Makalah
Makalah
6. Periode Reformasi
Setelah tumbangnya Orde baru maka dimulailah pentahapan konsolidasi
sistem demokrasi di Indonesia. Konsolidasi tersebut antara lain adalah
melakukan perubahan dan penggantian berbagai peraturan perundang-
undangan yang dirasa tidak memberikan ruang bagi kehidupan demokrasi dan
prinsip-prinsip kedaulatan rakyat.
Gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa Indonesia mencapai
puncak dengan mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan
nasional pada 20 Mei 1998. Selama Presiden Soeharto memegang kekuasaan
negara selama 30 tahun, sistem pemerintahan RI mengarah pada supremasi
eksekutif. Ini mengakibatkan langgam politik ketatanegaraan Indonesia justru
mengarah pada pola otoriterisme.
Kondisi semacam inilah yang mengakibatkan akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintahan menjadi lemah, sehingga kontrol terhadap
pelaksanaan pemerintahan menjadi tidak berjalan. Akibat dari kesemuanya itu
adalah krisis multidimensional yang dialami Indonesia di pertengahan tahun
1997 tidak dapat tertanggulangi.
Reformasi Indonesia yang utama adalah menuju tatanan kehidupan
ketatanegaraan yang demokratis dapat dilihat dari ketiga periode sebagaimana
dikemukakan oleh Huntington. Ketiga periode yang dimaksud adalah
pertama, pengakhiran rezim nondemokratis, yakni ditandai dengan
tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto sebagai akibat ketidakmampuan
dalam mempertahankan legitimasi di hadapan masa rakyat dan mahasiswa.
Kedua, pengukuhan rezim demokratis yang ditandai dengan dilaksanakannya
pemilu tahun 1999 dengan sistem multipartai. Dalam periode ini terpilih
presiden dan wakil presiden yakni Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, sebagai
presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden. Ketiga, periode
konsolidasi sistem demokratis ditandai dengan adanya pembenahan struktur
ketatanegaraan Indonesia, seperti amandemen UUD 1945 oleh MPR melalui
Panitia Ad-Hoc I MPR-RI.
Dalam amandemen UUD 1945 tersebut, antara lain ditegaskan bahwa
sistem pemerintahan presidensial akan tetap dipertahankan bahkan diperkuat
melalui mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.
Pasal-pasal yang terkait dengan hal tersebut dan yang telah diamandemen
adalah sebagai berikut.
a. Pasal 5 ayat 1 menegaskan : “presiden berhak mengajukan Rancangan
Undang Undang kepada DPR.”
b. Pasal 7 menegaskan : “Presiden dan Wakil presiden memegang jabatan
selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
c. Pasal 17 ayat 2 menyatakan : “Menteri-menteri diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.”
d. Pasal 20 ayat 1 menyatakan : “DPR memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang.”
Kendati pasal-pasal UUD 1945 yang sudah diamandemen tersebut
memberikan indikasi pelaksanaan sistem presidensial, tetapi dalam praktik
penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia, ini masih belum dilaksanakan
secara murni. Hal ini tertuang dalam Tap MPR No. VI/MPR/1999 tentang
Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI. Dalam
pasal 8 menyatakan sebagai berikut.
a. Fraksi dapat mengajukan seorang calon presiden
b. Calon presiden dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 70 orang anggota
majelis yang terdiri atas satu fraksi atau lebih
c. Setiap anggota majelis hanya boleh menggunakan salah satu cara
pengajuan calon presiden sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 dan 2
pasal ini.
Memperhatikan ketentuan ini, tampak jelas bahwa pemilihan presiden
tidak dilakukan secara langsung, melainkan masih merupakan wewenang dari
MPR melalui pengusulan oleh anggota MPR maupun fraksi. Ini berarti dalam
hal rekruitmen kepala pemerintahan masih tetap menggunakan pola sistem
parlementer.
Sistem pemerintahan parlementer ini semakin menunjukkan eksitensinya
ketika Presiden Gus Dur memperoleh memorandum I,II,dan III oleh DPR
karena dianggap terlibat dalam kasus penyelewengan dan Bulog dan bantuan
dari Sultan Brunei. Kasus ini disebut sebagai kasus “Bullogate” dan
“Brunaigate”.
Akhir dari konflik eksekutif dan legislatif ini mengakibatkan Presiden Gus
Dur dilengserkan oleh MPR melalui keputusan pada Sidang Istimewa MPR
tahun 2001. Presiden Gus Dur selanjutnya digantikan oleh Wakil Presiden,
Megawati Soekarnoputri. Kemudian dalam sidang tahunan MPR tahun 2001,
Megawati Soekarnoputri diangkat menjadi presiden dan didampingi oleh
Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden.
Berdasarkan sidang tahunan MPR tahun 2002, di dalam amandemen
keempat UUD 1945 ditegaskan bahwa presiden dan wakil presiden, dipilih
langsung oleh rakyat. Di dalam pasal 6A UUD 1945, antara lain sbb :
1. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat
2. Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum
3. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih
dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya
20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
4. Dalam hal tidak ada pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih,
dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai pasangan
Presiden dan Wakil Presiden.
5. Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut
diatur oleh Undang-undang
Berdasarkan ketentuan tersebut, presiden dan wakil presiden tidak lagi
bertanggung jawab kepada MPR, melainkan bertanggung jawab secara
langsung kepada rakyat. Berkaitan dengan hal ini, pasal 3 ayat 3 amandemen
UUD 1945 menegaskan bahwa “MPR hanya dapat memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD”. Menurut
pasal 7A UUD 1945, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR ini atas usul DPR, baik
apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum yang berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
tersebut, DPR terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah
konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR
tentang adanya indikasi perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 7B UUD
1945 menyatakan sebagai berikut.
1. Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh
DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau
pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
2. Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka
pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.
3. Pengajuan Permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat
dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
4. Mahkamah konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan
seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lambat 90 hari
setelah permintaan
5. Apabila mahkamah konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada
MPR
6. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR
tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut
7. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden harus diambil dalam rapat paripurna. MPR yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota yang disetujui oleh sekurang-
kurangnya ¾ dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau
Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat
paripurna MPR.
Berdasarkan mekanisme pertanggungjawaban tersebut, setelah UUD 1945
diamandemen, terdapat perubahan sistem pemerintahan negara RI yang cukup
fundamental. Perubahan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut :
a. Sistem pemerintahan negara mempergunakan sistem presidensial
murni
b. Presiden dan/atau Wakil Presiden serta parlemen yang terdiri atas dua
kamar dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum
c. Di bidang politik, kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden serta
parlemen sama-sama kuat.
d. Dikenal adanya lembaga peradilan konstitusi, yakni Mahkamah
Konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan
impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden jikalau
ditengarai telah melakukan pelanggaran cukup berat.
e. Pertanggungjawaban yang dibebankan kepada Presiden dan/atau Wakil
Presiden kepada parlemen harus diawali dengan adanya
pertanggungjawaban hukum (yuridis). Adapun jika
pertanggungjawaban politis merupakan konsekuensi logis, jika
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pertanggungjawaban hukum tersebut.
8. Pembentukan Kabinet
Pembentukan kabinet beserta mekanisme tanggung jawabnya berbeda antara
sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer,
adapun yang membedakannya adalah :
a. Pada sistem pemerintahan presidensial, kabinet dipilih dan dilantik sendiri
oleh presiden. Mekanisme pemilihannya pun merupakan hak prerogatif
yang dimiliki presiden karena tidak adanya UU yang mengaturnya secara
khusus. Karena kabinet yang terdiri para menteri dibentuk sendiri oleh
presiden maka sistem pertanggungjawabannya langsung kepada presiden
bukan kepada parlemen.
b. Pada sistem pemerintahan parlementer, kabinet dibentuk oleh parlemen
yang mana setiap anggota kabinet merupakan anggota terpilih dari
parlemen sehingga bertanggung jawab langsung kepada parlemen.
Kabinet ini berada dalam lingkup tanggung jawab perdana menteri dan
bukanlah presiden seperti pada sistem pemerinatahan presidensial.
10. Legitimasi
Proses pemilihan kepala negara dan kepala pemerintahan yang berbeda pada
sistem pemerintahan yang berbeda membuat legitimasi yang berbeda pula,
yakni :
a. Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam sistem pemerintahan
presidensial sehingga legitimasinya didapatkan dari rakyat. Hal ini dapat
memperkuat posisi presiden yang mana telah mendapatkan suara dari
sebagian besar warga negaranya.
b. Pada sistem pemerintahan parlementer, legitimasi didapatkan dari parlemen
sehingga posisi perdana menteri dalam memerintah negara dinilai kurang kuat
karena tidak mendapat dukungan dari rakyat secara langsung.
11. Penyesuaian Pelaksanaan Program Kerja
Pemerintah selalu membuat berbagai program kerja demi tercapainya tujuan
pembangunan nasional. Ketika terdapat pergantian jabatan maka program
kerja yang dilaksanakan pun juga berbeda. Masa jabatan yang berbeda dalam
sistem pemerintahan presidensial dan parlementer membuat perbedaan besar
dalam penyesuaian pelaksanakan program kerja, yakni :
a. Pada sistem pemerintahan presidensial, masa jabatan presiden sebagai
kepala pemerintahan sudah diatu di dalam UU sehingga dalam membuat
program kerjanya pemerintah telah memikirkan dengan baik alokasi
waktu pelaksanaan program kerja yang disusunnya. Dengan kata lain
dalam sistem pemerintahan presidensial proses penyesuaian program kerja
dari periode lama ke periode yang baru lebih mudah.
b. Pada sistem pemerintahan parlementer, masa jabatan pemerintah sangat
bergantung pada parlemen sehingga tidak dapat dipastikan kapan kabinet
akan turun dari jabatannya. Dengan demikian melesetnya alokasi waktu
pelaksanaan program kerja akan sering terjadi dan proses penyesuaian
program kerja dari kabinet yang lama kepada kabinet yang baru lebih
sulit.