Disusun oleh:
P27220016215
2. Etiologi
Gangguan eliminasi urine dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut:
a. Diet dan Asupan (intake)
Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang memengaruhi output
urine (jumlah urine). Protein dapat menentukan jumlah urine yang dibentuk.
Selain itu, juga dapat meningkatkan pembentukan urine.
b. Respons Keinginan Awal untuk Berkemih
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat menyebabkan
urine banyak tertahan di dalam urinaria sehingga memengaruhi ukuran vesika
urinaria dan jumlah urine.
c. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi
dalam kaitannya terhadap tersedianva fasilitas toilet.
d. Stres Psikologis
Meningkatnya stres dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi keinginan
berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkemih
dan jumlah urine yangdiproduksi.
e. Tingkat Aktivitas
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk fungsi
sfingter.Hilangnya tonus otot vesika urinaria menyebabkan kemampuan
pengontrolan berkemihmenurun dan kemampuan tonus otot didapatkan dengan
beraktivitas.
f. Tingkat Perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga dapat memengaruhi pola
berkemih. Haltersebut dapat ditemukan pada anak, yang lebih memiliki
mengalami kesulitan untukmengontrol buang air kecil. Namun dengan usia
kemampuan dalam mengontrol buang airkecil.
g. Kondisi Penyakit
Kondisi penyakit dapat memengaruhi produksi urine, seperti diabetes melitus.
h. Sosiokultural
Budaya dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine, seperti
adanya kulturpada masyarakat tertentu yang melarang untuk buang air kecil di
tempat tertentu.
i. Kebiasaan Seseorang
Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih di mengalamikesulitan untuk
berkemih dengan melalui urineal/pot urine bila dalam keadaan sakit.
j. Tonus Otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalam membantu proses berkemih
adalah ototkandung kemih, otot abdomen dan pelvis. Ketiganya sangat berperan
dalam kontraksipengontirolan pengeluaran urine.
k. Pengobatan
Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada terjadinya peningkatan
ataupenurunan -proses perkemihan. Misalnya pemberian diure;tik dapat
meningkatkan jumlah urine, se;dangkan pemberian obat antikolinergik dan
antihipertensi dapat menyebabkan retensi urine.
l. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik ini juga dap'at memengaruhi kebutuhan eliminasi urine,
khususnya prosedur-prosedur yang berhubungan dengan tindakan pemeriksaan
saluran kemih seperti IVY (intra uenus pyelogram), yang dapat membatasi
jumlah asupan sehingga mengurangi produksi urine. Se;lain itu tindakan
sistoskopi dapat menimbulkan edema lokal pada uretra yang dapat mengganggu
pengeluaran urine.
Pengeluaran urine:
Kontraksi otot dinding
abdomen dan
Timbul rangsang ingin Terjadilah proses
diafragma, peningkatan
BAK berkemih
tekanan kandung kemih
yang sebelumnya terisi
170-230 ml
Proses kejadian eleminasi urine ada dua langkah utama: Pertama, bila kandung
kemih saudara secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas
nilai ambang dikirim ke medulla spinalis diteruskan ke pusat miksi pada susunan saraf
pusat. Kedua, pusat miksi mengirim sinyal ke otot kandung kemih (destrusor), maka
spinter ekterna relaksasi berusaha mengosongkan kandung kemih, sebaliknya bila
memilih tidak berkemih spinter eksterna berkontraksi. Kerusakan pada medulla
spinalis menyebabkan hilangnya kontrol volunter berkemih, tetapi jalur refleks
berkemih dapat tetap sehingga terjadinya berkemih secara tetap, maka kondisi ini
disebut refleks kandung kemih (Kasiati dan Rosmalawati, 2016).
4. Manifestasi klinik
Beberapa gangguan eliminasi urine menurut Kasiati dan Rosmalawati (2016)
yaitu:
a. Retensi urine
Retensi urine adalah kondisi seseorang terjadi karena penumpukan urine dalam
bladder dan ketidakmampuan bladder untuk mengosongkan kandung kemih.
Penyebab distensi bladder adalah urine yang terdapat dalam bladder melebihi 400
ml. Normalnya adalah 250 - 400 ml. Kondisi ini bisa disebabkan oleh hipertropi
prostat, pembedahan, otot destrusor lemah dan lain-lain.
b. Inkontinensia Urine
Bila seseorang mengalami ketidak mampuan otot spinter eksternal sementara atau
menetap untuk mengontrol pengeluaran urine. Ada dua jenis inkontinensia:
Pertama, stres inkontinensia yaitu stres yang terjadi pada saat tekanan intra-
abdomen meningkat dan menyebabkan kompresi kandung kemih. Contoh
sebagian orang saat batuk atau tertawa akan mengalami terkencing-kencing, hal
tersebut bisa dikatakan normal atau bisa terjadi pada lansia. Kedua, urge
inkontinensia yaitu inkontinensia yang terjadi saat klien terdesak ingin berkemih
atau tiba-tiba berkemih, hal ini terjadi akibat infeksi saluran kemih bagian bawah
atau spasme bladder, overdistensi, peningkatan konsumsi kafein atau alkohol.
c. Enurisis
Enuresis adalah ketidaksanggupan menahan kemih (mengompol) yang tidak
disadari yang diakibatkan ketidakmampuan untuk mengendalikan spinter
eksterna. Biasanya terjadi pada anak-anak atau orang jompo. Faktor penyebab
takut keluar malam, kapasitas kandung kemih kurang normal, infeksi dan lain-
lain.
d. Perubahan Pola Berkemih
Dalam kaitannya dengan perubahan pola berkemih pada pasien yang mengalami
gangguan pemenuhan kebutuhan eleminasi urine, hal yang perlu saudara lakukan
pengkajian pada perubahan pola berkemih antara lain:
1) Frekuensi
Meningkatnya frekuensi berkemih tanpa intake ciran yang meningkat,
biasanya terjadi pada cystitis, stress, dan wanita hamil.
2) Urgency
Perasaan ingin segera berkemih dan biasanya terjadi pada anak-anak karena
kemampuan spinter untuk mengontrol berkurang.
3) Dysuria
Rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih misalnya pada infeksi saluran
kemih, trauma, dan striktur uretra.
4) Polyuria (Diuresis)
Produksi urine melebihi normal, tanpa peningkatan intake cairan misalnya
pada pasien DM.
5) Urinary Suppression:
Keadaan di mana ginjal tidak memproduksi urine secara tiba-tiba. Anuria
(urine kurang dari 100 ml/24 jam), olyguria (urine berkisar 100-500 ml/24
jam).
e. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah
suatu kondisi yang menyebabkan kelenjar prostat mengalami pembengkakan,
namun tidak bersifat kanker. Kelenjar prostat memiliki fungsi untuk memproduksi
air mani dan terletak pada rongga pinggul antara kandung kemih dan penis. Karena
kelenjar prostat hanya dimiliki oleh pria, maka tentu saja seluruh penderita BPH
adalah pria. Umumnya pria yang terkena kondisi ini berusia di atas 50 tahun.
1) Gejala BPH
Berikut ini gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh penderita pembesaran
prostat jinak (BPH):
a) Selalu ingin berkemih, terutama pada malam hari.
b) Inkontinensia urine atau beser.
c) Sulit mengeluarkan urine.
d) Mengejan pada waktu berkemih.
e) Aliran urine tersendat-sendat.
f) Mengeluarkan urine yang disertai darah.
g) Merasa tidak tuntas setelah berkemih.
Munculnya gejala-gejala tersebut disebabkan oleh tekanan pada kandung
kemih dan uretra ketika kelenjar prostat mengalami pembesaran. Disarankan
untuk menemui dokter jika Anda merasakan gejala BPH, meski ringan.
Diagnosis sangat diperlukan karena ada beberapa kondisi lain yang gejalanya
sama dengan BPH, di antaranya:
a) Prostatitis atau radang prostat.
b) Infeksi saluran kemih.
c) Penyempitan uretra.
d) Penyakit batu ginjal dan batu kandung kemih.
e) Bekas luka operasi pada leher kandung kemih.
f) Kanker kandung kemih
g) Kanker prostat.
h) Gangguan pada saraf yang mengatur aktivitas kandung kemih.
2) Penyebab BPH
Sebenarnya penyebab persis pembesaran prostat jinak (BPH) masih
belum diketahui, namun diperkirakan kondisi ini terjadi karena adanya
perubahan pada kadar hormon seksual akibat proses penuaan. Pada sistem
kemih pria terdapat sebuah saluran yang berfungsi membuang urine keluar dari
tubuh melalui penis, atau lebih dikenal sebagai uretra. Dan jalur lintas uretra
ini secara kebetulan melewati kelenjar prostat. Jika terjadi pembesaran pada
kelenjar prostat, maka secara bertahap akan mempersempit uretra dan pada
akhirnya aliran urine mengalami penyumbatan. Penyumbatan ini akan
membuat otot-otot pada kandung kemih membesar dan lebih kuat untuk
mendorong urine keluar. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko
seseorang terkena BPH adalah:
a. Kurang berolahraga dan obesitas.
b. Faktor penuaan.
a. Menderita penyakit jantung atau diabetes.
b. Efek samping obat-obatan penghambat beta.
c. Keturunan
f. Sistitis
Sistitis dalah inflamasi kandung kemih. Inflamasi ini dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri(biasanya Eacherichia Colf) yang menyebar dari uretra atau karena
respon alergi atau akibat iritasi mekais pada kandung kemih. Gejalanya adalah
sering berkemih dan nyeri yang disertai darah dalam urine (hematuria).
g. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah inflamasi nefron, terutama pada glomerulus.
Glomerulonefritis terbagi menjadi dua yaitu:
1) Glomerulonefritis akut seringkali terjadi akibat respon imun terhadap toksin
bakteri tertentu.
2) Glomerulonefritis kronik tidak hanya merusak glomerulus tetapi juga tubulus.
Infalamasi ini mungkin diakibatkan infeksi streptokokus, tetapi juga
merupakan akibat sekunder dari penyakit sistemik lain atau karena
glomerulonefritis akut.
h. Pielonefritis
Pielonefritis adalah inflamasi ginjal dan pelvis ginjal akibat infeksi bakteri.
Infalamasi dapat berawal ditraktus urinaria bawah (kandung kemih) dan menyebar
ke ureter, atau karena infeksi yang dibawa darah dan limfe ke ginjal. Obstruksi
traktus urinari terjadi akibat pembesaran kelenjar prosfat atau batu ginjal.
i. Batu Ginjal
Batu ginjal atau kalkuli Urinari terbentuk dari pengendapan garam kalsium,
magnesium, asam urat, atau sistein. Batu-batu kecil dapat mengalir bersam dengan
urine, batu yang lebih besar akan tersangkut dalam ureter dan menyebabkan raa
nyeri yang tajam(kolik ginjla) yang menyebar dari ginjal ke selangkangan.
j. Gagal Ginjal
Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Hal ini mengakibatkan terjadinya
retensi garam, air, zat buangan nitrogen (urea dan kreatinin) dan penurunan drastis
volume urine (oliguria). Gagal ginjal terbagi menjadi dua macam yaitu:
1) Gagal ginjal akut terjadi secara tiba-tiba dan biasanya berhasil diobati.
Penyakit ini ditandai dengan oliguria mendadak yang diikuti dengan
penghentian produksi urine (anuria) secara total. Hal ini disebabkan oleh
penurunan aliran darah ke ginjal akibat trauma atau cedera, glomerulonefritis
akut, hemoragi, tranfusi darah yang tidak cocok, atau dehidrasi berat.
2) Gagal ginjal kronik adalah kondisi progresif parah karena penyakit yang
mengakibatkan kerusakan parenkim ginjal, seperti glomerulonefritis kronik
atau pielonefritis, trauma, atau diabetes nefropati( penyakit ginjal yang
diakibatkan oleh diabetes melitus).
1) Urgensi
Cream estrogen vaginal, anticolenergik, imipramine (tofranile).
Diberikan pada malam hari dan klien diajurkan untuk sering berkemih
2) Over flow inkotinensia
Farmakologis prazocine (miniprise) dan cloridabetanecol (urechloine)
diberikan untuk menurunkan resistensi bagian luar dan meningkatkan
kontraksi kandung kemih.
b. Keperawatan
Pada pasien dengan retensi akut, terapi segera perlu dilakukan adalah
mendrainase kandung kemih. Karena resiko pendarahan kandung kemih,
hipotensi, atau drainase pasca obstruktif, dekompresi kandung kemih secara cepat
biasanya dihindari. Banyak dijumpai kasus drainase yang dilakukan terus-
menerus dengan kateter folley atau kateter intermitten, perlu
dilaksanakan hingga fungsi kandung kemih kembali normal, biasanya 48-72 jam.
6. Pemeriksaan penunjang
Adapun pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada retensio urine
adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan specimen urine (Pengambilan: steril, random, midstream.
b. Penagmbilan umum: pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb, KEton, Nitrit.
c. Sistoscopi
d. IVP.
7. Komplikasi
a. Urolitiasis atau nefrolitiasis
b. Pielonefritis
c. Hydronefrosis
d. Pendarahan
e. Ekstravasasi urine
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian pada kebutuhan elimiasi urine meliputi :
f. Kebiasaan berkemih
Pengkajian ini meliputi bagaimana kebisaan berkemih serta hambatannya.
Frekuensi berkemih tergatung pada kebiasaan dan kesempatan. Banyak orang
berkemih setiap hari pada waktu bangun tidur dan tidak memerlukan waktu untuk
berkemih pada waktu malam hari.
g. Pola berkemih
1) frekuensi berkemih
frekuesi berkemih menentuka berapa kali individu berkemih dalam waktu 24
jam
2) Urgensi
Perasaan seseorang untuk berkemih seperti seseorang ke toilet karena takut
megalami inkotinensia jika tidak berkemih
3) Disuria
Keadaan rasa sakit atau kesulitan saat berkemih. Keadaan ini ditemukan pada
striktur uretra, infeksi saluran kemih, trauma pada vesika urinaria.
4) Poliuria
Keadaan produksi urine yang abnormal yang jumlahnya lebih besar tanpa
adanya peingkata asupa caira. Keadaan ini dapat terjadi pada penyekit
diabetes, defisiensi ADH, da pen yakit kronis ginjal.
5) Urinaria supresi
Keadaan produksi urine yang berhenti secara medadak. Bila produksi urine
kurag dari 100 ml/hari dapat dikataka anuria, tetapi bila produksiya atara 100
500 ml/hari dapat dikataka sebagai oliguria.
h. Volume urine
Volume urine menentukan berapa jumlah urine yang dikeluarka dalam waktu 24
jam.
i. Faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih
1) diet dan asupan (diet tinngi protei dan natirum) dapat mempengaruhi jumlah
urine yang dibentuk, sedangka kopi dapat meningkatkan jumlah urine
2) gaya hidup
3) stress psikologi dapat meingkatka frekuensi keinginan berkemih.
4) Tingkat aktivitas
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine (retensi urine) berhubungan dengan peningkatan
tekanan uretra
3. Perencanaan Keperawatan
Kateterisasi urin
4. Evaluasi
a. Klien mampu berkemih secara normal tanpa mengalami gejala-gejala ggn
perkemihan
b. Karakteristik urin : kekuningan, jernih, tidak mengandung unsur yg abnormal
c. Mampu mengidentifikasi faktor-faktor yg mempengaruhi eliminasi
d. Tidak terjadi komplikasi akibat perubahan pola eliminasi
DAFTAR PUSTAKA
Kasiati dan Rosmalawati. 2016. Kebutuhan Dasar Manusia I. Pusat Pendidikan Sumber Daya
Manusia Kesehatan Kemenkes RI: Jakarta.
Annisa, dkk. 2016. Makalah Sistem Eliminasi Urine. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Kuningan (STIKKU)
Tim Pokja SDKI PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI
Moorhead, et al. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC), 5th edition. Elsevier: Singapura
Bulechek, et al. Nursing Interventions Classification, 6th edition. Elsevier: Singapura