Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ABSES HEPAR

Abses hati merupakan salah satu bentuk dari abses viseral. Hati merupakan
organ intraabdominal yang paling sering mengalami abses. Abses hati terbagi
dalam 2 bentuk yaitu abses hati amubik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP).
Abses hati telah dikenal sejak zaman hippocrates.
1. Definisi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh
karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang
bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses
supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik,
sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam parenkim hati. Secara umum,
abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati
piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik,
termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial
liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess.
AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh
Hippocrates (400 SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada
tahun 1936.

Abses hati amuba adalah penimbunan atau akumulasi debris nekro-


inflamatori purulent di dalam parenkim hati yang disebabkan oleh amuba,
terutama entamoeba hystolitica.

Abses hati piogenik adalah proses supuratif yang terjadi pada


jaringan hati yang disebabkan oleh invasi bakteri melalui aliran darah,
sistem bilier, maupun penetrasi langsung.
2. Anatomi dan Fisiologi Hati

Gambar 1. Anatomi Sistem Hepatobilier

Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar


1.500 gr atau 2% berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian
besar di regio hipokondria dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di
hipokondria sinistra. Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri.
Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura
segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral
oleh ligamentum falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan ikat
padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputi seluruh permukaan hati.
Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai
lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ yang
terdiri atas lempeng-lempeng sel hati dimana diantaranya terdapat
sinusoid. Selain sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus
dan sel Kupffer yang merupakan makrofag yang melapisi sinusoid dan
mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus
hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui
vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteria hepatika.
Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di
antaranya yaitu :
a. Pembentukan dan ekskresi empedu
Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu.
Garam empedu penting untuk pencernaan dan absopsi lemak serta
vitamin larut-lemak di dalam usus.
b. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak,
protein) setelah penyerapan dari saluran pencernaan
 Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah
besar, konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa,
glukoneogenesis, serta pembentukan banyak senyawa kimia dari
produk antara metabolisme karbohidrat
 Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai
energi bagi fungsi tubuh yang lain, sintesis sintesis kolesterol,
fosfolipid, dan sebagian besar lipoprotein, serta sintesis lemak
dari protein dan karbohidrat
 Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan
ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh,
pembentukan protein plasma, serta interkonversi beragam asam
amino dan sintesis senyawa lain dari asam amino.
c. Penimbunan vitamin dan mineral
Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hati, juga vitamin
B12, tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling
banyak disimpan dalam hati adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar
vitamin D dan B12 juga disimpan secara normal.
 Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut
apoferritin, yang dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah
sedikit maupun banyak. Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia
dalam cairan tubuh, maka besi akan berikatan dengan apoferritin
membentuk ferritin dan disimpan dalam bentuk ini di dalam sel
hati sampai diperlukan. Bila besi dalam sirkulasi cairan tubuh
mencapai kadar rendah, maka ferritin akan melepaskan besi.
 Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah
dalam jumlah banyak
Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses
koagulasi meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator,
faktor VII, dan beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K
dibutuhkan oleh proses metabolisme hati, untuk membentuk
protrombin dan faktor VII, IX, dan X.
d. Hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon, dan
zat lain
Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam
melakukan detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi
sulfonamid, penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu.
Beberapa hormon yang disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi
atau dihambat secara kimia oleh hati meliputi tiroksin dan terutama
semua hormon steroid seperti estrogen, kortisol, dan aldosteron.
e. Hati berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi
Hati adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat
penampungan darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan
mampu menyuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah.
Sinusoid hati merupakan depot darah yang mengalir kembali dari vena
cava (gagal jantung kanan). kerja fagositik sel Kupffer membuang
bakteri dan debris dari darah.
3. Epidemiologi
Di negara – negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan
secara endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar
di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene
atau sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 – 15 per
100.000 kasus AHP yang memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa
kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 –
1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008 – 0,016%. Median umur
adalah 44 tahun, tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah
otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT
Scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi
otopsi berkisar antara 0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15
kasus/100.000 penderita. Sekitar 48% kasus abses viseral adalah AHP dan
merupakan 13% dari keseluruhan kasus abses intra-abdominal.
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang
terinfeksi E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala.
Insidens amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 %
sedangkan di berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15%
pasien/tahun.
Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita
berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan
umumnya melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal.
Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-
8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara
20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi
E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan
tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang
buruk. Daerah endemisnya meliputi Afrika, Asia Tenggara, Meksiko,
Venezuela, dan Kolombia. Insiden abses hati amuba di Amerika Serikat
mencapai 0,05% sedangkan di India dan Mesir mencapai 10-30% pertahun
dengan perbandingan laki-laki : perempuan sebesar 3:1 sampai 22:1.

4. Etiologi
a. Abses Hati Amebik
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai
parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba
histolytica yang dapat menyebabkan penyakit.Hanya sebagian kecil
individu yang terinfeksi Entamoeba histolytica yang memberikan
gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis Entamoeba
histolytica yaitu strain patogen dan non- patogen. Bervariasinya
virulensi berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda
berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati.

Gambar 2. Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar

Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda


yang mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu.
Terdapat 3 bentuk parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan
bersifat invasif, mampu memasuki organ dan jaringan, bentuk kista
yang tidak aktif bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk
antara kedua stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang
biasanya hidup komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan
cara membelah diri menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam
keadaan anaerob dan hanya perlu bakteri atau jaringan untuk
kebutuhan zat gizinya.Tropozoit ini tidak penting untuk penularan
karena dapat mati terpajan hidroklorida atau enzim pencernaan.Jika
terjadi diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um yang berpseudopodia
keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar sangat aktif
bergerak, mampu memangsa eritrosit,mengandung protease yaitu
hialuronidase danmukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan
destruksi jaringan. Bentuk tropozoit ini akan mati dalam suasana
kering atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit akan membentuk
kista sebelum keluar ke tinja.

Gambar 3. Daur Hidup Entamoeba histolytica

Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan


berperan dalam penularan karena tahan terhadap perubahan
lingkungan, tahan asam lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif
mempunyai 4 inti merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari
penderita atau karier ke manusia lainnya. Kista berbentuk bulat
dengan diameter 8-20 um, dinding kaku. Pembentukan kista ini
dipercepat dengan berkurangnya bahan makanan atau perubahan
osmolaritas media.

b. Abses Hati Piogenik


Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic
streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae,
bacteriodes, fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus
milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella
corrodens, yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis,
dan fungal. Organisme penyebab yang paling sering ditemukan adalah
E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter
aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob ( contohnya
Streptococcus Milleri ). Staphylococcus aureus biasanya organisme
penyebab pada pasien yang juga memiliki penyakit granuloma yang
kronik. Organisme yang jarang ditemukan sebagai penyebabnya
adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses
hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri
dapat menginvasi hati melalui :
1) Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa
menyebabkan fileplebitis porta
2) Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik
3) Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis,
peritonitis, dan infeksi post operasi
4) Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu
atau saluran-saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik
menyebabkan kolangitis. Penyebab lainnya biasanya
berhubungan dengan choledocholithiasis, tumor jinak dan
ganas atau pascaoperasi striktur.
5) Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial
dan cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi
baru abses piogenik.
6) Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama
pada orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien
dengan diabetes atau kanker metastatik.

Terdapat 15% kasus APH yang sumber infeksinya tidak diketahui


(abses kriptogenik).

Tabel 1. Sumber infeksi dan penyebab APH


Saluran empedu Penyebaran langsung
Batu empedu Empiema kandung empedu
Kolangiokarsinoma Perforasi ulkus peptikum
Striktur Abses subfrenik
Vena Porta Trauma Iatrogenik
Apendisitis Biopsi Hati
Divertikulitis, Penyakit Crohn Blocked biliary stent
Arteri Hepatika Kriptogenik
Infeksi gigi Kista hati terinfeksi
Endokarditis bakterial

5. Patogenesis
a. Abses Hepar Amebik
Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista,
baik melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau
transmisi langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus
yang jarang terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun anal.
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang
menyebabkan penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang
dapat ditemukan pada lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam
lambung namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus halus.
Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian
menginvasi lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen
dengan mensekresi enzim cysteineprotease, sehingga melisiskan
jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara
hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke
submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui
vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik
yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati terjadi
fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan
infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma
diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis
seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan
(70% - 90%) karena lobus kanan menerima darah dari arteri
mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri
menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik.
Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya
penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy paste”
dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta
sel darah merah yang dicerna.
b. Abses Hepar Piogenik
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari
suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses
viseral. Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini
dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari
tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima
darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini
memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang
berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid
hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri
piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung
dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri
hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi
aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri.
Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-
cabang dari vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi
abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara
hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat
trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim
hati sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul
menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya
kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli.
Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan
terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP
dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus
kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal
sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior
dan aliran limfatik.

6. Gambaran Klinik
a. Abses Hepar Amebik
Abses hati amuba lebih sering dikaitkan dengan presentasi gejala
klinis yang akut dibandingkan abses piogenik hati. Gejala telah terjadi
rata-rata dua minggu pada saat diagnosis dibuat. Dapat terjadi sebuah
periode laten antara infeksi hati usus dan selanjutnya sampai bertahun-
tahun, dan kurang dari 10% pasien melaporkan riwayat diare berdarah
dengan disentri amuba.
Nyeri perut kanan atas dirasakan pada 75-90% pasien, lebih berat
dibandingkan piogenik terutama di kuadran kanan atas. Kadang nyeri
disertai mual, muntah, anoreksia, penurunan berat badan, kelemahan
tubuh, dan pembesaran hati yang juga terasa nyeri. Nyeri spontan
perut kanan atas disertai dengan jalan membungkuk ke depan dengan
kedua tangan diletakkan di atasnya merupakan gambaran klinis khas
yang sering dijumpai. Dua puluh persen penderita dengan kecurigaan
abses hati amuba mempunyai riwayat penyakit diare atau disentri.
Demam umum terjadi, tetapi mungkin polanya intermiten. Malaise,
mialgia, artralgia umum terjadi. Ikterus jarang ditemukan dan bila ada
menandakan prognosis yang buruk. Gejala dan tanda paru dapat
terjadi, tetapi pericardial rub dan peritonitis jarang ditemukan.
Kadang-kadang friction rub terdengar di hati.
Gejala :

a. Demam intermitten ( 38-40oC)


b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar
hingga bahu kanan dan daerah skapula
c. Anoreksia
d. Nausea
e. Vomitus
f. Keringat malam
g. Berat badan menurun
h. Batuk
i. Pembengkakan perut kanan atas
j. Ikterus
k. Buang air besar berdarah
l. Kadang ditemukan riwayat diare
m. Kadang terjadi cegukan (hiccup)

Kelainan fisis :
a. Ikterus
b. Temperatur naik
c. Malnutrisi
d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai
komplikasi
e. Nyeri perut kanan atas
f. Fluktuasi
b. Abses Hepar Piogenik
Gambaran klinis klasik AHP adalah demam dan nyeri perut kanan
atas. Demam tinggi yang naik turun disertai menggigil merupakan
keluhan terbanyak. Nyeri perut kanan atas biasanya menetap dan
dapat menyebar ke bahu kanan. Kebanyakan pasien mengalami
keadaan ini kurang dari 2 minggu, sebelum pergi berobat. Gejala tidak
khas lainnya meliputi keringat malam, muntah, anoreksia, kelemahan
umum, dan penurunan berat badan. Sekitar 1/3 kasus disertai dengan
diare dan ¼ kasus mengeluhkan adanya batuk yang tidak produktif.
Pasien juga mungkin datang dengan keluhan sumber infeksi
primernya, misalnya apendisitis atau divertikulitis, sebelum gejala
AHP berkembang.
Onset penyakit biasanya akut. Onset yang tersamar bisa terjadi di
orang tua, onset abses tunggal biasanya gradual dan umumnya
merupakan abses kriptogenik. Gambaran klinis pada abses multipel
biasanya menunjukkan gambaran akut dan penyebab primernya
diketahui.
Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi
sistemik yang lebih berat dari abses hati amuba.
Keluhan :

a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu


yang disertai menggigil
b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan
membungkuk ke depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya.
c. Mual dan muntah
d. Berkeringat malam
e. Malaise dan kelelahan
f. Berat badan menurun
g. Berkurangnya nafsu makan
h. Anoreksia
Pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran hati disertai nyeri pada
kuadran kanan atas. Ikterik dijumpai apabila penyakit telah lanjut.
Beberapa pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri perut kuadran kanan
atas ataupun tidak didapatkan hepatomegali, biasanya gambaran klinis
menunjukkan fever of unknown (FUO). Adanya kelainan pada paru
kanan berupa pekak pada perkusi dan penurunan suara napas dijumpai
aoabila proses penyakit terjadi pada segmen superior lobus kanan.
Pada pemeriksaan fisik paru ditemukan kelainan pada sekitar 20-30%
kasus. Anemia dan dehidrasi juga merupakan tanda fisik yang sering
ditemukan.

Pemeriksaan Fisis :
a. Hepatomegali
b. Nyeri tekan perut kanan
c. Ikterus, namun jarang terjadi
d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
e. Buang air besar berwarna seperti kapur
f. Buang air kecil berwarna gelap
g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik

7. Diagnosis
a. Abses Hepar Amebik

Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk


menemukan trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah
endemik dapat dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan
atas, hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila
didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak
diafragma yang tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG
juga dibantu oleh tes serologi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan temperatur,
pembesaran hati, dan nyeri tekan. Jaundice cukup jarang didapatkan,
tetapi jika didapatkan maka harus diduga adanya obstruksi traktus
biliaris atau sudah terdapat penyakit hati kronik sebelumnya.
Organisme diisolasi dari tinja pada 50% pasien, Aspirasi pada abses
amuba harus dilakukan jika diagnosis masih belum jelas dengan
gambaran pasta coklat kemerahan dan berbau sedikit. Trophozoit hanya
didapatkan pada 20% aspirasi. Hasil foto thoraks abnormal didapatkan
pada 50-80% pasien dengan gambaran atelektasis paru lobus kanan
bawah, efusi pleura kanan, dan kenaikan hemidiafragma kanan.

Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan


kriteria Sherlock (2002), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria
Lamont dan Pooler.

a. Kriteria Sherlock (2002)


1. Adanya riwayat berasal dari daerah endemik
2. Pembesaran hati pada laki-laki muda
3. Respons baik terhadap metronidazole
4. Lekositosis tanpa anemia pada riwayat sakit yang tidak
lama dan lekositosis dengan pada riwayat sakit yang
lama
5. Ada dugaan amubiasis pada pemeriksaan foto toraks PA
dan lateral
6. Pada pemeriksaan scan didapatkan filling defect
7. Tes fluorescen antibodi amuba positif
Bila ke-7 kriteria ini dipenuhi maka diagnosis abses hati amuba
sudah hampir pasti dapat ditegakkan.
b. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
c. Kriteria Lamont dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:

1. Hepatomegali yang nyeri


2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
4. Pus amebik
5. Tes serologi positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid
b. Abses Hepar Piogenik
Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisis dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP
kadang- kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering
tidak spesifik. Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-
Scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai
prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes
serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif menyingkirkan
diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi
positif beberapa hari kemudian.
Elemen kunci untuk diagnosis AHP adalah ditemukannya agen
penyebab, baik melalui kultur darah, maupun kultur pus dari aspirasi
abses. Kultur darah positif pada 50% kasus.
Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan
bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini
merupakan standar emas untuk diagnosis. Pada aspirasi abses,
spesimen yang berasal dari AHP berwarna kekuningan ataupun
kehijauan serta berbau busuk. Spesimen yang berasal dari AHA
berwarna merah kecoklatan. Dengan pengecatan gram, pada AHA
ditandai dengan adanya netrofil tanpa bakteri kecuali bila telah terjadi
infeksi sekunder. Sementara pada AHP selalu terdapat bakteri.

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi
didapatkan hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-
16.000/mL. Pada pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05
g%, globulin 3,62-3,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase
alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L.
Jadi kelainan yang didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia
ringan sampai sedang, leukositosis berkisar 15.000/mL. Sedangkan
kelainan faal hati didapatkan ringan sampai sedang. Uji serologi dan
uji kulit yang positif menunjukkan adanya Ag atau Ab yang spesifik
terhadap parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada beberapa uji yang
banyak digunakan antara lain hemaglutination (IHA),
countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Real Time PCR
cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus penderita
abses hepar.
Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis
dengan pergeseran ke kiri (neutrofilia), anemia ringan, peningkatan
laju endap darah, gangguan fungsi hati seperti peninggian bilirubin,
alkali fosfatase, peningkatan enzim transaminase, serum bilirubin,
berkurangnya konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang
memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati.
Kultur darah yang memperlihatkan bakterial penyebab menjadi
standar emas untuk menegakkan diagnosis secara mikrobiologik.
Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering tidak ditemukan
kuman. Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram negatif
seperti Proteus vulgaris, Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas
aeruginosa, sedangkan kuman anaerib Microaerofilic sp, Streptococci
sp, Bacteroides sp, atau Fusobacterium sp.

b. Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan
peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan
diafragma efusi pleura kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto
polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa gambaran ileus,
hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang
didapatkan air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi
amubiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI.
USG abdomen merupakan pilihan utama untuk tes awal, karenan
non invasif dan sensitivitasnya tinggi (80-90%) untuk mendapatkan
lesi hipoechoic dengan internal echoes. Gambaran USG pada
amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding
yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal
bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal.
CT Scan kontras digunakan terutama untuk mendiagnosis abses
yang lebih kecil, dapat melihat seluruh kavitas peritoneal yang
mungkin dapat memberikan informasi tentang lesi primer. Gambaran
CT scan : 85 % berupa massa soliter relatif besar, monolokular,
prakontras tampak sebagai massa hipodens berbatas suram. Densitas
cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras tampak penyengatan
pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus.
Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta.
MRI tidak memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan CT
scan, tetapi berguna jika hasil masih meragukan, diagnosis
membutuhkan potongan koronal atau sagital dan untuk pasien
intoleran terhadap kontras. Pencitraan hepar tidak bisa membedakan
abses hati amuba dengan piogenik. Abses amuba umumnya
menyerang lobus kanan hepar dekat dengan diafragma dan biasanya
tunggal.

Gambar 4. Gambaran CT Scan pada abses hati amebik

Tes serologi yang bisa digunakan meliputi ELISA, indirect


hemagglutination, cellulose acetate precipitate, counter
immunoelectrophoresis, immufluoroscent antibody, dan tes rapid latex
agglutination. Hasil tes serologi harus diinterpretasikan dengan klinis
pasien karena kadar serum antibody mungkin masih tinggi selama
beberapa tahun setelah perbaikan atau penyembuhan. Sensitivitas tes
95% dan spesifitasnya lebih dari 95%. Hasil negative palsu mungkin
terjadi dalam 10 hari pertama infeksi. Tes berbasis PCR untuk
mendeteksi DNA amuba dan pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi
antigen amuba pada serum sudah sering dilakukan pada penelitian.

Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-


kadang didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian
diafragma kanan, efusi pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau
abses paru. Pada foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada
posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik
abses merupakan daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau
cairan pada subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide
scanning, CT scan dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT
scan dan MRI dapat menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama
untuk drainase perkutan atau tindakan bedah. Gambaran CT scan :
apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecil- kecil < 5 mm sukar
dibedakan dari mikroabses jamur, rim enhancement pada mikroabses
sukar dinilai karena lesi terlalu kecil. Apabila mikroabses > 10 mm atau
membentuk kluster sehingga tampak massa agak besar maka prakontras
kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas
suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa
dengan rim enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang
menyengat. Bagian tengah abses terlihat hipodens dengan banyak
septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga membentuk gambaran
menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding kapsul abses akan
semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak area yang hipodens
sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil piogenik bersifat
monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses amoebiasis.
Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh kuman
Klebsiella.

Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan


penyengatan kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang
tidak tampak penyengatan. Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase
tunda. Sangat sukar dibedakan gambaran USG antara abses piogenik
dan amebik. Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular.
Struktur eko rendah sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-
bercak hiperekoik (debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang
makin lama makin bertambah tebal.
Gambar 5. Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada
segmen IV. Abses lainnya terdapat pada segmen VII dan VIII

9. Tatalaksana
a. Abses Hepar Amebik
 Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:
1) Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif
untuk amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping
yang paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan
rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati
amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 7 – 10 hari (Guardino,
2008). Sedangkan untuk anak ialah 35-50 mg/kgBB/hari terbagi
dalam tiga dosis. Nitoimidazole kerja panjang (Tinidazole 2 gram
PO dan ornidazole 2 gram PO) dilaporkan efektif sebagai terapi
dosis tunggal. Terapi kemudian dilanjutkan dengan preparat
lumenalamubisida untuk eradikasi kista dan mencegah transmisi
lebih lanjut yaitu : Iodoquinol 3x650 mg selama 20 hari,
Diloxanide furoate 3 x 500 mg selama 10 hari, Aminosidine
(Paromomcin 25-35 mg/kg perhari TID selama 7-10 hari (Kim,
2011). Lebih dari 90% pasien mengalami respons dramatis
dengan terapi metronidazole, baik berupa penurunan nyeri
maupun demam dalam 72 jam (Reed, 2010).
2) Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang
direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500
mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular
(max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih aman karena
ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih
rendah. Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung,
kehamilan, ginjal, dan anak-anak
3) Chloroquin
Emetine dan chloroquine dapat digunakan sebagai terapi
alternatif, tetapi sebaiknya dihindari sebisa mungkin karena efek
kardiovaskular dan gastrointestinal, selain karena tingginya angka
relaps. Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis
ekstraintestinal ialah 2x300 mg/hari selama 2 hari dan dilanjutkan
dengan 2x150 mg/hari selama 2 - 3 minggu. Perbaikan klinis
diharapkan dalam 3 hari (Raiford, 2010; Reed, 2010). Dosis
untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3
minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan
diikuti 500 mg/hari selama 20 hari.
 Aspirasi Jarum Perkutan
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara
tersebut di atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel,
atau pada ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol
merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan
aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
Indikasi aspirasi jarum perkutan :
1) Risiko tinggi untuk terjadinya ruptur abses yang didefinisikan
dengan ukuran kavitas lebih dari 5 cm
2) Abses pada lobus kiri hati yang dihubungkan dengan
mortalitas tinggi dan frekuensi tinggi bocor ke peritoneum atau
perikardium
3) Tak ada respons klinis terhadap terapi dalam 3-5 hari
4) Untuk menyingkirkan kemungkinan abses piogenik,
khususnya pasien dengan lesi multipel
 Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan
ancaman ruptur atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi
kurang, infeksi campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit,
tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu,
drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru,
peritoneum, dan perikardial.
Drainase perkutan abses dilakukan dengan tuntunan USG
Abdomen atau CT Scan Abdomen, penyulit yang dapat terjadi yaitu
perdarahan, perforasi organ intra abdomen, infeksi, ataupun terjadi
kesalahan dalam penempatan kateter untuk drainase.
 Drainase Bedah
Tindakan ini sekarang jarang dikerjakan kecuali pada kasus
tertentu seperti abses dengan ancaman ruptur atau secara teknis
susah dicapai atau gagal dengan aspirasi biasa/drainase perkutan.
Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang
jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa
adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses
amuba yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk
tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak
berhasil. Laparoskopi juga di kedepankan untuk kemungkinannya
dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal.
 Reseksi Hati
Pada abses hati piogenik multipel kadang diperlukan reseksi
hati. Indikasi spesifik jika didapatkan abses hati dengan karbunkel
(Liver carbuncle) dan disertai dengan hepatolitiasis, terutama pada
lobus kiri hati.
Berdasarkan kesepakatan PEGI (Perhimpunan Endoskopi
Gastrointestinal Indonesia) di Surabaya pada tahun 1996 :
- Abses hati dengan diameter 1-5 cm : terapi medikamentosa, bila
respon negatif dilakukan aspirasi
- Abses hati dengan diameter 5-8 cm: terapi aspirasi berulang
- Abses hati dengan diamete >= 8 cm : drainase per kutan

b. Abses Hepar Piogenik


 Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses

hati piogenik yaitu dengan cara:

1) Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu


ataupun tumor dengan rute transhepatik atau dengan melakukan
endoskopi

2) Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal

 Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat
dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari
saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3
gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan.
Sebelum terdapat hasil kultur, diberikan antibiotika spektrum
luas. Ampisilin dan aminoglikosida diberikan bila sumber infeksi
terdapat pada saluran empedu. Sefalosporin generasi ketiga
merupakan pilihan apabila sumber infeksi berasal dari usus.
Metronidazol diberikan pada semua AHP dengan berbagai sumber
infeksi untuk mengatasi infeksi anaerobik. Regimen pilihan lain
adalah kombinasi beta laktam dan penghambat aktivitas beta
laktamase yang diberikan untuk AHP dengan sumber infeksi dari
usus, dimana kombinasi ini juga dapat mengatasi infeksi anaerobik.
Bila terdapat hasil kultur, antibiotika disesuaikan dengan kuman
yang spesifik. Antibiotika intravena diberikan sedikitnya selama 2
minggu, dilanjutkan dengan antibiotika oral selama 6 minggu.
Apabila infeksi disebabkan oleh streptococcus, pemberian
antibiotika oral dosis tinggi disarankan selama lebih dari 6 minggu.
Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:
1) Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan
beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya
sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2
gr/12jam/IV
2) Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri
anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6
jam/IV
3) Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
4) Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-
metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.
 Drainase Abses Perkutaneus
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah
drainase terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan
abdomen ultrasound atau tomografi komputer, drainase dilakukan
pada abses berukuran > 5 cm, menggunakan indwelling drainage
catheter. Pada abses multipel hanya abses berukuran besar yang
perlu diaspirasi. Abses kecil cukup dengan antibiotik.
 Drainase Bedah
Drainase bedah dilakukan pada AHP dengan kegagalan terapi
antibiotik, aspirasi perkutan, drainase perkutan, ikterik tidak sembuh,
penurunan fungsi ginjal, serta pada abses multiokuler serta adanya
penyakit intra-abdomen yang memerlukan manajemen operasi. Saat
ini drainase dengan pembedahan dilakukan dengan laparoskopik.

10. Komplikasi
a. Abses Hepar Amebik
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6
%. Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus,
intraperitoneal ataukulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi,
terutama setelah aspirasi atau drainase. Infeksi pleuropneumonal
adalah komplikasi yang paling umum terjadi. Mekanisme infeksi
termasuk pengembangan efusi serosa simpatik, pecahnya abses hati ke
dalam rongga dada yang dapat menyebabkan empiema, serta
penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim. Fistula
hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan
nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang
terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses
pada lobus kiri hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah
atau rupturnya abses dapat ke organ-organ peritonium dan
mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri hepatika telah dilaporkan
terjadi sebagai komplikasi.
b. Abses Hepar Piogenik
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat
seperti septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses
hati disertai peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan
pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses,
hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard
atau retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering terjadi
diatesis hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder
dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses.

11. Prognosis
Abses hari amuba merupakan penyakit yang sangat “treatable”.
Angka kematiannya < 1% bila tanpa penyulit. Penegakkan diagnosis yang
terlambat dapat memberikan penyulit abses ruptur sehingga meningkatkan
angka kematian: ruptur ke dalam peritoneum (20%), ke dalam perikardium
(32-100%).
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau
emetin, metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam.
Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di
rumah sakit dengan fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang
kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan
tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba,
mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan
keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab
kematian biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis
penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia
lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya komplikasi. Kematian
terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi ektraintestinal, serta infeksi
peritonial dan perikardium.
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi
yang akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti
kultur anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan
atau drainase secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas
antara lain umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia
polimikrobial dan gangguan fungsi hati seperti ikterus atau
hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas terjadi pada
keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke rongga
peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, dan perdarahan dalam
abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah
DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas abses hati piogenik
yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab dan
dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi umur
di atas 70 tahun, abses multipel terutama dengan sumber infeksi pada
sistem bilier, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan keganasan
atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan diagnosis
dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus,
hipoalbuminemia, hiperbilirubinemia, efusi pleural, serta sepsis.

12. Differential Diagnosis

Differential Diagnosis Manifestasi Klinis


Hepatoma Merupakan tumor ganas hati primer.
Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan
atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.
Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol,
stigmata penyakit hati kronik.
Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali
Fosatase
USG : lesi lokal/difus di hati
Kolesistitis akut Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat
infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.
Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas
yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam.
Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal,
Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan
adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik.
Laboratorium: leukositosis
USG : penebalan dining kandung empedu, sering
ditemukan pula sludge atau batu.
II. KOLANGIOKARSINOMA

1. Definisi
Kolangiokarsinoma adalah suatu tumor ganas dari epitelium duktus
biliaris intrahepatik atau ekstrahepatik. Tumor keras dan berwarna putih,
dan sel-sel tumor mirip dengan epitel saluran empedu. Lebih dari 90%
kasus merupakan adenokarsinoma dan sisanya adalah tumor sel squamosa.
Sekitar 2/3 kolangiokarsinoma berlokasi di regio perihilar, dan 1/4 lainnya
berlokasi di duktus ekstrahepatik dan sisanya berlokasi di duktus
intrahepatik (Dahnert, 2007; Boris 2008). Semua kolangiokarsinoma
pertumbuhannya lambat, infiltrative lokal, dan metastasenya lambat.

Gambar 6. Lokasi kolangiokarsinoma

2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Bilier


Sistem bilier terdiri dari kandung empedu dan saluran yang berasal
dari hepar dan vesica fellea. Fungsi primernya adalah sebagai organ yang
memproduksi, menyimpan empedu dan mengalirkan ke duodenum melalui
saluran-saluran empedu. Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti
buah alpukat dengan ukuran ± 5 x 7 cm dan berisi 30-60 ml empedu.
Bagian fundus umumnya menonjol sedikit keluar tepi hati, di bawah
lengkung iga kanan, di tepi lateral M. rektus abdominis. Sebagian besar
korpus menempel dan tertanam di dalam jaringan hati. Masing-masing sel
hati juga terletak dekat dengan beberapa kanalikulus mengalir ke dalam
duktus biliaris intralobulus dan duktus-duktus ini bergabung melalui
duktus biliaris antar lobulus membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri.
Diluar hati duktus ini bersatu dan membentuk duktus hepatikus komunis.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm,
sedangkan panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi
bergantung pada letak muara duktus sistikus.
Duktus sistikus berjalan keluar dari kandung empedu. Panjangnya
±30-37 mm dengan diameter 2-3 mm. Dinding lumennya mengandung
katup berbentuk spiral Heister, yang memudahkan cairan empedu
mengalir masuk ke dalam kandung empedu tapi menahan aliran keluarnya.
Duktus hepatikus komunis akan bersatu dengan duktus sistikus dan
membentuk duktus koledokus yang panjangnnya 7,5 cm dengan diameter 6
mm. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus
pankreas, bergabung dengan duktus pankreatikus mayor wisungi dan
bersatu pada bagian medial dinding duodenum desenden membentuk
papila vateri. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter oddi. Dinding
duktus biliaris ekstrahepatik dan kandung empedu mengandung jaringan
fibrosa dan otot polos. Membran mukosa mengandung kelenjar-kelenjar
mukosa dan dilapisi oleh selapis sel kolumnar.
Gambar 7. Anatomi sistem biliaris

Fungsi utama dari sistem bilier adalah sebagai tempat penyimpanan


dan saluran cairan empedu. Empedu di produksi oleh sel hepatosit
sebanyak 500-1500 ml/hari. Empedu terdiri dari garam empedu, lesitin dan
kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya
adalah bilirubin, asam lemak dan garam anorganik. Di luar waktu makan,
empedu disimpan sementara di dalam kandung empedu dan di sini
mengalami pemekatan sekitar 50%. Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3
faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu dan
tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa produksi akan dialih-
alirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu
berkontraksi, sfingter relaksasi dan empedu mengalir ke dalam duodenum.
Aliran tersebut sewaktu-waktu seperti disemprotkan karena secara
intermiten tekanan saluran empedu akan lebih tinggi daripada tahanan
sfingter.

Hormon kolesistokinin (CCK) dari selaput lendir usus halus yang


disekresi karena rangsang makanan berlemak atau produk lipolitik di dalam
lumen usus, merangsang nervus vagus, sehingga terjadi kontraksi kandung
empedu. Demikian CCK berperan besar terhadap terjadinya kontraksi
kandung empedu setelah makan, Empedu yang dikeluarkan dari kandung
empedu akan dialirkan ke duktus koledokus yang merupakan lanjutan dari
duktus sistikus dan duktus hepatikus. Duktus koledokus kemudian
membawa empedu ke bagian atas dari duodenum, dimana empedu mulai
membantu proses pemecahan lemak di dalam makanan. Sebagian
komponen empedu diserap ulang dalam usus kemudian dieksresikan
kembali oleh hati.

3. Epidemiologi

Angka kejadian pria : wanita 5:1. Setiap tahun di AS tercatat 2000


sampai 3000 kasus penyakit kolangiokarsinoma, 5000 kasus untuk kanker
kandung empedu dan 15000 kasus untuk kanker hepatoseluler. Prevalensi
tertinggi terdapat di kalangan orang Asia Tenggara (10 kali lebih banyak)
yang diakibatkan oleh infeksi parasit kronik endemik (Zieve, 2014).

4. Etiologi

Faktor predisposisi kanker saluran empedu ,meliputi : (Darwin, 2014)

 Primary Sclerosing Cholangitis ( PSC)

Primary Sclerosing Cholangitis dengan atau tanpa kolitis


ulseratif merupakan faktor predisposisi utama terjadinya
kolangiokarsinoma (5- 35%). Mayoritas pasien dengan PSC yang
menderita kolangiokarsinoma mengalami ulserasi radang usus
besar. Timbulnya kolangiokarsinoma pada pasien dengan kolitis
ulseratif dan PSC meningkat jika mereka menderita keganasan
kolorektal.

 Riwayat fibrokistik keluarga sejak lahir


 Hepar sejak lahir fibrosis
 Dilatasi kistik (dengan kata lain, penyakit Caroli)
 Polikistik hati
 Von Meyenburg kompleks
 Infestasi parasit Clonorchis sinensis
 Batu empedu dan hepatolithiasis
 Material beracun
− Torium Dioksida ( thorotrast)
− Radionuklida
− Segala penyebab kanker (misalnya, arsenik/warangan,
digoxin, nitrosamines, polychlorinated biphenyls)
 Obat/Racun
− Kontrasepsi oral-Methyldopa
− Isoniazid
Penyakit tipus kronis carier mempunyai insiden kanker hepatobilier
lebih besar, termasuk kolangiokarsinoma. Kanker Saluran empedu
juga terkait dengan sirosis bilier.

5. Klasifikasi Anatomi

Kolangiokarsinoma diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomis


menjadi intrahepatik dan ekstrahepatik. Kolangiokarsinoma tipe
ekstrahepatik yang melibatkan pertemuan duktus hepatikus kanan dan kiri
berkisar antara 80% hingga 90% dan yang melibatkan duktus
intrahepatikus meliputi 5%-10%.

Kolangiokarsinoma ekstrahepatik dapat dibagi berdasarkan


klasifikasi Bismuth menjadi menjadi tipe I-IV.

Tipe I : meliputi duktus hepatikus komunis, dibawah


pertemuan duktus hepatikus kiri dan kanan

Tipe II : mencapai pertemuan duktus hepatikus kiri dan kanan


Tipe III : menyumbat duktus hepatikus komunis juga salah
satu duktus hepatikus kanan (IIIa) atau kiri (IIIb)

Tipe IV : multisentrik atau melibatkan duktus hepatikus bilateral

Gambar 8. A. Lokasi anatomis kolangiokarsinoma; B. Klasifikasi Bismuth


kolangiokarsinoma ekstrahepatik
Kolangiokarsinoma ekstrahepatik berbentuk sklerotik, modular dan
papilaris yang sering disertai dengan adanya infiltrasi tipe periduktal dan
sklerosis. Tumor ini memiliki ciri khas dengan adanya penebalan anular
pada duktus biliaris akibat adanya infiltrasi dan fibrosis jaringan periduktal.

Kolangiokarsinoma intrahepatik diklasifikasikan menjadi membentuk


massa (mass forming), infiltrasi periduktal, dan pembentukan massa
disertai dengan infiltrasi periduktal dan intraduktal. Klasifikasi ini
berhubungan dengan prognosis penyakit.

Secara histopatologi adenokarsinoma tipe (90%). Tipe histologi


lainnya meliputi adenokarsinoma papilaris, adenokarsinoma tipe intestinal,
Lear All adenocarcinoma, signet-ring cell carcinoma, squamous cell
carcinoma, dan obat cell carcinoma.

6. Tanda dan Gejala Klinis

Gejala utama kolangiokarsinoma ekstrahepatik adalah obstruksi bilier


yang menyebabkan terjadinya ikterus tanpa rasa nyeri. Kolangiokarsinoma
intrahepatik paling sering muncul sebagai massa intrahepatik yang
menyebabkan nyeri pada kuadran kanan atas dan gejala yang berkaitan
dengan tumor seperti kakeksia dan malaise. Gejala kolangitis jarang terjadi
jika tidak dilakukan tindakan instrumental sebelumnya (Boris, 2008; Khan
2012).

Feses berwarna kuning dempul, urin berwarna gelap, pruritus, rasa


sakit pada perut kuadran kanan atas (abdomen) dengan rasa sakit yang
menjalar ke punggung, dan penurunan berat badan (Darwin, 2014).

7. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan pada


fungsi liver yaitu kadar bilirubin, alkaline fosfatase, SGOT, SGPT dan
glutamiltransferase (GGT). Anemia lebih berat dibandingkan dengan
karsinoma ampula, hitung leukosit normal tinggi dengan peningkatan pada
granulosit. Feses pucat dan berlemak. Tidak dijumpai glukosuria (Dooley,
2011).

Konsentrasi serum tumor marker CA19-9 seringkali meningkat pada


pasien dengan keganasan duktus biliaris. Kadar yang ekstrim tinggi juga
dilaporkan pada tumor jinak pada traktus biliaris. Sensitivitas tumor marker
CA19-9 untuk mendeteksi kolangiokarsinoma pada pasien PSC adalah
sebesar 50-60%. Selain CA 19-9, tumor marker seperti CEA juga bisa
menjadi penanda terjadinya tumor, namun tidak semua kanker traktus
biliaris mempunyai tumor marker sehingga jika nilai tumor marker rendah
atau normal bukan berarti tidak ada kanker (Dooley, 2011).

Ultrasonografi adalah pemeriksaan pertama yang dilakukan jika


mencurigai pasien dengan obstruksi bilier. Dengan pemeriksaan ini kita
dapat mengekslusikan adanya batu empedu. Kolangiokarsinoma
intrahepatik ditandai dengan massa intrahepatik yang tidak spesifik
(hiperekoid). Kolangiokarsinoma ekstrahepatik ditandai dengan adanya
dilatasi pada duktus biliaris intrahepatik diikuti dengan perubahan kaliber
duktus mendadak pada bagian distal. Jarang ditemukan adanya massa
tumor (Boberg, 2004; Boris, 2008).

CT-Scan. Langkah pemeriksaan radiologi yang berikutnya untuk


mendiagnosis kolangiokarsinoma adalah dengan pemeriksaan CT-Scan
atau MRI. CT-Scan dengan kontras dapat memperlihatkan lesi massa
intrahepatik, duktus intrahepatikus yang berdilatasi, limfadenopati yang
terlokalisasi dan metastasis ekstrahepatik (Boberg, 2004; Khan, 2012). .

Pada tumor intrahepatik tampak lesi hypoattenuating dikelilingi dengan


massa dengan tepi yang ireguler dan dilatasi duktus biliaris intrahepatik
dengan segmen dan derajat yang bervariasi. Keterlambatan waktu
enhancement bahan kontras ke dalam lesi mengindikasikan adanya
kolangiokarsinoma. Perihilar kolangiokarsinoma biasanya tampak sebagai
massa pada hilum hepar dengan dilatasi pada duktus biliaris. Tumor
ekstrahepatik distal menyebabkan dilatasi pada duktus biliaris ekstra
maupun intrahepatik dan distensi dari kandung empedu (Boberg, 2004).

Gambar 9. CT scan – tampak kolangiokarsinoma pada hilum hepar

ERCP adalah suatu cara pemeriksaan invasif yang hanya dilakukan


apabila ada indikasi positif yang kuat. Biasanya merupakan langkah
terakhir dari suatu seri pemeriksaan dan dipakai untuk deteksi atau
diferensiasi suatu penyakit saluran empedu atau pankreas. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk visualisasi dengan bahan kontras secara retrograde dan
mengetahui langsung saluran empedu eferen dan duktus pankreatikus
dengan memakau suatu duodenoskop yang mempunyai padangan samping.

Duodenoskop dimasukan peroral, oleh karena itu kemungkinan adanya


divertikel dan stenosis harus dipertimbangkan kembali berdasarkan tanda-
tanda klinis. Duodenoskop ini dimasukkan sampai ke duktus biliaris lalu
disemprotkan kontras (Conray-60 atau Urografin 60%) dengan
pengawasan fluoroskopi lalu dilakukan pengambilan foto X-ray. Dapat
terlihat massa tumor intraduktal yang eksofitik (46%) dengan diameter 2-5
mm. Sering didapatkan striktur fokal konsentrik yang panjang atau
terkadang pendek pada tipe kolangitis sklerotik infiltratif dengan yang
irreguler. Dilatasi prestenotik difus/fokal dari system bilier. Striktur pada
duktus yang progresif. Selain itu, ERCP dapat juga digunakan untuk
mendapatkan bahan kepentingan pemeriksaan histologi antara lain sitologi
hapusan, biopsi, aspirasi dengan jarum.

Pada biopsi hati ditemukan duktus yang besar akibat obstruksi. Tetapi
biopsi hati dapat menyebabkan komplikasi hati yang serius seperti
peritonitis biliar dan hanya dilakukan jika diagnosis meragukan (Dooley,
2011).

Sitologi dilakukan saat melakukan tindakan ERCP atau drainase


perkutaneus. Perkutaneus biopsi dikontraindikasikan pada tumor yang
resektabel karena dapat menyebabkan penyebaran tumor akibat lesi jarum.
Biopsi jaringan diperlukan pada pasien yang unresektabel atau tumor yang
telah bermetastasis guna terapi paliatif. Pendekatan dapat dilakukan dengan
sitologi aspirasi fine-needle pada tersangka tumor yang dipandu dengan
fluoroscopi, USG, atau kolangioskopi dengan biopsi endobilaris (Dooley,
2011).

8. Tatalaksana

Operasi reseksi adalah terapi utama untuk kolangiokarsinoma.


Kolangiokarsinoma distal direseksi dengan pankreaduodenektomi, dengan
kemungkinan hidup 5 tahun sekitar 30%. Pada pasien dengan penyebaran
tumor sepanjang duktus biliaris komunis, dapat dilakukan reseksi hati dan
pankreaduodenektomi. Karsinoma middle duktus biliaris dilakukan reseksi
dengan eksisi pohon bliaris dan limfadenektomi hilar (Khan, 2012).Tumor
tipe hilar (Klatskin) direseksi dengan hepatektomi kanan atau kiri
diperluas tergantung duktus hepatikus yang terlibat. Pohon biliaris dieksisi
dan duktus biliaris bagian proksimalnya di drainase ke dalam Roux-en-Y
loop di usus halus. Limfadenektomi hilar radikal dilakukan karena adanya
kemungkinan diseminasi limfatik. Pada tumor klatskin, biasa dilakukan
lobektomi kaudate karena 1 segmen duktus akan bergabung dengan duktus
hepatikus lainnya dan sangat mungkin telah terinfiltrasi oleh tumor. Angka
harapan hidup setelah reseksi agresif kolangikarsinoma adalah 18-40
bulan. Reseksi lokal dapat dilakukan pada tumor Bismuth tipe I atau II
dengan mortalitas perioperatif yang rendah (Dooley, 2011).

Gambar 10. Teknik operasi dengan bilateral hepatojejunostomi dengan


Roux-en-Y

Transplantasi hati
Pada umumnya kolangiokarsinoma dikontraindikasikan untuk
transplantasi hati. Kolangiokarsinoma yang unresektabel memiliki
rekurensi yang tinggi. Pada kolangiokarsinoma unresektabel stadium awal,
kombinasi transplantasi hati dengan kemoradiasi perioperatif dapat
memperpanjang harapan hidup (Khan, 2012).

Operasi Paliatif

Operasi ini meliputi anastomosis jejunum dengan segmen III duktus


pada globus kiri yang biasanya dicapai di atas tumor hilar. Jaundice
menghilang kira-kira 3 bulan pada 75% pasien. Jika bypass segmen III
tidak mungkin dicapai (akibat metastasis atau atrofi), maka dapat dilakukan
operasi anastomosis duktus hepatikus sisi kanan dapat dilakukan pada
segmen V. Operasi paliatif jarang sekali diindikasikan pada pusat-pusat
kesehatan dengan fasilitas ERCP dan intervensi biliaris perkutaneus
(Dooley, 2011).
Terapi Paliatif non Operasi
Pada pasien-pasien dengan tumor yang inresektabel, ikterus dan gatal
dapat diobati dengan menempatkan endoprostesis melintasi striktur baik
menggunakan rute endoskopi atau dengan rute perkutaneus. Dengan rute
endoskopi, dapat diinsersikan stent dengan keberhasilan 90%. Komplikasi
awal yang utama adalah kolangitis (7%). Mortalitas dalam 30 hari antara 10-
28% tergantung dari meluasnya tumor ke hilum. Insersi endoprotesis
perkutaneus transhepatik juga efektif tetapi memiliki resiko komplikasi
yang tinggi seperti perdarahan dan kebocoran empedu. Endoprostesis metal
mes dengan perluasan diameter 10 mm di dalam striktur setelah insersi
kateter dengan ukuran 5-7 French lebih mahal dibandingkan dengan tipe
plastik tetapi memiliki kekuatan yang lebih lama (Dooley, 2011).

Belum ada penelitian yang membandingkan antara terapi operasi


paliatif dengan terapi paliatif non operasi. Umumnya teknik nonoperatif
diterapkan pada pasien yang memiliki resiko tinggi dengan harapan hidup
yang pendek (Dooley, 2011).

Tidak ada bukti yang mendukung keberhasilan kemoterapi atau radioterapi


pada pasien yang telah mengalami metastasis. Peran radioterapi eksternal
atau kombinasi radioterapi dengan drainase bilier tidak terbukti. Obat
sitotoksik seperti gemcytabin sediri atau dikombinasikan dengan cysplatin
juga tidak efektif (Dooley, 2011)..

Terapi fotodinamik intraduktal dikombinasikan dengan pemasangan


stent pada pasien kolangikarsinoma menunjukkan manfaat. Tatalaksana ini
mahal namun menawarkan paliasi yang baik. Terapi ini masih dalam
penelitian (Dooley, 2011).

9. Prognosis
Prognosis bergantung pada lokasi dan stadium serta tata laksana
tumor. Kolangiokarsinima distal lebih resektabel dibandingkan di bagian
hilum. Karsinoma poliploid memiliki prognosis yang baik. Jika tidak
direseksi maka harapan hidup 1 tahun pasien dengan kolangiokarsinoma
hanya 50%, dengan 20% bertahan hidup selama 2 tahun dan 10% bertahan
selama 3 tahun (Dooley, 2011).

Anda mungkin juga menyukai