Anda di halaman 1dari 143

BAB

21
ANESTESIA UNTUK PASIEN DENGAN
PENYAKIT KARDIOVASKULER

Konsep Kunci

1. Komplikasi kardiovaskuler menyumbang sebesar 25 % sampai dengan 50


% dari kematian setelah operasi non – kardiovaskuler. Miokard infark
(MI) perioperatif, edema paru, gagal jantung kongestif, aritmia, dan
tromboembolisme paling sering terlihat pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular yang sudah ada sebelumnya.

2. Terlepas dari tingkat kontrol tekanan darah pra – operasi, banyak pasien
dengan hipertensi menunjukkan respons hipotensi yang menonjol selama
induksi anestesi, diikuti dengan respons hipertensi yang berlebihan
terhadap proses intubasi. Pasien hipertensi dapat menunjukkan respons
yang berlebihan terhadap katekolamin endogen (dari intubasi atau
stimulasi bedah) dan agonis – agonis simpatis yang diberikan secara
eksogen.
3. Pasien dengan penyakit arteri koroner yang luas (tiga pembuluh darah
koroner atau pembuluh darah koroner kiri utama), riwayat miokard infark
(MI), atau disfungsi ventrikel akan berisiko tinggi untuk mengalami
komplikasi jantung.

4. Monitoring Holter, elektrokardiografi dengan olahraga, pemindaian


perfusi miokard, dan ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang penting
dalam menentukan risiko perioperatif dan kebutuhan akan pemeriksaan
angiografi koroner; Namun, pemeriksaan ini hanya ditunjukkan jika
hasilnya akan mengubah perawatan pada pasien.

5. Penarikan obat – obatan antiangina dengan tiba – tiba secara perioperatif –


khususnya pada β – blocker – dapat memicu kenaikan kejadian rebound
pada episode iskemik secara tiba – tiba.

6. Prioritas yang luar biasa dalam pengelolaan pasien dengan penyakit


jantung iskemik adalah mempertahankan hubungan pasokan – permintaan
miokard yang menguntungkan. Peningkatan denyut jantung dan tekanan
darah yang dimediasi secara otonom harus dikendalikan dengan anestesi
yang dalam atau blokade adrenergik, dan pengurangan tekanan perfusi
koroner atau penurunan kandungan oksigen arterial harus dihindari.

7. Deteksi intraoperatif dari iskemia bergantung pada pengenalan perubahan


elektrokardiografi, manifestasi hemodinamik, atau kelainan gerak dinding
regional pada pemeriksaan ekokardiografi transesofagus atau
transesophageal echocardiography (TEE). Elevasi pada segmen ST yang
baru, jarang terjadi selama operasi non – kardiovaskuler dan merupakan
indikasi adanya iskemia, vasospasme, atau infark yang parah.

8. Tujuan utama hemodinamik dalam pengelolaan stenosis mitral adalah


mempertahankan irama sinus (jika ada sebelum operasi) dan untuk
menghindari kondisi takikardia, peningkatan curah jantung yang besar,
dan hipovolemia dan kelebihan cairan dengan cara melakukan pemberian
cairan intravena secara hati-hati.
9. Manajemen anestesi dari kondisi regurgitasi mitral harus disesuaikan
dengan tingkat keparahan regurgitasi dan fungsi ventrikel kiri yang
mendasarinya. Faktor – faktor yang memperparah regurgitasi, seperti
denyut jantung lambat dan kenaikan afterload secara akut, harus dihindari.
Ekspansi volume yang berlebihan juga bisa memperburuk regurgitasi
dengan mendilatasi ventrikel kiri.

10. Pemeliharaan irama sinus normal, denyut jantung, resistensi vaskular dan
volume intravaskular sangat penting pada pasien dengan stenosis aorta.
Hilangnya waktu normal dari sistole atrium seringkali menyebabkan
kemunduran yang cepat, terutama bila dikaitkan dengan takikardia.
Anestesi spinal dan epidural merupakan kontraindikasi relative pada
pasien dengan stenosis aorta berat.

11. Bradikardia dan peningkatan resistensi vaskular sistemik atau systemic


vascular resistance (SVR) meningkatkan volume regurgitasi pada pasien
dengan regurgitasi aorta, sedangkan takikardia dapat menyebabkan
iskemia miokard. Depresi miokard berlebihan juga harus dihindari.
Kenaikan kompensasi pada preload jantung harus dijaga, namun
penggantian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan edema pulmoner.

12. Pada pasien dengan penyakit jantung bawaan, peningkatan systemic


vascular resistance (SVR) relatif terhadap resistansi pembuluh darah paru
atau pulmonary vascular resistance (PVR) menguntungkan shunting left –
to – right, sedangkan peningkatan pulmonary vascular resistance (PVR)
relatif terhadap systemic vascular resistance (SVR) menguntungkan
shunting right – to – left.

13. Adanya pergeseran aliran antara jantung kanan dan kiri, terlepas dari arah
aliran darah, menyebabkan eksklusi secara cermat dari gelembung udara
atau bahan partikulat pada cairan intravena untuk mencegah terjadinya
emboli paradoks ke sirkulasi otak atau koroner.
14. Tujuan pengelolaan anestesi pada pasien dengan tetralogy of Fallot adalah
untuk mempertahankan volume intravaskular dan systemic vascular
resistance (SVR). Peningkatan pulmonary vascular resistance (PVR),
seperti yang mungkin terjadi akibat kondisi asidosis atau depresi saluran
napas yang berlebihan, harus dihindari. Shunting kanan – ke – kiri
cenderung memperlambat pengambilan anestesi inhalasi; Sebaliknya, ini
bisa mempercepat onset dari agen – agen yang diberikan secara intravena.

15. Jantung yang ditransplantasikan benar – benar didenervasi, jadi dorongan


otonom langsung tidak ada. Selain itu, tidak adanya peningkatan refleks
pada detak jantung dapat membuat pasien sangat peka terhadap
vasodilatasi yang cepat. Vasopresor secara tidak langsung, seperti efedrin,
kurang efektif daripada agen langsung karena tidak adanya penyimpanan
katekolamin pada neuron miokard.

Penyakit kardiovaskular – terutama penyakit jantung hipertensi,penyakit


jantung iskemik, penyakit jantung bawaan, dan penyakit katup jantung – adalah
beberapa diantara penyakit medis yang paling sering ditemui dalam praktik
anestesi dan merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas
perioperatif. Penatalaksanaan pasien dengan penyakit ini terus menantang
kemampuan dan sumber daya dari para ahli anestesi. Respons adrenergik terhadap
stimulasi bedah dan efek peredaran obat anestesi, intubasi endotrakeal, ventilasi
tekanan positif, kehilangan darah, pergeseran cairan, dan perubahan suhu tubuh
memberlakukan beban tambahan pada sistem kardiovaskular yang sering
didapatkan. Sebagian besar agen anestesi menyebabkan depresi jantung,
vasodilatasi, atau keduanya. Bahkan anestesi yang tidak memiliki efek pada
peredaran darah secara langsung dapat menyebabkan depresi peredaran darah
yang jelas pada pasien dengan penyakit yang berat yang bergantung pada
karakteristik aktivitas simpatik yang ditingkatkan dari gagal jantung atau
kehilangan darah akut. Berkurangnya aktivitas simpatik sebagai akibat dari
keadaan anestesi dapat menyebabkan kolaps pada peredaran darah secara akut.

Manajemen anestesi yang baik pada pasien dengan penyakit


kardiovaskular memerlukan pengetahuan secara menyeluruh mengenai fisiologi
jantung normal, efek peredaran dari berbagai agen anestesi, dan patofisiologi dan
pengobatan penyakit kardiovaskuler. Prinsip yang sama yang digunakan dalam
mengobati penyakit kardiovaskular pada pasien yang tidak menjalani operasi
harus digunakan juga secara perioperatif. Dalam kebanyakan kasus, pilihan agen
anestesi tidak terlalu penting; Di sisi lain, mengetahui bagaimana agen digunakan,
memahami patofisiologi yang mendasarinya, dan memahami bagaimana keduanya
berinteraksi sangat penting.

Pasien dengan penyakit kardiovaskular berat umumnya menjalani operasi


kardiovaskuler dan non – kardiovaskuler. American College of Cardiology
(ACC), bekerja sama dengan American Heart Association (AHA), telah
mengeluarkan banyak panduan yang berkaitan dengan pengelolaan pasien dengan
penyakit jantung, dan banyak dari rekomendasi mereka relevan untuk pasien yang
menjalani prosedur anestesi dan prosedur invasif. Karena pedoman akan berubah
saat ditemukannya bukti baru, ahli anestesi disarankan untuk meninjau situs web
American Heart Association (AHA) untuk indikasi berbasis bukti terkini dalam
penanganan penyakit jantung.

EVALUASI DAN PERSIAPAN KARDIOVASKULER


PERIOPERATIF UNTUK PEMBEDAHAN NON – CARDIAC

Prevalensi penyakit kardiovaskular meningkat secara progresif seiring


bertambahnya usia. Selain itu, jumlah pasien yang berusia di atas 65 tahun
diperkirakan meningkat 25 % sampai dengan 35 % selama dua dekade ke depan.
Komplikasi kardiovaskuler menyumbang 25 % sampai dengan 50 % terhadap
kematian setelah operasi non – cardiac. Miokard infark (MI) perioperatif, edema
paru, gagal jantung sistolik dan diastolik, aritmia, dan tromboembolisme adalah
diagnosis paling umum pada pasien dengan penyakit kardiovaskular yang sudah
ada sebelumnya. Kejadian edema paru kardiogenik pasca operasi adalah sekitar 2
% pada semua pasien yang berusia di atas 40 tahun, namun menjadi sebesar 6 %
pada pasien dengan riwayat gagal jantung dan 16 % pada pasien dengan gagal
jantung dengan kompensasi yang buruk. Prevalensi gangguan kardiovaskular
yang relatif tinggi pada pasien bedah telah menimbulkan upaya untuk mengurangi
risiko penyakit jantung atau kemungkinan komplikasi jantung yang fatal atau
yang dapat menyebabkan kematian akibat operasi atau yang tidak dapat dioperasi.

Tabel 21 – 1. Kondisi jantung aktif dimana pasien harus menjalani evaluasi dan
pengobatan sebelum operasi non – kardiak.

Kondisi Contoh
Sindrom koroner tidak stabil Angina tidak stabil atau angina berat1 (CCS
kelas III atau IV)2
Infark miokard3
Gagal jantung Dekompensata
(Fungsional NYHA kelas IV;
perburukan atau onset awal
gagal jantung)
Aritmia signifikan Blok atrioventikular tingkat berat
Blok atrioventikular mobitz II
Blok atrioventrikular jantung derajat tiga
Aritmia ventrikel simptomatik
Aritmia supraventrikel (termasuk atrial
fibrilasi) dengan) kecepatan ventrikel tidak
terkontrol (Denyut jantung lebih dari 100 kali
per menit saat istirahat)
Bradikardia simptomatik
Ventrikel takikardi yang baru diketahui
Penyakit katup berat Stenosis aorta berat (rata-rata tekanan gradien
lebih dari 40 mm Hg, katup aorta kurang dari
1.0 cm2, atau simptomatik)
Stenosis mitral simptomatik (Sesak napas
progresif saat penggunaan tenaga yang
berlebih atau presinkop exertional atau gagal
jantung)
CCS menunjukkan Canadian Cardiovascular Society; HF, heart failure atau
gagal jantung;HR, heart rate atau denyut jantung; MI, miokard infark atau infark
miokard; NYHA, New York Heart Association.
1
Menurut Campeau L. Letter: Grading of angina pectoris. Circulation. 1976 ; 54 :
522 – 523.
2
Mungkin termasuk angina "stabil" pada pasien yang tidak biasa tidak
beraktivitas
3
Perguruan tinggi Amerika dari Database Perpustakaan Nasional Kardiologi
mendefinisikan MI (Miokard Infark) baru lebih dari 7 hari tetapi kurang dari atau
sama dengan 1 bulan (dalam 30 hari).
Direproduksi, dengan izin dari Fleisher L, Beckman J, Brown K, et al:
ACC/AHA 2007 guidelines on perioperative cardiovascular evaluation and care
for noncardiac surgery. Circulation 2007 ; 116 : 1971 – 1996.

Pada tahun 2007, American College of Cardiology (ACC) / American


Heart Association (AHA) Task Force Report menghasilkan panduan revisi untuk
evaluasi perioperatif. Pedoman yang direvisi menyatakan bahwa riwayat medis
pasien sangat penting dalam menentukan kebutuhan evaluasi jantung pra – operasi
dan kondisi tertentu tersebut (misalnya, sindrom koroner yang tidak stabil dan
gagal jantung dekompensasi) memerlukan intervensi kardiologi sebelum semua
prosedur kecuali pada prosedur darurat (Tabel 21 – 1). Rekam medis juga harus
meninjau prosedur sebelumnya, seperti implan cardioverter defibrillator, stent
koroner, dan intervensi lainnya. Selain itu, kemampuan pasien untuk melakukan
tugas sehari – hari harus dinilai sebagai panduan untuk menentukan kapasitas
fungsional. Seorang pasien dengan riwayat penyakit jantung dan usia lanjut,
namun toleransi olahraga yang baik, kemungkinan akan memiliki risiko
perioperatif yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang sama dengan
dyspnea setelah aktivitas fisik minimal (Tabel 21 – 2).

Tabel 21 – 2. Estimasi energi yang dibutuhkan untuk berbagai macam aktivitas

Dapatkah kamu.... Dapatkah kamu....

1 MET Menjaga dirimu sendiri? 4 METs Naik tangga atau berjalan mendaki
bukit?
Makan, berpakaian, atau
pergi ke kamar mandi? Berjalan di tanah setinggi 4 mph (6,4
kph)?
Berjalan didalam sekitar
rumah? Lari jarak pendek?

Berjalan satu blok atau 2 di Melakukan pekerjaan berat di rumah


tingkat dasar pada 2 sampai 3 seperti menggosok lantai atau
mph (3,2 sampai 4,8 kph)? mengangkat atau memindahkan
perabot berat?
Melakukan pekerjaan ringan
4METs di rumah seperti Berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi
membersihkan atau mencuci moderat seperti golf, bowling,
piring? dancing, tenis ganda, atau melempar
bola bisbol atau sepak bola?

Berpartisipasi dalam olah raga yang


Lebih dari 10 berat seperti berenang, tenis tunggal,
METs sepak bola, bola basket, atau ski?
kph menunjukkan kilometer per hour atau kilometer per jam; MET, metabolic equivalent atau
setara metabolik; dan mph, miles per hour atau mil per jam.
Dimodifikasi dan direproduksi, dengan izin, dari Hlatky MA, Boineau RE, Higginbotham MB, et
al., A brief self-administered questionnaire to determine functional capacity (Duke Activity
Status Index). Am J Cardiol. 1989 ; 64 : 651 – 654.

Riwayat medis pasien juga harus mencari tanda – tanda proses penyakit
lain yang sering menyertai penyakit jantung. Pasien jantung sering hadir dengan
penyakit paru obstruktif, penurunan fungsi ginjal, dan diabetes melitus.

Pemeriksaan fisik harus dilakukan pada semua pasien, dan jantung


maupun paru - paru harus diauskultasi. Pemeriksaan fisik sangat berguna pada
pasien dengan kondisi tertentu. Misalnya, jika terdeteksi murmur yang merupakan
sugestif terhadap adanya stenosis aorta, evaluasi dengan ultrasound tambahan
kemungkinan akan diperlukan, karena stenosis aorta secara substansial akan
meningkatkan risiko pada pasien yang menjalani operasi non – cardiac.

Kondisi berikut dikaitkan dengan adanya peningkatan risiko:

• Penyakit jantung iskemik (riwayat miokard infark [MI], bukti


elektrokardiogram [EKG], nyeri dada)

• Gagal jantung kongestif (dyspnea, edema paru)

• Penyakit vaskular serebral (stroke)

• Operasi berisiko tinggi (vaskular, toraks, abdomen, ortopedi)

• Diabetes mellitus

• Kreatinin pra operasi sebesar > 2 mg / dL

Pedoman American College of Cardiology (ACC) / American Heart


Association (AHA) terkini mengidentifikasi kondisi yang merupakan risiko utama
jantung dan memerlukan penanganan intensif sebelum semua prosedur kecuali
operasi emergensi. Kondisi ini meliputi: sindrom koroner yang tidak stabil
(miokard infark [MI] yang baru – baru terjadi, angina tidak stabil), gagal jantung
dekompensasi, aritmia yang signifikan, dan penyakit jantung katup yang berat.
Pedoman American College of Cardiology (ACC) / American Heart Association
(AHA) mengidentifikasi miokard infark (MI) dalam 7 hari, atau mengidentifikasi
miokard infark (MI) dalam satu bulan dengan miokardium yang berisiko terkena
iskemia, sebagai kondisi jantung "aktif". Di sisi lain, bukti miokard infark (MI) di
masa lalu dengan tanpa miokardium yang diperkirakan tanpa risiko iskemik
dianggap berisiko rendah untuk mengalami infark perioperatif setelah operasi non
– cardiac.

Pedoman American College of Cardiology (ACC) / American Heart


Association (AHA) menyarankan langkah – langkah pendekatan untuk evaluasi
jantung pra – operatif. Rekomendasi mereka diklasifikasikan menjadi sebagai
berikut :

• Kelas I: keuntungan >> risiko

• Kelas IIa: Keuntungan >> risiko, tetapi bukti ilmiah tidak lengkap

• Kelas IIb: Keuntungan  risiko dan bukti ilmiah belum lengkap

• Kelas III: risiko >> keuntungan

Adapun rekomendasi Kelas I adalah sebagai berikut:

• Pasien yang memiliki kebutuhan untuk operasi non – cardiac


emergensi sebaiknya diproses ke dalam ruang operasi dengan
pengamatan perioperatif dan manajemen faktor risiko pasca –
operasi.

• Pasien dengan kondisi jantung aktif sebaiknya dievaluasi oleh ahli


kardiologi dan ditangani berdasarkan pedoman American College
of Cardiology (ACC) / American Heart Association (AHA)
• Pasien yang menjalani prosedur dengan risiko rendah sebaiknya
diproses untuk melakukan operasi

• Pasien dengan toleransi olah raga yang buruk (< 4 metabolic


equivalents [METs]) dan tidak diketahui adanya faktor risiko
sebaiknya dilanjutkan untuk proses operasi.

Sedangkan untuk rekomendasi kelas IIa adalah sebagai berikut :

• Pasien dengan kapasitas fungsional > 4 metabolic equivalenst


(METs) dan tanpa gejala sebaiknya diproses untuk melakukan
operasi

• Pasien dengan kapasitas fungsional < 4 metabolic equivalents


(METs) atau mereka yang dengan kapasitas fungsional yang tidak
diketahui dengan tiga atau lebih faktor risiko klinis dijadwalkan
untuk pembedahan pembuluh darah harus diperiksa, jika
manajemennya nanti sepertinya akan berubah berdasarkan hasil
pemeriksaan tersebut.

• Pasien dengan kapasitas fungsional < 4 metabolic equivalents


(METs) atau mereka yang dengan kapasitas fungsional yang tidak
diketahui dengan tiga atau lebih faktor risiko klinis dijadwalkan
untuk pembedahan risiko menengah sebaiknya dilanjutkan untuk
operasi dengan kontrol denyut jantung.

• Pasien dengan kapasitas fungsional < 4 metabolic equivalents


(METs) atau mereka yang dengan kapasitas fungsional yang tidak
diketahui dengan satu atau dua faktor risiko klinis yang mana
dijadwalkan untuk menjalani pembedahan pembuluh darah atau
pembedahan dengan risiko menengah harus diproses untuk
operasi dengan kontrol denyut jantung.

Pedoman American College of Cardiology (ACC) / American Heart


Association (AHA) juga memperhatikan sebagaimana pada rekomendasi kelas
IIb, bahwa pemeriksaan non – invasive bisa dipertimbangkan jika manajemen
pasien akan berubah pada pasien dengan kapasitas fungsional yang buruk atau
yang tidak diketahui atau pada pasien yang aan menjalani pembedahan dengan
risiko menengah dengan tiga faktor risiko klinis. Begitu juga, pemeriksaan seperti
itu mungkin diindikasikan pada pasien dengan faktor risiko klinis satu atau dua
yang dijadwalkan untuk pembedahan pembuluh darah atau pembedahan dengan
risiko menengah. Tabel 21 – 3 mengklasifikasikan tindakan pembedahan
berdasarkan risikonya.

Tabel 21 – 3. Stratifikasi risiko jantung1 untuk prosedur bedah non – kardiak

Stratifikasi risiko Contoh Prosedur


Vaskular (dilaporkan risiko Operasi aorta dan operasi vaskular mayor lainnya
jantung lebih dari 5%) Operasi vaskular perifer
Menengah (dilaporkan Operasi intraperitoneal dan operasi intrathorak
risiko jantung secara umum Endarterektomi karotis
1% sampai 5%) Operasi kepala dan leher
Operasi ortopedi
Operasi prostat
Kecil (dilaporkan risiko Prosedur endoskopi
jantung secara umum lebih Prosedeur superfisial
kecil dari 1%) Operasi katarak
Operasi payudara
Operasi rawat jalan
1
Kejadian gabungan kematian jantung dan miokard infark nonfatal.
2
Prosedur ini umumnya tidak memerlukan tes jantung pra operasi lebih lanjut
Fleisher L, Beckman J, Brown K, et al: ACC/AHA 2007 guidelines on
perioperative cardiovascular evaluation and care for noncardiac surgery.
Circulation 2007 ; 116 : 1971 – 1996.
Pedoman American College of Cardiology (ACC) / American Heart
Association (AHA) juga memberikan rekomendasi spesifik mengingat kondisi
yang bervariasi yang kemungkinan dapat dijumpai selama perioperatif.

PENYAKIT ARTERI KORONER

Pedoman American College of Cardiology (ACC) / American Heart


Association (AHA) menunjukkan bahwa hanya sekelompok pasien dengan
penyakit arteri koroner atau coronary artery disease (CAD) yang akan
mendapatkan keuntungan dari tindakan revaskularisasi, tanpa melihat kebutuhan
mereka untuk prosedur pembedahan non – emergensi, sepertinya akan mendapat
manfaat dari intervensi koroner pra – operatif. Selanjutnya, indikasi untuk
pemeriksaan dari pasien tersebut sebagai kandidat untuk intervensi koroner
tidaklah berhubungan dengan kehadirannya untuk operasi dan bergantung pada
apakah evaluasi semacam itu akan diindikasikan sebagai bagian dari manejemen
medis secara umum.

HIPERTENSI

Pasien dengan hipertensi sering hadir untuk prosedur bedah elektif.


Beberapa telah bisa dikelola secara efektif, tapi sayangnya, banyak lainnya tidak
dapat dikelola secara efektif. Hipertensi adalah penyebab utama dari kematian dan
kecacatan di sebagian besar masyarakat Barat dan kelainan medis pra – operatif
paling umum pada pasien bedah, dengan prevalensi keseluruhan mencapai 20 %
sampai dengan 25 %. Hipertensi tak terkontrol yang berlangsung lama akan
mempercepat terjadinya aterosklerosis dan kerusakan organ akibat hipertensi.
Hipertensi merupakan faktor risiko utama dari penyakit jantung, serebral, ginjal,
dan pembuluh darah. Komplikasi hipertensi meliputi miokard infark (MI),
gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusif perifer, dan
diseksi aorta. Adanya hipertrofi ventrikel kiri atau left ventricular hypertrophy
(LVH) pada pasien hipertensi mungkin merupakan prediktor penting dari
mortalitas jantung. Namun, tekanan darah sistolik di bawah 180 mmHg, dan
tekanan diastolik di bawah 110 mmHg, belum dikaitkan dengan peningkatan
risiko secara perioperatif. Ketika pasien hadir dengan tekanan darah sistolik yang
lebih besar dari 180 mmHg dan tekanan diastolik lebih besar dari 110 mmHg, ahli
anestesi menghadapi dilema dalam penundaan operasi untuk memungkinkan
pengoptimalan terapi antihipertensi oral, namun hal tersebut menambahkan risiko
penundaan operasi dibandingkan dengan operasi dan pencapaian kontrol tekanan
darah dengan agen intravena aksi cepat.  – blocker yang diberikan secara
intravena dapat bermanfaat untuk mengobati hipertensi pra – operatif. Disamping
itu semua, pasien dengan hipertensi pra – operatif lebih mungkin mengalami
hipotensif intra – operatif dibandingkan dengan pada orang lain. Hal ini terutama
sering terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi dengan penghambat reseptor
angiotensin dan / atau inhibitor enzim pengubah angiotensin atau angiotensin-
converting enzyme (ACE).

Pengukuran tekanan darah dipengaruhi oleh banyak variabel, termasuk


postur tubuh, waktu siang atau malam hari, keadaan emosional, aktivitas terkini,
dan penggunaan obat, serta peralatan dan teknik yang digunakan untuk
pengukuran tekanan darah. Diagnosis hipertensi tidak dapat dilakukan dengan
satu pembacaan pra – operasi, namun memerlukan konfirmasi dengan riwayat
medis berupa adanya hasil pengukuran yang meningkat secara konsisten.
Meskipun kegelisahan atau nyeri pra – operasi dapat menghasilkan beberapa
tingkat hipertensi pada pasien yang normal, pasien dengan riwayat hipertensi
umumnya menunjukkan peningkatan tekanan pra – operatif yang lebih besar.

Tabel 21 – 4. Klasifikasi Tekanan Darah (Dewasa)

Kategori tekanan darah Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg)

Normal <130 <85


Normal tinggi 130-139 85-89

Hipertensi

Tinggat 1/ringan 140-159 90-99

Tingkat 2/sedang 160-179 100-109

Tingkat 3/berat 180-209 110-119

Tingkat 4/sangat berat >210 >120

Studi epidemiologi menunjukkan korelasi secara langsung dan kontinu


antara tekanan darah diastolik dan sistolik terhadap tingkat mortalitas. Definisi
hipertensi sistemik adalah semata – mata: tekanan darah diastolik yang meningkat
secara konsisten lebih besar dari 90 mmHg atau tekanan sistolik yang lebih besar
dari 140 mmHg. Skema klasifikasi umum tercantum dalam Tabel 21 – 4.
Hipertensi borderline dikatakan ada bila tekanan diastolik adalah sebesar 85
mmHg – 89 mmHg atau tekanan sistoliknya sebesar 130 mmHg – 139 mmHg.
Apakah pasien dengan hipertensi borderline menunjukkan adanya beberapa
peningkatan risiko komplikasi pada kardiovaskular masih belum jelas. Hipertensi
yang dipercepat atau parah (stadium 3), didefinisikan sebagai peningkatan tekanan
darah baru – baru ini, berkelanjutan, dan progresif, biasanya dengan tekanan darah
diastolik yang melebihi 110 – 119 mmHg. Disfungsi ginjal sering terjadi pada
pasien tersebut. Hipertensi maligna adalah keadaan darurat medis sejati yang
ditandai dengan hipertensi berat (> 210 / 120 mmHg) yang sering dikaitkan
dengan edema papil retina dan ensefalopati.

Patofsisiologi
Hipertensi dapat bersifat idiopatik (esensial), atau, pada kondisi
yang lebih jarang, sekunder akibat kondisi medis lainnya seperti penyakit
ginjal, stenosis arteri ginjal, hiperaldosteronisme primer, penyakit
Cushing, akromegali, pheochromocytoma, kehamilan, atau terapi estrogen.
Hipertensi esensial menyumbang 80 % sampai dengan 95 % kasus dan
mungkin terkait dengan peningkatan curah jantung yang tidak normal,
peningkatan resistensi vaskular sistemik atau systemic vascular resistance
(SVR), maupun keduanya. Pola yang berkembang biasanya terlihat selama
perjalanan penyakit, di mana curah jantung kembali menjadi (atau tetap)
normal, namun systemic vascular resistance (SVR) akan menjadi sangat
tinggi. Peningkatan kronik dari afterload jantung menghasilkan left
ventricular hypertrophy (LVH) konsentris dan fungsi diastolik yang
berubah. Hipertensi juga mengubah autoregulasi serebral, sehingga aliran
darah serebral normal dipertahankan pada tekanan darah yang tinggi;
Batas autoregulasi mungkin berada dalam kisaran tekanan darah rata – rata
110 mmHg – 180 mmHg.

Mekanisme yang bertanggung jawab atas perubahan yang diamati


pada pasien hipertensi tampaknya melibatkan hipertrofi vaskular,
hiperinsulinemia, peningkatan abnormal kalsium intraselular, dan
peningkatan konsentrasi natrium intraselular pada otot polos pembuluh
darah dan sel tubulus ginjal. Peningkatan kalsium intraselular diperkirakan
menghasilkan peningkatan tonus pembuluh darah arteriolar, sedangkan
peningkatan konsentrasi natrium mengganggu ekskresi dari natrium pada
ginjal. Sistem saraf simpatis yang over – aktif dan respons yang meningkat
terhadap agonis simpatis hadir pada beberapa pasien. Pasien hipertensi
terkadang menunjukkan respons yang berlebihan terhadap vasopressor dan
vasodilator. Overaktivitas sistem rennin – angiotensin – aldosteron
tampaknya memainkan peran penting pada pasien dengan hipertensi yang
dipercepat.
Pengobatan Jangka Panjang

Terapi obat yang efektif mengurangi perkembangan dari hipertensi


dan menurukan insidensi dari stroke, gagal jantung kongestif, coronary
artery disease (CAD), dan kerusakan ginjal. Pengobatan yang efektif juga
dapat menunda dan terkadang membalikkan perubahan patofisiologis
secara bersamaan, seperti left ventricular hypertrophy (LVH) dan
perubahan pada autoregulasi serebral.

Beberapa pasien dengan hipertensi ringan hanya memerlukan


terapi obat tunggal, yang dapat terdiri dari diiretik thiazide, inhibitor
angiotensin-converting enzyme (ACE), penghambat reseptor angiotensin
atau angiotensin – receptor blocker (ARB), penghambat reseptor β –
adrenergic, atau penghambat saluran kalsium, walaupun panduan dan hasil
penelitian hasil lebih menyukai tiga pilihan yang pertama. Penyakit
konkomitan harus menjadi dasar dalam pemilihan obat. Semua pasien
dengan miokard infrak (MI) sebelumnya harus menerima penghambat β –
adrenergic dan inhibitor angiotensin-converting enzyme (ACE) (atau
angiotensin – receptor blocker (ARB)) untuk memperbaiki hasil, terlepas
dari ada tidaknya hipertensi. Pada banyak pasien, agen "yang ditentukan
oleh pedoman" juga akan lebih dari cukup untuk mengendalikan
hipertensi.

Pasien dengan hipertensi sedang sampai berat seringkali


memerlukan kombinasi dua atau tiga obat untuk mengkontrol
hipertensinya. Kombinasi diuretik dengan penghambat β – adrenergic dan
inhibitor angiotensin-converting enzyme (ACE) seringkali efektif bila
terapi obat tunggal tidak. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
inhibitor angiotensin-converting enzyme (ACE) (atau angiotensin –
receptor blocker (ARB)) memperpanjang kelangsungan hidup pada pasien
dengan gagal jantung kongestif, disfungsi ventrikel kiri, atau miokard
infark (MI) sebelumnya. Keterbiasaan dengan nama, mekanisme tindakan,
dan efek samping dari agen antihipertensi yang umum digunakan
merupakan hal yang penting bagi ahli anestesi (Tabel 21 – 5).

MANAJEMEN PRA – OPERATIF

Pertanyaan yang sering muncul dalam praktik anestesi adalah tingkat


hipertensi pra – operasi yang dapat diterima pada pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif. Kecuali untuk pasien yang diawasi secara optimal, kebanyakan
pasien hipertensi hadir ke ruang operasi dengan tingkat hipertensi tertentu.
Meskipun data menunjukkan bahwa bahkan hipertensi pra – operatif sedang
(tekanan diastolik < 90 – 110 mmHg) tidak secara jelas dikaitkan secara statistik
dengan komplikasi pasca operasi, data lain menunjukkan bahwa pasien hipertensi
yang tidak diobati atau yang tidak terkontrol lebih cenderung mengalami episode
iskemia miokard, aritmia , atau hipertensi dan hipotensi intra – operatif.
Penyesuaian intra – operatif pada kedalaman anestesi dan penggunaan obat
vasoaktif harus mengurangi kejadian komplikasi pasca operasi yang mengacu
pada kontrol hipertensi pra – operasi yang buruk.

Meskipun pasien idealnya menjalani operasi elektif hanya jika dalam


kondisi normotensi, hal ini tidak selalu layak atau pasti diinginkan karena adanya
perubahan pada autoregulasi serebral. Penurunan tekanan darah yang berlebihan
dapat mengganggu perfusi serebral. Selain itu, keputusan untuk menunda atau
melanjutkan operasi harus dilakukan secara individual, berdasarkan tingkat
keparahan peningkatan tekanan darah pra – operasi; kemungkinan iskemia
miokard, disfungsi ventrikel, atau komplikasi serebrovaskular atau ginjal yang
terjadi secara bersamaan; dan prosedur pembedahan (apakah perubahan besar
yang diinduksi oleh pembedahan pada preload atau afterload jantung telah
diantisipasi). Dengan pengecualian yang langka, terapi obat antihipertensi harus
dilanjutkan hingga saat operasi. Beberapa klinisi menahan pemberian inhibitor
angiotensin-converting enzyme (ACE) dan angiotensin – receptor blocker (ARB)
pada pagi hari operasi karena hubungannya dengan peningkatan kejadian
hipotensi intraoperatif; Namun, menahan agen ini akan meningkatkan risiko
hipertensi perioperatif yang signifikan dan meningkatkan kebutuhan agen
antihipertensi parenteral. Hal ini juga mengharuskan tim bedah untuk mengingat
dalam memulai kembali pengobatan setelah operasi. Keputusan untuk menunda
prosedur bedah elektif pada pasien dengan tekanan darah diastolik pra – operatif
yang tetap dalam kondisi lebih tinggi dari 110 mmHg harus dilakukan bila
manfaat yang dirasakan dari operasi yang tertunda melebihi risikonya. Sayangnya,
baru ada sedikit penelitian yang layak dalam memandu pengambilan keputusan.

Tabel 21 – 5. Agen antihipertensi oral

Kategori Kelas Subkelas Agen


Diuretik Thiazide Chlorothiazide (Diuril)
Chlorthalidone (Thalitone)
Hydrochlorothiazide
(Microzide)
Indapamide (Lozol)
Metolazone (Zaroxolyn)
Hemat Kalium Spironolactone
(Aldactone)
Triamterene (Dyrenium)
Amiloride (Midamor)
Loop Bumetanide (Bumex)
Ethacrynic acid (Edecrin)
Furosemide (Lasix)
Torasemide (Demadex)
Simpatolitik Pemblokade B Acebutolol (Sectral)
reseptor Atenolol (Tenormin)
adrenergik Betaxolol (Kerlone)
Bisoprolol (Zebeta)
Carteolol (Cartrol)
Metoprolol (Lopressor)
Nadolol (Corgard)
Penbutolol (Levatol)
Pindolol (Visken)
Propranolol (Inderal)
Timolol (Blocadren)
A α1
Doxazosin (Cardura)
Prazosin (Minipress)
Terazosin (Hytrin)
α 1 +α 2
Phenoxybenzamine
(Dibenzyline)
α and β Labetalol (Trandate)
Carvedilol (Coreg)
Agonis α2 sentral Clonidine (Catapres)
Guanabenz (Wytensin)
Guanfacine (Tenex)
Methyldopa (Aldomet)
Vasodilator Pemblokade Benzothiazepine Diltiazem1 (Tiazac)
kanal kalsium Phenylalkylalamines Verapamil1 (Calan SR)
Dihydropyridines Amlodipine (Norvasc)
Felodipine (Plendil)
Isradipine1 (Dynacirc)
Nicardipine1 (Cardene)
Nifedipine1 (Procardia XL)
Nisoldipine (Sular)
Inhibitor ACE2 Benazepril (Lotensin)
Captopril (Capoten)
Enalapril (Vasotec)
Fosinopril (Monopril)
Lisinopril (Zestril)
Moexipril (Univasc)
Perindopril (Aceon)
Quinapril (Accupril)
Ramipril (Altace)
Trandopril (Mavik)
Antagonis reseptor Candesartan (Atacand)
angiotensin Eprosartan (Tevetan)
Irbesartan (Avapro)
Losartan (Cozaar)
Olmesartan (Benicar)
Telmisartan (Micardis)
Valsartan (Diovan)
Vasodilator Hydralazine (Apresoline)
langsung Minoxidil

Anamnesis

Anamnesis pra – operasi harus menanyakan tingkat keparahan dan


lamanya hipertensi, terapi obat yang saat ini diresepkan, dan ada tidaknya
komplikasi hipertensi. Gejala iskemia miokard, kegagalan ventrikel,
perfusi serebral yang terganggu, atau penyakit vaskular perifer harus
diperoleh, begitu juga riwayat medis pasien tentang kepatuhan terhadap
regimen obat yang telah diberikan. Pasien harus ditanyai mengenai nyeri
dada, toleransi olahraga, sesak napas (terutama pada malam hari), edema
dependen, sakit kepala postural, sinkop, gangguan visual episodik atau
gejala neurologis episodik, dan klaudikasio. Efek samping dari terapi obat
antihipertensi yang diberikan saat ini (Tabel 21 – 6) juga harus
diidentifikasi.

Tabel 21 – 6. Efek samping terapi antihipertensi jangka panjang.

Kelas Efek Samping


Diuretik
Thiazide Hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemia, hiperurisemia,
hipomagnesemia,
hiperlipidemia, hiperkalsemia
Loop Hipokalemia, hiperglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesemia, alkalosis metabolik
Hemat kalium Hiperkalemia
Simpatolitik
Pemblokade β Bradikardia, blokade konduksi, depresi miokard, nada
adrenergik bronkial meninggi,sedasi, kelelahan, depresi
Hipertensi postural, takikardia, retensi cairan
Pemblokade α Hipotensi postural, sedasi, mulut kering, depresi, penurunan
adrenergik kebutuhan anestesi,
Agonis α2 sentral bradikardia, hipertensi rebound, tes Coombs positif dan
anemia hemolitik
(methyldopa), hepatitis (metildopa)
Hipotensi postural, diare, retensi cairan, depresi (reserpin)

Blok ganglionik
Vasodilator
Pemblokade kanal Depresi jantung, bradikardia, blokade konduksi (verapamil,
kalsium diltiazem), edema perifer (nifedipine), takikardia (nifedipin),
peningkatan blokade nondepolarisasi neuromuskular
Depresi jantung, bradikardia, blokade konduksi (verapamil,
Inhibitor ACE1 diltiazem), edema perifer (nifedipine), takikardia (nifedipin),
peningkatan blokade nondepolarisasi neuromuskular
(Kesalahan teks asli)
Hipotensi, gagal ginjal pada stenosis arteri ginjal bilateral,
Antagonis reseptor hiperkalemia
angiotensin Refleks takikardia, retensi cairan, sakit kepala, sindroma
Vasodilatasi langsung lupus eritematosus sistemik (hydralazine), efusi pleura atau
perikardial (minoxidil)
1
ACE, angiotensin-converting enzim atau enzim pengubah angiotensin

Pemeriksaan Fisik dan Evaluasi Laboratorium

Ophthalmoscopy berguna pada pasien hipertensi. Perubahan yang


terlihat pada pembuluh darah retina biasanya paralel terhadap tingkat
keparahan dan perkembangan dari arteriosklerosis dan kerusakan
hipertensi pada organ lain. Bunyi jantung Gallop S 4 umum terjadi pada
pasien dengan left ventricular hypertrophy (LVH). Temuan fisik lainnya,
seperti pulmonary rales dan S 3 cardiac gallop, adalah temuan akhir dan
menunjukkan adanya gagal jantung kongestif. Tekanan darah bisa diukur
baik dalam posisi telentang dan posisi berdiri. Perubahan ortostatik dapat
terjadi karena deplesi dari volume darah, vasodilatasi berlebihan, atau
terapi obat sympatholytic; Pemberian cairan pra – operasi dapat mencegah
hipotensi berat setelah induksi anestesi pada pasien dengan hipertensi.
Meskipun bruit karotis asimtomatik biasanya secara hemodinamik
hemodinamik tidak signifikan, bruit karotis asimptomatik mungkin
mencerminkan adanya penyakit vaskular aterosklerotik yang dapat
mempengaruhi sirkulasi koroner. Ketika sebuah bruit telah terdeteksi,
pemeriksaan lebih lanjut harus dipandu berdasarkan dari tingkat urgensi
operasi yang dijadwalkan dan kemungkinan untuk penyelidikan lebih
lanjut, jika diagnostik, akan menghasilkan perubahan pada terapi.
Pemeriksaan dengan doppler pada arteri karotid dapat digunakan untuk
menentukan tingkat penyakit karotis.

Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) seringkali didapatkan


hasil yang normal, namun pada pasien dengan riwayat hipertensi yang
panjang, mungkin menunjukkan bukti adanya iskemia, kelainan konduksi,
infark lama, atau left ventricular hypertrophy (LVH) atau strain.
elektrokardiografi (EKG) yang normal tidak mengecualikan adanya
coronary artery disease (CAD) atau left ventricular hypertrophy (LVH).
Demikian pula, ukuran jantung normal pada radiografi dada tidak
mengecualikan adanya hipertrofi ventrikel. Echocardiography adalah tes
yang sensitive terhadap adanya left ventricular hypertrophy (LVH) dan
dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi sistolik dan diastolik ventrikel
pada pasien dengan gejala gagal jantung. Radiografi dada jarang berguna
pada pasien tanpa gejala, namun mungkin menunjukkan adanya jantung
bootshaped (sugestif akan left ventricular hypertrophy (LVH)),
kardiomegali yang jelas, atau kongesti pada pembuluh darah pulmoner.

Fungsi ginjal paling baik dievaluasi dengan pengukuran serum


kreatinin dan kadar nitrogen urea darah. Tingkat elektrolit serum (K) harus
ditentukan pada pasien yang memakai diuretik atau digoksin atau orang –
orang dengan gangguan ginjal. Hipokalemia ringan sampai sedang (3 – 3.5
mEq / L) seringkali terlihat pada pasien yang menggunakan terapi diuretik,
namun tidak memiliki efek samping yang merugikan. Penggantian kalium
harus dilakukan hanya pada pasien yang menunjukkan gejala atau yang
juga mengkonsumsi digoksin. Hipomagnesemia sering terjadi dan
mungkin merupakan penyebab dari timbulnya aritmia perioperatif.
Hiperkalemia dapat ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi
diuretikhemat kalium atau inhibitor angiotensin-converting enzyme (ACE),
terutama pada pasien yang memiliki fungsi ginjal yang terganggu.

Pramedikasi

Premedikasi dapat mengurangi kecemasan pra – operasi dan


diharapkan pada pasien dengan hipertensi. Hipertensi pra – operatif ringan
sampai sedang seringkali menghilang setelah pemberian agen pramedikasi
seperti midazolam.

MANAJEMEN INTRA – OPERATIF

Tujuan

Rencana anestesi secara keseluruhan untuk pasien dengan


hipertensi adalah mempertahankan tekanan darah agar tetap stabil pada
kisaran yang sesuai. Pasien dengan hipertensi borderline dapat diobati
sebagai pasien normotensi. Mereka yang memiliki hipertensi yang sudah
lama atau kurang terkontrol, telah mengalami perubahan pada autoregulasi
aliran darah serebral; Tekanan darah rata-rata lebih tinggi dari biasanya
mungkin diperlukan untuk mempertahankan aliran darah serebral yang
adekuat. Karena kebanyakan pasien dengan hipertensi lama diasumsikan
memiliki beberapa komponen coronary artery disease (CAD) dan
hipertrofi jantung, peningkatan tekanan darah secara berlebihan yang tidak
diinginkan. Hipertensi, terutama yang berhubungan dengan kondisi
takikardia, dapat memicu atau memperparah iskemia miokard, disfungsi
ventrikel, atau keduanya. Tekanan darah arterial umumnya harus
dipertahankan dalam kisaran 20 % dari tingkat pra – operasi. Jika
hipertensi yang signifikan (> 180 / 120 mmHg) muncul sebelum operasi,
tekanan darah arteri harus dipertahankan pada kisaran normal – tinggi (150
– 140 / 90 – 80 mmHg).

Monitoring

Sebagian besar pasien hipertensi tidak memerlukan pemantauan


intraoperatif khusus. Pemantauan tekanan intraarterial langsung harus
disediakan untuk pasien dengan tekanan darah yang berubah – ubah dalam
rentang yang luas yang menjalani prosedur bedah mayor yang
berhubungan dengan perubahan preload atau afterload secara cepat atau
bermakna. Pemantauan elektrokardiografi harus fokus pada mendeteksi
adanya tanda – tanda iskemia. Keluaran urin umumnya harus dipantau
dengan kateter urin yang telah terpasang terutama pada pasien dengan
gangguan ginjal yang sudah ada sebelumnya yang menjalani prosedur
yang diperkirakan akan berlangsung selama lebih dari 2 jam. Bila
pemantauan hemodinamik invasif digunakan, penurunan kepatuhan
ventrikel (lihat Bab 20) sering terlihat pada pasien dengan hipertrofi
ventrikel; Pasien ini mungkin memerlukan cairan intravena lebih banyak
untuk menghasilkan tekanan pengisian yang lebih tinggi untuk
mempertahankan volume diastolik ventrikel kiri dan curah jantung yang
cukup. Pemberian sejumlah volume cairan pada pasien dengan kepatuhan
ventrikel yang menurun juga dapat menyebabkan tekanan arteri pulmonal
yang meningkat dan kongesti pulmoner.

Induksi
Induksi anestesi dan intubasi endotrakeal sering dikaitkan dengan
adanya ketidakstabilan hemodinamik pada pasien dengan hipertensi.
Terlepas dari tingkat kontrol tekanan darah pra – operasi, banyak pasien
dengan hipertensi menunjukkan respons hipotensi yang menonjol pada
proses induksi anestesi, diikuti dengan respons hipertensi yang berlebihan
terhadap tindakan intubasi. Banyak, atau bahkan hampir semua, agen
antihipertensi dan anestesi umum adalah vasodilator, depresan jantung,
atau keduanya. Selain itu, banyak pasien hipertensi hadir untuk operasi
dalam keadaan volume darah yang telah terdeplesi. Agen simpatolitik
mengurangi refleks peredaran pelindung normal, mengurangi tonus
simpatik dan meningkatkan aktivitas vagal.

Sampai dengan 25 % dari pasien dengan hipertensi dapat


menunjukkan hipertensi berat setelah intubasi endotrakeal. Laringoskopi
yang berkepanjangan harus dihindari. Selain itu, intubasi umumnya
dilakukan dengan anestesi yang dalam (hipotensi yang diberikan dapat
dihindari). Salah satu dari beberapa teknik yang dapat digunakan sebelum
intubasi untuk mengurangi respons hipertensi yaitu antara lain:

• Memperdalam anestesi dengan menggunakan agen volatile


yang potensial

• Pemberian bolus opioid (fentanil, 2.5 – 5 mcg / kg; alfentanil,


15 – 25 mcg / kg; sufentanil, 0.5 – 1.0 mcg / kg; atau
remifentanil, 0.5 – 1.0 mcg / kg).

• Pemberian lidokain, 1.5 mg / kg secara intravena,


intratracheal, atau secara topikal pada saluran napas

• Mencapai blokade dari reseptor β – adrenergic dengan


pemberian esmolol, 0.3 – 1.5 mg / kg; metoprolol 1 – 5 mg;
atau labetalol, 5 – 20 mg.
Pilihan Agen – Agen Anestesi

A. Agen – Agen Induksi

Superioritas dari salah satu agen atau teknik dibandingkan


dengan yang lain belum bisa ditentukan. Propofol, barbiturat,
benzodiazepin, dan etomidate sama – sama aman untuk
menginduksi anestesi umum pada kebanyakan pasien dengan
hipertensi. Ketamin jika diberikan secara tunggal dapat memicu
hipertensi yang cukup bermakna; Namun, ketamin hampir tidak
pernah digunakan sebagai agen tunggal. Bila diberikan dengan
dosis kecil dari agen – agen lainnya, seperti benzodiazepin atau
propofol, sifat stimulasi terhadap simpatis dari ketamin bisa
menjadi tumpul atau dihilangkan.

B. Agen – Agen Rumatan

Anestesi dapat dengan aman dilanjutkan dengan


menggunakan agen volatil (secara tunggal atau kombinasi dengan
nitrous oxide), teknik seimbang (opioid + nitrous oxide + muscle
relaxant), atau teknik intravena total. Terlepas dari teknik rumatan
yang utama, penambahan agen volatil atau vasodilator intravena
umumnya memungkinkan dalam pengendalian tekanan darah
intraoperatif yang nyaman.

C. Relaksan Otot

Dengan kemungkinan pengecualian pada dosis bolus besar


dari pancuronium, semua relaksan otot dapat digunakan. Blokade
vagal dan pelepasan katekolamin neuronal yang diinduksi oleh
pemberian pancuronium dapat memperburuk kondisi hipertensi
pada pasien yang tidak terkontrol dengan baik, namun jika
diberikan secara perlahan, dan bertahap, pancuronium sepertinya
tidak akan menyebabkan peningkatan denyut jantung atau tekanan
darah yang bermakna secara medis. Selain itu, pancuronium dapat
berguna untuk menghilangkan tonus vagal yang berlebihan yang
disebabkan oleh opioid atau manipulasi bedah. Hipotensi akibat
pemberian atracurium dosis besar (intubasi) dapat berkurang pada
pasien dengan hipertensi.

D. Vasopressor

Pasien dengan hipertensi dapat menunjukkan respons yang


berlebihan terhadap katekolamin endogen (dari intubasi atau
stimulasi bedah) dan terhadap agonis simpatis yang diberikan
secara eksogen. Jika diperlukan vasopressor untuk mengobati
hipotensi yang berlebihan, dosis kecil dari agen yang beraksi
secara langsung, seperti fenilfatem (25 – 50 mcg), mungkin
berguna. Pasien yang menggunakan agen sympatholytics sebelum
operasi mungkin menunjukkan penurunan respons terhadap
efedrin. Vasopressin yang diberikan sebagai bolus atau infus juga
dapat digunakan untuk mengembalikan tonus vaskular pada pasien
hipotensi.

Hipertensi Intra – Operatif

Hipertensi intra – operatif yang tidak merespons terhadap


peningkatan kedalaman anestesi (terutama dengan agen volatil) dapat
diobati dengan berbagai agen parenteral (Tabel 21 – 7). Penyebab –
penyebab yang dengan mudah reversibel – seperti kedalaman anestetik
yang tidak adekuat, hipoksemia, atau hypercapnia – harus selalu
disingkirkan sebelum memulai terapi antihipertensi. Pemilihan agen
hipotensi tergantung pada tingkat keparahan, ke – akutan , dan penyebab
dari hipertensi; fungsi ventrikel dasar; denyut jantung; ada tidaknya
penyakit paru bronkospastik; dan keterbiasaan ahli anestesi dengan masing
– masing pilihan obat. Blokade reseptor β – Adrenergik secara tunggal
atau sebagai suplemen adalah pilihan yang tepat untuk pasien dengan
fungsi ventrikel yang baik dan denyut jantung yang tinggi, namun secara
relatif dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.
Metoprolol, esmolol, atau labetolol dengan mudah digunakan secara intra
– operatif. Nicardipine atau clevidipine mungkin lebih baik dibandingakan
dengan β – blocker untuk pasien dengan penyakit bronkospastik.
Nitroprusside tetap menjadi agen yang paling cepat dan efektif untuk
pengobatan hipertensi intraoperatif derajat sedang sampai berat.
Nitrogliserin mungkin kurang efektif, tapi juga berguna dalam mengobati
atau mencegah terjadinya iskemia miokard. Fenoldopam, yaitu agen
agonis dopamin, juga merupakan agen hipotensi yang berguna; Selain itu,
fenoldopam juga meningkatkan aliran darah ginjal. Hydralazine
memberikan kontrol tekanan darah secara berkelanjutan, tetapi juga
memiliki onset yang lambat dan dapat menyebabkan refleks takikardia.
Refek takikardia tidak terlihat dengan pemberian labetalol karena adanya
gabungan blokade reseptor α – adrenergic dan β – adrenergic.

Tabel 21 – 7. Agen parenteral untuk terapi akut hipertensi

Agen Kisaran dosis Onset Durasi

Nitroprusside 0.5-10 mcg/kg/menit 30-60 1-5 menit

Nitroglycerin 0.5-10 mcg/kg/menit 1 menit 3-5 menit

Esmolol 0.5 mg/kg selama 1 menit; 1 menit 12-20 menit


50-300 mcg/kg/menit

Labetalol 5-20 mg 1-2 menit 4-8 jam


Metoprolol 2.5-5 mg 1-5 menit 5-8 jam

Hydralazine 5-20 mg 5-20menit 4-8 jam

Clevidipine 1-32 mg/jam 1-3 menit 5-15 menit

Nicardipine 0.25-0.5 mg 1-5menit 3-4 jam

5-15 mg/jam

Enalaprilat 0.625-1.25 mg 6-15 menit 4-6 jam

Fenoldopam 0.1-1.6 mg/kg/menit 5 menit 5 menit

MANAJEMEN PASCA OPERASI

Hipertensi pasca operasi umum terjadi dan harus diantisipasi pada pasien
yang memiliki hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik. Pemantauan tekanan
darah secara ketat harus dilanjutkan di ruang pemulihan dan masa awal pasca
operasi. Selain iskemia miokard dan gagal jantung kongestif, peningkatan yang
bermakna dari tekanan darah secara berkelanjutan dapat berkontribusi pada
pembentukan hematoma pada luka dan gangguan vaskularisasi pada luka jahitan.

Hipertensi selama masa pemulihan seringkali berupa multifaktorial dan


risikonye meningkat dengan adanya kelainan pernafasan, kecemasan dan nyeri,
kelebihan volume, atau distensi kandung kemih. Penyebab yang berkontribusi
harus diperbaiki dan agen antihipertensi parenteral diberikan jika perlu. Labetalol
intravena sangat berguna dalam mengendalikan hipertensi dan takikardia,
sedangkan vasodilator berguna untuk mengendalikan tekanan darah dalam kondisi
adanya denyut jantung yang lambat. Bila pasien melanjutkan asupan oral, obat pra
– operasi harus dimulai ulang.
PENYAKIT JANTUNG ISKEMIK

Pertimbangan Pre – Operatif

Iskemia miokard ditandai dengan adanya kebutuhan oksigen


metabolik yang melebihi suplai oksigen. Oleh karena itu, iskemia
diakibatkan oleh peningkatan permintaan metabolik miokard yang
bermakna, pengurangan pemberian oksigen miokard, atau kombinasi
keduanya. Penyebab umum meliputi vasospasme arteri koroner atau
trombosis; hipertensi atau takikardia berat (terutama dengan adanya
hipertrofi ventrikel); hipotensi, hipoksemia, atau anemia yang parah; dan
stenosis aorta atau regurgitasi yang berat.

Sejauh ini, penyebab paling umum iskemia miokard adalah adanya


aterosklerosis pada arteri koroner. Coronary artery disease (CAD)
bertanggung jawab atas sekitar 25 % dari semua kematian di masyarakat
Barat dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
perioperatif. Kejadian keseluruhan coronary artery disease (CAD) pada
pasien bedah diperkirakan antara 5 % sampai dengan 10 %. Faktor risiko
utama untuk coronary artery disease (CAD) yaitu melibatkan
hiperlipidemia, hipertensi, diabetes, merokok, bertambahnya usia, jenis
kelamin laki – laki, dan riwayat keluarga yang positif. Faktor risiko
lainnya termasuk obesitas, riwayat penyakit serebrovaskular atau
pembuluh darah perifer, menopause, penggunaan kontrasepsi oral tinggi
estrogen (pada wanita yang merokok), dan gaya hidup yang tidak sehat.

Coronary artery disease (CAD) dapat dimanifestasikan secara


klinis dengan adanya gejala nekrosis miokard (infark), iskemia (biasanya
berupa angina), aritmia (termasuk kematian mendadak), atau disfungsi
ventrikel (gagal jantung kongestif). Bila gejala gagal jantung kongestif
mendominasi, istilah "kardiomiopati iskemik" lebih sering digunakan.
Angina Tak Stabil

Angina tidak stabil didefinisikan sebagai (1) peningkatan


keparahan, frekuensi (lebih dari tiga episode per hari), atau durasi
serangan angina (crescendo angina): (2) angina saat istirahat; atau (3)
onset angina yang baru (dalam 2 bulan terakhir) dengan episode yang
parah atau sering (lebih dari tiga per hari). Angina tidak stabil dapat terjadi
setelah miokard infark (MI) atau terjadi akibat dari kondisi medis non –
cardiac yang berlangsung lama (termasuk anemia berat, demam, infeksi,
tirotoksikosis, hipoksemia, dan tekanan emosional) pada pasien yang
sebelumnya stabil.

Angina tidak stabil, terutama bila dikaitkan dengan perubahan


segmen ST yang signifikan saat istirahat, biasanya mencerminkan penyakit
koroner yang parah dan sering mendahului miokard infark (MI). Disrupsi
dari plak dengan agregat trombosit atau trombi dan vasospasme seringkali
berhubungan secara patologis. Stenosis berat pada satu atau lebih arteri
koroner mayor hadir di lebih dari 80 % pasien dengan gejala – gerjala
tersebut. Pasien dengan angina tidak stabil memerlukan evaluasi dan
pengobatan, yang mungkin melibatkan perawatan di unit perawatan
koroner dan beberapa bentuk intervensi koroner.

Angina Stabil Kronis

Nyeri dada angina paling sering bersifat substernal, berlebihan,


menyebar kearah leher atau lengan, dan berkurang karena istirahat atau
pemberian nitrogliserin. Variasi yang umum terjadi, termasuk nyeri
epigastrium, punggung, atau leher, atau pemendekkan dari nafas secara
sementara akibat dari disfungsi ventrikel (setara angina). Iskemik yang
tidak berlebihan dan iskemia silent (asimtomatik) diketahui sebagai
kejadian iskemia yang cukup umum. Penderita diabetes memiliki
peningkatan kejadian silent ischemia.
Gejala umumnya tidak ada sampai lesi aterosklerotik menyebabkan
oklusi pada pembuluh darah koroner sebesar 50 % sampai dengan 75 %.
Ketika segmen stenosis mencapai oklusi 70 %, dilatasi kompensasi
maksimum biasanya muncul secara distal: aliran darah pada umumnya
cukup saat istirahat, namun tidak memadai dengan meningkatnya
kebutuhan metabolik. Suplai darah kolateral yang ekstensif
memungkinkan beberapa pasien tetap asimtomatik meski memiliki
penyakit yang parah. Vasospasme pada pembuluh darah koroner juga
merupakan penyebab iskemia transmural secara sementara pada beberapa
pasien; 90 % dari episode vasospastik terjadi pada lesi stenotik yang sudah
ada sebelumnya di pembuluh epikardial dan sering dipresipitasi oleh
berbagai faktor, termasuk gangguan emosional dan hiperventilasi (angina
Prinzmetal). Spasme pembuluh darah koroner paling sering diamati pada
pasien yang memiliki angina dengan tingkat aktivitas atau tekanan
emosional bervariasi (variable – threshold); Spasme pembuluh darah
koroner paling tidak umum terjadi pada angina exertional klasik (fixed –
threshold).

Prognosis secara keseluruhan dari pasien dengan coronary artery


disease (CAD) berhubungan dengan jumlah dan tingkat keparahan dari
obstruksi pada pembuluh darah koroner, serta sejauh mana konsisi dari
disfungsi ventrikel.

Terapi Penyakit Jantung Iskemik

Pendekatan umum dalam penanganan pasien dengan penyakit


jantung iskemik adalah lima komponen utama yaitu:

• Koreksi faktor risiko, dengan harapan memperlambat


perkembangan penyakit.
• Modifikasi gaya hidup pasien untuk mengurangi stres dan
untuk meningkatkan toleransi latihan.

• Koreksi kondisi medis yang menyulitkan yang dapat


memperparah iskemia (yaitu, hipertensi, anemia, hipoksemia,
hipertiroidisme, demam, infeksi, atau efek obat yang
merugikan).

• Manipulasi farmakologis dari hubungan permintaan –


pasokan oksigen miokard.

• Koreksi lesi koroner dengan intervensi koroner secara


perkutan (angioplasty [dengan atau tanpa stenting] atau
atherektomi) atau operasi bypass arteri koroner.

Tiga pendekatan yang terakhir yaitu koreksi kondisi medis,


manipulasi farmakologis pada hubungan permintaan – pasokan oksigen
miokard dan koreksi lesi koroner dengan intervensi koroner secara
perkutan berhubungan langsung dengan ahli anestesi. Prinsip yang sama
harus diterapkan dalam perawatan pasien ini di ruang operasi dan di unit
perawatan intensif.

Agen farmakologis yang paling umum digunakan adalah nitrat, β –


blocker, dan penghambat saluran kalsium. Agen – agen tersebut juga
memiliki efek sirkulasi yang potensial yang saling dibandingkan pada
Tabel 21 – 8. Yang manapun dari agen – agen ini bisa digunakan untuk
angina ringan. Penghambat saluran kalsium adalah obat pilihan untuk
pasien yang didominasi angina vasospastik. Penghambat reseptor β –
adrenergic memperbaiki hasil jangka panjang dari pasien dengan coronary
artery disease (CAD). Nitrat adalah agen yang baik untuk kedua jenis
angina.
Tabel 21 – 8. Perbandingan agen-agen antiangina1

Pemblokade kanal kalsium


Nifedipine
Nicardipine
Parameter Jantung Nitrat Verapamil Nimodipine Diltiazem β bloker
Preload     /
Afterload     /
Kontraktilitas     
Otomatisasi SA node /  /  
Konduksi AV     
Vasodilatasi
koroner     /
sistemik     /
1
SA,sinoatrial; AV,atrioventrikular;, meningkat,, tidak ada perubahan, , menurun

A. Nitrat

Nitrat merelaksasikan semua otot polos pembuluh darah,


namun memiliki efek yang jauh lebih besar pada pembuluh darah
vena dibandingkan dengan pembuluh darah arteri. Mengurangi
tonus vena dan arteriolar dan mengurangi volume darah sirkulasi
yang efektif (preload jantung) dalam mengurangi ketegangan
dinding afterload. Efek ini cenderung mengurangi kebutuhan
oksigen miokard. Venodilatasi yang menonjol membuat nitrat
menjadi agen yang hebat saat gagal jantung kongestif juga
menyertai.

Mungkin efek yang sama pentingnya, yaitu bahwa nitrat


juga memvasodilatasikan arteri koroner. Bahkan derajat dilatasi
ringan di tempat stenotik mungkin cukup untuk meningkatkan
aliran darah, karena aliran berhubungan langsung dengan kekuatan
keempat radius. Vasodilatasi koroner yang diinduksi nitrat secara
istimewa meningkatkan aliran darah subendokardial di daerah yang
mengalami iskemik. Redistribusi aliran darah koroner ke daerah
iskemik yang menguntungkan ini mungkin bergantung pada
adanya sistem kolateral dalam sirkulasi koroner.

Nitrat dapat digunakan untuk pengobatan iskemia akut dan


profilaksis terhadap episode angina yang sering terjadi. Tidak
seperti β – blocker dan penghambat saluran kalsium, nitrat tidak
memiliki efek inotropik negatif – yaitu sifat yang diinginkan
dengan adanya disfungsi ventrikel. Nitrogliserin intravena juga
dapat digunakan untuk hipotensi yang terkontrol akibat anestesi.

B. Penghambat Saluran Kalsium

Efek dan penggunaan penghambat saluran kalsium yang


paling sering digunakan ditunjukkan pada Tabel 21 – 9.
Penghambat saluran kalsium mengurangi kebutuhan oksigen
miokard dengan menurunkan afterload jantung dan meningkatkan
suplai oksigen dengan meningkatkan aliran darah (vasodilatasi
koroner). Verapamil dan diltiazem juga mengurangi permintaan
dengan memperlambat denyut jantung.

Tabel 21 – 9. Perbandingan Pemblokade kanal kalsium

Penggunaan klinis
Agen Jalur Dosis1 Waktu Angina Hipertensi Vasospasme Supraventrikular
paruh serebral takikardi
Verapamil PO 40-240 5 jam + + +
mg
IV 5-15 mg 5 jam + +
Nifedipine PO 30-180 2 jam + +
mg
SL 10 mg 2 jam + +
Diltiazem PO 30-60 4 jam + + +
mg
IV 0.25- 4 jam + +
0.35
mg/kg
Nicardipine PO 60-120 2-4 jam + +
mg
IV 0.25-0.5 2-4 jam + +
mg/kg
Nimodipine PO 240 mg 2 jam +
Bepridil2 PO 200-400 24 jam + +
mg
Isradipine PO 2.5-5.0 8 jam +
mg
Felodipine PO 5-20 mg 9 jam +
Amlodipine PO 2.5-10 30-50 + +
mg jam
1
Total dosis oral per hari dibagi menjadi tiga dosis kecuali adanya kondisi sebaliknya
2
Juga memiliki sifat antiaritmia.

Efek kuat Nifedipine pada tekanan darah sistemik dapat


memicu terjadinya hipotensi, reflex takikardia, atau keduanya;
preparat onset cepatnya (misalnya secara sublingual) telah
dikaitkan dengan miokard infark (MI) pada beberapa pasien.
Kecenderungannya untuk menurunkan afterload umumnya
menurunkan efek inotropik negatifnya. Bentuk nifedipine
pelepasan lambat dikaitkan dengan takikardia refleks yang jauh
lebih sedikit dan lebih sesuai daripada agen lain untuk pasien
dengan disfungsi ventrikel.

Sebaliknya, verapamil dan diltiazem memiliki efek yang


lebih besar terhadap kontraktilitas jantung dan konduksi
atrioventrikular (AV) dan oleh karena itu harus digunakan dengan
hati – hati, jika harus diberikan, terutama pada pasien dengan
disfungsi ventrikel, kelainan konduksi, atau bradyarrhythmias.
Diltiazem tampaknya lebih baik ditoleransi daripada verapamil
pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel. Nicardipine,
nimodipine, dan clevidipine umumnya memiliki efek yang sama
dengan nifedipine; nimodipin terutama digunakan untuk mencegah
vasospasme serebral setelah pendarahan subarachnoid, sedangkan
nardodipin digunakan sebagai vasodilator arteri yang diberikan
secara intravena. Clevidipine adalah vasodilator arteri dengan aksi
yang sangat singkat.

Penghambat saluran kalsium dapat memiliki interaksi yang


signifikan dengan agen anestesi. Semua penghambat saluran
kalsium mempotensiasi agen penghambat neuromuscular
depolarisasi maupun agen penghambat neuromuskular
nondepolarisasi dan juga meningkatkan efek sirkulasi dari agen
anestesu volatil. Baik verapamil dan diltiazem dapat
mempotensiasi efek depresi terhadap kontraktilitas jantung dan
konduksi pada nodus atrioventrikular (AV) yang diinduksi oleh
agen anestesi volatil. Nifedipin dan agen sejenis dapat
mempotensiasi vasodilatasi sistemik oleh agen anestesi volatil dan
agen anestesi intravena.
C. Agen – Agen Penghambat  – Adrenergik

Agen – agen penghambat  – adrenergic menurunkan


kebutuhan oksigen miokard dengan mengurangi denyut jantung
dan kontraktilitas, dan, dalam beberapa kasus, menurunkan
afterload (melalui efek antihipertensi mereka). Hasil blokade yang
optimal menghasilkan denyut jantung istirahat antara 50 dan 60
denyut / menit dan mencegah adanya peningkatan denyut jantung
yang berarti dengan olahraga (<20 denyut / menit saat
berolahraga). Agen yang tersedia berbeda dalam selektivitas
reseptor, aktivitas simpatomimetik intrinsik (aktivitas agonis
parsial), dan sifat stabilisasi membrannya (Tabel 21 – 10).
Stabilisasi membran, sering digambarkan sebagai efek seperti yang
dihasilkan oleh quinidine, yang menghasilkan aktivitas antiaritmia.
Agen dengan sifat simpatomimetik intrinsik ditoleransi secara
lebih baik oleh pasien dengan disfungsi ventrikel derajat ringan
sampai dengan derajat sedang. Beberapa β – blocker (carvedilol
dan extended-duration metoprolol) memperbaiki kelangsungan
hidup pada pasien dengan gagal jantung kronis. Hal tersebut belum
terbukti menjadi efek kelas obat. Penghambatan reseptor β2 –
adrenergic juga dapat menutupi gejala hipoglikemik pada pasien
dengan diabetes, menunda pemulihan metabolik dari hipoglikemia,
dan mengganggu penanganan loading potasium dalam jumlah yang
besar. Agen kardielektif (spesifik reseptor β1 – adrenergic),
walaupun umumnya lebih baik ditoleransi daripada agen
nonselektif pada pasien dengan saluran napas yang reaktif, harus
tetap digunakan secara hati – hati pada pasien tersebut. Selektivitas
agen – agen kardioselektif cenderung bergantung pada pemberian
dosisnya. Pasien – pasien yang berada dalam terapi beta – blocker
yang sudah lama harus melanjutkan terapi agen ini secara
perioperatif. Penarikan secara akut dari β – blocker pada periode
perioperatif menempatkan pasien pada peningkatan risiko
morbiditas dan mortalitas jantung yang meningkat secara nyata.

Tabel 21 – 9. Perbandingan Pemblokade kanal kalsium

Penggunaan klinis
Agen Jalur Dosis1 Waktu Angina Hipertensi Vasospasme Supraventrikular
paruh serebral takikardi
Verapamil PO 40-240 5 jam + + +
mg
IV 5-15 mg 5 jam + +
Nifedipine PO 30-180 2 jam + +
mg
SL 10 mg 2 jam + +
Diltiazem PO 30-60 4 jam + + +
mg
IV 0.25- 4 jam + +
0.35
mg/kg
Nicardipine PO 60-120 2-4 jam + +
mg
IV 0.25-0.5 2-4 jam + +
mg/kg
Nimodipine PO 240 mg 2 jam +
Bepridil2 PO 200-400 24 jam + +
mg
Isradipine PO 2.5-5.0 8 jam +
mg
Felodipine PO 5-20 mg 9 jam +
Amlodipine PO 2.5-10 30-50 + +
mg jam
1
Total dosis oral per hari dibagi menjadi tiga dosis kecuali adanya kondisi sebaliknya
2
Juga memiliki sifat antiaritmia.

Dokumentasi penghindaran penarikan β – blocker adalah


alat yang sering digunakan yang mana bisa meunjukkan "kualitas"
layanan anestesi yang dapat dinilai oleh agensi pengatur.

D. Agen – Agen Lain

Penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE)


memperpanjang kelangsungan hidup pada pasien dengan gagal
jantung kongestif atau disfungsi ventrikel kiri. Terapi aspirin
kronis mengurangi kejadian koroner pada pasien dengan coronary
artery disease (CAD) dan mencegah kejadian koroner dan iskemik
serebral pada pasien berisiko. Terapi antiaritmia pada pasien
dengan ektopi ventrikular kompleks yang memiliki coronary
artery disease (CAD) yang signifikan dan disfungsi ventrikel kiri
harus dipandu oleh studi elektrofisiologis. Pasien dengan
ventricular tachycardia (VT) atau ventricular fibrillation sustain
yang dapat diinduksi adalah kandidat untuk defibrilator
kardioverter internal atau internal cardioverter – defibrillator
(ICD) otomatis. Pengobatan dari ektopi ventrikel (kecuali pada
ventricular tachycardia (VT) yang berkelanjutan) pada pasien
dengan fungsi ventrikel yang baik tidak memperbaiki
kelangsungan hidup dan mungkim dapat meningkatkan risiko
kematian. Sebaliknya, internal cardioverter – defibrillator (ICD)
telah terbukti meningkatkan angka harapan hidup pada pasien
dengan kardiomiopati tingkat lanjut (fraksi ejeksi < 30 %), bahkan
dengan tidak adanya aritmia yang dapat dibuktikan.
E. Terapi Kombinasi

Angina derajat sedang sampai dengan derajat berat


seringkali memerlukan terapi kombinasi dengan dua atau ketiga
kelas agen. Pasien dengan disfungsi ventrikel mungkin tidak
mentolerir efek inotropik negatif yang dihasilkan oleh gabungan
dari penghambat reseptor β – adrenergic dan penghambat saluran
kalsium yang diberikan secara bersama – sama; Penghambat
angiotensin-converting enzyme (ACE) ditoleransi dengan lebih
baik dan tampaknya dapat memperbaiki kelangsungan hidup
pasien. Demikian pula, efek aditif dari penghambat reseptor β –
adrenergic dan penghambat saluran kalsium pada nodus
atrioventrikular (AV) dapat memicu terjadinya blokade jantung
pada pasien yang rentan.

MANAJEMEN PRA – OPERATIF

Kepentingan dari penyakit jantung iskemik – terutama dengan riwayat


miokard infark (MI) – sebagai faktor risiko morbiditas dan mortalitas perioperatif
telah dibahas di bagian awal dari bab ini. Sebagian besar penelitian
mengkonfirmasi bahwa hasil perioperatif berhubungan dengan tingkat keparahan
penyakit, fungsi ventrikel, dan jenis operasi yang harus dilakukan. Pasien dengan
coronary artery disease (CAD) yang luas (tiga pembuluh darah arteri atau
pembuluh darah arteri koronalis sinistra utama), riwayat miokard infark (MI) yang
baru – baru ini, atau disfungsi ventrikel, berisiko tinggi untuk mengalami
komplikasi jantung. Seperti yang telah disebutkan di atas, pedoman saat ini
merekomendasikan revaskularisasi saat penanganan semacam itu akan
diindikasikan terlepas dari kebutuhan pasien akan pembedahan.

Angina stabil kronis (derajat ringan sampai dengan derajat sedang)


tampaknya tidak meningkatkan risiko perioperatif secara substansial. Demikian
pula, riwayat operasi bypass arteri koroner atau angioplasti koroner sebelumnya
saja tampaknya tidak meningkatkan risiko perioperatif secara substansial. Dalam
beberapa penelitian, pemeliharaan penghambat reseptor β kronis pada periode
perioperatif telah terbukti mengurangi mortalitas perioperatif dan kejadian
komplikasi kardiovaskular pascaoperasi; Namun, penelitian lain menunjukkan
adanya peningkatan risiko terjadinya stroke dan kematian setelah pemberian awal
β – blocker terhadap pasien yang "berisiko". Akibatnya, sebagaimana dengan
semua obat, risiko dan manfaat dari terapi inisiasi dengan penghambat reseptor β
pada pasien berisiko harus dipertimbangkan. Seperti β – blocker, statin harus
dilanjutkan secara perioperatif pada pasien yang diobati secara rutin, karena
penarikan statin perioperatif akut berhubungan dengan adanya hasil yang buruk.
Pedoman American College of Cardiology (ACC) / American Heart Association
(AHA) menunjukkan bahwa β – blocker berguna pada pasien yang menjalani
operasi vaskular dengan bukti iskemia pada pemeriksaan evaluatif mereka (kelas
I).

Anamnesis

Anamnesis sangat penting pada pasien dengan penyakit jantung


iskemik. Pertanyaan harus mencakup gejala, pengobatan saat ini dan masa
lalu, komplikasi, dan hasil evaluasi sebelumnya. Informasi ini saja
biasanya cukup untuk memberikan perkiraan keparahan penyakit dan
fungsi ventrikel.

Gejala yang paling penting yang bisa didapatkan yaitu meliputi


nyeri dada, dyspnea, toleransi latihan yang buruk, sinkop, atau hampir
sinkop. Hubungan antara gejala dan tingkat aktivitas harus ditentukan.
Kegiatan harus dijelaskan dalam hal tugas sehari-hari, seperti berjalan atau
menaiki tangga. Pasien mungkin secara relatif asimtomatik meskipun
dengan coronary artery disease (CAD) parah jika mereka memiliki gaya
hidup yang tidak banyak melakukan aktivitas. Penderita diabetes sangat
rentan terhadap silent ischemia. Gambaran nyeri dada pada pasien
mungkin menunjukkan peran utama dari vasospasme (angina ambang
batas variabel). Merasa keletihan atau sesak napas dengan mudah
menunjukkan adanya gangguan fungsi ventrikel.

Anamnesis pada angina yang tidak stabil atau miokard infark (MI)
harus mencakup waktu terjadinya dan apakah itu terkomplikasi oleh
adanya aritmia, gangguan konduksi, atau gagal jantung. Lokalisasi daerah
iskemia sangat bermanfaat dalam menentukan lead elektrokardiografi
mana yang perlu dimonitor selama intraoperatif. Aritmia dan kelainan
konduksi lebih sering terjadi pada pasien dengan infark sebelumnya dan
pada mereka yang memiliki fungsi ventrikel lemah. Kelompok pasien
yang memiliki fungsi ventrikel yang lemah inilah yang biasanya
memerlukan internal cardioverter – defibrillator (ICD).

Pemeriksaan Fisik dan Evaluasi Laboratorium Rutin

Evaluasi pada pasien dengan coronary artery disease (CAD) sama


dengan evaluasi pada pasien dengan hipertensi. Evaluasi laboratorium
pada pasien yang memiliki riwayat yang kompatibel dengan angina tidak
stabil baru – baru ini dan sedang menjalani prosedur emergensi harus
mencakup enzim jantung. Tingkat serum troponin spesifik jantung, kreatin
kinase (MB isoenzyme), dan laktat dehidrogenase (isoenzim tipe 1)
berguna untuk menyingkirkan adanya miokard infark (MI).

Baseline elektrokardiografi (EKG) biasanya normal pada 25 %


sampai dengan 50 % pasien dengan coronary artery disease (CAD) namun
tidak ada miokard infark (MI) sebelumnya. Bukti elektrokardiografi akan
adanya iskemia seringkali menjadi jelas hanya selama munculnya nyeri
dada. Kelainan dasar yang paling umum adalah kelainan pada ST –
segment dan gelombang T yang tidak spesifik. Infark sebelumnya sering
dimanifestasikan oleh gelombang Q atau hilangnya gelombang R pada
lead terdekat dengan infark. Blokade atrioventrikular (AV) tingkat
pertama, blok cabang bundel, atau hemiblock mungkin ada. Elevasi
segmen ST yang persisten setelah adanya miokard infark (MI) mungkin
merupakan indikasi adanya aneurisma ventrikel kiri. Interval QT yang
terkoreksi memanjang (QT c > 0.44 detik) dapat mencerminkan adanya
iskemia yang mendasarinya, toksisitas obat (biasanya agen anti aritmia
golongan Ia, antidepresan, atau fenotiazin), kelainan elektrolit
(hipokalemia atau hipomagnesemia), disfungsi otonom, prolaps katup
mitral, atau, yang kurang umum terjadi, yaitu kelainan kongenital. Pasien
dengan interval QT yang panjang berisiko mengalami aritmia ventrikel –
terutama ventricular tachycardia (VT) polimorfik (torsade de pointes),
yang dapat menyebabkan fibrilasi ventrikel. Interval QT yang panjang
mencerminkan perpanjangan repolarisasi ventrikel yang tidak seragam dan
memengaruhi pasien untuk mangalami fenomena reentry. Berbeda dengan
aritmia ventrikel polimorfik dengan interval QT normal, yang dapat
merespons agen antiaritmia konvensional, takiaritmia polimorfik dengan
interval QT yang panjang umumnya paling baik merespons pemacu
jantung atau garam magnesium. Pasien dengan congenital prolongation
umumnya merespon agen penghambat reseptor β –adrenergik. Blokade
ganglion stellata sinistra juga efektif dan menunjukkan bahwa
ketidakseimbangan otonom memainkan peran penting dalam kelompok
pasien dengan pemanjangan interval QT kongenital.

Rontgen dada dapat digunakan untuk menyingkirkan adanya


kardiomegali atau kongesti pada pembuluh darah pulmoner akibat dari
disfungsi ventrikel. Jarang sekali, kalsifikasi koroner, aorta, atau katup
aorta dapat dilihat pada radiografi dada; kalsifikasi adalah penemuan yang
lebih umum didapatkan pada pemeriksaan computed tomography (CT).
Pemeriksaan Khusus

Bila digunakan sebagai tes skrining untuk populasi umum, tes stres
noninvasif memiliki prediktabilitas rendah pada pasien tanpa gejala,
namun cukup dapat diandalkan pada pasien bergejala dengan lesi yang
dicurigai. Pemantauan Holter, elektrokardiografi dengan latihan,
pemindaian perfusi miokard, dan ekokardiografi penting dalam
menentukan risiko perioperatif dan kebutuhan akan angiografi koroner;
Namun, tes ini hanya ditunjukkan jika hasilnya akan mengubah perawatan
pada pasien.

Pedoman American College of Cardiology (ACC) / American


Heart Association (AHA) saat ini merekomendasikan pengujian stres non
– invasive pada pasien yang dijadwalkan untuk operasi non – cardiac
dengan kondisi jantung yang aktif (kelas I). Pedoman saat ini juga
menyarankan bahwa mungkin ada manfaat dari pengujian semacam itu
pada pasien yang memiliki tiga atau lebih faktor risiko klinis dan kapasitas
fungsional yang buruk (kelas IIa). Demikian juga, mereka menyarankan
agar pengujian non – invasive dapat bermanfaat bagi pasien dengan satu
atau dua faktor risiko klinis yang menjalani prosedur dengan risiko
menengah atau pembedahan vaskular (kelas IIb). Apa yang tidak mereka
sarankan adalah penggunaan tes jantung non – invasive secara
sembarangan pada pasien tanpa faktor risiko yang menjalani operasi
berisiko menengah. Akibatnya, indikasi untuk tes skrining jantung pra –
operasi terus menyempit.

A. Monitoring Hotler

Pemantauan elektrokardiografi (Holter) kontinu yang terus


menerus berguna dalam mengevaluasi aritmia, terapi obat
antiaritmia, dan tingkat keparahan maupun frekuensi dari episode
iskemik. Episode iskemik silent (asimtomatik) sering ditemukan
pada pasien dengan coronary artery disease (CAD). Episode
iskemik yang sering terjadi pada pemantauan Holter pra – operasi
berkorelasi secara baik dengan iskemia intraoperatif dan pasca
operasi. Pemantauan Holter memiliki nilai prediksi negatif yang
sangat baik untuk komplikasi jantung pasca operasi.

B. Elektrokardiografi dengan Latihan

Kegunaan dari tes ini terbatas pada pasien dengan kelainan


segmen ST baseline dan mereka yang tidak mampu meningkatkan
denyut jantungnya (> 85 % diperkirakan maksimal) karena
kelelahan, dispnea, atau terapi obat. Sensitivitas keseluruhan
adalah sebesar 65 %, dan spesifitasnya adalah sebesar 90 %. Tes
ini paling sensitif (85 %) pada pasien dengan coronary artery
disease (CAD) pada tiga pembuluh darah arteri koroner atau pada
pembuluh darah arteri koroner sinistra utama. Penyakit yang
terbatas pada arteri circumfleksa sinistra juga dapat dilewatkan
karena iskemia dalam distribusinya mungkin tidak terlihat pada
elektrokardiografi (EKG) permukaan standar. Tes normal tidak
harus mengecualikan adanya coronary artery disease (CAD),
namun menunjukkan bahwa penyakit berat tidak mungkin terjadi.
Tingkat depresi segmen ST, tingkat keparahan dan konfigurasinya,
waktu onset dalam pemeriksaan, dan waktu yang dibutuhkan untuk
resolusi adalah temuan yang penting. Respons iskemik miokard
pada tingkat latihan yang rendah dikaitkan dengan peningkatan
komplikasi perioperatif dan kejadian jantung jangka panjang yang
akan meningkat secara signifikan. Temuan penting lainnya
termasuk perubahan tekanan darah dan terjadinya aritmia. Ektopi
ventrikel yang diinduksi oleh olahraga sering menunjukkan adanya
coronary artery disease (CAD) berat yang terkait dengan disfungsi
ventrikel. Iskemia diduga menyebabkan ketidakstabilan kelistrikan
pada sel miokard. Mengingat bahwa risiko tampaknya
berhubungan dengan derajat miokardium yang berpotensi untuk
iskemik, pengujian meliputi pemindaian perfusi atau penilaian
ekokardiografi; Namun, pada pasien rawat jalan, pengujian
elektrokardiografi (EKG) latihan berguna karena memperkirakan
kapasitas fungsional dan mendeteksi adanya iskemia miokard.

C. Pemindaian Perfusi Miokard dan Teknik Imaging yang


Lainnya

Pencitraan perfusi miokard menggunakan thallium – 201


atau technetium – 99 m digunakan untuk mengevaluasi pasien
yang tidak dapat berolahraga (misalnya penyakit pembuluh darah
perifer) atau yang memiliki kelainan elektrokardiografi (EKG)
yang mendasarinya sehingga menghalangi penafsiran selama
latihan (misalnya blokade cabang bundel kiri atau left bundle-
branch block). Jika pasien tidak dapat berolahraga, gambar
diperoleh sebelum dan sesudah injeksi dilator intravena (misalnya
dipyridamole atau adenosine) untuk menghasilkan respons
hiperemik yang serupa dengan olahraga. Studi perfusi miokard
setelah latihan atau injeksi dipyridamole atau adenosine memiliki
sensitivitas tinggi, namun hanya memiliki spesifisitas yang cukup
baik untuk coronary artery disease (CAD). Pemeriksaan perfusi
miokard paling baik untuk mendeteksi penyakit pada dua atau tiga
pembuluh pembuluh darah arteri koroner. Pemindaian ini dapat
menemukan dan menghitung daerah iskemia atau jaringan parut
dan membedakan keduanya. Gangguan perfusi yang mengisi pada
fase redistribusi menunjukkan adanya iskemia, bukan infark yang
sebelumnya. Nilai prediktif negatif dari pemindaian perfusi normal
kira – kira sebesar 99 %.

Magnetic resonance imaging (MRI), positron emission


tomography (PET), dan computed tomography (CT) scan semakin
banyak digunakan untuk menentukan anatomi arteri koroner dan
menentukan viabilitas dari miokard.

D. Echokardiografi

Teknik ini memberikan informasi tentang fungsi ventrikel


regional dan global dan dapat dilakukan saat istirahat, setelah
latihan, atau dengan pemberian dobutamin. Kelainan gerak dinding
regional yang dapat dideteksi dan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang
diturunkan berkorelasi baik dengan temuan angiografi. Selain itu,
echokardiografi dengan stressor dobutamin nampaknya merupakan
prediktor yang dapat diandalkan untuk komplikasi jantung yang
merugikan pada pasien yang tidak dapat berolahraga. Kelainan
gerak dinding yang baru atau yang memburuk setelah infus
dobutamin menunjukkan iskemia yang signifikan. Pasien dengan
fraksi ejeksi kurang dari 50 % cenderung memiliki penyakit yang
lebih parah dan peningkatan morbiditas perioperatif.
Ekokardiografi dengan stressor Dobutamin, bagaimanapun,
mungkin tidak dapat diandalkan pada pasien dengan blokade
cabang bundel kiri karena gerakan septum mungkin tidak normal,
bahkan dengan tidak adanya coronary artery disease (CAD) pada
pembuluh darah arteri koronalis anterior sinistra descenden pada
beberapa pasien.
E. Angiografi Koroner

Angiografi koroner tetap merupakan cara definitif untuk


mengevaluasi adanya coronary artery disease (CAD) dan dikaitkan
dengan tingkat komplikasi yang rendah (< 1 %). Meskipun
demikian, angiografi koroner harus dilakukan hanya untuk
menentukan apakah pasien dapat memperoleh manfaat dari
angioplasti koroner perkutan atau grafting bypass arteri koroner
sebelum menjalankan operasi non – cardiac. Lokasi dan tingkat
keparahan oklusi dapat didefinisikan, dan vasospasme koroner juga
dapat diamati pada angiografi. Dalam mengevaluasi lesi stenotik
tetap, oklusi yang lebih besar dari 50 % sampai dengan 75 %
umumnya dianggap signifikan. Tingkat keparahan penyakit sering
diungkapkan sesuai dengan jumlah pembuluh koroner utama yang
terkena penyakit (satu, dua, atau tiga pembuluh). Stenosis yang
signifikan dari arteri koroner utama kiri sangat memprihatinkan
karena gangguan aliran pada pembuluh darah ini akan berdampak
buruk pada hampir keseluruhan ventrikel kiri.

Ventrikulografi, yaitu sebuah pengukuran fraksi ejeksi, dan


pengukuran tekanan intracardiac, juga memberikan informasi
penting. Indikator disfungsi ventrikel yang signifikan mencakup
fraksi ejeksi yang < 50 %, tekanan diastolik akhir ventrikel kiri >
18 mmHg, indeks jantung < 2.2 L / min / m 2, dan kelainan gerak
dinding yang bermakna atau multiple.

Pedoman menunjukkan bahwa pasien dengan angina stabil


dan penyakit pada bagian kiri utama yang signifikan, angina stabil
dan penyakit pada tiga pembuluh darah arteri koroner, angina stabil
dan penyakit pada dua pembuluh darah arteri koroner dengan fraksi
ejeksi < 50 %, angina tidak stabil, miokard infark (MI) dengan non
elevasi pada segmen ST, dan miokard infark (MI) dengan elevasi
akut pada segmen ST akan mendapat manfaat dari tindakan
revaskularisasi. Rekomendasi ini juga berlaku untuk pasien yang
dijadwalkan menjalani operasi non – cardiac (kelas I). Sebaliknya,
revaskularisasi tidak diindikasikan pada pasien dengan angina
stabil (kelas III). Selain itu, operasi non – cardiac elektif tidak
disarankan dalam waktu 4 – 6 minggu setelah penempatan bare
metal stent atau dalam 12 bulan setelah penempatan drug – eluting
stent, jika pembedahan memerlukan terapi antiplatelet untuk
dihentikan.

Premedikasi

Menenangkan dari rasa ketakutan, kecemasan, dan rasa sakit


sebelum operasi merupakan tujuan yang diinginkan pada pasien dengan
coronary artery disease (CAD). Premedikasi yang memuaskan akan
mencegah aktivasi simpatik, yang berdampak buruk pada keseimbangan
permintaan pasokan oksigen miokard. Overmedikasi sama – sama
merugikan dan harus dihindari karena bisa mengakibatkan hipoksemia,
asidosis respiratorik, dan hipotensi. Benzodiazepin, yang diberikan secara
tunggal atau kombinasi dengan opioid, seringkali digunakan. (Pemberian
oksigen secara bersamaan melalui kanula hidung membantu menghindari
hipoksemia setelah premedikasi.) Pasien dengan fungsi ventrikel yang
buruk dan penyakit paru yang berdampingan harus menerima dosis yang
lebih sedikit. Obat pra – operasi umumnya harus dilanjutkan sampai waktu
operasi. Mereka dapat diberikan secara oral (dengan sedikit air), secara
intramuskular, intravena, sublingual, atau secara transdermal.

Penarikan obat antiangina secara tiba - tiba selama perioperatif –


terutama pada pemberian β – blocker – akan dapat memicu peningkatan
risiko rebound secara tiba – tiba pada episode iskemik. Di masa lalu,
beberapa klinisi secara profilaksis memberikan agen nitrat secara intravena
atau secara transdermal ke pasien dengan coronary artery disease (CAD)
pada periode perioperatif. Meskipun praktik ini dapat secara teoritis
menguntungkan, belum ada bukti efektivitasnya pada pasien yang sebelum
– sebelumnya tidak memakai terapi nitrat jangka panjang dan tanpa bukti
adanya iskemia yang sedang berlangsung. Penyerapan nitrogliserin
transdermal mungkin tidak menentu selama periode perioperatif.

MANAJEMEN INTRAOPERATIF

Periode intraoperatif secara reguler berhubungan dengan faktor dan


kejadian yang dapat mempengaruhi hubungan pasokan permintaan oksigen
miokard. Aktivasi sistem simpatik memainkan peran utama. Hipertensi dan
peningkatan kontraktilitas meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, sedangkan
takikardia meningkatkan permintaan dan mengurangi pasokan. Meskipun iskemia
miokard umumnya terkait dengan takikardia, hal ini dapat terjadi tanpa adanya
gangguan hemodinamik.

Tujuan

Prioritas yang luar biasa dalam mengelola pasien dengan penyakit


jantung iskemik adalah mempertahankan hubungan permintaan – pasokan
oksigen miokard yang menguntungkan. Peningkatan denyut jantung dan
tekanan darah yang dimediasi secara otonom harus dikendalikan dengan
anestesi yang dalam atau dengan blokade adrenergik. Penurunan
berlebihan pada tekanan perfusi koroner atau kandungan oksigen arterial
harus dihindari. Meskipun batas pasti tidak didefinisikan ataupun dapat
diprediksi, tekanan arteri diastolik umumnya harus dijaga pada 50 mmHg
atau lebih. Tekanan diastolik yang lebih tinggi mungkin lebih baik pada
pasien dengan oklusi koroner derjat tinggi. Peningkatan tekanan yang
berlebihan – seperti yang disebabkan oleh kelebihan cairan – pada tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri harus dihindari karena meningkatkan
ketegangan dinding ventrikel (afterload) dan dapat mengurangi perfusi
subendokard (lihat Bab 20). Transfusi membawa risiko tersendiri dan
akibatnya tidak ada kondisi yang memicu transfusi pada pasien dengan
coronary artery disease (CAD); Namun, anemia dapat menyebabkan
takikardia, memperburuk keseimbangan antara suplai dan permintaan
oksigen miokard.

Monitoring

Pemantauan tekanan intra – arterial merupakan hal yang wajar


untuk dilakukan pada semua pasien dengan coronary artery disease
(CAD) yang parah dan faktor risiko cardiac yang mayor atau yang
menjalani prosedur kecuali prosedur yang paling kecil sekalipun. Tekanan
vena sentral (atau lebih jarang tekanan arteri pulmoner) dapat dipantau
selama prosedur yang berkepanjangan ataupun yang rumit yang
melibatkan pergeseran cairan atau kehilangan darah. Metode penentuan
cardiac output yang kurang invasif dan penilaian volume telah dibahas
sebelumnya dalam teks ini. Ekokardiografi transesofagus atau
transesophageal echocardiography (TEE) dan ekocardiography
transthorakal atau transthoracic echocardiography (TTE) dapat
memberikan informasi yang berharga, baik kualitatif maupun kuantitatif,
pada kontraktilitas dan ukuran ruang ventrikel (preload) secara
perioperatif. Staf unit perawatan intensif semakin banyak yang
menggunakan ultrasound untuk membantu pengelolaan hemodinamik.
Sejumlah kursus "dasar" untuk transesophageal echocardiography (TEE)
dan transthoracic echocardiography (TTE) tersedia untuk membantu
praktisi dalam melakukan "hemodinamik," dibandingkan dengan
transesophageal echocardiography (TEE) untuk diagnostik jantung.
Deteksi iskemia intraoperatif bergantung pada pengenalan
perubahan elektrokardiografi, manifestasi hemodinamik, atau kelainan
gerak dinding regional pada pemeriksaan transesophageal
echocardiography (TEE). Transesophageal echocardiography (TEE)
doppler juga memungkinkan deteksi dari onset regurgitasi mitral yang
disebabkan oleh disfungsi muskulus papilaris yang iskemik.

A. Elektrokardiografi

Perubahan iskemik awal tidak terlihat dan seringkali bisa


diabaikan. Perubahan iskemik melibatkan perubahan morfologi
pada gelombang – T, termasuk inversi, tenting, atau keduanya
(Gambar 21 – 1). Iskemia yang lebih jelas dapat dilihat dalam
bentuk depresi pada segmen ST yang progresif. ST depresi down –
sloping dan horisontal adalah kekhususan yang lebih besar untuk
iskemia daripada depresi up – sloping. Elevasi pada segmen ST
yang baru jarang terjadi selama operasi non – cardiac dan
merupakan indikasi adanya iskemia, vasospasme, atau infark yang
parah. Namun, meningkatnya jumlah individu yang diobati dengan
drug – eluting stent dapat menjadi masalah selama perioperatif,
terutama jika masalah bedah memerlukan penghentian terapi
antiplatelet (misalnya operasi tulang belakang emergensi). Pasien
tersebut berisiko tinggi mengalami trombosis dan miokard infark
(MI) secara perioperatif. Staf anestesi tidak boleh untuk alasan non
– surgical (misalnya, adanya keinginan untuk melakukan anestesi
spinal) menghentikan agen antiplatelet atau anti trombotik secara
perioperatif tanpa terlebih dahulu membahas risiko dan manfaat
anestesi yang diusulkan yang memerlukan penghentian terapi
antiplatelet dengan pasien dan ahli jantungnya. American College
of Cardiology (ACC) / American Heart Association (AHA)
menawarkan rekomendasi mengenai pendekatan untuk membawa
pasien ke ruang operasi setelah intervensi koroner perkutan dan
jenis intervensi yang disarankan saat operasi berikutnya diharapkan
(Gambar 21 – 2 dan 21 – 3). Perlu dicatat bahwa elevasi ST minor
yang terisolasi pada lead mid – precordial (V 3 dan V 4) dapat
menjadi varian normal pada pasien muda. Iskemia juga dapat hadir
sebagai aritmia atrium atau ventrikel intraoperatif yang tidak dapat
dijelaskan atau timbulnya kelainan konduksi baru. Sensitivitas dari
elektrokardiografi (EKG) dalam mendeteksi iskemia berkaitan
dengan jumlah lead yang dipantau. Studi menunjukkan bahwa lead
V 5, V 4, II, V 2, dan V 3 (dalam penurunan sensitivitas) paling
berguna. Idealnya, setidaknya dua lead harus dipantau secara
bersamaan. Biasanya, lead II dipantau untuk iskemia dinding
inferior dan aritmia, dan V5 dipantau untuk iskemia dinding
anterior. Bila hanya satu saluran yang dapat dipantau, sebuah
modifikasi dari lead V 5 memberikan sensitivitas yang tertinggi.

B. Monitoring Hemodinamik

Kelainan hemodinamik yang paling umum diamati selama


episode iskemik adalah hipertensi dan takikardia. Mereka hampir
selalu menjadi penyebab (bukan akibat) dari iskemia. Hipotensi
adalah manifestasi yang lambat dan tidak diharapkan dari disfungsi
ventrikel progresif. transesophageal echocardiography (TEE)
dengan mudah akan menunjukkan ventrikel disfungsional dan
perubahan pergerakan dinding ventrikel yang berhubungan dengan
adanya iskemia miokard. Iskemia sering terjadi, namun tidak
selalu, berhubungan dengan peningkatan tekanan baji kapiler paru
secara mendadak. Tampilan mendadak dari gelombang v yang
menonjol pada bentuk gelombang baji biasanya menunjukkan
regurgitasi mitral akut dari disfungsi muskulus papilaris yang
iskemik atau dilatasi akut pada ventrikel kiri.

C. Transesophageal Echocardiography (TEE)

Transesophageal echocardiography (TEE) dapat membantu


dalam mendeteksi adanya disfungsi jantung secara global maupun
regional, serta fungsi katup pada pasien – pasien tertentu. Selain
itu, deteksi kelainan gerak dinding regional yang baru adalah
indicator dari iskemia miokard yang cepat dan lebih sensitif
dibandingkan dengan elektrokardiografi (EKG). Dalam studi
hewan di mana aliran darah koroner secara bertahap berkurang,
kelainan gerak dinding regional berkembang sebelum adanya
perubahan pada elektrokardiografi (EKG). Meskipun kejadian
kelainan intraoperatif baru berkorelasi dengan adanya miokard
infark (MI) pasca – operasi pada beberapa penelitian, tidak semua
kelainan seperti itu pasti menunjukkan adanya iskemik. Kelainan
secara regional maupun global dapat disebabkan oleh perubahan
denyut jantung, perubahan konduksi, preload, afterload, atau
perubahan kontraktilitas yang diinduksi oleh obat. Penurunan
penebalan dinding selama sistolik mungkin merupakan indeks
untuk adanya iskemia yang lebih dapat diandalkan dibandingkan
gerakan dinding endokardium saja.
Gambar 21 – 1. Tanda – tanda elektrokardiografi adanya iskemia. Pola iskemia
dan cedera. (Informasi yang dikumpulkan dari Schamroth L: 12 Lead
Electrocardiogram. Blackwell, 1989.)

Manajemen Aritmia, Pacemaker, Internal Cardioverter – Defibrillator


(ICD)

Gangguan elektrolit, defek struktur jantung, inflamasi, iskemia


miokard, kardiomiopati, dan kelainan konduksi semuanya dapat
berkontribusi pada pengembangan aritmia dan blokade jantung
perioperatif. Akibatnya, staf anestesi harus siap untuk mengelola masalah
irama jantung kronik maupun yang baru. Takikardia supraventrikular atau
supraventricular tachycardias (SVTs) dapat memiliki konsekuensi
hemodinamik yang merupakan akibat dari hilangnya sinkronisasi dari
atrioventrikular (AV) dan penurunan waktu pengisian diastolik. Hilangnya
gelombang "P" pada elektrokardiografi (EKG) dengan respon ventrikel
yang cepat konsisten dengan supraventricular tachycardias (SVTs).
Sebagian besar supraventricular tachycardias (SVTs) terjadi akibat dari
adanya mekanisme re – entrat. Aritmia re – entrant terjadi saat jaringan
konduksi di jantung melakukan proses depolarisasi atau repolarisasi pada
tingkat yang bervariasi. Dengan cara ini, loop repolarization dan
depolarisasi yang terus berlangung dengan sendirinya dapat terjadi di jalur
konduksi dan / atau pada nodus atrioventrikular (AV). Supraventricular
tachycardias (SVTs) yang mengakibatkan kolaps hemodinamik
diperlakukan secara perioperatif dengan kardioversi tersinkronisasi.
Adenosin juga dapat diberikan untuk memperlambat konduksi nodus
atrioventrikular (AV) dan berpotensi mengganggu loop re – entrant.
Supraventricular tachycardias (SVTs) pada pasien tanpa bundel konduksi
aksesori (sindrom Wolff – Parkinson – White [WPW]) diobati dengan
pemberian β – blocker dan penghambat saluran kalsium. Pada pasien yang
diketahui dengan Wolff – Parkinson – White (WPW), procainamide atau
amiodarone dapat digunakan untuk mengobati supraventricular
tachycardias (SVTs). Kadang – kadang, supraventricular tachycardias
(SVTs)bermanifestasi dengan kompleks QRS yang luas dan tampaknya
serupa dengan ventricular tachycardia (VT). Irama seperti itu, saat mereka
hadir, harus diperlakukan seperti ventricular tachycardia (VT), sampai
terbukti sebaliknya.
(MI) akut, risiko tinggi ACS,
atau Anatomi jantung risiko
tinggi

Stent dan
Risiko Perdarahan dari Rendah melanjutkan
Pembedahan
terapi anti –
platelet ganda
Tidak Rendah

Waktu
Pembedahan 14 sampai 29 hari 30 sampai 365 hari Lebih dari 365 hari

Angioplasti Balon Stent Bare – metal Stent Drug – eluting

Gambar 21 – 2. Usulan penanganan untuk pasien – pasien yang membutuhkan


intervensi koroner perkutan atau percutaneous coronary intervention (PCI) yang
membutuhkan pembedahan lanjutan. ACS, acute coronary syndrome atau sindrom
koroner akut; COR, class of recommendation atau tingkatan rekomendasi; LOE,
level of evidence atau tingkat bukti; MI, myocardial infarction. (Diproduksi ulang,
dengan seizing, dari Fleisher L, Beckman J, Brown K, et al: ACC/AHA 2007
guidelines on perioperative cardiovascular evaluation and care for noncardiac
surgery. Circulation 2007;116: e418.)
Gambar 21 – 3. Usulan pendekatan pengelolaan pasien dengan intervensi koroner
perkutan atau percutaneous coronary intervention (PCI) sebelumnya yang
membutuhkan operasi non – kardiak, berdasarkan pendapat ahli. (Direproduksi
dengan izin dari pedoman Fleisher L, Beckman J, Brown K, et al: ACC/AHA
2007 guidelines on perioperative cardiovascular evaluation and care for
noncardiac surgery. Circulation 2007 ; 116 : e418.)

Atrial fibrillation (AF) dapat memperumit periode perioperatif


(Gambar 21 – 4) Sampai 35 % dari pasien bedah jantung mengembangkan
atrial fibrillation (AF) pasca operasi. Selain itu, banyak pasien hadir
dengan atrial fibrillation (AF) untuk anestesi maupun operasi non –
cardiac. American College of Cardiology (ACC) / American Heart
Association (AHA) telah mengeluarkan banyak panduan untuk
pengelolaan atrial fibrillation (AF) rawat jalan. Pedoman
merekomendasikan penggunaan penghambat reseptor β –adrenergik atau
antagonis kalsium non – dihidropiridin untuk kontrol laju ventrikel pada
pasien tanpa jalur konduksi aksesoris. Amiodarone, procainamide,
disopyramide, dan ibutilide disarankan untuk kontrol tingkat ventrikel
pada pasien dengan jalur aksesori. Penggunaan digitalis dan penghambat
saluran kalsium non – dihyropryidine dikontraindikasikan pada pasien
dengan jalur aksesori.

Pedoman American College of Cardiology (ACC) / American


Heart Association (AHA) juga merekomendasikan terapi antitrombotik
pada pasien dengan atrial fibrillation (AF) yang lama. Akibatnya, banyak
pasien dengan atrial fibrillation (AF) akan hadir ke ruang operasi dalam
beberapa bentuk terapi antitrombotik – seringkali warfarin antagonis
vitamin K. Namun, pedoman American College of Cardiology (ACC) /
American Heart Association (AHA) menunjukkan bahwa aspirin dapat
menjadi alternatif antagonis vitamin K pada pasien dengan berisiko rendah
atau mereka yang memiliki kontraindikasi terhadap antikoagulan oral.
Demikian juga, pada pasien dengan atrial fibrillation (AF) tanpa katup
jantung prostetik mekanis, pedoman tersebut menyarankan agar
menghentikan antikoagulan hingga 1 minggu sebelum prosedur
pembedahan, tanpa memberikan antikoagulan heparin.

Ketika atrial fibrillation (AF) berkembang secara perioperatif,


kontrol denyut jantung dengan β – blocker seringkali dapat dilakukan.
Kardioversi kimia dapat dicoba dengan amiodarone atau procainamide.
Dari catatan, jika durasi atrial fibrillation (AF) lebih dari 48 jam, atau
tidak diketahui, pedoman American College of Cardiology (ACC) /
American Heart Association (AHA) merekomendasikan antikoagulan
selama 3 minggu sebelum dan 4 minggu setelah pemberian kardioversi
listrik atau kimia. Sebagai alternatif, transesophageal echocardiography
(TEE) dapat dilakukan untuk menyingkirkan adanya trombus yang pada
atrium kiri atau perlekatan thrombus pada atrial kiri.
Gambar 21 – 4. Sudut pandang posterior mekanisme elektrofisiologis utama dari
fibrilasi atrium. A: Aktivasi fokal. Fokus awal (ditunjukkan oleh titik) sering
terletak di dalam wilayah pembuluh darah vena pulmoner. Wavelet yang
dihasilkan mewakili konduksi fibrillatory, seperti pada reentry multiple – wavelet.
B: Multiple – wavelet reentry. Wavelet (ditandai dengan panah) secara acak
kembali ke jaringan yang sebelumnya diaktifkan oleh wavelet yang sama atau
oleh yang lainnya. Rute perjalanan wavelets bervariasi. LA, left atrium atau
atrium kiri; PV, pulmonary vein atau vena pulmonal; IVC, inferior vena cava;
SVC, superior vena cava; RA, right atrium atau atrium kanan. (Direproduksi
dengan izin, dari Konings KT, Kirchhof CJ, Smeets JR, et al: High-density
mapping of electrically induced atrial fi brillation in humans. Circulation 1994
Apr ; 89 (4) : 1665 – 1680.)

Jika atrial fibrillation (AF) terjadi selama post – operatif, respons


laju ventrikel dapat dikontrol dengan agen penghambat nodus
atrioventrikular (AV), kecuali ada kontraindikasi. Jika atrial fibrillation
(AF) mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik, kardioversi
tersinkronisasi dapat dicoba. Pasien dengan risiko tinggi mengalami atrial
fibrillation (AF) setelah menjalani operasi jantung dapat diobati dengan
pemberian amiodarone secara profilaksis.
Atrial fibrillation (AF) paling sering dikaitkan dengan hilangnya
otot – otot atrial dan perkembangan fibrosis. Fibrosis dapat berkontribusi
pada mekanisme reentrant dari atrial fibrillation (AF) karena depolarisasi /
repolarisasi menjadi tidak homogen. atrial fibrillation (AF) juga bisa
berkembang dari sumber fokal yang sering berada di pembuluh darah
pulmoner. Pada pasien dengan bundel aksesori, atrial fibrillation (AF)
dapat menghasilkan respons ventrikel yang cepat dan mengakibatkan
kolaps hemodinamik. Obat yang memperlambat konduksi di nodus
atrioventrikular (AV) (misalnya digitalis, verapamil, diltiazem) tidak
memperlambat konduksi di jalur aksesori, yang berpotensi menyebabkan
kolaps hemodinamik. Pedoman American College of Cardiology (ACC) /
American Heart Association (AHA) juga merekomendasikan kehati –
hatian dalam penggunaan β – blocker untuk atrial fibrillation (AF) pada
pasien dengan sindroma pre – excitation.

Aritmia ventrikel telah menjadi subyek banyak tinjauan yang


dihasilkan oleh American Heart Association (AHA) (Tabel 21 – 11).
Kontraksi prematur ventrikel atau ventricular premature contractions
(VPCs) dapat terjadi secara perioperatif yang merupakan akibat dari
adanya kelainan elektrolit (hipokalemia, hypomagnesium, hypokalsemia),
asidosis, iskemia, fenomena embolik, iritasi mekanis jantung dari garis
tengah, manipulasi jantung, dan efek obat. Koreksi sumber aritmia yang
ada harus ditangani. Pasien juga dapat hadir dengan ventricular premature
contractions (VPCs) yang diakibatkan oleh berbagai variasi dari
kardiomiopati (dilatasi, hipertrofik, dan aritmogenik ventrikel kanan).

Kejadian henti jantung mendadak atau sudden cardiac death (SCD)


diperkirakan sebesar 1 – 2 / 1000 populasi per tahun. Akibatnya, beberapa
pasien akan mengalami penghenian jantung tak terduga pada periode
perioperatif. Semua penyedia anestesi harus disiapkan untuk menyadarkan
dan mengelola pasien dengan aritmia ventrikel, termasuk ventricular
tachycardia (VT) (non – sustained dan sustained) dan ventrikel fibrillation.
Takikardia ventrikular yang non – sustained adalah kejadian jangka
pendek dari ectopy ventrikel yang berlangsung selama < 30 detik dan
berakhir secara spontan, sedangkan ventricular tachycardia (VT)
merupakan kejadian yang bertahan lebih lama dari 30 detik. Ventricular
tachycardia (VT) adalah monomorfik ataupun polimorfik, tergantung pada
kompleks QRS. Jika terdapat perubahan morfologi pada kompleks QRS,
maka ditetapkan sebagai ventricular tachycardia (VT) polimorfik.
Torsades de pointes adalah bentuk ventricular tachycardia (VT) yang
berhubungan dengan pemanjangan interval QT, menghasilkan pola
ventricular tachycardia (VT) yang seperti gelombang sinus pada
elektrokardiografi (EKG). Fibrilasi ventrikel memerlukan stimulasi
resusitasi dan defibrilasi yang segera.

Pasien yang hadir dengan ventricular ectopy dan non – sustained


runs of ventricular tachycardia (VT) harus menjalani pemeriksaan
sebelum operasi. Aritmia supraventrikular dan aritmia ventrikuler
merupakan kondisi jantung aktif yang memerlukan evaluasi dan
pengobatan sebelum operasi elektif dan non – cardiac. Tes latihan,
ekokardiografi, dan studi perfusi nuklir semuanya direkomendasikan oleh
American College of Cardiology (ACC) / American Heart Association
(AHA) pada pasien dengan aritmia ventrikel sebagai bagian dari
pemeriksaan dan manajemen mereka. Studi elektrofisiologi dilakukan
untuk menentukan kemungkinan ablasi dari takikardia ventrikel yang
dimediasi oleh kateter.

Jika ventricular tachycardia (VT) hadir secara perioperatif,


kardioversi direkomendasikan pada titik dimana kompromi hemodinamik
terjadi. Jika tidak, pengobatan dengan amiodarone atau procainamide
dapat dilakukan. Setiap saat, terapi juga harus diarahkan untuk
mengidentifikasi sumber penyebab dari aritmia. Penghambat reseptor β
berguna dalam pengobatan ventricular tachycardia (VT), terutama jika
iskemia adalah faktor penyebab yang diduga terjadi dalam pengembangan
ritme. Penggunaan β – blocker setelah infark miokard telah mengurangi
kejadian fibrilasi ventrikel pasca – miokard infark (MI).

Torsades de pointes dikaitkan dengan kondisi yang


memperpanjang interval QT. Jika aritmia berkembang dalam kaitannya
dengan adanya jeda, pemacu jantung bisa jadi efektif. Demikian juga,
beberapa pasien mungkin mendapat manfaat dari infus isoproterenol, jika
mereka mengembangkan torsades de pointes yang bergantung pada jeda.
Magnesium sulfat mungkin berguna pada pasien dengan sindrom QT yang
panjang dan episode torsades.

Pengembangan fibrilasi ventrikel atau ventricular fibrilatoion (VF)


selama perioperatif memerlukan defibrilasi dan penggunaan algoritma
resusitasi. Amiodarone dapat digunakan untuk menstabilkan ritme setelah
defibrilasi yang berhasil.

Setelah mengalami ventricular fibrilatoion (VF), pasien dapat


melakukan operasi untuk penempatan internal cardioverter – defibrillator
(ICD) dan prosedur operasi lainnya. internal cardioverter – defibrillator
(ICD) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat sudden cardiac
death (SCD) dan berhasil selamat, penurunan fungsi ventrikel setelah
miokard infark (MI), dan fraksi ejeksi ventrikel kiri < 35 %. Selain itu,
internal cardioverter – defibrillator (ICD) digunakan untuk mengobati
sudden cardiac death (SCD) yang potensial pada pasien dengan ventrikel
kanan aritmogenik, yang terdilatasi, hipertrofik, dan pada pasien dengan
kardiomiopati genetik.
Tabel 21 – 11. Klasifikasi aritmia ventrikel

Klasifikasi berdasarkan manifestasi klinis


Hemodinamik stabil Asimptomatik Tidak adanya gejala yang bisa
diakibatkan dari aritmia
Simptom minimal, Pasien melaporkan palpitasi
misalnya palpitasi terasa di dada, tenggorokan, atau
leher seperti
dijelaskan sebagai berikut:
Sensasi detak jantung yang terasa
seperti berdebar kencang atau
sangat kencang
• Merasa detak jantung yang
tidak nyaman
• Merasa detak jantung
terlewatkan atau berjeda
Hemodinamik tidak stabil Presinkop Pasien melaporkan presinkop
seperti yang dijelaskan sebagai
berikut:
• Pusing
• Sakit kepala ringan
• Merasa lemah
• "Merasa gelap”
Sinkop Tiba-tiba kehilangan kesadaran
dengan kehilangan tonus
postural, tidak berhubungan
dengan anestesi, dengan
pemulihan spontan seperti yang
dilaporkan oleh pasien atau
pengamat. Pasien mungkin
mengalami sinkop saat
terlentang.
Kematian jantung Kematian akibat berhentinya
mendadak sirkulasi yang tak terduga,
biasanya karena adanya aritmia
jantung yang terjadi dalam waktu
satu jam sejak timbulnya gejala.
Jantung berhenti Kematian akibat berhentinya
mendadak peredaran darah tak terduga,
biasanya karena adanya Aritmia
jantung terjadi dalam waktu satu
jam sejak timbulnya gejala,
dimana intervensi medis (mis.,
defibrilasi) akan membalikkan
kejadian.
Klasifikasi berdasarkan Elektrokardiografi
VT Non sustained Tiga atau lebih denyut dalam satu
durasi, berakhir secara spontan
dalam waktu kurang dari 30 detik
Monomorfik VT non sustained dengan satu
morfologi QRS
Polimorfik VT non sustained dengan
perubahan morfologi QRS pada
panjang siklus antara 600 dan
180 ms
VT sustained VT lebih dari 30 detik dalam satu
durasi dan / atau membutuhkan
terminasi karena gangguan
hemodinamik kurang dari 30
detik.
Monomorfik VT sustained dengan satu
morfologi QRS yang stabil
Polimorfik VT sustained dengan perubahan
morfologi QRS atau multiform
pada panjang siklus antara 600
dan 180 milidetik
Bundle-branch reentrant VT karena reentri yang
takikardi melibatkan sistem His-Purkinje,
biasanya dengan morfologi
LBBB; Hal ini biasanya terjadi
pada kondisi kardiomiopati.
VT Bidireksi VT dengan alternan beat-to-beat
pada sumbu bidang frontal QRS,
berhubungan dengan toksisitas
digitalis
Torsades de pointes Ditandai dengan VT terkait
dengan QT atau QTc yang
panjang, dan secara
elektrokardiografi ditandai
dengan distorsi puncak dari
kompleks QRS di sekitar garis
isoelektrik selama aritmia:
• "Khas," dimulai setelah "short-
long-short" interval kopling.
• varian coupled pendek yang
dimulai dengan kopling pendek
normal.
Ventrikel flutter Aritmia ventrikel reguler
(panjang siklus bervariasi 30
milidetik atau kurang) sekitar
300 kali per menit (panjang
siklus-200 milidetik) dengan
gelombang monomorfik; Tidak
ada interval isoelektrik antara
komplek QRS berturut-turut.
Ventrikel fibrilasi Cepat, biasanya lebih dari 300
kali per menit / 200 milidetik
(panjang siklus 180 milidetik
atau kurang), irama ventrikel
yang tidak teratur ditandai
dengan variabilitas panjang
siklus QRS, morfologi, dan
amplitudo.
Klasifikasi berdasarkan penyakit
Penyakit jantung koroner kronis
Gagal jantung
Penyakit jantung kongenital
Kelainan saraf
Jantung secara struktural normal
Sindrom kematian bayi
mendadak
Kardiomiopati:
Kardiomiopati dilatasi
Kardiomiopati hipertrofik
Kardiomiopati artrinogenik
ventrikel kanan
LBBB, left bundle-branch block atau blok bundel kiri; VT, ventricular tachycardia atau
ventrikel takikardia.
Direproduksi, dengan izin, dari Zipes DP, Camm AJ, Borggrefe M, dkk: ACC / AHA / ESC
2006 guidelines for management of patients with ventricular arrhythmias and the prevention of
sudden cardiac death—executive summary. Sirkulasi 2006; 114: 1088.
Internal cardioverter – defibrillator (ICD) biasanya memiliki
fungsi pacu biventrikular yang meningkatkan efektivitas kontraksi dari
ventrikel kiri. Pasien dengan gagal jantung sering memiliki kompleks QRS
yang melebar > 120 mili detik. Pada pasien tersebut, sistol ventrikel
menjadi kurang efisien, karena dinding ventrikel kiri bagian lateral dan
septal tidak berkontraksi secara efektif karena adanya penundaan
konduksi. Terapi resinkronisasi jantung atau cardiac resynchronizaton
therapy (CRT) telah terbukti memperbaiki status fungsional pada pasien
dengan gagal jantung (Tabel 21 – 12).

Manajemen anastesi untuk penempatan internal cardioverter –


defibrillator (ICD) dan prosedur elektrofisiologis lainnya (misalnya ablasi
kateter) bergantung pada kondisi pasien yang mendasarinya. Banyak
pasien yang hadir dengan gagal jantung sistolik dan diastolik, dan karena
itu, bergantung pada tonus simpatik untuk mempertahankan tekanan
darahnya. Banyak pasien mentolerir penempatan internal cardioverter –
defibrillator (ICD) dengan menggunakan sedasi yang lebih dalam
dibandingkan dengan menggunakan anestesi umum. Namun, prosedur
elektrofisiologi kateter dapat memakan waktu yang cukup lama, dan
pasien dapat mengembangkan atelektasis dan obstruksi pada jalan napas.
Jika tekanan darah pasien tiba – tiba menurun selama prosedur
elektrofisiologis, risiko adanya pengembangan tamponade perikardial
harus dikeluarkan. Drainase emergensi dari tamponade yang terjadi
mungkin diperlukan.

Tabel 21 – 12. Keuntungan fungsional CRT

↑ 6 menit berjalan kaki

↑ Skor kesehatan terkait kualitas hidup


↑ Puncak konsumsi oksigen

↓ Rawat Inap untuk gagal jantung dekompensasi

↓ Klasifikasi fungsional NYHA

Banyak pasien yang hadir untuk operasi dengan internal


cardioverter – defibrillator (ICD) yang telah terpasang. Pedoman yang
dipublikasikan oleh American Society of Anesthesiologists (ASA) dapat
memberikan bantuan dalam pengelolaan pasien tersebut.

Manajemen yang direkomendasikan merupakan manajemen proses


tiga langkah, yaitu sebagai berikut:

• Pra – operasi. Identifikasi jenis perangkat dan tentukan


apakah digunakan untuk fungsi antibradikardia.
Konsultasikan dengan ahli jantung pasien sebelum operasi
mengenai fungsi dan riwayat penggunaan perangkat.

• Intraoperatif. Tentukan interferensi elektromagnetik mana


yang mungkin terjadi secara intraoperatif dan sarankan
penggunaan elektrokauter bipolar jika memungkinkan.
Pastikan ketersediaan dari peralatan pemacu jantung dan
defibrilasi sementara dan gunakan bantalan seperlunya.
Pasien yang bergantung pada pemacu jantung dapat
diprogram ke mode asinkron untuk mengurangi interferensi
listrik. Aplikasi magnet pada internal cardioverter –
defibrillator (ICD) dapat menon – aktifkan fungsi
antitakikardia, namun tidak mengkonversi menjadi alat pacu
jantung asinkron. Konsultasi dengan ahli jantung pasien dan
pengetahuan mengenai perangkat merupakan aspek yang
disarankan.
• Pasca – operasi. Perangkat harus diinterogasi untuk
memastikan bahwa fungsi terapeutik telah dipulihkan. Pasien
harus terus dipantau sampai fungsi antitachycardia pada
perangkat dipulihkan dan fungsinya telah di konfirmasi.

ICD sangat khususnya akan bermasalah secara intraoperatif saat


elektrokauter digunakan karena alat ini mungkin (1) menafsirkan
kauterisasi sebagai fibrilasi ventrikel; (2) menghambat fungsi alat pacu
jantung karena artifak kauterisasi; (3) meningkatkan laju gerak karena
aktivasi sensor responsive – laju; atau (4) reset sementara atau permanen
sampai dengan mode back – up atau mode reset. Penggunaan kauterisasi
bipolar, penempatan dari ground pad sebaiknya jauh dari perangkat
internal cardioverter – defibrillator (ICD), dan pembatasan penggunaan
kauterisasi hanya dengan semburan singkat membantu mengurangi
kemungkinan masalah, namun tidak akan menghilangkannya.

Perangkat internal cardioverter – defibrillator (ICD) harus


memiliki fungsi defibrillator yang diprogram segera sebelum operasi dan
diprogram ulang segera setelahnya. Bantalan defibrilasi eksternal harus
diterapkan dan dilekatkan pada mesin defibrillator secara intraoperatif.
Pemantauan secara hati – hati dari denyut arteri dengan menggunakan
pulse oksimetri atau sebuah bentuk gelombang arterial diperlukan untuk
memastikan alat pacu jantung tidak terhambat dan ada perfusi arteri
selama episode artefak elektrokardiografi (EKG) dari kauterisasi bedah.
Pabrik pembuat harus dihubungi untuk menentukan metode terbaik untuk
mengelola perangkat (misalnya, memprogram ulang atau menerapkan
magnet) sebelum operasi. Sejumlah besar model internal cardioverter –
defibrillator (ICD) yang sedang digunakan; namun begitu, kebanyakan
dari model – model tersebut menunda fungsi antitachycardia mereka
sebagai respons terhadap magnet.
GAGAL JANTUNG

Sekarang ini semakin banyak pasien yang hadir untuk operasi dengan
gagal jantung sistolik dan / atau diastolik. Gagal jantung kongestif mempengaruhi
lebih dari 5 juta orang Amerika. Gagal jantung mungkin terjadi akibat dari adanya
iskemia, penyakit katup jantung, agen infeksius, dan berbagai jenis kardiomiopati.
Sebagian besar pasien dengan gagal jantung mencari bantuan medis karena
munculnya keluhan sesak nafas dan kelelahan. Gagal jantung berkembang seiring
berjalannya waktu, sebagaimana gejalanya juga akan semakin memburuk
(Gambar 21 – 5). Pasien umumnya menjalani echocardiography untuk
mendiagnosa adanya defek pada struktur jantung, untuk mendeteksi tanda-tanda
"remodeling jantung", untuk menentukan fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan untuk
menilai fungsi diastolik jantung. Evaluasi laboratorium terhadap konsentrasi
peptida natriuretik otak atau brain natriuretic peptide (BNP) juga diperoleh untuk
membedakan gagal jantung dari penyebab dispnea yang lainnya. brain natriuretic
peptide (BNP) dilepaskan dari jantung, dan elevasinya berhubungan dengan
adanya gangguan fungsi ventrikel.

Sebagai respon terhadap kegagalan ventrikel, tubuh mencoba untuk


mengkompensasi fungsi sistolik ventrikel kiri melalui sistem simpatis dan sistem
rennin – angiotensin – aldosteron. Akibatnya, pasien mengalami retensi garam,
ekspansi volume, stimulasi simpatis, dan vasokonstriksi. Jantung berdilatasi untuk
mempertahankan stroke volume (SV) meskipun mengalami penurunan pada
kontraktilitasnya. Seiring waktu, mekanisme kompensasi akan gagal dan
berkontribusi terhadap gejala yang berhubungan dengan gagal jantung (misalnya,
Edema, takikardia, penurunan perfusi jaringan). Pasien dengan gagal jantung
sistolik kemungkinan hadir untuk menjalani operasi dalam terapi pengobatan
dengan diuretik, penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE), penghambat
reseptor angiotensin, dan antagonis aldosteron sebelumnya. Elektrolit harus
diukur, karena terapi gagal jantung sering menyebabkan perubahan konsentrasi
potassium dalam serum. Penghambat reseptor angiotensin atau penggunaan
inhibitor angiotensin-converting enzyme (ACE) dapat menyebabkan hipotensi
selama peri – induksi pada pasien dengan gagal jantung. Penghambat angiotensin-
converting enzyme (ACE) jarang dikaitkan dengan adanya angioedema yang
memerlukan penanganan saluran napas yang emergensi.
Gambar 21 – 5. Tahapan dalam pengembangan gagal jantung / terapi yang
direkomendasikan secara bertahap. ACEI, angiotensin – converting enzyme
inhibitor; ARB, angiotensin II receptor blocker atau penghambat reseptor
angiotensin II; EF, ejection fraction; FHx CM, family history of cardiomyopathy
atau riwayat keluarga akan kardiomiopati; HF, heart failure; LVH, left ventricular
hypertrophy atau hipertrofi ventrikel kiri; MI, miokard infark. (diproduksi ulang
dengan seizin dari Jessup M, Abraham W, Casey D, et al: 2009 Focused update:
ACCF/AHA guidelines for the diagnosis and management of heart failure in
adults: a report of the American College of Cardiology Foundation/American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation 2009 ; 119 :
1977.).

Disfungsi diastolik ventrikel menghasilkan gejala kongesti dan gagal


jantung. Relaksasi miokard adalah proses yang dinamis, tidak pasif. Jantung
dengan fungsi diastolik yang terjaga mengakomodasi volume selama diastolik,
dengan peningkatan minimal pada tekanan diastolik dari ventrikel kiri.
Sebaliknya, jantung dengan disfungsi diastolik mengalami relaksasi dengan
kurang baik dan menghasilkan peningkatan tekanan diastolik pada ventrikel kiri.
Tekanan diastolik ventrikel kiri ditransmisikan ke atrium kiri dan pembuluh darah
pulmoner sehingga menyebabkan gejala kongesti.

Manajemen anastesi pada pasien dengan gagal jantung memerlukan


penilaian dan optimalisasi volume cairan intravaskular secara hati – hati –
terutama jika agen inotropik positif, vasokonstriktor, atau vasodilator digunakan.
Secara khusus, pasien dengan disfungsi diastolik dapat mentolerir adanya
peningkatan volume dengan buruk, yang menyebabkan terjadinya kongesti paru.
KARDIOMIOPATI HIPERTROFIK

Kardiomiopati hipertrofik atau hypertrophic cardiomyopathy (HCM)


adalah kondisi dengan sifat autosomal dominan yang mempengaruhi 1 dari 500
orang dewasa. Banyak pasien tidak menyadari kondisinya, dan beberapa akan
hadir dengan sudden cardiac death (SCD) sebagai manifestasi awal. Gejalanya
meliputi dispnea, intoleransi latihan, palpitasi, dan nyeri dada. Secara klinis,
hypertrophic cardiomyopathy (HCM) terdeteksi oleh adanya murmur dari
sumbatan saluran keluar ventrikel kiri dinamis atau dynamic left ventricular
outflow tract (LVOT) pada akhir sistolik. Pasien simtomatik seringkali mengalami
penebalan pada septum intraventrikular sebesar 20 mm sampai dengan 30 mm.
Mutasi pada gen yang menjadi kode untuk sarkomer jantung dan protein
pendukungnya juga terlibat. Miokardium pada septum intraventrikular tidak
normal, dan banyak pasien dapat mengalami disfungsi diastolik dan sudden
cardiac death (SCD) tanpa gradien obstruktif dinamis yang menonjol. Selama
sistolik, daun katup anterior pada katup mitral berbatasan dengan septum
intraventrikular (Gambar 21 – 6), sehingga menghasilkan obstruksi dan murmur
pada akhir sistolik.
Gambar 21 – 6. Tampilan sudut pandang aksis memanjang midesophageal.
Sebagai konsekuensi dari septum interventrikular yang mengalami hipertropi, pola
aliran di dalam jantung diubah sehingga daun anterior dari katup mitral tertarik
selama sistol ventrikel menuju kedalam saluran keluar ventrikel kiri atau left
ventricular outflow tract (LOVT), sehingga menghasilkan penyumbatan. Gerakan
ini dikenal sebagai gerakan anterior sistolik atau systolic anterior motion (SAM)
katup mitral. (Diproduksi ulang, dengan seizin, dari Wasnick J, Hillel Z, Kramer
D, et al: Cardiac Anesthesia & Transesophageal Echocardiography, McGraw –
Hill, 2011.)

Manajemen perioperatif ditujukan untuk meminimalkan tingkat obstruksi


dari left ventricular outflow tract (LVOT). Hal ini dilakukan dengan
mempertahankan volume intravaskular yang memadai, menghindari vasodilatasi,
dan mengurangi kontraktilitas miokard melalui penggunaan β – blocker.

PENYAKIT KATUP JANTUNG

1. EVALUASI UMUM DARI PASIEN

Terlepas dari lesi atau penyebabnya, evaluasi pra – operasi terutama harus
berkaitan dengan penentuan identitas dan tingkat keparahan dari lesi dan
signifikansi hemodinamiknya, fungsi ventrikel residual, dan adanya efek sekunder
pada fungsi paru, ginjal, dan hepar. coronary artery disease (CAD) yang terjadi
secara bersamaan tidak boleh diabaikan, terutama pada pasien yang lebih tua dan
pada mereka yang memiliki faktor risiko yang diketahui (lihat di atas). Iskemia
miokard juga dapat terjadi tanpa adanya oklusi koroner yang signifikan pada
pasien dengan stenosis aorta berat atau regurgitasi.
Anamnesis

Anamnesis pra – anesthesia harus fokus pada gejala yang


berhubungan dengan penurunan fungsi ventrikel. Gejala dan tanda harus
berkorelasi dengan data laboratorium. Pertanyaan harus mengevaluasi
toleransi latihan, kelelahan, dan edema tungkai dan sesak napas secara
umum (dyspnea), saat berbaring rata (ortopnea), atau sesak nafas pada
malam hari (paroxysmal nocturnal dyspnea). Klasifikasi fungsional New
York Heart Association dari penyakit jantung (Tabel 21 – 13) berguna
untuk menilai tingkat keparahan gejala gagal jantung dan perkiraan dari
prognosis penyakitnya. Pasien juga harus ditanyai tentang nyeri dada dan
gejala neurologis. Beberapa lesi pada katup berhubungan dengan
fenomena tromboembolik. Prosedur sebelumnya, seperti valvotomi atau
penggantian katup jantung dan pengaruh yang diakibatkan oleh prosedur
tersebut, juga harus didokumentasikan dengan baik.

Pengkajian ulang mengenai pengobatan harus mengevaluasi


keampuhan dan menyingkirkan efek samping yang serius. Agen yang
umum digunakan meliputi diuretik, vasodilator, inhibitor angiotensin-
converting enzyme (ACE), β – blocker, antiaritmia, dan antikoagulan.
Terapi vasodilator pra – operasi dapat digunakan untuk mengurangi
preload, afterload, atau keduanya. Vasodilatasi berlebihan memperburuk
toleransi latihan dan seringkali termanifestasi pertama kali sebagai
hipotensi postural (ortostatik).

Tabel 21 – 13. Klasifikasi penyakit jantung fungsional yang dimodifikasi New


York Association

Kelas Deskripsi

I Asimptomatik kecuali saat aktifitas berat

II Simptomatik dengan aktifitas sedang


III Simptomatik dengan aktifitas minimal

IV Simptomatik saat istirahat

Pemeriksaan Fisik

Tanda yang paling penting untuk diidentifikasi pada pemeriksaan


fisik adalah kegagalan jantung kongestif. Kongesti jantung kiri (S 3 gallop
atau pulmonary rales) dan kongesti jantung kanan (distensi vena jugularis,
hepatojugular reflux, hepatosplenomegali, atau edema tungkai) merupakan
tanda – tanda mungkin ditemukan. Temuan auskultasi dapat
mengkonfirmasi adanya disfungsi katup (Gambar 21 – 7), namun studi
ekokardiografi lebih dapat diandalkan. Defisit neurologis, biasanya terjadi
akibat dari adanya fenomena emboli, dan hal tersebut harus
didokumentasikan.

Evaluasi Laboratorium

Sebagai tambahan terhadap studi laboratorium yang dibahas untuk


pasien dengan hipertensi dan coronary artery disease (CAD), tes fungsi
hati mungkin berguna dalam menilai disfungsi hati yang disebabkan oleh
kongesti hati pasif pada pasien dengan kegagalan jantung sisi kanan yang
parah atau kronis. Gas darah arterial dapat diukur pada pasien dengan
gejala pulmonal yang signifikan. Pembalikan warfarin atau heparin harus
didokumentasikan dengan waktu protrombin dan rasio normalisasi
internasional atau international normalized ratio (INR) atau waktu
tromboplastin parsial, masing – masing diperiksa sebelum menjalani
operasi.
Temuan elektrokardiografi (EKG) umumnya tidak spesifik.
Pemeriksaan radiografi dada umumnya lebih berguna untuk menilai
ukuran jantung dan adanya kongesti pada pembuluh darah pulmoner.

Pemeriksaan Khusus

Ekokardiografi, studi pencitraan, dan kateterisasi jantung


memberikan informasi diagnostik dan prognostik yang penting mengenai
adanya lesi pada katup, namun sebaiknya hanya jika hasilnya akan
mengubah terapi atau hasil pada pasien. Lebih dari satu lesi pada katup
jantung seringkali ditemukan. Dalam banyak kasus, studi non – invasive
meniadakan kebutuhan kateterisasi jantung, kecuali ada kekhawatiran
tentang adanya coronary artery disease (CAD). Informasi dari
pemeriksaan ini paling baik ditinjau bersama dengan ahli jantung.
Pertanyaan berikut harus dijawab:

• Kelainan katup jantung mana yang paling penting secara


hemodinamik?

• Apakah tingkat keparahan dari lesi katup jantung yang


teridentifikasi?

• Apakah derajat dari gangguan ventrikel yang hadir?

• Apakah pentingnya hemodinamik dari kelainan lain yang


diketahui?

• Apakah ada bukti mengenai adanya coronary artery disease


(CAD)?
Gambar 21 – 7. Strategi untuk mengevaluasi murmur jantung. (Direproduksi
ulang, dengan izin, dari Bonow RO, Carabello BA, Chatterjee K, et al : 2008
focused update incorporated in the American College of Cardiology (ACC) /
American Heart Association (AHA) 2006 guidelines for the management of
patients with valvular heart disease: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines
(writing committee to revise the 1998 guidelines for the management of patients
with valvular heart disease) : endorsed by the Society of Cardiovascular
Anesthesiologists, Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, and
Society of Thoracic Surgeons. Circulation 2008 ; 118 : e523.)

American College of Cardiology (ACC) / American Heart


Association (AHA) telah menyiapkan panduan terperinci untuk membantu
dalam pengelolaan pasien dengan penyakit katup jantung. Meskipun
evaluasi pasien dengan murmur jantung umumnya terletak pada ahli
jantung, penyedia anestesi pada beberapa kesempatan akan menemukan
adanya murmur yang tidak terdeteksi sebelumnya pada pemeriksaan pra –
anestetik. Secara khusus, ahli anestesi khawatir bahwa stenosis aorta yang
tidak terdiagnosis dan kritis mungkin ada, yang berpotensi menyebabkan
adanya kolaps hemodinamik dengan pemberian anestesi regional ataupun
anestesi umum. Dulu, kebanyakan penyakit katup jantung merupakan
konsekuensi dari penyakit jantung rematik; Namun, dengan populasi
bedah yang berusia lanjut, semakin banyak pasien mengalami masalah
katup jantung degeneratif. Lebih dari satu dari delapan pasien yang berusia
di atas 75 tahun dapat menunjukkan setidaknya satu bentuk penyakit katup
jantung derajat sedang sampai dengan derajat berat. Sebuah studi yang
dilakukan di Belanda melaporkan bahwa prevalensi stenosis aorta adalah
sebesar 2.4 % pada pasien yang berusia di atas 60 tahun yang dijadwalkan
menjalani operasi elektif. Penyakit katup yang telah didiagnosis sangat
umum terjadi pada wanita lanjut usia.

Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) /


American Heart Association (AHA), auskultasi jantung adalah metode
yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi adanya penyakit katup
jantung. Murmur terjadi sebagai konsekuensi aliran darah yang dipercepat
melalui pembukaan katup yang menyempit pada lesi stenotik dan
regurgitasi. Meskipun murmur sistolik mungkin terkait dengan
peningkatan kecepatan aliran darah, pedoman American College of
Cardiology (ACC) / American Heart Association (AHA) mencatat bahwa
semua murmur diastolik dan murmur kontinyu mencerminkan adanya
patologi. Selain murmur yang dianggap tidak menimbulkan masalah,
seperti murmur aliran mid – sistolik (kelas 2 atau lebih pelan), pedoman
American College of Cardiology (ACC) / American Heart Association
(AHA) merekomendasikan evaluasi ekokardiografi. Bila murmur baru
terdeteksi dalam evaluasi pra – operasi, konsultasi dengan dokter pribadi
pasien sangat membantu untuk menentukan kebutuhan akan evaluasi
ekokardiografi. Di banyak pusat kesehatan, evaluasi ekokardiografi segera
dapat dilakukan pada area pra – operasi.

2. KELAINAN KATUP JANTUNG SPESIFIK

STENOSIS MITRAL

Pertimbangan Pra – Operatif

Stenosis mitral hampir selalu terjadi sebagai komplikasi tertunda


dari adanya demam rematik. Namun, stenosis mitral juga dapat terjadi
pada pasien yang bergantung pada dialisis. Dua pertiga pasien dengan
stenosis mitral adalah perempuan. Proses stenotik diperkirakan dimulai
setelah minimal 2 tahun setelah penyakit jantung rematik dan diakibatkan
oleh proses fusi progresif dan kalsifikasi pada daun katup jantung. Gejala
umumnya berkembang setelah 20 – 30 tahun, bila lubang katup mitral
berkurang dari pembukaan normalnya yaitu sebesar 4 – 6 cm 2
sampai
menjadi kurang dari 1.5 cm 2. Kurang dari 50 % pasien telah mengalami
stenosis mitral terisolasi; Pasien yang tersisa juga memiliki regurgitasi
mitral, dan sampai 25 % pasien juga memiliki keterlibatan reumatik pada
katup aorta (stenosis ataupun regurgitasi).

Patofisiologi

Proses rematik menyebabkan daun katup jantung menjadi


menebal, mengalami kalsifikasi, dan menjadi berbentuk seperti corong;
kalsifikasi annular mungkin juga dijumpai. Komisura katup mitral
menyatu, chordae tendinae menyatu dan menjadi pendek, dan kuspis katup
menjadi kaku; Akibatnya, daun katup jantung biasanya akan menampilkan
bentuk lengkungan atau doming selama proses diastolik pada pemeriksaan
ekokardiografi.

Restriksi pada aliran darah yang melalui katup mitral secara


signifikan akan menghasilkan gradien tekanan transvalvular yang
bergantung pada curah jantung, detak jantung (waktu diastolik), dan ritme
jantung. Peningkatan pada curah jantung ataupun denyut jantung
(penurunan waktu diastolik) memerlukan aliran yang lebih tinggi dari
darah yang melintasi katup dan menghasilkan gradien tekanan
transvalvular yang lebih tinggi. Atrium kiri seringkali berdilatasi secara
signifikan, sehingga mempromosikan kejadian supraventricular
tachycardias (SVTs), terutama atrial fibrillation (AF). Stasis aliran darah
di atrium mendorong pembentukan trombi, biasanya pada apendiks dari
atrium kiri. Hilangnya sistole atrium normal dengan adanya atrial
fibrillation (AF) (yang biasanya bertanggung jawab untuk 20 % sampai
dengan 30 % dari pengisian ventrikel) memerlukan aliran diastolik yang
jauh lebih tinggi lagi pada aliran darah yang melewati katup untuk
mempertahankan curah jantung yang sama dan meningkatkan gradien
transvalvular.

Elevasi secara akut pada tekanan atrium kiri dengan cepat


ditransmisikan kembali ke kapiler paru. Jika tekanan pembuluh darah
kapiler pulmoner rata – rata secara akut dan secara signifikan meningkat
transudasi cairan kapiler akan dapat menyebabkan terjadinya edema paru.
Elevasi kronis pada tekanan kapiler paru sebagian dikompensasikan
dengan peningkatan aliran limfatik pulmoner, namun pada akhirnya
menghasilkan perubahan pembuluh darah pulmoner, yang menyebabkan
peningkatan ketahanan vaskuler paru atau pulmonary vascular resistance
(PVR) yang tidak dapat diperbaiki dan mengakibatkan hipertensi
pulmonal. Penurunan kompliansi paru – paru dan peningkatan sekunder
dalam beban kerja pernapasan berkontribusi pada gejala dyspnea kronis.
Kegagalan ventrikel kanan sering dipresipitasi dalam bentuk kenaikan akut
atau kronis pada afterload ventrikel kanan. Dilatasi yang bermakna pada
ventrikel kanan dapat menyebabkan regurgitasi katup trikuspid atau katup
pulmonal.

Kejadian embolik sering terjadi pada pasien dengan stenosis mitral


dan atrial fibrillation (AF). Lepasnya gumpalan dari atrium kiri
menghasilkan emboli sistemik, paling sering terjadi pada sirkulasi
serebral. Pasien juga memiliki peningkatan kejadian emboli paru, infark
paru, hemoptisis, dan bronkitis rekuren. Hemoptisis paling sering terjadi
akibat rupturnya penghubung vena pulmoner – bronchial. Nyeri dada
terjadi pada 10 % sampai dengan 15 % pasien dengan stenosis mitral,
bahkan jika tidak disertai dengan adanya coronary artery disease (CAD);
Etiologinya seringkali tidak dapat dijelaskan, namun mungkin terjadi
akibat adnaya emboli dalam sirkulasi koroner atau kelebihan tekanan
ventrikel kanan akut. Pasien dapat mengembangkan suara serak sebagai
akibat dari kompresi saraf laring kiri berulang – ulang oleh atrium kiri
yang membesar.

Fungsi ventrikel kiri bersifat normal pada sebagian besar pasien


dengan stenosis mitral murni (Gambar 21 – 8), namun fungsi ventrikel kiri
yang terganggu dapat ditemukan pada 25 % pasien dan mungkin
merupakan kerusakan residual akibat dari miokarditis rematik atau
penyakit jantung hipertensi atau penyakit jantung iskemik yang hadir
secara bersamaan.

Ventrikel kiri akan terbebani secara kronis pada pasien dengan


stenosis mitral. Pada saat yang bersamaan, atrium kiri, ventrikel kanan,
dan atrium kanan sering mengalami dilatasi dan gangguan fungsional.
Vasodilatasi yang terjadi setelah anestesi neuraksial dan anestesi umum
dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah vena perifer dan
mengakibatkan pengiriman volume secara tidak memadai menuju
ventrikel kiri. Pengiriman volume yang kurang adekuat ini bisa memicu
terjadinya kolaps hemodinamik.

Gambar 21 – 8. Lingkaran siklus tekanan – volume pada pasien dengan penyakit


katup jantung. A, normal; B, stenosis mitral; C, stenosis aorta; D, regurgitasi
mitral (kronis); E, regurgitasi aorta (kronis). LV, left ventricular atau ventrikel
kiri. (Diproduksi ulang, dengan seizin, dari Jackson JM, Thomas SJ, Lowenstein
E: Anesthetic management of patients with valvular heart disease. Semin Anesth
1982 ; 1 : 239.)

Perhitungan Luas dan Gradien Transvulvar Katup Mitral

Ekokardiografi dua dimensi dan ekokardiografi Doppler dapat


digunakan untuk memperkirakan penurunan tekanan pada katup yang
mengalami stenotik dan luas dari katup jantung. Berdasarkan asumsi
bahwa kecepatan aliran darah jauh lebih besar secara distal dibandingkan
dengan secara proksimal terhadap penyumbatan, sehingga persamaan
Bernoulli dapat disederhanakan menjadi:

∆𝑃 = 4𝑉 2
Dimana Δ P adalah gradien tekanan (dalam satuan mm Hg) dan V
adalah kecepatan aliran darah (dalam satuan m / s) yang distal terhadap
obstruksi. Orifisium dari katup dapat diperkirakan dari waktu yang
dibutuhkan untuk dari gradien tekanan puncak awal sampai mencapai
setengah dari nilai awalnya, yang dikenal sebagai waktu paruh tekanan (T
1/2). Hubungan ini kemudian diperkirakan dengan:

220
𝐴=
𝑇1/2

Dimana A adalah orifisium dari katup (dalam satuan cm 2) dan T 1/2


adalah waktu dari kecepatan arus puncak (Vmax) sampai Vmax / 1.4.
Hubungan ini didasarkan pada pengamatan bahwa T 1/2 masih tetap
konstan secara relatif untuk lubang yang diketahui dilewati oleh aliran
dengan rentang kisaran yang luas. Waktu paruh tekanan 220 mili detik
sesuai dengan luas katup mitral yang sebesar 1 cm 2.

2
Luas katup mitral yang kurang dari 1 cm biasanya berhubungan
dengan gradien transvalvular sebesar 20 mmHg saat istirahat dan
terjadinya dispnea dengan pengeluaran tenaga yang minimal; luas katup
2
mitral kurang dari 1 cm sering disebut sebagai stenosis mitral kritis.
2 2
Pasien dengan luas katup mitral antara 1.5 cm sampai dengan 2.0 cm
umumnya bersifat asimtomatik atau hanya memiliki gejala ringan dengan
2
eksersi. Bila luas katup mitral antara 1 cm sampai dengan 1.5 cm 2,
sebagian besar pasien akan menunjukkan adanya gejala dengan usaha
ringan sampai dengan usaha sedang. Meskipun curah jantung mungkin
normal saat istirahat, namun jantung akan gagal untuk meningkatkan curah
jantung secara tepat selama beraktivitas karena adanya penurunan preload
pada ventrikel kiri.
Pengobatan

Waktu dari onset gejala sampai dengan terjadinya inkapasitasi


secara rata – rata berlangsung selama 5 – 10 tahun. Pada tahap itu,
kebanyakan pasien akan meninggal dalam waktu 2 – 5 tahun. Oleh karena
itu koreksi bedah biasanya dilakukan begitu gejala yang signifikan mulai
berkembang. Valvuloplasti balon transseptal perkutan dapat digunakan
pada pasien muda atau hamil yang dipilih, serta pasien yang lebih tua yang
merupakan kandidat pasien pembedahan yang buruk. Manajemen medis
terutama mendukung dan mencakup pembatasan aktivitas fisik,
pembatasan asupan natrium, dan penggunaan diuretik. Dosis kecil dari
obat penghambat reseptor β – adrenergic juga berguna untuk
mengendalikan denyut jantung pada pasien dengan gejala ringan sampai
dengan sedang. Pasien dengan riwayat emboli dan mereka yang berisiko
tinggi (usia lebih tua dari 40 tahun; atrium besar dengan fibrilasi atrium
kronis) biasanya perlu menggunakan terapi antikoagulan.

Manajemen Anestetik

A. Tujuan

Tujuan utama hemodinamik adalah mempertahankan ritme


sinus (jika ada sebelum operasi) dan untuk menghindari adanya
takikardia, peningkatan curah jantung yang besar, dan hipovolemia
dan kelebihan cairan dengan pemberian cairan intravena secara hati
– hati.
B. Monitoring

Pemantauan hemodinamika invasif sering digunakan untuk


prosedur operasi besar, terutama yang berhubungan dengan adanya
pergeseran cairan yang besar. Transesophageal echocardiography
(TEE) juga bisa digunakan untuk membantu memandu manajemen
perioperatif. Penggantian cairan terlalu cepat dengan mudah
memicu edema pulmoner pada pasien dengan penyakit berat.
Pengukuran tekanan baji kapiler pulmonal dengan adanya stenosis
mitral mencerminkan gradien transvalvular dan tdak selalu
menunjukkan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri. Gelombang a
yang menonjol dan pengurangan turunan y biasanya muncul pada
bentuk gelombang tekanan baji kapiler pulmoner pada pasien yang
berada dalam ritme sinus. Gelombang cv yang menonjol pada
bentuk gelombang tekanan vena sentral biasanya menunjukkan
adanya regurgitasi trikuspid sekunder. Elektrokardiografi (EKG)
biasanya menunjukkan adanya gelombang P yang berlekuk pada
pasien yang berada dalam ritme sinus.

C. Pemilihan Agen

Pasien mungkin sangat sensitif terhadap efek vasodilatasi


dari anestesi spinal dan anestesi epidural. Anestesi epidural
mungkin lebih mudah ditangani daripada anestesi spinal karena
onset blokade simpatis yang lebih bertahap. Tidak ada anestesi
umum yang "ideal", dan agen harus digunakan untuk mencapai
efek yang diinginkan dari waktu diastolik yang cukup yang
memungkinkan yang untuk mengisi ventrikel kiri secara memadai.
Vasopressor sering dibutuhkan untuk mempertahankan tonus
vaskular setelah induksi anestesi.
Tachycardia intraoperatif mungkin dapat dikendalikan
dengan memperdalam anestesi dengan opioid (tidak termasuk
meperidin) atau β – blocker (esmolol atau metoprolol). Dengan
adanya atrial fibrillation (AF), laju ventrikel harus dikontrol.
Kemunduran hemodinamik yang bermakna akibat dari
adanya supraventricular tachycardias (SVTs) yang mendadak
memerlukan tindakan kardioversi. Phenylephrine lebih disukai
daripada efedrin sebagai vasopressor karena yang phenylepehrine
tidak memiliki aktivitas agonis β – adrenergic. Vasopressin juga
dapat digunakan untuk mengembalikan tonus vaskular jika
hipotensi berkembang sekunder akibat induksi anestesi.

REGURGITASI MITRAL

Pertimbangan Pra – Operatif

Regurgitasi mitral dapat berkembang secara akut atau tersembunyi


akibat sejumlah besar kelainan. Regurgitasi mitral kronis biasanya
merupakan akibat dari adanya demam reumatik sebelumnya (seringkali
disertai stenosis mitral secara bersamaan); Kelainan kongenital atau
perkembangan dari aparatus katup; atau dilatasi, penghancuran, atau
pengapuran dari annulus mitral. Regurgitasi mitral akut biasanya
disebabkan oleh iskemia miokard atau infark (disfungsi otot papiler atau
pecahnya chorda tendinea), endokarditis infektif, atau trauma dada.

Gangguan yang utama adalah penurunan volume stroke ke arah


depan karena aliran balik dari darah ke atrium kiri selama sistol. Ventrikel
kiri mengkompensasi dengan cara berdilatasi dan meningkatkan volume
akhir diastolik (Gambar 21 – 8). Regurgitasi pada katup mitral pada
awalnya mempertahankan volume akhir sistolik tetap normal meskipun
volume akhir diastolik meningkat. Namun, seiring perkembangan
penyakit, volume sistolik akhir juga akan meningkat. Dengan
meningkatkan volume akhir diastolik, ventrikel kiri yang kelebihan beban
volume dapat mempertahankan curah jantung normal meskipun darah
dikeluarkan secara retrograde kembali ke atrium. Seiring dengan
berjalannya waktu, pasien dengan regurgitasi mitral kronis akhirnya akan
mengembangkan hipertrofi ventrikel kiri eksentrik dan penurunan
progresif pada kontraktilitas. Pada pasien dengan regurgitasi mitral berat,
volume regurgitasi dapat melebihi volume stroke ke arah depan. Pada
waktunya nanti, stres pada dinding akan meningkat, sehingga
mengakibatkan meningkatnya permintaan akan suplai oksigen miokard.

Volume regurgitasi yang melewati katup mitral bergantung pada


ukuran lubang katup mitral (yang dapat bervariasi dengan ukuran rongga
ventrikel), denyut jantung (waktu sistolik), dan gradien tekanan ventrikel
kiri – atrium kiri selama sistol. Faktor gradient tekanan ventrikel kiri –
atrium kiri dipengaruhi oleh tahanan relatif dari dua jalur aliran keluar dari
ventrikel kiri, yaitu systemic vascular resistance (SVR) dan kepatuhan
atrium kiri. Dengan demikian, penurunan pada systemic vascular
resistance (SVR) atau peningkatan pada tekanan rata – rata atrium kiri
akan mengurangi volume regurgitasi. Kepatuhan atrium juga menentukan
manifestasi klinis secara predominan. Pasien dengan kepatuhan atrium
yang normal atau berkurang (regurgitasi mitral akut) terutama akan
menyebabkan kongesti pembuluh darah pulmoner dan edema pulmoner.
Pasien dengan peningkatan kepatuhan atrium (regurgitasi mitral yang telah
berlangsung lama menghasilkan atrium kiri yang berdilatasi besar)
terutama menunjukkan tanda – tanda adanya curah jantung yang
berkurang. Sebagian besar pasien berada di antara dua kondisi tersebut dan
menunjukkan gejala kongesti pulmoner dan curah jantung yang rendah.
Pasien dengan fraksi regurgitasi kurang dari 30 % dari total volume stroke
umumnya memiliki gejala yang ringan. Fraksi regurgitasi sebesar 30 %
sampai dengan 60 % umumnya menyebabkan munculnya gejala sedang,
sedangkan fraksi regurgitasi yang lebih besar dari 60 % berhubungan
dengan adanya penyakit yang berat.

Gambar 21 – 9. Klasifikasi gerakan daun katup mitral (seperti yang terlihat dari
ekokardiografi transesofagus). Perhatikan bahwa dengan adanya prolaps, ujung
bebas daun – daun katup memanjang melampaui bidang anulus mitral yang
menghasilkan jet eksentrik. Dengan gerakan yang terbatas, daun katup gagal
untuk menyesuaikan, sehingga menghasilkan jet sentral.

Ekokardiografi, khususnya transesophageal echocardiography


(TEE), berguna untuk menggambarkan patofisiologi yang mendasari dari
terjadinya regurgitasi mitral dan juga dapat menuntun untuk perawatan
pasien tersebut. Gerakan daun katup mitral sering digambarkan sebagai
normal, prolaps, atau restriktif (Gambar 21 – 9). Gerakan atau prolaps
yang berlebihan didefinisikan oleh gerakan daun katup selama sistolik
yang di luar dari bidang katup mitral dan masuk kedalam atrium kiri (lihat
bagian di bawah pada bagian prolaps katup mitral).

Penghitungan Fraksi Regurgitasi

Untuk menghitung fraksi regurgitasi atau regurgitant fraction


(RF), stroke volume (SV) ke arah depan dan regurgitant stroke volume
(RSV) harus diukur. Meskipun keduanya dapat diestimasi dengan data
kateterisasi, echocardiography Doppler berdenyut cukup memberikan
perhitungan akut secara masuk akal. Volume stroke diukur pada left
ventricular outflow tract (LVOT) dan pada katup mitral atau mitral valve
(MV), di mana:

𝑆𝑡𝑟𝑜𝑘𝑒 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑐𝑟𝑜𝑠𝑠 − 𝑠𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 (𝐴) × (𝑇𝑉𝐼)

𝐷𝑎𝑛 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑐𝑟𝑜𝑠𝑠 − 𝑠𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 (𝐴) 𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑘𝑖𝑟𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛

𝐴 = 0.785 × (𝐷𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟)2

Intgral waktu – kecepatan atau time – velocity integral (TVI) adalah


integral dari kecepatan versus sinyal waktu yang diperoleh dengan
Doppler berdenyut. Time – velocity integral (TVI) mencerminkan jarak
yang ditempuh oleh darah saat jantung berdetak kencang. Dengan
mengetahui daerah dimana yang dilewati oleh darah dan jarak ditempuh
yang ditempuhnya, maka muncul kemungkinan untuk memperkirakan
volume stroke nya. Hal ini dapat dilakukan karena daerah tersebut
dinyatakan dalam sentimeter kuadrat, dan jaraknya dinyatakan dalam
sentimeter. Produk dari ukuran ini adalah sentimeter kubik atau mililiter –
oleh karena itu, dapat dinyatakan volume stroke untuk setiap detak
jantungnya.

Dengan demikian, volume darah yang masuk melalui katup mitral


harus sama dengan volume yang melewati jalur aliran keluar ventrikel kiri.
Perbedaan antara keduanya mewakili jumlah volume yang awalnya masuk
ke dalam ventrikel kiri, tapi volume tersebut tidak melewati left
ventricular outflow tract (LVOT). Volume ini adalah volume yang
diregurgitasikan kembali ke atrium kiri.

𝑅𝑆𝑉𝑟𝑒𝑔𝑢𝑟𝑔𝑖𝑡𝑎𝑠𝑖 𝑚𝑖𝑡𝑟𝑎𝑙 = (𝐴𝑀𝑉 × 𝑉𝑇𝐼𝑀𝑉 ) − (𝐴𝐿𝑉𝑂𝑇 − 𝑇𝑉𝐼𝐿𝑉𝑂𝑇 )

Dan

𝑅𝐹 = 𝑅𝑆𝑉 / 𝑆𝑉

Regurgitant stroke volume (RSV) yang lebih besar dari 65 mL


biasanya berkorelasi dengan kondisi regurgitasi mitral yang parah.

Penanganan

Pengurangan afterload bermanfaat pada kebanyakan pasien dan


bahkan mungkin menyelamatkan nyawa pada pasien dengan regurgitasi
mitral akut. Pengurangan systemic vascular resistance (SVR)
meningkatkan stroke volume (SV) ke arah depan dan menurunkan volume
regurgitasi. Penanganan dengan pembedahan biasanya diperuntukkan
untuk pasien – pasien dengan gejala sedang sampai dengan berat.
Valvuloplasty atau perbaikan katup dilakukan bilamana memungkinkan
untuk menghindari masalah yang terkait dengan prosedur penggantian
katup (misalnya, tromboemboli, perdarahan, dan kegagalan prostetik).
Perbaikan katup yang dimediasi oleh kateter saat ini terus disempurnakan,
dimana akan berpotensi mengurangi kebutuhan terhadap operasi
"terbuka". Ahli anestesi yang ahli dalam ekokardiografi perioperatif
tingkat lanjut dapat membantu mengidentifikasi daun katup dengan benar
untuk diperbaiki dan menentukan keberhasilan dari proses perbaikan.
Ekokardiografi tiga dimensi semakin banyak digunakan untuk membantu
penilaian dari kondisi katup mitral (lihat Gambar 5 – 29).

Manajemen Anestetik

A. Tujuan

Manajemen anestesi harus disesuaikan dengan tingkat


keparahan regurgitasi mitral serta fungsi ventrikel kiri yang
mendasarinya. Faktor – faktor yang memperparah regurgitasi,
seperti denyut jantung lambat dan kenaikan afterload secara akut,
sehingga hal tersebut harus dihindari. Bradikardia dapat
meningkatkan volume regurgitasi dengan meningkatkan volume
diastolik ventrikel kiri dan mendilatasi anulus mitral secara akut.
Detak jantung idealnya harus dijaga antara 80 dan 100 denyut /
menit. Peningkatan akut pada afterload ventrikel kiri, seperti pada
intubasi endotrakeal dan stimulasi bedah dengan anestesi "ringan",
harus ditangani dengan cepat namun tanpa depresi miokard yang
berlebihan. Ekspansi volume yang berlebihan juga bisa
memperburuk regurgitasi dengan mendilatasi ventrikel kiri.
B. Monitoring

Monitor didasarkan pada tingkat keparahan disfungsi dari


ventrikel, dan juga prosedur yang dijalankan. Regurgitasi mitral
dapat dikenali pada bentuk gelombang baji arteri pulmonal sebagai
gelombang v besar dan turunan y cepat (Gambar 21 – 10). Tinggi
gelombang v berbanding terbalik dengan kepatuhan atrium dan
pembuluh darah pulmoner, namun berbanding lurus dengan aliran
darah pulmoner dan volume regurgitasi; Dengan demikian,
gelombang v mungkin tidak menonjol pada pasien dengan
regurgitasi mitral kronis, kecuali pada kerusakan yang akut.
Gelombang v yang sangat besar sering terlihat pada bentuk
gelombang tekanan pulmonalis, bahkan tanpa menjepit kateter.
Transesophageal echocardiography (TEE) doppler dengan aliran
yang berwarna dapat sangat berharga dalam menghitung tingkat
keparahan regurgitasi dan mengarahkan intervensi terapeutik pada
pasien dengan regurgitasi mitral berat. Menurut definisi, aliran
darah akan berbalik arah pada pembuluh darah pulmonal selama
sistol dengan adanya regurgitasi mitral yang parah.
Gambar 21 – 10. Bentuk gelombang kapiler pulmonal pada regurgitasi mitral,
menunjukkan gelombang v besar.

C. Pemilihan Agen

Pasien dengan fungsi ventrikel yang relatif terawat baik


cenderung memberikan efek dengan baik terhadap berbagai teknik
anestesi. Anestesi spinal dan epidural dapat ditoleransi dengan
baik, asalkan bradikardia dapat dihindari. Pasien dengan gangguan
ventrikel derajat sedang sampai dengan berat mungkin sensitif
terhadap depresi akibat pemberian agen volatil dengan konsentrasi
tinggi. Anestesi berbasis opioid mungkin lebih sesuai untuk pasien
tersebut – namun sekali lagi, yaitu asalkan bradikardia dapat
dihindari.

PROLAPS KATUP MITRAL

Pertimbangan Pra – Operatif

Prolaps katup mitral secara klasik ditandai dengan bunyi klik pada
pertengahan sistolik, dengan atau tanpa murmur sistolik apikal pada
auskultasi. Prolaps katup mitral adalah kelainan yang relatif umum yang
ditemukan hingga 1 % sampai dengan 2.5 % dari populasi umum.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan auskultasi dan dikonfirmasi
dengan ekokardiografi, yang menunjukkan prolaps sistolik daun katup
mitral yang masuk ke dalam atrium kiri. Pasien dengan murmur sering
memiliki beberapa elemen dari adanya regurgitasi mitral. Daun katup
mitral posterior lebih sering mengalami prolaps dibandingkan dengan daun
katup mitral anterior. Anulus mitral juga bisa mengalami dilatasi. Secara
patologis, kebanyakan pasien memiliki kelebihan atau degenerasi
myxomatous pada daun katup. Sebagian besar kasus prolaps katup mitral
bersifat sporadis atau familial, yang mempengaruhi orang normal. Insiden
prolaps katup mitral yang tinggi ditemukan pada pasien dengan gangguan
jaringan ikat (terutama sindrom Marfan).

Mayoritas pasien dengan prolaps katup mitral tidak menimbulkan


adanya gejala, namun dalam persentase kecil dari pasien, degenerasi
myxomatous bersifat progresif. Manifestasi, bila terjadi, dapat melibatkan
adanya nyeri dada, aritmia, kejadian embolik, regurgitasi mitral florid,
endokarditis infektif, dan yang jarang terjadi yaitu kematian mendadak.
Diagnosis dapat dilakukan sebelum operasi dengan adanya klik yang
karakteristik pada auskultasi, namun harus dikonfirmasi dengan
ekokardiografi. Prolaps ini lebih dikenal sebagai manuver yang
menurunkan volume ventrikel (preload). Aritmia atrium dan ventrikel
biasa terjadi. Meskipun bradyarrhythmias telah dilaporkan, takikardia
supraventrikular paroksismal adalah kondisi aritmia kelanjutan yang
paling banyak ditemui. Peningkatan kejadian saluran bypass
atrioventrikular (AV) abnormal dilaporkan pada pasien dengan prolaps
katup mitral.

Sebagian besar pasien memiliki rentang hidup normal. Sekitar 15


% mengalami regurgitasi mitral yang bersifat progresif. Persentase yang
lebih kecil mengembangkan fenomena embolik atau endokarditis infektif.
Pasien dengan adanya klik dan juga murmur sistolik pada auskultasi
tampaknya berisiko lebih besar mengalami komplikasi. Agen antikoagulan
atau antiplatelet dapat digunakan untuk pasien dengan riwayat emboli,
sedangkan obat penghambat reseptor β – adrenergic biasanya digunakan
untuk aritmia.
Manajemen Anestesi

Pengelolaan pasien ini didasarkan pada perkembangan klinis


mereka. Kebanyakan pasien tidak bergejala dan tidak memerlukan
perawatan khusus. Aritmia ventrikel dapat terjadi secara intraoperatif,
terutama muncul setelah adanya stimulasi simpatis, dan secara umum akan
merespons dengan pemberian agen lidokain atau penghambar reseptor β –
adrenergic. Regurgitasi mitral yang disebabkan oleh prolaps umumnya
diperburuk dengan penurunan ukuran ventrikel. Hipovolemia dan faktor –
faktor yang meningkatkan pengosongan ventrikel atau penurunan afterload
harus dihindari. Vasopressor dengan aktivitas agonis α – adrenergic murni
(seperti phenylephrine) lebih sering digunakan dibandingkan dengan
agonis – agonis reseptor β – adrenergic (efedrin) yang semula digunakan.

STENOSIS AORTA

Pertimbangan Pra – Operatif

Stenosis katup aorta adalah penyebab dari adanya obstruksi yang


paling umum pada aliran keluar ventrikel kiri. Obstruksi aliran keluar
ventrikel kiri lebih jarang terjadi diakibatkan oleh kardiomiopati
hipertrofik, stenosis subvalvival congenital yang diskret, atau, lebih jarang
lagi oleh stenosis supravalvular. Stenosis aorta valvular hampir selalu
bersifat bawaan, rematik, atau degeneratif. Kelainan pada jumlah katup
(yang paling umum adalah katup bikuspid) atau kelainan arsitekturnya
menghasilkan turbulensi yang menyebabkan trauma pada katup dan
akhirnya menyebabkan stenosis. Stenosis aorta reumatik jarang terisolasi;
Hal ini lebih sering dikaitkan dengan adanya regurgitasi aorta atau
penyakit katup mitral. Dalam bentuk degeneratif yang paling umum,
stenosis aorta kalsifikasi, keausan menyebabkan adanya penumpukan
endapan kalsium pada katup normal, mencegahnya sehingga tidak bisa
dibuka secara sepenuhnya (Gambar 21 – 11).

Gambar 21 – 11. Katup aorta stenotik terlihat dengan jelas pada sudut pandang
katup aorta sumbu pendek midesophageal ini. Kalsifikasi pada katup aorta
biasanya berhubungan dengan degenerasi senilis. Namun, abnormalitas secara
congenital (bikuspid) dan presentasi rematik juga terjadi. (Diproduksi ulang,
dengan seizin, dari Wasnick J, Hillel Z, Kramer D, et al: Cardiac Anesthesia &
Transesophageal Echocardiography, McGraw – Hill, 2011.)

Patofisiologi

Obstruksi aliran keluar ventrikel kiri yang disebabkan oleh stenosis


aorta valvular hampir selalu bertahap, menyebabkan ventrikel, setidaknya
pada awalnya, untuk mengkompensasi dan mempertahankan stroke
volume (SV). Hipertrofi ventrikel kiri yang konsentris memungkinkan
ventrikel untuk mempertahankan stroke volume (SV) dengan menghasilkan
gradien tekanan transvalvular yang dibutuhkan dan untuk mengurangi
tegangan dinding ventrikel.
Stenosis aorta yang kritis dikatakan ada bila pembukaan katup
aorta berkurang menjadi 0.5 cm2 – 0.7 cm 2 (normalnya adalah 2.5 cm2 –
3.5 cm 2). Dengan tingkat stenosis ini, pasien umumnya memiliki gradien
transvalvular sekitar 50 mmHg saat istirahat (dengan curah jantung yang
normal) dan tidak dapat meningkatkan curah jantung saat merespons
terhadap adanya pengerahan tenaga. Selain itu, peningkatan lebih lanjut
pada gradien transvalvular tidak meningkatkan stroke volume (SV) secara
signifikan. Dengan stenosis aorta yang sudah berlangsung lama,
kontraktilitas miokard semakin memburuk dan akan mengganggu fungsi
dari ventrikel kiri.

Secara klasik, pasien dengan stenosis aorta stadium lanjut memiliki


tiga trias yaitu dyspnea pada saat beraktifitas berat, nyeri dada, dan sinkop
orthostatic atau exertional. Gambaran yang menonjol dari adanya stenosis
aorta adalah penurunan kepatuhan ventrikel kiri akibat hipertrofi.
Disfungsi diastolik adalah hasil peningkatan pada massa otot, fibrosis, atau
iskemia miokard dari ventrikel. Berbeda dengan volume akhir diastolik
ventrikel kiri, yang tetap normal sampai dengan stadium paling akhir pada
penyakit ini, tekanan diastolik akhir ventrikel kiri meningkat pada awal
penyakit. Penurunan gradien tekanan diastolik antara atrium kiri dan
ventrikel kiri mengganggu pengisian dari ventrikel, yang menjadi sangat
bergantung pada kontraksi atrium secara normal. Hilangnya sistole atrium
dapat memicu gagal jantung kongestif atau hipotensi pada pasien dengan
stenosis aorta. Curah jantung mungkin normal pada pasien simtomatik saat
istirahat, namun secara khas, hal itu tidak meningkat dengan adekuat.
Pasien mungkin mengalami angina bahkan dengan tidak adanya coronary
artery disease (CAD). Permintaan oksigen miokard meningkat karena
hipertrofi ventrikel, sedangkan suplai oksigen miokard menurun sebagai
akibat kompresi secara bermakna pada pembuluh koroner intramyokardial
yang disebabkan oleh tekanan sistolik intracavitary yang tinggi (sampai
dengan 300 mmHg). Sinkop extersional atau hampir sinkop diperkirakan
disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mentolerir vasodilatasi pada
jaringan otot selama pengerahan tenaga. Aritmia yang menyebabkan
hipoperfusi parah juga dapat menyebabkan sinkop dan kematian
mendadak pada beberapa pasien.

Perhitungan Luas dan Gradien Transvulvar Katup Aorta

Seperti halnya stenosis mitral, gradien tekanan pada katup aorta


dapat ditentukan secara non – invasive dengan menggunakan
echocardiography Doppler gelombang kontinyu:

∆𝑃 = 4 𝑉 2

Dimana Δ P adalah gradien tekanan puncak (dalam satuan mmHg)


dan V adalah kecepatan aliran darah puncak (dalam satuan m / s) yang
distal terhadap obstruksi. Kecepatan puncak yang lebih besar dari 4.5
meter / detik biasanya mengindikasikan adanya stenosis derajat berat.
Selain itu, jika daerah proksimal stenosis (left ventricular outflow tract
[LVOT]) dapat diukur, persamaan kontinuitas kemudian dapat diterapkan
untuk memperkirakan luas katup. Time – velocity integral (TVI) atau
kecepatan maksimum dapat digunakan:

𝐴1 𝑉1
𝐴2 =
𝑉2

Dimana A 2 adalah luas katup, A 1 adalah luas penampang left


ventricular outflow tract (LVOT), V 1 adalah kecepatan aliran darah
maksimum pada left ventricular outflow tract (LVOT), dan V 2 adalah
kecepatan aliran maksimum yang melalui katup aorta.
Penanganan

Begitu gejala berkembang, kebanyakan pasien, tanpa perawatan


bedah, akan meninggal dalam waktu 2 – 5 tahun. Valvuloplasti balon
perkutan umumnya digunakan pada pasien yang lebih muda dengan
stenosis aorta kongenital; Hal ini juga dapat digunakan pada pasien lansia
dengan stenosis aorta kalsifikasi yang merupakan kandidat buruk untuk
penggantian katup aorta. Bagaimanapun efikasi dari valvuloplasti balon
perkutan untuk kelompok yang lansia hanya memberikan efek yang
singkat, dan re – stenosis biasanya terjadi dalam 6 – 12 bulan. Katup aorta
yang dikirim melalui kateter saat ini semakin disempurnakan dan
digunakan dalam pengobatan penyakit katup aorta. Pembedahan
penggantian katup aorta stenotik tetap menjadi andalan dalam terapi.

Manajemen Anestesi

A. Tujuan

Pemeliharaan irama sinus normal, denyut jantung, resistensi


vaskular, dan volume intravaskular sangat penting pada pasien
dengan stenosis aorta. Hilangnya waktu normal dari sistole atrium
sering menyebabkan kemunduran kondisi secara cepat, terutama
bila dikaitkan dengan takikardia. Kombinasi keduanya (atrial
fibrillation [AF] dengan respons ventrikel cepat) secara serius
mengganggu pengisian ventrikel dan memerlukan kardioversi
langsung. Kepatuhan ventrikel yang berkurang juga membuat
pasien sangat sensitif terhadap perubahan volume intravaskular
secara mendadak. Banyak pasien berperilaku seolah – olah
memiliki stroke volume (SV) tetap meskipun dengan pemberian
hidrasi yang memadai; Dengan kondisi ini, curah jantung menjadi
sangat tergantung pada laju jantung. Bradikardia ekstrim (< 50
denyut / menit) oleh karena itu kurang ditolerir. Tingkat jantung
antara 60 dan 90 denyut / menit merupakan kondisi yang optimal
pada kebanyakan pasien.

B. Monitoring

Pemantauan ketat pada elektrokardiografi (EKG) dan


tekanan darah merupakan hal yang sangat penting. Pemantauan
untuk adanya iskemia diperumit oleh abnormalitas pada baseline
ST – segment dan kelainan gelombang – T. Pemantauan tekanan
intra – arterial sangat diharapkan pada pasien dengan stenosis aorta
berat, karena banyak dari pasien ini tidak mentolerir episode
hipotensi yang hanya singkat sekalipun. Data kateterisasi arteri
pulmonalis harus ditafsirkan dengan hati – hati; Tekanan baji
kapiler pulmoner yang lebih tinggi dari biasanya sering diperlukan
untuk mempertahankan volume akhir diastolik ventrikel kiri dan
curah jantung yang cukup. Gelombang yang menonjol sering
terlihat pada bentuk gelombang tekanan baji pulmonal. Vasodilator
umumnya harus digunakan dengan hati – hati karena pasien
seringkali sangat sensitif terhadap agen ini. Transesophageal
echocardiography (TEE) dapat berguna pada pasien dengan
stenosis aorta untuk memantau adanya iskemia, preload ventrikel,
kontraktilitas, fungsi katup, dan efek dari intervensi terapeutik.

C. Pemilihan Agen

Pasien dengan stenosis aorta derajat ringan sampai dengan


sedang (umumnya asimtomatik) dapat mentolerir anestesi spinal
ataupun anestesi epidural. Mekipun begitu teknik ini harus
diaplikasikan dengan sangat hati – hati, karena hipotensi mudah
terjadi sebagai akibat dari pengurangan volume preload, afterload,
atau keduanya. Anestesi epidural mungkin lebih baik daripada
anestesi spinal suntikan tunggal dalam banyak situasi karena onset
hipotensi yang lebih lambat, yang memungkinkan koreksi lebih
tepat waktu. Kateter tulang belakang secara terus – menerus juga
dapat digunakan untuk secara bertahap meningkatkan kadar
anestesi regional dan membatasi kemungkinan tekanan darah
menjadi kolaps. Anestesi spinal dan epidural relatif kontraindikasi
pada pasien dengan stenosis aorta derajat berat.

Pada pasien dengan stenosis aorta derajat berat, pemilihan


agen anestesi umum merupakan hal kurang penting dibandingkan
dengan pengaturan efek hemodinamiknya. Sebagian besar anestesi
umum dapat menghasilkan vasodilatasi dan hipotensi, yang
memerlukan pengobatan pasca induksi. Jika agen volatil
digunakan, konsentrasinya harus dikendalikan untuk menghindari
vasodilatasi yang berlebihan, depresi pada miokard, atau hilangnya
sistol atrium yang normal. Tachycardia yang signifikan dan
hipertensi berat, yang dapat memicu iskemia, harus segera diobati
dengan meningkatkan kedalaman anestesi atau pemberian agen
penghambat β – adrenergic. Sebagian besar pasien dengan stenosis
aorta mentolerir hipertensi derjat sedang dan sensitif terhadap
vasodilator. Selain itu, karena keseimbangan pasokan – permintaan
oksigen miokard yang sudah goyah, stenosis aorta mentolerir
tingkat hipotensi dengan buruk sekalipun derajat ringan. Hipotensi
umumnya harus segera diobati dengan dosis yang meningkat (25 –
100 mcg) dari phenylephrine. Tachycardias supraventrikular
intraoperatif dengan kompromi hemodinamik harus ditangani
dengan segera kardioversi sinkronisasi. Ektopi ventrikel sering
(yang sering menimbulkan iskemia) biasanya tidak dapat
ditoleransi secara hemodinamik dan harus diobati. Amiodarone
umumnya efektif untuk aritmia supraventrikular dan aritmia
ventrikular.

REGURGITASI AORTA

Pertimbangan Pra – Operatif

Regurgitasi aorta biasanya berkembang secara perlahan dan


progresif (kronis), namun bisa juga berkembang dengan cepat (akut).
Regurgitasi aorta kronis mungkin disebabkan oleh kelainan pada katup
aorta, akar aorta, atau keduanya. Kelainan pada katup biasanya bersifat
bawaan (katup bikuspid) ataupun disebabkan oleh demam reumatik.
Penyakit yang menyerang aorta asenden menyebabkan regurgitasi dengan
melebarkan anulus aorta; Penyakit – penyakit tersebut termasuk sifilis,
ektasia annuloaortik, nekrosis medik kistik (dengan atau tanpa sindrom
Marfan), spondylitis ankylosing, rheumatoid arthritis dan psoriatic
arthritis, dan berbagai kelainan jaringan ikat lainnya. Insufisiensi aorta
akut paling sering terjadi pada endokarditis infektif, trauma, atau diseksi
aorta.

Patofisiologi

Terlepas dari penyebabnya, regurgitasi aorta menghasilkan


kelebihan volume pada ventrikel kiri. Stroke volume (SV) ke arah depan
yang efektif berkurang dikarenakan oleh aliran darah ke arah belakang
(regurgitasi) menuju ventrikel kiri selama diastol. Tekanan diastolik
arterial sistemik dan systemic vascular resistance (SVR) biasanya rendah.
Penurunan afterload jantung membantu mempermudah ejeksi dari
ventrikel. Jumlah stroke volume (SV) adalah penjumlahan dari volume
stroke yang efektif ditambah dengan volume regurgitasi. Volume
regurgitasi tergantung pada denyut jantung (waktu diastolik) dan gradien
tekanan diastolik di katup aorta (tekanan aorta diastolik dikurangi tekanan
akhir diastolik pada ventrikel kiri). Denyut jantung yang lambat
meningkatkan regurgitasi karena adanya peningkatan waktu diastolik yang
tidak proporsional, sedangkan peningkatan tekanan arteri diastolik
mendukung volume regurgitasi dengan meningkatkan gradien tekanan
untuk aliran ke arah belakang.

Dengan regurgitasi aorta kronis, ventrikel kiri semakin membesar


dan mengalami hipertrofi eksentrik. Pasien dengan regurgitasi aorta parah
memiliki volume akhir diastolik terbesar pada penyakit jantung.
Peningkatan volume akhir diastolik yang dihasilkan mempertahankan SV
yang efektif. Setiap kenaikan volume regurgitasi dikompensasikan dengan
peningkatan volume diendolik inendolik. Tekanan diastolik akhir ventrikel
kiri biasanya normal atau hanya sedikit meningkat, karena kepatuhan
ventrikel pada awalnya meningkat. Akhirnya, karena fungsi ventrikel
memburuk, fraksi ejeksi menurun, dan penguraian ventrikel yang
terganggu terwujud seiring dengan kenaikan bertahap tekanan diastolik
akhir ventrikel kiri dan volume sistolik akhir.

Ketidakmampuan secara mendadak dari katup aorta tidak


memungkinkan terjadinya dilatasi kompensasi atau hipertrofi ventrikel
kiri. Stroke volume (SV) efektif menurun dengan cepat karena ventrikel
yang berukuran normal tidak mampu mengakomodasi adanya volume
regurgitasi yang muncul tiba – tiba. Kenaikan mendadak pada tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri ditransmisikan kembali ke sirkulasi pulmonal
dan menyebabkan kongesti vena pulmoner akut.

Regurgitasi aorta akut biasanya muncul sebagai onset edema


pulmoner dan hipotensi yang tiba – tiba, sedangkan regurgitasi kronis
biasanya muncul bersamaan dengan gagal jantung kongestif. Gejala
umumnya minimal (dalam bentuk kronis) bila volume regurgitasi masih di
bawah 40 % dari stroke volume (SV), namun menjadi parah bila melebihi
60 % dari stroke volume (SV). Angina bisa terjadi bahkan dengan tidak
adanya penyakit koroner. Permintaan oksigen miokard meningkat akibat
dari adanya dari hipertrofi otot dan dilatasi, sedangkan suplai darah
miokard berkurang dengan tekanan diastolik yang rendah di aorta yang
diakibatkan oleh adanya regurgitasi.

Penghitungan Fraksi Regurgitasi dan Pengukuran Lainnya dari


Keparahan

Seperti regurgitasi mitral, regurgitant stroke volume (RSV) dan


regurgitant fraction (RF) untuk regurgitasi aorta dapat diperkirakan
dengan echocardiography Doppler berdenyut. Volume stroke diukur pada
left ventricular outflow tract (LVOT) dan pada katup mitral atau mitral
valve (MV). Volume stroke yang dikeluarkan pada left ventricular outflow
tract (LVOT) meliputi volume stroke yang memasuki ventrikel kiri melalui
katup mitral dan volume darah yang masuk ke ventrikel kiri melalui katup
aorta yang bocor.

Sehingga

𝑅𝑆𝑉𝑅𝑒𝑔𝑢𝑟𝑔𝑖𝑡𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑜𝑟𝑡𝑎 = (𝐴𝐿𝑉𝑂𝑇 − × 𝑇𝑉𝐼𝐿𝑉𝑂𝑇 ) − (𝐴𝑀𝑉 − 𝑇𝑉𝐼𝑀𝑉 )

Dan

𝑅𝐹 = 𝑅𝑆𝑉 / 𝑆𝑉

Waktu paruh tekanan (T 1/2, lihat bagian stenosis mitral di atas) dari
aliran regurgitasi adalah parameter ekokardiografi lain yang berguna untuk
menilai secara klinis tingkat keparahan regurgitasi aorta. Semakin pendek
waktu paruhnya, maka semakin parah regurgitasinya; regurgitasi derajat
berat dengan cepat meningkatkan tekanan diastolik ventrikel kiri dan
menghasilkan equilibrasi tekanan yang lebih cepat. Sayangnya, waktu
paruh tekanan (T 1/2) dipengaruhi tidak hanya oleh luas orifisium
regurgitasi, tetapi juga oleh tekanan aorta dan ventrikel. Sebuah aliran
regurgitasi aorta dengan waktu paruh tekanan (T 1/2) kurang dari 240 mili
detik berhubungan dengan adanya regurgitasi derajat berat.

Pengobatan

Sebagian besar pasien dengan regurgitasi aorta kronis tetap bersifat


asimtomatik selama 10 – 20 tahun. Setelah gejala yang signifikan
berkembang, waktu kelangsungan hidup yang diharapkan adalah sekitar 5
tahun tanpa penggantian katup. Diuretik dan pengurangan volume
afterload, terutama dengan menggunakan inhibitor angiotensin –
converting enzyme (ACE), umumnya menguntungkan pasien dengan
regurgitasi aorta kronis yang lanjut. Penurunan tekanan darah arteri
mengurangi gradien diastolik untuk regurgitasi. Pasien dengan regurgitasi
aorta kronis harus menerima penggantian katup sebelum disfungsi
ventrikel yang ireversibel terjadi.

Pasien dengan regurgitasi aorta akut biasanya memerlukan terapi


inotropik dan vasodilator intravena. Intervensi dini diindikasikan kepada
pasien dengan regurgitasi aorta yang akut: manajemen medis saja
dikaitkan dengan adanya tingkat kematian yang tinggi.
Manajemen Anestetik

A. Tujuan

Detak jantung harus dipertahankan sampai dengan batas


atas normal (80 – 100 denyut / menit). Bradikardia dan
peningkatan systemic vascular resistance (SVR) akan
meningkatkan volume regurgitasi pada pasien dengan regurgitasi
aorta, sedangkan takikardia dapat menyebabkan iskemia miokard.
Depresi miokard berlebihan juga harus dihindari. Kenaikan
kompensasi pada preload jantung harus dijaga, namun penggantian
cairan yang terlalu terburu – buru akan dapat menyebabkan edema
pulmoner.

B. Monitoring

Pemantauan hemodinamika secara invasif harus digunakan


pada pasien dengan regurgitasi aorta yang akut dan pada orang
dengan regurgitasi kronis derajat berat. Penutupan dini katup mitral
sering terjadi selama regurgitasi aorta akut dan dapat menyebabkan
adanya tekanan baji pada kapiler paru untuk memberikan perkiraan
yang tinggi terhadap tekanan diastolik ventrikel kiri yang salah.
Munculnya gelombang v besar menunjukkan regurgitasi mitral
sekunder akibat dilatasi ventrikel kiri. Gelombang tekanan arteri
pada pasien dengan regurgitasi aorta secara khas memiliki tekanan
nadi yang sangat lebar. Pulsus bisferiens mungkin juga didapatkan
pada pasien dengan insufisiensi aorta derjat sedang dan derajat
berat dan diperkirakan dihasilkan oleh ejeksi cepat stroke volume
(SV) yang besar. transesophageal echocardiography (TEE) doppler
dengan aliran berwarna dapat sangat berharga dalam menghitung
tingkat keparahan regurgitasi dan untuk membimbing intervensi
terapeutik. Menurut definisi, beberapa pembalikan aliran darah
terdapat di aorta selama sepanjang diastolik (holodiastolik) dengan
regurgitasi aorta yang parah; Selain itu, semakin distal
pendeteksian pembalikan aliran holodiastolik yang banyak terjadi
di aorta, maka semakin parah regurgitasinya.

C. Pemilihan Agen

Sebagian besar pasien dengan insufisiensi aorta mentolerir


anestesi spinal dan anestesi epidural dengan baik, asalkan volume
intravaskular mampu dipertahankan. Bila anestesi umum
diperlukan, agen inhalasi mungkin ideal karena adanya vasodilatasi
yang terkait. Phenylephrine (25 – 50 mcg) dapat digunakan untuk
mengobati hipotensi sekunder akibat vasodilatasi akibat anestesi.
Dosis besar dari phenylephrine akan meningkatkan systemic
vascular resistance (SVR) (dan tekanan diastolik arteri) sehingga
dapat memperburuk kondisi regurgitasi.

REGURGITASI TRIKUSPID

Pertimbangan Pra – Operatif

Sampai dengan 70 % sampai dengan 90 % dari pasien memiliki


jejak regurgitasi trikuspid ringan pada pemeriksaan ekokardiografi;
Volume regurgitasi dalam kasus ini hampir selalu tidak signifikan.
Regurgitasi trikuspid yang signifikan secara klinis, paling sering terjadi
karena dilatasi ventrikel kanan dari hipertensi pulmonal yang berhubungan
dengan kegagalan ventrikel kiri yang kronis. Regurgitasi trikuspid juga
dapat terjadi akibat dari endokarditis infektif (biasanya pada penyalahguna
napza suntik), demam rematik, sindroma karsinoid, atau trauma dada atau
mungkin karena anomali Ebstein (kelainan posisi kearah bawah dari katup
dikarenakan oleh adanya perlekatan pada daun katup trikuspid).

Patofisiologi

Kegagalan ventrikel kiri yang kronis menyebabkan peningkatan


tekanan vaskular paru secara terus – menerus. Peningkatan afterload yang
kronis menyebabkan dilatasi progresif pada ventrikel kanan yang
berdinding tipis, dan dilatasi hebat dari anulus trikuspid akhirnya akan
menyebabkan regurgitasi. Peningkatan volume akhir diastolik
memungkinkan ventrikel kanan mengkompensasi volume regurgitasi dan
mempertahankan aliran kearah depan yang efektif. Karena atrium kanan
dan vena cava normal dan biasanya dapat menampung kelebihan volume,
berarti tekanan atrium kanan dan tekanan vena sentral pada umumnya
hanya akan sedikit meningkat. Elevasi akut atau yang bermakna pada
tekanan arteri pulmonalis meningkatkan volume regurgitasi dan tercermin
dari adanya peningkatan tekanan vena sentral. Selain itu, kenaikan secara
tiba – tiba dan bermakna pada afterload ventrikel kanan secara tajam
mengurangi output dari ventrikel kanan yang efektif, mengurangi preload
ventrikel kiri, dan dapat memicu adanya hipotensi sistemik.

Hipertensi vena kronis menyebabkan kongesti pasif pada hati dan


disfungsi hepar yang progresif. Gagal ventrikel kanan yang parah dengan
pembebanan yang kurang pada jantung kiri juga bisa menghasilkan
shunting kanan – ke – kiri melalui foramen ovale paten, yang dapat
menyebabkan hipoksemia yang bermakan.

Ventrikel kanan normal tidak meluas menuju apek jantung saat


divisualisasikan dengan menggunakan ekokardiografi. Saat jantung kanan
melebar, ia memperoleh bentuk yang lebih bulat, ventrikel kanan meluas
ke apeks jantung, dan septum interventrikular diratakan. Perubahan ini
bisa mengganggu fungsi jantung kiri.

Perhitungan Tekanan Arteri Pulmoner

Dengan regurgitasi trikuspid yang parah, aliran masuk sistolik


normal menuju atrium kanan akan membalik, dan pembalikan aliran juga
diamati pada vena hepatik.

Tekanan arteri pulmonal sistolik atau pulmonal arterial systolic


(PAS) dapat diperkirakan dari kecepatan puncak aliran regurgitant:

∆𝑃 = 4 × 𝑉 2

Dimana Δ P adalah gradien tekanan sistolik (dalam satuan mmHg)


antara ventrikel kanan dan atrium kanan, dan V adalah kecepatan aliran
darah puncak (dalam satuan m / s) dari aliran regurgitasi. Jika tekanan
vena sentral atau central venous pressure (CVP) diketahui atau dapat
diasumsikan, maka:

𝑃𝐴𝑆 = 𝐶𝑉𝑃 + ∆𝑃

Penanganan

Regurgitasi trikuspid umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh


kebanyakan pasien. Karena kelainan mendasar umumnya lebih penting
daripada regurgitasi trikuspid itu sendiri, pengobatan ditujukan pada
proses penyakit yang mendasarinya. Dengan regurgitasi derajat sedang
sampai dengan derajat berat, annuloplasti trikuspid dapat dilakukan
bersamaan dengan penggantian katup yang lain. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa koreksi regurgitasi trikuspid yang signifikan sangat
penting saat pasien dibawa ke operasi untuk mengganti katup yang lain.

Manajemen Anestesi

A. Tujuan

Tujuan hemodinamik harus diarahkan terutama terhadap


gangguan yang mendasarinya. Hipovolemia dan faktor yang
meningkatkan afterload pada ventrikel kanan, seperti hipoksia dan
asidosis, harus dihindari untuk mempertahankan stroke volume
(SV) dari ventrikel kanan dan preload pada ventrikel kiri tetap
efektif. Tekanan akhir ekspirasi yang positif dan tekanan saluran
napas yang tinggi mungkin juga tidak diinginkan selama ventilasi
mekanis karena mengurangi kembalinya vena dan meningkatkan
afterload ventrikel kanan.

B. Monitoring

Pada pasien ini, pemantauan secara invasif mungkin


berguna. Kateterisasi arteri pulmonalis tidak selalu
memungkinkan; aliran regurgitant yang besar dapat membuat
perjalanan kateter arteri pulmonalis untuk melintasi katup trikuspid
menjadi sulit, meskipun jarang terjadi. Peningkatan central venous
pressure (CVP) menyiratkan perburukan dari disfungsi ventrikel
kanan. Turunan x tidak didapatkan, dan gelombang cv yang
menonjol biasanya dijumpai pada bentuk gelombang central
venous pressure (CVP). Pengukuran curah jantung termodilusi
dielevasikan dengan salah karena adanya regurgitasi trikuspid.
Transesophageal echocardiography (TEE) Doppler dengan aliran
berwarna berguna untuk mengevaluasi tingkat keparahan
regurgitasi dan kelainan lainnya yang berhubungan.

C. Pemilihan Agen

Pemilihan agen anestesi harus didasarkan pada kelainan


yang mendasari. Kebanyakan pasien mentolerir anestesi spinal dan
anestesi epidural dengan baik. Koagulopati sekunder akibat
disfungsi hepar harus dieksklusikan sebelum melakukan teknik
anestesi regional. Selama anestesi umum, nitrous oxide dapat
memperburuk hipertensi pulmonal dan harus ditangani dengan hati
– hati, apapun yang terjadi.

PROFILAKSIS ENDOKARDITIS

Pedoman American College of Cardiology (ACC) / American Heart


Association (AHA) mengenai rejimen antibiotik profilaksis pada pasien katup
jantung buatan prostetik dan kelainan jantung struktural lainnya telah berubah
secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir, yaitu dengan mengurangi jumlah
indikasi pemberian antibiotik. Risiko pemberian antibiotik sering dianggap lebih
besar daripada potensi pengembangan perioperatif endokarditis. Saat ini, pedoman
American College of Cardiology (ACC) / American Heart Association (AHA)
menyarankan penggunaan profilaksis endokarditis pada pasien – pasien dengan
risiko tertinggi yang akan menjalani prosedur gigi yang melibatkan manipulasi
pada gingiva atau menyebabkan perforasi pada mukosa oral (kelas IIa); lihat
Tabel 21 – 14 dan 21 – 15. Kondisi – kondisi tersebut meliputi:

• Pasien dengan katup jantung prostetik buatan atau material –


material jantung buatan
• Pasien dengan riwayat endokarditis di masa lalu

• Pasien dengan penyakit jantung kongenital yang secara sebagian


telah diperbaiki atau belum diperbaiki

• Pasien dengan penyakit jantung kongenital dengan defek residual


setelah perbaikan

• Penderita penyakit jantung bawaan dalam waktu 6 bulan setelah


perbaikan lengkap, baik dengan kateterisasi atau teknik
pembedahan

• Pasien transplantasi jantung dengan katup yang abnormal secara


structural

Tabel 21 – 14. Profilaksis Endokarditis pada prosedur tindakan gigi


(Perbaharuan) 1.

Alasan dapat diterima Tidak direkomendasikan


Profilaksis endokarditis Profilaksis endokarditis tidak direkomendasikan
dapat diterima pada pasien pada:
dengan resiko tinggi terjadi  Injeksi anestesi rutin melalui jaringan yang
hasil buruk dimana tidak terinfeksi
menjalani perawatan gigi  Foto rontgen gigi
yang membutuhkan  Pemasangan atau pengambilan prostodontik
manipulasi jaringan gingiva atau ortodontik
atau regio periapikal gigi  Penyesuaian alat ortodontik
atau perforasi mukosa  Pemasangan braket ortodontik
mulut  Pencabutan gigi sulung
 Perdarahan dari trauma bibir atau mukosa
mulut
1
Sesuai dengan perbaharuan 2008 menjadi ACC/AHA 2006 guidelines for the
management of patients with valvular heart disease.
Diproduksi kembali,dengan izin, from Dajani AS, Taubert KA, Wilson W, et al:
Prevention of bacterial endocarditis: recommendations by the American Heart
Association. Sirkulasi. 1997;96:358.

Tabel 21 – 15. Regimen untuk prosedur tindakan gigi (PERBAHARUAN)

Regimen: Dosis tunggal 30 sampai


60 menit sebelum prosedur
Situasi Agen
tindakan
Dewasa Anak
Oral Amoxicilin 2g 50 mg/kg
Tidak dapat minum obat Ampicillin 2 g IM atau IV 50 mg/kg IM atau IV
secara oral ATAU
Cefazolin atau 1 g IM atau IV 50 mg/kg IM atau IV
ceftriaxone
Alergi terhadap penisilin Cephalexin1,2 2g 50 mg/kg
atau ampicillin oral ATAU
Clindamycin 600 mg 20 mg/kg
ATAU
Azithromycin 500 mg 15 mg/kg
atau
clarithromycin
Alergi terhadap penicillin Cefazolin atau 1 g IM atau IV 50 mg/kg IM atau IV
atau ampicillin dan tidak ceftriaxone
dapat minum obat oral ATAU
Clindamycin 600 mg/kg IM 20 mg/kg IM atau IV
atau IV
1
Atau gunakan yang lainnya atau oral cephalosporin generasi kedua pada dosis setara
dewasa atau pediatri
2
Cephalosporin sebaiknya tidak digunakan pada individu dengan riwayat anafilaksis,
angioedema atau urtikaria pada penicillins or ampicillin.
IM menandakan intramuscular; dan IV, intravenous.
Reproduced, with permission, from Nishimura RA, Carabello BA, Faxon DP, et al:
ACC/AHA 2008 guideline update on valvular heart disease: focused update on infective
endocarditis prophylaxis. J Am Coll Cardiol 2008 ; 52 : 676.

Rekomendasi kelas III menunjukkan bahwa profilaksis tidak diperlukan


untuk prosedur non – dental, termasuk transesophageal echocardiography (TEE)
dan esophagogastroduodenoscopy, kecuali dengan adanya infeksi yang aktif.

Endokarditis diyakini terjadi di daerah yang mengalami kerusakan pada


endotel jantung, dimana pada kasus bakteremia, bakteri dapat terdeposisi dan
bermultiplikasi. Area peningkatan kecepatan aliran darah miokard menyebabkan
kerusakan pada endotelium, memberikan template untuk perlekatan dan
pertumbuhan dari bakteri. Pedoman American College of Cardiology (ACC) /
American Heart Association (AHA) terbaru tidak menyarankan profilaksis untuk
prosedur genitourinaria atau prosedur gastrointestinal; Namun, American Heart
Association (AHA) mencatat bahwa masuk akal untuk mengelola antibiotik untuk
mencegah adanya infeksi luka. Selain itu, mereka mencatat bahwa walaupun
profilaksis tidak disarankan untuk prosedur saluran pernapasan, pemberian
profilaksis adalah strategi yang masuk akal pada pasien berisiko tinggi yang pada
pasien yang akan dibuat sayatan pada saluran pernapasannya (misalnya pada
prosedur tonsilektomi).

Terlepas dari indikasi yang berkurang ini, American College of


Cardiology (ACC) / American Heart Association (AHA) mencatat bahwa banyak
pasien dan dokter mengharapkan pemberian profilaksis endokarditis pada pasien
dengan penyakit katup jantung, koarktasio aorta, dan kardiomiopati hipertrofik.
Seperti biasa, risiko pemberian antibiotik harus dipertimbangkan dalam
menawarkan profilaksis kepada pasien di luar kategori berisiko tinggi dari
American College of Cardiology (ACC) / American Heart Association (AHA).
Pedoman selalu berubah, dan meski tidak dianggap sebagai "standar perawatan,"
mereka semakin sering digunakan dalam praktik medis; Selanjutnya,
penyimpangan dari pedoman seringkali membutuhkan penjelasan karena berada
di luar praktik " berbasis bukti ". Tinjauan pedoman American College of
Cardiology (ACC) / American Heart Association (AHA), yang sekarang tersedia
secara online, direkomendasikan pada saat pasien yang berisiko tinggi ditemui.

ANTIKOAGULASI

Pasien dengan katup jantung prostetik mekanik memerlukan antikoagulan,


yang saat ini sering diberikan yaitu dengan warfarin. Aspirin juga ditunjukkan
pada populasi ini, juga pada pasien dengan katup bioprostetik, untuk mencegah
terjadiya pembentukan trombus. Warfarin kadang – kadang juga digunakan
sebagai terapi inisial untuk katup bioprostik mitral (Tabel 21 – 16).

Tabel 21 – 16. Rekomendasi terapi antitrombotik pada pasien dengan katup


jantung prostetik

Aspirin Warfarin Warfarin Tanpa


(75-100mg) (INR 2.0-3.0) (INR 2.5-3.5) warfarin
Katup prostetik mekanik
AVR risiko rendah
Kurang dari 3 bulan Kelas I Kelas I Kelas IIa
Lebih dari 3 bulan Kelas I Kelas I
AVR risiko tinggi Kelas I Kelas I
MVR Kelas I Kelas I
Katup prostetik biologis
AVR risiko rendah
Kurang dari 3 bulan Kelas I Kelas IIa Kelas IIb
Lebih dari 3 bulan Kelas I Kelas IIa
AVR risiko tinggi Kelas I Kelas I
MVR risiko rendah
Kurang dari 3 bulan Kelas I Kelas IIa
Lebih dari 3 bulan Kelas I Kelas IIa
MVR risiko tinggi Kelas I Kelas I
Bergantung status klinis pasien, terapi antitrombotik bersifat individual (lihat kondisi khusus
pada teks). Pada pasien yang menerima warfarin, aspirin direkomendasikan dihampir semua
kondisi. Faktor risiko: atrial fibrilasi, disfungsi ventrikel kiri, tromboemboli sebelumnya dan
kondisi hiperkoagulasi. International normalized ratio (INR) harus dipertahankan antara 2.5
and 3.5 pada disfungsi katup aorta dan Starr-Edwards valves.
AVR menandakan aortic valve replacement atau penggantian katup aorta; and MVR, mitral
valve replacement atau penggantian katup mitral.
Data dari McAnuty JH, Rahimtoola SH. Antithrombotic therapy in valvular heart disease. In:
Schlant R, Alexarder RW. editors. Hurst’s The Heart. New York, McGraw-Hill, 1998:1867-
1874.

Pasien dengan katup prostetik sering hadir untuk operasi non – cardiac
yang memerlukan penghentian sementara dari terapi antikoagulan. Pedoman
American College of Cardiology (ACC) / American Heart Association (AHA)
menunjukkan bahwa pasien dengan risiko rendah mengalami trombosis, seperti
katup mekanis bileaflet dalam posisi katup aorta tanpa masalah tambahan
(misalnya, tanpa adanya atrial fibrillation (AF) atau tidak ada kondisi
hiperkoagulasi) dapat menghentikan warfarin selama 48 – 72 jam sebelum operasi
sehingga international normalized ratio (INR) turun sampai dengan di bawah 1.5.
Pada pasien dengan risiko mengalami trombosis yang lebih besar, warfarin harus
dihentikan dan heparin, baik yang tidak terfragmentasi ataupun yang memiliki
berat molekul rendah, dimulai saat international normalized ratio (INR) turun di
bawah 2.0. Heparin dapat dihentikan 4 – 6 jam sebelum operasi dan kemudian
dimulai kembali segera setelah perdarahan akibat pembedahan berhenti, sampai
pasien dapat memulai kembali terapi warfarin. Fresh frozen plasma (FFP) dapat
diberikan, jika diperlukan, dalam situasi darurat untuk mengganggu terapi
warfarin. Vitamin K tidak boleh diberikan, karena berpotensi menyebabkan
keadaan hiperkoagulasi. Staf anestesi harus selalu berkonsultasi dengan dokter
bedah pasien dan dokter yang bertanggung jawab untuk meresepkan antikoagulan
sebelum menyesuaikan antikoagulasi atau regimen antiplatelet secara perioperatif.

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL

Pertimbangan Pra – Operatif

Penyakit jantung kongenital mencakup daftar kelainan yang


tampaknya tak ada habisnya yang mungkin terdeteksi pada masa setelah
kelahiran, awal masa anak – anak, atau, yang kurang umum, pada saat
dewasa. Kejadian penyakit jantung kongenital pada semua kelahiran hidup
mendekati 1 %. Sejarah alami pada pasien dengan beberapa kecacatan
sedemikian rupa sehingga pasien sering mampu bertahan hidup sampai
dengan dewasa (Tabel 21 – 17). Selain itu, jumlah orang dewasa yang
mampu bertahan hidup dengan penyakit jantung bawaan terus meningkat,
kemungkinan akibat adanya kemajuan dalam perawatan pembedahan dan
perawatan medis. Peningkatan jumlah pasien dengan penyakit jantung
kongenital dapat ditemukan selama operasi non – cardiac dan persalinan
obstetrik. Pengetahuan tentang anatomi defek struktur jantung asli dan
perbaikan korektif sangat penting sebelum anestesi pasien dengan penyakit
jantung bawaan atau congenital heart disease (CHD).
Tabel 21 – 17. Kelainan jantung kongenital yang umum terjadi dimana pasien
biasanya bertahan sampai dewasa tanpa pengobatan

Katup aorta bicuspid

Koarktasio aorta

Stenosis katup pulmonal

Defek septum atrium ostium secundum

Defek septum ventrikel

Paten duktus arteriosus

Sifat kompleks dan patofisiologi yang bervariasi dari kelainan


jantung bawaan membuat klasifikasi menjadi sulit. Sebuah skema yang
umum digunakan disajikan pada Tabel 21 – 18. Kebanyakan pasien hadir
dengan sianosis, gagal jantung kongestif, atau kelainan yang asimtomatik.
Sianosis biasanya merupakan hasil dari sebuah komunikasi intra – cardiac
abnormal yang memungkinkan darah yang tidak teroksigenasi untuk
mencapai sirkulasi arterial sistemik (shunting kanan – ke – kiri). Gagal
jantung kongestif paling menonjol dengan defek yang menghalangi aliran
keluar ventrikel kiri atau secara nyata meningkatkan aliran darah
pulmonal. Peningkatan aliran darah pulmonal biasanya disebabkan oleh
komunikasi intracardiac abnormal yang mengembalikan darah beroksigen
ke jantung kanan (shunting kiri – ke – kanan). Dimana shunting kanan –
ke – kiri umumnya menurunkan aliran darah paru – paru, beberapa lesi
kompleks meningkatkan aliran darah pulmonal – bahkan dengan adanya
shunting kanan – ke – kiri. Dalam banyak kasus, lebih dari satu lesi hadir.
Faktanya, kelangsungan hidup (sebelum koreksi bedah) dengan beberapa
anomali (misalnya, transposisi, anomali total pengembalian vena, atresia
paru) bergantung pada adanya lesi shunting lainnya secara simultan
(misalnya patent ductus arteriosus, patent foramen ovale, defek septum
ventrikel). Hipoksemia kronis pada pasien dengan penyakit jantung
sianotik biasanya mengakibatkan eritrositosis. Peningkatan jumlah sel
darah merah ini, yang disebabkan oleh sekresi erythropoietin yang
meningkat dari ginjal, dimana berfungsi untuk mengembalikan konsentrasi
oksigen jaringan menjadi normal. Sayangnya, viskositas darah juga bisa
naik ke titik di mana ia dapat mengganggu pengiriman oksigen. Ketika
oksigenasi jaringan dikembalikan normal, hematokrit tetap stabil (biasanya
< 65 %), dan gejala sindrom hiperviskositas tidak ada, pasien dikatakan
memiliki eritrositosis terkompensasi. Pasien dengan eritrositosis tidak
terkompensasi tidak membentuk keseimbangan ini; eritrositosis tidak
terkompensasi memiliki gejala hiperviskositas dan mungkin berisiko
mengalami komplikasi trombotik, terutama stroke. Komplikasi trombotik
ini akan diperparah dengan adanya kondisi dehidrasi. Anak – anak di
bawah usia 4 tahun tampaknya memiliki risiko stroke yang paling tinggi.
Phlebotomy umumnya tidak dianjurkan jika gejala hyperviscosity tidak
dijumpai dan kadar hematokrit sebesar < 65 %.

Tabel 21 – 18. Klasifikasi penyakit jantung kongenital

Lesi menyebabkan obstruksi aliran keluar


Ventrikel kiri
Koarktasio aorta
Stenosis aorta
Ventrikel kanan
Stenosis katup pulmonal
Lesi menyebabkan shunting kiri ke kanan
Defek septum venttrikel
Paten duktus arteriosus
Defek septum atrium
Defek bantalan endokardium
Anomali parsial aliran balik vena pulmonal
Lesi menyebabkan shunting kanan ke kiri
Dengan penurunan aliran darah paru
Tetralogi of fallot
Atresia pulmonal
Atresia trikuspid
Dengan peningkatan aliran darah paru
Transposisi pembuluh darah besar
Trunkus arteriosus
Single ventrikel
Double-outlet ventrikel kanan
Anomali total aliran balik vena pulmonal
Hipoplastik jantung kiri

Kelainan koagulasi sering terjadi pada pasien dengan penyakit


jantung sianotik. Jumlah trombosit cenderung normal – rendah, dan
banyak pasien memiliki defek halus atau terbuka pada kaskade koagulasi.
Phlebotomy dapat memperbaiki hemostasis pada beberapa pasien.
Hiperurisemia sering terjadi karena peningkatan reabsorpsi urat yang
diakibatkan oleh hipoperfusi pada ginjal. Gout arthritis jarang terjadi,
namun hiperurisemia dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang progresif.

Echocardiography Doppler pra – operative sangat berharga dalam


membantu dalam menentukan defek anatomi dan untuk mengkonfirmasi
atau menyingkirkan adanya lesi atau komplikasi lain, signifikansi
fisiologisnya, dan efek dari intervensi terapeutik apapun.
Manajemen Anestesi

Populasi pasien ini mencakup empat kelompok: mereka yang telah


menjalani operasi jantung korektif dan tidak memerlukan operasi lebih
lanjut, mereka yang hanya menjalani operasi paliatif, mereka yang belum
menjalani operasi jantung, dan mereka yang kondisinya tidak dapat
dioperasi dan mungkin sedang menunggu transplantasi jantung. Meskipun
pengelolaan kelompok pasien yang telah menjalani operasi jantung
korektif dan tidak memerlukan operasi lebih lanjut mungkin sama dengan
pasien normal (kecuali untuk pertimbangan terapi antibiotik profilaksis),
perawatan yang lainnya memerlukan pengetahuan akan patofisiologi yang
kompleks dari kerusakan ini. Bahkan pasien yang menjalani operasi
korektif mungkin rentan terhadap perkembangan masalah perioperatif
(Tabel 21 – 19 dan Tabel 21 – 20). Beberapa prosedur pembedahan
menghilangkan risiko endokarditis, sementara yang lain meningkatkan
risiko melalui penggunaan katup prostetik atau saluran atau pembuatan
shunt baru.

Tabel 21 – 19. Masalah umum pada pasien operasi pembedahan defek jantung
kongenital

Aritmia

Hipoksemia

Hipertensi pulmonar

Timbulnya shunt

Emboli paradoksikal

Endokarditis bakteri
Untuk tujuan pengelolaan anestesi, cacat jantung bawaan dapat
dibagi menjadi lesi obstruktif, shunting yang didominasi kiri – ke – kanan,
atau shunting yang didominasi oleh kanan – ke – kiri. Pada kenyataannya,
shunting juga bisa terjadi dua arah dan bisa membalikkan kondisi tertentu.

Tabel 21 – 20. Lesi jantung kongenital dan risiko perioperatif pada pembedahan
nonkardiak

Risiko tinggi
Hipertensi pulmonar, primer atau sekunder
Penyakit jantung kongenital sianotik
New York Heart Association kelas III atau IV
Disfungsi ventrikel sistemik berat (Fraksi ejeksi
kurang dari 35%)
Lesi obstruksi berat jantung bagian kiri
Risiko sedang
Katup atau kanal prostetik
Shunt intrakardiak
Obstruksi sedang jantung bagian kiri
Disfungsi ventrikel sistemik sedang
Warnes C, Williams R, Bashore T, et al: ACC/AHA
2008 guidelines for the management of adults with
congenital heart disease. Circulation 2008;118:2395.
1. Lesi Obstruktif

Stenosis Pulmonal

Stenosis katup pulmonal menghalangi aliran keluar ventrikel kanan


dan menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan secara konsentris. Obstruksi
berat akan diketahui pada saat periode neonatal, sedangkan tingkat
obstruksi yang lebih rendah mungkin tidak terdeteksi sampai dewasa.
Katup biasanya mengalami deformasi dan bersifat bikuspid atau trikuspid.
Daun katup sering sebagian menyatu dan menampilkan gambaran bentuk
kubah saat sistolik pada ekokardiografi. Ventrikel kanan mengalami
hipertrofi, dan dilatasi poststenotik dari arteri pulmonalis sering terjadi.
Gejalanya adalah gagal jantung ventrikel kanan. Pasien simtomatik mudah
mengalami kelelahan, dispnea, dan sianosis perifer dengan aktivitas
sebagai akibat dari kondisi aliran darah pulmonal yang terbatas dan
peningkatan ekstraksi oksigen melalui jaringan. Pada stenosis berat,
gradien katup pulmonalis melebihi 60 mmHg – 80 mmHg, tergantung
pada usia pasien. Shunting kanan – ke – kiri mungkin juga terjadi pada
kondisi foramen ovale paten atau defek septum atrium. Curah jantung
sangat tergantung pada denyut jantung yang tinggi, namun peningkatan
yang berlebihan pada denyut jantung akan dapat membahayakan pengisian
ventrikel. Valvuloplasti balon perkutan umumnya dianggap sebagai
pengobatan awal pilihan pada kebanyakan pasien dengan stenosis
pulmonal simtomatik. Manajemen anastesi untuk pasien yang menjalani
operasi harus mempertahankan denyut jantung untuk tetap normal atau
sedikit lebih tinggi, menambah preload, dan menghindari faktor yang
meningkatkan pulmonary vascular resistance (PVR).
2. Shunting Dominan Kiri – Ke – Kanan (Sederhana)

Shunting sederhana menunjukkan adanya komunikasi yang abnormal


antara sisi kanan dan sisi kiri dari jantung. Karena tekanan biasanya lebih tinggi
pada sisi kiri jantung, darah biasanya mengalir dari kiri ke kanan, dan aliran darah
melalui jantung kanan dan paru – paru akan meningkat. Bergantung pada ukuran
dan lokasi komunikasi, ventrikel kanan juga dapat dikenai tekanan dari sisi kiri
yang lebih tinggi, yang mengakibatkan kondisi tekanan dan volume yang
berlebihan. Afterload ventrikel kanan biasanya sebesar 5 % dari ventrikel kiri,
sehingga gradien tekanan kiri – ke – kanan yang kecil dapat menghasilkan
peningkatan aliran darah paru yang besar. Rasio aliran darah pulmonal (Qp)
terhadap aliran darah sistemik (Qs) berguna untuk menentukan arah dari shunting.

Rasio yang lebih besar dari 1 biasanya menunjukkan shunting kiri – ke –


kanan, sedangkan rasio kurang dari 1 menunjukkan shunting kanan – ke – kiri.
Rasio 1 menunjukkan tidak ada shunting atau shunting dua arah dari besaran yang
berlawanan.

Peningkatan aliran darah paru yang besar menyebabkan kongesti


pembuluh darah pulmoner dan meningkatkan cairan ekstravaskuler paru – paru.
Meningkatnya cairan ekstravaskuler pada paru – paru ini mengganggu pertukaran
gas, mengurangi kepatuhan paru – paru, dan meningkatkan kerja pernapasan.
Distensi atrium kiri juga akan menekan bronkus kiri, sementara distensi pembuluh
paru akan mengkompresi bronkus - bronkus yang lebih kecil.

Selama beberapa tahun, peningkatan kronis aliran darah pulmonal


menghasilkan perubahan vaskular yang akan meningkatkan pulmonary vascular
resistance (PVR) secara ireversibel. Peningkatan pada afterload ventrikel kanan
menghasilkan hipertrofi dan semakin meningkatkan tekanan jantung pada sisi
kanan. Dengan penyakit yang lebih lanjut, tekanan di dalam jantung kanan bisa
melebihi tekanan yang ada di jantung kiri. Dengan kondisi ini, shunting intra –
kardiak akan membalik dan menjadi shunting kanan – ke – kiri (sindroma
Eisenmenger).

Bila komunikasi minimal, arus shunting bergantung terutama pada ukuran


komunikasi (lubang) (Shunting restriktif). Bila komunikasi besar (shunting non –
restrictive), arus shunting bergantung pada keseimbangan relatif antara pulmonary
vascular resistance (PVR) dan systemic vascular resistance (SVR). Peningkatan
systemic vascular resistance (SVR) relatif terhadap pulmonary vascular resistance
(PVR) menguntungkan shunting kiri – ke – kanan, sedangkan peningkatan
pulmonary vascular resistance (PVR) yang relatif terhadap systemic vascular
resistance (SVR) menguntungkan shunting kanan – ke – kiri. Lesi ruang umum
(misalnya atrium tunggal, ventrikel tunggal, truncus arteriosus) mewakili bentuk
ekstrem dari shunting non – restriktif; aliran shunting dengan lesi ini bersifat
bidirectional dan sangat bergantung pada perubahan relatif pada afterload
ventrikel.

Kehadiran arus shunt antara jantung sisi kanan dan sisi kiri, terlepas dari
arah aliran darah, mengakibatkan pelepasan gelembung udara dan bahan
partikulat dari cairan intravena secara cermat untuk mencegah embolisme
paradoks ke dalam sirkulasi otak atau sirkulasi koroner.

Defek Septum Atrial atau Atrial Septal Defect (ASD)

Atrial septal defect (ASD) ostium secundum adalah tipe yang


paling umum dan biasanya terjadi sebagai lesi yang terisolasi di daerah
fosa ovalis. Defek kadang – kadang berhubungan dengan kembalinya vena
pulmonal yang anomali secara sebagian, yang paling umum pada vena
pulmoner kanan atas. Sebuah atrial septal defect (ASD) atrial septal defect
(ASD) secundum dapat menghasilkan bukaan tunggal atau multipel
(fenestrated) antara kedua atrium. Atrial septal defect (ASD) sinus venosus
dan ostium primum yang kurang umum terjadi, biasanya berkaitan dengan
kelainan jantung lainnya. Cacat sinus venosus terletak di septum inter –
atrial bagian atas yang dekat dengan vena cava superior; satu atau lebih
dari vena pulmonalis kanan sering kali secara tidak normal mengalir ke
vena cava superior. Sebaliknya, ostium primum atrial septal defect (ASD)
terletak di septum inter – atrial yang lebih rendah dan melapisi katup
mitral dan katup trikuspid; Sebagian besar pasien juga memiliki celah di
daun anterior katup mitral, dan beberapa memiliki daun katup septal
abnormal pada katup trikuspid.

Sebagian besar anak – anak dengan atrial septal defect (ASD)


memiliki simtomatik secara minimal; beberapa memiliki gejala berupa
infeksi paru berulang. Gagal jantung kongestif dan hipertensi pulmonal
lebih sering ditemui pada orang dewasa dengan atrial septal defect (ASD).
Pasien dengan defek ostium primum sering memiliki shunting yang besar
dan mungkin juga mengalami regurgitasi mitral yang signifikan. Dengan
tidak adanya gagal jantung, respon anestesi terhadap agen inhalasi dan
agen intravena umumnya tidak banyak berubah pada pasien dengan atrial
septal defect (ASD). Peningkatan systemic vascular resistance (SVR)
yang besar harus dihindari karena bisa memperburuk shunting kiri –
ke – kanan.

Defek Septum Ventrikel atau Ventricular Septal Defect (VSD)

Defek septum ventrikel atau ventricular septal defect (VSD) adalah


defek jantung kongenital yang umum terjadi, terhitung dapat dijumpai
sebesar 25 % sampai dengan 35 % pada penyakit jantung kongenital.
Defek paling sering ditemukan pada bagian membran dari septum
interventrikular (ventricular septal defect [VSD] membranosa atau
infracristal) pada posisi posterior dan anterior daun sisi septal katup
trikuspid. ventricular septal defect (VSD) muskuler adalah jenis yang
paling sering ditemukan berikutnya dan terletak di bagian pertengahan
atau apikal dari septum inter – ventricular, di mana mungkin terdapat satu
defek atau beberapa pembukaan (menyerupai keju Swiss). Cacat pada
septum sub – pulmonary (supracristal) sering dikaitkan dengan regurgitasi
aorta karena daun katup koroner kanan dapat menjadi prolaps dan masuk
ke dalam ventricular septal defect (VSD). Defek septal pada saluran masuk
ventrikel biasanya serupa pada perkembangan dan lokasi terhadap defek
septum atrioventrikular (AV) (lihat bagian berikutnya).

Kelainan fungsi yang dihasilkan oleh ventricular septal defect


(VSD) bergantung pada ukuran defeknya, pulmonary vascular resistance
(PVR), dan ada atau tidaknya kelainan yang lainnya. ventricular septal
defect (VSD) kecil, terutama tipe muskuler, seringkali tertutup saat masa
anak – anak. Defek restriktif hanya berhubungan dengan adanya shunting
kiri – ke – kanan yang minimal (rasio aliran darah pulmonal – sistemik
kurang dari 1.75 : 1). Defek yang besar menghasilkan shunting kiri – ke –
kanan yang besar pula (shunting lebih besar dari 2 : 1) yang bervariasi
secara langsung dengan systemic vascular resistance (SVR) dan secara
tidak langsung dengan pulmonary vascular resistance (PVR). Infeksi
pulmonal berulang dan gagal jantung kongestif umum terjadi pada rasio
aliran sistemik paru – paru 3 – 5 : 1. Pasien dengan ventricular septal
defect (VSD) kecil diobati secara medis dan diikuti dengan
elektrokardiografi (untuk tanda hipertrofi ventrikel kanan) dan
ekokardiografi. Penutupan bedah biasanya dilakukan pada pasien dengan
ventricular septal defect (VSD) yang besar sebelum penyakit vaskular
pulmonal dan fisiologi Eisenmenger berkembang. Seperti halnya defek
pada atrium, jika tidak disertai dengan gagal jantung, respon anestesi
terhadap agen inhalasi dan agen intravena umumnya tidak berubah secara
signifikan. Demikian pula, peningkatan systemic vascular resistance
(SVR) akan memperburuk shunting kiri – ke – kanan. Bila shunting
kanan – ke – kiri dijumpai, peningkatan pulmonary vascular resistance
(PVR) atau penurunan pada systemic vascular resistance (SVR) yang
mendadak tidak bisa ditolerir dengan baik.

Defek Septum Atrioventrikuler

Defek pada bantalan endokardal (Saluran atrioventrikular [AV])


menyebabkan defek pada septum atrium dan ventrikular yang saling
terhubung, seringkali dengan katup atrioventrikular (AV) yang sangat
abnormal. Defek pada septum atrioventrikular (AV) ini adalah lesi yang
umum pada pasien dengan sindrom Down. Defeknya bisa menghasilkan
shunting besar baik pada atrium maupun pada ventrikel. Regurgitasi mitral
dan trikuspid memperburuk kelebihan volume pada ventrikel. Awalnya,
shunting didominasi kiri – ke – kanan; Namun, dengan meningkatnya
hipertensi pulmonal, sindrom Eisenmenger dengan sianosis yang jelas
berkembang.

Patent Ductus Arteriosus

Persistensi dari komunikasi antara arteri pulmonalis utama dan


aorta dapat menghasilkan shunting kiri – ke – kanan yang membatasi atau
tidak terkendali. Kelainan ini biasanya bertanggung jawab atas
kemunduran kondisi kardiopulmoner pada bayi prematur dan kadang –
kadang muncul di kemudian hari bila dapat dikoreksi secara
torakokospikal. Tujuan anestesi harus serupa dengan defek septum atrial
dan ventrikel.
Anomali Pengembalian Vena Sebagian

Defek ini didapatkan saat satu atau lebih pembuluh darah pulmonal
yang mengalir ke sisi kanan jantung; Vena yang anomali biasanya berasal
dari paru kanan. Lokasi masuknya anomali yang memungkinkan yaitu
termasuk atrium kanan, vena kava superior atau inferior, dan sinus
koroner. Kelainan yang dihasilkan akan menyebabkan sejumlah variasi
dari shunting kiri – ke – kanan. Perjalanan klinis dan prognosis biasanya
sangat baik dan serupa dengan atrial septal defect (ASD) secundum. Sinus
koroner yang sangat besar pada transesophageal echocardiography (TEE)
menunjukkan drainase yang anomali ke dalam sinus koroner, yang dapat
mempersulit pengelolaan kardioplegia selama operasi jantung.
Pengembalian vena anomali total diperbaiki segera setelah kelahiran.

3. Shunting Dominan Kanan – Ke – Kiri (Kompleks)

Lesi pada kelompok ini (beberapa juga disebut lesi campuran) sering
menyebabkan obstruksi aliran keluar ventrikular dan shunting. Penyumbatan
menyebabkan shunting mengalir ke arah sisi yang tidak terobstruksi. Bila
penyumbatannya relatif ringan, jumlah shunting dipengaruhi oleh rasio systemic
vascular resistance (SVR) terhadap pulmonary vascular resistance (PVR), namun
tingkat obstruksi yang meningkat Kn memperbaiki arah dan besarnya shunting.
Atresia dari salah satu katup jantung menunjukkan adanya bentuk obsruksi yang
ekstrem. Shunting terjadi pada bagian proksimal dari katup yang mengalami
atresia dan benar – benar pasti; Kelangsungan hidup tergantung pada shunting
distal lain (biasanya patent ductus arteriosus [PDA], patent foramen ovale, atrial
septal defect (ASD), atau ventricular septal defect (VSD)), di mana darah mengalir
dalam arah yang berlawanan. Kelompok dengan defek seperti ini juga dapat
dibagi menurut apakah mereka meningkatkan atau menurunkan aliran darah
pulmonal.
Tetralogy of Fallot

Anomali ini secara klasik mencakup adanya obstruksi pada aliran


keluar ventrikel kanan, hipertrofi ventrikel kanan, dan ventricular septal
defect (VSD) dengan overriding aorta. Obstruksi ventrikel kanan pada
sebagian besar pasien disebabkan oleh stenosis infundibular, yang
disebabkan oleh hipertrofi pada otot – otot subpulmonik (crista
ventricularis). Sedikitnya 20 % sampai dengan 25 % pasien juga memiliki
stenosis pulmonal, dan sebagian kecil pasien memiliki beberapa unsur
adanya obstruksi supravalvular. Katup pulmonalis sering menjadi
bikuspid, atau, lebih jarang, mengalami atretik. Obstruksi infundibular
dapat meningkat dengan adanya tonus simpatik dan oleh karena
kedinamisannya; Obstruksi ini kemungkinan bertanggung jawab atas
kondisi hipersianotik yang diamati pada pasien yang sangat muda.
Kombinasi dari adanya obstruksi aliran keluar ventrikel kanan dan
ventricular septal defect (VSD) dapat menyebabkan diejeksikannya
darah dari ventrikel kanan yang tidak teroksigenasi, serta darah dari
ventrikel kiri yang teroksigenasi menuju ke aorta. Shunting kanan – ke
– kiri melintasi ventricular septal defect (VSD) memiliki komponen –
komponen yang tetap dan bervariasi. Komponen yang tetap ditentukan
oleh beratnya obstruksi pada ventrikel kanan, sedangkan komponen
variabel bergantung pada systemic vascular resistance (SVR) dan
pulmonary vascular resistance (PVR).

Neonatus dengan obstruksi ventrikel kanan yang parah dapat


memburuk dengan cepat, karena aliran darah pulmonel akan menurun saat
patent ductus arteriosus (PDA) mulai tertutup. Prostaglandin E 1 intravena
(0.05 – 0.2 mcg / kg / menit) digunakan untuk mencegah penutupan ductus
dalam kasus seperti diatas. Bedah paliatif dengan shunting sistemik kiri –
ke – kanan atau koreksi komplit biasanya dilakukan. Untuk bedah paliatif
dengan shunting sistemik kiri – ke – kanan, shunting Blalock – Taussig
yang dimodifikasi (arteri sistemik – arteri pulmoner) merupakan yang
paling sering digunakan untuk meningkatkan aliran darah pulmonal.
Dalam prosedur ini, cangkok sintetis dianastomosiskan diantara arteri
subklavia dan arteri pulmonalis ipsilateral. Koreksi lengkap melibatkan
penutupan dari ventricular septal defect (VSD), menghilangkan otot
infundibular yang menghalangi, dan valvulotomi pulmonal atau
valvuloplasti pulmonal, bila diperlukan.

Tujuan pengelolaan anestesi pada pasien dengan tetralogy of Fallot


adalah untuk mempertahankan volume intravaskular dan systemic vascular
resistance (SVR). Peningkatan pulmonary vascular resistance (PVR),
seperti yang mungkin terjadi akibat kondisi asidosis atau tekanan pada
saluran napas yang berlebihan, harus dihindari. Ketamin (intramuskular
atau intravena) adalah agen induksi yang umum digunakan karena mampu
mempertahankan atau meningkatkan systemic vascular resistance (SVR)
dan oleh karena itu tidak memperparah kondisi shunting kanan – ke – kiri.
Pasien dengan tingkat shunting ringan biasanya mentolerir induksi
inhalasi. Shunting kanan – ke – kiri cenderung memperlambat
pengambilan dari anestesi inhalasi; Sebaliknya, ini bisa mempercepat
onset dari agen intravena. Oksigenasi sering memperbaiki setelah
dilakukan induksi anestesi. Relaksan otot yang melepaskan histamin harus
dihindari. Kondisi hipersianotik dapat diobati dengan cairan intravena dan
phenylephrine (5 mcg / kg). Beta blocker (misalnya, propranolol) mungkin
juga efektif dalam mengurangi spasme infundibular. Sodium bikarbonat
untuk memperbaiki asidosis metabolik yang dihasilkan, mungkin juga
membantu bila kondisi hipoksemia menjadi parah dan berkepanjangan.

Atresia Katup Trikuspid

Dengan adanya atresia pada katup trikuspid, darah bisa mengalir


keluar dari atrium kanan hanya melalui foramen ovale paten (atau atrial
septal defect [ASD]). Selain itu, patent ductus arteriosus (PDA) (atau
ventricular septal defect [VSD]) diperlukan agar darah mengalir dari
ventrikel kiri ke sirkulasi pulmonal. Sianosis biasanya terlihat saat lahir,
dan keparahannya tergantung pada jumlah aliran darah pulmonal yang bisa
diraih. Kelangsungan hidup dini tergantung pada infus prostaglandin E 1,
dengan atau tanpa septostomi balon atrial Rashkind secara perkutan.
Sianosis berat membutuhkan shunting Blalock – Taussig yang
dimodifikasi pada awal kehidupan. Manajemen bedah yang lebih disukai
adalah prosedur Fontan yang dimodifikasi, di mana drainase vena
diarahkan menuju ke sirkulasi pulmonal. Di beberapa pusat kesehatan,
shunting vena kava superior menuju arteri pulmonalis utama (bidirectional
Glenn) dapat digunakan sebelum atau bahkan menggantikan dari prosedur
Fontan. Dengan kedua prosedur tersebut, darah dari pembuluh darah
sistemik mengalir ke dalam atrium kiri tanpa bantuan ventrikel kanan.
Keberhasilan prosedur tergantung pada tekanan vena sistemik yang tinggi
dan mempertahankan pulmonary vascular resistance (PVR) untuk tetap
rendah dan tekanan atrium kiri juga rendah. Transplantasi jantung
mungkin diperlukan untuk prosedur Fontan yang gagal.

Transposisi Arteri Besar

Pada pasien dengan transposisi arteri besar, aliran kembali vena


pulmonal dan vena sistemik biasanya masing – masing akan kembali
menuju atrium kanan dan atrium kiri, tetapi aorta akan mengalir dari
ventrikel kanan, dan arteri pulmonalis akan mengalir dari ventrikel kiri.
Dengan demikian, darah terdeoksigenasi akan kembali menuju sirkulasi
sistemik, dan darah yang teroksigenasi akan kembali ke paru – paru.
Kelangsungan hidup hanya mungkin dilakukan melalui pencampuran
darah beroksigen dan terdeoksigenasi di foramen ovale dan patent ductus
arteriosus (PDA). Kehadiran ventricular septal defect (VSD)
meningkatkan pencampuran dan mengurangi tingkat hipoksemia.
Prostaglandin E 1 yang diberikan secara infus biasanya diperlukan.
Septostomy Rashkind mungkin diperlukan jika koreksi secara bedah
tertunda. Perawatan bedah korektif melibatkan prosedur pengalihan arteri
dimana aorta dipisahkan dan disambungkan kembali ke ventrikel kiri, dan
arteri pulmonalis dipisahkan dan dianastomosiskan kembali ke ventrikel
kanan. Arteri koroner juga harus ditanamkan kembali ke akar arteri
pulmonalis yang lama. ventricular septal defect (VSD), jika ada, harus
ditutup. Lebih jarang dilakukan yaitu, prosedur atrial switch (Senning)
dapat dilakukan jika pertukaran arteri tidak memungkinkan. Dalam
prosedur atrial switch (Senning) ini, sebuah penghalang intra – atrial
dibuat dari dinding atrium, dan darah dari vena pulmonal mengalir
melintasi atrial septal defect (ASD) menuju ke ventrikel kanan, dari mana
ia dikeluarkan menuju ke dalam sirkulasi sistemik.

Transposisi pembuluh darah besar dapat terjadi dengan ventricular


septal defect (VSD) dan stenosis katup pulmonal. Kombinasi defek ini
meniru kondisi dari tetralogi of Fallot; Namun, obstruksi mempengaruhi
ventrikel kiri, bukan pada ventrikel kanan. Operasi korektif melibatkan
penutupan patch ventricular septal defect (VSD), mengarahkan aliran
keluar ventrikel kiri menuju ke aorta, ligasi arteri pulmonalis proksimal,
dan menghubungkan aliran keluar ventrikel kanan ke arteri pulmonalis
dengan saluran yang berkatup (prosedur Rastelli).

Truncus Arteriosus

Dengan defek truncus arteriosus, satu batang arteri memasok


sirkulasi pulmoner maupun sirkulasi sistemik. Truncus selalu
mengesampingkan adanya kondisi ventricular septal defect (VSD),
memungkinkan kedua ventrikel untuk mengeluarkan aliran darahnya
menuju ke dalamnya. Sebagaimana pulmonary vascular resistance (PVR)
secara bertahap semakin menurun setelah kelahiran, aliran darah pulmonal
meningkat dengat pesat, mengakibatkan gagal jantung. Jika tidak diobati,
pulmonary vascular resistance (PVR) akan meningkat, dan sianosis
berkembang lagi, bersamaan dengan fisiologi Eisenmenger. Koreksi bedah
yaitu dengan menutup ventricular septal defect (VSD), memisahkan arteri
pulmonalis dari truncus, dan menghubungkan ventrikel kanan ke arteri
pulmonalis dengan saluran (perbaikan Rastelli).

Sindrom Jantung Kiri Hipoplastik

Sindrom ini menggambarkan sekelompok defek yang ditandai


dengan adanya atresia pada katup aorta dan perkembangan yang buruk
pada ventrikel kiri secara bermakna. Ventrikel kanan adalah ruang
pemompaan utama untuk sirkulasi sistemik maupun sirkulasi pulmoner.
Ventrikel kanan mengejeksikan darah secara normal menuju arteri
pulmonalis, dan semua (atau hampir semua) aliran darah yang memasuki
aorta biasanya berasal dari patent ductus arteriosus (PDA). Perawatan
bedah mencakup perbaikan Norwood dan pendekatan hibrida terhadap
terapi paliatif. Dalam perbaikan Norwood, aorta baru dibuat dari aorta
hipoplastik dan arteri pulmonalis utama. Aliran darah pulmonal
disampaikan melalui shunting Blalock – Taussig. Ventrikel kanan menjadi
ventrikel pemompa aliran sistemik jantung. Pendekatan hibrida juga telah
dianjurkan untuk pengobatan sindroma jantung kiri hipoplastik. Dalam
pendekatan ini, arteri pulmonalis dibatasi untuk mengurangi aliran darah
paru, dan stent patent ductus arteriosus (PDA) akan menyediakan aliran
darah sistemik.
PASIEN DENGAN JANTUNG TRANSPLANTASI

Pertimbangan Pra – Operatif

Jumlah pasien dengan transplantasi jantung semakin meningkat


seiring dengan meningkatnya frekuensi transplantasi dan tingkat ketahanan
hidup pasca – transplantasi yang lebih baik. Pasien – pasien dengan
transpantasi jantung ini dapat hadir ke ruang operasi pada awal periode
pascaoperasi untuk eksplorasi mediastinum atau re – transplantasi, atau
mungkin akan datang di kemudian hari untuk insisi dan drainase dari
infeksi, operasi ortopedi, atau prosedur yang tidak terkait.

Jantung yang dicangkokkan benar – benar didenervasi secara total,


sehingga pengaruh otonom secara langsung tidak ada. Pembentukan
impuls jantung dan konduksi tetap normal, namun tidak adanya pengaruh
vagal menyebabkan denyut jantung saat istirahat relatif tinggi (100 – 120
denyut / menit). Meskipun serat simpatis juga terganggu, respons terhadap
katekolamin sirkulasi tetap normal atau bahkan meningkat karena
sensitivitas denervasi (peningkatan kepadatan reseptor). Curah jantung
cenderung rendah normal dan meningkat relatif lambat dalam menanggapi
latihan karena responsnya bergantung pada peningkatan katekolamin yang
beredar dalam sirkulasi sistemik. Karena hubungan Starling antara volume
akhir diastolik dan curah jantung tetap normal, jantung yang
ditransplantasikan juga sering disebut preload dependent. Autoregulasi
koroner dipertahankan.

Evaluasi pra operasi harus berfokus pada evaluasi status fungsional


organ transplantasi dan mendeteksi adanya komplikasi dari imunosupresi.
Penolakan dapat ditunjukkan oleh kondisi aritmia (dalam 6 bulan pertama)
atau penurunan toleransi olahraga akibat kemunduran progresif dari
kinerja miokard. Evaluasi ekokardiografi secara periodik biasanya
digunakan untuk memantau penolakan, namun teknik yang paling efektif
adalah biopsi endomiokardial. Accelerated atherosclerosis dalam graft
adalah masalah yang sangat umum dan serius yang membatasi umur
transplantasi. Terlebih lagi iskemia miokard dan infarknya hampir selalu
tanpa gejala dikarenakan adanya proses denervasi. Karena itu, pasien harus
menjalani evaluasi secara berkala, termasuk angiografi, untuk penilaian
dari adanya kondisi aterosklerosis koroner.

Terapi imunosupresif biasanya meliputi siklosporin, azathioprin,


dan prednison. Efek samping yang penting termasuk nefrotoksisitas,
depresi pada sumsum tulang, hepatotoksisitas, infeksi oportunistik, dan
osteoporosis. Hipertensi dan retensi cairan umum terjadi dan biasanya
memerlukan perawatan dengan diuretik dan penghambat angiotensin –
converting enzyme (ACE). Dosis stress dari kortikosteroid dibutuhkan saat
pasien menjalani prosedur bedah mayor.

Manajemen Anestesi

Hampir semua teknik anestesi, termasuk anestesi regional, telah


berhasil digunakan untuk pasien transplantasi. Fungsi yang bergantung
pada preload dari cangkokan membuat preload jantung dipertahankan
untuk tetap normal atau lebih tinggi merupakan kondisi yang diinginkan.
Selain itu, tidak adanya peningkatan refleks pada detak jantung dapat
membuat pasien sangat peka terhadap vasodilatasi cepat. Vasopresor tidak
langsung, seperti efedrin, kurang efektif dibandingkan dengan agen
langsung karena tidak adanya penyimpanan katekolamin pada neuron
miokard. Isoproterenol atau infus epinefrin harus tersedia untuk
meningkatkan denyut jantung jika diperlukan.

Pemantauan elektrokardiografi secara hati – hati untuk iskemia


diperlukan. elektrokardiografi (EKG) biasanya menunjukkan dua pasang
gelombang P, satu yang mewakili nodus sinoatrial penerima (SA) (yang
mana dibiarkan tetap utuh), dan yang lainnya mewakili nodus sinoatrial
(SA) dari donor. Nodus sinoatrial (SA) milik penerima mungkin masih
terpengaruh oleh pengaruh otonom, namun tidak mempengaruhi fungsi
jantung. Pemantauan tekanan arterial secara langsung harus digunakan
untuk operasi besar; tindakan asepsis secara ketat harus diperhatikan saat
proses penempatan.

Pada pasien yang baru ditransplantasikan, ventrikel kanan jantung


yang ditransplantasikan mungkin tidak dapat mengatasi resistansi
pembuluh darah pulmoner. Gagal ventrikel kanan dapat terjadi secara
perioperatif, sehingga membutuhkan penggunaan nitrous oxide inhalasi,
inotropik, dan kadang – kadang, alat bantu ventrikel kanan.

Tabel 21 – 21. Penyebab sinkop


Kardiak
Aritmia
Takiaritmia (biasanya >180 kali/menit)
Bradiaritmia (biasanya <40 kali/menit)
Penurunan ejeksi ventrikel kiri
Stenosis aorta
Kardiomiopati hipertrofi
Infark miokardium masif
Mixoma atrium
Penurunan output ventrikel kanan
Tetralogi of Fallot
Hipertensi pulmonal primer
Emboli pulmonal
Stenosis katup pulmonal
Kelemahan biventrikel
Kardiak tamponade
Infark miokardium massif
Nonkardiak
Reflek yang menonjol
Reflek vasodepresor (misalnya sinkop vasovagal)
Hipersensitivitas sinus karotis
Neuralgia
Hipertensi postural
Hipovolemi
Simpatektomi
Disfungsi autonomik
Valsava manuver terlalu lama
Penyakit serebrovaskular
Kejang
Metabolik
Hipoksia
Hipokapnia
Hipoglikemia

Tabel 21 – 22. Klasifikasi pacemaker


Chamber- Chamber- Respon Kemampuan Fungsi anti –
Paced Sensed untuk sadar program takiaritmia
O= tidak ada O= tidak ada O= tidak ada O= tidak ada O= tidak ada
A= atrium A= atrium T= pemicu P= simpel P= pacing
V= ventrikel V= ventrikel I= M= multi S= kejut
penghambat program
D= dual D= dual D= dual C= D= dual
(atrium dan (atrium dan (pemicu dan berdampingan (pacing dan
ventrikel) ventrikel) penghambat) R= kecepatan kejut)
modulasi

Anda mungkin juga menyukai