Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

Complication of Surgery Post Appendectomy e.c Acute


Appendicitis + Abses
+ Susp. Enterocutaneus Fistula (ECF)

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/ SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama
Rumah Sakit Umum Daerah Datu Beru Takengon

Disusun oleh :

Cut Deby Ramayunita

Pembimbing :

dr. H. Gusnarwin, Sp.B

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
RSUD DATU BERU TAKENGON 2019

1
2
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. 1

DAFTAR ISI..................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................4

BAB III LAPORAN KASUS............................................................................31

BAB IV RESUME.............................................................................................39
BAB V KESIMPULAN.......................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................41

BAB I

3
PENDAHULUAN

Appendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang dikenal di
masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu yang sebenarnya adalah
sekum. Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah
kesehatan. Peradangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk
menghindari komplikasi yang umumnya berbahaya.
Appendicitis merupakan peradangan dari appendiks vermiformis, yang lebih
dikenal dengan sebutan infeksi usus buntu dan ini merupakan penyakit yang
sering dijumpai. Meskipun sebagian besar pasien dengan appendicitis akut dapat
dengan mudah didiagnosis tetapi tanda dan gejalanya cukup bervariasi, sehingga
diagnosis secara klinis dapat menjadi sulit ditegakkan, untuk itu dokter harus
mempunyai pengetahuan yang baik untuk mengenal appendicitis. Pada
appendicitis tidak mungkin dapat ditemukan satu gejala klinis yang tidak dapat
ditentukan oleh satu tes khusus untuk mendiagnosanya secara tepat. Pada
beberapa kasus appendicitis dapat sembuh tanpa pengobatan, tapi banyak juga
yang memerlukan laparotomi. Appendicitis akut dapat menyebabkan kematian
karena peritonitis dan syok.
Appendicitis merupakan penyebab tersering dari nyeri abdomen yang
progresif dan menetap pada semua golongan umur, kegagalan menegakkan
diagnosa dan keterlambatan penatalaksanaannya akan menyebabkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas.
Fistula adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara dua
organ dalam atau berjalan dari suatu organ dalam ke permukaan tubuh. Fistula
enterokutaneous adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara
organ gastrointestinal dan kulit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

4
A. APPENDICITIS
2.1 ANATOMI 2,3
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch
membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira
10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di
caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen, tepatnya di
ileocaecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia
colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks
berada pada titik McBurney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS
kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.
Appendix vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum)
yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.
Mesenteriolum berisi a.apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya
terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan
lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki
limfonodi kecil.
Struktur appendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu
mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan
sirkuler) dan serosa. Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya
membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari
bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks.
Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastik
membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara mukosa dan
submukosa terdapat lympho nodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar
epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding
dalam sama dan berhubungan dengan caecum (inner circular layer). Dinding
luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli
pada pertemuan caecum dan appendiks. Taenia anterior digunakan sebagai
pegangan untuk mencari appendiks.
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi
minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Pada saat antenatal

5
dan postnatal, pertumbuhan dari caecum yang berlebih akan menjadi
appendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup ileosekal.
Pada bayi, appendiks berbentuk kerucut , lebar pada pangkalnya dan
menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya
insiden appendicitis pada usia itu.
Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoappendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, appendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang
kolonasendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis appendicitis
ditentukan oleh letak appendiks.

Jenis-jenis Posisi Appendiks : 4


1. Promontorik : ujung appendiks menunjuk ke arah promontorium
sacri.
2. Retrocolic : appendiks berada di belakang kolon ascenden dan
biasanya retroperitoneal.
3. Antecaecal : appendiks berada di depan caecum.
4. Paracaecal : appendiks terletak horizontal di belakang caecum.
5. Pelvic Descenden : appendiks menggantung ke arah pelvis minor.
6. Retrocaecal : intraperitonal atau retroperitoneal; appendiks berputar
ke atas ke belakang caecum.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti


a.mesenterika superior dan a.appendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis
bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan appendiks berasal dari a.
appendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan
mengalami gangren.2
Secara histologis, appendiks mempunyai basis struktur yang sama

6
seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vaskular submukosa
oleh mukosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot
yang utama. Appendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas
vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di
mesoapendiks. Jika appendiks terletak di retroperitoneal, maka appendiks
tidak terbungkus oleh tunika serosa.4

Histologis : 4
- Tunika Mukosa : memiliki kriptus tetapi tidak memiliki villus.
- Tunika Submukosa : banyak folikel lymphoid.
- Tunika Muskularis : stratum circulare sebelah dalam dan stratum
longitudinale (gabungan tiga taenia coli) sebelah
luar.
- Tunika Serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari
peritoneum viscerale.

Gambar 1 : Anatomi Appendiks


2.2 FISIOLOGI 2,3
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara
appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis. Imunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang
terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan

7
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar 2
minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap
saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun,
tidak ada jaringan lymphoid lagi di appendiks dan terjadi penghancuran
lumen appendiks komplit.

2.3 DEFINISI 2
Appendicitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis.
Peradangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.

2.4 ETIOLOGI
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Fecalith
merupakan penyebab tersering dari obstruksi appendiks. Penyebab lainnya
adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan Roentgen,
diet rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau
trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada appendiks.
Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi.
Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus appendicitis akut, sekitar 65%
merupakan appendicitis gangrenous tanpa ruptur dan sekitar 90% kasus
appendicitis gangrenous dengan ruptur.

Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendicitis adalah


erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi akan
meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya appendisits akut.3

2.5 PATOFISIOLOGI

8
Appendicitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
appendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Kapasitas lumen appendiks normal hanya sekitar 0,1 ml.
Jika sekresi sekitar 0,5 ml dapat meningkatkan tekanan intralumen sekitar 60
cmH2O. Manusia merupakan salah satu dari sedikit yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi
gangren atau terjadi perforasi.2
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks
mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah
intramural (dinding appendiks). Pada saat inilah terjadi appendicitis akut
fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat
terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien
karena ditentukan banyak faktor. 2,3
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan appendicitis supuratif akut.2
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendicitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendicitis
perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang

9
berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrate appendicularis. Peradangan appendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.
Infiltrat appendikularis merupakan tahap patologi appendicitis yang
dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam
waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan
membatasi proses radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus
halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periappendikular. Di dalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi.
Jika tidak terbentuk abses, appendicitis akan sembuh dan massa
periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat.

Dalam pathogenesis appendicitis akut urutan kejadiannya adalah : 5


1. Obstruksi lumen menyebabkan sekresi mukus dan cairan yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal.
2. Ketika tekanan intraluminal meningkat, tekanan dalam mukosa
venula dan limfatik meningkat, aliran darah dan limfe terhambat
karena tekanan meningkat pada dinding appendiceal.
3. Ketika tekanan kapiler meningkat, terjadi iskemia mukosa
inflamasi dan ulserasi kemudian bakteri tumbuh pesat di dalam
lumen dan bakteri menyerang mukosa dan submukosa sehingga
terjadi inflamasi transmural, edema, vascular stasis, dan nekrosis
dari muscular. Perforasi mungkin dapat terjadi.

Pada perjalanan penyakitnya, penyakit appendicitis akut dapat berubah


menjadi : 5
1. Phlegmon 2-3 hari perforasi, 3-5 hari peritonitis difusa sepsis.
Phlegmon ialah proses penahanan dalam jaringan ikat longgar.
Pada orang dewasa, terjadi karena keterlambatan dalam
menegakkan diagnosa, sedangkan pada anak kecil disebabkan
appendiks kecil dan kurang komunikatif.

10
2. Mikroperforasi massa / infiltrate periappendiks.
Mikroperforasi adalah suatu peradangan oleh omentum dan
jaringan sekitarnya. Tubuh melokalisir perforasi oleh karena daya
tahan tubuh meningkat (dengan pemberian antibiotik).
Jika peradangan tidak sempurna, dapat terjadi penyebaran pus
dari ruangan omentum.

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih


panjang, dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah.3
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks,
omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti
vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses
peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi
perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah
selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam
cavum abdominalis, oleh karena itu penderita harus benar-benar istirahat.2
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di
perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.3

2.6 MANIFESTASI KLINIS


a. Gejala Klinis
Appendicitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala appendisitis akut
umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan nyeri perut yang
didahului anoreksia. Gejala klasik appendicitis akut biasanya bermula dari

11
nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus. Nyeri menetap, kadang
disertai kram yang hilang-timbul. Dalam 2-12 jam nyeri beralih ke
kuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang
menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan
semakin progresif.2
Terdapat juga keluhan malaise, dan demam yang tidak terlalu
tinggi. Suhu tubuh biasanya naik hingga 38oC, tetapi pada keadaan
perforasi suhu tubuh meningkat hingga >39oC. Biasanya juga terdapat
konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah. Sebagian
besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak pasien
yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada
beberapa pasien terutama anak-anak.2
Pada 75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi
satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus.
Umumnya urutan munculnya gejala appendisitis adalah anoreksia, diikuti
nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka
diagnosis appendisitis diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri perut
mengarah pada diagnosis gastroenteritis. 2
Appendicitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
oleh radang mendadak appendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan
bawah ke titik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih
jelas letaknya sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada
nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan
peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.2
Bila letak appendiks retrosekal di luar rongga perut, karena
letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah

12
perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot
psoas mayor yang menegang dari dorsal.3
Appendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika appendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya.3
Pada beberapa keadaan, appendicitis agak sulit didiagnosis
sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala
appendicitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya
rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan
anak akan menjadi lemah dan letargi. Karena gejala yang tidak khas tadi,
sering appendicitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90 %
appendicitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.3
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja,
tidak jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separuh penderita
baru dapat didiagnosis setelah perforasi.3
Pada kehamilan, keluhan utama appendicitis adalah nyeri perut,
mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester
pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut,
sekum dengan appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan
tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.3

b. Tanda Klinis
Appendiks umumnya terletak di sekitar McBurney, namun perlu
diingat bahwa letak anatomis appendiks sebenarnya dapat pada semua
titik, 360o mengelilingi pangkal caecum. Appendisitis letak retrocaecal
dapat diketahui dari adanya nyeri di antara costa 12 dan spina iliaca
posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat menyebabkan nyeri
rektal.2

13
Secara teori, peradangan akut appendiks dapat dicurigai dengan
adanya nyeri pada pemeriksaan rektum (rectal toucher). Namun
pemeriksaan ini tidak spesifik untuk appendicitis jika tanda-tanda
appendicitis lain telah positif.

Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik : 2,3,5


 Rovsing’s Sign
Penekanan pada abdomen kuadran kiri bawah akan menimbulkan
nyeri di abdomen kuadran kanan bawah. Hal ini disebabkan oleh
karena iritasi dari peritoneum. Disebut juga nyeri tekan kontralateral.
Sering positif pada appendicitis namun tidak spesifik.

 Blumberg Sign
Manuver dikatakan positif apabila penderita merasakan nyeri di
kuadran kanan bawah saat pemeriksa menekan di abdomen kuadran
kiri bawah lalu melepaskannya. Disebut juga nyeri lepas kontralateral.

 Psoas Sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan pemeriksa memegang lutut
pasien dan tangan kiri menstabilkan pinggulnya. Kemudian tungkai
kanan pasien digerakkan ke arah anteroposterior. Nyeri pada manuver
ini menunjukkan appendiks mengalami peradangan kontak dengan
otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver.

 Obturator Test

14
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak
kaki kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian
pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan
articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini
positif bila pasien merasakan nyeri di hipogastrium saat eksorotasi.
Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi apendiks,
abses lokal, iritasi m.obturatorius oleh appendiks dengan letak
retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/mm2, biasanya
didapatkan pada keadaan akut. Appendicitis tanpa komplikasi dan sering
disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah
putih normal tidak ditemukan shift to the left, diagnosis appendicitis akut
harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari
18.000/mm2 pada appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah
putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya
perforasi appendiks dengan atau tanpa abses. Pada appendicitis infiltrat,
LED akan ditemukan meningkat.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang
disintesis oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam
serum mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP > 8 mcg/mL,
hitung leukosit > 11.000, dan persentase neutrofil > 75% memiliki
sensitivitas 86% dan spesifitas 90.7%.
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis
infeksi dari saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit

15
atau eritrosit dari iritasi urethra atau vesica urinaria seperti yang
diakibatkan oleh inflamasi appendiks. Namun pada appendicitis akut
dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.2,3

b. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen jarang membantu penegakan diagnosis
appendicitis akut, namun bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila
ditemukan sangat mendukung diagnosis.
Apendikografi adalah pemeriksaan secara radiografi pada bagian
apendiks dengan menggunakan BaSO4 (barium sulfat) yang diencerkan
dengan air (suspensi barium) dan dimasukkan secara oral (melalui mulut).
Pemeriksaan ini dapat membantu melihat anatomi fisiologis dari apendiks
ataupun kelainan pada apendiks berupa adanya sumbatan atau adanya
kotoran (skibala) di dalam lumen apendiks. Keuntungan dari pemeriksaan
ini dapat menegakkan diagnosis penyakit lain yang menyerupai apendisitis
Terminologi dalam Apendikografi
• Filling atau positif appendicogram : Keseluruhan lumen apendiks
terisi penuh oleh barium sulfat. Sinar Roentgen tidak dapat menembus
barium sulfat tersebut, sehingga menimbulkan bayangan dalam foto
Roentgen, bila pasien meminum suspensi tersebut dan tidak ada obstruksi
pada pangkal apendiks kemudian dipotret pada bagian apendiksnya, maka
tergambarlah apendiks oleh suspensi itu pada foto Roentgen
• Partial filling: Suspensi barium sulfat hanya sebagian lumen
apendiks dan tidak merata
• Non filling atau negative appendicogram : Kegagalan dari barium
sulfat untuk memasuki lumen apendiks
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis
appendicitis. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran
kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya
peradangan pada appendiks menyebabkan ukuran appendiks lebih dari
normalnya (diameter 6 mm). Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan

16
bawah seperti inflammatory bowel disease, diverticulitis cecal,
divertikulum Meckel’s, endometriosis dan pelvic inflammatory disease
(PID) dapat menyebabkan positif palsu pada hasil USG.
Meskipun CT scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada
USG, namun jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya,
CT scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya abses appendiks untuk
melakukan percutaneous drainage secara tepat.

CT scan dengan inflamasi apendiks, tampak fecalith (tanda panah)

Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada


penemuan tidak spesifik akibat dari massa ekstrinsik pada caecum dan
appendiks yang kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar
antara 48-50%.4

2.8 ALVARADO SCORE 3


Appendicitis point pain 2

17
Leukositosis (> 10.000/ul) 2
Vomitus 1
Anorexia 1
Rebound tenderness phenomenon 1
Abdominal migrate pain 1
Degree of celcius (> 37.5 oC) 1
Observation of hemogram (> 72%) 1+
Total point 10
 Dinyatakan appendicitis akut apabila nilai > 7 poin.
 Penanganan berdasarkan Alvarado Score :
1 – 4 Dipertimbangkan appendisitis akut, diperlukan observasi.
5 – 6 Possible appendicitis, tidak perlu operasi. Terapi antibiotik.
7 – 10 Appendisitis akut, perlu operasi dini.

2.9 DIAGNOSIS BANDING 2,3,5

1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual dan muntah serta diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut dirasa lebih ringan dan tidak tegas. Hiperperistaltik sering
ditemukan. Demam dan leukositosis kurang menonjol.

2. Diverticulitis
Meskipun diverticulitis biasanya terletak di perut sebelah kiri, namun tidak
menutup kemungkinan untuk terjadi di perut sebelah kanan. Gejala klinis
sangat mirip dengan appendicitis akut.

3. Kolik Traktus Urinarius


Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.

4. Peradangan Pelvis (PID)


Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat dengan appendiks. Radang
kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-oovoritis atau
adneksitis. Didapatkan riwayat kontak seksual pada diagnosis penyakit ini.
Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendicitis dan nyeri perut bagian
bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan pada wanita. Pada

18
colok vaginal (vaginal toucher) terasa nyeri bila uterus diayunkan.

5. Kehamilan Ektopik
Riwayat menstruasi terhambat dengan keluhan tidak menentu. Jika terjadi
ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri
yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan
penonjolan di cavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan
darah.

6. Demam Dengue
Demam Dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini
didapatkan hasil tes positif untuk Rumple Leede, trombositopenia, dan
hematokrit yang meningkat.

7. Kista Ovarium
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok
rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat
menetukan diagnosis.

8. Endometriasis Eksterna
Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri ditempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena
tidak ada jalan keluar.

2.10 PENATALAKSANAAN 2,3,4


Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat appendiks menjadi
dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus di dekatnya. Mula-mula,
massa yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-
bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan
secara klinis. Jika peradangan pada appendiks tidak dapat mengatasi
rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum,

19
massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera
menjadi abses yang jelas batasnya.
Bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, akan dilakukan
tindakan operasi untuk membuang appendiks yang mungkin gangren dari
dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan
bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular,
sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan
abses yang dapat mudah didrainase.
Massa appendiks terjadi bila terjadi appendicitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus
halus. Pada massa periappendikular yang dindingannya belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi
diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa
periappendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa
dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan
sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil
diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan appendectomy elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan
kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil
mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal ini
ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan
teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.
Massa appendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena
dikhawatirkan akan terjadi abses appendiks dan peritonitis umum.
Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat
penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada appendicitis
sederhana tanpa perforasi.
Pada periappendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut,

20
tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih
banyak, lebih-lebih bila massa appendiks telah terbentuk lebih dari satu
minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam
perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada
anak kecil, wanita hamil,dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif
tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi
secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periappendikular infiltrat
maka luka operasi ditutup lagi, appendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif
pada periappendikular infiltrat :
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring.
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi
yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah
keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
appendectomy. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja
dan appendectomy dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika
ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan
jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau
abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.

Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi.
Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya
terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan appendectomy. Batas dari
massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari
ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga
mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan
didrainase.
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral
dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai
secara ekstraperitoneal, bila appendiks mudah diambil, lebih baik diambil
karena appendiks ini akan menjadi sumber infeksi. Bila appendiks sukar

21
dilepas, maka appendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan
ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang
berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase
didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drain
dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari.
Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi.
Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari penderita diperiksa colok dubur.

Penderita periappendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang : 4


 LED
 Jumlah leukosit
 Massa periappendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
1. Anamesis : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri
abdomen.
2. Pemeriksaan Fisik :
a. Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu
tubuh (diukur di rektal dan aksiler).
b. Tanda-tanda appendisitis sudah tidak terdapat.
c. Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada
tetapi lebih kecil dibanding semula.
3. Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal.

Kebijakan untuk operasi periappendikular infiltrat : 4


 Bila LED telah menurun kurang dari 40.
 Tidak didapatkan leukositosis.
 Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah
tidak mengecil lagi.

Bila LED tetap tinggi, maka perlu diperiksa : 4


 Apakah penderita sudah bed rest total.
 Pemberian makanan penderita.
 Pemakaian antibiotik penderita.
 Kemungkinan adanya sebab lain.

Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak
ada perbaikan, operasi tetap dilakukan. Bila ada massa periappendikular
yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase.

22
2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah
mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan
appendiks, sekum, dan lekuk usus halus.2

Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu


peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah : 4
 Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh.
 Suhu tubuh naik tinggi sekali.
 Nadi semakin cepat.
 Defance muscular yang menyeluruh.
 Perut distended.
 Bising usus berkurang.
Sedangkan komplikasi Post Appendectomy :
a. Infeksi pada luka, ditandai apabila luka mengeluarkan cairan kuning
atau pus, kulit di sekitar luka menjadi merah, hangat, oedem, dan
nyeri
b. Abses (nanah), terdapat kumpulan di dalam rongga perut dengan
gejala demam dan nyeri perut.
c. Perlengketan usus, dengan gejala rasa tidak nyaman di perut, terjadi
konstipasi pada tahap lanjut, dan perut terasa sangat nyeri
d. Komplikasi yang jarang terjadi seperti ileus, gangren usus,
peritonitis, dan obstruksi usus.

Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :


1. Pelvic abscess
2. Subphrenic abscess
3. Intra peritoneal abses lokal

Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk ke


rongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.

23
2.12 PROGNOSIS
Dengan diagnosis yang akurat dan tatalaksana pembedahan, dapat
menurunkan tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini. Keterlambatan
diagnosis akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas terutama bila telah
terjadi komplikasi. Serangan berulang juga dapat terjadi bila appendiks
tidak diangkat.2

B. Enterocutaneus Fistula (ECF)


2.13 DEFINISI
Fistula adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara dua
organ dalam atau berjalan dari suatu organ dalam ke permukaan tubuh. Fistula
enterokutaneous adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara
organ gastrointestinal dan kulit. 6,

Gambar 1. Fistula enterokutaneous

2.14 KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI


Fistula enterokutaneous dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria
anatomi, fisiologi dan etiologi, yaitu sebagai berikut: 9,10
1. Berdasarkan kriteria anatomi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 2 yaitu
fistula internal dan eksternal. Fistula internal yaitu fistula yang
menghubungkan antara dua viscera, sedangkan fistula eksternal adalah fistula
yang menghubungkan antara viscera dengan kulit.

24
2. Berdasarkan kriteria fisiologi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 3 yaitu
high-output, moderate-output dan low output.
Fistula enterokutaneous dapat menyebabkan pengeluaran cairan
intestinal ke dunia luar, dimana cairan tersebut banyak mengandung elektrolit,
mineral dan protein sehingga dapat menyebabkan komplikasi fisiologis yaitu
terjadi ketidak-seimbangan elektrolit dan dapat menyebabkan malnutrisi pada
pasien. Fistula dengan high-output apabila pengeluaran cairan intestinal
sebanyak >500ml perhari, moderate-output sebanyak 200-500 ml per hari dan
low-output sebanyak <200 ml per hari.
3. Berdasarkan kriteria etiologi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 2 yaitu
fistula yang terjadi secara spontan dan akibat komplikasi postoperasi.
Fistula yang terjadi secara spontan, terjadi sekitar 15-25% dari seluruh
fistula enterokutaneous. Fistula ini dapat disebabkan oleh berbagai hal
terutama pada kanker dan penyakit radang pada usus. Selain itu dapat juga
disebabkan oleh radiasi, penyakit divertikular, appendicitis, dan ulkus
perforasi atau iskhemi pada usus.
Penyebab utama fistula enterokutaneous adalah akibat komplikasi
postoperasi (sekitar 75-85%). Faktor penyebab timbulnya fistula
enterokutaneous akibat postoperasi dapat disebabkan oleh faktor pasien dan
faktor tehnik. Faktor pasien yaitu malnutrisi, infeksi atau sepsis, anemia, dan
hypothermia. Sedangkan faktor tehnik yaitu pada tindakan-tindakan
preoperasi. Sebelum dilakukan operasi, harus dievaluasi terlebih dahulu
keadaan nutrisi pasien karena kehilangan 10-15% berat badan, kadar albumin
kurang dari 3,0 gr/dL, rendahnya kadar transferin dan total limposit dapat
meningkatkan resiko terjadinya fistula enterokutaneous. Selain itu, fistula
enterokutaneous dapat disebabkan oleh kurangnya vaskularisasi pada daerah
operasi, hipotensi sistemik, tekanan berlebih pada anastomosis, dan membuat
anastomosis dari usus yang tidak sehat. Untuk mengurangi resiko timbulnya
fistula, keadaan pasien harus normovolemia / tidak anemis agar aliran oksigen
menjadi lebih optimal. Selain itu pada saat operasi harus diberikan antibiotik
profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi dan abses yang dapat
menimbulkan fistula.

25
I. GEJALA/MANIFESTASI KLINIS
Gejala awal dari fistula enterokutaneous adalah demam, leukositosis,
prolonged ileus, rasa tidak nyaman pada abdomen, dan infeksi pada luka.
Diagnosis menjadi jelas bila didapatkan drainase material usus pada luka di
11
abdomen.

Gambar 2. Pasien dengan fistula enterocutaneous

2.15 PEMERIKSAAN PENUNJANG 9,11


Pemeriksaan penunjang pada kasus Fistula yaitu sebagai berikut:
a. Test methylen blue
Test ini digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan fistula
enterokutaneous dan kebocoran segmen usus. Tehnik ini kurang mampu untuk
mengetahui fungsi anatomi dan jarang digunakan pada praktek.

b. USG

26
USG dapat digunakan untuk mengetahui ada-tidaknya abses dan
penimbunan cairan pada saluran fistula
c. Fistulogram
Tehnik ini menggunakan water soluble kontras. Kontras disuntikkan
melalui pembukaan eksternal, kemudian melakukan foto x-ray. Dengan
menggunakan tehnik pemeriksaan ini, dapat diketahui berbagai hal yaitu :
Sumber fistula, jalur fistula, ada-tidaknya kontinuitas usus, ada-tidaknya
obstruksi di bagian distal, keadaan usus yang berdekatan dengan fistula
(striktur, inflamasi) dan ada-tidaknya abses yang berhubungan dengan fistula.

d. Barium enema
Pemeriksaan ini menggunakan kontras, untuk mengevaluasi lambung,
usus halus, dan kolon. Tujuannya untuk mengetahui penyebab timbulnya
fistula seperti penyakit divertikula, penyakit Crohn's, dan neoplasma
e. CT scan

2.16 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan fistula enterokutaneous dapat dibagi menjadi 5 tahapan,
yaitu stabilization, investigation, decision making, definitive therapy, dan healing.
1. Stabilization
Tahap ini dibagi menjadi 5 yaitu: identification, resuscitation, control of
sepsis, nutritional support, control of fistula drainage
a. Identification
Pada tahap ini, yang dilakukan adalah mengidentifikasi pasien dengan
fistula enterokutaneous. Pada minggu pertama postoperasi, pasien
menunjukkan tanda-tanda demam dan prolonged ileus serta terbentuk
erythema pada luka. Luka akan terbuka dan terdapat drainase cairan purulen
yang terdiri dari cairan usus. Pasien dapat mengalami malnutrisi yang
disebabkan karena sedikit atau tidak diberikan nutrisi dalam waktu lama.
Pasien dapat menjadi dehidrasi, anemis, dan kadar albumin yang rendah. 9
b. Resuscitation
Tujuan utama pada tahap ini yaitu pemulihan volume sirkulasi. Pada
tahap ini, pemberian kristaloid dibutuhkan untuk memperbaiki volume
sirkulasi. Transfusi sel darah merah dapat meningkatkan kapasitas

27
pengangkutan oksigen dan pemberian infuse albumin dapat mengembalikan
tekanan onkotik plasma.
c. Control of sepsis
Pada tahap ini, melakukan pencegahan terhadap timbulnya sepsis
dengan pemberian obat antibiotik. 9

28
d. Nutritional support
Pemberian nutrisi pada pasien dengan fistula enterokutaneous
merupakan komponen kunci penatalaksanaan pada fase stabilization. Fistula
enterokutaneous dapat menimbulkan malnutrisi pada pasien karena intake
nutrisi kurang, hiperkatabolisme akibat sepsis dan banyaknya komponen usus
kaya protein yang keluar melalui fistula. Pasien dengan fistula
enterokutaneous membutuhkan kalori total sebanyak 25-32kcal/kg perhari
dengan rasio kalori-nitrogen 150:1 sampai 200:1, protein minimal 1,5g/kg
perhari. Jalur pemberian nutrisi ini dilakukan melalui parenteral. Selain itu,
perlu diberikan elektrolit dan vitamin seperti vitamin C, vitamin B12, zinc,
asam folat. 9
e. Control of fistula drainage
Terdapat berbagai tehnik yang digunakan untuk managemen drainase
fistula yaitu simple gauze dressing, skin barriers, pauches, dan suction
catheter. Selain itu, untuk mencegah terjadinya maserasi pada kulit akibat
cairan fistula, dapat diberikan karaya powder, stomahesive atau glyserin.
Beberapa penulis melaporkan keberhasilan menggunakan Vacuum Assisted
Closure (VAC) system untuk penatalaksanaan fistula enterokutaneous. Obat-
obatan (Somatostatin, Octreotide dan H2 Antagonis) dapat juga diberikan
untuk menghambat sekresi asam lambung, sekresi kelenjar pankreas, usus, dan
traktus biliaris. 7,9

2. Investigation
Pada tahap ini, dilakukan investigasi terhadap sumber dan jalur fistula.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu: 7,9
a. Test methylen blue
b. USG
c. Fistulogram
d. Barium enema
e. CT scan

3. Decision
Fistula enterokutaneous dapat menutup secara spontan dalam 4-6

29
minggu pada pasien dengan pemberian nutrisi adekuat dan terbebas dari
sepsis. Penutupan spontan dapat terjadi pada sekitar 30% kasus. Fistula yang
terdapat pada lambung, ileum, dan ligamentum of Treiz memiliki kemampuan
yang rendah untuk menutup secara spontan. Hal ini berlaku juga pada fistula
dengan keadaan terdapat abses besar, traktus fistula yang pendek, striktur
usus, diskontinuitas usus, dan obstruksi distal. Pada kasus-kasus tersebut,
apabila fistula tidak menutup (output tidak berkurang) setelah 4 minggu, maka
dapat direncanakan untuk melakukan operasi reseksi. Pada rencana melakukan
tidakan operasi, ahli bedah harus mempertimbangkan untuk menjaga
keseimbangan nutrisi dengan memberikan nutrisi secara adekuat,
kemungkinan terjadinya penutupan spontan dan tehnik-tehnik operasi yang
9
akan digunakan.

4. Definitive therapy
Keputusan untuk melakukan operasi pada pasien dengan fistula
enterokutaneous yang tidak dapat menutup secara spontan adalah tindakan
yang tepat. Sebelumnya, pasien harus dalam kondisi nutrisi yang optimal dan
terbebas dari sepsis.
Pada saat operasi, abdomen dibuka menggunakan insisi baru. Insisi
secara transversal pada abdomen di daerah yang terbebas dari perlekatan.
Tujuan tindakan operasi selanjutnya adalah membebaskan usus sampai rektum
dari ligamentum Treiz. Kemudian melakukan eksplorasi pada usus untuk
menemukan seluruh abses dan sumber obstruksi untuk mencegah kegagalan
dalam melakukan anastomosis.
Pada saat isolasi segmen usus yang mengandung fistula, reseksi pada
segmen tersebut merupakan tindakan yang tepat. Pada kasus-kasus yang berat,
dapat digunakan tehnik exteriorization, bypass, Roux-en-Y drainase, dan
serosal patches. Namun tindakan- tindakan tersebut tidak menjamin hasil yang
optimal. Berbagai kreasi seperti two-layer, interrupted, end-to-end
anastomosis menggunakan segmen usus yang sehat dapat meningkatkan
kemungikan anastomosis yang aman. 7,9

5. Healing

30
Penutupan fistula secara spontan ataupun operasi, pemberian nutrisi
harus terus dilakukan untuk menjamin pemeliharaan kontinuitas usus dan
penutupan dinding abdomen. Tahap penyembuhan (terutama pada kasus
postoperasi) ini membutuhkan keseimbangan nitrogen, pemberian kalori dan
protein yang adekuat untuk meningkatkan proses penyembuhan dan
penutupan luka. 9

2.17 KOMPLIKASI
Edmund et al mengidentifikasi trias klasik untuk komplikasi yang dapat
ditimbulkan oleh fistula enterokutaneous, yaitu sepsis, malnutrisi, serta
berkurangnya elektrolit dan cairan tubuh. Fistula dapat menimbulkan abses local,
infeksi jaringan, peritonitis hingga sepsis. Selain itu, fistula enterokutaneous dapat
meningkatkan pengeluaran isi usus yang kaya akan protein dan cairan tubuh serta
elektrolit sehingga dapat menimbulkan malnutrisi dan berkurangnya kadar
elektrolit dan cairan tubuh. Pemberian nutrisi parenteral (TPN) sangat diperlukan,
karena TPN dapat meningkatkan penutupan fistula secara spontan. Pada pasien
yang membutuhkan penutupan fistula dengan operasi, TPN dapat meningkatkan
status nutrisi sehingga dapat mempertahankan kontinuitas usus dengan cara
meningkatkan proses penyembuhan luka dan meningkatkan system imun. 9

2.18 PROGNOSIS
Fistula enterokutaneous dapat menyebabkan mortalitas sebesar 10-15%,
lebih banyak disebabkan karena sepsis. Namun, sebanyak 50% kasus fistula dapat
menutup secara spontan. Faktor-faktor yang dapat menghambat penutupan
spontan fistula yaitu FRIEND (Foreign body didalam traktus fistula, Radiasi
enteritis, Infeksi/inflamasi pada sumber fistula, Epithelisasi pada traktus fistula,
Neoplasma pada sumber fistula, Distal obstruction pada usus). Tindakan
pembedahan dapat menyebabkan lebih dari 50% morbiditas pada pasien dan 10%
dapat kambuh kembali. 11
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 ANAMNESIS
Pemeriksaan dilakukan secara autoanamnesis di Ruang Bedah Pria

31
RSUD Datu Beru Takengon pada tanggal 5 Nov 2019 pukul 11.00 WIB

a. Identitas
Nama : Tn. E
Umur : 19 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Status : Belum menikah
Alamat : Atul Lintang
Tanggal lahir : 30/12/2000
Suku : Gayo
Agama : Islam
No.RM : 191313

b. Keluhan Utama
Keluar nanah pada luka bekas operasi
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan keluar nanah pada luka bekas operasi
sejak 1 hari SMRS. Sebelumnya, pada tanggal 29 November 2019 pasien
menjalani operasi usus buntu. Setelah dioperasi dan dirawat di rumah,
nyeri pada luka bekas operasi(-) flatus (+) BAK (+) normal, BAB (+)
normal, riwayat mual & muntah (-) riwayat demam (-), pasien mengatakan
luka bekas operasi tampak bagus, namun ± 6 hari kemudian keluar nanah
berwarna kuning kehijauan disertai bau yang tidak enak dan jahitan pada
luka operasi terputus sehingga luka operasi terbuka. Sebelumnya pasien
pernah membersihkan luka bekas operasi menggunakan kapas dan tissu
dengan menggunakan tangan. Pasien juga mengaku kurangnya kebersihan
pasien dalam merawat luka bekas operasi.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Disangkal

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Disangkal.

f. Riwayat Kebiasaan
Sebelum operasi pasien memiliki kebiasaan makan pedas dan rendah
serat. Pasien juga tidak mengkonsumsi putih telur atau sumber protein
lainnya seperti anjuran dokter. Minum ± 2 liter air mineral setiap hari.

3.2 PEMERIKSAAN FISIK

32
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Frekuensi Nadi : 90 x/menit

- Frekuensi Pernapasan : 22 x/menit

- Suhu : 36.8˚ C

Status Generalis

Pemeriksaan Hasil
Kepala Normocephali, rambut hitam,
Mata Konjungtiva anemis -/-, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+, sclera ikterik -/-
Telinga Normotia, liang telinga lapang +/+, membran timpani
intak +/+
Hidung Deformitas -, sekret -, mukosa hiperemis -
Mulut & tenggorokan Bibir tidak kering, oral hygiene cukup, tonsil tenang
T1/T1, hiperemis -
Leher KGB tidak teraba membesar
Thoraks Simetris, Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-) wheezing (-/-)
Jantung S1S2 reguler, murmur -, gallop -
Paru Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen Inspeksi : Distensi abdomen (-), luka bekas
operasi (+) pada regio iliaca dextra,
luka bekas operasi terbuka Ø ± 7x3
cm, terdapat cairan kuning kehijauan
yang keluar dari luka bekas operasi,
jahitan operasi terbuka.
Auskultasi : BU(+) Normal
Palpasi : nyeri pada daerah sekitar luka operasi
(+), defans muskuler (-)
Perkusi : Timpani
Ekstremitas Akral hangat +, CRT <2”, oedem -

33
Status Lokalis Abdomen

Pemeriksaan Hasil
S/L a/r iliaca dextra
L luka bekas operasi (+) pada regio iliaca dextra,
luka bekas operasi terbuka Ø ± 7x3 cm, terdapat
cairan kuning kehijauan yang keluar dari luka
bekas operasi, jahitan operasi terbuka.
F nyeri pada daerah sekitar luka operasi (+), defans
muskuler (-)

34
3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium pada tanggal 5 November 2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


HEMATOLOGI
Hb 13.6 12 -15 g/Dl
HT 41.9 35 - 49 %
Leukosit 11.340 4.500-11.500/ul
Trombosit 271.000 150.000-450.000/ul
Eritrosit 5.0 4.0 juta-5.4 juta/ ul
MCV 83.3 80,0-94.0 fl
MCH 27.0 26,0 – 32,0 pg
MCHC 32.5 32.0-36.0 g/Dl
RDW-CV 13.6 11.5-14.5 %
PLT 210.0 150-450.000
KIMIA DARAH
Albumin 3,3 3,5-5,0
GDS 133 <200 mg/dL

3.4 DIAGNOSIS KERJA


Complication of Surgery Post Appendectomy e.c Acute Appendecitis + Abses +

Susp. Enterocutaneus Fistula (ECF)

3.5 DIAGNOSIS BANDING


- Enterocutaneus Fistula (ECF)
- Wound Dehiscence

35
- Burst Abdomen
3.6 PENATALAKSANAAN
- Wound Toilet
- GV
- IVFD Ringer Laktat 20 tetes / menit
- Inj Ceftriaxone 1 gram vial / 12j
- Inj. Ketorolac 30 mg amp /12j
- Inj. Omeprazole 40 mg vial / 12j

3.7 PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Ad malam
Ad sanationam : Ad bonam

3.8 FOLLOW UP HARIAN

TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT PENATALAKSANAAN


06-11-2019 S : keluar nanah dari luka bekas - Diet MB TKTP
H2 - IVFD Ringer Laktat
operasi (+) nyeri (+) mual (+)
20 tetes / menit
muntah (-) BAK & BAB (+)
- Inj Ceftriaxone 1
normal
gram vial / 12j (h2)
O : KU: sakit sedang, compos
- Inj. Ketorolac 30
mentis
mg amp /12j
TD 110/80 mmHg, N 84 x/menit,
- Inj. Omeprazole 40
RR 20 x/menit, S 36.8◦ C
mg vial / 12j
S/L : a/r Abdomen (iliaca dextra)
- Cek albumin
L : Luka bekas operasi terbuka, - Pemasangan colostomy
tampak basah/berair, pus (+)
F : nyeri pada daerah sekitar luka
operasi (+), defans muskuler
A : Complication of Surgery Post
Appendectomy e.c Acute

Appendecitis + Abses + Susp


Enterocutaneus Fistula (ECF)
07-11-2019 S : nyeri pada luka bekas operasi - Diet MB TKTP
H3 - IVFD Ringer Laktat
(+) mual (-) muntah (-) BAK &
20 tetes / menit
BAB (+) normal
- Inj Ceftriaxone 1

36
O : KU: sakit sedang, compos gram vial / 12j (h2)
- Inf. Metronidazole
mentis
TD 110/80 mmHg, N 82 x/menit, 500mg/ 8j
- Inj. Ketorolac 30
RR 22 x/menit, S 36.6◦ C
S/L : a/r Abdomen (iliaca dextra) mg amp /12j
- Inj. Omeprazole 40
L : Luka bekas operasi terbuka,
mg vial / 12j
tampak basah/berair
- GV
F : nyeri pada daerah sekitar luka
- Norit Tes
operasi (+), defans muskuler
A : Complication of Surgery Post
Appendectomy e.c Acute

Appendecitis + Abses + Susp


Enterocutaneus Fistula (ECF
13-11-2019 S : nyeri pada luka bekas operasi - Diet MB TKTP
H9 - IVFD Ringer Laktat
(+) mual (-) muntah (-) BAK &
20 tetes / menit
BAB (+) normal
- Inj Meropenem 1
O : KU: sakit sedang, compos
gram vial / 12j (h6)
mentis
- Inf. Metronidazole
TD 110/80 mmHg, N 83 x/menit,
500mg/ 8j (h7)
RR 20 x/menit, S 36.5◦ C
- Inj. Ketorolac 30
S/L : a/r Abdomen (iliaca dextra)
mg amp /12j
L : Luka bekas operasi terbuka,
- Inj. Omeprazole 40
tampak basah/berair
mg vial / 12j
F : nyeri pada daerah sekitar luka
- Rencana operasi besok
operasi (+), defans muskuler
A : Complication of Surgery Post
Appendectomy e.c Acute

Appendecitis + Abses + Susp


Enterocutaneus Fistula (ECF

15-11-2019 S : nyeri pada luka bekas operasi - Mobilisasi


H11 - Diet Putih Telur
(+) mual (-) muntah (-) BAK &
- IVFD Ringer Laktat
BAB (+) normal
20 tetes / menit
O : KU: sakit sedang, compos
- Inj Meropenem 1
mentis
gram vial / 12j (h8)
TD 110/80 mmHg, N 83 x/menit,

37
RR 20 x/menit, S 36.5◦ C - Inf. Metronidazole
S/L : a/r Abdomen (iliaca dextra)
500mg/ 8j (h9)
L : Luka terbalut verban - Inj. Ketorolac 30
F : nyeri pada daerah sekitar luka
mg amp /12j
operasi (+), defans muskuler - Inj. Omeprazole 40
A : Post Repair Wound Dehiscence
mg vial / 12j
(POD I ) e.c Complication of

Surgery with Abses + Susp


Enterocutaneus Fistula (ECF
17-11-2019 S : nyeri pada luka bekas operasi - Mobilisasi
H13 - Diet Putih Telur
(+) mual (-) muntah (-) BAK &
- IVFD Ringer Laktat
BAB (+) normal
20 tetes / menit
O : KU: sakit sedang, compos
- Inj Meropenem 1
mentis
gram vial / 12j (h10)
TD 110/80 mmHg, N 85 x/menit,
- Inj. Ketorolac 30
RR 20 x/menit, S 36.7◦ C
mg amp /12j
S/L : a/r Abdomen (iliaca dextra)
- Inj. Omeprazole 40
L : Luka terbalut verban
mg vial / 12j
F : nyeri pada daerah sekitar luka
- GV
operasi (+), defans muskuler - PBJ
A : Post Repair Wound Dehiscence (+)
- Cefixime 2x100mg
(POD III ) e.c Complication of
- Paracetaml 3x500mg
Surgery with Abses + Susp
Enterocutaneus Fistula (ECF

BAB IV
RESUME

Pada anamnesa didapatkan pasien keluhan keluar nanah pada luka bekas
operasi sejak 1 hari SMRS. Sebelumnya, pada tanggal 29 November 2019 pasien
menjalani operasi usus buntu. Setelah dioperasi dan dirawat di rumah, nyeri pada
luka bekas operasi(-) flatus (+) BAK (+) normal, BAB (+) normal, riwayat mual
& muntah (-) riwayat demam (-), pasien mengatakan luka bekas operasi tampak
bagus, namun ± 6 hari kemudian keluar nanah berwarna kuning kehijauan disertai

38
bau yang tidak enak dan jahitan pada luka operasi terputus sehingga luka operasi
terbuka. Sebelumnya pasien pernah membersihkan luka bekas operasi
menggunakan kapas dan tissu dengan menggunakan tangan. Pasien juga mengaku
kurangnya kebersihan pasien dalam merawat luka bekas operasi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada vital sign TD: 120/80 N: 90x/i T:
36,8OC dan pada status lokalisata dijumpai luka bekas operasi (+) pada regio
iliaca dextra, luka bekas operasi terbuka Ø ± 7x3 cm, terdapat cairan kuning
kehijauan yang keluar dari luka bekas operasi, jahitan operasi terbuka pada regi
iliaca dextra, terasa nyeri pada daerah sekitar luka operasi (+), defans muskuler
(-) Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb: 13,6g g/dL HT: 41,9% WBC:
11.340 PLT: 210.000 Albumin: 3,3 GDS: 133 mg/dL. Pada saat di IGD pasien
dilakukan wound toilet dan GV, kemudian diberikan terapi IVFD RL, antibiotik,
analgesik, dan PPI
Pada saat =di ruangan, pasien dipasangkan colostomy kemudian
dianjurkan untuk meminum norit (pulvis) untuk mengetahui ada tidaknya
kebocoran pada usus pasien. Kemudian pada hari rawatan ke 10 (14 nov 2019)
pasien dioperasi repair wound dehiscence. Pada POD III pasien dibolehkan
pulang dengan obat oral antibiotik dan analgesik/antipiretik.

BAB V
KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan pada appendix vermicularis. Appendicitis


merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering dijumpai. Faktor
predisposisi dan etiologinya bisa bermacam-macam, namun obstruksi lumen
adalah penyebab utamanya. Komplikasi Post Appendectomy :infeksi pada luka,
abses (nanah), perlengketan usus, komplikasi yang jarang terjadi seperti ileus,
gangren usus, peritonitis, dan obstruksi usus.

39
Fistula adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara dua organ
dalam atau berjalan dari suatu organ dalam ke permukaan tubuh. Fistula
enterokutaneous adalah suatu saluran abnormal yang menghubungkan antara
organ gastrointestinal dan kulit. Berdasarkan kriteria anatomi, fistula
enterokutaneous dibagi menjadi 2 yaitu fistula internal dan eksternal. Fistula
internal yaitu fistula yang menghubungkan antara dua viscera, sedangkan fistula
eksternal adalah fistula yang menghubungkan antara viscera dengan kulit.
Berdasarkan kriteria etiologi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 2 yaitu
fistula yang terjadi secara spontan dan akibat komplikasi postoperasi.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan: test methylen blue, USG,
fistulogram, barium enema, dan CT scan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Masjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Appendicitis. Kapita


Selekta Kedokteran. 2000. Jakarta : FK UI.
2. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2004. Jakarta: EGC.
p. 865-75.
3. Schwatz, et al. Principles of Surgery 8th Edition Volume 2. Jakarta: EGC.
p. 1383 – 93.
4. Staf Pengajar FKUI. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. 1995. p. 109 – 12.
5. Sugandi . W. Referat Appendicitis. Sub Bagian Bedah Digestif. 2005.
Bandung: FK UNPAD-RSHS.
6. Dorland W.A.N., 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC. h. 840

40
7. Kozell K and Martin L., 1999. Managing the Challenges of
Enterocutaneous Fistula. Available from www.cawc.net/open/wcc/1-
1/Kozell.pdf (Download : 8 Juni 2009) p. 10-14
8. Amato J., 2005. Enterocutaneous Fistula. Available from
http://74.125.153.132/search?
q=cache:7TAvijyGRV0J:www.mssurg.net/Team5Conferences/2005-
6/Enterocutaneous % 2520 Fistula%2520-%25203.pdf+
enterocutaneous+fistula+john+ amato&cd=1&hl= id&ct= clnk&gl
=id&client=firefox-a (Download : 8 Juni 2009) p. 95-98
9. Evenson A. R et al., 2006. Current Management of Enterocutaneous
Fistula. Available from http://www.ptolemy.ca /members/archives/
2006/Fistula/evenson2006.pdf. (Download : 8 Juni 2009) p. 455-463
10. Thompsom M.J and Epanomeritakis E., 2008. An Accountable Fistula
Management Treatment Plan. Available from : http://www.eakin.co.uk/
Uploads/ Docs/An_ Accountable
_Fistula_Management_Treatment_Plan_BJN.pdf. (Download : 16 Juni
2009) p. 434-439
11. Edward E.W et al. Small Intestine. In : Charles F., Bronicardi et al.
Swartz-Principle of Surgery. McGraw-Hill. p. 1037-1038

41

Anda mungkin juga menyukai