Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid dan paratifoid adalah penyakit demam akut dan sering
mengancam jiwa yang disebabkan oleh infeksi sistemik dari bakteri Salmonella
enterica serotipe typhi dan Salmonella enterica paratyphi (Buckle et al, 2012).
Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi Salmonella typhi
sedangkan demam paratifoid menunjukkan manifestasi klinik yang sama dengan
demam tifoid namun lebih ringan dan disebabkan oleh bakteri Salmonella yang
lainnya (Braundwald, 1991). Infeksi demam tifoid ditularkan melalui rute faecal
oral. Demam tifoid juga dapat menyebabkan terjadinya komplikasi dan
menimbulkan kematian, hal ini terjadi karena kurangnya akses air bersih dan
lingkungan yang memadai. Menurut WHO (1996), demam tifoid telah menjadi
masalah kesehatan yang utama meskipun telah diberikan antibiotik dan telah
dikembangkan antibiotik baru (Kumar et al, 2013).
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus
halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi dengan gejala demam lebih
dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran.
Penyakit demam tifoid termasuk penyakit menular endemik yang dapat
menyerang banyak orang dan merupakan salah satu masalah kesehatan di daerah
tropis terutama di negara-negara sedang berkembang (Musnelina et al, 2004).
Penyakit demam tifoid dan paratifoid ini juga dapat menular melalui makanan
atau air yang terkontaminasi, selain itu terjadi karena sanitasi yang buruk dan
kebersihan lingkungan (Thompson et al, 2014).
Demam tifoid telah menyebabkan infeksi sekitar 27 juta setiap tahun
diseluruh dunia khususnya dikalangan anak-anak. Hal ini menimbulkan angka
kematian yang tinggi di era pra-antimikroba yang berkisar antara 7-26 % dari
kasus pasien yang dirawat di rumah sakit (Parry et al, 2014). Di India, demam
tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta penyakit dan 216.500 kematian secara
global, dan demam paratifoid sedang diperkirakan terjadi sekitar 5,4 juta penyakit
pada tahun 2000 (Dutta et al, 2014). Di Irak tingkat kematian terjadi sekitar 10 –

1
2

20 %, hal ini disebabkan akibat keterbatasan akses air bersih dan pembuangan
limbah ke sungai. Di Pakistan, kejadian demam tifoid relatif tinggi (451/100000)
(Rahman et al, 2014). Menurut Word Health Organisation (WHO)
memperkirakan sekitar 21 juta kasus demam tifoid dan lebih dari 600.000 terjadi
kematian setiap tahunnya (Andualem et al, 2014). Di Malaysia, kejadian tahunan
demam tifoid mencapai 10,2-17,9 kasus per 100.000 penduduk yang terjadi antara
tahun 1978 sampai 1990 (Ja’afar et al, 2011). Di Indonesia, demam tifoid masih
merupakan penyakit endemik utama dan bila terdapat komplikasi dapat
menyebabkan kematian (Pohan, 2004). Insiden tifoid di Indonesia masih sangat
tinggi berkisar 350-810 per 100.000 penduduk (Menkes, 2006). Di Jawa Timur
kejadian demam tifoid, di Puskesmas dan beberapa Rumah Sakit masing-masing
4000 dan 1000 kasus per bulan, dengan angka kematian 0,8%. Sedangkan
prevalensi demam tifoid di Kabupaten Malang sebanyak 1,2% dari 10.966 sampel
pada tahun 2007 (Departemen Kesehatan Jawa Timur, 2008).
Demam tifoid dan paratifoid adalah salah satu penyakit demam akut yang
dapat menimbulkan kematian. Gejala klasik sering terjadi secara bertahap, dimana
terjadi demam berkelanjutan, menggigil, hepatosplenomegali dan sakit perut.
Dalam beberapa kasus terjadi ruam, mual, muntah, anoreksia, diare atau sembelit,
sakit kepala, bradikardi dan kurangnya tingkat kesadaran (Buckle et al, 2012).
Diagnosa untuk demam tifoid dilihat dari tanda-tanda klinis dan gejalanya, tanda
serologi, kultur bakteri, deteksi antigen dan amplifikasi DNA (Andualem et al,
2014). Terapi antimikroba adalah salah satu terapi yang digunakan untuk infeksi
demam tifoid, namun 30% dari terapi ini kemungkinan gagal akibat komplikasi
dan pemberian antibiotik yang kurang tepat (Dutta et al, 2014).
Pemberian antibiotik empiris yang tepat pada pasien demam tifoid sangat
penting, karena dapat mencegah komplikasi dan mengurangi angka kematian
(Sidabutar dan Satari, 2010). Antibiotik yang diberikan pada infeksi Salmonella
typhi yaitu kloramfenikol, ampisilin, atau sulfametoksazol, namun multidrug
resistence (MDR) terhadap antibiotik mulai muncul pada tahun 1990. Untuk
mengatasi hal itu para dokter memberikan antibiotik fluoroquinolon atau
sefalosforin generasi ketiga untuk memastikan hasil pengobatan yang lebih baik
(Rahman et al, 2014).
3

Menurut WHO, sebelum pemberian antibiotik perlu dilakukan kultur dan


uji sensitivitas untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik. Selain itu,
beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik
fluoroquinolon (ciprofloxacin) adalah salah satu terapi yang optimal untuk demam
tifoid. Namun di daerah-daerah tertentu masih digunakan antibiotik lini pertama
yaitu kloramfenikol, ampisilin, amoxisilin atau trimetropim-sulfametoksazol
(WHO, 2011). Selain itu dapat diberikan antibiotik golongan sefalosporin
generasi ketiga (misalnya: ceftriaxone, cefixime, cefotaksim, dan cefoperazone)
dan Azitromycin juga efektif untuk tifus (Dipiro et al, 2008).
Beberapa studi menunjukkan bahwa antibiotik ceftriaxone diberikan
dengan dosis 80 mg/kg/hari selama lima hari dibandingkan dengan kloramfenikol
diberikan dengan dosis 20-100 mg/kg/hari selama seminggu didapatkan hasil
bahwa efikasi dari kedua antibiotik tidak jauh berbeda namun pemberian
antibiotik ceftriaxone selama lima hari saja dapat mengurangi biaya pengobatan
dan mengurangi trauma psikologis pada anak yang menjalani perawatan rumah
sakit yang berkepanjangan (Sidabutar dan Satari, 2010).
Berdasarkan data dari Republik Demokratik Kongo (DRC) telah terjadi
resistensi antibiotik lini pertama yang meliputi ampilsilin, kloramfenikol dan
trimetoprim/ sulfametoksazol (TMP- SMX) (Lunguya et al, 2012). Kloramfenikol
pertama kali digunakan secara luas tahun 1948 dan penggunaannya dapat
menurunkan angka kematian (hingga <1%) dan lama demam (dari 14-28 hari
menjadi 3-5 hari). Namun multidrug resistant Salmonella typhi (MDRST) adalah
resistensi terhadap lini pertama antibiotik yang biasa digunakan pada demam
tifoid yaitu kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol. Penyebab MDRST
adalah pemakaian antibiotik yang tidak rasional (over-used) dan perubahan faktor
instrinstik dalam mikroba (Sidabutar dan Satari, 2010).
Berdasarkan data diatas, akan dilakukan penelitian pola penggunaan
antibiotik ceftriaxone pada pasien demam tifoid dibagian Rawat Inap RSUD
Sidoarjo, dimana RSUD Sidoarjo adalah salah satu rumah sakit umum terbesar di
kota Sidoarjo. Sehingga kemungkinan terjadinya demam tifoid dapat memenuhi
jumlah sampel untuk dilakukan penelitian ini.
4

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimakah pola penggunaan antibiotik ceftriaxone pada pasien demam
tifoid dibagian Rawat Inap RSUD Sidoarjo.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Melalui penelitian ini diharapkan dapat mengetahui penggunaan
antibiotik ceftriaxone pada pasien demam tifoid dibagian Rawat Inap RSUD
Sidoarjo, hal ini ditujukan agar dapat memberikan informasi mengenai
penggunaan antibiotik ceftriaxone bagi klinisi yang memerlukan.

1.3.2 Tujuan Khusus


Untuk mengetahui penggunaan antibiotik ceftriaxone pada pasien demam
tifoid dibagian Rawat Inap RSUD Sidoarjo yang meliputi dosis, frekuensi
pemberian, dan rute penggunaannya serta hubungan antibiotik terkait data
laboratorium dan data klinik.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, kepada pasien demam tifoid, maupun kepada
para klinisi sehingga berguna untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian
dengan baik dan maksimal kepada instansi terkait dibagian Rawat Inap RSUD
Sidoarjo.

Anda mungkin juga menyukai