Anda di halaman 1dari 38

PENYAKIT CROHN

Muhammad Fadhil, Metrila Harwati


I. PENDAHULUAN

Infammatory bowel disease (IBD) merupakan gambaran kondisi peradangan


saluran cerna kronik dan idiopatik. Salah satunya adalah penyakit Crohn.(1,2)
Di Amerika Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru Penyakit Crohn setiap 100.000
populasi/tahun dan 2,3 kasus. Secara umum, laki-laki mempunyai insidens 20% lebih
tinggi pada Penyakit Crohn. Pada anak, Penyakit Crohn biasanya dijumpai saat usia
10-16 tahun, dan sekitar 25% kasus baru di populasi berusia <20 tahun.(3)
Penyakit Crohn pertama kali dikenal oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer
pada tahun 1932. Saat ini, penyakit Crohn diketahui sebagai suatu proses inflamasi
kronis transmural yang melibatkan traktus gastrointestinal dari mulut sampai rektum.(4)
Penyakit Crohn adalah suatu kondisi inflamasi kronis yang memiliki potensi
melibatkan posisi apapun dari traktus digestivus mulai dari mulut sampai anus, tapi
dengan tendensi untuk intestinum distal dan colon proksimal. Inflamasi tersebut
biasanya diskontinyu pada aksis longitudinal intestinum dan bisa mengenai semua
lapisan dari mukosa sampai serosa.(4)
Etiopatogenesis penyakit crohn belum sepenuhnya dimengerti. Faktor genetik
dan lingkungan dalam saluran cerna seperti perubahan bakteri usus dan peningkatan
permeabilitas epitel saluran cerna diduga berperan dalam gangguan imunitas saluran
cerna yang berujung pada kerusakan saluran cerna.(5). Patofisiologi penyakit crohn
yang diterima luas berupa adanya respons imun berlebihan pada saluran cerna maka
secara umum terapi penyakit crohn saat ini lebih banyak berupa anti-inflamasi atau
imunosupresan.(5,6)
II. INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI
Meskipun penyakit crohn jarang terjadi, insiden penyakit crohn terus meningkat.
Mortalitas tertinggi terjadi pada tahun pertama dan penyakit dengan durasi lama karena
kanker kolon. Beberapa poin epidemiologi terlampir pada tabel berikut.(7)

1
Tabel 1. Epidemiologi penyakit crohn.(7)
Epidemiologi penyakit crohn
Insiden (Amerika Utara) per 3,1 – 14,6 : 100.000
person-years
Male / Female ratio 1,1 – 1,8 : 1
Merokok Mungkin bisa menyebabkan penyakit
Kontrasepsi oral Odds ratio 1,4
Appedectomy Non-protektif
Age of onset 60-80
Kembar dizigotik 4% terjadi pada keduanya
Insiden penyakit crohn beragam bergantung area geografiknya. penyakit crohn
memiliki insiden tertinggi di Eropa, United Kingdom, dan Amerika Utara.(7) Penyakit
crohn cenderung mempunyai puncak usia yang terkena pada usia muda antara umur
15-30 tahun dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.(3,8)

Gambar 1. Insiden penyakit crohn.(3)


Dari data di unit endoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta (RSCM, RS
Tebet, RS Siloam Gleaneagles, RS Jakarta) terdapat kesan bahwa kasus penyakit crohn
berkisar 12.2% kasus yang dikirim dengan diare kronik, 3.9% kasus hematoschezia,
25.9% kasus diare kronik, berdarah dan nyeri perut, sedangkan pada kasus nyeri perut
didapatkan sekitar 2.8%.(7)
Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya penyakit crohn adalah keadaan sosio-
ekonomik, riwayat merokok dan genetik. Area urban memiliki prevalensi lebih tinggi

2
untuk terjadinya penyakit crohn dari pada area rural, dan kelas sosio-ekonomik tinggi
memiliki prevalensi lebih tinggi daripada kelas sosio-ekonomik lebih rendah. Efek dari
perokok adalah 40% lebih tinggi daripada yang tidak merokok.(7)
Penyakit crohn adalah penyakit familial pada 5-10% pasien. Beberapa pasien
bisa memiliki manifestasi penyakit sejak dini selama dekade pertama kehidupannya,
dan bisa ada kesamaan letak anatomis dan tipe klinis dalam sekeluarga. Sisanya terjadi
secara sporadik. Jika pasien terkena penyakit crohn, terdapat <10% lifetime risk untuk
first degree relative. Jike kedua orangtua terkena penyakit crohn, tiap anak memiliki
resiko 36% untuk terkena penyakit crohn.(7)
Predisposisi genetik lain bisa terjadi dengan asosiasi dengan sindrom genetik
tertentu. Beberapa sindroma genetik primer yang berasosiasi dengan penyakit crohn
terlampir pada tabel 2.
Tabel 2. Kelainan genetik utama yang berkaitan dengan penyakit crohn.(7)

Kelainan genetik utama yang berkaitan dengan penyakit crohn


Nama Asosiasi genetik Fenotip
Sindroma Kehilangan sebagian atau Berkaitan CD colon
Turner seluruh kromosom X
Hermansky- Kromosom resesif autosomal Granulomatour colitis, albino
Pudlak 10q23 okulokutaneus, disfungsi
platelet, fibrosis pulmo
Sindroma Gangguan resesif X-linked, Colitis, defisiensi imun,
Wiskott-Aldric kehilangan fungsi protein disfungsi platelet berat, dan
(WAS) WAS trombositopenia
Glycogen Defisiensi protein transport Granulomatous colitis, ada pada
Storage Disease glucose-6-phosphate tipe B1 anak-anak disertai hipoglikemia,
gagal tumbuh, hepatomegali, dan
neutropenia
Immune Hilangnya faktor transkripsi UC-like autoimmune
dysregulation FoxP3 dan fungsi sel regulator enteropathy, dengan
polyendocrinopa endocrinopathy (neonatal type 1
thy, enteropathy diabetes atau tiroiditis),
X-linked (IPEX) dermatitis
Early onset IBD Fungsi reseptor IL-10 tidak penyakit crohn refrakter berat di
adekuat awal kehidupan

3
III. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Hingga saat ini, etiologi pasti penyakit crohn belum sepenuhnya dimengerti.
Banyak teori diajukan namun belum ada kausa tunggal yang diketahui sebagai
penyebab penyakit crohn. Salah satu teori yang diyakini adalah peranan mediasi
imunologi pada individu yang memang rentan secara genetis. Penyakit crohn diyakini
merupakan hasil respons imun yang menyimpang dan berkurangnya toleransi pada
orang normal usus yang berakibat terjadinya inflamasi kronik pada usus. Kondisi ini
didukung dengan adanya temuan antibodi terhadap antigen mikrobial dan
diidentikasinya gen CARD15 sebagai gen penyebab kerentanan terjadinya penyakit
crohn.(9) Secara genetis, disebutkan bahwa adanya mutasi pada gen NOD2 (gen IBD1)
atau CARD15 (gen NOD2) di kromosom 16 dapat dikaitkan dengan terjadinya
penyakit crohn. Meski demikian, gen-gen ini tidak disebutkan bersifat kausal terhadap
penyakit crohn.(10)
Secara umum, diperkirakan bahwa proses patogenesis penyakit crohn diawali
adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon pada individu rentan
dan dipengaruhi oleh faktor genetis, defek imun, lingkungan sehingga terjadi kaskade
(11)
proses inflamasi pada dinding usus.
Banyak mediator inflamasi telah dikenali dalam patogenesis penyakit crohn.
Sitokin yang dilepaskan oleh makrofag sebagai respons terhadap berbagai stimulus
antigenik akan berikatan dengan beragam reseptor dan menghasilkan efek autokrin,
parakrin, dan endokrin. Sitokin mengubah limfosit menjadi sel T dimana sel T helper-
1 (Th-1) berperan dalam patogenesis PC dan sel T-helper 2 ( Th-2) berperan dalam
KU. Respons imun ini akhirnya akan merusak mukosa saluran cerna dan memicu
terjadinya kaskade proses inflamasi kronik.(12)
Banyak studi pada beberapa dekade terakhir telah menunjukkan bahwa adanya
heparan sulfate proteoglycans (HSPGs) terikat mengatur aktivitas berbagai faktor
inflamasi.(16)Syndecan-1 (Sdc-1) merupakan contoh penting dari HSPGs yang menutup
permukaan sel epitel.(17)Sdc-1 memiliki beragam peranan biologis diantaranya

4
penyembuhan luka, tumorigenesis, dan pengaturan respons inflamasi. Peranan Sdc-1
dalam hal respons infamasi adalah dengan mengatur sinyal sitokin pro-inflamasi,
khususnya tumor necrosis factor-α (TNF-α).(13)
Floer dkk melakukan penelitian pada tikus percobaan dengan de sit ekspresi
Syndecan -1 (Sdc-1).(13) Ia mendapatkan bahwa Sdc-1 berperan dalam
mempertahankan integritas mukosa dengan mempengaruhi fungsi sel epitel, proliferasi
sel, ekspresi kemokin dan sitokin. Kekurangan atau penurunan ekspresi Sdc-1 akan
meningkatkan ekspresi sitokin pro-inflamasi terutama TNF-α, selain itu juga
mengganggu proses penyembuhan luka. Dalam studinya, Floer mendapatkan bahwa
pemberian enoxaparin mampu mengurangi kerusakan kolon pada tikus dengan de sit
ekspresi Sdc-1.(13)
Pada penyakit crohn, peradangan dapat melibatkan seluruh mukosa saluran cerna
dimulai dari mulut hingga ke anus dengan tiga bentuk pola umum yang khas yakni
adanya peradangan, striktur, dan stula. Berbeda dengan Kolitis Ulseratif, lesi pada
penyakit crohn tidak hanya melibatkan mukosa dan submukosa namun juga dapat
transmural.Hal ini menjadi penanda patologis yang khas untuk penyakit crohn. Selain
itu, lesi pada penyakit crohn bersifat diskontinu sehingga akan ditemukan skip
area.(11,12) Secara konsep, patogenesis penyakit crohn dapat digambarkan seperti pada
gambar 2.

5
Gambar 2. Patofisiologi Crohn’s Disease.(7)

Stadium dini Crohn’s disease ditandai dengan limfoedema obstruktif dan


pembesaran folikel-folikel limfoid pada perbatasan mukosa dan submukosa. Ulserasi
mukosa yang menutupi folikel-folikel limfoid yang hiperplastik menimbulkan
pembentukkan ulkus aptosa. Pada pemeriksaan mikroskopis, ulkus aptosa terlihat
sebagai ulkus-ulkus kecil yang berbatas tegas dan tersebar, dengan diameter sekitar 3
mm dan dikelilingi oleh daerah eritema. Sebagai tambahan, lapisan mukosa menebal
sebagai akibat dari inflamasi dan edema, dan proses inflamasi tersebut meluas hingga
melibatkan seluruh lapisan usus.(7)

6
Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih dalam dan
sering menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin buruknya penyakit, dinding usus
menjadi semakin menebal dengan adanya edema dan fibrosis, dan cenderung
menimbulkan pembentukkan striktura. Karena lapisan serosa dan mesenterium juga
mengalami inflamasi, maka lengkungan-lengkungan usus menjadi saling menempel.
Akibatnya, ulkus-ulkus yang telah meluas hingga keseluruhan dinding usus akan
membentuk fistula antar lengkungan usus yang saling menempel. Tetapi lebih sering
terjadi saluran sinus yang berakhir buntu ke dalam suatu cavitas abses di dalam ruang
peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum.(7)

Gambar 3. Makroskopik Crohn’s disease di kolon. Tampak penebalan dinding


disertai stenosis, linear serpiginous ulcer, dan gambaran cobblestone pada
mukosa.(7)

7
Gambar 4. Mikroskopik Crohn’s colitis. Tampak inflamasi akut dan kronis,
atrofi kripta, dan granuloma epiteloid kecil multipel pada mukosa usus.(7)

Gambar 5. Gambaran kolonoskopi pada (a) usus normal, (b) penyakit Crohn dengan
gambaran “Cobblestoning”, (c) gambaran pseudopolyps, (d) kolitis ulseratif berat.(7)

8
IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Anatomi saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring),
kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus.(14)

Gambar 6. Anatomi Sistem Pencernaan Manusia.(15)

Fisiologi sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut


sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima
makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam
aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan
sisa proses tersebut dari tubuh.(14,15)
1. Mulut (Oris)

Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air.Mulut


merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap dan jalan masuk untuk
system pencernaan yang berakhir di anus.Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh
selaput lendir.Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan
lidah. Pengecapan sederhana terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman
dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung, terdiri dari berbagai macam bau.

9
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi
belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna.
Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut
dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung
antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang
bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut secara
otomatis.(14,15)

Gambar 7. Anatomi Rongga Mulut.(15)

2. Tenggorokan (Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Didalam
lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe yang banyak
mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini
terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang
rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang keatas bagian depan
berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang bernama koana,
keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang yang
disebut ismus fausium. Tekak terdiri dari bagian superior yaitu bagian yang sama
tinggi dengan hidung, bagian media yaitu bagian yang sama tinggi dengan mulut

10
dan bagian inferior yaitu bagian yang sama tinggi dengan laring. Bagian superior
disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan tekak
dengan ruang gendang telinga. Bagian mediadisebut orofaring, bagian ini berbatas
ke depan sampai di akar lidah. Bagian inferior disebut laringofaring yang
menghubungkan orofaring dengan laring.(14,15)

3. Kerongkongan (Esofagus)

Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui


sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan
melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Esofagus bertemu
dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang.Menurut histologi, esofagus dibagi
menjadi tiga bagian yaitu bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka),
bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus), serta bagian inferior (terutama
terdiri dari otot halus) .(14,15)

Gambar 8. Anatomi Oesofagus dan gaster.(15)

11
4. Lambung (Gaster)

Merupakan organ otot berongga yang besar, yang terdiri dari tiga bagian
yaitu kardia, fundus dan antrium.Lambung berfungsi sebagai gudang makanan,
yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim.
Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting yaitu lendir, asam
klorida (HCL), dan prekusor pepsin (enzim yang memecahkan protein). Lendir
melindungi sel – sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung dan asam klorida
menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin guna
memecah protein.Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai
penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.(14,15)

5. Usus halus (Intestinum tenue)

Usus halus adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara
lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan
pecahan-pecahan makanan yang dicerna).Dinding usus juga melepaskan sejumlah
kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.Lapisan usus halus terdiri dari
lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang
dan lapisan serosa. Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari
(duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).(14,15)

a. Usus Dua Belas Jari (Duodenum)

Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus
yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong
(jejunum).Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus
halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum treitz.Usus

12
dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus
seluruhnya oleh selaput peritoneum.pH usus dua belas jari yang normal
berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara
saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu.Lambung melepaskan
makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian
pertama dari usus halus.Makanan masuk ke dalam duodenum melalui
sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika
penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti
mengalirkan makanan.(14,15)

Gambar 9. Anatomi duodenum.(15)

b. Usus Kosong (Jejenum)

Usus kosong atau jejunum adalah bagian kedua dari usus halus, di
antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada
manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1- 2 meter
adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan
digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.Permukaan dalam usus
kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang
memperluas permukaan dari usus. .(14)

13
c. Usus Penyerapan (Illeum)

Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus


halus.Pada sistem pencernaan manusia ileum memiliki panjang sekitar 2- 4
m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus
buntu.Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan
berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam empedu.(14)

6. Usus Besar (Intestinum crassum)

Usus besar atau kolon adalah bagian usus antara usus buntu dan
rektum.Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.Usus besar terdiri
dari kolon asendens (kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon
sigmoid (berhubungan dengan rektum).Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam
usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan danmembantu penyerapan zat-zat
gizi.Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti
vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus.Beberapa penyakit
serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus

14
besar.Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan
air, dan terjadilah diare.(14,15)

Gambar 10. Anatomi intestinum crassum.(15)

7. Rektum dan Anus

Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah
kolon sigmoid) dan berakhir di anus.Organ ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses.Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan
di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens
penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air
besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di
dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk
melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan
dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika
defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses
akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini,
tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian

15
otot yang penting untuk menunda BAB.Anus merupakan lubang di ujung saluran
pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh.Sebagian anus terbentuk dari
permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus.Pembukaan dan penutupan
anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi
(buang air besar) yang merupakan fungsi utama anus.(14,15)

V. DIAGNOSIS
Untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit Crohn, dibutuhkan
beberapa pemeriksaan penunjang. Diagnosis penyakit Crohn berdasarkan gejala
klinis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, gambaran mukosa
dengan endoskopi, dan patologi.

A. Gambaran klinik

Anamnesis yang lengkap tentang gejala gastrointestinal, gejala sistemik,


riwayat keluarga, gagal tumbuh, adanya keterlambatan perkembangan dan
kematangan seksual serta manifestasi ekstraintestinal. Pemeriksaan fisik tanda-
tanda dehidrasi, status nutrisi dan gejala ekstraintestinal. Adanya hipotensi
ortostatik, takikardia, distensi abdomen dan adanya massa merupakan indikasi
parahnya penyakit dan memerlukan perawatan.(7)

Gambaran klinis umum pada penyakit Crohn adalah demam, nyeri


abdomen, diare, dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen merupakan
gejala utama keterlibatan colon. Perdarahan perrectal lebih jarang terjadi.
Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri yang menetap dan terlokalisasi pada
kuadran kanan bawah abdomen. Pasien paling banyak mengeluhkan sakit perut
dan diare berkepanjangan yang kadang disertai darah, selain itu keluhan yang
sering timbul adalah:
a. Demam
b. Malaise

16
c. Mual muntah
d. Berat badan turun
e. Depresi dan cemas
f. Konstipasi dan obstipasi.(7)
B. Gambaran Radiologi

1. X-Rays Foto Polos dan Kontras (Barium Enema)

Peranan x-foto polos dalam mengevaluasi penyakit crohn adalah terbatas.


Dua keunggulan utama x-foto polos adalah :
(1). Untuk memastikan adanya obstruksi usus
(2). Untuk mengevaluasi adanya pneumoperitoneum sebelum dilakukannya
pemeriksaan radiologis lanjutan.(16)
Melalui x-foto polos dapat pula diketahui adanya sacroiliitis atau batu
ginjal oksalat yang mungkin terjadi pada penderita penyakit crohn. Pemeriksaan
barium enema kontras ganda bermanfaat dalam mendiagnosis penyakit inflamasi
usus yakni penyakit crohn khususnya pada tahap dini penyakit. Pada pemeriksaan
kontras ganda, penyakit crohn tahap dini ditandai dengan adanya ulkus aptosa
yang tersebar, yang terlihat sebagai bintik-bintik barium yang dikelilingi oleh
edema yang radiolusen. Ulkus-ulkus aptosa seringkali terpisah oleh jaringan usus
yang normal dan terlihat sebagai skip lesions.(16)
Sejalan dengan makin parahnya penyakit, ulkus-ulkus yang kecil akan
membesar, lebih dalam, dan saling berhubungan menjadi ulkus-ulkus yang
berbentuk seperti bintang, berpinggiran tajam, atau linear. Ulkus-ulkus ini paling
sering terlihat di daerah ileum terminal disepanjang perbatasan mesenterium.
Gambaran ini patognomonik dari penyakit crohn Sebagaimana inflamasi
menembus lapisan submukosa dan muskularis, ulkus-ulkus tersebut terpisah satu
sama lain oleh edema pada dinding usus dan pada pemeriksaan dengan kontras
terlihat gambaran pola-pola “cobblestone” atau nodular, yaitu pengisian kontras

17
pada lekukan ulkus yang terlihat radioopaque dikelilingi mukosa usus yang
radiolusen.(16)

Kadang-kadang terjadi inflamasi transmural yang berakibat pengecilan


diameter lumen usus dan distensinya menjadi terbatas. Hal ini tampak sebagai
“string sign” .(16)

Gambar 11.. Gambar X-Ray dengan Barium. Tampak halo sign sebagai tanda dari
ulkus aptosa.(16,17)

Sejalan dengan makin parahnya penyakit, ulkus-ulkus yang kecil


akan membesar, lebih dalam, dan saling berhubungan menjadi ulkus-ulkus
yang berbentuk seperti bintang, berpinggiran tajam, atau linear. Ulkus-
ulkus ini paling sering terlihat di daerah ileum terminal disepanjang
perbatasan mesenterium. Gambaran ini patognomonik dari penyakit crohn.
Sebagaimana inflamasi menembus lapisan submukosa dan muskularis, ulkus-
ulkus tersebut terpisah satu sama lain oleh edema pada dinding usus dan pada
pemeriksaan dengan kontras terlihat gambaran pola-pola “cobblestone” atau
nodular, yaitu pengisian kontras pada lekukan ulkus yang terlihat

18
radioopaque dikelilingi mukosa usus yang radiolusen.(16) Seperti pada
gambar 13.

Gambar 14. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum


terminalis memperlihatkan ulserasi linear, longitudinal dan transversal yang
membentuk “cobblestone appearance”.(17)

Kadang-kadang terjadi inflamasi transmural yang berakibat pengecilan


diameter lumen usus dan distensinya menjadi terbatas. Hal ini tampak sebagai
“string sign”.(16)

Gambar 15. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum


terminalis memperlihatkan beberapa penyempitan dan striktura, yang memberikan

19
gambaran “string sign”.(17)

Ulkus Aptoid dapat terdeteksi melalui pemeriksaan barium enema pada


25 – 50% pasien dengan penyakit crohn. Secara umum, didapatkan hasil
negatif palsu sebanyak 18 – 20% kasus. Akan tetepi, barium enema
mempunyai akurasi sebesar 95% dalam membedakan antara penyakit crohn
dengan colitis ulserativa.(16)

2. CT-SCAN

Peranan pencitraan CT dalam evaluasi penyakit crohn telah diterima


secara luas. Kemampuan CT untuk mencitrakan keterlibatan usus dan patologi
ekstraluminal (misalnya, abses, obstruksi, fistula) membuatnya menjadi cara
pencitraan yang penting. Hasil pencitraan CT pada penyakit crohn tahap dini
adalah penebalan dinding usus, yang biasanya melibatkan usus halus bagian
distal dan colon, meskipun setiap segmen pada saluran cerna dapat terlibat.
Biasanya, penebalan dinding usus mencapai 5 – 15 mm.(16)

Ulserasi pada mukosa dapat terdeteksi pada potongan tipis CT. dapat pula
terlihat adanya lilitan mesenterium, penebalan lapisan lemak mesenterium,
adenopati lokal, fistula, dan abses.(16)

Edema atau inflamasi jaringan lemak mesenterium menimbulkan


peningkatan hilangnya densitas lemak, yang disebut “hazy fat” pada CT.
Inflammasi atau fibrosis jaringan lemak yang lebih besar menimbulkan
menghilangnya densitas pita linear jaringan lunak yang melintasi mesenterium.
Pada CT, sebuah massa yang berbatas kabur dengan densitas campuran dapat
menunjukkan adanya flegmon atau tahap dini pembentukan abses. Pembesaran

20
kelenjar limfe biasanya terlihat proksimal terhadap dinding usus disepanjang sisi
mesenterium.(16)

CT - Scan merupakan prosedur radiologis pilihan pertama pada pasien-


pasien dengan gejala-gejala akut penyakit crohn. Kemampuan CT-Scan dalam
mencitrakan dinding usus, organ-organ abdomen yang lokasinya berdekatan
dengan usus, mesenterium dan retroperitoneum membuatnya lebih unggul
terhadap pemeriksaan radiologi konvensional dengan kontras barium dalam
mendiagnosis komplikasi-komplikasi yang menyertai penyakit crohn. CT-Scan
dapat secara langsung menunjukkan penebalan dinding usus, edema mesenterika,
limfadenopati, phlegmon dan abses. Sensitivitas CT- Scan untuk penyakit crohn
adalah sekitar 71%.(16)

CT-Scan tidak hanya merupakan prosedur diagnostik terpilih, tetapi dapat


pula digunakan dalam penatalaksanaan abses, yaitu melalui prosedur CT-guided
percutaneous abscess drainage, yang telah menampakkan hasil yang sangat
memuaskan.(16)

21
Gambar 17. Temuan CT pada penyakit Crohn akut. A, Peradangan aktif menyebabkan
hyperenhancement mukosa dan penebalan dinding usus lebih besar dari 3mm. B,
Engorgement dari vasa recta yang berdekatan dengan lingkaran usus yang meradang
adalah temuan spesifik dalam penyakit crohn aktif dan telah menciptakan "comb sign".
C, edema submukosa menghasilkan karakteristik "target sign”.(17)

Pada penyakit crohn akut dengan pemeriksaan CT-scan didapatkan


lapisan submukosa rendah atenuasi yang diselingi antara lapisan mukosa dan
serosa. Stratifikasi mural ini juga disebut sebagai "target sign" karena penampilan
khasnya. Fitur yang paling spesifik untuk penyakit crohn aktif adalah
membesarnya vasa recta yang berdekatan dengan lingkaran usus yang meradang,
sebuah temuan yang dikenal sebagai "comb sign".(17)

Gambar 18. Temuan CT dalam penyakit crohn kronis. Proliferasi lemak fibro dari
lemak mesenterika, atau "creeping fat sign".(17)

Penegakan penyakit crohn, bersifat fibrotik, dan ireversibel. Adanya


penyempitan luminal dengan pelebaran usus proksimal sangat menandakan
fibrosis. Peradangan yang lama menyebabkan deposisi lemak di dalam
submukosa dinding usus. retraksi fibrotik secara khusus mempengaruhi dinding

22
usus mesenterika, yang menyebabkan munculnya pseudososis pada sisi anti-
mesenterika yang juga dapat dilihat dengan fluoroskopi. Akhirnya, penyakit
crohn transmural kronis, mungkin karena rangsangan inflamasi kronis,
menghasilkan proliferasi fibrofatosa pada lemak mesenterika, yang juga
diketahui pada pemeriksaan CT sebagai " creeping fat sign.(17)

Komplikasi ekstra-mural penyakit crohn sangat baik digambarkan oleh


CT-scan. Penyakit penetrasi terjadi pada sekitar 20% dengan penyakit crohn,
dengan fistula yang merupakan patologi paling umum pada kategori ini. Saluran
fistulous dapat terbentuk di antara dua jahitan berjajar epitel di perut, seperti loop
usus lainnya (entero-enteric), kandung kemih (entero-vesikularis), dan kulit
(entero-cutaneous). Saluran komunikasi yang mengisi dengan kontras enteral
adalah diagnostik. Evaluasi dengan CT-scan sangat sensitif. Untuk deteksi
fistula, meskipun lokasi anatomi tertentu seperti daerah perianal lebih baik
dicitrakan oleh MRI, seperti yang dibahas di bawah ini. Abses intra-abdomen
adalah koleksi cairan ekstra-luminal yang tidak berkomunikasi dengan usus.
Diskontinuitas pengumpulan abses dengan lumen usus penting untuk dilakukan
namun terkadang dapat menantang, karena kontras enteral saraf di dalam usus
meniru karakteristik atenuasi cairan yang terinfeksi di dalam rongga abses. Untuk
alasan ini, kontras enteral positif sering kali lebih disukai daripada kontras netral
pada pasien dengan abses yang dicurigai.(17)

23
Gambar 19. Komplikasi penyakit Crohn pada CT-scan. A).Fistula antara dua loop usus
halus digambarkan dengan baik oleh CT sebagai saluran kontras mulut yang tipis yang
menghubungkan lumens dari dua loop. B), Abses intra-abdomen yang posterior usus
besar distal, kemungkinan karena adanya microperforasi, diidentifikasi pada pasien
ini.(17)

3. MRI

Secara tradisional, MRI hanya memberikan manfaat yang terbatas dalam


pemeriksaan abdomen karena banyaknya artefak yang bergerak. Dengan adanya
peningkatan gradien dan pencitraan dengan menahan napas telah memungkinkan
pencitraan MRI terhadap abdomen dan pelvis pada sebagian besar pasien.
Serbagai tambahan, untuk mencapai pencitraan yang optimal dengan MRI
seringkali membutuhkan penggunaan sejumlah besar volume zat kontras positif
atau negatif yang diberikan baik secara oral atau melalui selang nasojejunal atau
rectal. Akan tetapi, pasien dengan penyakit akut mungkin tidak dapat men-
toleransi pemberian sejumlah besar cairan per oral. Jika terjadi distensi usus
suboptimal, akan terjadi gangguan dalam mendeteksi segmen-segmen usus yang
ter-inflamasi. (16)

Secara tradisional, MRI dapat mengevaluasi komplikasi-komplikasi


anorectal Crohn’s disease dengan baik. MRI dengan teknik regular fast spin-
echo,dapat mendeteksi adanya fistula, saluran sinus, dan abses pada regio
anorectal. (16)

Saluran sinus dan fistula sering terlihat hiperintense pada pencitraan T1-
weighted dan hiperintense pada T2-weighted karena kandungan cairannya.
Dengan supresi lemak, sinyal cairan dapat di-intensifikasi dan dengan mudah
terlihat hiperintense pada pencitraan T2-weighted. Suatu abses sering terlihat
sebagai pengumpulan yang terisolasi dari daerah-daerah dengan intensitas sinyal

24
tinggi (high-signal-intensity areas) pada pencitraan T2-weighted, khususnya
pada fossa ischioanal.(16)

Parameter-parameter penyakit aktif mencakup penebalan dinding,


proliferasi fibrosa dan lemak, dan enhancement dinding usus dengan zat kontras
gadolinium-based. Selama fase inflamasi aktif, enhancement gadolinium dinding
usus dapat pula terlihat pada pencitraan T2-weighted, dan dapat dengan mudah
dibedakan dari usus yang normal. Pola enhancement dideskripsikan oleh Koh et
al sebagai “berlapis-lapis” dan spesifik untuk Crohn’s disease.(16)

Gadolinium-enhanced spoiled gradient-echo MRI mempunyai sensitivitas


sekitar 85 – 89%, spesifisitas sekitar 96 – 94%, dan akurasi sekitar 94 – 91%
untuk mendeteksi penyakit akut. Sementara single-shot fast spin-echo MRI
mempunyai sensitivitas sekitar 51 – 52%, spesifisitas sekitar 98 – 96%, dan
akurasi sekitar 83 – 84%. Hasil positif palsu paling sering terjadi jika terdapat
enhancement gadolinium tanpa adanya penebalan usus. Hasil negatif palsu paling
sering terjadi jika terdapat distensi usus yang suboptimal.(16)

Gambar 20. Pencitraan MRI pada pasien dengan Crohn’s disease menunjukkan

25
penebalan dinding colon kanan dengan peningkatan sinyal intramural pada pencitraan
T1-weighted. Hal ini dipercaya sebagai gambaran adanya deposisi lemak intramural.(22)

Gambar 21. Skip lesions mengacu pada peradangan selaput lendir "skipping" dari usus,
yang tidak terpengaruh (panah hijau) .(22)

Gambar 22. Saluran sinus dan fistula merupakan komplikasi umum pada pasien
dengan penyakit Crohn. Keduanya menunjukkan peningkatan yang mencolok pada
citra T1 setelah pemberian gadolinium.(22)

26
Gambar 23. Abses sering terlihat pada pasien dengan penyakit Crohn yang parah.
Abses ditandai dengan peningkatan pelek pada gambar T1 pasca kontras dan intensitas
sinyal sentral yang tinggi pada gambar T2.(22)

4. USG

Hasil pemeriksaan USG mempunyai variabilitas yang tinggi, yang


tergantung pada keahlian pemeriksa dalam mendeteksi perubahan-perubahan
pada dinding usus.(16)

USG dapat menjadi alternatif dari CT Scan dalam mengevaluasi


manifestasi-manifestasi intra dan ekstra luminal dari Crohn’s disease. Dinding
saluran cerna yang normal terlihat sebagai 5 konsentris dari lapisan-lapisan
echogenic dan hypoechoic yang berseang-seling; gambaran ini dikenal sebagai
“the gut signature”. Dinding saluran cerna yang normal mempunyai ketebalan
kurang dari 5 mm.(16)

27
Pada kasus Crohn’s disease aktif, ketebalan dinding usus berkisar antara
5 mm hingga 2 cm dengan gambaran lapisan-lapisan yang menghilang sebagian
atau seluruhnya, yang merefleksikan adanya edema transmural, inflamasi, atau
fibrosis. Jika terjadi inflamasi yang hebat, dinding usus akan tampak hypoechoic
merata dengan garis hyperechoic ditengahnya yang berhubungan dengan
penyempitan lumen. Gerakan peristalsis menurun atau menghilang, dan segmen
usus yang sakit tidak dapat dikompresi dan kaku dengan hilangnya haustra.(16)

USG dapat mencitrakan adanya “ballooning” dari segmen-segmen yang


tidak terlibat, yang terlihat sebagai kantung-kantung fokal. Hasil pemeriksaan ini
merefleksikan “skip lesions” pada Crohn’s disease. Akurasi USG dapat
ditingkatkan dengan menggunakan pencitraan berwarna Doppler, yang dapat
bermanfaat dalam mendeteksi dinding usus yang hiperemis atau terinflamasi
selama fase aktif penyakit.(16)

Dengan adanya inflamasi transmural, terjadilah edema and fibrosis dari


mesenterium yang berhubungan, berakibat adanya proyeksi jaringan lemak
mesenterium yang terlihat seperti jari-jari yang mencengkram permukaan serosa
usus. Pada ultrasonogram, gambaran ini tampak sebagai massa yang hyperechoic,
yang secara klasik terlihat pada batas cephalic ileum terminal. Dengan penyakit
yang telah berlangsung lama, gambaran ini akan terlihat lebih heterogen atau
bahkan hypoechoic.(16)

28
( a) (b)

Gambar 24. (a) koeksistensi dua pola. Lapisan stenotik dan menebal dengan
stratifikasi yang diawetkan dan segmen diam dengan hilangnya stratifikasi. (b) Saluran
usus stenotik ditandai dengan dilatasi dilema lumen usus, dengan dinding usus yang
menebal.(18)

(a ) (b)

Gambar 25. A). Penebalan dinding tanpa stratifikasi dan lumen hyperecoic. Reguler
margin luar lingkaran. Hipertrofi lemak sentral. B). Dinding menebal dengan hilangnya
Stratifikasi normal Margin luar terputus dengan penyimpangan indo hypoecoic akibat
temuan ekstramural..(18)

29
C. Pemeriksaan Laboratorium

Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
penyakit crohn Pemeriksaan laboratorium dapat membantu dalam menilai
keberhasilan pengobatan, petanda inflamasi, petanda gejala klinis ekstraintestinal
dan status nutrisi. Penyakit aktif dapat dihubungkan dengan peningkatan fase
reaktan akut [C-reactive protein (CRP)], jumlah platelet, rasio sedimen eritrosit
[Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR)], dan penurunan hemoglobin. Pada
pasien-pasien dengan penyakit berat, level albumin serum akan turun secara
cepat. Leukositosis dapat dijumpai namun bukan merupakan indikator spesifik
terhadap aktivitas penyakit. (7,19)

Pemeriksaan feses rutin dan biakan mikroorganisme feses dilakukan


untuk membantu penentuan apakah peradangan disebabkan oleh infeksi atau
non-infeksi. Dua petanda antibodi spesifik penyakit crohn telah diketahui
antibodi tersebut adalah perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody
(pANCA) dan antibodi anti saccharomyces cervisiae (ASCA). Antibodi pANCA
ditemukan 45% pada Penyakit Crohn. Sedangkan antibodi ASCA ditemukan
pada 60-70% Penyakit Crohn. Pada 2 penelitian seroepidemiologi menunjukkan
bahwa kombinasi pANCA negatif dan ASCA positif mempunyai nilai prediksi
positif Penyakit Crohn 95-96%.(7)

VI. DIFFERENSIAL DIAGNOSIS RADIOLOGI


Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai diagnosis banding
penyakit crohn antara lain :
• Tuberculosis gastrointestinalis
• Kolitis ulseratif

30
1. Kolitis ulserativa adalah sejenis penyakit usus inflamasi (IBD) yang secara khas
melibatkan Usus besar. Ini adalah penyakit poligenik multifaktorial; etiologi
yang tidak diketahui namun kemungkinan adalah faktor lingkungan, disfungsi
kekebalan, dan kemungkinan predisposisi genetik.(20)

Gambar 26. Radiografi abdomen polos pada pasien tampak megacolon toksik
dikonfirmasi sebagai kolitis ulseratif.(20)

31
(a) (b)
Gambar 27. a). Radiografi abdomen polos pada pasien dengan kolitis ulserativa yang
diketahui mengalami eksaserbasi akut pada gejalanya. Gambar menunjukkan
thumbprinting di daerah lilitan limpa dari usus besar. b). Radiografi abdomen polos
dengan riwayat kolitis ulseratif menunjukkan pseudopolyp di kolon desendens.(20)

(a) (b)
Gambar 28. a). Single-contrast enema pada pasien dengan kolitis ulseratif yang
diketahui dalam remisi menunjukkan stricture colon sigmoid. b). Single-contrast
enema pada pasien dengan kolitis total menunjukkan double tracking ulcer.(20)
2. Tuberculosis gastrointestinalis didefinisikan sebagai infeksi organ peritoneum
dan limfatik abdomen oleh organisme Mycobacterium tuberculosis.(21)

32
Gambar 29. a). Radiografi polos dengan limfadenopati mesenterika kalsifikasi difus
pada pasien dengan tuberkulosis. b). Pemeriksaan barium menunjukkan adanya striktur
duodenum yang panjang yang disebabkan oleh tuberkulosis.(21)

Penyakit yang memiliki gejala mirip dengan penyakit crohn tertera dalam
tabel 3.

Tabel 3. Penyakit yang mirip penyakit crohn.(7)

Dengan dasar etiologi infeksi


Bakteri Mycobacteria Virus
- Salmonella - Tuberculosis - Cytomegalovirus
- Shigella - Mycobacterium - HIV
- Toksigenik avium - Herpes simplex
- E.coli Parasit Fungi
- Campylobacter - Amebiasis - Histoplasmosis
- Yersinia - Isospora - Candida
- Clostridium difficile - Trichuris trichiura - Aspergillus
- Gonorrhea - Hookworm
- Chlamydia - Strongyloides
trachomatis
Dengan dasar etiologi non infeksi
Inflamasi Neoplastik Obat dan bahan
 Appendicitis  Limfoma kimia
 Diverculitis  Karsinoma  NSAID
 Diversion colitis metastasis  Phosphosoda
 Collagenous / lymphocytic  Karsinoma  Cathartic colon
colitis ileum  Emas
 Ichemic colitis  Carcinoid  Kontrasepsi oral
 Radiation colitis / enteritis  Poliposis  Kokain
 Sindrom ulkus rektal soliter familial  Kemoterapi
 Gastroenteritis eosinofilik

33
 Neutropenic colitis
 Behςet’s syndrome
 Graft-versus host disease

VII. KOMPLIKASI

Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi: (1) Perforasi usus
yang terlibat, (2) Terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, (3) Megakolon
toksik (terutama pada KU), (4) Perdarahan, (5) Degenerasi maligna. Diperkirakan
resiko terjadinya kanker pada penyakit crohn lebih kurang 13%.(8)

Inflamasi transmural dari lapisan mukosa hingga serosa merupakan


penyebab komplikasi intestinal tersering pada Penyakit Crohn, sehingga terjadi
adhesi, striktur, dan abses, yang meningkatkan resiko obstruksi serta pertumbuhan
bakteri yang berlebihan dan fistula. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa
keganasan, malnutrisi dan gagal tumbuh. Fistula dapat terjadi enterokutan,
enteroenteral, enterokolika, perirektal, labial, enterovaginal, dan enterovesikal.(7)

VIII. PENATALAKSANAAN

Mengingat bahwa etiologi dan patogenesis penyakit crohn belum jelas,


maka pengobatannya lebih ditekankan pada penghambatan kaskade proses
inflamasi jika tidak dapat dihilangkan sama sekali.(8)

Prinsip tatalaksana medikamentosa pada penyakit crohn yaitu: (1)


Mengobati kedarangan aktif penyakit crohn dengan cepat sampai tercapai remisi;
(2) Mencegah radang berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin;
(3) Mengobati serta mencegah terjadinya komplikasi. Tidak semua lini kesehatan
memiliki fasilitas endoskopi sehingga diperlukan suatu alogaritma penatalaksanaan
terutama pada lini kesehatan primer. Tindakan bedah dipertimbangkan pada tahap
akhir jika medikamentosa gagal atau jika terjadi komplikasi yang tidak teratasi.(4,6)

34
Dengan dugaan adanya faktor proinflamasi dalam bentuk bakteri
intralumen usus dan komponen diet sehari-hari yang dapat mencetuskan proses
inflamasi kronik pada kelompok orang yang rentan, maka diusahakan untuk
mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotik, lavase usus,
mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja usus, dan perubahan pola diet.(8)

Pemberian antibiotik misalnya metronidazole dosis terbagi 1500 – 3000 mg


per hari dikatakan cukup bermanfaat menurunkan derajat aktivitas penyakit,
terutama penyakit crohn.

IX. PROGNOSIS
Pada dasarnya, penyakit crohn merupakan penyakit yang bersifat remisi dan
eksaserbasi. Cukup banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan dan
dalam jangka waktu yang lama. Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya
komplikasi atau tingkat respon terhadap pengobatan konservatif.(8)

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Firmansyah MA. Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan


Inflammatory Bowel Disease. CDK-203 2013; 40(4):247-52.
2. Kuhbacher T, Folsch UR. Practical guidelines for the treatment of inflammatory
bowel disease. World J Gastroenterol 2007;13(8):1149-55.
3. Loftus EV, Shivashankar R, Tremaine WJ, Harmsen WS, Zinsmeisetes AR.
Updates Incidence and Prevalence of Crohn’s Disease and Ulcerative Colitis in
Olmsted Country, Minnesota (1970-2011). AGC 2014 Annual Scientic Meeting.
October 2014.
4. Crohn’s & Colitis Foundation of America. The Facts about Inflammatory
BowelDiseases2014.Availableat:http://www.ccfa.org/assets/pdfs/updatedibdfactbo
ok.pdf. Accessed on 2016, March 1.

5. Bernstein CN, Fried M, Krabshuis JH, Cohen H, Eliakim R, Fedail S, et al. World
gastroenterology organization practice guidelines for the diagnosis and management
of IBD in 2010. Inflamm Bowel Dis 2010; 16(1): 112-24.
6. Tamboli CP. Current medical therapy for chronic in ammatory bowel disease. Surg
Clin N Am 2007; 87: 697-725.
7. Friedman S, Blumberg RS. Inflammatory Bowel Disease. Dalam: Longo DL, Fauci
AS, penyunting. Harrison, Gastroentrology and Hepatology. 17th edition. United
States: The McGraw-Hill Companies; 2010; 16: 174-95.
8. Djojoningrat D. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan Pengobatannya
di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2010:
591-7.
9. Bossuyt X. Serologic markers in in ammatory bowel disease. Clinical Chem

2006;52(2):171-81. 


36
10. Bengston MB, Solberg IC, Aamodt G, Jahnsen J, Moum B, Vatn MH.
Relationships between in ammatory bowel disease and perinatal factors: both

maternal and paternal disease are 
 related to preterm birth o spring. In amm

Bowel Dis 2010; 16(5): 847-55.


11. Kelompok Studi Infammatory Bowel Disease Indonesia. Konsensus nasional
penatalaksanaan infammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Jakarta:

Perkumpulan Gastroenterologi 
 Indonesia 2011.

12. Rowe WA, Katz J. Inflammatory bowel disease. Available at:


http://www.medscape.com. Accessed on 2017, December 21.
13. Floer M, Gotte M, Wild MK, et al. Enoxaparin improves the course of dextran
sodium sufate-induced colitis in syndecan-1-de cient mice. Am J Path.

2010;176(1):146-57. 


14. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke system, Edisi keenam. Jakarta: EGC;
2012: 641-92.
15. Putz R, Pabst R. Sobotta atlas of human anatomy. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2012: 99 : v1-v2
16. Yung-Hsin C. Crohn Disease. 2015.
http://www.emedicine.com/radio/topic197.htm. and Ghazi j. Crohn
Disease Treatment & Management. 2017.
http://emedicine.medscape.com/article/172940-treatment#d15 Accessed on 2017,
December 21.
17. Rahul A, Sheth, Michael. The role imaging in inflammatory bowel disease
evaluation. Massachusetts General Hospital, Harvard Medical School, Boston,
Massachusetts. 2012; 139-143.
18. Gianluca G, Graziella G, Veronica M, Cinzia L, Luigi M, Ilario D S,
Anton,Roberto. Crohn’s Disease Imaging: A Review. 2011; 3-9 : v2.

37
19. Carter MJ, Lobo AJ, Travis SP. Guidelines for the management of inflammatory
bowel disease in adults. Gut 2004; 53 (Suppl V): v1-v16.
20. Nawaz A. Ulcerative colitis imaging. 2015.
http://emedicine.medscape.com/article/375166-overview Accessed on 2017,
December 22.
21. Kumar M. Tuberculosisgastrointestinal imaging. 2015.
http://emedicine.medscape.com/article/376015-overview Accessed on 2017,
December 22.
22. Puylaert C, Tielbeek J, Stoker j. 2016. Crohn’s disease evaluation with MRI.
http://www.radiologyassistant.nl/en/p5289d9a1932db/crohns-
disease.html#in55deb01d9d989 Accessed on 2017, December 22.

38

Anda mungkin juga menyukai