Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DEPARTEMEN GADAR KRITIS PADA PASIEN DENGAN


DIAGNOSIS SUBDURAL HEMATOMA DI RUANG ICU RSUD
MARDI WALUYO KOTA BLITAR

OLEH :
BINTI NUR A’INUN MA’RIFAH
NIM. 40219006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2019
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
DEPARTEMEN GADAR KRITIS PADA PASIEN DENGAN
DIAGNOSIS SUBDURAL HEMATOMA DI RUANG ICU RSUD
MARDI WALUYO KOTA BLITAR

Nama : Binti Nur A’inun Ma’rifah


NIM : 40219006
Institusi : Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri

PEMBIMBING LAHAN PEMBIMBING INSTITUSI

( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
DEPARTEMEN GADAR KRITIS PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS
SUBDURAL HEMATOMA DI RUANG ICU RSUD MARDI WALUYO KOTA
BLITAR

A. DEFINISI SUBDURAL HEMATOMA


Subdural hematoma (SDH) adalah akumulasi darah yang terjadi antara bagian
dalam duramater dengan arachnoid. Perdarahan ini sering terjadi akibat robekan
pembuluh darah atau vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Tingkat
mortalitas SDH berkisar 45-63%. Kematian terjadi 74% pada pasien dengan
Glasgow Coma Scale Score (GCS) 3-5 kurang dari 6 jam, namun jika GCS 6-8
tingkat kematiannya menurun hingga 39% (Goodman, 2017).

B. KLASIFIKASI SUBDURAL HEMATOMA


Subdural hematom dibagi tiga, yaitu subdural hematom akut, subakut, dan
kronis. Ketiganya dibedakan berdasarkan lamanya kejadian (Kamal, 2012).
1. SUBDURAL HEMATOM AKUT
Subdural hematom akut terjadi selama 48- 72 jam setelah cedera. Subdural
hematom akut adalah tipe hematom intrakranial dimana 24 % pasien
mengalami koma. Jika sudah terjadi koma maka angka kematian meningkat
menjadi 60%. Subdural hematom akut adalah Perdarahan akut dimana gejala
yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Terjadi pada cedera
dentura kepala yang cukup berat. Hal ini dapat mengakibatkan perburukan
lebih lanjut pada pasien yang sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada
gambaran scanning tomografinya, didapatkan lesi hiperdens berbentuk
cekung.
2. SUBDURAL HEMATON SUBAKUT
Subdural hematom subakut terjadi 3-20 hari setelah cedera. Perdarahan
sub akut dapat berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari
sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan
darah dan cairan darah. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada
pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran scanning tomografinya
didapatkan lesi isodens atau hipodens berbentuk cekung. Lesi isodens
didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari
hemoglobin.
3. SUBDURAL HEMATOM KRONIS
Subdural hematom kronis terjadi dari tiga minggu sampai beberapa bulan
setelah cedera. Perdarahan kronik terjadi setelah 14 hari setelah trauma
bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam
waktu berminggu-minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau
trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan
gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik, hematoma
lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan-lahan sehingga
mengakibatkan penekanan dan herniasi.

C. ETIOLOGI SUBDURAL HEMATOMA


Subdural hematoma timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam
ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada :
1) Trauma kapitis
2) Trauma di tempat lain yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak
terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
3) Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi
bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan
juga pada anak anak.
4) Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdural.
5) Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
6) Pascaoperasi (kraniotomi, CSF shunting).
7) Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati. Otak dan medulla spinalis
terbungkus dalam tiga sarung membranosa yang konsentrik. Membran yang
paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut duramater, membrane tengah tipis
dan halus serta diketahui sebagai arachnoidea mater, dan membrane paling
dalam halus dan bersifat vaskuler serta berhubungan erat dengan permukaan
otak dan medulla spinalis serta dikenal sebagai piamater.
(Duus, 2007)
D. MANIFESTASI KLINIS SUBDURAL HEMATOMA
SDH dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan lalu lintas atau penganiayaan.
Pasien dengan SDH mengalami benturan benda tumpul di kepala baik sedang
maupun berat. Gambaran klinis tergantung letak lokasi dan luasnya perdarahan.
Hematoma subdural menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada
jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi
dan tekanan darah.
Gejala klinis SDH tergantung peningkatan tekanan intrakranial dan keparahan
cedera difus pada otak. Perubahan kesadaran ditentukan oleh keparahan
perkembangan hematom dan waktu terjadinya cedera. Gejala klinis dan tanda
pasien dengan SDH akut supratentorial, yaitu pupil abnormal, hemiparese,
kejang, afasia, deserebrasi dan lateralisasi yaitu, ditemukannya dilatasi pupil
ipsilateral dan kelemahan motorik kontralateral. Dapat juga terjadi Kernohan’s
notch dimana kelemahan motorik ipsilateral dan dilatasi pupil kontralateral.
(Kamal, 2012)

E. PATOFISIOLOGI SUBDURAL HEMATOMA


SDH akut disebabkan robekan kapiler cortical akibat akselerasi otak dalam
kranium disebabkan benturan. Saat kepala berbenturan dengan benda keras,
menimbulkan energi yang berakibat otak berakselerasi di dalam kranium. Jika
akselerasi ini berjalan hanya sesaat, kerusakan terjadi hanya di sekitar
permukaan otak dan pembuluh darah termasuk bridging veins. Jika akselerasi
dalam jangka waktu lama, regangan dapat masuk lebih dalam menyebabkan
diffuse axonal injury (DAI). Sumber perdarahan lain subdural hematom adalah
laserasi atau ruptur arteri dan vena kecil di korteks yang berkaitan dengan
kontusio. Subdural hematom biasanya berada sepanjang konveksitas cerebral.
Tempat paling sering kontusio cerebral yang menyebabkan subdural hematom
adalah di bagian temporal dan berikutnya di bagian frontal dan cerebral
konveksitas. Subdural hematom juga dapat terjadi antara falx dan permukaan
medial hemisfer cerebral. Ini sering disebut parafalcine subdural hematom yang
dikarakterisasikan dengan hemiparese kontralateral pada ekstremitas bawah
dibanding ekstremitas atas (falx syndrome). Autopsi yang dilakukan Maixner
menyatakan dua pertiga kasus SDH akut disebabkan oleh kontusio dan sepertiga
disebabkan oleh ruptur bridging vein. Bridging vein yang berasal dari
permukaan superolateral posterior lobus frontal, parietal dan oksipital berjalan
ke depan menuju sinus sagitalis superior dengan sudut kemiringan 100-850 .
SDH akut dapat juga disebabkan oleh aneurisma, tumor, dan arteriovenous
malformation. Namun 35 mayoritas penyebab SDH adalah ruptur bridging vein.
Angiografi cerebral menyatakan 8-12 vena kortikal yang mengalir ke sinus
sagitalis superior. Vena ini mengalirkan bagian medial, lateral dan superior
cerebral. Dapat dibagi menjadi area prerolandic (1-6 vena), area rolandic (1-3
vena), dan retrorolandic (1-3 vena). Kebanyakan satu atau vena bergabung
menjadi satu, mengalirkan area yang luas, ada juga vena yang berdekatan
mengalirkan area yang kecil.7 Leary dan Edward menyatakan lapisan dura
bagian dalam berupa sel datar yang sama dengan fibroblas dikenal sebagai dural
border cells. Jika ada robekan bridging vein maka darah akan masuk ke lapisan
dural border cells sehingga terjadi SDH. Ada juga yang membuat SDH
bertambah besar, yaitu tekanan vena cerebral yang berjalan sama dengan
tekanan intrakranial, hanya ada perbedaan sedikit diantaranya. Jika tekanan vena
cerebral meningkat maka darah dari vena kortikal sulit masuk ke dalam sinus
sagitalis superior menyebabkan darah menumpuk di vena kortikal. Akibatnya
SDH akan bertambah besar, tekanan intrakranial juga meningkat kembali.
(Miller dan Nader, 2014).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG SUBDURAL HEMATOMA


1. Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah lengkap,
elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
2. Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural
hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang
mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang
memotong sulcus arteria meningea media.
3. Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi
cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja
(single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk
bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang
homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral.
Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang
tinggi pada stage yang akut (60–90 HU), ditandai dengan adanya peregangan
dari pembuluh darah.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga
dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu
jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

(Kamal, 2012).

G. KOMPLIKASI SUBDURAL HEMATOMA


Komplikasi dari subdural hematoma adalah :
1. Hemiparese/hemiplegia.
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi.
4. Hidrosepalus.
5. Subdural empiema.

H. PENATALAKSANAAN SUBDURAL HEMATOMA


Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu
kita harus memperhatikan kondisi klinis dengan gambaran radiologisnya.
Didalam masa mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan
kepada pengobatan dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan
tekanan intrakrania (PTIK). Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau
furosemid 10 mg intravena dan hiperventilasi. Pada kasus perdarahan yang kecil
(volume 30 cc ataupun kurang) edema otak yang minimal dan midline shift
kurang dari 5 mm dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih
ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya
fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran. Penderita yang berada
dalam keadaan koma tetapi pada CT scan tidak menunjukkan gambaran lesi otak
kemungkinan menderita suatu diffuse axonal injury. Pada penderita ini, operasi
tidak akan memperbaiki defisit neurologik dan karenanya tidak di indikasikan
untuk tindakan operasi 44 Strategi tanpa pembedahan terfokus pada pencegahan
secondary injury setelah cedera kepala. Intervensi medis ditargetkan pada
tekanan intrakranial yang terkontrol, memastikan aliran darah dan oksigen,
meminimalkan edema cerebri. Dua pertiga pasien dengan cedera kepala berat,
tidak ditemukan gambaran CT Scan lesi massa yang signifikan. Terdapat 25%
pasien dengan lesi massa akan mengalami perubahan kondisi klinis dalam 2-3
hari setelah cedera. Paling sulit manajemen pada pasien neurotrauma dengan
GCS 8-14 dan memiliki lesi massa ukuran sedang. Pertimbangan apakah harus
operasi atau tidak berdasarkan tekanan intrakranial, jika tekanan intrakranial
lebih dari 20 mmHg, segera lakukan operasi dekompresi sebab walaupun lesi
massa kecil, tapi pembengkakan otak yang hebat dapat ditemukan.
(Kamal, 2012).
J. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Breathing Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama


jantung, sehingga

terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa
berupa

Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing

( kemungkinana karena aspirasi ), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum


pada

jalan napas. 2. Blood:

Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan

pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke


jantung

yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda


peningkatan

tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang


diselingi dengan bradikardia, disritmia). 3. Brain

Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan

otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar


kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas.
Bila perdarahan

hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis,
maka

dapat terjadi :

a. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,


b. status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan
masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori). b. Perubahan dalam
penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang
pandang, foto fobia. c. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri),
deviasi pada mata. d. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan
tubuh. e. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagus
c. menyebabkan kompresi spasmodik diafragma. f. Gangguan nervus
hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu
d. sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan. 4. Blader
e. Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi. 5. Bowel
f. Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin
g. proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan
(disfagia) dan
h. terganggunya proses eliminasi alvi.
i. Bone
j. Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang
k. lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau
l. ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau
putusnya
m. hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu
dapat pula
n. terjadi penurunan tonus otot.
DAFTAR PUSTAKA

Duus, P. 2007. Diagnosis Topik Neurologi edisi IV, hal 310-343. Jakarta : EGC.
Goodman. 2017. Neuropathology of Traumatic Brain Injury. Youmans and Wins
Neurological Surgery. Edisi ketujuh. Philadelphia : Elsevier.
Kamal. 2012. Acute Subdural Hematoma. Textbook of Traumatic Brain Injury. Hal
158-168. New Delhi : Jaypee Brothers Medical Publishers.
Miller JD dan Nader R. 2014. Acute Subdural Hematoma from Bridging Vein
Rupture: a Potential Mechanism for Growth. Journal Neurosurg.
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.Sidharta P, Mardjono M. 2005.
Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.

Anda mungkin juga menyukai