Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DEPARTEMEN KEPERAWATAN DASAR PROFESI


PADA PASIEN GANGGUAN ELIMINASI URINE DENGAN
DIAGNOSA CHF (CONGESTIVE HEART FAILURE)
DI RUANG MELATI RSUD MARDI WALUYO
KOTA BLITAR

Oleh :
MEI NUR FATIMAH
NIM. 40219014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2019
LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : MEI NUR FATIMAH

NIM : 40219014

PRODI : PENDIDIKAN PROFESI NERS

PEMEBIMBING LAHAN (CI) PEMEBIMBING INSTITUSI

(…………………………………..….) (…………………………………..….)

LAPORAN PENDAHULUHAN

A. DEFINISI
Gangguan Eliminasi Urine adalah keadaan dimana seorang
individumengalami atau berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine.
Biasanya orangyang mengalami gangguan eliminasi urine akan dilakukan
kateterisasi urine,yaitu tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung
kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine (Potter &
Perry,2007).
B. KLASIFIKASI
1. Retensi urin akut
Retensi urin yang akut adalah ketidakmampuan berkemih tiba-tiba dan
disertai rasa sakit meskipun buli-buli terisi penuh. Berbeda dengan kronis,
tidak ada rasa sakit karena urin sedikit demi sedikit tertimbun. Kondisi yang
terkait adalah tidak dapat berkemih sama sekali, kandung kemih penuh, terjadi
tiba-tiba, disertai rasa nyeri, dan keadaan ini termasuk kedaruratan dalam
urologi. Kalau tidak dapat berkemih sama sekali segera dipasang kateter
(Potter & Perry, 2006).
2. Retensi urin kronik
Retensi urin kronik adalah retensi urin ‘tanpa rasa nyeri’ yang
disebabkan oleh peningkatan volume residu urin yang bertahap. Hal ini dapat
disebabkan karena pembesaran prostat, pembesaran sedikit2 lama2 ga bisa
kencing. Bisa kencing sedikit tapi bukan karena keinginannya sendiri tapi
keluar sendiri karena tekanan lebih tinggi daripada tekanan sfingternya.
Kondisi yang terkait adalah masih dapat berkemih, namun tidak lancar , sulit
memulai berkemih (hesitancy), tidak dapat mengosongkan kandung kemih
dengan sempurna (tidak lampias). Retensi urin kronik tidak mengancam
nyawa, namun dapat menyebabkan permasalahan medis yang serius di
kemudian hari.
Perhatikan bahwa pada retensi urin akut, laki-laki lebih banyak
daripada wanita dengan perbandingan 3/1000 : 3/100000. Berdasarkan data
juga dapat dilihat bahwa dengan bertambahnya umur pada laki-laki, kejadian
retensi urin juga akan semakin meningkat (Potter & Perry, 2006)

C. ETIOLOGI
1. Diet dan Asupan (intake)
Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi output urine (jumlah urine). Protein dapat
menentukan jumlah urine yang dibentuk.Selain itu, juga dapat
meningkatkan pembentukan urine.

2. Respon Keinginan Awal untuk Berkemih

Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat


menyebabkan urine banyak tertahan di dalam urinaria sehingga
memengaruhi ukuran vesika urinaria dan jumlah urine.

3. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi pemenuhan
kebutuhan eliminasi dalam kaitannya terhadap tersedianya fasilitas
toilet.

4. Stress Psikologis

Meningkatnya stres dapat mengakibatkan meningkatnya


frekuensi keinginan berkemih.Hal ini karena meningkatnya
sensitifitas untuk keinginan berkemih dan jumlah urine yang
diproduksi.

5. Tingkat Aktivitas

Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria


yang baik untuk fungsi sfingter.Hilangnya tonus otot vesika
urinaria menyebabkan kemampuan pengontrolan berkemih
menurun dan kemampuan tonus otot didapatkan dengan
beraktivitas.

6. Tingkat Perkembangan

Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga dapat


memengaruhi pola berkemih.Hal tersebut dapat ditemukan pada
anak, yang lebih memiliki mengalami kesulitan untukmengontrol
buang air kecil. Namun dengan usia yang semakin bertambah
kemampuan dalam mengontrol buang airkecil semakin baik.

7. Kondisi Penyakit

Kondisi penyakit dapat mempengaruhi produksi urine seperti


diabetes melitus.

8. Sosiokultural Budaya

Dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi


urine,seperti adanya kultur pada masyarakat tertentu yang
melarang untuk buang air kecil di tempat tertentu.

9. Kebiasaan Seseorang
Seseorang yang memiliki berkemih mengalami kesulitan untuk
berkemih dengan melaluiurineal/pot urine bila dalam keadaan
sakit.
10. Tonus otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalam membantu
proses berkemih adalah ototkandung kemih, otot abdomen dan
pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam kontraksi pengontrolan
pengeluaran urine.

11. Pengobatan
Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada
terjadinya peningkatan atau penurunan proses perkemihan.Misalnya
pemberian diuretik dapat meningkatkan jumlah urine, sedangkan
pemberian obat antikolinergik dan antihipertensi dapat
menyebabkan retensi urine.

12. Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan diagnostik ini juga dapat mempengaruhi
kebutuhan eliminasi urine, khususnya prosedur-prosedur yang
berhubungan dengan tindakan pemeriksaan saluran kemih, yang
dapat membatasi jumlah urine
D. PATOFISIOLOGI

Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan


kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari normal.
Dapat dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV di mana curah jantung
(CO: Cardiac output) adalah fungsi frekuensi jantung (HR: Heart Rate) x
Volume Sekuncup (SV: Stroke Volume).

Frekuensi jantung adalah fungsi dari sistem saraf otonom. Bila curah
jantung berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung
untuk mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal
untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup
jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung.

Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap


kontraksi, yang tergantung pada 3 faktor, yaitu: (1) Preload (yaitu sinonim
dengan Hukum Starling pada jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah
yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan
oleh panjangnya regangan serabut jantung); (2) Kontraktilitas (mengacu pada
perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan
dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium); (3) Afterload
(mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan
arteriole).

Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang terjadi
baik pada jantung dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua ventrikel
berkurang akibat penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat,
maka volume dan tekanan pada akhir diastolik di dalam kedua ruang jantung
akan meningkat. Hal ini akan meningkatkan panjang serabut miokardium pada
akhir diastolik dan menyebabkan waktu sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini
berlangsung lama, maka akan terjadi dilatasi ventrikel. Cardiac output pada saat
istirahat masih bisa berfungsi dengan baik tapi peningkatan tekanan diastolik
yang berlangsung lama (kronik) akan dijalarkan ke kedua atrium, sirkulasi
pulmoner dan sirkulasi sitemik. Akhirnya tekanan kapiler akan meningkat yang
akan menyebabkan transudasi cairan dan timbul edema paru atau edema
sistemik.

Penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan dengan penurunan


tekanan arterial atau penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa
sistem saraf dan humoral. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan
memacu kontraksi miokardium, frekuensi denyut jantung dan vena; yang akan
meningkatkan volume darah sentral yang selanjutnya meningkatkan preload.
Meskipun adaptasi-adaptasi ini dirancang untuk meningkatkan cardiac output,
adaptasi itu sendiri dapat mengganggu tubuh. Oleh karena itu, takikardi dan
peningkatan kontraktilitas miokardium dapat memacu terjadinya iskemia pada
pasien dengan penyakit arteri koroner sebelumnya dan
peningkatan preload dapat memperburuk kongesti pulmoner.

Aktivasi sitem saraf simpatis juga akan meningkatkan resistensi perifer.


Adaptasi ini dirancang untuk mempertahankan perfusi ke organ-organ vital,
tetapi jika aktivasi ini sangat meningkat malah akan menurunkan aliran ke ginjal
dan jaringan. Salah satu efek penting penurunan cardiac output adalah penurunan
aliran darah ginjal dan penurunan kecepatan filtrasi glomerolus, yang akan
menimbulkan retensi sodium dan cairan. Sitem rennin-angiotensin-aldosteron
juga akan teraktivasi, menimbulkan peningkatan resistensi vaskuler perifer
selanjutnya dan penigkatan afterload ventrikel kiri sebagaimana retensi sodium
dan cairan.

Gagal jantung berhubungan dengan peningkatan kadar arginin vasopresin


dalam sirkulasi, yang juga bersifat vasokontriktor dan penghambat ekskresi
cairan. Pada gagal jantung terjadi peningkatan peptida natriuretik atrial akibat
peningkatan tekanan atrium, yang menunjukan bahwa disini terjadi resistensi
terhadap efek natriuretik dan vasodilator.

Kelainan intrinsic pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal


jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif.
Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup, dan
meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya EDV (volume
akhir diastolic ventrikel), maka terjadi pula pengingkatan tekanan akhir diastolic
ventrikel kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan tergantung dari kelenturan
ventrikel. Dengan meningkatnya LVEDP, maka terjadi pula peningkatan tekanan
atrium kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama
diastole. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke dalam anyaman vascular
paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru. Jika tekanan
hidrostatik dari anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik vascular,
maka akan terjadi transudasi cairan ke dalam intertisial. Jika kecepatan transudasi
cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, maka akan terjadi edema intertisial.
Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke
dalam alveoli dan terjadilah edema paru-paru. Tekana arteria paru-paru dapat
meningkat sebagai respon terhadap peningkatan kronis tekanan vena paru.
Hipertensi pulmonary meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan.
Serentetan kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada
jantung kanan, di mana akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.
Perkembangan dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat
dieksaserbasi oleh regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau
mitralis bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi dari
annulus katup atrioventrikularis, atau perubahan-perubahan pada orientasi otot
papilaris dan korda tendinae yang terjadi sekunder akibat dilatasi ruang (smeltzer
2001).

 
E. PATHWAY/WOC
F. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Arif masjoer 2001 Pada retensi urin akut di tandai dengan nyeri,
sensasi kandung kemih yang penuh dan distensi kandung keimih yan ringan.
Pada retensi kronik ditandai dengan gejala iritasi kandung kemih
( frkuensi,disuria,volume sedikit) atau tanpa nyeri retensi yang nyata.
Adapun tanda dan gejala dari pnyakit retensi urin ini adalah :
1. Di awali dengan urin mengalir lambat
2. Terjadi poliuria yang makin lama makin parah karena pengosongan kandung
kemih tidak efisien.
3. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih
4. Terasa ada tekanan, kadang trasa nyeri dan kadang ingin BAK
5. Pada retensi berat bisa mencapai 2000-3000 cc
G. KOMPLIKASI
1. Urolitiasis atau nefrolitiasis
Nefrolitiasis adalah adanya batu pada atau kalkulus dalam velvis renal,
sedangkan urolitiasis adalah adanya batu atau kalkulus dalam sistem urinarius.
Urolithiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus urinarius. Batu
terbentuk dari traktus urinarius ketika konsentrasi subtansi tertentu seperti
kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat.
2. Pielonefritis
Pielonefritis adalah radang pada ginjal dan saluran kemih bagian atas.
Sebagian besar kasus pielonefritis adalah komplikasi dari infeksi kandung kemih
(sistitis). Bakteri masuk ke dalam tubuh dari kulit di sekitar uretra, kemudian
bergerak dari uretra ke kandung kemih. Kadang-kadang, penyebaran bakteri
berlanjut dari kandung kemih dan uretra sampai ke ureter dan salah satu atau
kedua ginjal. Infeksi ginjal yang dihasilkan disebut pielonefritis.
3. Pendarahan
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Adapun pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada retensio


1. urine adalah sebagai berikut :
2. Pemeriksaan specimen urine.
3. Pengambilan: steril, random, midstream.
4. Penagmbilan umum: pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb, KEton, Nitrit.
Sistoskopy, IVP
I. PENATALAKSANAAN
Bila diagnosis retensi urin sudah ditegakkan secara benar, penatalaksanaan
ditetapkan berdasarkan masalah yang berkaitan dengan penyebab retensi urinnya.
Pilihannya adalah:

1. Kateterisasi

2. Sistostomi suprapubik

3. Pungsi suprapubik

J. ASKEP TEORI
1. Pengkajian
a.   Identitas
Nama, Umur, Jenis kelamin, agama, suku, bangsa, pekerjaan,
pendidikan, status perkawinan, alamat, tanggal masuk Rumah Sakit.
b.      Keluhan utama
Biasnaya klien merasakanrasa tidak enak pada uretra kemudian di ikuti
nyeri ketika berkemihatau nyeri saat kencing.
c.      Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan penyebab terjadinya infeksi, bagaimana gambaran rasa
nyeri, daerah mana yang sakit, apakah menjalar atau tidak, ukur skala
nyeri, dan kapan keluhan dirasakan.
d.       Riwayat penyakit dulu
Tanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit parah sebelumnya
e. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah keluarga klien ada yang menderita penyaki yang
sama dengan klienk
K. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri b/d agen cidera biologis
2. Gangguan eliminasi urine b/d retensi urine
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
alveolar-kapiler
4. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
5. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan
L. Intervensi Keperawatan

Diagnosa
No Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Kep.
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan 1. akukan pengkajian
b/d agen keperawatan selama nyeri secara
cidera 2x24 jam pasien dapat komprehensif termasuk
biologis mengontrol nyeri lokasi, karakteristik,
Dengan indikator: durasi, frekuensi,
      - Mengenalis factor penyebab kualitas dan faktor
lamanya sakit presipitasi
  - -Mengenali gejala-gejala nyeri 2. observasi reaksi
      - Mencatat Pengalaman nyeri nonverbal dari
Sebelumnya ketidaknyamanan
      - Melaporkan nyeri sudah 3. bantu pasien dan
terkontrol keluarga untuk mencari
dan menemukan
dukungan
4. kontrol lingkungan
yang dapat
mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
5. ajarkan tentang tehnik
non farmakologi : nafas
dalam, relaksasi,
distraksi, kompres
hangat dan kompres
dingin.

2 Gangguan Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor keadaan


eliminasi keperawatan selama 3x24 jam bladder setiap 2 jam
urine b/d Tidak ada tanda tanda retensi 2. Ukur intake dan
retensi urine urine output cairan setiap 4
KH: pasien tidah menunjukkan jam
tanda tanda retensi urine 3. Kaji dan monitor
analisis urine
elektrolit dan berat
badan
4. Ajarkan teknik
latihan dengan
kolaborasi
dokter/fisioterapi
5. Kolaborasi dalam
pemasangan kateter
3 Gangguan a. Respiratory Status : Gas 1. Airway Management
pertukaran gas exchange
a.     Buka jalan nafas,
berhubungan
b.  Respiratory Status : guanakan teknik chin lift
dengan
ventilation atau jaw thrust bila perlu
perubahan
membrane
c. Vital Sign Status b.     Posisikan pasien untuk
alveolar-
memaksimalkan ventilasi
kapiler Kriteria Hasil :
c.     Identifikasi pasien
a.    Menunjukan pening;/katan
perlunya pemasangan alat
ventilasi dan oksigenasi yang
jalan nafas buatan
adekuat
d. Lakukan fisioterapi dada
b.    Memelihara kebersihan
jika perlu
paru paru dan bebas dari tanda
tanda distress pernafasan e. Keluarkan sekret dengan
batuk atau suction
c.    Tidak adasuara nafas
tambahan, tidak ada sianosis f. Monitor respirasi dan
dan dyspneu (mampu bernafas status O2
dengan mudah, tidak ada
2. Respiratory Monitoring
pursed lips)

a.     Monitor rata – rata,


d.    Tanda tanda vital dalam
kedalaman, irama dan usaha
rentang normal
respirasi

b.     Catat pergerakan


dada,amati kesimetrisan,
penggunaan otot tambahan,
retraksi otot supraclavicular
dan intercostal

c.     Monitor suara nafas,


seperti dengkur

d.     Monitor pola nafas :


bradipena, takipenia,
kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot

e.     Catat lokasi trakea

3. Acid-Base Managemen

a.     Monitor IV line

b.    Pertahankanjalan nafas


paten

c.    Monitor AGD, tingkat


elektrolit

d.    Monitor status


hemodinamik(CVP, MAP,
PAP)

e.    Monitor adanya tanda


tanda gagal nafas

f. Monitor pola respirasi

g. Lakukan terapi oksigen


4 Ketidakefektif Setelah dilakukan tindakan a.    Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
an pola nafas keperawatan selama 3x24 jam
berhubungan Pasien menunjukan b.    Pasang mayo bila perlu
dengan keefektifan pola napas.
c.    Lakukan fisioterapi dada
hiperventilasi jika perlu
Kriteria Hasil :
d.    Keluarkan sekret dengan
batuk atau suction
a.       Tidak ada suara nafas
tambahan, tidak ada sianosis e.    Auskultasi suara nafas,
catat adanya suara tambahan
dan dyspneu (mampu
mengeluarkan sputum, mampu f.     Kolaborasikan
pemberian bronkodilator
bernafas dengan mudah, tidak
ada pursed lips) g.    Berikan pelembab udara
Kassa basah NaCl Lembab
b.      Menunjukkan jalan nafas
h.    Atur intake untuk cairan
yang paten (klien tidak merasa mengoptimalkan
keseimbangan.
tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam i.      Monitor respirasi dan
rentang normal, tidak ada status O2
suara nafas abnormal) j.      Bersihkan mulut,
hidung dan secret trakea
c.       Tanda Tanda vital dalam
k.    Pertahankan jalan nafas
rentang normal (tekanan yang paten
darah, nadi, pernafasan)
l.      Observasi adanya tanda
tanda hipoventilasi

m.  Monitor adanya


kecemasan pasien terhadap
oksigenasi

n.    Monitor vital sign

o.    Informasikan pada


pasien dan keluarga tentang
teknik relaksasi untuk
memperbaiki pola nafas

p.    Ajarkan bagaimana


batuk secara efektif

5 Ansietas Setelah dilakukan tindakan a. Gunakan pendekatan yang


menenangkan
berhubungan keperawatanselama 2x24 jam
dengan ansietas menurun/tidak ada. b. Nyatakan dengan jelas
harapan terhadap pelaku
perubahan
pasien
Kriteria Hasil :
dalam status
c. Jelaskan semua prosedur
kesehatan
a.   Klien mampu dan apa yang dirasakan
selama prosedur
mengidentifikasi dan
mengungkapkan gejala cemas d. Pahami prespektif pasien
terhdap situasi stres
b.  Mengidentifikasi,
e. Temani pasien untuk
mengungkapkan dan memberikan keamanan dan
mengurangi takut
menunjukkan tehnik untuk
mengontol cemas f. Berikan informasi faktual
mengenai diagnosis, tindakan
prognosis
c.   Vital sign dalam batas
normal

d.  Postur tubuh, ekspresi


wajah, bahasa tubuh dan
tingkat aktivitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media


Aesculapius

Udjianti, Wajan J. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba medika

dengan Usia Dewasa Di Rumah Sakit Dr. Kariadi Januari – Desember 2006.
Semarang: UNDIP

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono,
Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC,

Johnson, Marion.,et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition. 


New Jersey : Upper Saddle River

Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisidan Klasifikasi 2012-


2014. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai