Anda di halaman 1dari 11

BAGIAN ILMU PENYAKIT PARU REFARAT

RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS OKTOBER 2017


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO

TERAPI OKSIGEN PADA PENYAKIT PARU

OLEH:
Siti Nur Janna, S.Ked
K1A1 13 132

PEMBIMBING
dr. Iwan Derma Karya, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT PARU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
RSUB PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2017
Terapi Oksigen pada Penyakit Paru

I. Pendahuluan

Setiap sel tubuh manusia membutuhkan oksigen untuk melaksanakan fungsi

metabolisme, sehingga oksigen merupakan zat terpenting dalam kehidupan

manusia. Mempertahankan oksigenasi adalah upaya untuk memastikan kecukupan

pasokan oksigen ke jaringan atau sel. Hal ini tentu saja tidak hanya bergantung

pada fungsi pernapasan yang memadai, tetapi juga harus didukung oleh fungsi

peredaran darah yang adekuat. Untuk menilai keseimbangan pasokan dan

kebutuhan oksigen, diperlukan pemeriksaan parameter yang lebih spesifik, dan

tidak cukup berdasarkan pada pemeriksaan klinis saja. Tak jarang pasien yang

awalnya membaik dengan terapi oksigen, bisa terjadi gagal napas akut yang dapat

mengakibatkan henti jantung dan berakhir dengan kematian, karena kurang

adekuat dalam mengelola fungsi pernapasan dan sirkulasi (Semedi, 2012).

Paru-paru merupakan organ paling berperan dalam memasukkan oksigen

(O2) dan mengeluarkan karbondioksida (CO2) dari dalam tubuh. Salah satu gejala

yang timbul jika terjadi gangguan pada paru adalah sesak napas. Pada sesak

napas, O2 dalam darah menjadi sangat rendah atau CO2 menjadi sangat tinggi.

Terdapat banyak penyakit pada paru yang dapat menyebabkan terjadinya sesak

napas, diantaranya penyakit pada saluran napas (asma, bronkitis, emfisema,

PPOK), penyakit pada parenkimal (pneumonia), dan penyakit pada pleura (efusi

pleura dan fibrosis) (Sudoyo dkk., 2009). Untuk mengatasi masalah tersebut,

maka diperlukan terapi oksigen. Terapi oksigen adalah tindakan yang digunakan
untuk mengatasi hipoksia jaringan. Tindakan ini dilakukan untuk meningkatkan

pasokan oksigen dan mengurangi kerja napas. Pada dasarnya, terapi oksigen

digunakan untuk membuat keseimbangan antara pasokan oksigen dan kebutuhan

oksigen. Ketidakseimbangan akan menyebabkan disfungsi organ. Terapi oksigen

dapat memperbaiki keluaran dan menyelamatkan nyawa bila digunakan secara

tepat dan membahayakan jika digunakan tidak tepat (Semedi, 2012).

II. Insiden dan Epidemiologi

Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan

yang tinggi di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan

bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK meningkat. Di Amerika kasus

kunjungan pasien dengan PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5

Juta , 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal

selama tahun 2000. Asthma merupakan salah satu penyakit kronis yang sering

terjadi pada sekitar 300 juta jiwa. Di Amerika kunjungan pasien asma di unit

gawat darurat dan akhirnya memerlukan perawatan di rumah sakit berdasarkan

jenis kelamin, perempuan dua kali lebih banyak dari pada pasien laki-laki.

Epidemiologi kasus TB sendiri berasarkan data WHO tahun 2013, diketahui

terdapat 8,6 juta insiden tuberculosis (Setiati dkk., 2015).

III. Mekanisme Sesak

Sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan gejala utama dari

penyakit kardiopulmonal. Seseorang yang mengalami sesak napas sering

mengeluh napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif sesak

napas termasuk juga penggunaan otot bantu pernapasan tambahan


(sternocleidomastoideus, scalenus, trapezius, pectoralis mayor), pernapasan

cuping hidung, tachypnea, dan hiperventilasi (Price dan Wilson, 2013). Skala

sesak napas dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Skala Sesak Napas


Tingkat Derajat Criteria

Tidak ada kesulitan bernapas kecuali dengan aktifitas


0 Normal
yang berat

Terdapat kesulitan bernapas, napas pendek-pendek ketika


1 Ringan
terburu-buru atau ketika berjalan mendaki

Berjalan lebih lambat dari pada kebanyakan orang berusia


2 Sedang sama karena sulit bernapas atau harus berhenti berjalan
untuk bernapas

Berhenti berjalan setelah 90 meter untuk bvernapas atau


3 Berat
setelah berjalan beberapa menit di jalanan mendaki

Terlalu sulit untuk bernapas ketika meninggalkan rumah


Sangat
4 atau sulit bernapas ketika memakai baju atau membuka
berat
baju

Secara umum, sesak napas dapat disebabkan oleh karena gangguan pada

kemoreseptor. Kemoreseptor adalah reseptor yang terletak di badan carotid dan

medulla. Reseptor ini distimulasi oleh hipoksemia, hipekapnea akut, dan

acidemia. Mekanoreseptor terletak di paru-paru dan distimulasi oleh

bronchospasm dan hiperinflasi. Metaboreceptors terletak di otot skelet. Reseptor

ini teraktivasi oleh perubahan biokimia pada saat beraktivitas berat atau olahraga.

Tiga reseptor ini menerima sinyal dari berbagai macam perubahan tubuh, lalu

teraktivasi dan menghantarkan sinyal tersebut ke sensory cortex. Proses ini

dinamakan sebagai proses feedback. Dari sensory cortex sinyal akan dibawa ke

pusat respirasi di medulla lalu ke dihantarkan ke otot ventilasi melalui motor


neuron. Proses ini disebut feed forward. Error signal terjadi apabila reseptor

terstimulasi tanpa adanya sinyal-sinyal yang sesungguhnya. Sehingga terjadi

peningkatan atau penurunan ventilasi yang tidak seharusnya.

IV. Terapi Oksigen

Terdapat 3 sistem untuk memberikan oksigen kepada pasien tanpa intubasi.

Untuk konsentrasi oksigen rendah, kanula hidung dapat memberikan oksigen

antara 24% (1 L/menit) sampai 36% (4-5 L/menit). Konsentrasi oksigen sedang

(40-60%) dicapai dengan pemberian lewat masker oksigen, sedangkan konsentrasi

hingga 100% hanya dapat dicapai dengan menggunakan stingkup muka reservoir.

Pada kegawatan napas trauma diberikan oksigen 6L/menit dengan sungkup muka.

Pada penderita kritis berikan 100% oksigen, meskipun secara umum terapi

oksigen memberikan manfaat yang bermakna pada bentuk hipoksik hipoksemia

dan anemi hipoksemia. Efek samping yang sering dikhawatirkan adalah

keracunan oksigen, tetapi hal tersebut terjadi setelah 24-48 jam terapi oksigen

dengan fraksi inspirasi oksigen (FiO2)>60%. Oleh karena itu sedapat mungkin

setelah masa kritis, terapi oksigen diturunkan bertahap sampai FiO2<60% dengan

target untuk mendapatkan minimal saturasi oksigen (SaO2) 90%. Apabila tekanan

oksigen arteri (paO2) tetap rendah (>60 mmHg) meskipun telah diberikan oksigen

50% berarti terdapat shunt yang bermakna dari kolaps alveoli dan perlu

dipertimbangkan pemberian inflasi paru dengan manuver reekspansi paru atau

intubasi endotrakhea dan ventilasi mekanik.


Pada kasus PPOM maka PaO2 dipertahankan sekitar sedikit diatas 60

mmHg saja untuk menghindari hilangnya rangsang respirasi. Terapi O2

merupakan salah satu terapi pernafasan dalam mempertahankan oksigenasi.

Tujuan pemberian terapi O2 adalah mengatasi keadaan hipoksemia,

menurunkan kerja pernafasan, menurunkan beban kerja otot Jantung (miokard).

Indikasi pemberian terapi O2 adalah kerusakan O2 jaringan yang diikuti gangguan

metabolisme dan sebagai bentuk hipoksemia, secara umum pada: kadar oksigen

arteri (PaO2) menurun , kerja pernafasan meningkat (laju nafas meningkat, nafas

dalam, bemafas dengan otot tambahan) dan adanya peningkatan kerja otot jantung

(miokard). Indikasi klinis lainnya, yakni: henti jantung paru, gagal nafas, gagal

jantung atau ami, syok, meningkatnya kebutuhan O2 (luka bakar, infeksi berat,

multiple trauma), keracunan CO dan post operasi.

Metode dan peralatan minimal yang harus diperhatikan pada terapi O2:

mengatur % fraksi O2 (% FiO2), mencegah akumulasi kelebihan CO2 , resistensi

minimal untuk pernafasan, efesiensi dan ekonomis dalam penggunanan O2,

diterima pasien PaO2 kurang dari 60 mmHg

Perkiraan konsentrasi oksigen pada alat masker semi rigid:

Kecepatan aliran O2 % FiO2 yang pasti


4 1/mnt 0,35
6 1/mnt 0,50
8 1/mnt 0,55
10 1/mnt 0,60
12 l/mnt 0,64
15 l/mnt 0,70
Metode pemberian oksigen terbagi 2:

1. Sistem Aliran Rendah, terdiri dari:

a. Kateter Nasal

Oksigen: Aliran 1 - 6 liter/ menit menghasilkan O2 dengan konsentrasi 24-

44 % tergantung pola ventilasi pasien. Efek samping: Iritasi lambung,

pengeringan mukosa hidung, kemungkinan distensi lambung, epistaksis.

b. Kanula Nasal

Oksigen : Aliran 1 - 6 liter / menit menghasilkan O2 dengan konsentrasi 24 -

44 % tergantung pada polaventilasi pasien. Efek samping: Iritasi hidung,

pengeringan mukosa hidung, nyeri sinus dan epitaksis

c. Sungkup muka sederhana

Oksigen : Aliran 5-8 liter/ menit menghasilkan O2 dengan konsentrasi 40 -

60 %. Efek samping: Aspirasi bila muntah, penumpukan CO2 pada aliran O2

rendah, Empisema subcutan kedalam jaringan mata pada aliran O2 tinggi

dan nekrose, apabila sungkup muka dipasang terlalu ketat.

d. Sungkup muka rebreathing dengan kantong O2

Oksigen : Aliran 8-12 l/menit menghasilkan O2 dnegan konsentrasi 60 -

80%. Efek samping : Terjadi aspirasi bila muntah, empisema subkutan

kedalam jaringan mata pada aliran O2 tinggi dan nekrose, apabila sungkup

muka dipasang terlalu ketat.

e. Sungkup muka Non Rebreathing dengan kantong O2

Oksigen : Aliran 8-12 l/menit menghasilkan konsentrasi O2 90 %. Efek

samping: Sama dengan sungkup muka Rebreathing.


2. Sistem aliran tinggi, terdiri dari:

a. Sungkup muka venturi (venturi mask)

Oksigen : Aliran 4 -14 It / menit menghasilkan konsentrasi O2 30-55 %.

Efek samping: Terjadi aspirasi bila muntah dan nekrosis karena pemasangan

sungkup yang terialu ketat.

b. Sungkup Muka Aerosol (Ambu Bag)

Oksigen : Aliran lebih dan 10 V menit menghasilkan konsentrasi O2 100 %.

Efek samping: Penumpukan air pada aspirasi bila muntah serta nekrosis

karena pemasangan sungkup muka yang terialu ketat.

Keracunan O2 pada pemberian jangka lama dan berlebihan dapat

dihindari dengan pemantauan AGD dan Oksimetri:

- Nekrose CO2 ( pemberian dengan FiO2 tinggi) pada pasien

dependent on hypoxic drive misal kronik bronchitis, depresi

pemafasan berat dengan penurunan kesadaran . Jika terapi oksigen

diyakini merusak CO2, terapi O2 diturunkan perlahan-lahan karena

secara tiba-tiba sangat berbahaya

- Toxicitas paru, pada pemberian FiO2 tinggi (mekanisme secara pasti

tidak diketahui). Terjadi penurunan secara progresif compliance paru

karena perdarahan interstisiil dan oedema intra alveolar

- Retrolental fibroplasias. Pemberian dengan FiO2 tinggi pada bayi

premature pada bayi BB <1200 gr.


- Barotrauma (ruptur alveoli dengan emfisema interstisiil dan

mediastinum), jika O2 diberikan langsung pada jalan nafas dengan

alat cylinder Pressure atau auflet dinding langsung.

a. Terapi O2 pada PPOK

Terapi oksigen adalah tindakan yang digunakan untuk mengatasi

hipoksia jaringan. Tujuannya adalah untuk mempertahankan tekanan

oksigen diatas 60 mmHg (Semedi, 2012). Alat bantu dalam pemberian

oksigen, yakni: nasal kanul, sungkup venture, sungkup rebreathing,

sungkup nonrebreathing. Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan

terapi oksigen dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut (PDPI,

2003).

Pada penderita PPOK, terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah

maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita

PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah

sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat,

ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang

dirawat di rumah dibedakan : pemberian oksigen jangka panjang (Long

Term Oxygen Therapy = LTOT), emberian oksigen pada waktu aktiviti dan

pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak. Terapi oksigen

jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila

tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian

oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur

bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.


Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas

dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan

analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai

saturasi oksigen di atas 90% (PDPI, 2003)

b. Terapi O2 pada Pneumonia

Terapi Oksigen untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-

96% berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah. Humidifikasi dengan

nebulizer untuyk pencegahan dahak yang kental dapat disertai dengan

pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme (Setiati, 2015)

c. Terapi O2 pada Asma

Terapi oksigen pada asma digunakan pada kondisi hipoksemia, hal ini

dapat dikoreksi dengan pemberian oksigen 1-3 L/menit dengan kanul nasal

atau masker. Meskipun demikian, penggunaan oksigen dengan aliran cepat

tidak membahayakan dan direkomendasikan pada semua pasien dengan

asma akut. Oksigen diberikan dipusat kesehatan di Rumah Sakit jika pasien

hipoksemia dengan target saturasi 95%. (Setiati, 2015)


Daftar Pustaka

Price, S.A dan Wilson, L.M. 2013. Patofisiologi Volume 2: Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Jakarta: EGC

Semedi B.P dan Hardiono, 2012. Pemantauan Oksigenasi. Majalah kedokteran


Terapi Intensif. 2(2) : 85-93

Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W. dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi VI. Jakarta: Internal Publishing.

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Internal Publishing.

Anda mungkin juga menyukai