1
Tabel 1. Epidemiologi penyakit crohn.(7)
Epidemiologi penyakit crohn
Insiden (Amerika Utara) per 3,1 – 14,6 : 100.000
person-years
Male / Female ratio 1,1 – 1,8 : 1
Merokok Mungkin bisa menyebabkan penyakit
Kontrasepsi oral Odds ratio 1,4
Appedectomy Non-protektif
Age of onset 60-80
Kembar dizigotik 4% terjadi pada keduanya
Insiden penyakit crohn beragam bergantung area geografiknya. penyakit crohn
memiliki insiden tertinggi di Eropa, United Kingdom, dan Amerika Utara.(7) Penyakit
crohn cenderung mempunyai puncak usia yang terkena pada usia muda antara umur
15-30 tahun dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.(3,8)
2
untuk terjadinya penyakit crohn dari pada area rural, dan kelas sosio-ekonomik tinggi
memiliki prevalensi lebih tinggi daripada kelas sosio-ekonomik lebih rendah. Efek dari
perokok adalah 40% lebih tinggi daripada yang tidak merokok.(7)
Penyakit crohn adalah penyakit familial pada 5-10% pasien. Beberapa pasien
bisa memiliki manifestasi penyakit sejak dini selama dekade pertama kehidupannya,
dan bisa ada kesamaan letak anatomis dan tipe klinis dalam sekeluarga. Sisanya terjadi
secara sporadik. Jika pasien terkena penyakit crohn, terdapat <10% lifetime risk untuk
first degree relative. Jike kedua orangtua terkena penyakit crohn, tiap anak memiliki
resiko 36% untuk terkena penyakit crohn.(7)
Predisposisi genetik lain bisa terjadi dengan asosiasi dengan sindrom genetik
tertentu. Beberapa sindroma genetik primer yang berasosiasi dengan penyakit crohn
terlampir pada tabel 2.
Tabel 2. Kelainan genetik utama yang berkaitan dengan penyakit crohn.(7)
3
III. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Hingga saat ini, etiologi pasti penyakit crohn belum sepenuhnya dimengerti.
Banyak teori diajukan namun belum ada kausa tunggal yang diketahui sebagai
penyebab penyakit crohn. Salah satu teori yang diyakini adalah peranan mediasi
imunologi pada individu yang memang rentan secara genetis. Penyakit crohn diyakini
merupakan hasil respons imun yang menyimpang dan berkurangnya toleransi pada
orang normal usus yang berakibat terjadinya inflamasi kronik pada usus. Kondisi ini
didukung dengan adanya temuan antibodi terhadap antigen mikrobial dan
diidentikasinya gen CARD15 sebagai gen penyebab kerentanan terjadinya penyakit
crohn.(9) Secara genetis, disebutkan bahwa adanya mutasi pada gen NOD2 (gen IBD1)
atau CARD15 (gen NOD2) di kromosom 16 dapat dikaitkan dengan terjadinya
penyakit crohn. Meski demikian, gen-gen ini tidak disebutkan bersifat kausal terhadap
penyakit crohn.(10)
Secara umum, diperkirakan bahwa proses patogenesis penyakit crohn diawali
adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon pada individu rentan
dan dipengaruhi oleh faktor genetis, defek imun, lingkungan sehingga terjadi kaskade
(11)
proses inflamasi pada dinding usus.
Banyak mediator inflamasi telah dikenali dalam patogenesis penyakit crohn.
Sitokin yang dilepaskan oleh makrofag sebagai respons terhadap berbagai stimulus
antigenik akan berikatan dengan beragam reseptor dan menghasilkan efek autokrin,
parakrin, dan endokrin. Sitokin mengubah limfosit menjadi sel T dimana sel T helper-
1 (Th-1) berperan dalam patogenesis PC dan sel T-helper 2 ( Th-2) berperan dalam
KU. Respons imun ini akhirnya akan merusak mukosa saluran cerna dan memicu
terjadinya kaskade proses inflamasi kronik.(12)
Banyak studi pada beberapa dekade terakhir telah menunjukkan bahwa adanya
heparan sulfate proteoglycans (HSPGs) terikat mengatur aktivitas berbagai faktor
inflamasi.(16)Syndecan-1 (Sdc-1) merupakan contoh penting dari HSPGs yang menutup
permukaan sel epitel.(17)Sdc-1 memiliki beragam peranan biologis diantaranya
4
penyembuhan luka, tumorigenesis, dan pengaturan respons inflamasi. Peranan Sdc-1
dalam hal respons infamasi adalah dengan mengatur sinyal sitokin pro-inflamasi,
khususnya tumor necrosis factor-α (TNF-α).(13)
Floer dkk melakukan penelitian pada tikus percobaan dengan de sit ekspresi
Syndecan -1 (Sdc-1).(13) Ia mendapatkan bahwa Sdc-1 berperan dalam
mempertahankan integritas mukosa dengan mempengaruhi fungsi sel epitel, proliferasi
sel, ekspresi kemokin dan sitokin. Kekurangan atau penurunan ekspresi Sdc-1 akan
meningkatkan ekspresi sitokin pro-inflamasi terutama TNF-α, selain itu juga
mengganggu proses penyembuhan luka. Dalam studinya, Floer mendapatkan bahwa
pemberian enoxaparin mampu mengurangi kerusakan kolon pada tikus dengan de sit
ekspresi Sdc-1.(13)
Pada penyakit crohn, peradangan dapat melibatkan seluruh mukosa saluran cerna
dimulai dari mulut hingga ke anus dengan tiga bentuk pola umum yang khas yakni
adanya peradangan, striktur, dan stula. Berbeda dengan Kolitis Ulseratif, lesi pada
penyakit crohn tidak hanya melibatkan mukosa dan submukosa namun juga dapat
transmural.Hal ini menjadi penanda patologis yang khas untuk penyakit crohn. Selain
itu, lesi pada penyakit crohn bersifat diskontinu sehingga akan ditemukan skip
area.(11,12) Secara konsep, patogenesis penyakit crohn dapat digambarkan seperti pada
gambar 2.
5
Gambar 2. Patofisiologi Crohn’s Disease.(7)
6
Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih dalam dan
sering menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin buruknya penyakit, dinding usus
menjadi semakin menebal dengan adanya edema dan fibrosis, dan cenderung
menimbulkan pembentukkan striktura. Karena lapisan serosa dan mesenterium juga
mengalami inflamasi, maka lengkungan-lengkungan usus menjadi saling menempel.
Akibatnya, ulkus-ulkus yang telah meluas hingga keseluruhan dinding usus akan
membentuk fistula antar lengkungan usus yang saling menempel. Tetapi lebih sering
terjadi saluran sinus yang berakhir buntu ke dalam suatu cavitas abses di dalam ruang
peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum.(7)
7
Gambar 4. Mikroskopik Crohn’s colitis. Tampak inflamasi akut dan kronis,
atrofi kripta, dan granuloma epiteloid kecil multipel pada mukosa usus.(7)
Gambar 5. Gambaran kolonoskopi pada (a) usus normal, (b) penyakit Crohn dengan
gambaran “Cobblestoning”, (c) gambaran pseudopolyps, (d) kolitis ulseratif berat.(7)
8
IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Anatomi saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring),
kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus.(14)
9
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi
belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna.
Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut
dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung
antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang
bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut secara
otomatis.(14,15)
2. Tenggorokan (Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Didalam
lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe yang banyak
mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini
terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang
rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang keatas bagian depan
berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang bernama koana,
keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang yang
disebut ismus fausium. Tekak terdiri dari bagian superior yaitu bagian yang sama
tinggi dengan hidung, bagian media yaitu bagian yang sama tinggi dengan mulut
10
dan bagian inferior yaitu bagian yang sama tinggi dengan laring. Bagian superior
disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan tekak
dengan ruang gendang telinga. Bagian mediadisebut orofaring, bagian ini berbatas
ke depan sampai di akar lidah. Bagian inferior disebut laringofaring yang
menghubungkan orofaring dengan laring.(14,15)
3. Kerongkongan (Esofagus)
11
4. Lambung (Gaster)
Merupakan organ otot berongga yang besar, yang terdiri dari tiga bagian
yaitu kardia, fundus dan antrium.Lambung berfungsi sebagai gudang makanan,
yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim.
Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting yaitu lendir, asam
klorida (HCL), dan prekusor pepsin (enzim yang memecahkan protein). Lendir
melindungi sel – sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung dan asam klorida
menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin guna
memecah protein.Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai
penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.(14,15)
Usus halus adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara
lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan
pecahan-pecahan makanan yang dicerna).Dinding usus juga melepaskan sejumlah
kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.Lapisan usus halus terdiri dari
lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang
dan lapisan serosa. Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari
(duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).(14,15)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus
yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong
(jejunum).Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus
halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum treitz.Usus
12
dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus
seluruhnya oleh selaput peritoneum.pH usus dua belas jari yang normal
berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara
saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu.Lambung melepaskan
makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian
pertama dari usus halus.Makanan masuk ke dalam duodenum melalui
sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika
penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti
mengalirkan makanan.(14,15)
Usus kosong atau jejunum adalah bagian kedua dari usus halus, di
antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada
manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1- 2 meter
adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan
digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.Permukaan dalam usus
kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang
memperluas permukaan dari usus. .(14)
13
c. Usus Penyerapan (Illeum)
Usus besar atau kolon adalah bagian usus antara usus buntu dan
rektum.Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.Usus besar terdiri
dari kolon asendens (kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon
sigmoid (berhubungan dengan rektum).Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam
usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan danmembantu penyerapan zat-zat
gizi.Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti
vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus.Beberapa penyakit
serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus
14
besar.Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan
air, dan terjadilah diare.(14,15)
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah
kolon sigmoid) dan berakhir di anus.Organ ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses.Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan
di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens
penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air
besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di
dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk
melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan
dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika
defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses
akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini,
tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian
15
otot yang penting untuk menunda BAB.Anus merupakan lubang di ujung saluran
pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh.Sebagian anus terbentuk dari
permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus.Pembukaan dan penutupan
anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi
(buang air besar) yang merupakan fungsi utama anus.(14,15)
V. DIAGNOSIS
Untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit Crohn, dibutuhkan
beberapa pemeriksaan penunjang. Diagnosis penyakit Crohn berdasarkan gejala
klinis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, gambaran mukosa
dengan endoskopi, dan patologi.
A. Gambaran klinik
16
c. Mual muntah
d. Berat badan turun
e. Depresi dan cemas
f. Konstipasi dan obstipasi.(7)
B. Gambaran Radiologi
17
pada lekukan ulkus yang terlihat radioopaque dikelilingi mukosa usus yang
radiolusen.(16)
Gambar 11.. Gambar X-Ray dengan Barium. Tampak halo sign sebagai tanda dari
ulkus aptosa.(16,17)
18
radioopaque dikelilingi mukosa usus yang radiolusen.(16) Seperti pada
gambar 13.
19
gambaran “string sign”.(17)
2. CT-SCAN
Ulserasi pada mukosa dapat terdeteksi pada potongan tipis CT. dapat pula
terlihat adanya lilitan mesenterium, penebalan lapisan lemak mesenterium,
adenopati lokal, fistula, dan abses.(16)
20
kelenjar limfe biasanya terlihat proksimal terhadap dinding usus disepanjang sisi
mesenterium.(16)
21
Gambar 17. Temuan CT pada penyakit Crohn akut. A, Peradangan aktif menyebabkan
hyperenhancement mukosa dan penebalan dinding usus lebih besar dari 3mm. B,
Engorgement dari vasa recta yang berdekatan dengan lingkaran usus yang meradang
adalah temuan spesifik dalam penyakit crohn aktif dan telah menciptakan "comb sign".
C, edema submukosa menghasilkan karakteristik "target sign”.(17)
Gambar 18. Temuan CT dalam penyakit crohn kronis. Proliferasi lemak fibro dari
lemak mesenterika, atau "creeping fat sign".(17)
22
usus mesenterika, yang menyebabkan munculnya pseudososis pada sisi anti-
mesenterika yang juga dapat dilihat dengan fluoroskopi. Akhirnya, penyakit
crohn transmural kronis, mungkin karena rangsangan inflamasi kronis,
menghasilkan proliferasi fibrofatosa pada lemak mesenterika, yang juga
diketahui pada pemeriksaan CT sebagai " creeping fat sign.(17)
23
Gambar 19. Komplikasi penyakit Crohn pada CT-scan. A).Fistula antara dua loop usus
halus digambarkan dengan baik oleh CT sebagai saluran kontras mulut yang tipis yang
menghubungkan lumens dari dua loop. B), Abses intra-abdomen yang posterior usus
besar distal, kemungkinan karena adanya microperforasi, diidentifikasi pada pasien
ini.(17)
3. MRI
Saluran sinus dan fistula sering terlihat hiperintense pada pencitraan T1-
weighted dan hiperintense pada T2-weighted karena kandungan cairannya.
Dengan supresi lemak, sinyal cairan dapat di-intensifikasi dan dengan mudah
terlihat hiperintense pada pencitraan T2-weighted. Suatu abses sering terlihat
sebagai pengumpulan yang terisolasi dari daerah-daerah dengan intensitas sinyal
24
tinggi (high-signal-intensity areas) pada pencitraan T2-weighted, khususnya
pada fossa ischioanal.(16)
Gambar 20. Pencitraan MRI pada pasien dengan Crohn’s disease menunjukkan
25
penebalan dinding colon kanan dengan peningkatan sinyal intramural pada pencitraan
T1-weighted. Hal ini dipercaya sebagai gambaran adanya deposisi lemak intramural.(22)
Gambar 21. Skip lesions mengacu pada peradangan selaput lendir "skipping" dari usus,
yang tidak terpengaruh (panah hijau) .(22)
Gambar 22. Saluran sinus dan fistula merupakan komplikasi umum pada pasien
dengan penyakit Crohn. Keduanya menunjukkan peningkatan yang mencolok pada
citra T1 setelah pemberian gadolinium.(22)
26
Gambar 23. Abses sering terlihat pada pasien dengan penyakit Crohn yang parah.
Abses ditandai dengan peningkatan pelek pada gambar T1 pasca kontras dan intensitas
sinyal sentral yang tinggi pada gambar T2.(22)
4. USG
27
Pada kasus Crohn’s disease aktif, ketebalan dinding usus berkisar antara
5 mm hingga 2 cm dengan gambaran lapisan-lapisan yang menghilang sebagian
atau seluruhnya, yang merefleksikan adanya edema transmural, inflamasi, atau
fibrosis. Jika terjadi inflamasi yang hebat, dinding usus akan tampak hypoechoic
merata dengan garis hyperechoic ditengahnya yang berhubungan dengan
penyempitan lumen. Gerakan peristalsis menurun atau menghilang, dan segmen
usus yang sakit tidak dapat dikompresi dan kaku dengan hilangnya haustra.(16)
28
( a) (b)
Gambar 24. (a) koeksistensi dua pola. Lapisan stenotik dan menebal dengan
stratifikasi yang diawetkan dan segmen diam dengan hilangnya stratifikasi. (b) Saluran
usus stenotik ditandai dengan dilatasi dilema lumen usus, dengan dinding usus yang
menebal.(18)
(a ) (b)
Gambar 25. A). Penebalan dinding tanpa stratifikasi dan lumen hyperecoic. Reguler
margin luar lingkaran. Hipertrofi lemak sentral. B). Dinding menebal dengan hilangnya
Stratifikasi normal Margin luar terputus dengan penyimpangan indo hypoecoic akibat
temuan ekstramural..(18)
29
C. Pemeriksaan Laboratorium
Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
penyakit crohn Pemeriksaan laboratorium dapat membantu dalam menilai
keberhasilan pengobatan, petanda inflamasi, petanda gejala klinis ekstraintestinal
dan status nutrisi. Penyakit aktif dapat dihubungkan dengan peningkatan fase
reaktan akut [C-reactive protein (CRP)], jumlah platelet, rasio sedimen eritrosit
[Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR)], dan penurunan hemoglobin. Pada
pasien-pasien dengan penyakit berat, level albumin serum akan turun secara
cepat. Leukositosis dapat dijumpai namun bukan merupakan indikator spesifik
terhadap aktivitas penyakit. (7,19)
30
1. Kolitis ulserativa adalah sejenis penyakit usus inflamasi (IBD) yang secara khas
melibatkan Usus besar. Ini adalah penyakit poligenik multifaktorial; etiologi
yang tidak diketahui namun kemungkinan adalah faktor lingkungan, disfungsi
kekebalan, dan kemungkinan predisposisi genetik.(20)
Gambar 26. Radiografi abdomen polos pada pasien tampak megacolon toksik
dikonfirmasi sebagai kolitis ulseratif.(20)
31
(a) (b)
Gambar 27. a). Radiografi abdomen polos pada pasien dengan kolitis ulserativa yang
diketahui mengalami eksaserbasi akut pada gejalanya. Gambar menunjukkan
thumbprinting di daerah lilitan limpa dari usus besar. b). Radiografi abdomen polos
dengan riwayat kolitis ulseratif menunjukkan pseudopolyp di kolon desendens.(20)
(a) (b)
Gambar 28. a). Single-contrast enema pada pasien dengan kolitis ulseratif yang
diketahui dalam remisi menunjukkan stricture colon sigmoid. b). Single-contrast
enema pada pasien dengan kolitis total menunjukkan double tracking ulcer.(20)
2. Tuberculosis gastrointestinalis didefinisikan sebagai infeksi organ peritoneum
dan limfatik abdomen oleh organisme Mycobacterium tuberculosis.(21)
32
Gambar 29. a). Radiografi polos dengan limfadenopati mesenterika kalsifikasi difus
pada pasien dengan tuberkulosis. b). Pemeriksaan barium menunjukkan adanya striktur
duodenum yang panjang yang disebabkan oleh tuberkulosis.(21)
Penyakit yang memiliki gejala mirip dengan penyakit crohn tertera dalam
tabel 3.
33
Neutropenic colitis
Behςet’s syndrome
Graft-versus host disease
VII. KOMPLIKASI
Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi: (1) Perforasi usus
yang terlibat, (2) Terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, (3) Megakolon
toksik (terutama pada KU), (4) Perdarahan, (5) Degenerasi maligna. Diperkirakan
resiko terjadinya kanker pada penyakit crohn lebih kurang 13%.(8)
VIII. PENATALAKSANAAN
34
Dengan dugaan adanya faktor proinflamasi dalam bentuk bakteri
intralumen usus dan komponen diet sehari-hari yang dapat mencetuskan proses
inflamasi kronik pada kelompok orang yang rentan, maka diusahakan untuk
mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotik, lavase usus,
mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja usus, dan perubahan pola diet.(8)
IX. PROGNOSIS
Pada dasarnya, penyakit crohn merupakan penyakit yang bersifat remisi dan
eksaserbasi. Cukup banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan dan
dalam jangka waktu yang lama. Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya
komplikasi atau tingkat respon terhadap pengobatan konservatif.(8)
35
DAFTAR PUSTAKA
5. Bernstein CN, Fried M, Krabshuis JH, Cohen H, Eliakim R, Fedail S, et al. World
gastroenterology organization practice guidelines for the diagnosis and management
of IBD in 2010. Inflamm Bowel Dis 2010; 16(1): 112-24.
6. Tamboli CP. Current medical therapy for chronic in ammatory bowel disease. Surg
Clin N Am 2007; 87: 697-725.
7. Friedman S, Blumberg RS. Inflammatory Bowel Disease. Dalam: Longo DL, Fauci
AS, penyunting. Harrison, Gastroentrology and Hepatology. 17th edition. United
States: The McGraw-Hill Companies; 2010; 16: 174-95.
8. Djojoningrat D. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan Pengobatannya
di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2010:
591-7.
9. Bossuyt X. Serologic markers in in ammatory bowel disease. Clinical Chem
2006;52(2):171-81.
36
10. Bengston MB, Solberg IC, Aamodt G, Jahnsen J, Moum B, Vatn MH.
Relationships between in ammatory bowel disease and perinatal factors: both
maternal and paternal disease are related to preterm birth o spring. In amm
2010;176(1):146-57.
14. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke system, Edisi keenam. Jakarta: EGC;
2012: 641-92.
15. Putz R, Pabst R. Sobotta atlas of human anatomy. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2012: 99 : v1-v2
16. Yung-Hsin C. Crohn Disease. 2015.
http://www.emedicine.com/radio/topic197.htm. and Ghazi j. Crohn
Disease Treatment & Management. 2017.
http://emedicine.medscape.com/article/172940-treatment#d15 Accessed on 2017,
December 21.
17. Rahul A, Sheth, Michael. The role imaging in inflammatory bowel disease
evaluation. Massachusetts General Hospital, Harvard Medical School, Boston,
Massachusetts. 2012; 139-143.
18. Gianluca G, Graziella G, Veronica M, Cinzia L, Luigi M, Ilario D S,
Anton,Roberto. Crohn’s Disease Imaging: A Review. 2011; 3-9 : v2.
37
19. Carter MJ, Lobo AJ, Travis SP. Guidelines for the management of inflammatory
bowel disease in adults. Gut 2004; 53 (Suppl V): v1-v16.
20. Nawaz A. Ulcerative colitis imaging. 2015.
http://emedicine.medscape.com/article/375166-overview Accessed on 2017,
December 22.
21. Kumar M. Tuberculosisgastrointestinal imaging. 2015.
http://emedicine.medscape.com/article/376015-overview Accessed on 2017,
December 22.
22. Puylaert C, Tielbeek J, Stoker j. 2016. Crohn’s disease evaluation with MRI.
http://www.radiologyassistant.nl/en/p5289d9a1932db/crohns-
disease.html#in55deb01d9d989 Accessed on 2017, December 22.
38