Anda di halaman 1dari 14

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN


Jl. Veteran No. 11 Jakarta Pusat 10110 Telp. (021) 3857611
Fax. (021) 3857612 Laman :www.ditjenpas.go.id

Nomor : PAS1.OT.01.03-12 04 September 2019


Sifat : Segera
Lampiran : 1 (satu) berkas
Hal : Telaahan usul Pembentukan UPT baru

Yth. Kepala Biro Perencanaan


Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
di
Tempat

Menindak lanjuti hasil koordinasi antara Bagian Program Peraporan Direktorat


Jenderal Pemasyarakatan dengan Bagian Kelembagaan Sekretariat Jenderal
Kementerian Hukum dan HAM RI pada tanggal 19 Agustus 2019 tentang usulan
perubahan fungsi dan nomenklatur 30 Lapas umum menjadi Lapas Narkotika dan
Pembentukan baru 3 Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, bersama ini dengan
hormat kami sampaikan usulan dan telaahan sebagaimana terlampir. Selanjutnya
kami mohon perkenan Bapak dapat menyampaikan kepada Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk dapat segera
dilakukan pembahasan.
Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerja sama yang baik diucapkan
terima kasih.

Sekretaris Direktorat Jenderal


Pemasyarakatan,
Tanggal Paraf
Kasubag
Kabag PP
Sesditjenpas
Ibnu Chuldun
NIP. 19660328 198811 1 001

Tembusan :
Direktur Jenderal Pemasyarakatan (sebagai laporan).
Lampiran Surat
Nomor : PAS1.OT.01.03-12
Tanggal : 04 September 2019

USULAN PERUBAHAN NOMENKLATUR LAPAS UMUM MENJADI LAPAS KHUSUS NARKOTIKA


SERTA PEMBENTUKAN LAPAS NARKOTIKA DAN BAPAS

NO KANTOR WILAYAH NOMENKLATUR SEMULA NOMENKLATUR MENJADI

LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB


1. BALI LAPAS KELAS IIB KARANGASEM
KARANGASEM
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIA
2. BANTEN RUTAN KELAS I TANGERANG
TIGARAKSA
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIA
LAPAS KELAS IIA BENGKULU
BENGKULU
3. BENGKULU
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIA
LAPAS KELAS IIA CURUP
CURUP
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
4. DI YOGYAKARTA LAPAS KELAS IIB SLEMAN
SLEMAN
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIA
-(USULAN BARU)-
GORONTALO
5. GORONTALO
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
LAPAS KELAS IIB BOALEMO
BOALEMO
LAPAS NARKOTIKA KELAS III
6. JAMBI LAPAS KELAS III SAROLANGUN
SAROLANGUN
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIA
7. JAWA BARAT RUTAN KELAS I BANDUNG
BANDUNG
NO KANTOR WILAYAH NOMENKLATUR SEMULA NOMENKLATUR MENJADI

RUTAN NARKOTIKA KELAS I


LAPAS KELAS IIA BANCEUY
BANDUNG
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIA
8. KALIMANTAN BARAT LAPAS KELAS IIA PONTIANAK
PONTIANAK
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
9. KALIMANTAN TENGAH LAPAS KELAS IIB PANGKALAN BUN
PANGKALAN BUN
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
10. KALIMANTAN TIMUR LAPAS KELAS IIB TENGGARONG
TENGGARONG
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
11. KALIMANTAN SELATAN LAPAS KELAS IIB AMUNTAI
AMUNTAI
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIA
12. KEPULAUAN RIAU LAPAS KELAS IIA BATAM
BATAM
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
13. LAMPUNG LAPAS KELAS IIB GUNUNG SUGIH
GUNUNG SUGIH
LAPAS KELAS IIB PIRU LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB PIRU
14. MALUKU
LAPAS KELAS IIB TUAL LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB TUAL
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
15. MALUKU UTARA LAPAS KELAS IIB TOBELO
TOBELO
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIA
LAPAS KELAS IIA SUMBAWA BESAR
SUMBAWA BESAR
16. NUSA TENGGARA BARAT
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
-(USULAN BARU)-
LOMBOK UTARA
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIA
LAPAS KELAS IIA KUPANG
KUPANG
17. NUSA TENGGARA TIMUR
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
RUTAN KELAS IIB RUTENG
RUTENG
18. PAPUA BARAT LAPAS KELAS IIB SORONG LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
NO KANTOR WILAYAH NOMENKLATUR SEMULA NOMENKLATUR MENJADI

SORONG
LAPAS KELAS IIB SERUI LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB SERUI
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
19. SULAWESI BARAT LAPAS KELAS IIB POLEWALI
POLEWALI
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
20. SULAWESI SELATAN LAPAS KELAS IIB TAKALAR
TAKALAR
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
21. SULAWESI UTARA LAPAS KELAS IIB TONDANO
TONDANO
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
LAPAS KELAS IIB AMPANA
AMPANA
22. SULAWESI TENGAH
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB
LAPAS KELAS IIB LUWUK
LUWUK
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIA
LAPAS KELAS IIA KENDARI
23. SULAWESI TENGGARA KENDARI
RUTAN KELAS IIB RAHA LAPAS NARKOTIKA KELAS IIB RAHA
24 PAPUA -(USULAN BARU)- BAPAS KELAS II KEEROM
JUMLAH 33

Sekretaris Direktorat Jenderal


Pemasyarakatan,
Tanggal Paraf
Kasubag
Kabag PP
Sesditjenpas Ibnu Chuldun
NIP. 19660328 198811 1 001
Lampiran Surat
Nomor : PAS1.OT.01.03-12
Tanggal : 04 September 2019

TELAAHAN
USULAN PERUBAHAN NOMENKLATUR SERTA PEMBENTUKAN BARU
UPT PEMASYARAKATAN

I. PERMASALAHAN

Permasalahan narkotika dalam dua dekade terakhir mampu menjelma menjadi


permasalahan serius bagi masyarakat internasional, regional dan tentunya secara nasional.
Indonesia dengan kondisi geografis yang sangat strategis dan dengan jumlah penduduk yang
besar maka akan diincar sebagai target pasar, wilayah transit, atau bahkan menjadi produsen
gelap. Saat ini faktanya Indonesia sudah menjadi wilayah tujuan pemasaran utama hingga
wilayah produksi beberapa jenis narkotika tertentu. Pada tahun 2015, diperkirakan terdapat
kenaikan prevalensi orang Indonesia yang terlibat penyalahgunaan narkoba mencapai 2,8
persen atau setara dengan 5,1 juta orang. (data : BNN 2014). Padahal berbagai cara serta segala
macam upaya telah dilakukan guna memberantas kejahatan yang bersifat transnasional tersebut,
baik melalui perjanjian internasional, perjanjian regional dan mengeluarkan peraturan khusus
tentang narkotika, bahkan Presiden Joko Widodo sampai memberikan warning “Indonesia
Darurat Narkoba”.
Pemerintah Indonesia telah mengambil sikap tegas terhadap kejahatan narkotika. Sikap
tegas negara tersebut direpresentasikan dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika yang secara khusus akan mempidana setiap orang yang tanpa hak atau melawan
hukum membawa, mengirim, mengangkut, menggunakan atau memberikan untuk digunakan
orang lain zat narkotika. Dengan berdasarkan pada regulasi tersebut, aparat penegak hukum di
Indonesia melakukan penegakan hukum terhadap penyalahguna narkotika. Hasilnya ribuan
penyalahguna narkotika berada dalam tempat-tempat penahanan dan lembaga pemasyarakatan.
Namun hal tersebut tidak serta merta menyelesaikan masalah narkotika, bahkan secara
empirik data penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika menunjukan trend yang cenderung
meningkat. Disisi lain peningkatan pemenjaraan pada pengguna narkotika tersebut dipastikan
berbanding lurus dengan prevalensi HIV/AIDS di Lapas/Rutan. Hal ini disinyalir terjadi
melalui peredaran gelap narkotika yang tak henti-hentinya (dengan segala modus operandinya)
diselundupkan ke dalam Lapas/Rutan dan praktek seksual yang tidak aman yang terjadi di
Lapas/Rutan. Jumlah tersebut tentunya perlu menjadi perhatian khusus bagi pemangku
kebijakan untuk menyadari bahwa penanganan penyalahgunaan narkotika di Lapas/Rutan
memerlukan special treatment.
Perlu diingat, seharusnya telah terjadi perubahan pendekatan penanganan terhadap
pengguna narkotika, yaitu dari pendekatan pemidanaan kepada pendekatan kesehatan
masyarakat. Alasannya sederhana, dengan ditekannya angka pengguna dan pecandu maka akan
secara signifikan merusak peredaran gelap narkotika. Namun hal ini baru dapat terjadi bila
dengan pendekatan kesehatan masyarakat, bukan dengan pemidanaan yang keras. Padahal
dalam upaya pengurangan permintaan narkotika (demand reduction), Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 juga mengamanatkan agar pecandu, penyalahguna narkotika untuk melaporkan
dirinya ke lembaga rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial untuk mendapatkan terapi.
Tindak pidana narkotika adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
memiliki karakteristik berbeda dengan tindak pidana lainnya. Tindak pidana narkotika memiliki
dampak negatif dan daya rusak yang sangat luar biasa terhadap berbagai aspek seperti ekonomi,
hukum, sosial, budaya, politik, dan keamanan. Pemerintah harus memberikan perhatian khusus
terhadap kondisi ini, penanganan tindak pidana narkotika harus dilakukan secara holistik dan
terkoordinasi dari berbagai pihak. Ditambah lagi dengan kondisi Lapas/Rutan yang semakin
sesak diperlukan upaya penanganan secara makro dan komprehensif, bukan hanya dilakukan
secara "hit and run" layaknya penanganan fenomena-fenomena kasuistik yang terjadi dalam
Lapas/Rutan. Tindak pidana narkotika adalah sebuah tindak pidana khsusus yang oleh
karenanya dibutuhkan juga pola perlakuan dan tempat yang khusus kepada para narapidana
tindak pidana narkotika sehingga lebih terkonsentrasi.

II. PRAANGGAPAN

1. Jumlah tahanan narkotika dan narapidana narkotika yang menjalani pidana di Lapas
sebanyak 130.976 orang dari total 265.020 narapidana dan tahanan. Jika dipersentasikan
jumlah narapidana dan tahanan narkotika 50% dari seluruh narapidana dan tahanan yang
ada di Lapas/Rutan.
2. Jumlah Lapas khusus narkotika saat ini hanya berjumlah 24 UPT yang tersebar di 20
Kantor Wilayah dengan berbagai klasifikasinya. Bagi Kantor Wilayah yang belum
mempunyai Lapas khusus narkotika, maka saat ini pembinaan terhadap narapidana terkait
tindak pidana narkotika dilakukan di Lapas-Lapas Umum.
3. Pembinaan Narapidana terkait tindak pidana narkotika memiliki metode dan spesifikasi
khusus, sehingga perlu pembentukan Lapas yang support and compatible terhadap
pembinaan khusus narkotika.
4. Pembinaan khusus narkotika memiliki titik tekan pada kegiatan rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial sebagaimana diatur pada Permenkumham Nomor 12 Tahun 2017
tentang Penyelenggaraan Layanan Rehbilitasi Narkotika Bagi Tahanan dan Warga Binaan
Pemasyarakatan. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara
terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. Sedangkan
Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,
mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi
sosial dalam kehidupan masyarakat.

III. FAKTA YANG MEMPENGARUHI

Jika melihat data Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Mabes Polri pada
semester pertama tahun 2016 terdapat ± 13.851 kasus tindak pidana narkotika, jumlah tersebut
meningkat dibandingkan pada tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 9.412 kasus, sehingga
terdapat peningkatan kasus tindak pidana narkotika sebesar 47,16% pada tahun tersebut dengan
modus dan jumlah barang bukti narkotika yang disita cukup variatif. Peningkatan tindak pidana
narkotika pada kurun waktu terakhir ini, berimplikasi pada meningkatnya jumlah penghuni
Lapas dan Rutan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan terjadi peningkatan
jumlah Narapidana dan Tahanan kasus narkotika yang cukup signifikan. Pada tahun 2018
jumlah narapidana/tahanan telah mencapai 255.407 dimana tercatat sebanyak 115.418 orang
adalah kasus narkotika, meningkat jauh dari tahun 2016 yang hanya berkisar pada angka 73.168
orang dan tahun 2017 yang hanya berkisar pada angka 78.921.

Tabel 1. Jumlah Narapidana/Tahanan


2014 2015 2016 2017 2018 2019
BANDAR/PENGEDAR 33.213 36.421 48.306 50.775 77.010 85.463
PENGGUNA 28.609 26.273 24.862 28.146 38.408 45.513
JUMLAH 61.822 62.694 73.168 78.921 115.418 130.976
Sumber : smslap.ditjenpas.go.id

Grafik 1. Perbandingan Jumlah Narapidana Narkoba


90.000
80.000
70.000
60.000
50.000
40.000
30.000
20.000
10.000
0
NARKOBA BANDAR/PENGEDAR NARKOBA PENGGUNA
2014 33.213 28.609
2015 36.421 26.273
2016 48.306 24.862
2017 50.775 28.146
2018 77.010 38.408
2019 85.463 45.513

Pada bulan agustus 2019 jumlah ini kembali mengalami eskalasi hingga menembus angka
130.976 orang, sedangkan jumlah Tahanan dan Narapidana seluruhnya 265.020 orang.
Sehingga persentase tahanan dan narapidana terkait tindak pidana narkotika mencapai 50% dari
seluruh tahanan dan narapidana yang ada di Rutan/Lapas seluruh Indonesia. Masih sangat tidak
seimbang jumlah narapidana tindak pidana narkotika tersebut jika dibandingkan dengan jumlah
25 UPT Lapas Khusus Narkotika yang terdiri dari Lapas Narkotika Kelas IIA 18 UPT, Lapas
Narkotika Kelas IIB 6 UPT dan Lapas Narkotika Kelas III 1 UPT yang tersebar di 20 provinsi.
Tabel 2. Jumlah Lapas Khusus Narkotika Seluruh Indonesia
NO KANTOR WILAYAH UPT
1. Aceh Lapas Narkotika Kelas IIB Langsa
Lapas Narkotika Kelas IIA Pematang Siantar
2. Sumatera Utara
Lapas Narkotika Kelas IIB Langkat
3. Sumatera Barat Lapas Narkotika Kelas III Sawahlunto
4. Riau Lapas Narkotika Kelas III Rumbai
5. Jambi Lapas Narkotika Kelas IIB Muara Sabak
6. Kep. Riau Lapas Narkotika Kelas IIA Tanjung Pinang
Lapas Narkotika Kelas IIB Banyuasin
7. Sumatera Selatan
Lapas Narkotika Kelas IIA Muara Beliti
8. Kep. Bangka Belitung Lapas Narkotika Kelas IIB Pangkal Pinang
9. Lampung Lapas Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung
10. DKI Jakarta Lapas Narkotika Kelas IIA Jakarta
Lapas Narkotika Kelas IIA Cirebon
11. Jawa Barat Lapas Narkotika Kelas IIA Bandung
Lapas Narkotika Kelas IIA Gunung Sindur
Lapas Narkotika Kelas IIA Nusakambangan
12. Jawa Tengah
Lapas Narkotika Kelas IIB Purwokerto
13. D.I. Yogyakarta Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta
14. Jawa Timur Lapas Narkotika Kelas IIA Pamekasan
15. Bali Lapas Narkotika Kelas IIA Bangli
16. Kalimantan Tengah Lapas Narkotika Kelas IIA Kasongan
17. Kalimantan Selatan Lapas Narkotika Kelas IIA Karang Intan
18. Kalimantan Timur Lapas Narkotika Kelas IIA Samarinda
19. Sulawesi Selatan Lapas Narkotika Kelas IIA Sungguminasa
20. Papua Lapas Narkotika Kelas IIA Jayapura

Melihat realita data diatas seharusnya terjadi perubahan pendekatan penanganan terhadap
pengguna narkotika sehingga mampu memutus mata rantai peredaran gelap narkotika itu
sendiri. Banyaknya pengguna dan pecandu yang dipenjara tentu saja mengakibatkan
memburuknya kondisi Lapas, meskipun berbagai program kebijakan telah dikeluarkan guna
mendukung penanganan narapidana tindak pidana narkotika. Pada dasarnya perdagangan akan
sangat tergantung pada community, communication, and commodity. Dengan berkumpulnya
para bandar/pengedar dengan pengguna maka saat ini kita tidak sengaja telah menyiapkan dua
item penting yaitu community dan communication dalam sebuah Lapas/Rutan, selanjutnya
urusan commodity yang dalam hal ini adalah narkotika maka mekanisme pasarlah yang akan
menentukan. Maka tidak heran apabila transaksi narkotika merajalela di dalam Lapas dan
bahkan mencapai level pengendalian, karena pada dasarnya narapidana pengguna
membutuhkan asupan narkotika karena efek kecanduan. Bahkan paradigma masyarakat yang
berkembang saat ini menilai bahwa Rumah Tahan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan
sebagai tempat dan sarang peredaran gelap narkotika. Penanganan peredaran gelap narkotika
tidak cukup hanya melalui penegakan hukum yang keras pada pengedarnya saja. Namun ke
depan penanganan masalah narkotika lebih mengutamakan kepada pendekatan kesehatan
melalui pemberian terapi rehabilitasi terhadap para penyalahguna narkotika yang notabenenya
adalah korban.

Tabel 3. Program Kebijakan Terkait Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Narkotika

NO TAHUN PROGRAM

1 2003 - Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Narapidana


Narkotika Pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika
- Buku Panduan Bimbingan Bagi Tenaga Pembina
/Penyuluh Penyalahgunaan Narkotika
- Buku Panduan Pembinaan Narapidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Khusus Narkotika
2 2004 - Pedoman Perawatan Kesehatan Warga Binaan
Pemasyarakatan Narkotika Di Lembaga
Pemasyarakatan Dan Rumah Tahanan Negara
3 2005 - Buku Terkait “ Strategi Penanggulangan HIV/AIDS
Dan Penyalahgunaan Narkoba Pada Lembaga
Pemasyarakatan Dan Rumah Tahanan Negara 2015-
2019 ”
- Surat Edaran Nomor. M.HH-01.PK.01.06.10 Tahun
2015 Tentang Mekanisme Pelaksanaan Rehabilitasi
Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan Penyalahgunaan
Narkoba di LAPAS DAN RUTAN
4 2006 - Buku Pedoman “Terapi Rehabilitasi Narapidana
Narkotika Dengan Metode “ THE CRIMINON 4 STEP
STEP PROGRAM” di Lapas Klas IIA Madiun
- Buku Pedoman Penanggulangan HIV/AIDS Dan
Penyalahgunaan Narkoba Pada LAPAS/RUTAN Di
Indonesia
5 2007 - Buku Saku Terkait Penyalahgunaan Narkotika
- Pedoman Pelaksanaan Program Terapi Rumatan
Metadon Di Lembaga Pemasyarakatan Dan Rumah
Tahanan Negara
6 2009 - Nota Kesepahaman antara Badan Narkotika Nasional
Dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Nomor :
09/XII/2009/BNN dan Nomor : PAS-HM.03.01-
40.2009
7 2010 - Pedoman Pelayanan sosial bagi narapidana narkotika
- Pedoman terapi dan rehabilitasi terpadu narapidana
narkotika di lapas/rutan
- Rencana aksi nasional “ penanggulangan HIV/AIDS
dan penyalahgunaan narkotika di UPT Pemasyarakatan
di indonesia tahun 2010-2014”
8 2011 - Standard Operating Procedur (SOP) “REHABILITASI
MEDIS Dan Rehabilitasi Sosial Di UPT
Pemasyarakatan
9 2013 - Modul Program Rehabilitasi THERAPEUTIC
COMMUNITY
- Peraturan Bersama (MAHKUMJAKPOL) Tentang
Penanganan Tersangka, Terdakwa, Atau Narapidana
Dalam Penyalahgunaan Narkotika
10 2014 - Modul Bimbingan Teknis Standar Terapi Rehabilitasi
Sosial Bagi Petugas Lapas/Rutan
- Standar Terapi Rehabilitasi Sosial Korban
Penyalahgunaan NAPZA Di Lapas/ Rutan
11 2015 - Standar Terapi Rehabilitasi Medik
- Surat Edaran Nomor. M.HH-01.PK.01.06.10 Tahun
2015 Tentang Mekanisme Pelaksanaan Rehabilitasi
Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan Penyalahgunaan
Narkoba Di Lapas Dan Rutan.
12 2016 - Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi Penanggulangan
dan Pemberantasan Narkoba di Lapas/Rutan
13 2017 - Permenkumham Nomor 12 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Layanan Rehbilitasi Narkotika Bagi
Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan

Program rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika di UPT Pemasyarakatan telah dimulai


sejak tahun 2002. Diawali kerja sama antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan Badan
Narkotika Nasional (BNN). Program ini semakin berkembang dan semakin banyak UPT yang
memberikan layanan terapi dan rehabilitasi bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
penyalahguna narkotika. Pada tahun 2014 BNN bersama Mahkamah Agung, Kemenkumham,
Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, Kemenkes dan Kemensos telah mengeluarkan Peraturan
Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke
dalam lembaga rehabilitasi, namun masih banyak pengguna narkotika yang akhirnya mendapat
pidana kurungan, dalam hal ini ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan. Keadaan semakin
buruk karena kebijakan alternatif penahanan terkait penempatan pengguna dan pecandu
narkotika di tempat-tempat rehabilitasi yang diatur melalui SEMA maupun SEJA juga tidak
berjalan atau bahkan jarang dipertimbangkan oleh aparat penegak hukum. Sebagai tindak lanjut
Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi, telah diterbitkan Intruksi Menkumham Nomor M.HH-
17.PK.01.05.06 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pengajuan Grasi, dan Pemberian Crash
Program Pembebasan Bersyarat dan Cuti Bersyarat Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan
Pecandu yang Terkait Pasal 127 dan Pasal 127 Juncto UU No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika. Setelah itu, pada tahun 2017 diterbitkan Permenkumham Nomor 12 Tahun 2017
Tentang Rehabilitasi Narkotika Bagi Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan.

IV. ANALISIS

Tidak ada bukti ilmiah bahwa kriminalisasi dapat menurunkan angka pengguna narkotika.
Jika kita melakukan benchmarking dengan negara lain, kita dapat melihat Amerika Serikat yang
sejak dideklarasikan slogan Perang terhadap narkoba (War on Drugs) pada tahun 1971 oleh
Presiden Nixon, mengalami kenaikan populasi lembaga pemasyarakatan hingga 700%.
Amerika Serikat telah mencobanya dengan melakukan penahanan massal pada pengguna
narkotika selama 40 tahun, dan cara ini sama sekali tidak berhasil. Amerika Serikat akhirnya
banyak mengeluarkan biaya untuk penegakan hukum dan bukan dialokasikan untuk perawatan,
pemulihan atau rehabilitasi para pengguna dan pecandu narkotika. Hanya 10% persepsi publik
Amerika Serikat yang percaya bahwa “Perang terhadap Narkoba” dapat berjalan sukses, namun
66% persepsi publik mengarah ke kegagalan. Sebagian besar penduduk Amerika Serikat
mendukung Pemerintah untuk menghentikan “Perang terhadap Narkoba” dan mencoba
kebijakan baru yang lebih solutif. Dan pada akhirnya Penduduk Amerika Serikat lebih percaya
bahwa permasalahan Narkotika ini harus disikapi sebagai masalah kesehatan publik dan bukan
sebagai permasalahan hukum pidana. Melakukan Dekriminalisasi merupakan jalan yang baik,
karena pendekatan ini akan mengurangi bahaya penyalahgunaan narkoba sekaligus
meningkatkan keselamatan dan kesehatan masyarakat.
Dengan adanya dekriminalisasi akhirnya akses kesehatan jadi terbuka karena pengguna
dan pecandu tidak takut untuk datang ke tempat pusat rehabilitasi. Karena akses kesehatannya
dibuka pidananya dijauhkan sehingga orang yang menggunakan atau pecandu tidak akan takut
untuk melapor. Titik balik dari logika ini sebenarnya mengganti pendekatan kriminal,
mengganti pendekatan pidana kepada pendekatan kesehatan, merubah seluruh struktur
pemidanaan menjadi pendekatan kesehatan. Pendekatan pidana dengan memenjarakan
pengguna narkotika tidak akan berhasil untuk mengurangi atau menghilangkan persoalan
narkoba di indonesia. Hal ini dapat dilihat dari tidak tercapainya tujuan untuk pencegahan
terhadap kasus narkotika. Secara spesifik, dekriminalisasi merupakan pilihan yang akan
menjadi langkah penting. Sejalan dengan itu maka kesiapan aparat penegak hukum, fasilitas
dan peraturan pendukung juga harus diukur dengan matang.
Semakin meningkatnya jumlah penghuni kasus narkotika, Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan telah melakukan berbagai upaya dalam hal penyelenggaraan penanggulangan
masalah narkotika di UPT Pemasyarakatan. Penanganan terhadap penyalahguna narkotika tidak
cukup hanya melalui pendekatan pemberantasan dan penegakan aspek hukum pidana semata
(supply reduction) saja. Namun, arah saat ini dan ke depan penanganan masalah narkotika lebih
mengutamakan kepada pendekatan pencegahan dan terapi rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial (demand reduction) terhadap para penyalahguna narkotika. Alasannya sederhana, dengan
ditekannya angka pengguna dan pecandu maka akan secara signifikan merusak “pasar”
peredaran gelap narkotika.
Pada tahun 2017 diterbitkan Permenkumham Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Rehabilitasi
Narkotika Bagi Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai dasar penyelenggaraan
rehabilitasi di UPT Pemasyarakatan. Saat ini Dirjenpas sebagai pelaksana rehabilitasi medis,
rehabilitasi sosial, dan pascarehabilitasi bagi Tahanan dan WBP, mendapatkan target sebanyak
6.000 tahanan dan WBP setiap tahunnya. Faktor yang menjadi bottleneck dalam implementasi
kebijakan tersebut bukan hanya terletak pada perangkat regulasi dan budaya masyarakat, namun
juga minimnya jumlah Lapas Khusus Narkotika yang operasional.
Saat ini Lapas Khusus Narkotika yang menyelenggarakan program rehabilitasi hanya
berjumlah 25 yang tersebar pada 20 Kantor Wilayah. Tidak ada pengkhususan dalam
penanganan narapidana narkotika dapat menghambat program rehabilitasi. Bercampurnya
narapidana umum dengan narapidana narkotika pada Lapas Umum akan memberikan distraksi
dalam pemberian program rehabilitasi. Disisi lain kurangnya pemahaman petugas mengenai
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi di Lapas Umum juga akan mempengaruhi jalannya
intervensi bagi narapidana narkotika. Lapas Khsusus Narkotika juga diperlukan sebagai media
pemisahan yang jelas antara pengguna dan pengedar narkotika, sehingga pemerintah bisa serius
dalam menangani permasalahan perdagangan gelap narkotika dan menyelamatkan para
pengguna narkotika.
Program rehabilitasi memiliki bentuk kegiatan seperti karantina, sehingga fokus dan
keteraturan program intervensi menjadi kunci keberhasilan. Hal ini penting untuk menciptakan
budaya yang kuat sehingga narapidana tidak melakukan perbuatan penyalahgunaan narkotika
kembali. Sebagaimana pecandu lain, pecandu narkotika seringkali menyangkal kondisinya dan
sulit diminta untuk melakukan rehabilitasi. Biasanya dibutuhkan intervensi melalui sebuah
program pembinaan dengan dimotivasi lingkungan seperti keluarga atau teman satu program.
Program rehabilitasi harus dilakukan secepat mungkin. Untuk itu diperlukan dokter
spesialis ketergantungan narkotika dengan bantuan psikiater ataupun konselor khusus di bidang
ini dalam sebuah unit khusus. Melalui unit khusus ini maka penanganan melalui obat-obatan
juga akan lebih mudah dilakukan pengawasan. Beberapa narapidana pengguna narkotika dapat
diberikan program rehabilitasi dengan terapi obat seperti methadone dan buprenorfin.
Ada tiga tahap rehabilitasi narkotika yang harus dijalani. Pertama, tahap rehabilitasi
medis (detoksifikasi) yaitu proses pecandu menghentikan penyalahgunaan narkotika di bawah
pengawasan dokter untuk mengurangi gejala putus zat (sakau). Tahap kedua, yaitu tahap
rehabilitasi non medis dengan berbagai program di tempat rehabilitasi sosial, misalnya program
therapeutic communities (TC), program 12 langkah dan lain-lainnya. Kemudian tahap terakhir
yaitu tahap bina lanjut yang akan memberikan kegiatan sesuai minat dan bakat. Proses
melepaskan diri dari narkotika untuk penggunanya tidaklah mudah. Selain menjalani
rehabilitasi narkotika, mereka juga membutuhkan dukungan keluarga dan masyarakat agar
dapat kembali menjalani hidup sehat dan produktif.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai
berikut:

1. Perlu dilakukan perubahan fungsi dan nomenklatur pada 30 Lapas Umum menjadi Lapas
Khusus Narkotika sehingga dapat mendukung penyelenggaraan program rehabilitasai
bagi narapidana tindak pidana di 25 Lapas Khusus Narkotika existing.
2. Perlu dilakukan pembentukan baru 2 Lapas Khusus Narkotika di Provinsi Nusa Tenggara
Barat dan Provinsi Gorontao sebagai penyelenggara program rehabilitasai bagi
narapidana tindak pidana di wilayah tersebut.
3. Perlu dilakukan pembentukan baru 1 Bapas di Kabupaten Keero, Provinsi Papua Barat
sebagai institusi yang melakukan pengawasan integrasi narapidana kembali ke
masyarakat sekaligus pelaksana pasca rehabilitasi.

Tabel 4. Usulan Semula Menjadi Nomenklatur UPT Pemasyarakatan

KANTOR NOMENKLATUR NOMENKLATUR


NO
WILAYAH SEMULA MENJADI
Lapas Kelas IIB Lapas Narkotika Kelas
24. Bali
Karangasem Iib Karangasem
Rutan Kelas I Lapas Narkotika Kelas
25. Banten
Tangerang Iia Tigaraksa
Lapas Kelas IIA Lapas Narkotika Kelas
26. Bengkulu
Bengkulu IIA Bengkulu
KANTOR NOMENKLATUR NOMENKLATUR
NO
WILAYAH SEMULA MENJADI
Lapas Narkotika Kelas
Lapas Kelas IIA Curup
IIA Curup
Lapas Kelas IIB Lapas Narkotika Kelas
27. Di Yogyakarta
Sleman IIB Sleman
Lapas Narkotika Kelas
(Usulan Baru)
IIA Gorontalo
28. Gorontalo
Lapas Kelas IIB Lapas Narkotika Kelas
Boalemo IIB Boalemo
Lapas Kelas III Lapas Narkotika Kelas
29. Jambi
Sarolangun III Sarolangun
Lapas Narkotika Kelas
Rutan Kelas I Bandung
IIA Bandung
30. Jawa Barat
Lapas Kelas IIA Rutan Narkotika Kelas
Banceuy I Bandung
Lapas Kelas IIA Lapas Narkotika Kelas
31. Kalimantan Barat
Pontianak IIA Pontianak
Kalimantan Lapas Kelas IIB Lapas Narkotika Kelas
32.
Tengah Pangkalan Bun IIB Pangkalan Bun
Kalimantan Lapas Kelas IIB Lapas Narkotika Kelas
33.
Timur Tenggarong IIB Tenggarong
Kalimantan Lapas Kelas IIB Lapas Narkotika Kelas
34.
Selatan Amuntai IIB Amuntai
Lapas Narkotika Kelas
35. Kepulauan Riau Lapas Kelas IIA Batam
IIA Batam
Lapas Kelas IIB Lapas Narkotika Kelas
36. Lampung
Gunung Sugih IIB Gunung Sugih
Lapas Narkotika Kelas
Lapas Kelas IIB Piru
IIB Piru
37. Maluku
Lapas Narkotika Kelas
Lapas Kelas IIB Tual
IIB Tual
Lapas Narkotika Kelas
38. Maluku Utara Lapas Kelas IIB Tobelo
IIB Tobelo
Lapas Kelas IIA Lapas Narkotika Kelas
Nusa Tenggara Sumbawa Besar IIA Sumbawa Besar
39.
Barat Lapas Narkotika Kelas
(Usulan Baru)
IIB Lombok Utara
Lapas Kelas IIA Lapas Narkotika Kelas
Nusa Tenggara Kupang IIA Kupang
40.
Timur Lapas Narkotika Kelas
Rutan Kelas IIB Ruteng
IIB Ruteng
41. Papua Barat Lapas Kelas IIB Lapas Narkotika Kelas
KANTOR NOMENKLATUR NOMENKLATUR
NO
WILAYAH SEMULA MENJADI
Sorong IIB Sorong
Lapas Narkotika Kelas
Lapas Kelas IIB Serui
IIB Serui
Lapas Kelas IIB Lapas Narkotika Kelas
42. Sulawesi Barat
Polewali IIB Polewali
Lapas Kelas IIB Lapas Narkotika Kelas
43. Sulawesi Selatan
Takalar IIB Takalar
Lapas Kelas IIB Lapas Narkotika Kelas
44. Sulawesi Utara
Tondano IIB Tondano
Lapas Kelas IIB Lapas Narkotika Kelas
Ampana IIB Ampana
45. Sulawesi Tengah
Lapas Narkotika Kelas
Lapas Kelas IIB Luwuk
IIB Luwuk
Lapas Kelas IIA Lapas Narkotika Kelas
Sulawesi Kendari IIA Kendari
46.
Tenggara Lapas Narkotika Kelas
Rutan Kelas IIB Raha
IIB Raha
24 Papua (Usulan Baru) Bapas Kelas II Keerom
Jumlah 33

Demikian telaahan ini dibuat untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Sekretaris Direktorat Jenderal


Pemasyarakatan,

Ibnu Chuldun
NIP. 19660328 198811 1 001

Anda mungkin juga menyukai