Malas PDF
Malas PDF
Tembusan :
Direktur Jenderal Pemasyarakatan (sebagai laporan).
Lampiran Surat
Nomor : PAS1.OT.01.03-12
Tanggal : 04 September 2019
SORONG
LAPAS KELAS IIB SERUI LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB SERUI
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
19. SULAWESI BARAT LAPAS KELAS IIB POLEWALI
POLEWALI
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
20. SULAWESI SELATAN LAPAS KELAS IIB TAKALAR
TAKALAR
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
21. SULAWESI UTARA LAPAS KELAS IIB TONDANO
TONDANO
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
LAPAS KELAS IIB AMPANA
AMPANA
22. SULAWESI TENGAH
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
LAPAS KELAS IIB LUWUK
LUWUK
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIA
LAPAS KELAS IIA KENDARI
23. SULAWESI TENGGARA KENDARI
RUTAN KELAS IIB RAHA LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB RAHA
24 PAPUA -(USULAN BARU)- BAPAS KELAS II KEEROM
JUMLAH 33
TELAAHAN
USULAN PERUBAHAN NOMENKLATUR SERTA PEMBENTUKAN BARU
UPT PEMASYARAKATAN
I. PERMASALAHAN
II. PRAANGGAPAN
1. Jumlah tahanan narkotika dan narapidana narkotika yang menjalani pidana di Lapas
sebanyak 130.976 orang dari total 265.020 narapidana dan tahanan. Jika dipersentasikan
jumlah narapidana dan tahanan narkotika 50% dari seluruh narapidana dan tahanan yang
ada di Lapas/Rutan.
2. Jumlah Lapas khusus narkotika saat ini hanya berjumlah 24 UPT yang tersebar di 20
Kantor Wilayah dengan berbagai klasifikasinya. Bagi Kantor Wilayah yang belum
mempunyai Lapas khusus narkotika, maka saat ini pembinaan terhadap narapidana terkait
tindak pidana narkotika dilakukan di Lapas-Lapas Umum.
3. Pembinaan Narapidana terkait tindak pidana narkotika memiliki metode dan spesifikasi
khusus, sehingga perlu pembentukan Lapas yang support and compatible terhadap
pembinaan khusus narkotika.
4. Pembinaan khusus narkotika memiliki titik tekan pada kegiatan rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial sebagaimana diatur pada Permenkumham Nomor 12 Tahun 2017
tentang Penyelenggaraan Layanan Rehbilitasi Narkotika Bagi Tahanan dan Warga Binaan
Pemasyarakatan. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara
terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. Sedangkan
Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,
mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi
sosial dalam kehidupan masyarakat.
Jika melihat data Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Mabes Polri pada
semester pertama tahun 2016 terdapat ± 13.851 kasus tindak pidana narkotika, jumlah tersebut
meningkat dibandingkan pada tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 9.412 kasus, sehingga
terdapat peningkatan kasus tindak pidana narkotika sebesar 47,16% pada tahun tersebut dengan
modus dan jumlah barang bukti narkotika yang disita cukup variatif. Peningkatan tindak pidana
narkotika pada kurun waktu terakhir ini, berimplikasi pada meningkatnya jumlah penghuni
Lapas dan Rutan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan terjadi peningkatan
jumlah Narapidana dan Tahanan kasus narkotika yang cukup signifikan. Pada tahun 2018
jumlah narapidana/tahanan telah mencapai 255.407 dimana tercatat sebanyak 115.418 orang
adalah kasus narkotika, meningkat jauh dari tahun 2016 yang hanya berkisar pada angka 73.168
orang dan tahun 2017 yang hanya berkisar pada angka 78.921.
Pada bulan agustus 2019 jumlah ini kembali mengalami eskalasi hingga menembus angka
130.976 orang, sedangkan jumlah Tahanan dan Narapidana seluruhnya 265.020 orang.
Sehingga persentase tahanan dan narapidana terkait tindak pidana narkotika mencapai 50% dari
seluruh tahanan dan narapidana yang ada di Rutan/Lapas seluruh Indonesia. Masih sangat tidak
seimbang jumlah narapidana tindak pidana narkotika tersebut jika dibandingkan dengan jumlah
25 UPT Lapas Khusus Narkotika yang terdiri dari Lapas Narkotika Kelas IIA 18 UPT, Lapas
Narkotika Kelas IIB 6 UPT dan Lapas Narkotika Kelas III 1 UPT yang tersebar di 20 provinsi.
Tabel 2. Jumlah Lapas Khusus Narkotika Seluruh Indonesia
NO KANTOR WILAYAH UPT
1. Aceh Lapas Narkotika Kelas IIB Langsa
Lapas Narkotika Kelas IIA Pematang Siantar
2. Sumatera Utara
Lapas Narkotika Kelas IIB Langkat
3. Sumatera Barat Lapas Narkotika Kelas III Sawahlunto
4. Riau Lapas Narkotika Kelas III Rumbai
5. Jambi Lapas Narkotika Kelas IIB Muara Sabak
6. Kep. Riau Lapas Narkotika Kelas IIA Tanjung Pinang
Lapas Narkotika Kelas IIB Banyuasin
7. Sumatera Selatan
Lapas Narkotika Kelas IIA Muara Beliti
8. Kep. Bangka Belitung Lapas Narkotika Kelas IIB Pangkal Pinang
9. Lampung Lapas Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung
10. DKI Jakarta Lapas Narkotika Kelas IIA Jakarta
Lapas Narkotika Kelas IIA Cirebon
11. Jawa Barat Lapas Narkotika Kelas IIA Bandung
Lapas Narkotika Kelas IIA Gunung Sindur
Lapas Narkotika Kelas IIA Nusakambangan
12. Jawa Tengah
Lapas Narkotika Kelas IIB Purwokerto
13. D.I. Yogyakarta Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta
14. Jawa Timur Lapas Narkotika Kelas IIA Pamekasan
15. Bali Lapas Narkotika Kelas IIA Bangli
16. Kalimantan Tengah Lapas Narkotika Kelas IIA Kasongan
17. Kalimantan Selatan Lapas Narkotika Kelas IIA Karang Intan
18. Kalimantan Timur Lapas Narkotika Kelas IIA Samarinda
19. Sulawesi Selatan Lapas Narkotika Kelas IIA Sungguminasa
20. Papua Lapas Narkotika Kelas IIA Jayapura
Melihat realita data diatas seharusnya terjadi perubahan pendekatan penanganan terhadap
pengguna narkotika sehingga mampu memutus mata rantai peredaran gelap narkotika itu
sendiri. Banyaknya pengguna dan pecandu yang dipenjara tentu saja mengakibatkan
memburuknya kondisi Lapas, meskipun berbagai program kebijakan telah dikeluarkan guna
mendukung penanganan narapidana tindak pidana narkotika. Pada dasarnya perdagangan akan
sangat tergantung pada community, communication, and commodity. Dengan berkumpulnya
para bandar/pengedar dengan pengguna maka saat ini kita tidak sengaja telah menyiapkan dua
item penting yaitu community dan communication dalam sebuah Lapas/Rutan, selanjutnya
urusan commodity yang dalam hal ini adalah narkotika maka mekanisme pasarlah yang akan
menentukan. Maka tidak heran apabila transaksi narkotika merajalela di dalam Lapas dan
bahkan mencapai level pengendalian, karena pada dasarnya narapidana pengguna
membutuhkan asupan narkotika karena efek kecanduan. Bahkan paradigma masyarakat yang
berkembang saat ini menilai bahwa Rumah Tahan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan
sebagai tempat dan sarang peredaran gelap narkotika. Penanganan peredaran gelap narkotika
tidak cukup hanya melalui penegakan hukum yang keras pada pengedarnya saja. Namun ke
depan penanganan masalah narkotika lebih mengutamakan kepada pendekatan kesehatan
melalui pemberian terapi rehabilitasi terhadap para penyalahguna narkotika yang notabenenya
adalah korban.
NO TAHUN PROGRAM
IV. ANALISIS
Tidak ada bukti ilmiah bahwa kriminalisasi dapat menurunkan angka pengguna narkotika.
Jika kita melakukan benchmarking dengan negara lain, kita dapat melihat Amerika Serikat yang
sejak dideklarasikan slogan Perang terhadap narkoba (War on Drugs) pada tahun 1971 oleh
Presiden Nixon, mengalami kenaikan populasi lembaga pemasyarakatan hingga 700%.
Amerika Serikat telah mencobanya dengan melakukan penahanan massal pada pengguna
narkotika selama 40 tahun, dan cara ini sama sekali tidak berhasil. Amerika Serikat akhirnya
banyak mengeluarkan biaya untuk penegakan hukum dan bukan dialokasikan untuk perawatan,
pemulihan atau rehabilitasi para pengguna dan pecandu narkotika. Hanya 10% persepsi publik
Amerika Serikat yang percaya bahwa “Perang terhadap Narkoba” dapat berjalan sukses, namun
66% persepsi publik mengarah ke kegagalan. Sebagian besar penduduk Amerika Serikat
mendukung Pemerintah untuk menghentikan “Perang terhadap Narkoba” dan mencoba
kebijakan baru yang lebih solutif. Dan pada akhirnya Penduduk Amerika Serikat lebih percaya
bahwa permasalahan Narkotika ini harus disikapi sebagai masalah kesehatan publik dan bukan
sebagai permasalahan hukum pidana. Melakukan Dekriminalisasi merupakan jalan yang baik,
karena pendekatan ini akan mengurangi bahaya penyalahgunaan narkoba sekaligus
meningkatkan keselamatan dan kesehatan masyarakat.
Dengan adanya dekriminalisasi akhirnya akses kesehatan jadi terbuka karena pengguna
dan pecandu tidak takut untuk datang ke tempat pusat rehabilitasi. Karena akses kesehatannya
dibuka pidananya dijauhkan sehingga orang yang menggunakan atau pecandu tidak akan takut
untuk melapor. Titik balik dari logika ini sebenarnya mengganti pendekatan kriminal,
mengganti pendekatan pidana kepada pendekatan kesehatan, merubah seluruh struktur
pemidanaan menjadi pendekatan kesehatan. Pendekatan pidana dengan memenjarakan
pengguna narkotika tidak akan berhasil untuk mengurangi atau menghilangkan persoalan
narkoba di indonesia. Hal ini dapat dilihat dari tidak tercapainya tujuan untuk pencegahan
terhadap kasus narkotika. Secara spesifik, dekriminalisasi merupakan pilihan yang akan
menjadi langkah penting. Sejalan dengan itu maka kesiapan aparat penegak hukum, fasilitas
dan peraturan pendukung juga harus diukur dengan matang.
Semakin meningkatnya jumlah penghuni kasus narkotika, Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan telah melakukan berbagai upaya dalam hal penyelenggaraan penanggulangan
masalah narkotika di UPT Pemasyarakatan. Penanganan terhadap penyalahguna narkotika tidak
cukup hanya melalui pendekatan pemberantasan dan penegakan aspek hukum pidana semata
(supply reduction) saja. Namun, arah saat ini dan ke depan penanganan masalah narkotika lebih
mengutamakan kepada pendekatan pencegahan dan terapi rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial (demand reduction) terhadap para penyalahguna narkotika. Alasannya sederhana, dengan
ditekannya angka pengguna dan pecandu maka akan secara signifikan merusak “pasar”
peredaran gelap narkotika.
Pada tahun 2017 diterbitkan Permenkumham Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Rehabilitasi
Narkotika Bagi Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai dasar penyelenggaraan
rehabilitasi di UPT Pemasyarakatan. Saat ini Dirjenpas sebagai pelaksana rehabilitasi medis,
rehabilitasi sosial, dan pascarehabilitasi bagi Tahanan dan WBP, mendapatkan target sebanyak
6.000 tahanan dan WBP setiap tahunnya. Faktor yang menjadi bottleneck dalam implementasi
kebijakan tersebut bukan hanya terletak pada perangkat regulasi dan budaya masyarakat, namun
juga minimnya jumlah Lapas Khusus Narkotika yang operasional.
Saat ini Lapas Khusus Narkotika yang menyelenggarakan program rehabilitasi hanya
berjumlah 25 yang tersebar pada 20 Kantor Wilayah. Tidak ada pengkhususan dalam
penanganan narapidana narkotika dapat menghambat program rehabilitasi. Bercampurnya
narapidana umum dengan narapidana narkotika pada Lapas Umum akan memberikan distraksi
dalam pemberian program rehabilitasi. Disisi lain kurangnya pemahaman petugas mengenai
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi di Lapas Umum juga akan mempengaruhi jalannya
intervensi bagi narapidana narkotika. Lapas Khsusus Narkotika juga diperlukan sebagai media
pemisahan yang jelas antara pengguna dan pengedar narkotika, sehingga pemerintah bisa serius
dalam menangani permasalahan perdagangan gelap narkotika dan menyelamatkan para
pengguna narkotika.
Program rehabilitasi memiliki bentuk kegiatan seperti karantina, sehingga fokus dan
keteraturan program intervensi menjadi kunci keberhasilan. Hal ini penting untuk menciptakan
budaya yang kuat sehingga narapidana tidak melakukan perbuatan penyalahgunaan narkotika
kembali. Sebagaimana pecandu lain, pecandu narkotika seringkali menyangkal kondisinya dan
sulit diminta untuk melakukan rehabilitasi. Biasanya dibutuhkan intervensi melalui sebuah
program pembinaan dengan dimotivasi lingkungan seperti keluarga atau teman satu program.
Program rehabilitasi harus dilakukan secepat mungkin. Untuk itu diperlukan dokter
spesialis ketergantungan narkotika dengan bantuan psikiater ataupun konselor khusus di bidang
ini dalam sebuah unit khusus. Melalui unit khusus ini maka penanganan melalui obat-obatan
juga akan lebih mudah dilakukan pengawasan. Beberapa narapidana pengguna narkotika dapat
diberikan program rehabilitasi dengan terapi obat seperti methadone dan buprenorfin.
Ada tiga tahap rehabilitasi narkotika yang harus dijalani. Pertama, tahap rehabilitasi
medis (detoksifikasi) yaitu proses pecandu menghentikan penyalahgunaan narkotika di bawah
pengawasan dokter untuk mengurangi gejala putus zat (sakau). Tahap kedua, yaitu tahap
rehabilitasi non medis dengan berbagai program di tempat rehabilitasi sosial, misalnya program
therapeutic communities (TC), program 12 langkah dan lain-lainnya. Kemudian tahap terakhir
yaitu tahap bina lanjut yang akan memberikan kegiatan sesuai minat dan bakat. Proses
melepaskan diri dari narkotika untuk penggunanya tidaklah mudah. Selain menjalani
rehabilitasi narkotika, mereka juga membutuhkan dukungan keluarga dan masyarakat agar
dapat kembali menjalani hidup sehat dan produktif.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai
berikut:
1. Perlu dilakukan perubahan fungsi dan nomenklatur pada 30 Lapas Umum menjadi Lapas
Khusus Narkotika sehingga dapat mendukung penyelenggaraan program rehabilitasai
bagi narapidana tindak pidana di 25 Lapas Khusus Narkotika existing.
2. Perlu dilakukan pembentukan baru 2 Lapas Khusus Narkotika di Provinsi Nusa Tenggara
Barat dan Provinsi Gorontao sebagai penyelenggara program rehabilitasai bagi
narapidana tindak pidana di wilayah tersebut.
3. Perlu dilakukan pembentukan baru 1 Bapas di Kabupaten Keero, Provinsi Papua Barat
sebagai institusi yang melakukan pengawasan integrasi narapidana kembali ke
masyarakat sekaligus pelaksana pasca rehabilitasi.
Ibnu Chuldun
NIP. 19660328 198811 1 001