Anda di halaman 1dari 9

BONEKA MIRA

By Rizky Amallia Eshi

“Cepatlah tidur, Sayang,” pintaku.


“Tapi, Ama janji ya, besok belikan Ica boneka seperti punya Mira,” jawab
anakku.
Aku hanya tersenyum gelisah mendengar rengekannya yang sepanjang hari
ini bosan kudengar. Tanpa peduli akan kegelisahanku, Ica segera tertidur dengan
lelapnya saat aku mulai menepuk=nepuk pelan bokongnya.
Aku berusaha memejamkan mata menghalau kegundahan hatiku seraya
menemaninya tidur, namun gagal. Yakin jika Ica sudah benar-benar tidur, aku
berusaha turun dari ranjang tanpa meninggalkan jejak bunyi apapun.
Kuraih dompet yang tergeletak di atas meja rias. Kosong. Aku menghela
napas pelan mendapati kenyataan pahit tersebut. Duduk tanpa tenaga di hadapan
meja rias sambil kembali menatap wajah Mira yang tidur dengan tenang.
Napasnya berhembus dengan perlahan. Tersungging sebuah senyuman
manis yang menghiasi bibirnya. Seolah saat ini dia sedang merasakn kebahagiaan
karena telah mendapatkan boneka keinginannya dalam bunga tidurnya.
Aku kembali menghela napas pelan. Kegelisahan itu kembali muncul. Gelisah
karena takut esok hari kenyataannya aku tak mampu membelikannya boneka.
Boneka bayi barbie yang bisa mengeluarkan suara seperti yang dimiliki Mira, anak
tetangga sebelahku.
Sudah dua hari terakhir, Mira menyombongkan boneka yang didapat sebagai
oleh-oleh neneknya yang berlibur ke Bandung pada Ica. Awalnya Ica tak acuh. Tapi
sikap Mira yang seolah ingin memprovokasi Ica lama-lama membuat hatinya panas.
Puncaknya, tadi siang Ica bertengkar hebat dengan Mira karena Ica merebut
seenaknya boneka Mira tersebut dan enggan mengembalikannya. Andai tidak
terbujuk rayuanku yang berjanji akan membelikannya boneka yang sama persis
seperti milik Mira bahkan lebih, mungkin boneka tersebut masih Ica peluk hingga kini.
Lamunanku terhenti saat mendengar suara pintu pagar dibuka disusul bunyi
motor masuk ke halaman rumah. Bergegas aku bangkit keluar kamar, meninggalkan
Ica yang tertidur.
“Assalamualaikum,” sahut suamiku saat membuka pintu rumah.
“Waalaikumsalam,” balasku sambil mengambil tas kerjanya dan mencium
telapak tangannya.
“Lho, belum tidur, Ma? Ica gimana? Udah tidur?” tanya suamiku.
“Ica sudah tidur dari tadi, Pa,” jawabku sambil mengisi air hangat di gelasnya.
“Lalu, kenapa kamu belum tidur?” tanyanya kembali setelah mengucapkan
terima kasih saat menerima gelasnya dari tanganku.
Aku menghela napas pelan, enggan menjawab pertanyaannya.
“Kenapa, Ama sayang?” tanyanya lagi setelah meminum habis air hangat di
gelasnya. Kali ini sambil mengelus lembut rambutku.
Meski sederhana, perbuatannya tersebut mampu mengusir kegundahanku.
Aku tersenyum menatapnya.
“Nggak apa-apa, Pa,” jawabku tak mau membuatnya khawatir.
Dia mengerutkan keningnya saat mendengar ucapanku.
“Biasanya perempuan itu kalo bilang nggak apa-apa, justru kebalikannya,”
jawabnya tak percaya.
“Ah, Apa ini, sok tahu,” balasku tersenyum melihat reaksinya yang jarang
sekali ditunjukkannya.
Tak biasanya kali ini suamiku begitu peka. Padahal dia pasti masih lelah
sepulang dari tempat kerjanya. Rasanya tak tega jika aku harus menambah
bebannya dengan cerita Mira.
Suamiku menghela napas pelan lalu tersenyum.
“Ya sudah, kalo sekarang belum mau cerita. Tapi, Ama mesti ingat kalo Apa
siap dengerin cerita Ama kapanpun. Jangan terlalu sering memendamnya sendiri.
Nanti Ama cepet sakit terus tambah tua. Lagian, kasian juga sama wajah Ama, nanti
tambah banyak jerawat,” ujarnya sambil mengelus pelan tanganku seolah
menyalurkan perasaan hangat dan tenang.
“Ih, Apa,” jawabku sambil memukul pelan lengannya dan tersenyum.
Suamiku mulai beranjak dari kursinya, mengambil handuk dan bergegas
membersihkan diri di kamar mandi.
Sepeninggalan suamiku, keheningan kembali merenggut ketenangan yang
tadi kuperoleh. Suara rengekan Ica kembali terdengar.
“Ica minta dibelikan boneka seperti Mira, Pa.”
Aku akhirnya membuka mulut menceritakan kegelisahanku saat melihat
suamiku keluar dari kamar mandi. Tanpa banyak bicara, dia hanya duduk di
hadapanku, setia mendengarkan ceritaku sampai akhir.
“Ya sudah, semoga besok Apa ada rezekinya jadi bisa beliin Ica boneka. Ama
nggak usah khawatir ya,” ucapnya sambil mengusap-usap pelan lenganku, berharap
tindakannya mampu mengusir sedikit kegelisahanku dan itu memang berhasil
padaku.
“Makasih ya, Pa. Maafin Ama malah nambah beban Apa,” jawabku sambil
tersenyum.
“Apa udah makan?” tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan.
***
Aku tersenyum senang begitu keluar dari ruang tata usaha keesokkan harinya.
Amplop putih yang kupeganglah yang saat ini menjadi sumber kebahagiaanku.
Akhirnya hari ini Ama bisa beliin kamu boneka, Ca, batinku.
“Rizuki sensei, doushite desuka1? Nani ka tanoshiidesuka2?”
Suara halus nan lembut itu membuyarkan lamunanku. Aku berpaling menatap
pemilik suara tersebut lalu tersenyum.
“Un3. Kono koto wa totemo tanoshiidesu4. Minami sensei, ima hima jikan ga
arimasuka5?” tanyaku padanya.
“Hai, ima hima desu6. Doushite desuka7?” jawabnya masih dengan raut muka
yang kebingungan karena belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada diriku.
“Jya, kyou wa kaimono ni ikimasenka8?”
Wajahnya langsung sumringah mendengar ajakanku.
“Jya, ikimashou9!” pekiknya gembira.
Ah, aku lupa belum mengenalkan sosok yang sedari tadi mengajakku
berbicara. Namanya Minami Matsumoto. Beliau adalah nihongo partner yang
ditugaskan The Japan Foundation, Jakarta untuk menjadi asisten pengajar di
Indonesia. Kebetulan selama Sembilan bulan ke depan, beliau ditempatkan di
sekolah tempatku mengajar. Hingga hari ini sudah hampir 4 bulan beliau bertugas
menemaniku mengajar. Untungnya selama ini aku belum menemukan kesulitan
yang berarti sepanjang menemaninya.
Beliau orang yang ramah dan cantik. Mudah beradaptasi dan bergaul dengan
orang-orang di lingkungan sekolahku. Kehadirannya membawa angin segar
terutama bagi siswa-siswi yang kelasnya diajarkan bahasa Jepang olehku. Meski
bahasa Indonesianya belum terlalu fasih, tapi beliau tidak pernah sungkan untuk
bertanya padaku jika ada hal yang tidak dipahaminya. Kadang aku selalu merasa
khawatir jika meninggalkannya seorang diri. Seolah aku ini ibu yang tiba-tiba
memiliki anak gadis dalam kehidupannya yang datar.
“Rizuki sensei, nani mo kaimono shimasuka10?” tanyanya mengagetkanku
yang sedari tadi melamun.
Aku tersenyum menatapnya seraya melirik beberapa kantong belanjaan yang
diletakannya di kursi sebelahku.
“Anata wa watashi o kaimono ni shitanodesu11. Kawari ni watashi wa kaimono
no seishindesu12,” keluhnya.
“Hahaha. Daijyoubudesuyo13. Jya, sugu ni tabemono wo tabemashou14.
Anata wa tsukarete imasune15,” jawabku.
Usai menyelesaikan urusan perut kami, aku memintanya menemaniku
berkeliling pusat pertokoan sekali lagi. Tadi saat menemaninya berbelanja aku
sempat melihat ada toko mainan di ujung bangunan ini.
“Ningyou16? Dareno tameni17?” tanyanya saat aku meminta pelayan toko
untuk menunjukkan beberapa boneka bayi barbie yang ada di toko tersebut.
“Musume no tameni18.”
“Ica chan desuka19?”
“Un. Suujitsumae, kare no tomodachi wa itsumo ningyou o misete imasu 20.
Kare wa okotte itashi, kare ga naita sakuban no piiku wa, onaji ningyou o katte
mitaidesu21. Saiwai kyou watashi wa kyuuryoubidakara, ningyou o kau koto ga
dekimasu22.” jelasku panjang lebar sambil menyerahkan boneka pilihanku pada
pelayan toko.
Aku tersenyum puas menatap barang belanjaanku saat keluar dari toko
mainan. Karena sudah tidak ada lagi tempat yang ingin kami kunjungi, maka kami
mulai melangkah meninggalkan toko mainan untuk pulang.
“Nek, Rida mau mainan itu.”
Terdengar rengekan anak kecil tak jauh dari toko mainan yang tadi aku
masuki. Aku berhenti sejenak lalu menatap nenek tua dengan pakaian lusuhnya dan
anak kecil yang kuduga seusia dengan Ica yang kuyakini cucunya.
“E, naze tomemasuka23?” tanya Minami padaku saat melihat gerak langkahku
yang tiba-tiba berhenti.
Aku hanya meletakkan jari telunjukku di depan bibirku memintanya diam
sejenak sebagai jawaban. Perhatianku kembali teralihkan saat mendengar kembali
rengekan anak kecil di hadapanku pada neneknya.
“Nek, Rida mau boneka itu!” rengek anak kecil bernama Rida tersebut pada
neneknya sambil menunjuk boneka yang terpajang di balik kaca toko mainan.
Boneka yang persis sama dengan yang kubelikan untuk Ica tadi.
“Nanti ya, Cu. Nenek belum punya uang sekarang. Uang yang kita dapat hari
ini sepanjang kita meminta-minta baru cukup untuk makan kita hari ini saja,” jawab
sang nenek.
Aku menghela napas pelan. Terenyuh oleh pembicaraan nenek dan cucunya
tersebut. Belum lagi saat melihat perubahan wajah Rida saat mendengar jawaban
neneknya namun tak sanggup lagi meminta lebih seolah paham dengan apa yang
dijelaskan neneknya. Pembicaraan tersebut mengingatkanku pada kondisi semalam.
Juga jika aku berada di posisi mereka.
Tanpa ragu, aku mulai melangkah menghampiri nenek dan cucunya itu. Lalu
memberikan boneka yang tadi kubeli untuk Ica pada Rida. Sang nenek terkejut lalu
berusaha untuk menolak pemberianku. Butuh waktu sekitar 10 menit yang panjang
untukku meyakinkannya sebelum akhirnya sang nenek pasrah atas pemberianku
dan berulang kali mengucapkan terima kasih yang hanya kubalas dengan senyuman.
“Doushite24?” tanya Minami saat aku kembali menghampirinya.
“E?” balasku pura-pura tak mengerti apa yang ditanyakannya.
Minami memutar bola matanya kesal menanggapi sikapku yang pura-pura
bodoh di hadapannya.
“Jya! Orokana furi o shinaide kudasai25. Naze anata wa are ningyou o karera
ni sasagemashitaka26? Ica chan no tame dewa arimasenka27? Ica chan wa sudeni
ningyou o matte imasenka28?” protesnya.
Aku tertawa melihat reaksi kesalnya. Dia balas menatapku tajam seolah tak
suka melihatku menertawakannya. Aku segera berusaha mengontrol diriku agar bisa
berhenti tertawa.
Sambil merangkul pundaknya aku berkata, “Daijyoubu desu. Ica chan wa
mada matsu koto ga dekimasu29. Ano kodomo wa itsu kare no kibou ga naritastu ka
wakarimasen30.”
“Demo31…”
Aku hanya menepuk-nepuk bahunya sambil menggelengkan kepala dan
memintanya bergegas meninggalkan tempat tersebut.
***
Lesu, kubuka pintu pagar rumahku. Honda Beat merah telah terparkir di
halaman rumah tanda bahwa suamiku sudah pulang. Ragu, aku melangkah pelan
menuju pintu rumah. Terbayang dengan jelas wajah kecewa Ica saat mendapatiku
yang hari ini tak mampu membelikannya boneka.
“Assalamualaikum.”
Terdengar jawaban salam dari mulut Ica yang tersenyum senang
menyambutku. Keherananku masih belum pupus bahkan saat Ica menarik tanganku
mengikutinya.
“Ama, tadi waktu Apa pulang, Apa bawain Ica boneka lho. Boneka yang mirip
dengan punya Mira,” celoteh anak perempuanku sambil menunjukkan boneka yang
telah dibeli suamiku.
Tubuhku seketika lemas. Tanpa sadar butiran air mata mengalir di pipiku.
“Ama kenapa? Kok nangis? Apa! Apa! Ama nangis!” teriak Ica panik
memanggil suamiku.
Kulihat suamiku bergegas menghampiriku seraya menyodorkan air hangat
dan memintaku meminumnya perlahan. Kuturuti perintahnya. Bahkan aku menurut
saja saat dia membimbingku masuk ke kamar dan menarik tas serta jaket dari
tubuhku.
“Ama kenapa?” tanyanya seraya mengusap pelan punggungku sementara
aku bersandar di bahunya.
Di detik berikutnya kuceritakan semua yang terjadi denganku hari ini. Tentang
gaji yang kudapat, tentang rencanaku membelikan Ica boneka, tentang nenek tua
dan Rida juga tentang Minami yang marah padaku. Suamiku hanya diam
mendengarkan. Setelahnya air mataku mulai berhenti mengalir seiring dengan
perasaanku yang mulai membaik saat mendengarkan penjelasan suamiku yang
memberitahukan bahwa hari ini dia mendapatkan rezeki lebih sehingga bisa
membelikan boneka untuk Ica.
“Sudah, jangan menangis lagi. Kasihan Ica khawatir lihat Amanya nangis tiba-
tiba. Padahal harusnya ikut senang karena Ica sudah mendapatkan bonekanya,”
pinta suamiku.
“Makasih ya, Pa.”
Ica mengintip dari balik pintu kamarku seolah ragu memutuskan kakinya
untuk masuk ke kamar. Aku tersenyum melihatnya meski masih ada bekas air mata
di pipiku. Aku memanggilnya sambil melebarkan tanganku. Dia bergegas berlari
menghampiriku.
“Ama kenapa? Kok nangis?” tanyanya sambil mengusap pelan pipiku.
“Nggak. Ama nggak apa-apa, Sayang. Ama bahagia lihat kamu punya
boneka,” ujar suamiku mewakiliku menjawab pertanyaannya.
Aku segera menganggukkan kepala memperkuat jawaban suamiku. Ica lalu
naik ke pangkuan suamiku dan diciumi hingga dia merasa geli.
“Permisi.”
Terdengar suara yang menyapa dari halaman rumah kami. Kami saling
berpandangan. Suamiku mengangkat bahunya.
“Ya?” tanyaku bergegas menuju halaman rumah.
“Dengan Ibu Rizky?” tanya tukang ojek online yang bertamu ke rumahku
sambil membawa bingkisan besar.
“Iya, saya sendiri.”
“Ini ada kiriman, Bu,” ujarnya menyerahkan bingkisan tersebut lalu pergi
meninggalkanku yang masih kebingungan.
Aku masuk ke dalam rumah dengan linglung sambil membawa bingkisan
tersebut.
“Siapa?” tanya suamiku.
“Tukang ojek online bawain ini buat Ama katanya, Pa.”
“Paket? Ama beli buku lagi?”
“Ih, Apa. Ama bulan ini belum beli online apa=apa.”
“Terus ini?”
Aku mengangkat bahuku sabagai jawaban lalu bergegas membuka bingkisan
tersebut. Ica yang berteriak senang saat melihat isi bingkisan tersebut. Tak lama
terdengar bunyi telepon masuk di ponselku.
“Moshi-moshi32. Rizuki sensei, dono pakkeeji ga touchaku shimashitaka 33?
Watashi wa Ica chan ga shiawase ni naru koto o negatte imasu 34. Anata ga kounyuu
shita ningyou moderu wa soko ni nakattanode, dono youna ningyou moderu o
mitsukeru no wa konran shimasu35.”
Suara Minami di ujung ponselku semakin lama tak terdengar jelas. Air mata
kembali membasahi pipiku.
“Minami sensei, arigatou36,” isakku.
***
(Cerita pendek ini dibuat sebagai hadiah persahabatan penulis dengan Minami
Matsumoto, seorang nihongo partner atau NP yang hingga saat ini masih
berkomunikasi dengan penulis.)
Catatan :
1 Ibu Rizky, ada apa?
2 Apa ada hal yang menyenangkan terjadi?
3 Iya
4 Hal ini sangat menyenangkan
5 Ibu Minami, sekarang ada waktu luang kah?
6 Ya, sekarang luang.
7 Kenapa?
8 Baiklah, bagaimana kalau hari ini kita pergi belanja?
9 Ayo, kita pergi!
10 Ibu Rizky, tidak belanja apa-apa kah?
11 Tadi kan kamu yang mengajak saya belanja.
12 Tapi dari tadi saya terus yang belanja
13 Tidak apa-apa
14 Ayo, cepat dihabiskan makanannya
15 Kamu pasti capek kan?!
16 Boneka
17 Untuk siapa
18 Untuk anak perempuan saya
19 Ica?
20 Beberapa hari ini temannya selalu memperlihatkan boneka padanya
21 Semalam dia merengek ingin dibelikan boneka yang sama
22 Karena hari ini saya gajian, jadi saya bisa membelikannya boneka
23 Lho, kenapa berhenti?
24 Kenapa?
25 Hei, jangan pura-pura bodoh!
26 Kenapa boneka itu kamu kasih ke mereka?
27 Bukannya itu untuk Ica?
28 Ica sudah lama menunggu boneka itu kan?!
29 Ica masih bisa menunggu
30 Sementara anak itu tidak tahu bisa menunggu sampai kapan
31 Tapi
32 Halo
33 Ibu Rizky, apa paketnya sudah sampai?
34 Saya harap Ica senang
35 Saya tidak bisa menemukan model boneka yang sama karena saya tidak tahu
model boneka apa yang kamu beli
36 Ibu Minami, terima kasih

Anda mungkin juga menyukai