Anda di halaman 1dari 26

A.

Definisi Typus Abdominlis


Typhoid fever (typhus abdominalis, enteric fever) adalah infeksi sistemik yang
disebabkan oleh salmonella enteric, khususnya keturunannya yaitu salmonella typhi,
paratyphi A, paratyphi B, paratyphi C pada saluran pencernaan terutama menyerang
bagian saluran pencernaan. Typhus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut yang
selalu ada di masyarakat (endemic) di Indonesia mulai dari usia balita , anak-anak, dan
dewasa (Suratun, 2010).
Demam tifoid atau sering disebut dengan tifus abdominalis adalah penyakit infeksi
akut pada saluran pencernaan yang berpotensi menjadi penyakit multisistemik yang
disebabkan oleh salmonella typhi (Arif Muttaqin, 2011).
Merupakan suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan
bacteremia tanpa keterlibatan struktur edhothelia atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi kedalam sel fagosit monocular dari hati, limpa, kelenjar limfe usus
dan peyer’s patch dan dapat menular pada orang lain melalui makanan atau air yang
terkontaminasi (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 178)
Jadi, Thypoid merupakan penyakit disebabkan oleh bakteri Salmonella Thypi yang
menyerang sistem pencernaan khusunya usus halus. Ditandai dengan adanya demam dan
mual muntah pada penderita.

B. Anatomi dan Fisiologi


Usus halus yang panjangnya lebih kurang 6 meter merupakan lokasi utama proses
pencernaan (digesti) dan penyerapan (absorpsi) makanan. Organ ini dibagi menjadi tiga
bagian yaitu: duodenum, jejnunum dan ileum. Sebagian besar duodenum terletak
retroperitoneal (bagian kedua, ketiga dan keempat) yang dimulai pada tempat sambungan
gastroduodenal/gastroduodenal junction di daerah sfingter pylorus, dan dibagi menjadi
empat bagian:
a. Superior (bagian pertama): satu-satunya segmen peritoneal duodenum yang
sebenarnya; bagian ini melekat di sebelah superior pada ligamentum hepatoduodenal
dan di sebelah inferior pada omentum mayus.
b. Desending (bagian kedua): lokasi retropritoneal yang terfiksasi; menerima baik duktus
koledokus maupun duktus pankreatikus mayor lewat ampula hepatopankreatikus
(Vateri).
c. Horizontal (bagian ketiga): lokasi retroperitoneal yang terfiksasi pada level L3; bagian
ini terletak diantara divergensi arteri mesenterika superior dan aorta.
d. Asending (bagian keempat): retroperitoneal; bertemu dengan jejunum pada fleksura
duodenum jejunalis dan ditentukan lokasinya oleh muskulus suspensorium duodenum
(ligamentum Treitz).

Sesudah duodenum, terdapat usus halus yang dapat bergerak/mobile dan tergantung
oleh mesenterium di dalam kavum peritonei. Jejunum menempati bagian tipe per lima
proksimal dari usus halus yang lain. Ileum menempati bagian dua per lima distal lainnya
dan berakhir pada valvula ileosekalis yang menandai awal usus besar (kolon).
Plika sirkularis, vili intestinalis dan kripta Lieberkuhn membentuk gambaran histologist
utama usus halus dan tersusun dari berbagai tipe sel.
a. Plika sirkularis: lipatan sirkular submukosa yang berjalan sepanjang setengah atau dua
per tiga dari jalan melingkari lumen. Struktur ini dimulai dalam duodenum, terdapat
paling sering di dalam jejunum bagian proksimal dan mengalami pengurangan ukuran
serta frekuensinya ketika menuju ileum terminalis.
b. Vili intestinalis: tonjoloan intraluminal lamina propria yang tingginya ~1mm; setiap
tonjolan atau proyeksi ini mengandung sebuah cabang terminal pembuluh arteri, vena
dan percabangan limfatik (lakteal).
c. Kripta Lieberkuhn: rongga diantara vili intestinalis yang bertanggung jawab atas
proliferasi sel (sel punca multipotensial putative dalam kripta tersebut dianggap
berfungsi sebagai sel progenitor dari empat tipe utama sel yang terdapat dalam vili
tersebut yaitu: enterosit, sel goblet, sel enteroendokrin dan sel Paneth).
d. Enterosit: sel epitel permukaan yang bertanggung jawab atas absorbs maupun sekresi
beberapa enzim pencernaan. Dibawah mikroskop electron terlihat mikrovili dalam
jumlah yang besar pada setiap enterosit, sehingga meningkatkan lebih lanjut
permukaan absorbs intestinum hingga 600x lipat. Sel-sel ini membentuk brush border
yang menghadap kea rah lumen intestinal dan turut terlibat dalam pengaturan
keseimbangan H2O serta elektrolit di dalam usus halus.
e. Sel goblet: mensekresi mucus ke dalam lumen GI; sel ini semakin bertambah banyak
dalam perjalanan dari duodenum ke ileum terminalis.
f. Sel enteroendokrin: mensekresi hprmon endokrin (misalnya CCK, sekretin, GIP,
motilin) dan parakrin (misalnya somatostatin, histamin) ke dalam aliran darah.
g. Sel Paneth: mensekresi growth factor dan substansi antimikroba (misalnya lisozim, α-
defensin) ke dalam lumen usus sebagai komponen imunitas bawaan.
h. Sel M (mikrofold): sel epitel yang mengalami modifikasi dan menutupi nodul limfatik
(plak Peyeri) dalam lamina propria. Sel ini mengandung mikrofold (lipatan mikro)
yang mengambil mikroorganisme dan makromolekul dalam vesikel endositosis untuk
membawanya kepada limfosit T CD4+.

Struktur:
Membrane mukosa berbentuk banyak lipatan sirkular atau semi-sirkular, atau
spiral. Seluruh permukaannya ditandai dengan jutaan vili; vilus adalah tonjolan kecil yang
ditutupi oleh selapis sel dan mengandung pembuluh darah, kelenjar limfe, saraf, dan serat
otot.
Plak Peyeri adalah plak jaringan limfe pada membrane mukosa; sering terdapat
pada ileum daripada jejunum. Lapisan submukosa. Lapisan muscular: serta sirkular dan
longitudinal. Peritoneum.
Ulkus duodenum (serupa dengan ulkus gaster) dapat terjadi pada bagian I
duodenum, dimana makanan yang telah dicerna sebgian bersifat asam. Dibawah tingkat
muara pankreatik-biliaris, isi duodenum dibuat menjadi basa oleh getah pancreas dan
empedu dan tidak terjadi ulserasi.

Pada penyakit malabsorbsi (mis. Steatorea idiopatik) terdapat kegagalan usus halus
untuk menyerap makanan, vitamin, dan garam. Hal ini menyebabkan penurunan berat,
dedisiensi vitamin, defisiensi garam, dan anemia.
Divertikulum Meckel dapat meradang. Pada demam typhoid, plak Peyeri meradang
dan dapat mengalami ulserasi, kadang-kadang menyebabkan perforasi ke dalam rongga
peritoneal.
Absorbsi makanan yang telah dicernakan seluruhnya berlangsung di dalam usus
halus melalui dua saluran, yaitu pembuluh kapiler darah dan saluran limfe di vili di sebalah
dalam permukaan usus halus. Sebuah vilus berisi lacteal, pembuluh darah, epithelium dan
jaringan otot yang diikat bersama oleh jaringan limfoid. Lacteal sentralis berakhir menjadi
ujung buntu, sedangkan jaringan otot datar melaluinya, dan pembuluh kapiler darah
mengitarinya. Kemudian seluruhnya diselimuti oleh membrane dasar dan ditutupi oleh
epithelium. Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair
atau khime, dan lemak diabsorbsi ke dalam lacteal. Lemak yang telah diabsorbsi kemudian
berjalan melalui banyak pembuluh limfe ke reseptakulum khili, dan kemudian oleh saluran
torasika ke aliran darah.
Semua makanan yang telah dicernakan langsung masuk ke dalam pembuluh kapiler
darah di vili, dan oleh vena portal dibawa ke hati untuk mengalami beberapa perubahan.

C. Etiologi Tyhpus Abdominalis


Tyhpus Abdominalis disebabkan oleh
 Salmonella Typhi
 Paratyphi A
 Paratyphi B
 Paratyphi C
Salmonella typhi merupakan hasil gram negative, berflagel, dan tidak berspora,
anaerob fakultatif, masuk dalam keluarga enterobacteriaceae, panjang 1-3 µm, lebar 0,5-
0,7 µm, bentuk batang single atau berpasangan. Salmonella hidup dengan baik pada suhu
370C dan dapat pada air steril yang beku dan dingin, air tanah, air laut, dan debu selama
berminggu-minggu, dapat hidup berbulan-bulan dalam telur yang terkontaminasi dan tiram
beku. Parasit hanya pada tubuh manusia. Dapat dimatikan dalam suhu 600C dalam 15
menit. Hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu. S. typhi memiliki 3
macam antigen yaitu antigen O (somatic berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel),
dan antigen Vi. Dalam serum penderita demam typhoid akan membentuk antobodi
terhadap ketiga macam antigen tersebut.

D. Patofisiologi Typhus Abdominalis


Kuman masuk ke dalam mulut melalui makanan/minuman yang tercemar oleh
salmonella (biasanya > 10.000 basil kuman). Sebagian kuman dapat dimusnahkan oleh
HCl lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Jika respon imunitas humoral mukosa
(IgA) usus kurang baik maka basil salmonella akan menembus sel-sel epitel (sel M) dan
selanjutnya ke lamina propia dan berkembang biak di jaringan limfoid plak peyeri di ileum
distal dan kelenjar getah bening mesenterika dan mengalami hiperplasia.
Basil tersebut masuk ke aliran darah (bakterimia) melalui duktus thoracicus dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati, sumsum tulang dan
limfa melalui sirkulasi portal dari usus. Hati membesar (hepatomegali) dengan infiltrasi
limfosit, zat plasma dan sel mononuclear, serta terdapat nekrosis lokal dan pembesaran
limpa (splenomegali).
Di organ ini kuman S. Typhi berkembang biak dan masuk sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakterimia kedua disertai tanda dan gejala infeksi sistemik (demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan
koagulasi). Pendarahan saluran cerna terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak
peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia. Proses patologis ini dapat
berlangsung hingga ke lapisan otot, serosa usus dan mengakibatkan perforasi usus.
Endotoksin basil menempel di reseptor sel endotel kapiler dan dapat
mengakibatkan komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskular, pernapasan
dan gangguan organ lainnya.
Pada minggu pertama sakit, terjadi hyperplasia (pembesaran sel-sel) plak peyeri.
Ini terjadi pada kelenjar limfoid usus halus. Pada minggu kedua terjadi nekrosis dan pada
minggu ketiga terjadi ulserasi plak peyeri. Pada minggu ke empat terjadi penyembuhan
ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan, bahkan
sampai perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mesentrial dan limfa membesar.
Gejala demam disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala pada saluran pencernaan
disebabkan oleh kelainan pada usus halus.

E. Manifestasi Klinis Typhus Abdominalis


Manifestasi klinis demam typhoid yang disebabkan oleh S. paratyphi lebih ringan
dari pada S. typhi.
Masa inkubasi dapat berlansung 7-21 hari, walaupun pada umunya adalah 10-14
hari. Masa awal penyakit, tanda dan gejala berupa anoreksia, rasa malas, sakit kepala
bagian depan, nyeri otot, lidah kotor( putih ditenggah dan tepi lidah kemerahan, kadang
disertai tremor lidah), nyeri perut sehingga dapat tidak terdiagnosis karena gejala mirip
dengan penyakit lainnya.
Gambaran klinis typhus abdominalis terbagi atas 4 fase yaitu :
1. Minggu pertama(awal terinfeksi), setelah masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit
berupa demam tinggi sekitar 390C-400C, sakit kepala dan pusing, pegal pada otot, mual
dan muntah, batuk, nadi meningkat, denyut lemah, perut kembung, dapat terjadi diare
atau konstipasi, epitaksis, dan lidah kotor. Pada akhir minggu pertama lebih sering
terjadi diare, namun demikian biasanya diare lebih sering terjadi pada anak-anak
sedangkan konstipasi lebih sering terjadi pada orang dewasa. Bercak-bercak merah
yang berupa macula papula disebut roseolae karena adanya thrombus emboli basil pada
kulit terjadi pada hari ke-7 dan berlangsung 3-5 hari dan kemudian
menghilang.penderita typhoid diindonesia jarang menunjukan adanya roseolae dan
umumnya dapat terlihat jelas pada berkulit putih yaitu berupa macula merah tua ukuran
2-4 mm,berkelompok, timbul pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah,
kelihatan memucat bila ditekan.
2. Minggu kedua, suhu badan tetap tinggi, bradikardia relative, terjadi gangguan
pendengaran, lidah tampak sering dan merah mengkilat. Diare lebih sering, perhatikan
adanya darah difeses karena perforasi usus, terdapat hepatomegali dan splenomegali.
3. Minggu ketiga. Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali diakhir
minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati.jika keadaan makin
memburuk, dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa derilium atau stupor, otot-otot
bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin, perdarahan dari usus,
meteorismus, timpani dan nyeri abdomen. Jika denyut nadi meningkat disertai oleh
peritonitis local maupun umum, pertanda terjadi nya perforasi usus. Sedangkan
keringat dingin, gelisah, sukar bernapas dan nadi menurun menunjukan terjadinya
perdarahna. Degenerasi miokard merupakan penyebab umum kematian penderita
demam typhoid pada minggu ketiga.
4. Minggu keempat. Merupakan stadium penyembuhan, pada awal minggu keempat dapat
dijumpai adanya pneumonia lobaris atau tromboflebitis vena femoralis.

Tanda dan gejala thypoid menurut (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 178).

1. Gejala pada anak : Inkubasi antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari.
2. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama.
3. Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak tertangani akan
menyebabkan syok, Stupor dan Koma.
4. Ruam muncul pada hari hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
5. Nyeri kepala, nyeri perut
6. Kembung, mual, muntah, diare, konstipasi.
7. Pusing, bradikardi, nyeri otot.
8. Batuk
9. Epistaksis
10. Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepid an ujung merah serta tremor)
11. Hepatomegaly, splenomegali, meteroismus
12. Gangguan mental berupa samnolen
13. Delirium atau psikosis
14. Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda sebagai
penyakit demam akut dengan disertai syok dan hipotermia.

F. Penatalaksanaan
Pengobatan memakai prinsip trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
 Pemberian antibiotica, anti radang anti inflamasi dan anti piretik.
Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab demam tifoid. Obat yang
sering digunakan adalah :
a) Antibiotika :
1. Kloramfenikol 100 mg/kg BB/ hari/ 4 kali selama 14 hari.
2. Amoksilin 100 mg/kg BB/hari/ 4 kali, iral selama 10 hari.
3. Kotrimoksazol 480 mg, 2x2 tablet selama 14 hari.
4. Sefalosporin generasi II dan III (ciprofloxacin 2x500 mg selama 6 hari;
ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; ceftriaxone 4 gram/hari selama 3 hari).
5. Seftriakson 80mg/kg BB/hari, IV atau IM, sekali sehari selama 5 hari.
6. Sefiksim 10 mg/kg BB/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari.
b) Anti radang (antiinflamasi). Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengang
gangguan kesadaran. Deksametason 1-3 mg/kg BB/hari IV, dibagi dalam 3 dosis
hingga kesadaran membaik.
c) Antipiretik untuk menurunkan demam seperti parastamol.
d) Antiemetik untuk menurunkan keluhan mual dan muntah.
 Bedrest dan perawatan
Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Penderita sebaiknya beristirahat total selama 1 minggu setelah bebas dari
demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai dengan keadaan penderita.
Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan seseorang perlu dijaga karena
ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar dan air kecil.
 Terapi penunjang secara simptomatis dan suportif serta diet
Diet makanan harus mengandung cukup cairan dan tinggi protein, serta rendah serat. Agar
tidak meperberat kerja usus, pada tahap awal penderita diberi makanan berupa bubur
saring. Selanjutnya penderita dapat diberi makanan yang lebih padat dan akhirnya nasi
biasa, sesuai dengan kemampuan dan kondisinya. Diet tinggi serat akan meningkatkan
kerja usus sehingga resiko perforasi usus lebih tinggi. Pemberian kadar gizi dan mineral
perlu dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan penderita.

G. Komplikasi Typhus Abdominalis


Komplikasi yang dapat terjadi meliputi :
1. Komplikasi intestinal meliputi perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik
intestinal:
a. Perdarahan usus. Bila perdarahan yang terjadi banyak dan berat dapat terjadi
melena disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
b. Perforasi usus. Biasanya dapat timbul pada ileus di minggu ketiga atau lebih.
Merupakan komplikasi yang sangat serius terjadi 1-3% pada pasien terhospitalisasi.
c. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi atau tanpa perforasi usus dengan
ditemukannya gejala akut abdomen, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen
tegang (defans muscular) dan nyeri tekan.
2. Komplikasi ekstraintestinal meliputi :
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (rejatan, sapsis),
miokarditis, trombosis, dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, dan atau koagulasi
intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
e. Komplikasi tulang : ostomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
f. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, sindrom guillain-barre, psikosis, dan sindrom katatonia.

H. Mekanisme Transmisi Typhoid


Penularan penyakit typhoid ini sangat mudah terjadi pada lingkungan dengan
sanitas yang buruk. Berikut ini beberapa mekanisme salmonella typhi:
1. Food (makanan/minuman) yang tercemar: Makanan yang tidak diolah secara tidak
bersih atau disajikan mentah dapat berisiko menggandung salmonella seperti salad,
asinan atau karedok, apalagi bila sayuran tersebut diberi pupuk dengan limbah kotoran
dan dicuci dengan air yang sudah terkontaminasi oleh salmonella. Makanan dimasak
matang dan air minum dididihkan.
2. Fingers (jari tangan): seseorang yang pernah menderita typhoid dapat menjadi karrier
dan menularkan typhoid kepada orang lain melalui jari-jari tangannya bahkan menurut
ismai (2006) di daerah endermis, seseorag yang tidak pernah menderita typhoid dapat
menularkan typhoid melalui urine dan fesesnya. Makanan/minuman yang dibuat oleh
karier ini dapat terkontaminasioleh salmonella seperti makanan yang diolah direstoran
atau pekerja pabrik susu. Biasanya 3-5% akan menjadi karier.
3. Feses: Feses dapat menularkan salmonella ke orang lain melalui rute fekal-oral. Artinya
penularan dari feses dan masuk kemulut.sebagai contoh seorang ibu rumah tangga yang
menjadi karier dapat menularkan salmonella ke keluarga lainnya dengan mengolah
makanan/minuman dengan tangan yang terkontaminasi dengan salmonella karena
kurang bersih mencuci tangan ketika BAB atau BAK. Bakteri mampu bertahan hidup
untuk jangka waktu yang panjang pada feses yang kering, debu, air limbah, es dan
menjadi sumber infeksi. Kebiasaan makan jajan berisiko menderita typhoid.
4. Fly (lalat): Lalat dapat menjadi vector mekanisme penularan typhoid. Lalat dapat
menghinggapi feses yang mengandung salmonella dan menghinggapi
makanan/minuman dan mengontaminasinya.

I. Pemeriksaan Penunjang Pada Pasien Typhus Abdominalis


1. Pemeriksaan darah tepi
a. Eritrosit : kemungkinan terdapat anemia karena terjadi gangguan absorpsi fe di
usus halus karena adanya inflamasi, hambatan pembantukan eritrosit dalam
sumsum tulang atau adanya perforasi usus.
b. Leukopenia polimorfonuklear (PMN) dengan jumlah leukosit antara 3000-
4000/mm3, dan jarang terjadi kadar leukosit < 3000/mm3. leukopenia terjadi
sebagai akibat penghancuran leukosit oleh endotoksin dan hilangnya eosinofil dari
darah tepi (eosinofilia). Namun dapat juga terjadi leukositosis, limfositosis relatif
pada hari ke sepuluh demam, dan peningkatan laju endap darah.
c. Trombositopenia, biasanya terjadi pada minggu pertama (depresi fungsi sumsum
tulang dan limpa).

2. Pemeriksaan urin, didapatkan proteinuria ringan (< 2 gr/liter) dan leukosit dalam urin.
3. Pemeriksaan tinja, kemungkinan terdapat lendir dan darah karena terjadi perdarahan
usus dan perforasi. Biakan tinja untuk menemukan salmonella dilakukan pada minggu
kedua dan ketiga serta biakan urin pada minggu ketiga dan keempat.
4. Pemeriksaan bakteriologis, diagnosis pasti bila dijumpai kuman salmonella pada
biakan darah tinja, urine, cairan empedu atau sumsum tulang.
5. Pemeriksaan radiologi. Untuk mengetahui adanya kelainan atau komplikasi akibat
demam typhoid.
6. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.
7. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah
negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan
hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal
ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat
bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah
dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi
dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah
negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.

8. Pemeriksaan serologis yakni pemeriksaan widal.


Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan
thypoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan
pada uji widal adalah suspense salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum klien yang disangka menderita thypoid. Akibat infeksi oleh salmonella
thypi, klien membuat antibodi atau agglutinin, yaitu:
- Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
- Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
- Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai
kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnose, makin tinggi titernya makin besar klien menderita thypoid. Faktor-faktor
yang mempengaruhi uji widal:
a. Faktor yang berhubungan dengan klien:
 Keadaan umum: gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
 Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam
darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu
kelima atau keenam.
 Penyakit-penyakit tertentu: ada beberapa penyakit yang dapat menyertai
demam thypoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti
agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
 Pengobatan dini dengan antibiotika: pengobatan dini dengan obat anti
mikroba dapat menghambat pembetukan antibodi.
 Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid: obat-obat tersebut dapat
menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem
retikuloendotelial.
 Vaksinasi dengan kotipa atau tipa: seseorang yang divaksinasi dengan kotipa
atau tipa, titer agglutinin O dan H dapat meningkat. Agglutinin O biasanya
menghilang setelah 6 bulan-1 tahun, sedangkan titer agglutinin H menurun
perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer agglutinin H pada
orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostic.
 Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya: keadaan
ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer
yang rendah.
 Reaksi anamnesa: keadaan dimana terjadi peningkatan titer agglutinin
terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan
thypoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu.
b. Faktor-faktor Teknis
 Aglutinasi silang: beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O
dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat
menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
 Konsentrasi suspense antigen: konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji
widal.
 Strain salmonella yang digunakan untuk suspense antigen: ada penelitian
yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspense antigen dari strain
salmonella setempat lebih baik dari suspense dari strain lain.
J. Penatalaksanaan
1. Perawataan
a. Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam atau 14 hari untuk mencegah komplikasi
perdarahan usus.
b. Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila ada
komplikasi perdarahan.
2. Diet
a. Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
b. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
c. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
d. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.
3. Obat-obatan
a. Kloramfenikol.
Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat diberikan secara oral atau
intravena, sampai 7 hari bebas panas
b. Tiamfenikol.
Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari.
c. Kortimoksazol.
Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg
trimetoprim)
d. Ampisilin dan amoksilin.
Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu
e. Sefalosporin Generasi Ketiga.
Dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan selama ½ jam per-infus sekali
sehari, selama 3-5 hari
f. Golongan Fluorokuinolon
1) Norfloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
2) Siprofloksasin : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
3) Ofloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
4) Pefloksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
5) Fleroksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
6) Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti:
Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah terbukti sering
ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella
typhi. (Widiastuti S, 2001).

2. Konsep Asuhan Keperawatan Thypoid Abdominalis

A. Pengkajian Data Keperawatan


Pengkajian dengan klien thypoid adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas/istirahat
Kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah. Insomania akibat diare. Merasa gelisah dan
ansietas. Pembatasan aktivitas/kerja terkait efek proses penyakit.
2. Sirkulasi
Takikardi (respon terhadap demam, dehidrasi, prosses inflamasi dan nyeri),
kemerahan, area ekimosis (kekurangan vitamin K). hipotensi, membrane mukosa
kering, turgor kulit menurun, lidah pecah-pecah (akibat kekurangan cairan).
3. Integritas ego
 Ansietas, ketakutan, emosi, perasaan tidak berdaya/tidak ada harapan, stress
terkait dengan pekerjaan atau biaya pengobatan yang mahal.
 Menolak, perhatian menyempit, depresi.
4. Eliminasi
 Tekstur feses bervariasi mulai dari bentuk padat, lunak atau berair. Episode
diare berdarah dapat ditemukan, tidak dapat dikontrol atau kram (tenesmus).
Defekasi berdarah/pus/mukosa dengan atau tanpa keluar feses.
 Menurunnya bising usus, tidak ada peristaltic atau adanya peristaltic yang dapat
di dengar, oliguria.
5. Makanan/cairan
 Anoreksia, mual/muntah, penurunan berat badan, intoleransi terhadap
makanan/minuman seperti buah segar/sayur, produk susu dan makanan
berlemak.
 Penurunan lemak subkutan/massa otot, kelemahan, tonus otot dan turgor kulit
buruk, membrane mukosa pucat dan inflamasi rongga mulut.
6. Nyeri/kenyamanan
 Nyeri tekan pada kuadran kanan bawah, nyeri mata, photophobia.
 Nyeri tekan abdomen, distensi abdomen.
7. Keamanan
 Anemia, vaskulitis, arthritis, peningkatan suhu (eksaserbasi akut), penglihatan
kabur, alergi terhadap makanan/produk susu.
 Lesi kulit mungkin ada, ankilosa spondilitis, uveitis, konjungtivitis, iritis.
8. Seksualitas
Frekuensi menurun/menghindari aktifitas seksual.
9. Interaksi sosial
Gangguan hubungan atau peran terkait hospitalisasi, ketidakmampuan aktif dalam
kegiatan sosial.
10. Penyuluhan pembelajaran
Riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.
11. Hygiene
Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri. Stomatitis menunjukkan
kekurangan vitamin.

Dapat dilihat dari data subjektif dan data objektif, sebagai berikut:

 Data subjektif
1. Pola hidup sehari-hari
Kebiasaan mengkonsumsi makanan yang tidak diolah dengan baik. Sumber air
minum yang tidak sehat dan kondisi lingkungan rumah tempat tinggal yang tidak
sehat serta kebersihan seseorang yang buruk.
2. Riwayat penyakit sebelumnya
Apakah klien pernah menderita penyakit yang sama dan kapan terjadi.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah dalam keluarga ada yang pernah atau sedang menderita penyakit yang
sama.
4. Keluhan yang dirasakan klien, selalu kaji lengkap dengan PQRST
Keluhan-keluhan yang lazim yang dikeluhkan oleh penderita thypus abdominalis
antara lain :
a. Peningkatan suhu tubuh yang berfluktuasi.
b. Tubuh lemah.
c. Kurang nafsu makan.
d. Perut kembung.
e. Konstipasi/diare.
f. Nyeri abdomen.
 Data Objektif
1. Peningkatan suhu tubuh
- Minggu I : demam intermitten
- Minggu II : demam remitten
- Minggu III : demam kontinu
2. Relative bradikardi
Peningkatan satu derajat celcius suhu tubuh akan disertai penambahan denyut nadi
namunpada sebagian penderita dapat dijumpai justru sebaliknya yaitu bradikardi.
3. Lidah kotor (beselaput putih) dan tepi hiperemis, somatitits.
Tanda tampak minggu II berhubungan dengan infeksi sistemik dan endotoxin
kuman.
4. Hepatomegali dan splenomegali
Pembesaran hepar dan lien mengindikasi infeksi RES yang mulai terjadi pada
minggu II.
5. Tanda Murphy positif
Menandakan infeksi kandung empedu.
6. Peristaltic
Dijumpai dengan penurunan peristaltic atau bahkan hilang
7. Konstipasi/diare
Konstipasi terjadi pada minggu I dan selanjutnya dapat terjadi diare.
8. Distensi abdomen dan nyeri
9. Hematemesis dan melena
Dapat terjadi perdarahan ulkus ileum yang akan menyebabkan hematemesis
(muntah darah) dan melena (berak darah).
10. Tanda-tanda gangguan sirkulasi akibat perdarahan yaitu :
a. Perubahan tanda-tanda vital khususnya nadi dan tekanan darah.
b. Kulit pucat, akral dingin.
c. Penurunan kesadaran.
11. Tanda peritonitis
a. Suhu tubuh sangat tinggi.
b. Distensi abdomen dan tegang.
c. Kesadaran menurun.
12. Pemeriksaan darah
a. Kadar Hb dan Ht.
b. Leukosit dan diff.
c. Khas penurunan leukosit (leukopeni) oleh karena endotoxin kuman menekan
RES dalam memproduksi leukosit.

Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum: klien tampak lemah.


2. Kesadaran: composmentis.
3. Kepala:
Normochepalic, rambut hitam, pendek dan lurus dengan penyebaran yang merata, tidak
ada lesi.
4. Mata:
Letak simetris, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik.
5. Hidung:
Pernapasan tidak menggunakan cuping hidung, tidak ada polip, dan bersih.
6. Mulut:
Tidak ada stomatitis, bibir tidak kering.
a. Gigi: kotor dan terdapat caries.
b. Lidah: kotor.
7. Telinga:
Pendengaran baik,tidak ada serumen.
8. Leher:
Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid.
9. Dada:
Simetris, pernapasan vesikuler.
10. Abdomen:
Nyeri tekan pada epigastrium.
11. Gastrointestinal:
a. Inspeksi:
- Lidah kotor berselaput putih dan tepi hiperemis disertai stomatitis. Tanda ini
jelas mulai namppak pada minggu kedua berhubungan dengan infeksi sistemik
dan endotoksi kuman.
- Sering muntah.
- Perut kembung.
- Distensi abdomen nyeri, merupakan tanda yang diwaspadai terjadinya perforasi
dan peritonitis.
b. Auskultasi
Didapatkan penurunan bising usus kurang dari 5x/mnt pada minggu pertama dan
terjadi konstipasi, serta selanjutnya meningkat akibat terjadi diare.
c. Perkusi
Didapatkan suara timpani abdomen akibat kembung.

d. Palpasi
- Hepatomegali dan splenomegali. Pembesaran hati dan limpa mengindikasikan
infeksi RES yang mulai terjadi pada minggu kedua.
- Nyeri tekan abdomen.
12. Ekstremitas:
a. Atas:
Tangan kanan terpasang infuse dan aktifitasnya dibantu oleh keluarga.
b. Bawah:
Tidak ada lesi.
13. Anus:
Tidak ada hemorrhoid.

B. Diagnose keperawatan
1. Hipertermia b.d proses infeksia salmonella thyposa
2. Resiko defisit volume cairan b.d pemasukan yang kurang, mual, muntah yang
berlebihan, diare, panas tubuh.
3. Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake kurang akibat
mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat diare

C. Perencanaan Keperawatan

Diagnosa
No Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
1 Peningkatan Tujuan : 1. Observasi tanda- 1. Tanda-tanda
suhu tubuh Setelah diberikan tanda vital vital berubah
(Hipertermi) tindakan 2. Beri kompres pada sesuai tingkat
berhubungan keperawatan daerah dahi perkembangan
dengan proses selama 3 x 3. Anjurkan untuk penyakit dan
infeksi 24 jam, suhu banyak minum air menjadi
Salmonella tubuh normal. putih indikator untuk
Typhi. 4. Kolaborasi melakukan
Kriteria hasil : pemberian intervensi
- TTV dalam antiviretik, selanjutnya
batas normal antibiotic 2. Pemberian
- TD : 80- 5. Anjurkan untuk kompres dapat
120/60-80 mmhg tirah menyebabkan
- N : 120-140 baring/pembatasan peralihan panas
x/i (bayi), 100- aktivitas selama secara
120 (anak) fase akut konduksi dan
- S : 36,5-370C 6. Anjurkan untuk membantu
- P : 30-60 x/i menggunakan tubuh untuk
(bayi), 15-30 x/i pakaian yang tipis menyesuaikan
(anak) dan menyerap terhadap panas
keringat 3. Peningkatan
suhu tubuh
mengakibatkan
penguapan
sehingga perlu
diimbangi
dengan asupan
cairan yang
banyak
4. Mempercepat
proses
penyembuhan,
menurunkan
demam.
Pemberian
antibiotik
menghambat
pertumbuhan
dan proses
infeksi dari
bakteri
5. Menurunkan
kebutuhan
metabolisme
tubuh sehingga
menurunkan
panas
6. Pakaian tipis
memudahkan
penguapan
panas saat
penurunan
panas klien
akan banyak
mengeluarkan
keringat
2 Resiko defisit Tujuan : 1. Kaji tanda dan 1. Hipotensi,
volume cairan Setelah dilakukan gejala dehidrasi takikardia,
berhubungan tindakan hypovolemik, demam dapat
dengan intake keperawatan riwayat muntah, menunjukkan
yang tidak selama 3x24 kehausan dan respon
adekuat, jam, tidak terjadi turgor kulit terhadap dan
kehilangan defisit volume 2. Observasi adanya atau efek dari
cairan berlebih cairan tanda-tanda syok, kehilangan
akibat muntah tekanan darah cairan
dan diare. Kriteria hasil : menurun, nadi 2. Agar segera
- Tidak terjadi cepat dan lemah dilakukan
tanda-tanda 3. Berikan cairan tindakan/
dehidrasi, peroral pada klien penanganan
- Keseimbangan sesuai kebutuhan jika terjadi
intake dan output 4. Anjurkan kepada syok
dengan urine orang tua klien 3. Cairan peroral
normal dalam untuk akan
konsentrasi mempertahankan membantu
jumlah asupan cairan memenuhi
secara dekuat kebutuhan
5. Kolaborasi cairan
pemberian cairan
intravena 4. Asupan cairan
secara adekuat
sangat
diperlukan
untuk
menambah
volume cairan
tubuh
5. Pemberian
intravena
sangat penting
bagi klien
untuk
memenuhi
kebutuhan
cairan
3 Resiko Tujuan : 1. Kaji kemampuan 1. Untuk
pemenuhan Setelah dilakukan makan klien mengetahui
nutrisi kurang tindakan perubahan
dari kebutuhan keperawatan nutrisi klien
tubuh selama 3 x 24 jam dan sebagai
berhubungan kekurangan indikator
dengan intake nutrisi tidak intervensi
yang tidak terjadi. selanjutnya
adekuat, mual, 2. Memenuhi
muntah dan Kriteria hasil : kebutuhan
anoreksia. - Nafsu makan 2. Berikan makanan nutrisi dengan
meningkat, dalam porsi kecil meminimalkan
- Tidak ada tapi sering rasa mual dan
keluhan 3. Beri nutrisi dengan muntah
anoreksia, nausea, diet lunak, tinggi
- Porsi makan kalori tinggi 3. Memenuhi
dihabiskan protein kebutuhan
4. Anjurkan kepada nutrisi adekuat
orang tua 4. Menambah
klien/keluarga selera makan
untuk memberikan dan dapat
makanan yang menambah
disukai asupan nutrisi
5. Anjurkan kepada yang
orang tua dibutuhkan
klien/keluarga klien
untuk menghindari 5. dapat
makanan yang meningkatkan
mengandung asam lambung
gas/asam, pedas yang dapat
6. Kolaborasi. memicu mual
Berikan dan muntah dan
antiemetik, menurunkan
antasida sesuai asupan nutrisi
indikasi 6. Mengatasi
mual/muntah,
menurunkan
asam lambung
yang dapat
memicu
mual/muntah
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Typhoid adalah suatu penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan
gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna dan gangguan kesadaran. Penyakit
pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhi,
salmonella type A.B.C penularan terjadi secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi.
Cara pencegahan penyakit typoid yang dilakukan adalah cuci tangan setelah dari toilet dan
khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari minum susu mentah (yang
belum dipasteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai mendidih dan hindari makanan
pedas.

B. Saran
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dengan adanya
makalah ini, diharapkan pembaca dapat memahami tentang penyakit typoid dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Djauzi & Sundaru. 2003. Imunisasi Dewasa. Jakarta : FKUI
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit, Edisi 2. Jakarta : EGC
Soegeng, S. 2005. Ilmu Penyakit Anak “Diagnosa dan Penatalaksanaan”. Jakarta : Salemba
Medika
Suryadi. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta : CV Agung Setia
Syamsuhidayat, W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Gangguan Gastrointestinal. Jakarta: Salemba medika.
Nugroho, T. (2011). Asuhan Keperawatan Matrnitas, Anak, Bedah, dan Penyakit
Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperwatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA JILID 1. Yogyakarta: Medi Action.
SDKI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Wijaya, A. S. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.
Wilkinson, J. (2016). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai