TINJAUAN PUSTAKA
I. ABSES HEPAR
Abses hati merupakan salah satu bentuk dari abses viseral. Hati merupakan
organ intraabdominal yang paling sering mengalami abses. Abses hati terbagi
dalam 2 bentuk yaitu abses hati amubik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP).
Abses hati telah dikenal sejak zaman hippocrates.
1. Definisi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh
karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang
bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses
supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik,
sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam parenkim hati. Secara umum,
abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati
piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik,
termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial
liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess.
AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh
Hippocrates (400 SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada
tahun 1936.
4. Etiologi
a. Abses Hati Amebik
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai
parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba
histolytica yang dapat menyebabkan penyakit.Hanya sebagian kecil
individu yang terinfeksi Entamoeba histolytica yang memberikan
gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis Entamoeba
histolytica yaitu strain patogen dan non- patogen. Bervariasinya
virulensi berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda
berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati.
5. Patogenesis
a. Abses Hepar Amebik
Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista,
baik melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau
transmisi langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus
yang jarang terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun anal.
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang
menyebabkan penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang
dapat ditemukan pada lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam
lambung namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus halus.
Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian
menginvasi lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen
dengan mensekresi enzim cysteineprotease, sehingga melisiskan
jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara
hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke
submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui
vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik
yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati terjadi
fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan
infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma
diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis
seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan
(70% - 90%) karena lobus kanan menerima darah dari arteri
mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri
menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik.
Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya
penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy paste”
dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta
sel darah merah yang dicerna.
b. Abses Hepar Piogenik
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari
suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses
viseral. Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini
dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari
tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima
darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini
memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang
berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid
hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri
piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung
dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri
hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi
aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri.
Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-
cabang dari vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi
abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara
hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat
trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim
hati sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul
menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya
kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli.
Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan
terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP
dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus
kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal
sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior
dan aliran limfatik.
6. Gambaran Klinik
a. Abses Hepar Amebik
Abses hati amuba lebih sering dikaitkan dengan presentasi gejala
klinis yang akut dibandingkan abses piogenik hati. Gejala telah terjadi
rata-rata dua minggu pada saat diagnosis dibuat. Dapat terjadi sebuah
periode laten antara infeksi hati usus dan selanjutnya sampai bertahun-
tahun, dan kurang dari 10% pasien melaporkan riwayat diare berdarah
dengan disentri amuba.
Nyeri perut kanan atas dirasakan pada 75-90% pasien, lebih berat
dibandingkan piogenik terutama di kuadran kanan atas. Kadang nyeri
disertai mual, muntah, anoreksia, penurunan berat badan, kelemahan
tubuh, dan pembesaran hati yang juga terasa nyeri. Nyeri spontan
perut kanan atas disertai dengan jalan membungkuk ke depan dengan
kedua tangan diletakkan di atasnya merupakan gambaran klinis khas
yang sering dijumpai. Dua puluh persen penderita dengan kecurigaan
abses hati amuba mempunyai riwayat penyakit diare atau disentri.
Demam umum terjadi, tetapi mungkin polanya intermiten. Malaise,
mialgia, artralgia umum terjadi. Ikterus jarang ditemukan dan bila ada
menandakan prognosis yang buruk. Gejala dan tanda paru dapat
terjadi, tetapi pericardial rub dan peritonitis jarang ditemukan.
Kadang-kadang friction rub terdengar di hati.
Gejala :
Kelainan fisis :
a. Ikterus
b. Temperatur naik
c. Malnutrisi
d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai
komplikasi
e. Nyeri perut kanan atas
f. Fluktuasi
b. Abses Hepar Piogenik
Gambaran klinis klasik AHP adalah demam dan nyeri perut kanan
atas. Demam tinggi yang naik turun disertai menggigil merupakan
keluhan terbanyak. Nyeri perut kanan atas biasanya menetap dan
dapat menyebar ke bahu kanan. Kebanyakan pasien mengalami
keadaan ini kurang dari 2 minggu, sebelum pergi berobat. Gejala tidak
khas lainnya meliputi keringat malam, muntah, anoreksia, kelemahan
umum, dan penurunan berat badan. Sekitar 1/3 kasus disertai dengan
diare dan ¼ kasus mengeluhkan adanya batuk yang tidak produktif.
Pasien juga mungkin datang dengan keluhan sumber infeksi
primernya, misalnya apendisitis atau divertikulitis, sebelum gejala
AHP berkembang.
Onset penyakit biasanya akut. Onset yang tersamar bisa terjadi di
orang tua, onset abses tunggal biasanya gradual dan umumnya
merupakan abses kriptogenik. Gambaran klinis pada abses multipel
biasanya menunjukkan gambaran akut dan penyebab primernya
diketahui.
Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi
sistemik yang lebih berat dari abses hati amuba.
Keluhan :
Pemeriksaan Fisis :
a. Hepatomegali
b. Nyeri tekan perut kanan
c. Ikterus, namun jarang terjadi
d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
e. Buang air besar berwarna seperti kapur
f. Buang air kecil berwarna gelap
g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik
7. Diagnosis
a. Abses Hepar Amebik
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi
didapatkan hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-
16.000/mL. Pada pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05
g%, globulin 3,62-3,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase
alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L.
Jadi kelainan yang didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia
ringan sampai sedang, leukositosis berkisar 15.000/mL. Sedangkan
kelainan faal hati didapatkan ringan sampai sedang. Uji serologi dan
uji kulit yang positif menunjukkan adanya Ag atau Ab yang spesifik
terhadap parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada beberapa uji yang
banyak digunakan antara lain hemaglutination (IHA),
countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Real Time PCR
cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus penderita
abses hepar.
Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis
dengan pergeseran ke kiri (neutrofilia), anemia ringan, peningkatan
laju endap darah, gangguan fungsi hati seperti peninggian bilirubin,
alkali fosfatase, peningkatan enzim transaminase, serum bilirubin,
berkurangnya konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang
memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati.
Kultur darah yang memperlihatkan bakterial penyebab menjadi
standar emas untuk menegakkan diagnosis secara mikrobiologik.
Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering tidak ditemukan
kuman. Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram negatif
seperti Proteus vulgaris, Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas
aeruginosa, sedangkan kuman anaerib Microaerofilic sp, Streptococci
sp, Bacteroides sp, atau Fusobacterium sp.
b. Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan
peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan
diafragma efusi pleura kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto
polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa gambaran ileus,
hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang
didapatkan air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi
amubiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI.
USG abdomen merupakan pilihan utama untuk tes awal, karenan
non invasif dan sensitivitasnya tinggi (80-90%) untuk mendapatkan
lesi hipoechoic dengan internal echoes. Gambaran USG pada
amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding
yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal
bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal.
CT Scan kontras digunakan terutama untuk mendiagnosis abses
yang lebih kecil, dapat melihat seluruh kavitas peritoneal yang
mungkin dapat memberikan informasi tentang lesi primer. Gambaran
CT scan : 85 % berupa massa soliter relatif besar, monolokular,
prakontras tampak sebagai massa hipodens berbatas suram. Densitas
cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras tampak penyengatan
pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus.
Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta.
MRI tidak memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan CT
scan, tetapi berguna jika hasil masih meragukan, diagnosis
membutuhkan potongan koronal atau sagital dan untuk pasien
intoleran terhadap kontras. Pencitraan hepar tidak bisa membedakan
abses hati amuba dengan piogenik. Abses amuba umumnya
menyerang lobus kanan hepar dekat dengan diafragma dan biasanya
tunggal.
9. Tatalaksana
a. Abses Hepar Amebik
Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:
1) Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif
untuk amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping
yang paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan
rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati
amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 7 – 10 hari (Guardino,
2008). Sedangkan untuk anak ialah 35-50 mg/kgBB/hari terbagi
dalam tiga dosis. Nitoimidazole kerja panjang (Tinidazole 2 gram
PO dan ornidazole 2 gram PO) dilaporkan efektif sebagai terapi
dosis tunggal. Terapi kemudian dilanjutkan dengan preparat
lumenalamubisida untuk eradikasi kista dan mencegah transmisi
lebih lanjut yaitu : Iodoquinol 3x650 mg selama 20 hari,
Diloxanide furoate 3 x 500 mg selama 10 hari, Aminosidine
(Paromomcin 25-35 mg/kg perhari TID selama 7-10 hari (Kim,
2011). Lebih dari 90% pasien mengalami respons dramatis
dengan terapi metronidazole, baik berupa penurunan nyeri
maupun demam dalam 72 jam (Reed, 2010).
2) Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang
direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500
mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular
(max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih aman karena
ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih
rendah. Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung,
kehamilan, ginjal, dan anak-anak
3) Chloroquin
Emetine dan chloroquine dapat digunakan sebagai terapi
alternatif, tetapi sebaiknya dihindari sebisa mungkin karena efek
kardiovaskular dan gastrointestinal, selain karena tingginya angka
relaps. Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis
ekstraintestinal ialah 2x300 mg/hari selama 2 hari dan dilanjutkan
dengan 2x150 mg/hari selama 2 - 3 minggu. Perbaikan klinis
diharapkan dalam 3 hari (Raiford, 2010; Reed, 2010). Dosis
untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3
minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan
diikuti 500 mg/hari selama 20 hari.
Aspirasi Jarum Perkutan
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara
tersebut di atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel,
atau pada ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol
merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan
aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
Indikasi aspirasi jarum perkutan :
1) Risiko tinggi untuk terjadinya ruptur abses yang didefinisikan
dengan ukuran kavitas lebih dari 5 cm
2) Abses pada lobus kiri hati yang dihubungkan dengan
mortalitas tinggi dan frekuensi tinggi bocor ke peritoneum atau
perikardium
3) Tak ada respons klinis terhadap terapi dalam 3-5 hari
4) Untuk menyingkirkan kemungkinan abses piogenik,
khususnya pasien dengan lesi multipel
Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan
ancaman ruptur atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi
kurang, infeksi campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit,
tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu,
drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru,
peritoneum, dan perikardial.
Drainase perkutan abses dilakukan dengan tuntunan USG
Abdomen atau CT Scan Abdomen, penyulit yang dapat terjadi yaitu
perdarahan, perforasi organ intra abdomen, infeksi, ataupun terjadi
kesalahan dalam penempatan kateter untuk drainase.
Drainase Bedah
Tindakan ini sekarang jarang dikerjakan kecuali pada kasus
tertentu seperti abses dengan ancaman ruptur atau secara teknis
susah dicapai atau gagal dengan aspirasi biasa/drainase perkutan.
Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang
jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa
adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses
amuba yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk
tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak
berhasil. Laparoskopi juga di kedepankan untuk kemungkinannya
dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal.
Reseksi Hati
Pada abses hati piogenik multipel kadang diperlukan reseksi
hati. Indikasi spesifik jika didapatkan abses hati dengan karbunkel
(Liver carbuncle) dan disertai dengan hepatolitiasis, terutama pada
lobus kiri hati.
Berdasarkan kesepakatan PEGI (Perhimpunan Endoskopi
Gastrointestinal Indonesia) di Surabaya pada tahun 1996 :
- Abses hati dengan diameter 1-5 cm : terapi medikamentosa, bila
respon negatif dilakukan aspirasi
- Abses hati dengan diameter 5-8 cm: terapi aspirasi berulang
- Abses hati dengan diamete >= 8 cm : drainase per kutan
Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat
dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari
saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3
gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan.
Sebelum terdapat hasil kultur, diberikan antibiotika spektrum
luas. Ampisilin dan aminoglikosida diberikan bila sumber infeksi
terdapat pada saluran empedu. Sefalosporin generasi ketiga
merupakan pilihan apabila sumber infeksi berasal dari usus.
Metronidazol diberikan pada semua AHP dengan berbagai sumber
infeksi untuk mengatasi infeksi anaerobik. Regimen pilihan lain
adalah kombinasi beta laktam dan penghambat aktivitas beta
laktamase yang diberikan untuk AHP dengan sumber infeksi dari
usus, dimana kombinasi ini juga dapat mengatasi infeksi anaerobik.
Bila terdapat hasil kultur, antibiotika disesuaikan dengan kuman
yang spesifik. Antibiotika intravena diberikan sedikitnya selama 2
minggu, dilanjutkan dengan antibiotika oral selama 6 minggu.
Apabila infeksi disebabkan oleh streptococcus, pemberian
antibiotika oral dosis tinggi disarankan selama lebih dari 6 minggu.
Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:
1) Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan
beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya
sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2
gr/12jam/IV
2) Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri
anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6
jam/IV
3) Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
4) Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-
metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.
Drainase Abses Perkutaneus
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah
drainase terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan
abdomen ultrasound atau tomografi komputer, drainase dilakukan
pada abses berukuran > 5 cm, menggunakan indwelling drainage
catheter. Pada abses multipel hanya abses berukuran besar yang
perlu diaspirasi. Abses kecil cukup dengan antibiotik.
Drainase Bedah
Drainase bedah dilakukan pada AHP dengan kegagalan terapi
antibiotik, aspirasi perkutan, drainase perkutan, ikterik tidak sembuh,
penurunan fungsi ginjal, serta pada abses multiokuler serta adanya
penyakit intra-abdomen yang memerlukan manajemen operasi. Saat
ini drainase dengan pembedahan dilakukan dengan laparoskopik.
10. Komplikasi
a. Abses Hepar Amebik
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6
%. Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus,
intraperitoneal ataukulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi,
terutama setelah aspirasi atau drainase. Infeksi pleuropneumonal
adalah komplikasi yang paling umum terjadi. Mekanisme infeksi
termasuk pengembangan efusi serosa simpatik, pecahnya abses hati ke
dalam rongga dada yang dapat menyebabkan empiema, serta
penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim. Fistula
hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan
nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang
terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses
pada lobus kiri hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah
atau rupturnya abses dapat ke organ-organ peritonium dan
mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri hepatika telah dilaporkan
terjadi sebagai komplikasi.
b. Abses Hepar Piogenik
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat
seperti septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses
hati disertai peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan
pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses,
hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard
atau retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering terjadi
diatesis hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder
dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses.
11. Prognosis
Abses hari amuba merupakan penyakit yang sangat “treatable”.
Angka kematiannya < 1% bila tanpa penyulit. Penegakkan diagnosis yang
terlambat dapat memberikan penyulit abses ruptur sehingga meningkatkan
angka kematian: ruptur ke dalam peritoneum (20%), ke dalam perikardium
(32-100%).
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau
emetin, metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam.
Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di
rumah sakit dengan fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang
kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan
tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba,
mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan
keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab
kematian biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis
penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia
lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya komplikasi. Kematian
terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi ektraintestinal, serta infeksi
peritonial dan perikardium.
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi
yang akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti
kultur anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan
atau drainase secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas
antara lain umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia
polimikrobial dan gangguan fungsi hati seperti ikterus atau
hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas terjadi pada
keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke rongga
peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, dan perdarahan dalam
abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah
DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas abses hati piogenik
yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab dan
dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi umur
di atas 70 tahun, abses multipel terutama dengan sumber infeksi pada
sistem bilier, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan keganasan
atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan diagnosis
dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus,
hipoalbuminemia, hiperbilirubinemia, efusi pleural, serta sepsis.
1. Definisi
Kolangiokarsinoma adalah suatu tumor ganas dari epitelium duktus
biliaris intrahepatik atau ekstrahepatik. Tumor keras dan berwarna putih,
dan sel-sel tumor mirip dengan epitel saluran empedu. Lebih dari 90%
kasus merupakan adenokarsinoma dan sisanya adalah tumor sel squamosa.
Sekitar 2/3 kolangiokarsinoma berlokasi di regio perihilar, dan 1/4 lainnya
berlokasi di duktus ekstrahepatik dan sisanya berlokasi di duktus
intrahepatik (Dahnert, 2007; Boris 2008). Semua kolangiokarsinoma
pertumbuhannya lambat, infiltrative lokal, dan metastasenya lambat.
3. Epidemiologi
4. Etiologi
5. Klasifikasi Anatomi
7. Pemeriksaan Penunjang
Pada biopsi hati ditemukan duktus yang besar akibat obstruksi. Tetapi
biopsi hati dapat menyebabkan komplikasi hati yang serius seperti
peritonitis biliar dan hanya dilakukan jika diagnosis meragukan (Dooley,
2011).
8. Tatalaksana
Transplantasi hati
Pada umumnya kolangiokarsinoma dikontraindikasikan untuk
transplantasi hati. Kolangiokarsinoma yang unresektabel memiliki
rekurensi yang tinggi. Pada kolangiokarsinoma unresektabel stadium awal,
kombinasi transplantasi hati dengan kemoradiasi perioperatif dapat
memperpanjang harapan hidup (Khan, 2012).
Operasi Paliatif
9. Prognosis
Prognosis bergantung pada lokasi dan stadium serta tata laksana
tumor. Kolangiokarsinima distal lebih resektabel dibandingkan di bagian
hilum. Karsinoma poliploid memiliki prognosis yang baik. Jika tidak
direseksi maka harapan hidup 1 tahun pasien dengan kolangiokarsinoma
hanya 50%, dengan 20% bertahan hidup selama 2 tahun dan 10% bertahan
selama 3 tahun (Dooley, 2011).