisial berisi otot gastrocnemius dan soleus serta nervus sural.
Kompartemen posterior profunda berisi otot tibialis posterior dan flexor ibu jari kaki
serta nervus tibia.
Gambar 1 Kompartemen Cruris

Kaki (Pedis) terdiri dari 4 kompartemen, yaitu interosseus, anterior, medial,


dan sentral.

Gambar 2 Kompartemen Pedis

Arteri perifer pada ekstremitas bawah ialah arteri femoralis, arteri poplitea,
arteri tibialis posterior dan arteri dorsalis pedis. Setelah melewati daerah pelvis, arteri
iliaka selanjutnya menjadi arteri femoralis, yang bergerak turun di sebelah anterior
paha. Arteri femoralis mengalirkan darah ke kulit dan otot paha dalam. Pada bagian
bawah paha, arteri femoralis menyilang di posterior dan menjadi arteri poplitea. Di
bawah lutut, arteri poplitea terbagi menjadi arteri tibialis anterior dan tibialis
posterior. Arteri tibialis anterior bergerak turun di sebelah depan dari kaki bagian
bawah menuju bagian dorsal/punggung telapak kaki dan menjadi arteri dorsalis pedis.
Arteri tibialis posterior bergerak turun menyusuri betis dari kaki bagian bawah dan
bercabang menjadi arteri plantaris di dalam telapak kaki bagian bawah.

Gambar 3 Pembuluh Darah Ekstremitas Bawah

Klasifikasi

Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari yang sederhana seperti
klasifikasi Edmonds dari king collage hospital London, klasifikasi Liverpool yang
sedikit lebih ruwet, sampai klasifikasi Wagner yang lebih terkait dengan pengelolaan
kaki diabetes, dan klasifikasi texas yang lebih kompleks. Yang paling sering dipakai
dalam mengklasifikasikan dan pengelolaan kaki diabetes adalah klasifikasi Wagner,
yaitu1 :
Tingkat 0 : Tidak ada ulserasi tetapi beresiko tinggi untuk menjadi kaki diabetik.
Penderita dalam kelompok ini perlu mendapat perhatian khusus. Pengamatan berkala dan
perawatan kaki yang baik serta penyuluhan penting untuk mencegah ulserasi.
Tingkat 1 : Ulkus superfisial tanpa infeksi disebut juga ulkus Neuropatik. Oleh
karena itu lebih sering ditemukan pada daerah kaki yang banyak mengalami tekanan berat
badan yaitu didaerah ibu jari kaki dan plantar. Sering terlihat adalnya kallus.
Tingkat 2 : Ulkus dalam disertai sellulitis tanpa absess atau kelainan tulang. Adanya
ulkus dalam sering disertai infeksi tetapi tanpa adanya kelainan tulang.
Tingkat 3 : Ulkus dalam disertai kelainan kulit dan abses luar yang dalam
Tingkat 4 : Gangren terbatas. Yaitu hanya pada ibu jari kaki, tumit. Penyebab
utama adalah iskemik. Oleh karena itu, ulkus iskemi terbatas pada daerah tertentu.
Tingkat 5 : Gangren seluruh kaki. Biasanya oleh karena sumbatan arteri besar tetapi
juga ada kelainan neuropati dan infeksi.

A. Klasifikasi Edmonds (King’s College Hospital, London, 2004-2005)


Stage 1 : Normal Foot
Stage 2 : High Risk Foot
Stage 3 : Ulcerated Foot
Stage 4 : Infected Foot
Stage 5 : Necrotic Foot
Stage 6 : Unsalvable Foot
B. Klasifikasi Liverpool
Klasifikasi Primer :
- Vascular
- Neuropati
- Neuroiskemik
Klasifikasi Sekunder :
- Tukak sederhana, tanpa komplikasi
- Tukak dengan komplikasi
C. Klasifikasi Wagner
Wagner 0 : kulit intak/utuh
Wagner 1 : tukak superfisial
Wagner 2 : tukak dalam (sampai tendo, tulang)
Wagner 3 : tukak dalam dengan infeksi
Wagner 4 : tukak dengan gangren terlokalisasi
Wagner 5 : tukak dengan gangren luas sebelah kaki

2.3 Etiologi
Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam terjadinya kaki diabetik. Secara
umum faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi:
 Faktor Predisposisi
Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap trauma seperti kelainan
makrovaskuler dan mikrovaskuler, jenis kelamin, merokok, dan neuropati otonom.
Faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena trauma seperti neuropati motorik,
neuropati sensorik, limited joint mobility, dan komplikasi DM yang lain (seperti mata
kabur).
 Faktor Presipitasi
- Perlukaan dikulit (jamur)
- Trauma
- Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama
 Faktor yang memperlambat penyembuhan luka
- Derajat luka
- Perawatan luka
- Pengendalian kadar gula darah

2.4. Patofisiologi
Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM
yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati,
baik neuropati sensorik maupun neuropati motorik dan autonomik akan mengakibatkan
berbagai perubahan pada kulit dan otot yang kemudian menyebabkan terjadinya
perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah
terjadinya ulkus.
Adanya kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak
menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut
menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes.
1. Neuropati
Gangguan mikrosirkulasi dan neuropati punya hubungan yang erat dengan
pathogenesis kaki diabetik. Neuropati diabetik pada fase awal menyerang saraf halus
terutama di ujung-ujung kaki. Hal ini disebut sebagai fenomena dying back, di mana
ada teori yang menyatakan semakin panjang saraf maka semakin rentan untuk
diserang. Jika dibandingkan dengan ekstremitas atas, ternyata ekstremitas bawah lebih
dulu yang terkena. Gangguan mikrosirkulasi selain menurunkan aliran darah dan
hantaran oksigen pada serabut saraf (keadaan ini bersama dengan proses jalur sorbitol
dan mekanisme lain akan mengakibatkan neuropati) juga akan menurunkan aliran
darah ke perifer sehingga aliran tidak cukup dan menyebabkan iskemia dan bahkan
gangrene. Neuropati diabetik disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa 
sorbitol fruktosa) akibat kekurangan insulin. Pada jaringan saraf, terjadi
penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang
menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu
kerja metabolik sel Schwann dan menyebabkan hilangnya akson.
Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan
neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, paresthesia, berkurangnya sensasi getar dan
proprioseptik dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon
dalam, kelemahan otot dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer
(mononeuropati dan polineuropati), saraf-saraf kranial atau sistem saraf otonom.
Terserangnya sistem saraf otonom dapat disertai diare nokturnal, keterlambatan
pengosongan lambung dengan gastroparesis, hipotensi postural, dan impotensi. Pasien
dengan neuropati otonom diabetik dapat menderita infark miokardial akut tanpa nyeri,
pasien ini juga dapat kehilangan respons katekolamin terhadap hipoglikemia dan tidak
menyedari reaksi-reaksi hipoglikemia

1.1. Neuropati sensorik


Kehilangan fungsi sensorik menyebabkan penderita kehilangan daya
kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsangan dari luar. Nilai ambang proteksi dari
kaki ditemukan oleh normal tidaknya fungsi saraf sensoris kaki. Pada keadaan normal
sensasi yang diterima menimbulkan reflex untuk meningkatkan reaksi pertahanan dan
menghindarkan diri dari rangsangan yang menyakitkan dengan cara mengubah posisi
kaki untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih besar. Sebagian impuls akan
diteruskan ke otak dan di sini sinyal diolah kemudian respons dikirim melalui saraf
motorik. Pada penderita DM yang telah mengalami neuropati perifer saraf sensorik
(karena gangguan pengantaran impuls), pasien tidak merasakan dan tidak menyadari
adanya trauma kecil namun sering pasien tidak merasakan adanya tekanan besar pada
telapak kaki. Semuanya baru diketahui setelah timbul infeksi, nekrosis atau ulkus
yang sudah tahap lanjut dan dapat membahayakan keselamatan pasien.

Berbagai macam mekanisme terjadinya luka dapat terjadi pada pasien DM,
seperti:2
1) Tekanan rendah tetapi terus menerus dan berkelanjutan (luka pada tumit karena
lama berbaring, dekubitus)
2) Tekanan tinggi dalam waktu pendek. (luka, tertusuk paku/jarum)
3) Tekanan sedang berulang kali (pada tempat deformitas pada kaki).
1.2. Neuropati otonom
Pada kaki diabetik gangguan saraf otonom yang berperan terutama adalah
akibat kerusakan saraf simpatik. Gangguan saraf otonom ini mengakibatkan
perubahan aliran darah, produksi keringat berkurang atau tidak ada, hilangnya tonus
vasomotor dan lain-lain. Neuropati otonom mengakibatkan produksi keringat
berkurang terutama pada tungkai yang menyebabkan kulit penderita mengalami
dehidrasi, kering dan pecah-pecah sehingga memudahkan infeksi lalu selanjutnya
timbul selulitis, ulkus maupun gangrene. Selain itu neuropati otonom juga
menyebabkan terjadinya pintas arteriovenosa sehingga terjadi penurunan nutrisi
jaringan yang berakibat pada perubahan komposisi, fungsi dan sifat viskoelastisitas
sehingga daya tahan jaringan lunak dari kaki akan menurun dengan akibat mudah
terjadi ulkus.2,4
1.3. Neuropati Motorik
Kerusakan saraf motorik akan menyebabkan atrofi otot-otot instrinsik yang
menimbulkan kelemahan pada kaki dan keterbatasan gerak sendi akibat akumulasi
kolagen di bawah dermis sehingga terjadi kekakuan periartikuler. Deformitas akibat
atrofi otot dan keterbatasan gerak sendi menyebabkan perubahan keseimbangan
pada sendi kaki, perubahan cara berjalan, dan menimbulkan titik tumpu baru pada
telapak kaki serta berakibat pada mudahnya terbentuk kalus yang tebal (claw foot).
Seiring dengan berlanjutnya trauma, di bagian dalam kalus tersebut mudah terjadi
infeksi yang kemudian berubah menjadi ulkus dan akhirnya gangren.2,4
Charcot foot merupakan deformitas kaki diabetik akibat neuropati yang
klasik dengan 4 tahap perkembangan.2
1) Adanya riwayat trauma ringan disertai kaki panas, merah dan bengkak.
2) Terjadi disolusi, fragmentasi dan fraktur pada persendian tarsometatarsal.
3) Terjadi fraktur dan kolaps persendian.
4) Timbul ulserasi plantaris pedis.

2. Fokus Infeksi
Infeksi dimulai dari kulit kaki dan dengan cepat menyebar melalui jalur
muskulofasial. Selanjutnya infeksi menyerang kapsul/sarung tendon dan otot, baik
pada kaki maupun pada tungkai sehingga terjadi sellulitis. Kaki diabetik klasik
biasanya timbul di atas kapsul metatarsal pada sisi plantar pedis.
Infeksi sering berlangsung agresif dan cepat meluas serta mudah terbentuk
gangren yang selanjutnya merupakan ancaman hilangnya kaki. Di samping itu, 50%
dari kasus ulkus/gangrene diabetes akan mengalami infeksi akibat munculnya
lingkungan gula darah yang subur untuk berkembangnya bakteri patogen. Jika kadar
gula darah tidak terkontrol maka infeksi akan jadi lebih serius. Hal ini disebabkan
karena pada infeksi akan disekresi hormon kontra insulin (seperti katekolamin,
kortisol, hormone pertumbuhan dan glucagon.) yang menyebabkan meningkatnya
kadar gula darah. Peningkatan kadar gula darah juga menyebabkan gagalnya fungsi
neutrofil dan gangguan sistem immunologi. Sebagaimana diketahui, dalam
melaksanakan fagositosis sel PMN membutuhkan energi dari glukosa eksogen untuk
mempertahankan aktivitasnya. Dengan bantuan insulin yang melekat erat pada sel
PMN, glukosa ekstrasel dapat dipakai sebagai sumber energi. Sumber energi ini
akan berkurang pada pasien diabetes yang mengalami kekurangan insulin.

3. Vaskulopati
Pada pembuluh darah, akibat komplikasi DM terjadi ketidakrataan permukaan
dalam lapisan dalam arteri sehingga aliran lamellar berubah menjadi turbulen yang
berakibat pada mudahnya terbentuk thrombus. Pada stadium lanjut seluruh lumen
arteri akan tersumbat dan manakala aliran kollateral tidak cukup, akan terjadi
iskemia dan bahkan gangrene yang luas. Manifestasi angiopati pada pembuluh darah
penderita DM antara lain berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah
perifer yang terutama sering terjadi pada tungkai bawah. Pada penderita muda,
pembuluh darah yang paling awal mengalami angiopati adalah arteri tibialis.
Kelainan arteri akibat diabetes juga sering mengenai bagian distal dari arteri
femoralis profunda, arteri poplitea, arteri tibialis dan arteri digitalis pedis. Akibatnya
perfusi jaringan distal dari tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang
kemudian dapat berkembang menjadi nekrosis/gangren yang sangat sulit diatasi dan
tidak jarang memerlukan amputasi. Perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit,
penebalan membrana basalis serta penurunan produksi prostasiklin (vasodilator dan
anti platelet aggregating agent) akan memacu terbentuknya mikrotrombus dan
penyumbatan mikrovaskuler. Peristiwa ini akan mengakibatkan timbulnya iskemis
organ dan/atau jaringan yang bersangkutan, termasuk serabut saraf perifernya.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan vaskulopati berupa disfungsi
endotel melalui berbagai mekanisme antara lain:
 Hiperglikemia kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari protein dan
makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan perubahan sifat antigenik
dari protein dan DNA. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan tekanan
intravaskular akibat gangguan keseimbangan NO dan prostaglandin.
 Overekspresi growth factor meningkatkan proliferasi sel endotel dan otot polos
pembuluh darah sehingga akan terjadi neovaskularisasi.
 Hiperglikemia akan meningkatkan sintesis diacylglycerol (DAG) melalui jalur
glikotik. Peningkatan kadar DAG akan meningkatkan aktivitas PKC. Baik DAG
maupun PKC berperan dalam memodulasi terjadinya vasokonstriksi.
 Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stress oksidatif. Keadaan
hiperglikemia akan meningkatkan tendensi untuk terjadinya stress oksidatif dan
peningkatan oxidized lipoprotein, terutama small dense LDL-cholestrol (oxidized
LDL) yang lebih bersifat aterogenik. Disamping itu peningkatan kadar asam
lemak bebas dan keadaan hiperglikemia dapat meningkatkan oksidasi fosfolipid
dan protein.
 Hiperglikemia akan disertai dengan tendensi protrombitik dan agregasi platelet.
Keadaan ini berhubungan dengan beberapa faktor antara lain penurunan
produksi NO dan penurunan aktivitas fibrinolitik akibat peningkatan kadar PAI-
1. Di samping itu, pada DM Tipe 2 terjadi peningkatan aktivitas koagulasi akibat
engaruh berbagai faktor seperti pembentukan advanced glycosylatin end
products (AGEs) dan penurunan sintesis heparin sulfat.
 Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi koagulasi dengan
disfungsi endotel, namun aktivasi koagulasi yang berulang dapat menyebabkan
stimulasi yang berlebihan dari sel-sel endotel sehingga akan terjadi disfungsi
endotel.

2.6.Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinis akibat neuropati perifer
Gejala-gejala yang akibat oleh adanya neuropati perifer antara lain.
 Hipesthesia
 Hyperesthesia
 Paraesthesia
 Dysesthesia
 Radicular pain
 Anhydrosis

2. Manifestasi akibat insufisiensi arteri perifer


Gejala yang biasa dirasakan oleh pasien antara lain, nyeri iskemik pada saat
istirahat, ulkus yang tidak sembuh. Rasa kram atau kelelahan pada otot-otot besar pada
salah satu atau kedua ekstremitas bawah yang timbul pada saat berjalan dalam jarak
tertentyang mengindikasikan adanya klaudikasio istirahat selama beberapa menit.Onset
dari klaudikasio dapat terjadi lebih dini apabila pasien sering berjalan cepat atau menaiki
tangga.Rasa tidak nyaman, kram atau kelemahan pada betis atau kaki sering terjadi pada
penderita kaki diabetik, karena cenderung terjadi oklusi aterosklerpasiens
tibioperoneal.Atrofi otot-otot betis mungkin juga terjadi. Gejala-gejala yang timbul pada
paha, mengindikasikan adanya oklusi aorta iliaca.
Nyeri pada saat beristirahat jarang terjadi pada penderita diabetes.Pada beberapa
kasus, fissure, ulkus atau kulit pecah-pecah merupakan tanda awal telah terjadinya
penurunan perfusi. Ketika penderita diabetes datang dengan gangren hal tersebut sering
merupakan akibat dari infeksi.
Pada pemeriksaan fisis, dapat dilakukan penilaian klasifikasi kaki diabetik serta
tes sensitivitas kaki. Pemeriksaan pulsasi arteri dorsum pedis, arteri tibialis posterior,
arteri poplitea, dan arteri femoralis dilakukan untuk menentukan prognpasiens dan pilhan
terapi yang akan diberikan. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain
pemeriksaan darah rutin (tanda-tanda infeksi), pemeriksaan kadar GDP, GD2PP, TTGO,
serta HbA1c, kimia darah, urinalisis, foto thoraks, serta foto pedis. Dengan demikian,
dapat diperoleh gambaran perjalanan penyakit DM yang dialami penderita, yang
selanjutnya akan membantu dalam menentukan penatalaksanaan kaki diabetik.

2.7.Diagnosis
Kaki diabetik didiagnosis dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Tiga keluhan klasik diabetes mellitus ialah poliuri, polidipsi, dan polifagi.
Terdapat luka yang tidak kunjung sembuh.
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : pemeriksaan ulkus dan keadaan
umum ekstremitas, penilaian kemungkinan isufisiensi vaskuler, penilaian kemungkinan
neuropati perifer. Pemeriksaan ulkus dan keadaan umum, yaitu mencari lokasi terjadinya
ulkus (biasanya pada daerah yang menjadi tumpuan beban terbesar, seperti tumit, area
kaput metatarsal di telapak, ujung jari yang menonjol (pada jari pertama dan kedua) dan
malleolus karena pada daerah ini sering mendapatkan trauma. Kelainan-kelainan lain
yang ditemukan pada pemeriksaan fisik ialah kalus hipertropik, kuku yang rapuh/pecah,
hammer toes, tanda-tanda peradangan.
Pemeriksaan insufiensi vaskuler yaitu menilai fungsi vascular. Menilai pulsasi arteri
poplitea, arteri tibialis posterior dan arteri dorsalis pedis. Selain itu, dilakukan dengan
ankle brachial pressure index (ABI) merupakan pemeriksaan noninvasif yang dengan
mudah dilakukan dengan menggunakan alat Doppler. Cuff tekanan dipasang pada lengan
atas dan dipompa sampai nadi pada brachialis tidak dapat dideteksi Doppler. Cuff
kemudian dilepaskan perlahan sampai Doppler dapat mendeteksi kembali nadi brachialis.
Tindakan yang sama dilakukan pada tungkai, dimana cuff dipasang pada calf distal dan
Doppler dipasang pada arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior. ABI didapatkan
dari tekanan sistolik ankle dibagi tekanan sistolik brachialis.
Penilaian tanda neuropati perifer meliputi hilangnya sensasi rasa getar dan posisi,
hilangnya reflek tendon dalam, ulserasi tropik, foot drop, atrofi otot, dan pemembentukan
calus hipertropik khususnya pada daerah penekanan misalnya pada tumit. Status
neurologis dapat diperiksa dengan menggunakan monofilament semmes-weinsten untuk
mengetahui apakah penderita masih memiliki sensasi protektif. Pemeriksaan
menunjukkan hasil abnormal jika penderita tidak dapat merasakan sentuhan monofilamen
ketika ditekankan pada kaki dengan tekanan yang cukup sampai monofilamen bengkok.
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diabetes ialah pemeriksaan gula darah plasma
2 jam setelah makan, gula darah puasa dan hbA1c. Didiagnosis diabetes jika hasil
pemeriksaan gula darah plasma 2 jam setelah makan > 200 mg/dl, gula darah puasa >126
mg/dl dan hbA1c >6,5%.

2.8.Penatalaksanaan
A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi pencegahan terjadinya kaki diabetik dan
terjadinya ulkus, bertujuan untuk mencegah timbulnya perlukaan pada kulit.
Pencegahan primer ini juga merupakan suatu upaya edukasi kepada penyandang DM
baik yang belum terkena kaki diabetik, maupun penderita kaki diabetik untuk
mencegah timbulnya luka lain pada kulit.1
Keadaan kaki penyandang DM digolongkan berdasarkan resiko terjadinya dan
resiko besarnya masalah yang mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetik
berdasarkan resiko terjadinya masalah (Frykberg) yaitu:
1) Sensasi normal tanpa deformitas
2) Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
3) Insensitivitas tanpa deformitas
4) Iskemia tanpa deformitas
5) Kombinasi/complicated
a. Kombinasi insensitivitas, iskemia, dan atau deformitas
b. Riwayat adanya tukak, seformitas Charcot
Pengelolaan kaki diabetik terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya
tukak, disesuaikan dengan keadaan resiko kaki.Berbagai usaha pencegahan
dilakukan sesuai dengan tingkat besarnya resiko tersebut. Dengan memberikan alas
kaki yang baik, berbagai hal terkait terjadinya ulkus karena faktor mekanik akan
dapat dicegah.
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori resiko tersebut.Untuk kaki yang
insensitif, alas kaki perlu diperhatikan benaruntuk melindungi kaki yang insensitif
tersebut.Jika sudah ada deformitas, perlu perhatian khusus mengenai alas kaki yang
dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki.Untuk kasus dengan
permasalahan vaskular, latihan kaki perlu diperhatikan benar untuk memperbaiki
vaskularisasi kaki. Untuk ulkus yang complicated, akan dibahas lebih lanjut pada
upaya pencegahan sekunder.

B. Pencegahan Sekunder
Dalam pengelolaan kaki diabetik, kerja sama multi-disipliner sangat
diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil
pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Mechanical control (pressure control)
Kaki diabetik terjadi oleh karena adanya perubahan weight-bearingarea pada
plantar pedis. Daerah-daerah yang mendapat tekanan lebih besar tersebut akan
rentan terhadap timbulnya luka. Berbagai cara untuk mencapai keadaan weight-
bearing dapat dilakukan antara lain dengan removable cast walker, total contant
casting, temporary shoes, felt padding, crutches, wheelchair, electric carts,
maupun cradled insoles.
Berbagai cara surgical juga dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada luka,
seperti dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses dan prosedur koreksi bedah
(misalnya operasi untuk hammer toe, metatarsal headresection, Achilles tendon
lengthening, dan partial calcanectomy).
2. Wound control
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang harus
dikerjakan dengan baik dan teliti.Evaluasi luka harus dikerjakan secermat
mungkin.Klasifikasi ulkus pedis dilakukan setelah debridement yang
adekuat.Debridement yang baik dan adekuat akan sangat membantu mengurangi
jaringan nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh. Dengan demikian akan sangat
mengurangi produksi cairan/pus dari ulkus/gangren.
Berbagai terapi topikal dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada
luka, seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau iodine encer, senyawa
perak sebagai bagian dari dressing, dll. Demikian pula berbagai cara
debridement non surgical dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembersihan
jaringan nekrotik luka, seperti preparat enzim.
Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan
beranjak pada proses selanjutnya, yaitu proses granulasi dan epitelisasi. Untuk
menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan luka, dapat pula diapakai
diberbagai tempat perawatan kaki diabetik.
3. Microbiological control (infection control)
Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap daerah
yang berbeda.Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil
biakan kuman dan resistensinya.Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di
RSUPNCM, umumnya didapatkan pola kuman yang polimikrobial, campuran
garam ppasientif dan garam negatif serta kuman anaerob untuk luka yang dalam
dan berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan
antibiotik spectrum luas, mencakup kuman gram positif dan gram negatif
(misalnya golongan sefalosporin) dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat
terhadap kuman anaerob (misalnya metronidazole).
4. Vascular control
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka.
Berbagai langka diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan dan
kondisi pasien. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali
melalui berbagai cara sederhana seperti warna dan suhu kulit, perabaan arteri
dorsalis pedis, arteri tibialis posterior, arteri poplitea, dan arteri femoralis, serta
pengukuran tekanan darah.
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat dilakukan pengelolaan
untuk kelainan pembuluh darah perifer dari sudut vascular, yaitu berupa:
 Modifikasi faktor resiko
o Stop merokok
o Memperbaiki faktor resiko terkait aterosklerpasiens (hiperglikemia,
hipertensi, dislipidemia)
 Terapi farmakologis
Jika mengacu pada berbagai penelitian yang salah dikerjakan pada
kelainan akibat aterosklerosis ditempat lain (jantung, otak), mungkin obat
seperti aspirin dan lain sebagainyaakan bermanfaat untuk pembuluh darah
kaki penyandang DM, tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang cukup
untuk menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna memperbaiki patensi
pada penyakit pembuluh darah kaki penyandang DM.
Selain pengobatan seperti antiplatelet, terapi untuk kaki diabetik juga
menggunakan antibiotik. Terapi kaki diabetik yaitu triple blind therapy
- Untuk bakteri gram negatif : golongan quinolon  ciprofloxacin
- Untuk bakteri gram positif : golongan cephalosporin
- Untuk bakteri anaerob : Metronidazole
 Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jika ada klaudikasio
intermitten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan.Sebelum
tindakan revaskularisasi, diperlukan pemeriksaan angiografi untuk
mendapatkan gambaran pembuluh darah yang lebih jelas.
Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas
terbuka.Untuk oklusi yang pendek dapat dipikirkan untuk prosedur
endovascular (PTCA). Pada keadaan sumbatan akut dapat pula dilakukan
tromboarterektomi.
5. Metabolic control
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki.Kadar glukosa
darah diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki faktor
terkait hiperglikemia yang dapat menghambat pemyembuhan luka.Umumnya
diperlukan insulin untuk menormalisasi kadar gula darah. Status nutrisi harus
diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang baik akan membantu kesembuhan
luka. Berbagai hal lain juga harus diperhatikan dan diperbaiki, seperti kadar
albumin serum, Hb, dan derajat oksigenasi jaringan serta fungsi ginjal.
6. Educational control
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetik.
Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetik
maupun keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung
berbagai tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal.
2.9.Komplikasi
Ada 3 faktor yang berperan dalam kaki diabetik yaitu neuropati, iskemia, dan
sepsis.Biasanya amputasi harus dilakukan.Hilangnya sensori pada kaki mengakibatkan
iskemia jaringan dan sepsis. Neuropati, iskemia, dan sepsis bisa menyebabkan gangren
dan amputasi.Gas gangrene merupakan kondisi medis yang ditandai dengan timbulnya
gelembung-gelembung pada kulit yang pucat yang berubah warna menjadi abu-abu atau
merah keunguan. Hal ini disebabkan oleh bakteri Clostridium, yang melepaskan racun
mematikan dan menghasilkan gas-gas yang menyebabkan kematian jaringan. Gas
gangrene merupakan bentuk paling fatal dari antara semua gangrene dan intervensi medis
dini diperlukan untuk mengurangi kematian akibat komplikasi, seperti syok septik.

VARISES
Definisi
Varises merupakan pemanjangan, pelebaran, dan berkelok-keloknya sistem vena yang
disertai dengan gangguan sirkulasi darah di dalamnya.

Etiologi
Etiologi varises pedis bergantung dari insufisiensi vena kronis dapat dibagi menjadi 3
kategori yaitu, kongenital, primer dan sekunder.

a) Kongenital
Penyebab insufisiensi vena kronis yang kongenital adalah pada kelainan dimana katup
yang seharusnya terbentuk di suatu segmen ternyata tidak terbentuk sama sekali (aplasia,
avalvulia), atau pembentukannya tidak sempurna (displasia), berbagai malformasi vena, dan
kelainan lainnya yang baru diketahui setelah penderitanya berumur.

b) Primer
Penyebab insufisiensi vena kronis yang primer adalah kelemahan intrinsik dari
dinding katup, yaitu terjadi lembaran atau daun katup yang terlau panjang (elongasi) atau
daun katup yang menyebabkan dinding vena menjadi terlalu lentur tanpa sebab-sebab yang
diketahui. Keadaan daun katup yang panjang melambai (floppy, rebundant) sehingga
penutupan tidak sempurna (daun-daun katup tidak dapat terkatup sempurna) mengakibatkan
terjadinya katup tidak dapat menahan aliran balik, sehingga aliran retrograd atau refluks.
Keadaan tersebut dapat diatasi hanya dengan melakukan perbaikan katup (valve repair)
dengan operasi untuk mengembalikan katup menjadi berfungsi baik kembali.
Varises merupakan vena yang mengalami pelebaran dan teraba pada daerah yang
berliku-liku dengan ukuran lebih besar dari 3 mm diameter. Vena retikuler yang melebar tapi
tidak dapat diraba, bewarna biru, dan kurang dari 3 mm. Cabang vena saphena besar biasanya
tidak berhubungan pada pasien dengan telangiectasias dan vena retikuler tetapi sering tidak
kompeten jika pada penderita varises. Sebaliknya, vena retikuler yang inkompeten banyak
terdapat pada pasien dengan telangiectasias.
Gambaran histologis yang berhubungan dengan varises meliputi penebalan intima
yang irregular, fibrosis antara intima dan adventitia, atrofi dan gangguan serat elastis,
penebalan serat kolagen individu, dan lapisan otot vena yang tidak teratur. Kelainan ini
menyebar secara heterogen melalui vena saphena besar dan cabang-cabangnya, yang ditandai
dengan adanya daerah yang hipertrofi, atrofi atau normal.
Studi histologis telah menyebutkan bahwa varises dapat menyebabkan pengurangan
kontraktilitas dan pemenuhan vena pada extremitas bawah. Otot polos vena saphena
mengandung penurunan kadar protein total pada pasien dengan varises, dan kontraksi yang
efektif terganggu karena kerusakan lapisan otot vena. Sel-sel otot polos vena juga berubah
dari kontraktil menjadi sekretorik yang menyebakan perubahan matriks ekstraselular pada
kedua segmen vena yang terlibat maupun tidak terlibat. Varises vena saphena menunjukkan
peningkatkan kolagen dan penurunan serat elastin, serta penurunan elastisitas vena pada
penderita yang mengalami maupun yang berisiko tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
kelainan dinding vena menyebabkan terjadi insufisiensi suatu katup vena yang dapat
menyebabkan terjadinya varises. Refluks terjadi saat dinding vena yang melemah melebar
sehingga terjadi peregangan komisura antara katup vena dengan daun katup.

c) Sekunder
Penyebab insufisiensi vena kronis sekunder (insufisiensi vena sekunder) disebabkan
oleh keadaan patologik yang didapat (acquired), yaitu akibat adanya penyumbatan trombosis
vena dalam yang menimbulkan gangguan kronis pada katup vena dalam. Pada keadaan
dimana terjadi komplikasi sumbatan trombus beberapa bulan atau tahun paska kejadian
trombosis vena dalam, maka keadaan tersebut disebut sindroma post-trombotik. Pada
sindroma tersebut terjadi pembentukan jaringan parut akibat inflamasi, trombosis kronis dan
rekanalisasi yang akan menimbulkan fibrosis, dan juga akan menimbulkan pemendekan daun
katup (pengerutan daun katup), perforasi kecil-kecil (perforasi mikro), dan adhesi katup,
sehingga akhirnya akan menimbulkan penyempitan lumen. Kerusakan yang terjadi pada daun
katup telah sangat parah tidak memungkinkan upaya perbaikan. Kejadian insufisiensi vena
kronis yang primer, dan yang sekunder (akibat trombosis vena dalam, dan komplikasi post-
trombotic), dapat terjadi pada satu penderita yang sama.
Tungkai yang mengalami pasca-trombotik dan ulserasi dapat menyebabkan refluks
dan obstruksi aliran vena. Namun, gejala tersebut lebih sering terjadi pada penurunan venous
return dibandingkan dengan kelainan aliran keluar vena. Anatomi refluks dan obstruksi vena
juga penting dalam memengaruhi manifestasi gejala pasca-trombotik. Refluks pada pasien
tanpa gejala atau ringan gejalanya biasanya reflux terisolasi dan segmental. Hal ini
menandakan bahwa pasien dengan perubahan kulit dan ulserasi bersifat multisegmental dan
melibatkan vena dalam, dangkal, dan perforator. Mekanisme pasti terjadi insufisiensi katup
vena yang diikuti dengan rekanalisasi vena masih belum dapat diketahui.4,5,6

Patofisiologi
Patofisiologi varises pedis tergantung dari keutuhan katup ketiga sistem vena. Dalam
keadaan normal katup vena bekerja satu arah dalam mengalirkan aliran darah naik keatas dan
masuk kedalam. Pertama darah dikumpulkan dalam kapiler vena superfisialis kemudian
dialirkan ke pembuluh vena yang lebih besar, akhirnya melewati katup vena ke vena
profunda yang kemudian ke sirkulasi sentral menuju jantung dan paru. Vena superfisial
terletak suprafasial, sedangkan vena profunda terletak di dalam fasia dan otot.4,5,6
Vena perforata penghubung antara aliran darah dari vena superfisial ke vena
profunda. Di dalam kompartemen otot, vena profunda akan mengalirkan darah naik keatas
melawan gravitasi yang dibantu oleh adanya kontraksi otot yang menghasikan suatu
mekanisme pompa otot. Pompa ini akan meningkatkan tekanan dalam vena profunda sekitar
5 atm. Tekanan sebesar 5 atm tidak akan menimbulkan distensi dan mencegahnya secara
berlebihan.
Tekanan dalam vena superfisial normalnya sangat rendah. Jika vena tersebut
mendapat paparan tekanan tinggi yang berlebihan akan menyebabkan distensi dan perubahan
bentuk vena menjadi berkelok-kelok. Peningkatan tekanan di dalam lumen paling sering
disebabkan oleh terjadinya insufisiensi vena dengan adanya refluks yang melewati katup
vena yang inkompeten, baik terjadi pada vena profunda maupun vena superficial.
Peningkatan tekanan vena yang bersifat kronis juga dapat disebabkan oleh adanya obstruksi
aliran darah vena. Penyebab obstruksi ini dapat oleh karena thrombosis intravaskular atau
akibat adanya penekanan dari luar pembuluh darah. Pada pasien dengan varises oleh karena
obstruksi tidak boleh dilakukan ablasi.
Kegagalan katup pada vena superfisal paling umum disebabkan oleh karena
peningkatan tekanan di dalam pembuluh darah oleh adanya insufisiensi vena. Penyebab lain
yang mungkin dapat memicu kegagalan katup vena yaitu adanya trauma langsung pada vena
adanya kelainan katup karena thrombosis. Bila vena superfisial ini terpapar dengan tekanan
hidrostatik tinggi dalam pembuluh darah, maka pembuluh vena ini akan mengalami dilatasi
yang kemudian terus membesar sampai katup vena satu sama lain tidak dapat saling betemu.
Kegagalan pada satu katup vena akan memicu terjadinya kegagalan pada katup-katup
lainnya.
Pelebaran tersebut dapat menambahkan kebocoran katup. Setelah beberapa katup
vena mengalami kegagalan, fungsi vena untuk mengalirkan darah ke atas dan ke vena
profunda akan mengalami gangguan. Tanpa adanya katup-katup fungsional, aliran darah vena
akan mengalir karena adanya gradient tekanan dan gravitasi. Kerusakan yang terjadi akibat
insufisiensi vena berhubungan dengan tekanan vena dan volume darah vena yang melewati
katup yang inkompeten
Vena yang terletak dibawah fasia atau terletak subkutan dapat mengangkut darah
dalam jumlah besar tanpa terlihat ke permukaan. Sebaliknya peningkatan tekanan tidak
terlalu besar akhirnya dapat menyebabkan dilatasi yang berlebihan. Pada keadaan katup
perforans yang tidak memadai, darah akan diperas keluar dari sistem vena dalam ke sistem
vena dangkal pada setiap kali kontraksi betis atau paha. Akibatnya, banyak katup yang
mengalami insuffisiensi dan tekanan hidrostatik pada vena safena magna atau parva juga
akan meningkat. Bila katup komunikans dengan sistem vena dalam tidak memadai, aliran
darah akan berbalik dari proksimal ke distal sehingga vena akan semakin lebar, memanjang,
dan berkelok-kelok. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya oedem, statis, dan
hipoksemia di subkutis dan kulit. Hal tersebut dapat menyebabkan peluang untuk
terbentuknya thrombosis, gangguan penyembuhan luka, dan ulkus.
Klasifikasi
a) Secara klinis varises tungkai dibagi berdasarkan jenisnya:
1. Varises Trunkal
Merupakan varises v.saphena magnadanv.saphena parva,diameter lebih dari 8 mm, warna
biru-biru kehijauan.
2. Varises Retikular
Varises yang mengenai cabang vena saphena magna atau parva yang umumnya kecil dan
berkelok-kelok, diameter 2.8 mm, warna biru-biru kehijauan

3. Varises Kapiler
Merupakan vena subkutis yang tampak sebagai kelompok serabut halus dari pembuluh darah,
dengan diameter 0,1 – 1 mm, warna merah atau biru

b) Berdasarkan berat ringannya penyakit dan keluhan, varises terbagi menjadi 4 stadium,
yakni:
Stadium I
Pada stadium ini keluhan biasanya tidak spesifik. Pada umumnya ditandai
dengan keluhan tungkai,diantaranya: gatal, rasa terbakar, rasa kemeng, kaki mudah capek,
kesemutan (gringgingen), rasa pegal.

Stadium II
Pada stadium ini ditandai dengan warna kebiruan yang lebih nyata pada pembuluh
darah vena(fleboekstasia).

Stadium III
Pembuluh darah vena nampak melebar dan berkelok-kelok. Keluhan pada tungkai
makin nyata danmakin kerap dialami.

Stadium IV
Pada stadium ini ditandai dengan timbulnya berbagai penyulit (komplikasi),
antara lain: dermatitis, tromboplebitis, selulitis, luka (ulkus), perdarahan varises, dan
gangguan pembuluh darah vena lainnya

Diagnosis
a) Anamnesis
Pasien dengan varises dapat asimptomatis maupun bergejala. Gejala yang berkaitan
dengan varises secara umum adalah kesemutan, sakit, terbakar, nyeri, kram otot,
pembengkakan, sensasi berdenyut atau berat, gatal kulit, kaki gelisah, kaki kelelahan, dan
kelelahan.
Pada anamnesis didapatkan tungkai terasa nyeri dan berat terutama sering lebih buruk
pada malam hari dan setelah latihan atau berdiri lama. pelebaran vena dekat permukaan kulit,
munculnya spider veins (telangiektasia) di tungkai yang terkena, pergelangan kaki bengkak
terutama pada malam hari, perubahan warna kulit menjadi kuning kecoklatan yang mengilap
di dekat pembuluh darah yang terkena, kemerahan, kering, dan gatal di daerah kulit, yang
disebut dermatitis atau eksim stasis vena, dan kram. Kram juga bisa terjadi terutama saat
pergerakan tiba-tiba, seperti gerakan berdiri. Cedera ringan pada daerah yang terkena dapat
menyebabkan perdarahan lebih dari normal atau membutuhkan waktu lama untuk
penyembuhannya. Pada beberapa orang, kulit di atas pergelangan kaki dapat mengisut
(lipodermatosklerosis) karena lemak di bawah kulit menjadi keras. Bercak bekas luka yang
memutih dan tidak teratur dapat muncul pada pergelangan kaki yang dikenal sebagai atrophie
blanche.
Nyeri dapat dirasakan, terutama pada saat terkena udara panas dan berkurang pada
saat istirahat, elevasi kaki, memakai stoking maupun perban. Nyeri selama dan setelah latihan
yang hilang dengan istirahat dan elevasi kaki dapat disebabkan karena obstruksi aliran vena
keluar seperti memiliki penyakit deep vein trombosis sebelumnya maupun aliran vena ilikia
yang sempit.
Dilatasi vena, deep vein thrombosis, tromboflebitis dan penyebab lainnya dapat
menyebabkan katup vena menjadi inkompeten. Hal tersebut dapat meningkatkan tekanan
yang akan disalurkan ke vena superfisialis dan varises vena dapat berkembang. Hal tersebut
tentu dapat meningkatkan tekanan yang disalurkan ke venula cutaneous sehingga dapat
meningkatkan permeabilitas kapiler yang berujung pada edema interstitial dan extravasasi sel
darah merah. Edema interstitial menyebabkan nutrisi dan oksigen yang masuk ke cutaneous
dan subcutaneous tersebut berkurang sehingga subcutaneous fat mengalami nekrosis. Hal
tersebut menyebabkan lipodermatosclerosis yang dapat menyebabkan dermatitis, pruritus,
dan dapat berkembang menjadi ulkus. Selain itu, perlu ditanyakan riwayat penyakit
sebelumnya. Riwayat penyakit yang perlu ditanyakan yaitu seperti DVT, tromboflebitis yang
menyebabkan trombofilia. Riwayat pengobatan seperti pil KB, merokok, kehamilan, dan
riwayat keluarga varises atau gangguan trombotik. Usia lanjut merupakan faktor risiko
penting untuk terjadinya varises. Riwayat keluarga positif, jenis kelamin perempuan, dan
multiparitas juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya varises.
b) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada vena dapat dilakukan secara bertahap melalui inspeksi,
palpasi, dan perkusi. Pada inspeksi, yang perlu dinilai yaitu adanya scar dari operasi varises
vena sebelumnya, ulkus (ulkus vena biasanya ditemukan di sekitar / di atas maleolus medial),
eksim vena ( pada daerah kaki bawah yang megalami eritema dan kulit yang kering), kulit
yang tipis, edema pada engkel, deposition hemosiderin (daerah warna merah gelap dari kulit
karena hipertensi vena), Lipodermatosclerosis (penebalan dan fibrosis pada kulit akibat
imflamasi kronik dan nekrosis lemak), atrophie blanche ( jaringan parut putih disekitar ulkus
yang sedang menyembuh), saphena varix (varises pada vena saphena yang bertemu dengan
vena femoralis, terdapat pembengkakan 2-4cm inferio-lateral menuju tubercle pubic).
Vena saphena pendek berjalan dari bagian posterior maleolus lateral, menuju
posterior betis, dan menuju daerah fossa poplitea. Sedangkan vena saphena panjang
membentang dari bagian anterior maleolus medial, melewati aspek medial kaki, menuju
persimpangan sapheno-femoral (SFJ), yang terletak 2-4cm inferio-lateral menuju pubic
tubercle.
Pada saat palpasi dapat diraba, varises untuk daerah yang lembut (flebitis) dan keras
(trombosis), denyut pada kaki(daerah femoralis, poplitea, dorsalis pedis, tibialis posterior),
serta suhu pembuluh vena (jika hangat mungkin menunjukkan adanya infeksi). Pada
auskultasi, jika ada varises vena maka dapat dilakukan auskultasi untuk mendengar bruit,
untuk mengtahui adanya kencederungan malforasi arteri vena.
Terdapat berbagai tes khusus yang diperlukan untuk menentukan kelainan vena pada
varises. Tes-tes yang diperlukan diantaranya adalah Cough impulse test, the tap test,
Trendelenburg test, dan perthe’s test.
Cough impulse test. Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya saphena varix. Cara
melakukannya diawali dengan palpasi di daerah Sapheno-femoral junction (2-4cm inferio-
lateral menuju pubic tubercle) dan meminta pasien untuk batuk. Hasil positif jika pada daerah
tersebut terasa adanya impuls batuk).
Tap test. Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya inkompetensi katup vena. Hal
ini dilakukan dengan cara letakkan jari dengan ringan di SPJ. Tekan varises pada kaki bagian
bawah. Jika terasa ada kontinuitas, maka akan terasa detakan dari vena tersebut menuju SFJ.
Detakkan tersebut terjadi karena adanya gangguan pada katup yang kompeten.
Trendelenberg test.Tes ini dilakukan dengan cara minta pasien untuk berbaring dan
biarkan kakinya terangkat keatas. Aliran vena terisi dari kakinya yang keatas. Pasang
tourniquet pada SJF. Minta pasien untuk berdiri. LIhat apakah vena yang varises terisi,
normalnya terisi beberapa detik. Jika tidak terisi,ini menunjukkan bahwa katup SFJ (atau
katup yang lebih proksimal) yang tidak kompeten. Hal ini bisa dikonfirmasi dengan melepas
tourniquet.Jika terdapat katup yang tidak kompeten, maka secara tiba-tiba akan terisi
menyembur tdengan cepat. Jika varises terisi dengan tourniquet yang masih di tempat sekitar
SFJ, maka inkompetensinya lebih distal. Keadaan yang lebih distal pada inkompetensinya
menunjukkan terdapat varises vena superfisial maupun perforator bagian dalam yang
bergabung dengan sistem vena dalam pada kaki.
Perthe test. Tes ini dilakukan untuk menentukan vena femoris dalam kompeten atau
tidak. Diawali dengan pasang tourniquet pada tingkat pertengahan paha dengan meminta
pasien berdiri. Kemudian, minta pasien untuk berjalan di ruangan selama 5 menit. Jika sistem
vena dalam kompeten, maka darah akan melalui dan kembali ke jantung, dan pasien tidak
menunjukkan gejala. Namun, jika sistem vena dalam tidak kompeten, maka pasien akan
merasakan sakit di kaki dan varises akan bertambah besar.

c) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat ditegakkan pada kasus varises yaitu duplex
scanning, plethysmography, Contrast venography, dan USG intravaskular.
Duplex scanning direkomendasikan sebagai tes diagnostik pertama untuk semua
pasien dengan dugaan varises. Tes ini aman, non-invasif, hemat biaya, dan dapat diandalkan.
Tes ini memiliki akurasi diagnostik yang lebih baik dalam menilai insufisiensi vena
dibandingkan gelombang Doppler USG kontiyu. Gambar model Beta ini menambah akurasi
penempatan volume sampel Doppler yang berdenyut, dan warna. Hal ini membuatnya lebih
mudah untuk membangun obstruksi, turbulensi, dan arah aliran vena dan arteri. Duplex
scanning sangat baik untuk evaluasi obstruksi vena infra inguinal dan katup yang
inkompetensi. Ia juga dapat membedakan antara trombosis vena akut dan perubahan pada
vena kronis. Duplex scanning dapatmengevaluasi refluks pada vena superfisial dan dalam.
Hal iniharus dilakukan dengan posisi tegak.
Plethysmography (udara atau strain-gauge) digunakan untuk evaluasi non-invasif
pada fungsi pompa otot betis, reflux vena secara global, dan aliran obstruksi vena. Strain
gauge plethysmography biasanya dilakukan dengan protokol Struckmann yang telah
dimodifikasi dan divalidasi sebelumnya dibandingkan dengan pengukuran tekanan vena
ambulatory. Strain-gauge atau udara plethysmography terdiri dari vena plethysmography,
untuk mengukur pengisian pasif dan drainase vena, serta aliran plethysmography.
Plethysmography dapat menghitung vena yang refluks dan obstruksi serta telah digunakan
untuk memantau perubahan fungsi vena dan menilai secara fisiologis hasil tindakan bedah.
Penggunaan plethysmography diindikasikan pada pasien dengan penyakit CEAP C2 (varises
sederhana) dan chronic vena insufficiency. Contohnya, digunakan pada pasien yang dicurigai
dengan obstruksi aliran vena tapi ditemukan normal pada pemeriksaan duplex atau pada
pasien yang diduga memiliki penyakit vena akibat disfungsi pompa otot betis, tapi tidak ada
refluks atau obstruksi tercatat pada duplex scanning. Penggunaan plethysmography udara
yang telah disebut sebagai "praktek terbaik" dalam evaluasi pasien dengan CVD lanjut, jika
duplex scanning tidak dapat memberikan diagnosis definitif pada patofisiologi (CEAP C3-
C6).
Contrast venography dapat meningkat atau menurun penggunaannya untuk pasien
varises atau bentuk lain dari CVD yang telah dilakukan secara selektif pada dengan obstruksi
vena dalam, sindrom pasca-trombotik, dan pada perencanaan endovenous atau operasi bedah
terbuka. Dapat juga digunakan dengan pengukuran tekanan vena langsung untuk
mengevaluasi pasien dengan varises dan obstruksi vena iliaka. Contrast venography sering
digunakan untuk melakukan prosedur endovenous pada pasien CVD, seperti angioplasty atau
stenting vena atau rekonstruksi vena terbuka.
Pasien dengan varises sederhana jarang memerlukan pencitraan lebih canggih dari
ultrasonografi dupleks. Teknik CT dan MRI telah berkembang pesat dalam dekade terakhir,
dan telah memberikan pencitraan tiga dimensi yang sangat baik pada sistem vena. MR dan
CT keduanya cocok untuk mengidentifikasi obstruksi vena panggul atau stenosis vena iliaka
pada pasien dengan varises tungkai bawah saat diduga terjadi obstruksi proksimal atau
kompresi vena iliaka. Keduanya cocok untuk menilai kompresi vena ginjal kiri,
inkompetensi vena gonad. MR pencitraan dengan gadolinium ini sangat berguna dalam
mengevaluasi pasien dengan malformasi vaskuler, termasuk pada pasien dengan varises
bawaan.
Intravaskular ultrasonografi (IVUS) telah berhasil digunakan untuk mengevaluasi
kompresi vena iliaka atau obstruksi dan untuk memantau pasien setelah stenting vena. Pada
pasien dengan varises, IVUS harus digunakan secara selektif pada mereka yang dicurigai atau
diyakini dengan adanya obstruksi vena iliaka. IVUS penting dalam menilai morfologi dinding
pembuluh, mengidentifikasi lesi seperti trabeculations, katup yang membeku, ketebalan
mural, dan kompresi eksternal yang tidak terlihat dengan venography kontras yang
konvensional, dan menyediakan pengukuran dalam menilai derajat stenosis. Selain itu, IVUS
dapat menentukan posisi stent pada segmen vena dan resolusi stenosis.
Pasien dengan varises biasanya dioperasikan dibawah anestesi lokal, dan memerlukan
tes laboratorium yang spesifik, namun tidak harus dilakukan secara rutin. Pada mereka
dengan DVT berulang, trombosis pada usia muda, atau trombosis yang tidak biasa,
disarankanskrining untuk mengetahui adanya trombofilia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Frykberg RG. Diabetic foot ulcers: pathogenesis and management. Am Fam Physician.
2002;66:1655-62.

2. Lipsky BA, Berendt AR, Cornia PB. Infectious diseases society of america clinical
practice guideline for the diagnosis and treatment of diabetic foot infections. Clinical
Infectious Disease. 2012;54(12):132–173.

3. Papanas N, Maltezos E. Etiology, pathophysiology and classifications of the diabetic


Charcot foot. Diabetic Foot & Ankle. 2013;4;20872.

4. Sjamjuhidajat R, Karnadiharja W, Prasetyono TO, Rudiman R. 2016. Buku Ajar Ilmu


Bedah Sjamsuhidajat-De jong Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

5. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.

6. Snell R.S. 1998. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.edisi 3. bagian 2.


Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal :271-378

7. Das K, Ahmed S, Abro S, Arain MS. Varicose vein; Outcome of surgical management
and recurrences. Professional Med J. 2014;21:509-513.
8. Wright N, Fitridge R. Varicose veins: natural history, assessment, and management.
Aus Fam Phys. 2013;42:380-84

Anda mungkin juga menyukai