Anda di halaman 1dari 66

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. Konsep Lansia

1. Pengertian Lansia

Lanjut Usia adalah proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk

mengganti dan memperbaiki kerusakan yang diderita sehingga tidak

mampu mempertahankan fungsinya yang normal dan tidak mampu

memulihkan kerusakan yang di derita serta tidak mampu bertahan

terhadap adanya infeksi, sedangkan menurut Undang-Undang No. 13

tahun 1998 mengenai kesejahteraan lanjut usia, lansia adalah seseorang

yang sudah berusia ≥ 60 tahun (Nugroho, 2014 dan Husain, 2014).

Lansia adalah laki-laki atau perempuan yang sudah berusia 60 tahun ke

atas dimana fungsi fisiknya masih baik (potensia) dan karena suatu hal

sudah tidak mampu lagi berperan dalam pembangunan. Lanjut usia

bukanlah merupakan suatu penyakit, lansia merupakan suatu tahap lanjut

dari kehidupan manusia dan lansia secara perlahan-lahan akan mengalami

penurunan fungsi dan kemampuan untuk dapat beradaptasi dengan

stressor lingkungan. Seseorang dikatakan lansia ketika sudah mencapai

usia ≥ 65 tahun (Heningsih, 2014). Lansia merupakan suatu kondisi

penurunan usia atau penurunan usia progresif dalam fungsi fisiologis

intrinsik, yang menyebabkan peningkatan angka mortalitas (penurunan


tingkat kelangsungan hidup) dan penurunan laju reproduksi spesifik usia

(Flat, 2012).

2. Batasan-Batasan Lansia

Menurut WHO (2015), terdapat empat batasan umur yaitu usia

pertengahan (middle age) mulai usia 45-59 tahun, usia lanjut (elderly)

mulai dari usia 60-74 tahun, dan usia lanjut usia (old) berusia 75-90

tahun, dan usia sangat tua (very old) lebih dari 90 tahun. Lanjut usia akan

rentan sekali mengalami penurunan kemampuan biologis, psikologis dan

social, sehingga akan sering menimbulkan masalah kesehatan (Nugroho,

2014 dan Kustanti, 2012).

3. Teori Tentang Proses Menua

Penyakit penyerta pada proses menua salah satunya adalah gangguan

sirkulasi darah atau kardiovaskuler, bagian utama dari sistem

kardiovaskuler yaitu jantung serta vaskularisasinya. Lansia mengalami

perubahan normal pada organ jantung seperti halnya kekuatan otot

jantung mulai berkurang, pada pembuluh darah terjadi arteriosklerosis,

elastisitas dinding pembuluh darah mulai berkurang, kemampuan jantung

untuk memompa darah harus lebih keras lagi, sehingga mengakibatkan

masalah hipertensi (Azizah, 2011 Maryam, dkk., 2011 dalam Perdana,

2014). Havighurst dan Albrecht (1953; Lange, & Grossman, 2010)

mengemukakan, dari hasil studi yang telah mereka lakukan pada


kelompok usia lansia, menunjukkan bahwa pada usia lansia terjadi proses

penurunan fungsi organ tubuh dan kemampuan interpersonal yang

dimiliki terutama dalam melakukan sosialisasi dan interaksi dengan

komunitas masyarakat.

Menurut Husain (2014). Teori proses menua terbagi atas dua hal,

diantaranya :

1. Teori Genetik

Teori genetik berfokus pada mekanisme menua pada nucleus sel.

Uraian secara teoritis berdasarkan genetik adalah :

1) Teori Hayflick. Menurut studi hayflick dan Moorehead (1961;

Hendricks, & Achenbaum, 1999), penyebab penuaan antara lain

berubahnya fungsi dari sel, ketidak normalan sel mengakibatkan

terjadinya efek kumulatif serta mundurnya sel dalam organ

jaringan.

2) Teori Kesalahan. Teori ini menyebutkan akibat dari kesalahan

mekanisme maupun pembuatan dari protein akan dapat

mengakibatkan menurunnya ketepatan pada saat sintesa protein

dan pasangan kodon mRNA dan atikodon tRNA tidak akan tepat.

3) Teori DNA lewah (kelebihan DNA). Medvedev (1972)

menyatakan ada hubungan dengan teori kesalahan, Medvedev

percaya berubahnya usia biologis adalah hasil dari pada kesalahan

akumulasi fungsi gen.


4) Teori rekaman (transcription) merupakan awal dari penyampaian

informsi dari DNA ke system protein. Teori Hayflick menyatakan

4 kondisi berikut antara lain :

a) Peningkatan usia dapat menyebabkan perubahan yang bersifat

negatif atau bersifat merusak metabolisme posmitotic cells

yang tidak sama.

b) Kejadian primer pada inti kromatin merupakan hasil dari

perubahan.

c) Inti kromatin kompleks mengalami perubahan di dalamnya

dan ini adalah satu mekanisme kontrol sebagai bentuk

tanggung jawab terhadap penampilan serta penuaan primer

yang berurutan.

d) Regulasi transkirpsi merupakan mekanisme kontrol.

2. Teori Non Genetik

Fokus dari nucleus bagian luar seperti halnya organ dan system

jaringan merupakan teori dari non genetik, antara lain :

1) Teori radikal bebas merupakan ion yang mengandung listrik dan

letaknya berada diluar orbin yang di isi oleh ion yang tidak

mempunyai pasangan, melalui reaksi kimia radikal bebas bisa

menimbulkan kerusakan baik pada membran sel, mitokondira,

lisosum serta inti dari membran (Beckman, & Ames, 1998).


2) Teori autoimun adalah adanya antibody yang menyebabkan

penuaan karena antibody mampu merusak sel yang normal

dikarenakan ketidak mampuan tubuh dalam mengenal sel yang

normal serta kesalahan dalam memproduksi antibodi (Rockstein,

2012).

3) Teori hormonal menurut Donner Denckle letak dari pusat penuaan

berada di otak. Hipotiroidisme apabila tidak di obati dengan

tiroksin akan dapat berakibat fatal, karena proses dari penuaan

akan benar-benar sangat tampak seperti halnya kekebalan tubuh

mulai berkurang, sehingga mudah sakit kulit akan menjadi keriput,

beruban dan metabolisme tubuhpun akan mulai melemah (Bolla,

& Denckla, 1979).

4) Teori pembatasan energy. Roy Walford (1969) pembatasan energi

terdiri dari diet rendah kalori dan tinggi nutrisi berguna untuk

mencegah proses penuaan.

4. Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Usia Lanjut

Setiap orang dengan usia lanjut, beresiko mengalami berbagai gangguan

kesehatan. Resiko terjatuh, penyakit hipertensi, diabetes mellitus dan

berbagai penyakit lainnya baik infeksi maupun non-infeksi beresiko

dialami oleh orang dengan usia lanjut. Hal ini terjadi karena fungsi

imunitas tubuh mulai mengalami penurunan kinerja (Freedman, & Martin,

2000). Nugroho, (2014) dan Suleman, (2014) menyatakan banyak sekali


perubahan yang terjadi pada lansia baik perubahan dari segi fisik, mental,

psikososial, maupun spiritual.

1. Perubahan Fisik

1) Sel

Sel jumlahnya akan menjadi lebih sedikit dan ukuran sel menjadi

lebih besar, jumlah cairan tubuh akan berkurang seperti halnya

cairan intraseluler, berkurangnya proporsi protein pada otak, otot,

ginjal, darah, hati, serta jumlah dari sel otak juga mulai berkurang,

proses perbaikan sel akan mengalami gangguan, serta otak

menjadi atrofi, sehingga beratnyapun akan mengalami penurunan

kurang lebih 5-10%.

2) Sistem Persarafan

Berat otak menurun 10-20%, hubungan persyarafan cepat

menurun, terjadi keterlambatan dalam merespon terutama pada

saat terjadi stress, saraf panca indra mulai mengecil, dan kurang

sensitif terhadap adanya stimulus (rangsangan). Sistem

pendengaran mengalami presbiakusis, kemampuan pendengaran

pada telinga dalam hilang, teruma pada bunyi ataupun nada-nada

yang tinggi, bunyi suara tidak terdengar jelas, sangat sulit

mengerti dan memahami kata-kata, otosklerosis akibat terjadinya

atrofi pada membran timpani, serta terjadi pengumpulan serumen

sehingga mengakibatkan pengerasan karena meningkatnya keratin,


pendengaran semakin menurun pada lanjut usia yang mengalami

gangguan jiwa/stress.

3) Sistem Penglihatan

Mengakibatkan sklerosis respon terhadap sinar menghilang,

kornea berbentuk sferis, terjadi katarak dikarenakan lensa keruh,

ambang pengamatan terhadap sinar meningkat, sulit untuk

adaptasi dalam melihat dalam cahaya yang minim, sulit

membedakan warna biru dan hijau dikarenakan daya akomodasi

menghilang.

4) Sistem Kardiovaskuler

Elastisitas aorta menurun, terjadi penebalan dan kekakuan pada

katup jantung tejadi penurunan kemampuan jantung pada saat

memompa darah, elastisitas pembuluh darah berkurang, pembuluh

darah perifer efektivitasnya berkurang untuk proses oksigenasi,

pada perubahan posisi dari tidur ke duduk atau dari duduk ke

berdiri dapat mengakibatkan tekanan darah menurun, pusing

mendadak dan tekanan darah meninggi, akibat resistensi

pembuluh darah perifer meningkat. Jantung mengalami proses

penuaan, massa jantung sekitar 250 gram akan mengalami

hipertrofi, dinding kamar jantung beserta katub jantung

mengalami penebalan, sehingga mengakibatkan kontraktilitas

daya pompa otot jantung menurun, lanjut usia akan rentan sekali

lelah, sesak nafas pada saat melakukan aktivitas berat sebaliknya,


dinding pembuluh darah dapat terjadi penebalan dan kekakuan

mengakibatkan aliran darah tidak lancar, sehingga terjadi

arterosklerosis, menebalnya jaringan ikat serta adanya timbunan

lemak dan tingginya kadar kolesterol serta terjadinya hipertensi

dan diabetes. mengakibatkan terjadinya arterosklerosis

(Respatiningtyas, & Ilmala, 2015).

5) Sistem Pengaturan

Hipotermi terjadi akibat metabolisme tubuh menurun, sehingga

aktivitas otot juga menurun dan terjadi keterbatasan refleks

menggigil serta tubuh tidak bisa memproduksi panas.

6) Sistem Respirasi

Hilangnya kekuatan dari otot-otot pernafasan dan terjadi

kekakuan, aktivitas silia menurun, elastisitas paru-paru mulai

berkurang, sehingga bernafas menjadi lebih berat, menurunnya

kapasitas dan kedalaman pernafasan maksimum, melebarnya dari

ukuran dan jumlah alveoli berkurang, berkurangnya kemampuan

batuk, serta menurunnya kekuatan otot pernafasan.

7) Sistem gastrointestinal

Periodontal disease mengakibatkan kehilangan gigi, buruknya

kesehatan dan gizi gigi, menurunnya indra pengecap, sensitivitas

saraf pengecap di lidah terhadap rasa manis, asin, asam, atau pahit

mulai menghilang, melebarnya esophagus mengakibatkan rasa

lapar menurun, semakin menurunnya asam lambung, sehingga


makanan tidak dapat tercerna dengan baik, terjadi konstipasi

dikarenakan melemahnya peristaltik usus, serta daya absorbs juga

semakin melemah.

8) Sistem Reproduksi

Ovari dan uterus terjadi pengecilan, lendir vagina mulai

berkurang, terjadi atrofi payudara mengakibatkan daya seksualitas

menurun, sedangkan pada laki-laki, testis mampu memproduksi

spermatozoa akan tetapi sudah mulai menurun, daya seksualitas

pada laki-laki masih bisa lebih baik dari pada perempuan asalkan

kondisi kesehatan fisiknya tetap di pertahankan.

9) Sistem Perkemihan

Menurunnya aliran darah ke ginjal sampai dengan 50%

mengakibatkan atrofi nefron dan otot-otot vesika urinaria menjadi

lemah, meningkatnya frekuensi buang air kecil sebagian besar

mengakibatkan terjadinya retensi urin pada pria.

10) Sistem Endokrin

Semua produksi hormone mengalami penurunan, baik aktivitas

tiroid, BMR, daya pertukaran zat, produksi aldosteron,

progesterone, estrogen maupun testosteron.

11) Sistem Integumen

Akibat menghilangnya jaringan lemak dan terjadinya proses

keratinisasi mengakibatkan kulit keriput, permukaan kulit menjadi

kasar dan bersisik, terjadi perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel


epidermis, rambut menipis berwarna kelabu, rambut dalam hidung

dan telinga menebal, elastisitas yang berkurang mengakibatkan

menurunnya cairan dan vaskularisasi, kuku pertumbuhannya

semakin melambat, mengeras, mudah patah, memudar, tidak

bercahaya, serta berkurangnya kelenjar keringat berikut fungsinya.

12) Sistem Muskuloskeletal

Hilangnya cairan pada tulang, terjadi kifosis dan menjadi rapuh,

terbatasnya pergerakan pinggang dan lutut, fungsi dari jari-jari

juga mulai menurun, terjadi kekakuan dan pembesaran pada sendi,

terjadi sclerosis, mengakibatkan tendon mengerut dan atrofi pada

serabut otot.

2. Perubahan Mental

Suleman, (2014). Menyatakan lansia dapat mengalami gangguan

keseimbangan (homeostasis), sehingga akan mengakibatkan

kerusakan/kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif terutama aspek

psikologis secara langsung, misalnya bingung, panik, depresif, dan

apatis.

Raz et al (2005) mengemukakan bahwa perubahan mental pada lanjut

usia dapat terjadi pada semua lanjut usia. Salah satu yang mengalami

perubahan adalah volume otak regional. Caudatus, serebelum,

hippocampus dan korteks asosiasi menyusut secara substansial. Ada


perubahan minimal di entorhinal dan tidak ada di korteks visual

primer. Semua daerah kecuali lobulus parietalis inferior menunjukkan

perbedaan individu dalam perubahan. Penyusutan otak kecil menurun

dari usia muda ke dewasa tengah, dan meningkat dari dewasa tengah

ke usia tua. Penyusutan hippocampus, korteks entorhinal, korteks

temporal inferior dan materi putih prefrontal meningkat seiring

bertambahnya usia. Selain itu, penyusutan di hippocampus dan

serebelum dipercepat seiring bertambahnya usia, di hippocampus, tren

linear dan kuadratik dalam penyusutan terkait usia terbatas terbatas

pada penderita hipertensi.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mental meliputi

menurunnya kondisi fisik, menurunnya fungsi dan kemampuan

seksual, menurunnya fungsi psikososial, perubahan yang terjadi pada

kemampuan bekerja, serta menurunnya peran sosial di dalam

masyarakat.

1) Menurunnya kondisi fisik sudah di jelaskan diatas.

2) Menurunnya fungsi dan kemampuan seksual pada lansia

berhubungan dengan berbagai gangguan fisik yang terjadi

diantaranya adanya gangguan pada jantung, gangguan

metabolisme, gangguan vaginitis, gangguan setelah menjalani

operasi, kekurangan gizi, pemakaian obat-obatan, gangguan

psikologis seperti rasa malu pada kehidupan seksualnya


dikarenakan fungsi seksualnya semakin menurun, dukungan yang

kurang baik dari keluarga maupun masyarakat serta adanya tradisi

dan budaya yang menuntut lansia untuk tetap aktif, kurangnya

variasi dalam kehidupan lansia mengakibatkan lansia menjadi

lelah dan bosan, serta meninggalnya pasangan hidupnya

mengakibatkan lansia tidak mempunyai teman hidup.

3) Penurunan aspek psikososial pada lansia akan di uraikan pada

perubahan psikososial.

4) Perubahan yang berdampak dari pekerjaan, pada saat pensiun

lansia mengalami perubahan yang paling mandasar terkait

pekerjaannya, karena lansia merasa hidupnya sudah tidak lagi bisa

produktif, merasa kehilangan penghasilan, jabatan, kedudukan,

peran maupun status dan harga dirinya, meskipun tujuan dari

pensiun adalah menikmati masa tua akan tetapi yang terjadi malah

sebaliknya.

5) Perubahan dalam peran sosial di masyarakat, lansia seharusnya

juga di ikut sertakan dalam segala macam aktivitas dan memiliki

peran di masyarakat selama lansia mampu untuk melakukannya,

sehingga lansia tidak merasa terasing atau diasingkan, karena jika

lansia merasa dirinya di asingkan maka bisa mengakibatkan

perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, apabila

bertemu dengan orang asing, bahkan bisa menolak untuk

berkomunikasi dengan orang lain atau orang di sekitarnya.


3. Perubahan Psikososial

Kartinah & Sudaryanto (2017), menyatakan pada umumnya setelah

memasuki masa lansia seseorang akan cenderung mengalami

perubahan fungsi kognitif maupun psikomotornya, penurunan aspek

kognitif menyebabkan kemunduran aksi maupun perilaku dari lansia

yang meliputi kegiatan belajar, pemahaman, perhatian dan pengertian.

Fungsi psikomotorik berupa menurunnya gerakan maupun tindakan

serta koordinasi lansia menjadi tidak cekatan sehingga kepribadian

lansia pun menjadi berubah.

Pada usia lanjut, penurunan partisipasi aktivitas fisik, sosial dan

kegiatan agama, berisiko memicu terjadinya peningkatan depresi pada

usia lanjut. Hasil penelitian yang dilakukan Roh et al (2015)

menunjukkan bahwa lanjut usia yang kurang dalam melakukan

aktivitas fisik, kurang melakukan sosialisasi dengan lingkungan dan

jarang mengikuti kegiatan keagamaan memiliki resiko lebih tinggi

untuk mengalami depresi. Untuk dapat menghindari terjadinya resiko

depresi, lansia dapat ikut ambil bagian atau melakukan dua kegiatan

dari aktivitas fisik, sosial dan kegiatan agama

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penuaan

Menurut Miller (1995) faktor yang mempengaruhi penuaan antara lain

adalah :
a. Psikologis

Komponen penting yang mempengaruhi psikologis lansia diantaranya

adalah penyesuaian diri terhadap pembelajaran, daya ingat,

kecerdasan, maupun motivasi. Aspek psikologis yang lain adalah

kemampuan lansia untuk mengenali depresi, stress, gangguan kognitif

dan koping individu

b. Biologis

Semakin bertambahnya usia maka semakin bertambah pula masalah

yang terjadi pada lansia terutama pada aspek biologis, pada biologis

lansia cenderung akan mengalami penurunan fungsi, bahkan bisa

terjadi kerusakan pada fungsi biologis dikarenkan tubuh sudah aus,

dan hal itu biasa terjadi pada usia lanjut.

c. Sosial

Lingkungan sosial merupakan salah satu faktor yang sangat penting

kaitannya dengan proses penuaan, lingkungan sosial yang nyaman dan

aman dapat meningkatkan derajat hidup dan kesehatan lansia itu

sendiri.

B. Konsep Hipertensi

1) Pengertian Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah diatas kondisi

normal yang terjadi pada dinding pembuluh darah (You et al, 2018).

Hipertensi atau penyakit darah tinggi merupakan keadaan dimana tekanan


darah seseorang berada diatas ambang batas normal atau optimal, yaitu

120 mmHg untuk sistolik dan 80 mmHg untuk diastolik. Penyakit ini di

anggap sebagai salah satu penyakit yang dapat menyebabkan kematian

secara mendadak atau the silent disease karena seseorang yang

mengalaminya tidak dapat mengetahui dirinya menderita hipertensi

sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Hipertensi dapat memicu

terjadinya sroke, serangan jantung, gagal jantung dan merupakan

penyebab utama gagal ginjal kronik apabila terjadi pada kurun waktu

yang lama dan terus-menerus (Purnomo, 2009 & Hairitama, 2014).

Hipertensi merupakan keadaan seseorang yang mengalami peningkatan

tekanan darah di atas ambang batas normal yang berdampak pada suplai

oksigen dan nutrisi keseluruh tubuh yang dibawa oleh darah terhambat

sampai ke jaringan. Berdasarkan JNC VII individu dikatakan menderita

hipertensi apabila terjadi tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan

diastolik > 90 mmHg. Seseorang dengan tekanan darah sistolik lebih dari

> 140 mmHg dengan usia 50 tahun akan lebih berisiko menderita

penyakit kardiovaskular dari pada hipertensi. Tekanan darah sebesar

115/75 mmHg, dengan tambahan 2x pada setiap penambahan seperti

halnya 20/10 akan menyebabkan seseorang mempunyai risiko penyakit

kardiovaskular, seseorang yang berusia 55 tahun dengan tekanan darah

normal bisa saja 90% akan berisiko mengalami hipertensi (Rachman,

Julianti, & Pramono, 2011).


Menurut (Wahdah, 2011 dan Kustanti, 2012) Tekanan darah pada lansia

dengan tekanan darah sistolnya lebih dari 140 mmHg dan diastolnya

berada di atas 90 mmHg maka sudah dapat dimasukan kedalam golongan

hipertensi, lansia menderita hipertensi disebabkan karena adanya

gangguan psikologi, kecemasan, perasaan marah yang terpendam, depresi,

sehingga mengakibatkan tekanan darahnya terus meningkat, apabila

hipertensi di biarkan dalam jangka waktu yang lama makan akan dapat

mengakibatkan terjadinya kerusakan serius baik pada pembuluh darah,

jantung serta akan terjadi gagal ginjal.

Smeltzer dan Bare (2002) menggolongkan hipertensi menjadi 3 bagian,

diantaranya :

1) Ringan, apabila tekanan diastolik antara 95 dan 104 mmHg

2) Moderat, antara 105-114 mmHg

3) Berat, bila tekanan lebih tinggi dari 115 mmHg

Hipertensi perbatasan berada antara 140/90 sampai 160/95 mmHg.

Diagnosa penyakit hipertensi terkadang sangat sulit untuk bisa di tegakan

dikarenakan hasil pemeriksaan sering tidak akurat apabila hanya

dilakukan satu kali pemeriksaan saja, perlu fokus dan berhati-hati untuk

dapat menyimpulkan seseorang menderita hipertensi sehingga, perlu

pengikat lengan yang sesuai dengan lengan pasien serta pengisian

udaranya juga harus benar (Smeltzer dan Bare, 2002).


2) Penyebab Hipertensi

Penurunan fungsi organ pada sistem kardiovaskulaer mengakibatkan

terjadinya peningakatan tekanan darah pada lansia. terjadi penebalan dan

kekakuan pada katup jantung, serta terjadi penurunan elastisitas dari aorta

dan arteri-arteri besar lainnya. Selain hal itu, terjadi peningkatan resistensi

pembuluh darah perifer ketika ventrikel kiri memompa, sehingga tekanan

sistolik dan afterlood meningkat (Perdana, R. M. 2014). Faktor yang

mempengaruhi terjadinya Hipertensi Menurut (Price & Wilson, 2006 dan

Pramana, Okatiranti, & Ningrum, 2016).

a. Umur

Bertambahnya usia menyebabkan tekanan darah juga akan meningkat.

Setelah usia 45 tahun, dinding arteri biasanya akan mengalami

penebalan, kekakuan dan penyempitan oleh karena pada lapisan otot

terjadi penumpukan zat kolagen, Bertambahnya usia akan

menyebabkan perubahan fisiologis, pada lansia resistensi perifer dan

aktivitas simpatik mulai meningkat. Refleks baroreseptor pada lansia

sudah mulai berkurang sensitivitasnya, pada ginjal perannya juga

sudah mulai berkurang dimana aliran darah ginjal dan laju filtrasi

glomerulus menurun.

b. Jenis Kelamin

Perbandingan tingkat kejadian hipertensi pada pria dan wanita

sebenarnya sam, hanya saja wanita terlindung dari penyakit

kardiovaskuler sebelum masa menopause. Hormon esterogen akan


melindungi wanita sebelum terjadi menopause, hormon esterogen

berperan untuk meningkatkan kadar HDL (High Density Lipoprotein)

sedangkan kadar kolesterol HDL yang tinggi berfngsi mencegah

terjadinya aterosklerosis.

c. Riwayat Hipertensi

Seseorang dengan riwayat hipertensi di dalam keluarganya,

kemungkinan akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk

menderita hipertensi dibandingkan dengan keluarga yang tanpa

riwayat hipertensi.

3) Klasifikasi Hipertensi

Menurut Kartikasari, Chasani, & Ismail (2012), Hipertensi terdiri dari dua

golongan jika ditinjau dari faktor penyebabnya yaitu hipertensi primer dan

hipertensi sekunder. Hipertensi primer disebabkan adanya

ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik sehingga peristen

tekanan arteri menjadi meningkat, hal ini disebut dengan hipertensi

idiopatik dan sudah kurang lebih sekitar 95% kasus terjadi. Faktor yang

mencetuskan hal tersebut diantaranya adalah faktor genetik, hiperaktivitas

susunan saraf simpatis, sistem rennin angiotensin, defekasi dalam proses

ekskresi Na, tingginya Na maupun Ca intrasel serta adanya faktor

tambahan seperti merokok, obesitas dan lingkungan.

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang dimana faktor penyebabnya

tidak diketahui asalnya dari mana, dari beberapa kasus yang terjadi ada
sekitar 10%. Gangguan sekresi hormon dan fungsi ginjal berhubungan

dengan hipertensi sekunder sedangkan penyebab khusus hipertensi

sekunder dikarenakan adanya pemakaian atau penggunaan hormon

estrogen, masalah ginjal, hipertensi vaskular renal, hiper aldosteron

primer, adanya sindroma cushing, serta hipertensi pada kehamilan.

Hipertensi sekunder bisa saja disembuhkan apabila faktor pencetus dan

penyebabkan diketahui dan segera diatasi dengan cepat dan tepat.

Hipertensi dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan bentuknya, yaitu

hipertensi sistolik, hipertensi diastolik, serta hipertensi campuran.

Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) adalah peningkatan

tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik pada usia

lanjut hal ini sering terjadi. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya

tekanan pada arteri apabila jantung berkontraksi (denyut jantung).

Tekanan sistolik merupakan tekanan maksimum dalam arteri dan

tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang

nilainya lebih besar.

Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) adalah peningkatan tekanan

diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, sering terjadi pada

anak-anak dan dewasa muda. Menyempitnya pembuluh darah kecil secara

tidak normal merupakan faktor pencetus proses terjadinya hipertensi

diastolic sehingga tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya besar


dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik

berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam keadaan

relaksasi di antara dua denyutan. Hipertensi campuran merupakan

peningkatan pada tekanan sistolik dan diastolik.

Klasifikasi hipertensi menurut (Smeltzer dan Bare, 2002). Berdasarkan

gejalanya dibagi menjadi dua yaitu hipertensi benigna dan hipertensi

maligna. Hipertensi benigna adalah keadaan hipertensi yang tidak

mengakibatkan gejala yang serius, biasanya sering ditemukan pada saat

periksa pertama kali. Hipertensi maligna adalah keadaan hipertensi yang

serius dan di barengi dengan kegawat daruratan, karena adanya

komplikasi pada organ otak, jantung maupun ginjal.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah menurut WHO (2013)

Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah


Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Sistolik (mmHg)

Normal < 120 dan < 80


Pre Hipertensi 120-130 atau 80-90
Hipertensi Stage 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi Stage 2 ≥ 160 atau ≥ 100
Hipertensi Krisis > 180 > 110
Sumber : (American Heart Association (AHA), 2014).

4) Tanda dan Gejala Hipertensi

Beberapa faktor penyebab hipertensi diantaranya adalah :

obesitas/kegemukan, kurang melakukan aktivitas fisik, merokok,


mengkonsumsi makanan tinggi garam, mengkonsumsi alkohol, stress,

usia, jenis kelamin dan faktor genetik (Başçiftçi, & Eldem, 2013).

Menurut Pudiastuti (2011), gejala dari penyakit hipertensi

salah satunya adalah terjadinya kerusakan pada retina, kerusakan pada

retina mengakibatkan penglihatan menjadi kabur, ternyadi nyeri pada

daerah kepala, terjadi peningakatan tekanan intra kranial sehingga

mengakibatkan mual muntah, bengkak akibat meningkatnya kapiler

darah. Hipertensi tergolong sebagai penyakit yang dapat menyebabkan

terjadinya kematian (silent killer) untuk gejala yang ditimbulkan

bervariasi, bisa berupa sakit kepala, kepala terasa berat, jantung terasa

berdebar-debar, gampang terjadi kelelahan, telinga seperti berdengung,

dan bisa juga terjadi mimisan (Depkes RI, 2014).

Hipertensi terkadang tidak menunjukan tanda-tanda yang serius pada

awalnya. Sebagian orang menganggap sakit kepala pada pagi hari serta

dada berdebar dan telinga seperti berdengung adalah tanda dari terjadinya

hipertensi, akan tetapi beberapa tanda tersebut dapat saja terjadi pada

keadaan tekanan darah normal, bahkan terkadang tekanan darah yang

tinggi sekalipun tidak menampakan gejala-gejala di atas. Pemeriksaan

tekanan darah adalah salah satu cara yang tepat untuk mengetahui apakah

seseorang menderita hipertensi atau tidak, sehingga dapat digolongkan

hipertensi taraf lanjut atau bukan, biasanya hipertensi sudah terjadi dalam
waktu yang sangat lama hanya saja si penderita tidak mengetahuinya

(Yusuf, 2014).

5) Pencegahan Hipertensi

Pengendalian hipertensi dapat dilakukan dengan berbagai cara salah

satunya dengan rajin berolahraga cukup istirahat, sedangkan pengendalian

secara medis yaitu dengan cara pemberian obat-obatan, pengendalian

hipertensi dengan cara tradisional bisa dilakukan dengan penggunaan

terapi komplementer, pengaturan pola makan maupun pembatasan

konsumsi garam hanya satu sendok teh per hari, serta pengendalian

obesitas, membatasi konsumsi lemak, rajin berolah raga mengkonsumsi

banyak sayur dan buah, tidak merokok, tidak mengkonsumsi alkohol,

serta rajin melakukan relaksasi atau meditasi dan positif dalam

menghadapi persoalan hidup (Gunawan, 2007).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dalyoko (2010). Pengendalian bagi

lansia yang mengalami hipertensi dengan cara yang murah dan mudah

adalah dengan berolahraga dengan teratur, cukup istirahat, membatasi

kerja bertujuan untuk mencegah kelelahan otot sehingga tubuh dan fikiran

dapat kembali pada keadaaan yang optimal. Pengendalian hipertensi

dengan metode tradisional bisa dilakukan dengan mengkonsumsi bahan

yang mampu menurunkan tekanan darah seperti mengonsumsi cincau

hijau, alpukat, buah blimbing dan timun. Pengaturan pola makan,

menghindari asupan garam yang berlebihan cukup satu sendok teh per
hari, tidak megkonsumsi telur asin ataupun ikan yang di asinkan, serta

tidak mengkonsumsi jeroan.

Hipertensi beresiko dialami oleh seseorang yang tidak menerapkan pola

hidup sehat. Beberapa upaya preventif yang dapat dilakukan untuk

mencegaha terjadinya hipertensi diantaranya adalah dengan cara : 1)

berhenti merokok, 2) mengkonsumsi air sesuai dengan kebutuhan tubuh,

3) melakukan aktivitas fisik secara rutin, 4) menghindari terjadinya stress,

dan 5) menjaga pola istirahat / tidur (You et al, 2018)

6) Manajemen Hipertensi

1. Manajemen Non Farmakologis

a. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik yang teratur dapat membuat pelebaran pembuluh

darah sehingga tekanan darah yang tinggi akan menurun

(Purwaka, 2011). Studi epidemiologi membuktikan bahwa

olahraga secara teratur memiliki efek antihipertensi dengan

menurunkan tekanan darah sekitar 6-15 mmHg pada penderita

hipertensi (Kartikasari, 2012).

Aktivitas fisik dapat menjaga dan memperbaiki fungsi pembuluh

darah. Darah yang mengalir membentuk gelombang transversal,

sehingga bersingungan dengan dinding pembuluh darah. Terdapat


banyak reseptor di dalam pembuluh darah, salah satu reseptor, jika

dirangsang akan membuat endotel mengeluarkan nitric oxide yang

berperan melebarkan pembuluh darah, sehingga pembuluh darah

melebar dan tidak kaku (Kusmana, 2015).

Aktivitas fisik atau olahraga yang teratur dapat meningkatkan

sistem tubuh selama tingginya berolahraga, tekanan darah pasti

naik selama olahraga. Pada umumnya, tekanan darah sistolik naik

8-12 mmHg untuk setiap ekuvalen metabolik (MET lebih tinggi)

diatas saat istirahat. Satu MET adalah jumlah oksigen yang

dipergunakan atau dikonsumsi saat beristirahat. Aliran darah lebih

banyak dibutuhkan selama berolahraga, tubuh akan secara

otomatis menurunkan tingkat ketahanan terhadap aliran darah di

dalam pembuluh darah selama melakukan olahraga untuk

memenuhi kebutuhan ini (Divine, 2009 dalam Ismanto, 2013).

Darah secara efisien terkirim ke otot-otot pada saat melakukan

olahraga, tahanan dalam pembuluh akan diturunkan. Intensitas

olahraga yang meningkat, membuat pembuluh nadi melebar dan

memungkinkan lebih banyak aliran yang tidak terhalang ke otot-

otot aktif. Proses ini dicapai dengan kontraksi tidak sadar otot

polos dalam pembuluh darah. Peningkatan kontraksi otot polos

mengakibatkan penurunan aliran darah melalui kontraksi. Jumlah


total ketahanan atau resistensi perifer total (total peripheral

resistence/TPR) kealiran darah biasanya turun selama melakukan

olahraga (Divine, 2009 dalam Ismanto, 2013).

Aktivitas fisik yang cukup dan teratur juga akan membuat jantung

lebih kuat. Jantung yang kuat dapat memompa darah lebih banyak

dengan usaha minimal, sehingga gaya yang bekerja pada dinding

arteri akan berkurang. Hal tersebut berperan pada penurunan Total

Peripher Resistance yang bermanfaat dalam menurunkan tekanan

darah (Kartikasari, 2012).

Aktivitas fisik untuk menurunkan tekanan darah sebaiknya

dilakukan secara teratur dan bersifat aerobik. Olahraga aerobik

dapat dilakukan ditengah-tengah rutinitas kita setiap harinya,

seperti bersepeda, berenang, berlari, dan berjalan cepat. Aktivitas

fisik atau olahraga setidaknya dilakukan 30 menit setiap harinya

(Palmer & Williams, 2007). Contoh aktivitas fisik yang dapat

menjaga kestabilan tekanan darah adalah membersihkan rumah

selama 10 menit dilakukan dua kali dalam sehari, berjalan kaki

selama 10 menit, 10 menit bersepeda, dan lain-lain (Triyanto,

2014).
Melakukan olahraga seperti senam aerobik dan jalan cepat selama

30-45 menit sebanyak 3-4 kali seminggu akan membuat sistem

kardiovaskuler berfungsi maksimal dan tetap terpelihara (Triyanto,

2014). Olahraga secara teratur juga dapat memberi banyak

manfaat, seperti menurunkan jumlah dan dosis obat anti

hipertensi, menjaga kenaikan tekanan darah seiring pertambahan

usia, dan juga mempertahankan berat badan ideal, yang

merupakan salah satu cara penting untuk mengontrol tekanan

darah (Kartikasari, 2012). Manfaat lainnya adalah mengurangi

asupan garam ke dalam tubuh (tubuh yang berkeringat akan

mengeluarkan garam lewat kulit) (Triyanto, 2014). Olahraga

isometrik adalah olahraga yang harus dihindari oleh penderita

hipertensi karena justru dapat menaikkan tekanan darah,

contohnya adalah angkat beban (Kartikasari, 2012).

b. Diet DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension)

Dietary approaches to stop hypertension (DASH) merupakan pola

diet yang dianjurkan dalam Seventh Report of The Joint National

Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment

of High Blood Pressure (JNC 7) bagi semua pasien hipertensi.

Pola diet mengikuti pola DASH ini meliputi tinggi buah-buahan

dan sayuran segar, produk susu rendah lemak, rendah asupan

lemak dan rendah lemak jenuh, kolesterol, serealia utuh (whole


grain), ikan, unggas, dan kacang-kacangan; mengurangi daging

merah, gula, serta minuman manis. Pola diet sesuai DASH ini

kaya akan potasium, magnesium, kalsium, serat, dan sedikit tinggi

protein (Kumala, 2014).

Rencana makan pada diet DASH tidak memerlukan jenis makanan

khusus. Jumlah porsi makanan tergantung pada jumlah kalori yang

diperbolehkan atau dibutuhkan setiap harinya bergantung pada

usia, dan jenis kelamin, dan juga disesuaikan dengan kegiatan

maupun aktivitas fisik dari penderita hipertensi itu sendiri.

Semakin banyak kalori yang masuk, seharusnya diimbangi pula

dengan semakin banyaknya aktivitas fisik yang dilakukan untuk

membakar kalori yang masuk, dengan begitu penderita hipertensi

juga dapat menjaga berat badan idealnya. Menjaga asupan kalori

juga harus diperhatikan saat akan mengkonsumsi makanan olahan,

pastikan untuk melihat tabel makanan, apa saja kandungannya,

jumlah kalori total, lemak, gula, dan natrium atau sodiumnya

(National Heart, Lung, and Blood Institute (NIH), 2015).

c. Mengurangi Stress

Manajemen stres adalah pengelolaan stres sebagai sebuah sistem

yang bertujuan untuk mengurangi stres dan memfasilitasi

seseorang untuk mengatasi suatu tekanan. Terdapat tiga metode

pengelolaan stres pada penelitian tersebut, yaitu melakukan


tindakan untuk mengolah stres, mengatur emosi dan penerimaan

terhadap stresor (Pathfinder, 2008 dalam Herdianti 2013)

Varvogli & Darviri (2011) melakukan penelitian tentang

keefektifan metode manajemen stres. Penelitian tersebut

menunjukkan metode efektif yang dapat digunakan untuk

memanajemen stres. Metode tersebut adalah relaksasi, pemanduan

konsep diri, pernafasan diafragma, meditasi, pengolahan perilaku

kognitif dan berfikir positif atau konsentrasi. Metode-metode

tersebut mempunyai tujuan untuk mengurangi stres dan

kecemasan, membuat badan relaks dan mengontrol pernapasan,

tekanan darah, denyut mekanisme respon stres dan meningkatkan

kesehatan serta kekuatan.jantung, dan suhu tubuh, serta untuk

menyeimbangkan.

Cara lain untuk menghilangkan stres yaitu perubahan pola hidup

dengan membuat perubahan dalam kehidupan rutin sehari-hari

dapat meringankan beban stres. Perubahan-perubahan itu ialah

merencanakan semua kegiatan dengan baik, sederhanakan jadwal

menjadi lebih santai, berolahraga, tidur yang cukup, sediakan

waktu untuk keluar dari kegiatan rutin dan berserah diri pada

Yang Maha Kuasa (Sugiharto, 2007).


d. Pendidikan Kesehatan

Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah diatas

kondisi normal yang terjadi pada dinding pembuluh darah (You et

al, 2018).

Edukasi memegang peranan penting dalam penatalaksanaan

hipertensi karena pemberian edukasi kepada penderita dapat

merubah perilaku dalam melakukan pengelolaan hipertensi secara

mandiri. Pemberian edukasi harus dilakukan dengan melihat latar

belakang pasien, ras/etnis, budaya, psikologis dan kemampuan

pasien dalam menerima edukasi. Edukasi mengenai pengelolaan

hipertensi secara mandiri harus dilakukan secara bertahap yang

meliputi konsep dasar hipertensi, pncegahan hipertensi,

pengobatan hipertensi, dan self care, (IDF, 2005 cit Funnell et al.,

2008)

2. Manajemen Non Farmakologis

a. Antagonis Angiotensin (ACE Inhibitor)

Obat golongan ini berguna untuk menghambat enzim pengubah

angiotensin (ACE), yang kemudian akan menghambat

pembentukan angiotensin II (vasokonstriktor) dan menghambat

pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi

natrium, jika aldosteron dihambat maka natrium diekskresikan

bersama-sama dengan air. Contohnya adalah kaptopril, enalapril,


dan lisinopril yang dipakai pada klien dengan kadar renin serum

tinggi (Muttaqin, 2009). Penghambatan pembentukan angiotensin

II yang merupakan vasokonstriktor akan menyebabkan penurunan

tekanan darah dengan cara melebarkan pembuluh darah (Triyanto,

2014).

b. Penghambat Neuron Adrenergik

Penghambat neuron adrenergik bekerja dengan cara menghambat

norepinefrin dari ujung saraf simpatis, jika pengeluaran

norepinefrin berkurang akan menyebabkan curah jantung dan

tahanan vaskular perifer menurun. Contoh obat ini adalah reserpin

dan guanetidin yang digunakan untuk mengendalikan hipertensi

berat. Namun obat ini memiliki efek samping hipotensi ortostatik,

maka pasien harus dinasehati untuk bangkit dari posisi duduk

maupun berbaring secara perlaha dan juga retensi natrium dan air

(Muttaqin, 2009).

c. Penghambat Adrenergik Alfa

Salah satu neurotransmiter sistem saraf simpatis adalah

noradrenalin. Noradrenalin berikatan dengan reseptor spesifik

yang ditemukan di otot jantung dan otot yang melapisi pembuluh

darah. Cara bekerja obat ini adalah menghalangi ikatan

noradrenalin dengan alfa-adrenoreseptor yang ada pada otot


pembuluh darah (Palmer & Williams, 2007). Golongan obat ini

berfungsi untuk memblok reseptor adrenergik alfa 1, yang akan

membuat pembuluh darah vasodilatasi sehingga akan terjadi

penurunan tekanan darah (Muttaqin, 2009).

Selain penghambat adrenergik alfa, ada juga penghambat

adrenergik beta yang paling sering digunakan. Beta-blocker efektif

diberikan kepada penderita usia muda, penderita yang pernah

mengalami serangan jantung, penderita dengan denyut nadi cepat,

angina pektoris (nyeri dada), dan sakit kepala migraine (Triyanto,

2014).

d. Diuretik

Diuretik berfungsi untuk menurunkan tekanan darah dengan

merangsang nefron ginjal agar mengeluarkan kelebihan garam

dalam darah melalui urin. Proses ini akan mengurangi volume

cairan dalam sirkulasi dan kemudian menurunkan tekanan darah

(Palmer & Williams, 2007). Diuretik juga memiliki fungsi untuk

melebarkan pembuluh darah (Triyanto, 2014).

Beberapa penderita hipertensi, diuretik saja sudah cukup untuk

menurunkan tekanan darah, namun ada yang membutuhkan lebih

dari diuretik untuk menurunkan tekanan darah kembali ke normal.


Diuretik memiliki efek samping berupa menurunkan potasium

yang ada dalam tubuh, meningkatkan level gula darah, dan bahkan

pada beberapa kasus dapat menyebabkan gout dan impotensi

(American Heart Association, 2014).

C. Konsep Edukasi

1. Pengertian Edukasi

Edukasi adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang

melalui teknik praktik belajar atau instruksi, dengan tujuan untuk

mengingat fakta atau kondisi nyata, dengan cara memberi dorongan

terhadap dorongan diri (self direction), aktif memberikan informasi-

informasi atau ide baru (Craven dan Himle, 1996 dalam Sulih 2002).

Edukasi merupakan serangkaian upaya yang ditujukan untuk

mempengaruhi orang lain, mulai dari individu, kelompok, keluarga dan

masyarakat agar terlaksananya perilaku hidup sehat (Setiawati, 2008).

2. Tujuan Edukasi

Edukasi kesehatan bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran

masyarakat untuk memelihara serta meningkatkan kesehatannya sendiri.

Oleh karean itu, tentu diperlukan upaya penyediaan dan penyampaian

informasi untuk mengubah, menumbuhkan, atau mengembangkan

perilaku positif (Maulana, 2009).

Menurut Notoatmodjo (1997) edukasi memiliki tujuan:

a. Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai di masyarakat


b. Menolong individu agar mampu secara mandiri atau berkelompok

mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat.

c. Mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana

pelayanan kesehatan yang ada.

3. Sasaran Edukasi

Sasaran edukasi kesehatan adalah mencakup individu, keluarga,

kelompok, dan masyarakat baik di rumah, di puskesmas, dan di

masyarakat secara terorganisir dalam rangka menanamkan perilaku sehat,

sehingga terjadi perubahan perilaku seperti yang diharapkan dalam

mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Effendi, 1998). Edukasi

mengupayakan agar perilaku individu, kelompok, atau masyarakat

mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan

kesehatan. Agar intervensi atau upaya tersebut efektif, maka sebelum

dilakukan intervensi perlu dilakukan analisis terhadap masalah perilaku

tersebut (Notoatmodjo, 2007).

D. Konsep Focus Group Discussion (FGD)

1. Pengertian Focus Group Discussion (FGD)

Focus Group Discussion (FGD) adalah sebuah teknik pengumpulan data

yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan

menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok.

Teknik Focus Group Discussion (FGD) dimaksudkan untuk menghindari

pemaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap focus masalah yang
sedang diteliti. Focus Group Discussion (FGD) dibangun berdasarkan

keterbatasan individu yang selalu tersembunyi pada ketidaktahuan

kelemahan pribadi tersebut, setiap anggota kelompok saling memberi

pengarahan atau pengetahuan satu dengan yang lainnya, sehingga ia

berupaya agar menjadi yang terbaik.

Pandangan yang menyatakan kelompok memiliki pemikiran yang lebih

sempurna dari individu, memiliki pemikiran yang relatif tak terbantahkan,

karena pada umumnya kelebihan berfikir individu selalu dibatasi oleh

bingkai berpikir pribadi.Biasanya batasan pemikiran ini membuat orang

seseorang berfikir egois, berfikir sempit, bahkan menghalangi

progresivitas individu. Maka dari itu penggunaan Focus Group

Discussion (FGD) dimulai dari pertimbangan apakah teknik ini memang

tepat digunakan dalam suatu kasus penelitian. Sebagaimana diketahui,

Focus Group Discussion (FGD) digunakan hanya untuk mengungkapkan

fenomena yang meminta tanggapan (pemecahan) kelompok.

Dengan demikian maka kebenaran informasi bukan lagi kebenaran

perorangan namun menjadi kebenaran intersubyektif. Karena selama

diskusi berlangsung masing-masing orang tidak sengaja memperhatikan

pendapatnya sendiri namun ia juga mempertimbangkan apa yang

dikatakan oleh peserta Focus Group Discussion (FGD) lainnya.

2. Karakteristik Focus Group Discussion (FGD)


1) FGD diikuti oleh para peserta yang idealnya terdiri dari 7-11 orang.

Kelompok tersebut harus cukup kecil agar memungkinkan setiap

individu mendapat kesempatan mengeluarkan pendapatnya, sekaligus

agar cukup memperoleh pandangan dari anggota kelompok yang

bervariasi. Dalam jumlah relatif terbatas ini diharapkan juga

penggalian masalah melalui diskusi atau pembahasan kelompok dapat

dilakukan secara relatif lebih memadai. Kenapa jumlahnya lebih baik

berbilangan ganjil, agar manakala FGD harus mengambil keputusan

yang akhirnya perlu voting sekalipun, maka dengan jumlah itu bisa

lebih membantu kelompok untuk melakukannya. Namun harus

dipahami, soal jumlah ini bukanlah pembatasan yang mengikat atau

mutlak sifatnya.

2) Peserta FGD terdiri dari orang-orang dengan ciri-ciri yang sama atau

relatif homogen yang ditentukan berdasarkan tujuan dan kebutuhan

studi atau proyek. Kesamaan ciri-ciri ini seperti: persamaan gender,

tingkat pendidikan, pekerjaan atau persamaan status lainnya.

Contohnya dalam melakukan monitoring dan evaluasi program Jaring

Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK), maka FGD dapat

dilakukan pada beberapa kelompok, antara lain: (1) kelompok petugas

Puskesmas; (2) kelompok keluarga pemegang kartu sehat dan; (3)

kelompok keluarga miskin tidak memiliki kartu sehat. Akan lebih baik

jika di antara peserta FGD itu berciri-ciri sama tetapi sebelumnya

tidak saling mengenal. Jika syarat peserta sebelumnya tidak saling


mengenal ini sulit ditemukan, maka fasilitator perlu mengatasi

kemungkinan diskusi dan penyampaian pendapat peserta dipengaruhi

oleh pengalaman interaksi mereka sebelumnya.

3) FGD merupakan sebuah proses pengumpulan data dan karenanya

mengutamakan proses. FGD tidak dilakukan untuk tujuan

menghasilkan pemecahan masalah secara langsung ataupun untuk

mencapai konsesus. FGD bertujuan untuk menggali dan memperoleh

beragam informasi tentang masalah atau topik tertentu yang sangat

mungkin dipandang secara berbeda-beda dengan penjelasan yang

berbeda pula. Kecuali apabila masalah atau topik yang didiskusikan

tentang pemecahan masalah, maka FGD tentu berguna untuk

mengidentifikasi berbagai strategi dan pilihan-pilihan pemecahan

masalah.

4) FGD adalah metode dan teknik pengumpulan data kualitatif. Oleh

sebab itu di dalam metode FGD biasanya digunakan pertanyaan

terbuka (open ended) yang memungkinkan peserta memberi jawaban

dengan penjelasan- penjelasan. Fasilitator berfungsi selaku moderator

yang bertugas sebagai pemandu, pendengar, pengamat dan

menganalisa data secara induktif.

5) FGD adalah diskusi terarah dengan adanya fokus masalah atau topik

yang jelas untuk didiskusikan dan dibahas bersama. Topik diskusi

ditentukan terlebih dahulu. Pertanyaan dikembangkan sesuai topik dan

disusun secara berurutan atau teratur alurnya agar mudah dimengerti


peserta. Fasilitator mengarahkan diskusi dengan menggunakan

panduan pertanyaan tersebut.

6) Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukan Diskusi Kelompok

Terarah (FGD) ini berkisar antara 60 sampai dengan 90 menit. Jika

waktu terlalu pendek dikhawatirkan diskusi dan pembahasan masih

terlalu dangkal sehingga data yang diperoleh sangat terbatas.

Sedangkan jika waktu terlalu lama, dikhawatirkan peserta lelah, bosan

atau sangat menyita waktu sehingga berpengaruh terhadap konsentrasi

dan perhatian peserta.

7) Dalam suatu studi yang menggunakan FGD, lazimnya FGD dilakukan

beberapa kali. Jumlahnya tergantung tujuan dan kebutuhan proyek

serta pertimbangan teknis seperti ketersediaan dana dan apakah masih

ada informasi baru yang perlu dicari. Kegiatan FGD yang pertama kali

dilakukan biasa memakan waktu lebih panjang dibandingkan FGD

selanjutnya karena pada FGD pertama sebagian besar informasinya

baru.

8) FGD sebaiknya dilaksanakan di suatu tempat atau ruang netral

disesuaikan dengan pertimbangan utama bahwa peserta dapat secara

bebas dan tidak merasa takut untuk mengeluarkan pendapatnya.

Misalnya, dalam melakukan studi monitoring dan evaluasi program

pelayanan kesehatan, puskesmas mungkin cocok dijadikan lokasi

FGD dengan kelompok petugas kesehatan, tetapi kurang cocok

dijadikan tempat FGD dengan kelompok masyarakat untuk membahas


persepsi dan sikap tentang pelayanan kesehatan. Di pedesaan biasanya

tempat yang netral untuk melakukan FGD seperti: sekolah, gedung

pertemuan desa dan tempat posyandu. Sedangkan rumah-rumah

ibadah sering kurang cocok dijadikan tempat FGD karena dapat

mempengaruhi keleluasaan dan kebebasan peserta dalam

menyampaikan pandangan atau pendapatnya.

3. Kegunaan Focus Group Discussioon (FGD)

Untuk merancang kuesioner survey. Hasil FGD sangat mungkin

bermanfaat dalam pembuatan kuesioner survey. Mungkin ada pertanyaan-

pertanyaan baru yang perlu ditambahkan atau dirubah yang tidak

terpikirkan sebelumnya. b. Untuk menggali informasi yang mendalam

mengenai pengetahuan, sikap dan persepsi. Dari suatu studi yang

menggunakan FGD biasanya akan dapat menghasilkan istilah-istilah baru

yang bersumber dari pengetahuan dan penafsiran masyarakat lokal. c.

Untuk mengembangkan hipotesa penelitian. d. Untuk mengumpulkan data

kualitatif dalam studi proses-proses penjajagan, perencanaan,

pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan. Seiring perubahan

paradigma baru pembangunan yang makin banyak menggunakan

pendekatan partisipatif (Participatory Approach), FGD semakin luas pula

digunakan dalam setiap pengkajian kualitatif selama proses-proses

pembangunan untuk tujuan pemberdayaan masyarakat.

E. Konsep Cognitive Behavioral Therapy (CBT)


1. Pengertian Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Terapi perilaku kognitif atau Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

merupakan salah satu bentuk konseling yang bertujuan membantu pasien

agar dapat menjadi lebih sehat, memperoleh pengalaman yang

memuaskan, dan dapat memenuhi gaya hidup tertentu, dengan cara

memodifikasi pola pikir dan perilaku tertentu (Ahmad Sudrajat, 2009).

Terapi perilaku kognitif adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang

bertujuan untuk memecahkan masalah mengenai disfungsional emosi,

perilaku dan kognisi melalui berorentasi tujuan, prosedur sistematis. CBT

digunakan dalam berbagai cara menunjukkan terapi perilaku, terapi

kognitif, dan merujuk untuk terapi berdasarkan kombinasi perilaku dasar

dan penelitian kognitif (wikipedia, 2010)

Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan konseling

yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseling pada saat

kini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang

menyimpang. Pendekatan CBT didasarkan pada formulasi kognitif,

keyakinan dan strategi perilaku yang mengganggu, proses konseling

didasarkan pada konseptualisasi atau pemahaman konseling atas

keyakinan khusus dan pola perilaku konseling. Harapan dari CBT yaitu

munculnya restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan sistem


kepercayaan untuk membawa perubahan emosi dan perilaku kearah yang

lebih baik.

Berdasarkan paparan definisi mengenai CBT, maka CBT adalah

pendekatan konseling yang menitikberatkan pada restrukturisasi atau

pembentukan kognitif yang meyimpang akibat kejadian yang merugikan

dirinya baik secara fisik maupun psikis. CBT merupakan konseling yang

dilakukan untuk meningkatkan dan merawat kesehatan mental. Konseling

ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berfikir, merasa dan

bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisa, pengambil

keputusan bertanya, bertindak dan memutuskan kembali. Sedangkan,

pendekatan pada aspek behavoior diarahkan untuk membangun hubungan

yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi

permasalahan. Tujuan dari CBT yaitu mengajak individu untuk belajar

mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa

lebih baik, bepikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang

tepat hingga pada akhirnya dengan CBT diharapkan dapat membantu

konseli dalam menyelaraskan berpikir, merasa dan bertindak.

CBT dapat dilakukan perawat di lapangan kesehatan, untuk ,merubah

respons dan perilaku dari pasien. CBT berfokus pada masalah dan

berorintasi pada tujuan, diarahkan pada masalah masalah yang

berkembang pada situasi sekarang dan saat ini.


2. Tujuan Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Tujuan dari CBT yaitu mengajak individu untuk belajar mengubah

perilaku, menenangkan piikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik,

berpikir jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat sehingga

pada akhirnya dengan CBT diharapakan dapat membantu pasien dalam

menyelaraskan dalam berpikir, merasa dan bertindak. Cognitive

Behavioral Therapy (CBT) dapat mengubah sikap dan perilaku seseorang

dengan berfokus pada pikiran, keyakinan dan sikap yang kita pegang

(proses kognitif) dan bagaimana hal ini berhubungan dengan cara kita

berprilaku, sebagai cara untuk mengatasi masalah emosional (Beck,

2011).

Kognitif dari CBT adalah bahwa terapi ini berlangsung dalam jangka

pendek. Pasien dan terapis selama pengobatan ini, bekerja sama untuk

memahami apa masalahnya. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

menerapkan prinsip yang dapat diterapkan kapan saja diperlukan dan

yang dapat memberi manfaat yang baik sepanjang hidupnya (Oemarjoedi,

2003).

Menurut Oemarjoedi (2004), tujuan terapi perilaku kognitif adalah

mengajak pasien untuk menentang pikiran yang salah dengan

menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka

tentang masalah yang dihadapi. Terapis diharapkan mampu menolong


pasien untuk mencari kuat mencoba menguranginya. Pada dasarnya

pendekatan terapi perilaku kognitif bertujuan untuk mengenali kejadian

yang memberi tekanan, mengenali dan memantau gangguan-gangguan

kognitif yang muncul dalam menanggapi kejadian atau peristiwa, dan

mengubah cara berpikir dalam menginterprestasikan dan menilai kejadian

dengan cara-cara yang lebih sehat.

3. Manfaat Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

CBT dapat menjadi terapi yang efektif untuk masalah berikut :

1. Manajemen kemarahan

2. Kecemasan dan serangan panik

3. Permasalahan anak dan remaja

4. Sindrom kelelahan kronis

5. Nyeri kronis

6. Depresi

7. Kecanduan obat atau alkohol

8. Masalah kesehatan umum

9. Perubahan suasana hati

10. Pasca traumatic stres disorder

11. Obsesif-kompulsif

4. Teknik Terapi Perilaku Kognitif


Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah pendekatan psikoterapi yang

digunakan untuk membantu individu ke arah yang positif. Berbagai

variasi teknik perubahan kognisi, emosi dan tingkah laku menjadi bagian

yang terpenting dalam CBT. Metode ini berkembang sesuai dengan

kebutuhan pasien, yang bersifat aktif, direktif,terbatas waktu, terstruktur,

dan berpusat pada pasien.

Terapis biasanya menggunakan berbagai intervensi untuk mendapatkan

kesepakatan perilaku sasaran dengan pasien. Teknik yang biasa digunakan

yaitu : (NACBT, 2007)

1. Menata keyakinan irasional

2. Bibliotherapy, menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu

yang menarik daripada sesuatu yang menakutkan

3. Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role

play dengan terapis

4. Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam

situasi nyata.

5. Mengukur perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas yang

dialami pada saat ini dengan skala 0-10

6. Menghentikan pikiran. Pasien belajar untuk menghentikan pikiran

negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif

7. Desensitization systematic. Respon takut dan cemas diganti dengan

respon relaksasi dengan cara mengemukakan permasalahan secara


berulang-ualng dan berurutan dari respon takut terberat sampai yang

teringan untuk mengurangi intensitas emosional pasien.

8. Pelatihan keterampilan sosial. Melatih pasien untuk dapat

menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya.

9. Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa

bertindak tegas

10. Penugasan rumah. Mempraktikkan perilaku baru dan strategi kognitif

antara sesi CBT.

11. In vivo exposure. Mengatasi situasi yang menyebabkan masalah

dengan memasuki situasi tersebut.

CBT dapat digunakan mulai dari anak hingga lansia, (Yosep, 2009) karena

perkembangannya yang pesat terdapat berbagai variasi dalam CBT, dalam

hal ini akan dijelaskan secara praktis pelaksanaan CBT yang merupakan

gabungan dari beberapa teori.

Tabel 2.2 Macam Tahapan dalam Terapi

Tahapan dalam Terapi

Stuart Terapi Individu Peplau


Precontempaltion Orientasi Orientasi
Contemplation Kerja Identifikasi

Preparation Terminal Eksplorasi


Resolusi
Action
Maintenance
Termination

Perbedaan dalam terapi tersebut terjadi karena perkembangan CBT yang

pesat, sesi dalam CBT lebih dari satu, dan pelaksanaan CBT dapat

terintegrasi dalam asuhan keperawatan, pemilihan jenis terapi dalam CBT

dapat dipilh salah satu atau gabungan, dibawah ini yang merupakan contoh

penetapan rencana CBT. Pada tahapan ini menganut dari teori stages of

model (Stuart, 2009).

5. Analisis Cognitive Behavior Therapy (CBT) berdasarkan Model Konsep

Peplau.

Cognitive Behavior Therapy (CBT) termasuk dalam terapi individu,

dimana satu pasien ditangani dengan satu perawat, tahapan hubungan

dalam terapi individual meliputi, tahapan orientasi, tahapan kerja, dan

tahapan terminasi, hal tersebut sesuai dengan konsep teori peplau yang

dikenal dengan teori interpersonalnya, dalam konsep Peplau terdapat

empat fase, yaitu : fase orientasi, fase identifikasi, fase resolusi, fase

eksplorasi, terdapat kesesuaian tahapan di CBT dan konsep Peplau.

a. Fase Orientasi

Dalam fase orientasi memberikan kesempatan dan kesiapan bagi

perawat dan pasien, dimana perawat dan pasien membina hubungan

saling percaya (BHSP) perawat mempunyai kesempatan untuk

mengkaji data awal sebelum masuk ditahap kerja, pada tahap ini
perawat harus mempunyai pemikiran bahwa dalam CBT ini pasien

adalah tokoh sentral (pelaku), sedangkan perawat adalah coacher,

keberhasilan terapi sangat bergantung pada pasien. Perawat juga harus

sadar bahwa tahap pertama dari perubahan adalah belum memikirkan

perubahan tersebut, pada tahap ini pasien tidak berpikir bahwa mereka

mempunyai masalah, mereka tidak seperti orang yang mencari

pengobatan, menangani pasien dalam tahap ini tujuan utamanya

intervensi adalah mendengarkan pasien, kemudian menciptakan

suasana dimana pasien mulai mempertimbangkan keuntungan

berubah, dan perawat harus menerima kondisi pasien tanpa syarat dan

bersikap empati.

Persiapan bagi pasien adalah mengenal dan membina hubungan saling

percaya (BHSP) dengan terapisnya (perawat), dengan saling mengenal

akan tercipta hubungan saling percaya, perawat harus menjelaskan

pada pasien bahwa masalahnya tidak akan selesai dalam satu sesi

terapi, terapi bisa selesai dalam waktu yang relatif singkat hingga

sangat lama yaitu 5 tahun (Stuart, G.W., 2009) lamanya terapi akan

bergantung pada besarnya masalah, motivasi pasien, dan dukungan

lingkungannya. Pada fase orientasi ini perawat juga mulai mengkaji

data dasar, seperti identitas pasien, alamat, lingkungan pasien. Peplau

menjelaskan bahwa perawat mempunyai banyak peran yaitu perawat

berperan sebagai mitra kerja, pendidik, narasumber, pengasuh


pengganti, pemimpin dan konselor sesuai dengan fase proses

interpersonal.

Dalam wawancara dengan pasien seharusnya perawat menggunakan

komunikasi terapeutik. Peplau yang berkeyakinan bahwa perilaku

individu adalah bertujuan dan diarahkan kepada pemeliharaan diri,

mengurangi kecemasan yang muncul karena kebutuhan-kebutuhan

yang lebih tinggi berkomunikasi (Yosep I., 2009). Dalam kondisi ini

keterampilan perawat dalam berkomunikasi menjadi sangat penting,

perawat perlu menggunakan teknik mendengarkan aktif,

menyimpulkan dan mengklarifikasi pernyataan pasien. Dengan

demikian diharapkan proses penyembuhan sudah dimulai sejak

wawancara pada fase orientasi, pada fase orientasi menurut Peplau

perawat harus meyakinkan pasien bahwa tersedia bantuan yang sikap

sedia kapan saja untuk pasien, sehingga perawat harus menciptakan

lingkungan yang mendukung pasien jika membutuhkan pertolongan,

baik di klinik maupuan di rumah (keluarga).

b. Fase Identifikasi

Menurut Peplau pada tahap ini hubungan perawat pasien dibina dan

diperkuat seiring dengan sikap awal pasien dan perawat. Persepsi dan

pengharapan satu sama lain diklarifikasi. Selama fase ini, mereka

bekerja mengidentifikasi masalah atau kesulitan pasien. Perawat mulai


mengidentifikasi pikiran pikiran negatif dari pasien. Studi kualitatif

yang dilakukan peden pada tahun 2000, menyebutkan bahwa masalah

terbanyak penyebab depresi adalah negative thinking. Pada fase ini

perlu mengidentifikasi pemikiran negatif pasien.

Terdapat panduan dalam pengkajian di CBT yaitu :

Perawat perlu mengkaji kejadian yang mendahului perilaku pasien,

kemudian baru mengkaji perilaku pasien, hingga konsekwensi dari

perilaku tersebut. Peran konselor dalam teori peplau tergambar dalam

fase ini dimana perawat memberi bimbingan terhadap pasien terhadap

apa masalahnya.

c. Fase Kerja

Pada fase ini perawat melakukan terapi perilaku kognitif yang telah

direncanakan sebelumnya. Pada konsep teori Peplau pada fase kerja

sama dengan fase eksplorasi, dimana pasien perlu dilibatkan secara

aktif dan langsung, dimana pasien adalah subjek utama dalam

keperawatan, beberapa prinsip CBT yang sesuai dengan teori Peplau

yang diperhatihan pada fase ini adalah sebagai berikut :

1. Mengekspresikan empati perawat menunjukkan perhatiannya pada

pasien dengan komunikasi terapeutik, perawat perlu

mengekspresikan empatinya sehingga pasien merasa aman dan

nyaman untuk mengungkapkan masalahnya.


2. Mengidentifikasi ketidaksesuaian, perawat perlu mengidentifikasi

stimulus yang mendahului sebelum terjadi gangguan

kognitif/perilaku, barulah perawat mengidentifikasi pemikiran dan

perilaku pasien, perawat juga mengidentifikasi konsekuensi dari

perilaku tersebut.

3. Jangan berdebat dengan pasien karena dengan berdebat akan

menurunkan hubungan pasien perawat, sehingga trust akan

menurunt atau hilang, perawat hanrus setuju dengan pemikiran

pasien, barulah lambat laun pemikiran yang salah dari pasien

diubah.

4. Mendukung keyakinan akan sembuh, karena keyakinan pasien

akan kesembuhan pasien untuk berubah, jadi perawat perlu

mendukung keyakinan pasien akan kesembuhan.

d. Tahap terminasi

Menurut teori Peplau dikenal tahapan resolusi yang identik dnegan

tahapan terminal pada CBT dimana pada tahap resolusi secara

bertahap pasien melepaskan diri dari perawat. Saat pasien dan perawat

berkolaborasi untuk memecahkan masalah, mereka juga harus

mengatasi kebutuhan-kebutuhan ketergantungan psikologis mereka.

Mereka mendiskusikan tentang terminasi sebelum pertemuan terakhir

karena hal ini akan mempersiapkan diri mereka untuk persiapan


terkahir. Seharusnya pada fase ini pikirian negatif pasien sudah

digantikan dengan pikiran positif.

F. Konsep Keyakinan Kemampuan Diri (Self Efficiacy)

1. Penggertian Self Efficiacy

Konsep self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura yang

dikenal dengan teori sosial kognitif pada tahun 1986. Self-efficacy ialah

keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya dalam mencapai tujuan

tertentu sesuai harapan (Bandura, 1997 dalam Kusuma & Hidayati, 2013).

Self-efficacy pada lansia Hipertensi berfokus pada keyakinan penderita

Hipertensi untuk berperilaku yang mendukung perbaikan penyakitnya

(Ngurah & Sukmayanti, 2014).

2. Sumber Self Efficiacy

Self-efficacy berkembang melalui empat sumber utama, yaitu:

1) Pengalaman telah dilalui dan pencapaian prestasi

Pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang paling besar

pengaruhnya terhadap self-efficacy individu karena didasarkan pada

pengalaman otentik. Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan

self-efficacy individu meningkat, sementara kegagalan yang berulang

mengakibatkan menurunnya self-efficacy. Beberapa kesulitan dan

kegagalan diperlukan untuk mengajarkan bahwa kesuksesan

membutuhkan usaha, seseorang yang memiliki keyakinan akan sukses


maka akan mendorongnya untuk bangkit dan berusaha (Ariani, 2011;

Wantiyah, 2010).

2) Pengalaman individu lain

Pengamatan individu akan keberhasilan individu lain pada bidang

tertentu akan meningkatkan self-efficacy individu tersebut pada bidang

yang sama. Seseorang dapat belajar dari pengalaman individu tersebut

untuk mendapatkan seperti yang didapatkan oleh orang tersebut

(Ariani, 2011; Rhondianto, 2012).

3) Persuasi verbal

Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu dan

mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak atau berperilaku.

Dengan persuasi verbal, individu mendapatkan sugesti bahwa ia

mampu mengatasi masalah yang akan dihadapi (Ariani, 2011;

Kusuma & Hidayati, 2013).

4) Keadaan fisiologis dan emosional

Kondisi emosi dan keadaan fisiologis yang dialami individu

mempengaruhi self-efficacy seseorang dalam mengambil keputusan.

Keadaan fisik seperti nyeri, kelemahan, dan ketidaknyamanan

dianggap sebagai hambatan fisik yang dapat

mempengaruhi efikasi diri seseorang. Kondisi emosional juga dapat

mempengaruhi seseorang dalam pengambilan keputusan (Wantiyah,

2010).

3. Proses-proses self-efficacy
Bandura (1994) menyatakan bahwa self-efficacy terbentuk melalui 4

proses yaitu:

1) Proses kognitif

Efikasi diri mempengaruhi bagaimana pola pikir yang dapat

mendorong atau menghambat perilaku seseorang. Sebagian besar

individu dalam bertindak akan berpikir terlebih dahulu. Seseorang

yang mempunyai efikasi diri yang tinggi akan memvisualisasikan

skenario keberhasilan sebagai panduan positif dalam mencapai

tujuaanya, sedangkan seseorang yang memiliki efikasi rendah lebih

banyak membayangkan kegagalan yang menghambat dalam mencapai

tujuan (Rini, 2011; Wantiyah, 2010).

2) Proses motivasi

Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan berperilaku sesuai

tujuan didasari oleh aktivitas kognitif. Proses motivasi terbentuk

dalam 3 teori pemikiran yaitu causal attribution (atribusi penyebab),

outcome expectancies (harapan akan hasil), dan goal theory (teori

tujuan). Keyakinan mempengaruhi atribusi kausal seseorang, di mana

jika individu memiliki efikasi rendah, mereka cenderung menganggap

kegagalan akibat dari rendahnya kemampuan diri. Motivasi dibentuk

dari harapan seseorang dan nilai dari tujuan yang ditentukan (Rini,

2011).

3) Proses afeksi
Afeksi terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam

menentukan pengalaman emosional. Keyakinan seseorang akan

kemampuannya mempengaruhi seberapa stress/depresi yang dapat

diatasi. Seseorang yang yakin dapat mengendalikan masalah maka dia

tidak akan mengalami gangguan pola pikir, tetapi pada seseorang

yang tidak percaya dapat mengatasi masalah maka akan mengalami

kecemasan yang tinggi (Ariani, 2011).

4) Proses Seleksi

Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan individu untuk

menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang sesuai dengan

kemampuannya. Seseorang akan menghindari sebuah aktivitas dan

lingkungan bila orang tersebut tidak mampu melakukannya. Bagi

mereka yang siap dengan berbagai tantangan dan situasi maka mereka

menilai dirinya mampu untuk melakukannya (Ariani, 2011; Rini,

2011).

4. Dimensi self-efficacy

Dimensi self-efficacy menurut Bandura terdiri dari 3 dimensi. Dimensi

yang pertama yaitu magnitude, dimensi ini berfokus pada tingkat

kesulitan terkait dengan usaha yang dilakukannya (Rhondianto, 2012).

Dimensi yang kedua adalah generality, dimensi ini berkaitan dengan

luasnya cakupan tingkah laku yang diyakini mampu dilakukan (Ariani,

2011). Dimensi yang ketiga adalah strength, dimensi ini berfokus pada
kekuatan/keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya

dalam pengelolaan penyakitnya (Rini, 2011; Rhondianto, 2012).

5. Faktor yang mempengaruhi self-efficacy

Beberapa faktor yang mempengaruhi dengan self-efficacy, yaitu:

1) Usia

Self-efficacy berkembang seiring dengan bertambahnya usia, dengan

bertambahnya pengalaman dan perluasan lingkungan pergaulan

(Wantiyah, 2010). Menurut Potter dan Perry usia 40-65 tahun disebut

sebagai tahap keberhasilan, yaitu waktu untuk pengaruh maksimal,

membimbing, dan menilai diri sendiri, sehingga pasien memiliki self-

efficacy yang baik (Ariani, 2011).

2) Tingkat pendidikan

Salah satu proses pembentukan self-efficacy adalah melalui proses

kognitif (Ariani, 2011). Penelitian Wu et al., (2006) menunjukan

bahwa dengan tingkat pendidikan tinggi maka memiliki self-efficacy

dan perilaku perawatan yang baik. Pasien hipertensi dengan

pendidikan tinggi lebih mudah mengakses informasi terkait

penyakitnya sehingga lebih yakin dalam melakukan perawatan diri

untuk mencegah terjadinya komplikasi yang diakibatkan oleh

hipertensi (Ngurah & Sukmayanti, 2014).

3) Lama Menderita Hipertensi


Pasien yang menderita hipertensi ≥ 11 tahun memiliki self-efficacy

lebih baik dari penderita hipertensi < 10 tahun, hal ini disebabkan

karena penderita hipertensi tersebut telah berpengalaman mengelola

penyakitnya (Wu et al., 2006). Menurut Bai et al., (2009) hal ini

terjadi karena pasien dapat mempelajari perilaku perawatan diri

berdasarkan pengalaman yang sudah diperolehnya sehingga pasien

memiliki keyakinan dalam aktivitas self carenya.

4) Penghasilan

Status sosial ekonomi dan pengetahuan mengenai hipertensi

mempengaruhi seseorang untuk melakukan manajemen perawatan diri

(Firmansyah, 2015). Faktor penghasilan berkontribusi dalam self-

efficacy karena hal tersebut membantu dalam mendapatkan akses

pelayanan kesehatan (Rondhianto, 2012).

5) Dukungan Keluarga

Pasien hipertensi yang berada dalam lingkungan keluarga dan

diperhatikan oleh anggota keluarganya dapat meningkatkan motivasi

dan kepatuhan dalam melaksanakan perawatan diri, adanya dukungan

keluarga sangat membantu pasien hipertensi dalam meningkatkan

keyakinannya dalam melakukan perawatan diri (Kusuma & Hidayati,

2013; Pertiwi, 2015).

6) Depresi

Depresi berhubungan dengan kondisi emosional seseorang, di mana

kondisi emosional ini mempengaruhi dalam pengambilan keputusan


terkait efikasi dirinya (Peilouw & Nursalim, 2013). Pasien hipertensi

yang mengalami depresi cenderung lebih mudah menyerah dengan

keadaannya dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami

depresi (Kusuma & Hidayati, 2013).

7) Motivasi

Motivasi adalah dorongan yang berasal dari dalam diri ataupun dari

luar individu untuk melakukan tugas tertentu untuk mencapai suatu

tujuan. Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma dan Hidayati (2013)

menyatakan bahwa responden yang memiliki motivasi baik memiliki

peluang 4,313 efikasi diri baik dibandingkan dengan motivasi rendah,

hal ini mempengaruhi dalam manajemen hipertensi.

G. Konsep Self Care Behavior

1. Pengertian Self Care Behavior

Self care behavior mengacu pada individu yang melakukan kegiatan

dengan mengarah ke gaya hidup sehat yang memenuhi psikososial mereka

dan pemenuhan kebutuhan emosional untuk mencegah penyakit lebih

lanjut dan komplikasi (Bodenheimer et,.al., 2002 cit Linnell, 2005 cit

Kennedy et.,al., 2007). Menurut Orem, 1995 cit Chen & Wang, 2007 cit

Fan, 2008 menyatakan bahwa self care behavior adalah suatu bentuk

aktivitas nyata seseorang untuk berpartisapasi aktif terlibat dalam upaya

memepertahankan stastus kesehatannya.

2. Faktor – faktor yang mempengaruhi Self Care Behavior


a. Usia

Usia merupakan faktor penting pada self care, Karena bertambahnya

usia sering dihubungkan dengan berbagai keterbatasan maupun

kerusakan fungsi sensoris. Pemenuhan kebutuhan self care akan

bertambah efektif seiring dengan bertambahnya usia dan kemampuan

(Orem, 2001).

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin memiliki kontribusi dalam kemampuan perawatan diri.

Pada laki- laki banyak melakukan penyimpangan kesehatan seperti

kurangnya manajemen berat badan dan kebiasaan merokok

dibandingkan pada perempuan.

c. Status Perkembangan

Menurut Orem, cit Alligood (2014) status perkembangan meliputi

tingkat fisik seeorang, fungsional, perkembangan kognitif dan tingkat

psikososisal. Tahap perkembangan mempengaruhi kebutuhan dan

kemampuan self care individu. Tingkat kognitif setiap individu dapat

berubah sepanjang hidupnya, sehingga perawat harus

mempertimbangkan tingkat pertumbuhan dan perkembangan klien

dalam memberikan pelayanan kesehatan (Potter & Perry, 2010).

d. Status Kesehatan
Status kesehatan berdasarkan Orem antara lain status kesehatan ini,

status kesehatan dahulu serta persepsi tentang kesehatan masing-

masing individu. Status kesehatan meliputi diagnosis medis, gambaran

kondisi pasien, komplikasi, perawatan yang dilakukan dan gambaran

individu yang mempengaruhi kebutuhan self care (self care requisite).

Tinjauan dari self care menurut Orem, status kesehatan pasien yang

mempengaruhi kebutuhan self care dapat dikelompokkan menjadi tiga

kategori yaitu: sistem bantuan penuh (wholly compensatory system),

sistem bantuan sebagian (partially compensatory system) dan sistem

dukungan pendidikan (supportife-education system).

e. Sosiokultural

Sistem yang saling terkait dengan lingkungan sosial seseorang,

keyakinan spiritual, hubungan sosial dan fungsi unit keluarga.

f. Sistem Pelayanan Kesehatan

Sumber daya dari pelayanan kesehatan yang dapat diakses dan

tersedia untuk individu dalam melakukan diagnostik dan pengobatan.

g. Sistem Keluarga

Peran atau hubungan anggota keluarga dan orang lain yang signifikan

serta peraturan sesorang di dalam keluarga. Selain itu, sistem keluarga

juga meliputi tipe keluarga, budaya yang mempengaruhi keluarga,

sumber-sumber yang dimiliki individu atau keluarga serta perawatan

diri dalam keluarga.

h. Pola Hidup
Pola hidup yang dimaksut adalah aktivitas normal seseorang yang

biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

i. Lingkungan

Tempat seseorang biasanya melakukan perawatan diri di lingkungan

rumah.

j. Ketersediaan Sumber

Ketersediaan sumber ini termasuk ekonomi, personal, kemampuan

dan waktu. Ketersediaan sumber-sumber yang mendukung perawatan

diri atau penyembuhan pasien.

H. Konsep Teori Orem

1. Teori Konsep Keperawatan Mandiri (Self Care) Menurut Dorothea

E. Orem

Model konsep Dorothea E. Orem berfokus pada Self Care dan kebutuhan

perawatan diri pasien untuk mempertahankan kehidupan, kesehatan,

perkembangan dan kesejahteraan. Ada 3 prinsip dalam keperawatan diri

sendiri yaitu : 1) Perawatan diri yang bersifat holistik, seperti kebutuhan

oksigen, air, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, 2) Perawatan

mandiri yang harus dilakukan sesuai dengan tumbuh kembang manusia,

3) Perawatan mandiri harus dilakukan karena adanya masalah kesehatan

atau penyakit.
Dalam teori Orem (1991) dalam (Alligood, 2017), ada 5 area aktifitas

keperawatan yaitu :

a. Masuk kedalam dan memelihara hubungan antara perawat dengan

pasien dengan individu, keluarga, kelompok, sampai pasien dapat

melegitimasi rencana keperawatan.

b. Menentukan kapan dan bagaimana pasien dapat dibantu melalui

keperawatan.

c. bertanggung jawab atas permintaan pasien, keinginan dan kebutuhan

untuk menolak dan dibantu oleh perawat

d. Menjelaskan, memberikan dan melindungi pasien secara langsung

dalam bentuk keperawatan.

e. Mengkoordinasikan dan mengintegrasi keperawatan dengan

kehidupan sehari-hari pasien atau perawatan kesehatan lain jika

dibutuhkan serta pelayanan sosial dan edukasi yang dibutuhkan atau

yang akan diterima.

2. Teori Self Care

Untuk memahami teori self care sangat penting terlebih dahulu

memahami konsep self care, self care agency, basic conditioning factor

dan kebutuhan self care therapeutik. Self care adalah performance atau

praktek kegiatan individu untuk berinisiatif dan membentuk perilaku

mereka dalam memelihara kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan. Jika

self care dibentuk dengan efektif maka hal tersebut akan membantu
membentuk integrasi struktur dan fungsi manusia dan erat kaitannya

dengan perkembangan manusia (Alligood, 2017).

Self care agency adalah kemampuan manusia atau kekuatan untuk

meakukan self care. Kemampuan individu untuk melakukan self care

dipengaruhi oleh basic conditioning factor seperti umur, jenis kelamin,

status perkembangan, status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem

keluarga, pola kehidupan, lingkungan serta ketersediaan sumber.

Kebutuhan self care therapeutik (therapeutik self care demand) adalah

merupakan totalitas dari self care dan diinisiatif dibentuk untuk

memenuhi kebutuhan self care dengan menggunakan metode yang valid

berhubungan dengan tindakan yang akan dilakukan.

Konsep lain yang berhubungan dengan teori self care adalah self care

requisite. Orem mengidentifikasikan tiga kategori self care requisite.

a. Universal self care meliputi : udara, air, makanan dan eliminasi,

aktifitas dan istrahat, privasi, sosialisasi dan interaksi sosial,

pencegahan resiko, peningkatan kesehatan, kesejahteraan dan potensi

diri.

b. Developmental Universal lebih khusus dari universal dihubungkan

dengan kondisi yang meningatkan proses perkembangan siklus


kehidupan seperti ; pekerjaan baru, perubahan struktur tubuh, dan

kehilangan rambut.

c. Perubahan kesehatan (Health Deviation Self Care) berhubungan

dengan akibat terjadinya perubahan struktur normal dan kerusakan

integritas individu untuk self care akibat suatu penyakit atau injury.

3. Teori Self Care Deficit

Merupakan hal utama dari teori general keperawatan menurut Orem.

Dalam teori ini keperawatan diberikan jika seorang dewasa (atau pada

khususnya ketergantungan) tidak mampu atau teratas dalam melakukan

self care secara efektif. Keperawata diberikan jika kemampuan merawat

berkurang atau tidak dapat terpenuhi atau adanya ketergantungan. Orem

mengidentifikasi lima metode yang dapat digunakan dalam membantu self

care yaitu : a) Tindakan untuk atau dilakuan untuk orang lain, b)

Memberikan petunjuk dan pengarahan, c) Memberikan dukungan fisik

dan psychologis, d) Memberikan dan memelihara lingkungan yang

mendukung perkembanga personal, e) Pendidikan yaitu perawat dapat

membantu individu dengan menggunakan beberapa atau semua metode

tersebut dalam memenuhi self care.


Gambar : 2.2 Konseptual model “ Theory of Self Care Deficit “. From

Orem, D.E (2002) dalam (Burhanudin, 2016).

4. Teori Nursing System

Nursing System di desain oleh perawat didasarkan pada kebutuhan self

care dan kemampuan pasien melakukan self care. Jika ada self care

defisit, self care agency dan kebutuhan self care therapeutik maka

keperawatan akan diberikan. Nursing System adalah suatu properti atau

atribut yang lengkap diberikan untuk orang-orang yang telah didik dan

dilatih sebagai perawat yang dapat melakukan, mengetahui dan membantu

orang lain untuk menemukan kebutuhan self care therapeutik mereka

melalui pelatihan dan pengembangan self care agency. Orem

mengidentifikasi tiga klasifikasi Nursing System (Alligood, 2017). Yaitu :

a. Wholly Compensatory System

Suatu situasi dimana individu tidak dapat melakukan tindakan self

care, dan menerima self care secara langsung serta ambulasi harus
dikontrok dan pergerakan dimanipulatif atau adanya alasan-alasan

medis tertentu. Ada tiga kondisi yang termasuk dalam kategori ini

yaitu : tidak dapat melakuka tindakan self care misalnya koma, dapat

membuat keputusan, observasi atau pilihan tentang self care tetapi

tidak dapat melakukan ambulasi dan pergerakan manipulatif, tidak

mampu membuat keputusan yang tepay tentang self care.

b. Partly Compensatory System

Suatu situasi dimana antara perawat dan pasien melakukan perawatan

atau tindakan lain dan perawat atau pasien mempunyai peran yang

besar untuk mengukur kemampuan melakukan self care.

c. Supportive Educative System

Pada sistem ini orang dapat membentuk atau dapat belajar membentuk

internal atau eksternal self care tetapi tidak dapat melakukannya tanpa

bantuan. Hal ini juga dikenal dengan supportive developmental system

5. Proses Keperawatan Berdasarkan Teori Orem

a. Pengkajian

1) Pengkajian data dasar (nama, umur, sex, status kesehatan, status

perkembangan, orientasi sosio-kultural, riwayat diagnostik dan

pengobatan, faktor sistem keluarga) ; pola hidup, faktor

lingkungan

2) Observasi status kesehatan lain untuk menemukan masalah

keperawatan berdasarkan self care defisit, maka perawat perlu


melakukan pengkajian pada pasien melalui observasi berdasarkan

klasifikasi tingkat ketergantungan pasien yang yerdiri dari

Minimal Care, Partial Care, Total Care.

3) Pengembangan teori Orem dengan masalah fisioligis yang terdiri

dari pemenuhan kebutuhan oksigen, pemenihan kebutuhan cairan

dan elektrolit, gangguan mengunya, gangguan menelan,

pemenuhan kebutuhan elminasi / pergerakan bowel , urinary,

excrementas, mensturasi, pemenuhan kebutuhan aktivitas dan

istirahat

b. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan sesuai dengan self care deficit yang dialami

oleh pasien. Mengacu pada diagnosa keperawatan aktual , resiko

tinggi kemungkinan. Teori Orem masih lebih berfokus pada masalah

fisiologis, namun diagnosa dapat dikembangan ke masalah lain sesuai

hirarki kebutuhan dasar yang dikembangkan oleh Maslow.

c. Intervensi Keperawatan

Di buat sesuai dengan diagnosa keperawatan, berdasarkan self care

demand dan meningkatkan kemampuan self care. Membuat nursing

system : Wholly Compensatory System, Partly Compensatory System,

Supportive Educative System.


d. Implementasi Keperawatan

Keperawatan diberikan jika kemampuan merawat diri pada klien

berkurang dari yang dibutuhkan untuk memenuhi self care yang

sebenarnya sudah diketahui. Teori Orem mengidentifikasi beberapa

metode bantuan, yaitu : 1) Merumuskan, memberikan dan mengatur

bantuan langsung kepada pasien dan orang-orang terdekat dalam

bantuan keperawatan, 2) Membimbing dan mengarahkan, 3)

Memberikan dukukang fisik dan psikologis, 4) Memberikan dan

mempertahankan lingkungan yang mendukung perkembangan

individu, 5) pendidikan, 6) Berespon terhadap permintaan, keinginan

dan kebutuhan pasien akan kontak bantuan keperawatan,

7) Kolaborasi, pelimpahan wewenang, 8) Melibatkan anggota

masyarakat dan yang terakhir, 9) Lingkungan.

e. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui perkembangan pasien atas

tindakan yang telah dilakukan sehingga dapat disimpulkan apakah

tujuan asuhan keperawatan tercapai atau belum. Menilai keefektifan

tindakan perawatan dalam : meningkatkan kemampuan Self care

memenuhi kebutuhan Self care dan menurunkan Self care deficit.

Anda mungkin juga menyukai