Jiptummpp GDL Sulistiawa 41309 2 Bab1 PDF
Jiptummpp GDL Sulistiawa 41309 2 Bab1 PDF
PENDAHULUAN
1
2
20 %, hal ini disebabkan akibat keterbatasan akses air bersih dan pembuangan
limbah ke sungai. Di Pakistan, kejadian demam tifoid relatif tinggi (451/100000)
(Rahman et al, 2014). Menurut Word Health Organisation (WHO)
memperkirakan sekitar 21 juta kasus demam tifoid dan lebih dari 600.000 terjadi
kematian setiap tahunnya (Andualem et al, 2014). Di Malaysia, kejadian tahunan
demam tifoid mencapai 10,2-17,9 kasus per 100.000 penduduk yang terjadi antara
tahun 1978 sampai 1990 (Ja’afar et al, 2011). Di Indonesia, demam tifoid masih
merupakan penyakit endemik utama dan bila terdapat komplikasi dapat
menyebabkan kematian (Pohan, 2004). Insiden tifoid di Indonesia masih sangat
tinggi berkisar 350-810 per 100.000 penduduk (Menkes, 2006). Di Jawa Timur
kejadian demam tifoid, di Puskesmas dan beberapa Rumah Sakit masing-masing
4000 dan 1000 kasus per bulan, dengan angka kematian 0,8%. Sedangkan
prevalensi demam tifoid di Kabupaten Malang sebanyak 1,2% dari 10.966 sampel
pada tahun 2007 (Departemen Kesehatan Jawa Timur, 2008).
Demam tifoid dan paratifoid adalah salah satu penyakit demam akut yang
dapat menimbulkan kematian. Gejala klasik sering terjadi secara bertahap, dimana
terjadi demam berkelanjutan, menggigil, hepatosplenomegali dan sakit perut.
Dalam beberapa kasus terjadi ruam, mual, muntah, anoreksia, diare atau sembelit,
sakit kepala, bradikardi dan kurangnya tingkat kesadaran (Buckle et al, 2012).
Diagnosa untuk demam tifoid dilihat dari tanda-tanda klinis dan gejalanya, tanda
serologi, kultur bakteri, deteksi antigen dan amplifikasi DNA (Andualem et al,
2014). Terapi antimikroba adalah salah satu terapi yang digunakan untuk infeksi
demam tifoid, namun 30% dari terapi ini kemungkinan gagal akibat komplikasi
dan pemberian antibiotik yang kurang tepat (Dutta et al, 2014).
Pemberian antibiotik empiris yang tepat pada pasien demam tifoid sangat
penting, karena dapat mencegah komplikasi dan mengurangi angka kematian
(Sidabutar dan Satari, 2010). Antibiotik yang diberikan pada infeksi Salmonella
typhi yaitu kloramfenikol, ampisilin, atau sulfametoksazol, namun multidrug
resistence (MDR) terhadap antibiotik mulai muncul pada tahun 1990. Untuk
mengatasi hal itu para dokter memberikan antibiotik fluoroquinolon atau
sefalosforin generasi ketiga untuk memastikan hasil pengobatan yang lebih baik
(Rahman et al, 2014).
3