Anda di halaman 1dari 23

A.

ANALISIS PELAKSANAAN SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA


INDONESIA

Secara formal, periode perkembangan ketatanegaraan Indonesia dapat dirinci


sebagai berikut.
1. Periode berlakunya UUD 1945 ( 18 Agustus 1945-27 Desember 1949)
2. Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 ( 27 Desember 1949-17 Agustus
1950)
3. Periode berlakunya UUDS 1950 ( 17 Agustus-5 Juli 1959)
4. Periode berlakunya kembali UUD 1945 ( 5 Juli 1959-Sekarang). Pada periode
ini pun terbagi menjadi beberapa periode, yaitu :
a. Periode Orde Lama ( 5 Juli 1959-11 Maret 1966)
b. Periode Orde Baru ( 11 Maret 1966-21 Mei 1998)
5. Periode Reformasi (21 Mei 1998-Sekarang)

1. Periode UUD 1945


Bentuk Negara Republik Indonesia pada kurun waktu 18 Agustus 1945
sampai dengan 27 Desember 1949 adalah negara Kesatuan. Landasan yuridis
Negara kesatuan Indonesia antara lain sebagai berikut.
a. Pembukaan UUD 1945 alinea 4 yang berbunyi :
“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia …” Hal tersebut menunjukkan satu kesatuan bangsa Indonesia
dan satu kesatuan wilayah Indonesia.
b. Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi :
“Negara republik Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk
republik . “Kata kesatuan dalam pasal tersebut menunjukkan bentuk
Negara, sedangkan Republik menunjukkan bentuk pemerintahan.
UUD 1945 tidak menganut teori pemisahan kekuasaan secara murni
seperti yang diajarkan Montesquieu dalam ajaran Trias Politika. UUD 1945
lebih cenderung menganut prinsip Pembagian Kekuasaan (Distribution of
Power).
Menurut UUD 1945, seperti yang telah disebutkan di atas bahwa
kekuasaan-kekuasaan dalam Negara dikelola oleh lima lembaga, yaitu.
a. Legislatif, yang dilakukan oleh DPR
b. Eksekutif, yang dijalankan oleh presiden
c. Konsultatif, yang dijalankan oleh DPA
d. Eksaminatif (mengevaluasi), kekuasaan inspektif (mengontrol), dan
kekuasaan auditatif (memeriksa) yang dijalankan oleh BPK.
e. Yudikatif, yang dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Namun, pembagian kekuasaan pada masa UUD 1945 kurun waktu 18
Agustus 1949 sampai dengan 27 Desember 1945 belum berjalan sebagaimana
mestinya. Hal ini disebabkan belum terbentuknya lembaga-lembaga negara
seperti yang dikehendaki UUD 1945.
Seperti kita ketahui, pada kurun waktu itu di Indonesia hanya ada
presiden, wakil persiden, dan menteri-menteri serta KNIP. Oleh karena itu,
sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai 16 oktober 1945 segala kekuasaan
(eksekutif, legislatif dan yudikatif) dijalankan oleh satu badan atau lembaga,
yaitu presiden dibantu KNIP. Jadi, dapat dikatakan belum ada pembagian
kekuasaan. Kekuasaan presiden yang demikian luas itu berdasarkan Pasal IV
aturan peralihan UUD 1945.
Namun setelah munculnya maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16
Oktober 1945, terjadi pembagian kekuasaan dalam dua badan, yaitu
kekuasaan legislatif dijalankan oleh KNIP dan kekuasaan-kekuasaan lainnya
masih tetap dipegang oleh presiden sampai tanggal 14 November 1945.
Dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945,
kekuasaan eksekutif yang semula dijalankan oleh presiden beralih ke tangan
perdana menteri sebagai konsekuensi dari dibentuknya sistem pemerintahan
parlementer.
Mengingat keadaan pada masa awal kemerdekaan Negara kita masih
berada pada masa peralihan hukum dan pemerintahan, pelaksanaan
ketatanegaraan seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 belum dapat
sepenuhnya dilaksanakan. Namun, penjelasan UUD 1945 telah mengantisipasi
keadaan itu. Menurut pasal IV Aturan Peralihan, bahwa sebelum MPR, DPR,
dan DPA dibentuk menurut UUD 1945, segala kekuasaan Negara dijalankan
oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.
Namun, dalam perkembangannya KNIP yang dibentuk itu menuntut
kekuasaan legislatif kepada pemerintah/presiden sehingga keluarlah
Maklumat Wakil Presiden No.X, yang memberikan kewenangan kepada KNIP
untuk menjalankan kekuasaan legislatif (DPR/MPR).
Penyimpangan kekuasaan KNIP menjadi lembaga legislatif (parlemen)
waktu itu dimungkinkan setelah keluarnya Maklumat Pemerintah pada 14
November 1945, yang menyatakan bahwa prinsip pertanggungjawaban
memteri-menteri kepada KNIP secara resmi diakui. Akibatnya, dibentuklah
kabinet baru yang dipimpin oleh Sutan Syahrir (sebagai Perdana Menterinya).

2. Periode Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949


Menurut ketentuan pasal-pasal yang tercantum dalam Konstitusi RIS, sistem
pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer. Pada
sistem ini, kabinet bertanggung jawab kepada parlemen (DPR), dan apabila
pertanggungjawaban itu tidak diterima oleh DPR maka dapat menyebabkan
bubarnya kabinet. Jadi, kedudukan kabinet bergantung kepada DPR. Sistem
pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri pokok berikut ini :
a. Perdana menteri bersama para menteri baik secara bersama ataupun
sendiri-sendiri bertanggung jawab kepada parlemen.
b. Pembentukan kabinet didasarkan pada kekuatan-kekuatan yang ada dalam
parlemen.
c. Para anggota kabinet mungkin seluruhnya atau sebagian mencerminkan
kekuatan yang ada dalam parlemen.
d. Kabinet dapat dijatuhkan setiap saat oleh parlemen dan sebaliknya kepala
Negara dengan saran perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan
memerintahkan diadakannya pemilihan umum.
e. Lamanya masa jabatan kabinet tidak dapat ditentukan secara pasti.
f. Kedudukan kepala Negara tidak dapat diganggu gugat atau diminta
pertanggungjawaban atas jalannya pemerintahan.
Dengan demikian, yang membedakan sistem pemerintahan presidensial
dengan parlementer adalah sebagai berikut.
a. Sistem pemerintahan presidensial yang menjadi kepala negara pasti
seorang presiden, sedangkan dalam pemerintahan parlementer yang
menjadi kepala negara bisa presiden, raja atau kaisar.
b. Sistem pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung jawab dan
berada di bawah pengawasan parlemen, sedangkan dalam sistem
pemerintahan presidensial pemerintah tidak bertanggung jawab kepada
parlemen/DPR.
Sejarah sistem pemerintahan parlementer di Indonesia telah dimulai sejak
periode berlakunya UUD 1945 yang pertama. Tepatnya sejak dikeluarkan
Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Akibatnya, kekuasaan
pemerintah bergeser dari tangan presiden kepada menteri atau menteri-
menteri. Setiap undang-undang yang dikeluarkan harus terdapat tanda-tangan
menteri (contra seign ministry). Dengan demikian, presiden tidak dapat
diganggu-gugat. Oleh karena itu, yang bertanggung jawab dalam penetapan
suatu undang-undang adalah para menteri, baik sendiri-sendiri maupun secara
bersama-sama.
Berikut ini keenam lembaga negara sebagai alat-alat perlengkapan federal
RIS, yaitu sebagai berikut :
a. presiden
b. menteri-menteri
c. senat
d. Dewan Perwakilan Rakyat
e. Mahkamah Agung Agama
f. Dewan Pengawas Keuangan.
Di antara badan-badan (kekuasaan) tersebut, terdapat hubungan yang
bersifat kerja sama dan pengawasan. Pembagian kekuasaan yang
dimaksudkan itu adalah sebagai berikut :
a. Kekuasaan pembentukan perundang-undangan (legislatif) yang
dijalankan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat.
b. Kekuasaan melaksanakan perundang-undangan atau pemerintahan
negara (eksekutif) yang dilakukan oleh pemerintah.
c. Kekuasaan mengadili pelanggaran perundang-undangan (yudikatif
oleh Mahkamah Agung).
Menurut Konstitusi RIS 1949 bahwa kekuasaan pembentukan perundang-
undangan federal dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan
senat terhadap undang-undang yang isinya melibatkan beberapa negara/daerah
bagian atau antara pemerintah federal dengan negara/daerah bagian. Untuk
undang-undang yang isinya di luar itu, cukup dilakukan oleh pemerintah
bersama-sama dengan DPR.
Mahkamah Agung berfungsi sebagai penilai masalah penerapan atau
pelanggaran hukum dalam peradilan tingkat kasasi. Kedudukan Mahkamah
Agung sebagai pengadilan federasi tertinggi yang berwenang melakukan
pengawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan, baik pengadilan federal
maupun pengadilan negara/daerah bagian. Di samping itu, Mahkamah Agung
berhak memberi nasihat kepada presiden yang berkenaan dengan pemberian
grasi atau hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan.
Konstitusi RIS yang bersifat liberal federalistik tidak sesuai dengan
semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pancasila, dan
kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karena itu, muncullah berbagai reaksi dan
unjuk rasa dari negara-negara bagian menuntut pembubaran negara RIS dan
kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas desakan itu maka
tanggal 8 Maret 1950, Pemerintah Federal mengeluarkan Undang-Undang
Darurat Nomor 11 Tahun 1950, yang isinya mengatur tata cara perubahan
susunan kenegaraan negara RIS. Dengan adanya undang-undang tersebut
hampir semua negara bagian RIS menggabungkan diri dengan negara
Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Akhirnya, Negara RIS
hanya memiliki tiga negara bagian, yaitu Negara Republik Indonesia, Negara
Indonesia Timur, dan Negara Sumatra Timur.
Keadaan itu mendorong negara RIS berunding dengan RI untuk
membentuk negara kesatuan. Pada 19 Mei 1950, dicapai kesepakatan
membentuk kembeli NKRI yang dituangkan dalam sebuah piagam
persetujuan. NKRI secara resmi berdiri tanggal 17 Agustus 1950 dan Ir.
Soekarno terpilih sebagai presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil
presiden. Sejak saat itu pemerintah menjalankan pemerintahan dengan
menggunakan UUDS 1950.

3. Periode UUDS 1950


Bentuk negara yang dianut Negara Indonesia pada masa berlakunya
UUDS 1950 adalah negara kesatuan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat 1
UUDS 1950 yang berbunyi , “Republik Indonesia yang merdeka dan
berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan membentuk
kesatuan.”
Sistem pemerintahan yang dianut oleh UUDS 1950 adalah sistem
pemerintahan parlementer. Sebagai dasar hukum UUDS 1950 menganut
sistem pemerintahan parlementer, dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan
berikut ini.
Dalam pasal 45 disebutkan “Presiden ialah kepala negara”. Karena
presiden sebagai kepala negara, ia tidak dapat diminta pertanggungjawaban
atas pelaksanaan pemerintahan. Pasal 45 tersebut dipertegas dalam pasal 83
ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
a. Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat
b. Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan
pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing
untuk bagiannya sendiri-sendiri
Ketentuan lain yang menunjukkan bahwa UUDS 1950 menganut sistem
pemerintahan parlementer adalah pasal 84 yang berbunyi : “Presiden berhak
membubarkan Dewan Perwakilan rakyat.”
Masa berlakunya UUDS 1950 diisi dengan jatuh bangunnya kabinet
sehingga pemerintahan tidak stabil. Hal tersebut disebabkan oleh hal-hal
berikut :
a. Adanya sistem pemerintahan parlementer yang disertai sistem multipartai
(banyak partai)
b. Perjuangan partai-partai politik hanya untuk kepentingan golongan atau
partainya
c. Pelaksanaan sistem demokrasi yang tidak sehat.
Karena itu, baik UUD RIS maupun UUDS 1950 menggunakan Pancasila
sebagai Dasar Negara hanya dalam ketentuan formal , sedangkan jiwa
kekeluargaannya belum mampu dijalankan secara operasional..
Pada masa berlakunya UUDS 1950, kekuasaan negara dipegang oleh
beberapa alat perlengkapan negara yaitu :
a. presiden dan wakil presiden
b. menteri-menteri
c. DPR
d. Mahkamah Agung
e. Dewan Pengawas Keuangan
UUDS pun menganut ajaran pembagian kekuasaan. Hal ini terbukti
dengan ditentukannya badan-badan yang memegang tiga kekuasaan tersebut.
a. Kekuasaan pemerintah negara dilakukan oleh dewan menteri
b. Kekuasaan perundang-undangan dilakukan oleh pemerintah bersama-
sama dengan DPR
c. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung
Sesuai dengan sistem parlementer yang dianut oleh UUDS 1950,
kekuasaan pemerintah negara (eksekutif) dilakukan sepenuhnya oleh dewan
menteri sehingga kebijaksanaan pemerintah dipertanggungjawabkan oleh
dewan menteri kepada DPR.
Kekuasaan perundang-undangan (legislatif) dilakukan oleh pemerintah
bersama DPR, kecuali dalam perubahan UUD.DPR memiliki hak untuk
mengajukan rancangan Undang-undang.
Bidang yudikatif sepenuhnya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.
Menurut pasal 105 ayat 1 dan 2 UUDS 1950, Mahkamah Agung adalah
pengadilan negara tertinggi yang bertugas melakukan pengawasan tertinggi
atas perbuatan pengadilan-pengadilan lain, berdasarkan aturan-aturan yang
ditetapkan dengan undang-undang.
UUDS 1950 ini bersifat sementara yang ditegaskan dalam pasal 134
bahwa : “Konstintuante bersama-sama pemerintah selekas-lekasnya
menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan mengganti UUDS ini.”
Badan Konstintuante yang diserahi tugas membuat UUD baru tetap tidak
dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Keadaan ini memancing
berkembangnya persaingan politik yang membawa akibat luas dalam berbagai
tata kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Situasi gawat ini
mendorong presiden mengajukan konsepsinya mengenai Sistem Demokrasi
Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Konsepsi itu disampaikan di
depan siding pleno DPR hasil Pemilu tahun 1955.
Perdebatan yang terus berlarut-larut tanpa menghasilkan keputusan
penting, mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal
5 Juli 1959 yang berisi :
a. Pembubaran Badan Konstituante
b. Memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS
1950
c. Pembentukan MPR dan DPA sementara

4. Periode Berlakunya Kembali UUD 1945


a. Periode Orde Lama (5 Juli 1959-11 Maret 1966)
Para pembentuk UUDS 1950 sejak semula menyebutkan bahwa UUD
tersebut masih bersifat sementara. Hal ini ditegaskan dalam pasal 134
yang berbunyi : “Konstituante (Sidang Pembuat UUD) bersama-sama
dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik
Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini.”
Mengingat UUDS masih bersifat sementara, maka harus ada UUD
yang tetap akan ditetapkan oleh Konstituante bersama-sama dengan
pemerintah.
Berdasarkan UUDS 1950, pembentukan anggota-anggota Konstituante
harus diperoleh melalui pemilu. Pemilu untuk anggota Konstituante
tersebut, baru dapat diselenggarakan pada bulan Desember 1955. Pada 10
November 1956, sidang pertama Konstituante dibuka di Bandung oleh
presiden Soekarno. Pada saat itu presiden Soekarno untuk kali pertama
memperkenalkan istilah Demokrasi Terpimpin.
Rakyat dan pemerintah sangat berharap Konstituante dapat
membentuk UUD baru dengan segera. Dengan munculnya UUD baru
diharapkan dapat mengubah tatanan kehidupan politik yang dinilai kurang
baik.
Lebih dari dua tahun bersidang, Konstituante belum berhasil
merumuskan rancangan UUD baru. Ketika itu, perbedaan pendapat yang
telah menjadi perdebatan di dalam gedung Konstituantemengenai dasar
negara telah menjalar ke luar gedung Konstituante, sehingga diperkirakan
akan menimbulkan ketegangan politik dan fisik di kalanagan masyarakat.
Perdebatan-perdebatan di kalangan anggota Konstituante tentang dasar
negara sulit untuk diselesaikan. Sehubungan dengan itu, pada bulan Maret
1959 pemerintah memberikan keterangan dalam sidang pleno DPR
mengenai Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali kepada UUD
1945. Perdana Menteri Djuanda menegaskan bahwa usaha untuk kembali
kepada UUD 1945 itu harus dilakukan secara konstitusional, artinya, harus
berdasarkan pada pasal 134 UUDS 1950. Oleh karena itu, pemerintah
akan menyampaikan kepada Konstituante untuk menetapkan UUD 1945
sebagai UUD Negara Republik Indonesia.
Mengingat suhu politik yang semakin “memanas”, pada 22 April 1959
Presiden Soekarno menyampaikan amanat kepada Konstituante. Amanat
tersebut memuat anjuran kepala negara dan pemerintah untuk kembali ke
UUD 1945. Di samping itu, menegaskan pula pokok-pokok Demokrasi
Terpimpin, yaitu sebagai berikut.
1) Demokrasi terpimpin bukanlah diktator, berlainan dengan Demokrasi
Sentralisme dan berbeda pula dengan Demokrasi Liberal yang
dipraktikkan selama ini.
2) Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan
kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia.
3) Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan
kemasyarakatan yang meliputi bidang-bidang politik dan sosial.
4) Inti dari pimpinan dalam Demokrasi Terpimpin adalah
permusyawaratan yang “dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, bukan
oleh penyiasatan dan perdebatan yang diakhiri dengan pengaduan
kekuatan dan perhitungan suara pro dan kontra.
5) Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang sehat dan yang
membangun diharuskan dalam alam Demokrasi Terpimpin.
6) Demokrasi Terpimpin merupakan alat, bukan tujuan.
7) Tujuan melaksanakan Demokrasi Terpimpin ialah mencapai sesuatu
masyarakat yang adil dan makmur, yang penuh dengan kebahagiaan
materiil dan spiritual, sesuai dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus
1945.
8) Sebagai alat, Demokrasi terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir
dan berbicara, tetapi dalam batas-batas tertentu.
Pada dasarnya, saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat
diterima oleh para anggota Konstituante, namun dengan pandangan yang
berbeda. Pertama, menerima saran untuk kembali kepada UUD 1945
secara utuh. Kedua, menerima untuk kembali kepada UUD 1945 tetapi
dengan amandemen, yaitu sila ke satu Pancasila seperti yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 harus diubah dengan sila ke satu Pancasila
seperti tercantum dalam Piagam Jakarta.
Adapun prosedur untuk kembali kepada UUD 1945 sebagaimana
diputuskan oleh Kabinet Karya adalah sebagai berikut.
1) Setelah terdapat kata sepakat antara presiden dan Dewan Menteri
maka pemerintah minta supaya diadakan sidang pleno Konstituante.
2) Atas nama pemerintah, disampaikan oleh presiden amanat berdasarkan
pasal 134 UUDS 1950 kepada Konstituante yang berisi “anjuran”
supaya UUD 1945 ditetapkan.
3) Jika anjuran itu diterima oleh Konstituante, pemerintah atas dasar
ketentuan pasal 137 UUDS 1950 mengumumkan UUD Republik
Indonesia 1945 itu dengan keluhuran. Pengumuman dengan keluhuran
itu dilakukan dengan suatu piagam yang ditandatangani dalam suatu
sidang pleno Konstituante di bandung oleh presiden, para menteri, dan
para anggota Konstituante, yang antara lain memuat Piagam Jakarta
tertinggal 22 Juni 1945.
Setelah melalui berbagai macam usaha. Konstituante tidak dapat
mengambil keputusan untuk menerima anjuran tersebut. Hal ini sah-sah
saja mengingat kewenangan untuk mempersiapkan dan membentuk
undang-undang dasar ada di tangan Konstituante, sedangkan pemerintah
yang melandaskan pada pasal 137 hanya berwenang mengesahkan dan
mengumumkan.
Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 dan mengingat lembaga-
lembaga negara belum lengkap maka dilakukanlah beberapa langkah
sebagai berikut.
1) Pembaruan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui Penetapan
Presiden No. 3 Tahun 1960.
2) Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR)
dengan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960. Dalam pasal ditentukan
bahwa anggota-anggota DPR diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya terhitung ulai tanggal pelantikan Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong oleh presiden.
3) Untuk melaksanakan Dekrit Presiden, presiden mengeluarkan
Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara.
4) Penyusunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan
Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1960.
5) Dikeluarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan
Pertimbangan Agung Sementara.
Dengan demikian sejak berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam
UUD 1945 belum dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
Banyak penyimpangan yang telah terjadi antara lain sebagai berikut.
1) Lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA belum
dibentuk berdasarkan undang-undang. Lembaga-lembaga ini masih
bersifat sementara.
2) Pengangkatan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup
melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. Ketetapan ini jelas
melanggar ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang tegas-tegas menyatakan
bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama
masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih lagi.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa penyimpangan-penyimpangan
konstitusional ini mencapai puncaknya di bidang politik dengan peristiwa
Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini masih menjadi perdebatan
sampai saat ini. Sejarah mengenai peristiwa Gerakan 30 September 1965
masih menyimpan berbagai misteri. Banyak ahli sejarah dan bahkan
pelaku sejarah yang mencoba melakukan penelusuran kembali, akan tetapi
sayang banyak dokumen yang hilang.
Terlepas dari kebenaran dari masing-masing versi tersebut, yang jelas
peristiwa Gerakan 30 September 1965 telah menimbulkan kekacauan
sosial budaya dan instabilitas pemerintahan serta meninggalkan “sejarah
hitam” dalam peta politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia. Puncak
dari peristiwa seperti ini adalah jatuhnya legitimasi Presiden Soekarno
dalam memegang tampuk kekuasaan negara. Legitimasi itu semakin
terpuruk dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) yang pada hakikatnya merupakan perintah dari presiden
kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan dalam
menjamin keamanan serta stabilitas jalannya pemerintahan. Demi
terciptanya kepemimpinan nasional yang kuat dan terselenggaranya
kestabilan politik, ekonomi, dan hankam maka dikeluarkanlah Ketetapan
MPRS No. XLIV/MPRS/1968 yang menyatakan : “Mengangkat Jenderal
Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia sampai terpilihnya Presiden
oleh MPR hasil pemilihan umum.”

5. Periode Orde Baru (11 Maret 1966-21 Mei 1998)


Setelah turunnya Presiden Soekarno dari tampuk kepresidenan, maka
berakhirlah Orde Lama. Kepemimpinan disahkan kepada Jenderal Soeharto
mulai memegang kendali pemerintahan dan menamakan era
kepemimpinannya sebagai Orde Baru. Di era ini konsentrasi penyelenggaraan
sistem pemerintahan dan kehidupan demokrasi menitikberatkan pada aspek
kestabilan politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Untuk
mencapai titik tolak tersebut, dilakukanlah upaya-upaya pembenahan sistem
ketatanegaraan dan format politik yang pada prinsipnya mempunyai sejumlah
sisi yang menonjol, yaitu:
1) adanya konsep dwifungsi ABRI;
2) pengutamaan Golongan Karya;
3) magnifikasi kekuasaan di tangan eksekutif;
4) diteruskannya sistem pengangkatan dalam lembaga-lembaga perwakilan
rakyat;
5) kebijaksanaan depolitisasi khususnya masyarakat pedesaan melalui
konsep massa mengambang (floating mass);
6) kontrol atas kehidupan pers.
Konsep Dwifungsi ABRI pada masa itu secara implicit sebenarnya sudah
dikemukakan oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Mayjen A. H. Nasution, tahun
1958 yaitu dengan konsep “jalan tengah.” Prinsipnya menegaskan bahwa
peran tentara tidak terbatas pada tugas profesional militer belaka, melainkan
juga mempunyai tugas-tugas di bidang sosial-politik. Dalam hal ini, berarti
militer secara otomatis akan memperoleh jatah keanggotaan di lembaga-
lembaga politik (DPR dan MPR) tanpa melalui proses pemilihan umum.
Di bidang kepartaian, pada 27 Februari 1970, Presiden Soeharto
mengadakan konsultasi dengan parpol-parpol guna membahas gagasan untuk
mengelompokkan partai-partai politik yang ada. Sehingga setiap pemilihan
umum yang diselenggarakan di era Orde Baru, Golkar selalu menjadi single
majority, dan setiap pemilihan Presiden RI , Soeharto selalu dapat terpilih
secara aklamasi.

6. Periode Reformasi
Setelah tumbangnya Orde baru maka dimulailah pentahapan konsolidasi
sistem demokrasi di Indonesia. Konsolidasi tersebut antara lain adalah
melakukan perubahan dan penggantian berbagai peraturan perundang-
undangan yang dirasa tidak memberikan ruang bagi kehidupan demokrasi dan
prinsip-prinsip kedaulatan rakyat.
Gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa Indonesia mencapai
puncak dengan mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan
nasional pada 20 Mei 1998. Selama Presiden Soeharto memegang kekuasaan
negara selama 30 tahun, sistem pemerintahan RI mengarah pada supremasi
eksekutif. Ini mengakibatkan langgam politik ketatanegaraan Indonesia justru
mengarah pada pola otoriterisme.
Kondisi semacam inilah yang mengakibatkan akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintahan menjadi lemah, sehingga kontrol terhadap
pelaksanaan pemerintahan menjadi tidak berjalan. Akibat dari kesemuanya itu
adalah krisis multidimensional yang dialami Indonesia di pertengahan tahun
1997 tidak dapat tertanggulangi.
Reformasi Indonesia yang utama adalah menuju tatanan kehidupan
ketatanegaraan yang demokratis dapat dilihat dari ketiga periode sebagaimana
dikemukakan oleh Huntington. Ketiga periode yang dimaksud adalah
pertama, pengakhiran rezim nondemokratis, yakni ditandai dengan
tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto sebagai akibat ketidakmampuan
dalam mempertahankan legitimasi di hadapan masa rakyat dan mahasiswa.
Kedua, pengukuhan rezim demokratis yang ditandai dengan dilaksanakannya
pemilu tahun 1999 dengan sistem multipartai. Dalam periode ini terpilih
presiden dan wakil presiden yakni Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, sebagai
presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden. Ketiga, periode
konsolidasi sistem demokratis ditandai dengan adanya pembenahan struktur
ketatanegaraan Indonesia, seperti amandemen UUD 1945 oleh MPR melalui
Panitia Ad-Hoc I MPR-RI.
Dalam amandemen UUD 1945 tersebut, antara lain ditegaskan bahwa
sistem pemerintahan presidensial akan tetap dipertahankan bahkan diperkuat
melalui mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.
Pasal-pasal yang terkait dengan hal tersebut dan yang telah diamandemen
adalah sebagai berikut.
a. Pasal 5 ayat 1 menegaskan : “presiden berhak mengajukan Rancangan
Undang Undang kepada DPR.”
b. Pasal 7 menegaskan : “Presiden dan Wakil presiden memegang jabatan
selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
c. Pasal 17 ayat 2 menyatakan : “Menteri-menteri diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.”
d. Pasal 20 ayat 1 menyatakan : “DPR memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang.”
Kendati pasal-pasal UUD 1945 yang sudah diamandemen tersebut
memberikan indikasi pelaksanaan sistem presidensial, tetapi dalam praktik
penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia, ini masih belum dilaksanakan
secara murni. Hal ini tertuang dalam Tap MPR No. VI/MPR/1999 tentang
Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI. Dalam
pasal 8 menyatakan sebagai berikut.
a. Fraksi dapat mengajukan seorang calon presiden
b. Calon presiden dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 70 orang anggota
majelis yang terdiri atas satu fraksi atau lebih
c. Setiap anggota majelis hanya boleh menggunakan salah satu cara
pengajuan calon presiden sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 dan 2
pasal ini.
Memperhatikan ketentuan ini, tampak jelas bahwa pemilihan presiden
tidak dilakukan secara langsung, melainkan masih merupakan wewenang dari
MPR melalui pengusulan oleh anggota MPR maupun fraksi. Ini berarti dalam
hal rekruitmen kepala pemerintahan masih tetap menggunakan pola sistem
parlementer.
Sistem pemerintahan parlementer ini semakin menunjukkan eksitensinya
ketika Presiden Gus Dur memperoleh memorandum I,II,dan III oleh DPR
karena dianggap terlibat dalam kasus penyelewengan dan Bulog dan bantuan
dari Sultan Brunei. Kasus ini disebut sebagai kasus “Bullogate” dan
“Brunaigate”.
Akhir dari konflik eksekutif dan legislatif ini mengakibatkan Presiden Gus
Dur dilengserkan oleh MPR melalui keputusan pada Sidang Istimewa MPR
tahun 2001. Presiden Gus Dur selanjutnya digantikan oleh Wakil Presiden,
Megawati Soekarnoputri. Kemudian dalam sidang tahunan MPR tahun 2001,
Megawati Soekarnoputri diangkat menjadi presiden dan didampingi oleh
Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden.
Berdasarkan sidang tahunan MPR tahun 2002, di dalam amandemen
keempat UUD 1945 ditegaskan bahwa presiden dan wakil presiden, dipilih
langsung oleh rakyat. Di dalam pasal 6A UUD 1945, antara lain sbb :
1. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat
2. Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum
3. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih
dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya
20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
4. Dalam hal tidak ada pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih,
dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai pasangan
Presiden dan Wakil Presiden.
5. Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut
diatur oleh Undang-undang
Berdasarkan ketentuan tersebut, presiden dan wakil presiden tidak lagi
bertanggung jawab kepada MPR, melainkan bertanggung jawab secara
langsung kepada rakyat. Berkaitan dengan hal ini, pasal 3 ayat 3 amandemen
UUD 1945 menegaskan bahwa “MPR hanya dapat memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD”. Menurut
pasal 7A UUD 1945, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR ini atas usul DPR, baik
apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum yang berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
tersebut, DPR terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah
konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR
tentang adanya indikasi perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 7B UUD
1945 menyatakan sebagai berikut.
1. Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh
DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau
pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
2. Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka
pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.
3. Pengajuan Permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat
dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
4. Mahkamah konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan
seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lambat 90 hari
setelah permintaan
5. Apabila mahkamah konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada
MPR
6. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR
tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut
7. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden harus diambil dalam rapat paripurna. MPR yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota yang disetujui oleh sekurang-
kurangnya ¾ dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau
Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat
paripurna MPR.
Berdasarkan mekanisme pertanggungjawaban tersebut, setelah UUD 1945
diamandemen, terdapat perubahan sistem pemerintahan negara RI yang cukup
fundamental. Perubahan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut :
a. Sistem pemerintahan negara mempergunakan sistem presidensial
murni
b. Presiden dan/atau Wakil Presiden serta parlemen yang terdiri atas dua
kamar dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum
c. Di bidang politik, kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden serta
parlemen sama-sama kuat.
d. Dikenal adanya lembaga peradilan konstitusi, yakni Mahkamah
Konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan
impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden jikalau
ditengarai telah melakukan pelanggaran cukup berat.
e. Pertanggungjawaban yang dibebankan kepada Presiden dan/atau Wakil
Presiden kepada parlemen harus diawali dengan adanya
pertanggungjawaban hukum (yuridis). Adapun jika
pertanggungjawaban politis merupakan konsekuensi logis, jika
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pertanggungjawaban hukum tersebut.

B. PERBANDINGAN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL DAN


PARLEMENTER

1. Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan


Perbedaan pertama yaitu perbedaan sistem Pemerintahan Presidensial dengan
Parlementer untuk sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan
parlementer adalah pada kepala negara dan kepala pemerintahannya.
a. Sistem pemerintahan presidensial baik kepala negara maupun kepala
pemerintahannya dijabat oleh seorang presiden sehingga tidak ada
pemisahan diantara keduanya. Dengan demikian presiden berwenang
dalam mengatur jalannya pemerintahan sekaligus berfungsi secara
simbolis.
b. Sistem pemerintahan parlementer memiliki presiden / sultan / raja sebagai
kepala negara yang fungsinya hanya secara simbolis sehingga berperan
secara seremonial dalam melantik, mengesahkan, maupun mengukuhkan
UU (Undang-Undang) dan kabinet. Untuk membantu menjalankan
pemerintahannya, presiden dibantu oleh perdana menteri yang berperan
sebagai kepala pemerintahan. Dengan kata lain, terdapat pemisahan yang
tegas antara kepala negara dan kepala pemerintahan.
2. Pemilihan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
Pemilihan kepala negara dan kepala pemerintahan pada sistem pemerintahan
yang berbeda melalui mekanisme yang berbeda pula, perbedaannya adalah:
a. Pada sistem pemerintahan presidensial kepala negara yang sekaligus
menjabat sebagai kepala pemerintahan dipilih secara langsung oleh rakyat
melalui pemilu dimana pelaksanaan pemilu ini diselenggarakan menjelang
habisnya masa jabatan presiden dan wakil presiden periode sebelumnya.
b. Pada sistem pemerintahan parlementer, perdana menteri dipilih oleh
parlemen melalui penunjukan secara langsung untuk menjalankan fungsi
eksekutif. Dalam sistem pemerintahan ini, pemilu oleh rakyat dilakukan
hanya untuk memilih anggota parlemen.

3. Lembaga Supremasi Tertinggi


Terdapat perbedaan besar terkait lembaga tertinggi negara untuk sistem
pemerintahan tertentu, perbedaan keduanya adalah:
a. Pada sistem pemerintahan presidensial tidak ada istilah lembaga
supremasi tertinggi atau lembaga tertinggi negara, yang ada adalah
supremasi konstitusi dimana kedaulatan rakyatlah yang dijunjung tinggi.
Meskipun demikian, antar lembaga negara masih dapat saling mengawasi
guna menghindari penyebab terjadinya tindakan penyalahgunaan
wewenang dan menghindari dampak korupsi bagi negara.
b. Pada sistem pemerintahan parlementer, masih terdapat lembaga supremasi
tertinggi yaitu parlemen dimana parlemen memiliki kekuasaan besar
dalam negara baik sebagai badan perwakilan maupun badan legislatif.

4. Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif


Pada sistem pemerintahan yang berbeda menunjukkan kekuasaan eksekutif
dan legislatif yang berbeda pula, yakni:
a. Sistem pemerintahan presidensial mengijinkan kekuasaan eksekutif dan
legislatif berjalan sejajar artinya kekuasaan keduanya sama-sama kuat
sehingga tidak dapat saling menjatuhkan.
b. Sistem pemerintahan parlementer tidak mengijinkan kesetaraan
kedudukan antara eksekutif dan legislatif seperti dalam sistem
pemerintahan presidensial. Dalam sistem tersebut, kabinet dalam hal ini
perdana menteri beserta menteri dapat dijatuhkan oleh parlemen melalui
mosi tidak percaya. Namun, jika perselisihan antara kabinet dan parlemen
menunjukkan kabinetlah yang berada pada pihak yang benar, maka kepala
negara berhak membubarkan parlemen.

5. Pembagian Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif


Eksekutif dan legislatif merupakan dua lembaga yang ada dalam sebuah
negara, keduanya memiliki perannya masing-masing yang mana berbeda
sistem pemerintahan dalam perbedaan sistem Pemerintahan Presidensial
dengan Parlementer maka berbeda pula peran lembaga tersebut. Perbedaan
keduanya seperti diuraikan di bawah ini :
a. Terdapat pembagian kekuasaan yang jelas antara eksekutif dan legislatif
dalam sistem pemerintahan presidensial baik secara kelembagaan maupun
secara kepersonalan anggota. Hal ini dikarenakan ditetapkannya aturan
perundang-undangan tentang larangan merangkap jabatan eksekutif dan
legislatif.
b. Pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif dalam sistem
pemerintahan parlementer tidak begitu jelas karena eksekutif dipilih dari
anggota legislatif atau bisa dikatakan kabinet dipilih dari anggota
parlemen.

6. Tanggung Jawab Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan


Oleh karena pemilihan kepala negara dan kepala pemerintahan pada sistem
pemerintahan presidensial dan parlementer dilakukan dengan cara yang
berbeda maka sistem pertanggungjawabannya pun juga berbeda, yakni:
a. Pada sistem pemerintahan presidensial, kepala negara dan kepala
pemerintahan yakni presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga
ia bertanggung jawab terhadap kedaulatan rakyat. Selain itu, seluruh
tindakannya harus dipertanggungjawabkan terhadap konstitusi negara.
Sistem seperti ini dapat membuat pertangungjawaban presiden kurang
jelas. Untuk mengontrol tindakan pemerintah diperlukan pengawasan dari
berbagai pihak untuk selalu kritis dan tanggap.
b. Pemilihan kepala pemerintahan pada sistem pemerintahan parlementer
oleh parlemen, membuat sistem pertanggungjawaban kabinet yakni
perdana menteri dan para menteri dilakukan secara langsung kepada
parlemen. Kabinet berada di bawah pengawasan parlemen secara langsung
maka pertanggungjawabannya menjadi jelas karena dapat dilakukan
pengawasan secara intens.

7. Masa Jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan


Masa jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan pada sistem
pemerintahan dan parlementer berbeda, adapun perbedaan keduanya adalah:
a. Masa jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan pada negara dengan
sistem pemerintahan presidensial jelas karena sudah diatur di dalam UU
misalnya setiap 5 (lima) tahun atau 6 (enam) tahun sekali. Untuk di
Indonesia sendiri dilaksanakan setiap lima tahun sekali yang mana
presiden terpilih hanya dapat menduduki jabatannya maksimal 2 (dua) kali
periode pemilihan berturut-turut.
b. Presiden pada sistem pemerintahan parlementer dipilih secara langsung
oleh parlemen atau suatu badan pemilihan umum. Adapun masa jabatan
perdana menteri pada sistem pemerintahan parlementer tidaklah menentu
karena semua tergantung dari parlemen. Dengan demikian, bisa saja dalam
1 (satu) tahun dilakukan penggantian perdana menteri secara berulang-
ulang.

8. Pembentukan Kabinet
Pembentukan kabinet beserta mekanisme tanggung jawabnya berbeda antara
sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer,
adapun yang membedakannya adalah :
a. Pada sistem pemerintahan presidensial, kabinet dipilih dan dilantik sendiri
oleh presiden. Mekanisme pemilihannya pun merupakan hak prerogatif
yang dimiliki presiden karena tidak adanya UU yang mengaturnya secara
khusus. Karena kabinet yang terdiri para menteri dibentuk sendiri oleh
presiden maka sistem pertanggungjawabannya langsung kepada presiden
bukan kepada parlemen.
b. Pada sistem pemerintahan parlementer, kabinet dibentuk oleh parlemen
yang mana setiap anggota kabinet merupakan anggota terpilih dari
parlemen sehingga bertanggung jawab langsung kepada parlemen.
Kabinet ini berada dalam lingkup tanggung jawab perdana menteri dan
bukanlah presiden seperti pada sistem pemerinatahan presidensial.

9. Peran Partai Politik


Peran partai politik sangat berpengaruh terhadap berjalannya sistem
pemerintahan, terdapat ciri khas tertentu dari sistem pemerintahan presidensial
maupun parlementer yang mana perbedaan keduanya adalah sebagai berikut:
a. Dalam sistem pemerintahan presidensial partai politik berperan menjadi
fasilitator yang mengusung calon presiden dan wakil presiden. Partai
politik tidak memiliki wewenang dalam memasukkan ideologi politik
kepada calon yang diusung. Presiden dan wakil presiden hanya
bertanggung jawab secara personal kepada partai politik tersebut.
b. Dalam sistem pemerintahan parlementer, partai politik dapat memasukkan
ideologi politik sehingga mempengaruhi kepemimpinan presiden dan
wakil presiden terpilih. Anggotanya juga terdiri dari orang partai politik
yang menang dalam pemilu.

10. Legitimasi
Proses pemilihan kepala negara dan kepala pemerintahan yang berbeda pada
sistem pemerintahan yang berbeda membuat legitimasi yang berbeda pula,
yakni :
a. Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam sistem pemerintahan
presidensial sehingga legitimasinya didapatkan dari rakyat. Hal ini dapat
memperkuat posisi presiden yang mana telah mendapatkan suara dari
sebagian besar warga negaranya.
b. Pada sistem pemerintahan parlementer, legitimasi didapatkan dari parlemen
sehingga posisi perdana menteri dalam memerintah negara dinilai kurang kuat
karena tidak mendapat dukungan dari rakyat secara langsung.
11. Penyesuaian Pelaksanaan Program Kerja
Pemerintah selalu membuat berbagai program kerja demi tercapainya tujuan
pembangunan nasional. Ketika terdapat pergantian jabatan maka program
kerja yang dilaksanakan pun juga berbeda. Masa jabatan yang berbeda dalam
sistem pemerintahan presidensial dan parlementer membuat perbedaan besar
dalam penyesuaian pelaksanakan program kerja, yakni :
a. Pada sistem pemerintahan presidensial, masa jabatan presiden sebagai
kepala pemerintahan sudah diatu di dalam UU sehingga dalam membuat
program kerjanya pemerintah telah memikirkan dengan baik alokasi
waktu pelaksanaan program kerja yang disusunnya. Dengan kata lain
dalam sistem pemerintahan presidensial proses penyesuaian program kerja
dari periode lama ke periode yang baru lebih mudah.
b. Pada sistem pemerintahan parlementer, masa jabatan pemerintah sangat
bergantung pada parlemen sehingga tidak dapat dipastikan kapan kabinet
akan turun dari jabatannya. Dengan demikian melesetnya alokasi waktu
pelaksanaan program kerja akan sering terjadi dan proses penyesuaian
program kerja dari kabinet yang lama kepada kabinet yang baru lebih
sulit.

12. Kestabilan Posisi Eksekutif


Selain beberapa hal di atas, kestabilan posisi lembaga eksekutif juga sangat
berbeda antara sistem pemerintahan presiden sial dan parlementer yaitu:
a. Pada sistem pemerintahan presidensial, masa jabatan yang jelas dalam UU
dan kekuasaan eksekutif yang sejajar dengan legislatif membuat posisi
eksekutif dalam sistem pemerintahan ini lebih stabil.
b. Pada sistem pemerintahan parlementer kekuasaan eksekutif cenderung
tidak stabil karena sangat tergantung oleh parlemen.

13. Pemilihan Umum


Pemilihan umum dilakukan oleh suatu negara untuk memilih pemimpinnya
yang mana terdapat perbedaan mengenai orang-orang yang dipilih dalam
pemilu tersebut jika dilihat dari sistem pemerintahan yang dianut oleh negara,
yakni :
a. Pada sistem pemerintahan presidensial pemilu diadakan untuk memilih
presiden beserta wakil presiden dan anggota legislatif baik untuk
kabupaten/kota, propinsi, maupun pusat. Mengikuti pemilu dengan baik
merupakan contoh sikap nasionalisme dan patriotisme.
b. Pada sistem pemerintahan parlementer pemilu diakan semata-mata hanya
untuk memilih anggota parlemen dan bukannya memilih presiden beserta
wakil presiden karena keduanya dipilih dari anggota parlemen.

Anda mungkin juga menyukai