“Tapi, Ama janji ya, besok belikan Ica boneka seperti punya Mira,” jawab anakku. Aku hanya tersenyum gelisah mendengar rengekannya yang sepanjang hari ini bosan kudengar. Tanpa peduli akan kegelisahanku, Ica segera tertidur dengan lelapnya saat aku mulai menepuk=nepuk pelan bokongnya. Aku berusaha memejamkan mata menghalau kegundahan hatiku seraya menemaninya tidur, namun gagal. Yakin jika Ica sudah benar-benar tidur, aku berusaha turun dari ranjang tanpa meninggalkan jejak bunyi apapun. Kuraih dompet yang tergeletak di atas meja rias. Kosong. Aku menghela napas pelan mendapati kenyataan pahit tersebut. Duduk tanpa tenaga di hadapan meja rias sambil kembali menatap wajah Mira yang tidur dengan tenang. Napasnya berhembus dengan perlahan. Tersungging sebuah senyuman manis yang menghiasi bibirnya. Seolah saat ini dia sedang merasakn kebahagiaan karena telah mendapatkan boneka keinginannya dalam bunga tidurnya. Aku kembali menghela napas pelan. Kegelisahan itu kembali muncul. Gelisah karena takut esok hari kenyataannya aku tak mampu membelikannya boneka. Boneka bayi barbie yang bisa mengeluarkan suara seperti yang dimiliki Mira, anak tetangga sebelahku. Sudah dua hari terakhir, Mira menyombongkan boneka yang didapat sebagai oleh-oleh neneknya yang berlibur ke Bandung pada Ica. Awalnya Ica tak acuh. Tapi sikap Mira yang seolah ingin memprovokasi Ica lama-lama membuat hatinya panas. Puncaknya, tadi siang Ica bertengkar hebat dengan Mira karena Ica merebut seenaknya boneka Mira tersebut dan enggan mengembalikannya. Andai tidak terbujuk rayuanku yang berjanji akan membelikannya boneka yang sama persis seperti milik Mira bahkan lebih, mungkin boneka tersebut masih Ica peluk hingga kini. Lamunanku terhenti saat mendengar suara pintu pagar dibuka disusul bunyi motor masuk ke halaman rumah. Bergegas aku bangkit keluar kamar, meninggalkan Ica yang tertidur. “Assalamualaikum,” sahut suamiku saat membuka pintu rumah. “Waalaikumsalam,” balasku sambil mengambil tas kerjanya dan mencium telapak tangannya. “Lho, belum tidur, Ma? Ica gimana? Udah tidur?” tanya suamiku. “Ica sudah tidur dari tadi, Pa,” jawabku sambil mengisi air hangat di gelasnya. “Lalu, kenapa kamu belum tidur?” tanyanya kembali setelah mengucapkan terima kasih saat menerima gelasnya dari tanganku. Aku menghela napas pelan, enggan menjawab pertanyaannya. “Kenapa, Ama sayang?” tanyanya lagi setelah meminum habis air hangat di gelasnya. Kali ini sambil mengelus lembut rambutku. Meski sederhana, perbuatannya tersebut mampu mengusir kegundahanku. Aku tersenyum menatapnya. “Nggak apa-apa, Pa,” jawabku tak mau membuatnya khawatir. Dia mengerutkan keningnya saat mendengar ucapanku. “Biasanya perempuan itu kalo bilang nggak apa-apa, justru kebalikannya,” jawabnya tak percaya. “Ah, Apa ini, sok tahu,” balasku tersenyum melihat reaksinya yang jarang sekali ditunjukkannya. Tak biasanya kali ini suamiku begitu peka. Padahal dia pasti masih lelah sepulang dari tempat kerjanya. Rasanya tak tega jika aku harus menambah bebannya dengan cerita Mira. Suamiku menghela napas pelan lalu tersenyum. “Ya sudah, kalo sekarang belum mau cerita. Tapi, Ama mesti ingat kalo Apa siap dengerin cerita Ama kapanpun. Jangan terlalu sering memendamnya sendiri. Nanti Ama cepet sakit terus tambah tua. Lagian, kasian juga sama wajah Ama, nanti tambah banyak jerawat,” ujarnya sambil mengelus pelan tanganku seolah menyalurkan perasaan hangat dan tenang. “Ih, Apa,” jawabku sambil memukul pelan lengannya dan tersenyum. Suamiku mulai beranjak dari kursinya, mengambil handuk dan bergegas membersihkan diri di kamar mandi. Sepeninggalan suamiku, keheningan kembali merenggut ketenangan yang tadi kuperoleh. Suara rengekan Ica kembali terdengar. “Ica minta dibelikan boneka seperti Mira, Pa.” Aku akhirnya membuka mulut menceritakan kegelisahanku saat melihat suamiku keluar dari kamar mandi. Tanpa banyak bicara, dia hanya duduk di hadapanku, setia mendengarkan ceritaku sampai akhir. “Ya sudah, semoga besok Apa ada rezekinya jadi bisa beliin Ica boneka. Ama nggak usah khawatir ya,” ucapnya sambil mengusap-usap pelan lenganku, berharap tindakannya mampu mengusir sedikit kegelisahanku dan itu memang berhasil padaku. “Makasih ya, Pa. Maafin Ama malah nambah beban Apa,” jawabku sambil tersenyum. “Apa udah makan?” tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan. *** Aku tersenyum senang begitu keluar dari ruang tata usaha keesokkan harinya. Amplop putih yang kupeganglah yang saat ini menjadi sumber kebahagiaanku. Akhirnya hari ini Ama bisa beliin kamu boneka, Ca, batinku. “Rizuki sensei, doushite desuka1? Nani ka tanoshiidesuka2?” Suara halus nan lembut itu membuyarkan lamunanku. Aku berpaling menatap pemilik suara tersebut lalu tersenyum. “Un3. Kono koto wa totemo tanoshiidesu4. Minami sensei, ima hima jikan ga arimasuka5?” tanyaku padanya. “Hai, ima hima desu6. Doushite desuka7?” jawabnya masih dengan raut muka yang kebingungan karena belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. “Jya, kyou wa kaimono ni ikimasenka8?” Wajahnya langsung sumringah mendengar ajakanku. “Jya, ikimashou9!” pekiknya gembira. Ah, aku lupa belum mengenalkan sosok yang sedari tadi mengajakku berbicara. Namanya Minami Matsumoto. Beliau adalah nihongo partner yang ditugaskan The Japan Foundation, Jakarta untuk menjadi asisten pengajar di Indonesia. Kebetulan selama Sembilan bulan ke depan, beliau ditempatkan di sekolah tempatku mengajar. Hingga hari ini sudah hampir 4 bulan beliau bertugas menemaniku mengajar. Untungnya selama ini aku belum menemukan kesulitan yang berarti sepanjang menemaninya. Beliau orang yang ramah dan cantik. Mudah beradaptasi dan bergaul dengan orang-orang di lingkungan sekolahku. Kehadirannya membawa angin segar terutama bagi siswa-siswi yang kelasnya diajarkan bahasa Jepang olehku. Meski bahasa Indonesianya belum terlalu fasih, tapi beliau tidak pernah sungkan untuk bertanya padaku jika ada hal yang tidak dipahaminya. Kadang aku selalu merasa khawatir jika meninggalkannya seorang diri. Seolah aku ini ibu yang tiba-tiba memiliki anak gadis dalam kehidupannya yang datar. “Rizuki sensei, nani mo kaimono shimasuka10?” tanyanya mengagetkanku yang sedari tadi melamun. Aku tersenyum menatapnya seraya melirik beberapa kantong belanjaan yang diletakannya di kursi sebelahku. “Anata wa watashi o kaimono ni shitanodesu11. Kawari ni watashi wa kaimono no seishindesu12,” keluhnya. “Hahaha. Daijyoubudesuyo13. Jya, sugu ni tabemono wo tabemashou14. Anata wa tsukarete imasune15,” jawabku. Usai menyelesaikan urusan perut kami, aku memintanya menemaniku berkeliling pusat pertokoan sekali lagi. Tadi saat menemaninya berbelanja aku sempat melihat ada toko mainan di ujung bangunan ini. “Ningyou16? Dareno tameni17?” tanyanya saat aku meminta pelayan toko untuk menunjukkan beberapa boneka bayi barbie yang ada di toko tersebut. “Musume no tameni18.” “Ica chan desuka19?” “Un. Suujitsumae, kare no tomodachi wa itsumo ningyou o misete imasu 20. Kare wa okotte itashi, kare ga naita sakuban no piiku wa, onaji ningyou o katte mitaidesu21. Saiwai kyou watashi wa kyuuryoubidakara, ningyou o kau koto ga dekimasu22.” jelasku panjang lebar sambil menyerahkan boneka pilihanku pada pelayan toko. Aku tersenyum puas menatap barang belanjaanku saat keluar dari toko mainan. Karena sudah tidak ada lagi tempat yang ingin kami kunjungi, maka kami mulai melangkah meninggalkan toko mainan untuk pulang. “Nek, Rida mau mainan itu.” Terdengar rengekan anak kecil tak jauh dari toko mainan yang tadi aku masuki. Aku berhenti sejenak lalu menatap nenek tua dengan pakaian lusuhnya dan anak kecil yang kuduga seusia dengan Ica yang kuyakini cucunya. “E, naze tomemasuka23?” tanya Minami padaku saat melihat gerak langkahku yang tiba-tiba berhenti. Aku hanya meletakkan jari telunjukku di depan bibirku memintanya diam sejenak sebagai jawaban. Perhatianku kembali teralihkan saat mendengar kembali rengekan anak kecil di hadapanku pada neneknya. “Nek, Rida mau boneka itu!” rengek anak kecil bernama Rida tersebut pada neneknya sambil menunjuk boneka yang terpajang di balik kaca toko mainan. Boneka yang persis sama dengan yang kubelikan untuk Ica tadi. “Nanti ya, Cu. Nenek belum punya uang sekarang. Uang yang kita dapat hari ini sepanjang kita meminta-minta baru cukup untuk makan kita hari ini saja,” jawab sang nenek. Aku menghela napas pelan. Terenyuh oleh pembicaraan nenek dan cucunya tersebut. Belum lagi saat melihat perubahan wajah Rida saat mendengar jawaban neneknya namun tak sanggup lagi meminta lebih seolah paham dengan apa yang dijelaskan neneknya. Pembicaraan tersebut mengingatkanku pada kondisi semalam. Juga jika aku berada di posisi mereka. Tanpa ragu, aku mulai melangkah menghampiri nenek dan cucunya itu. Lalu memberikan boneka yang tadi kubeli untuk Ica pada Rida. Sang nenek terkejut lalu berusaha untuk menolak pemberianku. Butuh waktu sekitar 10 menit yang panjang untukku meyakinkannya sebelum akhirnya sang nenek pasrah atas pemberianku dan berulang kali mengucapkan terima kasih yang hanya kubalas dengan senyuman. “Doushite24?” tanya Minami saat aku kembali menghampirinya. “E?” balasku pura-pura tak mengerti apa yang ditanyakannya. Minami memutar bola matanya kesal menanggapi sikapku yang pura-pura bodoh di hadapannya. “Jya! Orokana furi o shinaide kudasai25. Naze anata wa are ningyou o karera ni sasagemashitaka26? Ica chan no tame dewa arimasenka27? Ica chan wa sudeni ningyou o matte imasenka28?” protesnya. Aku tertawa melihat reaksi kesalnya. Dia balas menatapku tajam seolah tak suka melihatku menertawakannya. Aku segera berusaha mengontrol diriku agar bisa berhenti tertawa. Sambil merangkul pundaknya aku berkata, “Daijyoubu desu. Ica chan wa mada matsu koto ga dekimasu29. Ano kodomo wa itsu kare no kibou ga naritastu ka wakarimasen30.” “Demo31…” Aku hanya menepuk-nepuk bahunya sambil menggelengkan kepala dan memintanya bergegas meninggalkan tempat tersebut. *** Lesu, kubuka pintu pagar rumahku. Honda Beat merah telah terparkir di halaman rumah tanda bahwa suamiku sudah pulang. Ragu, aku melangkah pelan menuju pintu rumah. Terbayang dengan jelas wajah kecewa Ica saat mendapatiku yang hari ini tak mampu membelikannya boneka. “Assalamualaikum.” Terdengar jawaban salam dari mulut Ica yang tersenyum senang menyambutku. Keherananku masih belum pupus bahkan saat Ica menarik tanganku mengikutinya. “Ama, tadi waktu Apa pulang, Apa bawain Ica boneka lho. Boneka yang mirip dengan punya Mira,” celoteh anak perempuanku sambil menunjukkan boneka yang telah dibeli suamiku. Tubuhku seketika lemas. Tanpa sadar butiran air mata mengalir di pipiku. “Ama kenapa? Kok nangis? Apa! Apa! Ama nangis!” teriak Ica panik memanggil suamiku. Kulihat suamiku bergegas menghampiriku seraya menyodorkan air hangat dan memintaku meminumnya perlahan. Kuturuti perintahnya. Bahkan aku menurut saja saat dia membimbingku masuk ke kamar dan menarik tas serta jaket dari tubuhku. “Ama kenapa?” tanyanya seraya mengusap pelan punggungku sementara aku bersandar di bahunya. Di detik berikutnya kuceritakan semua yang terjadi denganku hari ini. Tentang gaji yang kudapat, tentang rencanaku membelikan Ica boneka, tentang nenek tua dan Rida juga tentang Minami yang marah padaku. Suamiku hanya diam mendengarkan. Setelahnya air mataku mulai berhenti mengalir seiring dengan perasaanku yang mulai membaik saat mendengarkan penjelasan suamiku yang memberitahukan bahwa hari ini dia mendapatkan rezeki lebih sehingga bisa membelikan boneka untuk Ica. “Sudah, jangan menangis lagi. Kasihan Ica khawatir lihat Amanya nangis tiba- tiba. Padahal harusnya ikut senang karena Ica sudah mendapatkan bonekanya,” pinta suamiku. “Makasih ya, Pa.” Ica mengintip dari balik pintu kamarku seolah ragu memutuskan kakinya untuk masuk ke kamar. Aku tersenyum melihatnya meski masih ada bekas air mata di pipiku. Aku memanggilnya sambil melebarkan tanganku. Dia bergegas berlari menghampiriku. “Ama kenapa? Kok nangis?” tanyanya sambil mengusap pelan pipiku. “Nggak. Ama nggak apa-apa, Sayang. Ama bahagia lihat kamu punya boneka,” ujar suamiku mewakiliku menjawab pertanyaannya. Aku segera menganggukkan kepala memperkuat jawaban suamiku. Ica lalu naik ke pangkuan suamiku dan diciumi hingga dia merasa geli. “Permisi.” Terdengar suara yang menyapa dari halaman rumah kami. Kami saling berpandangan. Suamiku mengangkat bahunya. “Ya?” tanyaku bergegas menuju halaman rumah. “Dengan Ibu Rizky?” tanya tukang ojek online yang bertamu ke rumahku sambil membawa bingkisan besar. “Iya, saya sendiri.” “Ini ada kiriman, Bu,” ujarnya menyerahkan bingkisan tersebut lalu pergi meninggalkanku yang masih kebingungan. Aku masuk ke dalam rumah dengan linglung sambil membawa bingkisan tersebut. “Siapa?” tanya suamiku. “Tukang ojek online bawain ini buat Ama katanya, Pa.” “Paket? Ama beli buku lagi?” “Ih, Apa. Ama bulan ini belum beli online apa=apa.” “Terus ini?” Aku mengangkat bahuku sabagai jawaban lalu bergegas membuka bingkisan tersebut. Ica yang berteriak senang saat melihat isi bingkisan tersebut. Tak lama terdengar bunyi telepon masuk di ponselku. “Moshi-moshi32. Rizuki sensei, dono pakkeeji ga touchaku shimashitaka 33? Watashi wa Ica chan ga shiawase ni naru koto o negatte imasu 34. Anata ga kounyuu shita ningyou moderu wa soko ni nakattanode, dono youna ningyou moderu o mitsukeru no wa konran shimasu35.” Suara Minami di ujung ponselku semakin lama tak terdengar jelas. Air mata kembali membasahi pipiku. “Minami sensei, arigatou36,” isakku. *** (Cerita pendek ini dibuat sebagai hadiah persahabatan penulis dengan Minami Matsumoto, seorang nihongo partner atau NP yang hingga saat ini masih berkomunikasi dengan penulis.) Catatan : 1 Ibu Rizky, ada apa? 2 Apa ada hal yang menyenangkan terjadi? 3 Iya 4 Hal ini sangat menyenangkan 5 Ibu Minami, sekarang ada waktu luang kah? 6 Ya, sekarang luang. 7 Kenapa? 8 Baiklah, bagaimana kalau hari ini kita pergi belanja? 9 Ayo, kita pergi! 10 Ibu Rizky, tidak belanja apa-apa kah? 11 Tadi kan kamu yang mengajak saya belanja. 12 Tapi dari tadi saya terus yang belanja 13 Tidak apa-apa 14 Ayo, cepat dihabiskan makanannya 15 Kamu pasti capek kan?! 16 Boneka 17 Untuk siapa 18 Untuk anak perempuan saya 19 Ica? 20 Beberapa hari ini temannya selalu memperlihatkan boneka padanya 21 Semalam dia merengek ingin dibelikan boneka yang sama 22 Karena hari ini saya gajian, jadi saya bisa membelikannya boneka 23 Lho, kenapa berhenti? 24 Kenapa? 25 Hei, jangan pura-pura bodoh! 26 Kenapa boneka itu kamu kasih ke mereka? 27 Bukannya itu untuk Ica? 28 Ica sudah lama menunggu boneka itu kan?! 29 Ica masih bisa menunggu 30 Sementara anak itu tidak tahu bisa menunggu sampai kapan 31 Tapi 32 Halo 33 Ibu Rizky, apa paketnya sudah sampai? 34 Saya harap Ica senang 35 Saya tidak bisa menemukan model boneka yang sama karena saya tidak tahu model boneka apa yang kamu beli 36 Ibu Minami, terima kasih