Anda di halaman 1dari 20

PRESENTASI KASUS KECIL

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Pembimbing :
dr. Indah Rahmawati, Sp.P

Disusun oleh :
Intan Mawaridhatul Ulla G1A014007

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasuskecil dengan judul :


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Pada tanggal, Juli 2018

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi Dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :
Intan Mawaridhatul Ulla G1A014007

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Indah Rahmawati, Sp.P


NIP.19670316 200604 2 001
I. PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang biasa disebut sebagai PPOK


merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara
didalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat
progresif ini disebabkan karena terjadinya inflamasi kronik akibat pajanan partikel
atau gas beracun yang terjadi. WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020
prevalensi PPOK akan meningkat.
Merokok merupakan farktor risiko terpenting penyebab PPOK di samping
faktor risiko lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lain-lainnya.
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2007, dibagi atas 4 derajat yaitu PPOK ringan, sedang, berat dan sangat berat.
Penderita PPOK berat datang dengan keluhan sesak nafas, batuk-batuk kronis,
sputum yang produktif, faktor resiko (+). Sedangkan PPOK ringan dapat tanpa
keluhan atau gejala. Pemeriksaan foto toraks pada PPOK dapat ditemui
hiperinflasi, hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat
dan bulla.
Tujuan terapi PPOK adalah mencegah progesifitas penyakit, mengurangi
gejala, meningkatkan toleransi latihan, mencegah dan mengobati komplikasi,
mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang, mencegah atau meminimalkan
efek samping obat, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru,
meningkatkan kualitas hidup penderita dan menurunkan angka kematian.
Penatalaksanaan PPOK terdiri dari terapi farmakologis dan non farmakologis.
Prognosis PPOK tergantung dari derajat penyakit paru dan penyakit komorbid
lain. Komplikasi PPOK termasuk gagal nafas, kor pulmonal dan septikemia.
Karena banyaknya insiden PPOK, maka sangat perlu pemahaman yang lebih
mendalam baik anamnesis, gejala klinik, pemeriksaan fisik, serta kelainan lain
yang menyertai penyakit ini, sehingga identifikasi dan pengobatan menjadi lebih
tepat. Karena alasan tersebut kami memilih kasus ini.
II. LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
1. Nama : Ny. S
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Usia : 51 Tahun
4. Alamat : Berkoh RT 05/03 Purwokerto
5. No. CM : 00166070
6. Status : Menikah
7. Pekerjaan : Ibu Rumah tangga
8. Agama : Islam
9. Ruang Rawat : Cendana
10. Tanggal Masuk RS (IGD) : 11 Juli 2018
11. Tanggal Periksa : 16 Juli 2018

B. ANAMNESIS
1. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Keluhan utama : Sesak napas
b. Lokasi : Dada
c. Onset : 2 jam SMRS
d. Kuantitas : Sesak memberat 2 jam SMRS
e. Kualitas : Bunyi ngik ngik, mengganggu aktifitas
f. Faktor memperberat : Berjalan dan beraktivitas berat
g. Faktor memperingan : Istirahat dengan posisi duduk, berotec
h. Keluhan tambahan : Batuk berdahak
i. Kronologi
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan utama sesak sejak
2 jam sebelum masuk Rumah Sakit (SMRS) saat pasien sedang
bersih-bersih rumah dan sesak dirasakan semakin memberat dan tidak
membaik setelah menggunakan berotec sehingga pasien memutuskan
untuk segera ke RSMS. Sesak dirasakan memberat bila pasien
melakukan aktivitas sedang seperti menyapu dan berkurang dengan
istirahat. Ketika pasien istirahat, sesak sedikit berkurang terutama
dengan posisi duduk. Pasien mengaku sesak ini bukan yang pertama
kalinya, pasien sudah mengalami masalah sesak napas sejak 20 tahun
yang lalu dan rutin kontrol ke poli paru RSMS. Selama 2 tahun
terakhir sesak semakin sering dirasakan, serangan sesak napas terjadi
setiap minggu dan terkadang tidak membaik dengan pemberian
berotec.

Selain sesak pasien pun mengeluhkan batuk berdahak yang


dirasa bersamaan dengan keluhan sesak, yaitu 2 jam sebelum masuk
Rumah Sakit. Pada saat batuk dahak pasien berwarna putih, pasien
tidak mengeluhkan adanya keringat malam, nyeri dada ataupun dada
berdebar, dan tidak ada gangguan kencing maupun buang air besar.
Selain itu, pasien tidak pernah mengkonsumsi obat TB.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Penyakit dengan keluhan sama : diakui
b. Darah tinggi : disangkal
c. Kencing manis : disangkal
d. Asma : diakui
e. Alergi obat : disangkal
f. Alergi makanan : disangkal
g. Penyakit kuning : disangkal
h. Penyakit jantung : disangkal
i. Penyakit ginjal : disangkal
j. Riwayat transfusi darah : disangkal
k. Riwayat operasi : disangkal
3. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Penyakit dengan keluhan sama : disangkal
b. Darah tinggi : disangkal
c. Kencing manis : disangkal
d. Asma : disangkal
e. Alergi obat : disangkal
f. Alergi makanan : disangkal
g. Penyakit kuning : disangkal
h. Penyakit jantung : disangkal
i. Penyakit ginjal : disangkal
4. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di lingkungan yang tidak terlalu padat penduduk.
Rumah satu dengan yang lain cukup berdekatan. Hubungan antara
pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik. Anggota keluarga
pasien lain yang tinggal satu rumah dan tetangga sekitar pasien tidak
ada keluhan seperti pasien.
b. Home
Pasien tinggal bersama anak, menantu dan cucunya. Rumah tersebut
berdinding tembok, berlantai ubin dan memiliki langit-langit dan
beratap genting. Rumah memiliki jendela dan ventilasi yang memadai.
Dahulu pasien sering memasak mengunakan tungku dan kayu bakar.
c. Occupational
Pasien bekerja sebagai buruh, namun saat ini pasien sudah berhenti
bekerja dan mengurangi aktivitas dengan beristirahat di rumah.
d. Personal Habbit
Pasien mengaku makan sehari 3 kali. Pasien terpapar asap rokok dari
suaminya yang memiliki kebiasaan merokok yang setiap harinya dapat
menghabiskan 20-24 batang rokok. Suami pasien sering merokok
didekat pasien. Selain itu pasien juga sering terpajan asap hasil
pembakaran kayu bakar dari kecil sampai usia 45 tahun, sehingga lama
paparan kurang lebih 45 tahun.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. KU : Tampak lemas, keadaan baik tidak tampak sesak
Kesadaran : Compos mentis (GCS = E4V5M6)
2. Tanda Vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit, isi dan tegangan cukup
Laju pernapasan : 20 x/menit, reguler
Suhu : 36,2oC
3. Antropometri
Berat badan : 65 kg
Tinggi badan : 160 cm
IMT : 25.4 kg/m2 (overweight)
4. Airway : clear (+)
5. Status generalis
Kepala :mesosefal, distribusi rambut merata, venektasi temporal (-)
Mata :edem palpebra (-/-), prosis (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor 3 mm/3 mm, refleks
cahaya (+/+)
Hidung :nafas cuping hidung (-/-), discharge (-/-), deformitas (-/-)
Telinga :serumen (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+), sariawan (-)
Leher : deviasi trakea (-), tiroid dalam batas normal, limfonodi
tidak teraba besar
6. Status lokalis
Paru
Inspeksi :hemithoraks dextra = sinistra, ketinggalan gerak (-/-),
retraksi intercostae (-/-), jejas (-/-)
Palpasi : vokal fremitus apex dextra = sinistra
vokal fremitus basal dextra = sinistra
Perkusi : hipersonor pada kedua lapang paru
batas paru hepar SIC V LMCD
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), RBK (+/+), RBH (-/-), wheezing
(+/+)
Jantung
Inspeksi :ictus cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi :ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS, kuat
angkat (+)
Perkusi : batas jantung
Kanan atas : SIC II LPSD
Kiri atas : SIC II LPSS
Kanan bawah : SIC IV LPSD
Kiri bawah : SIC V, 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : datar, pulsasi epigastrik (-), pulsasi parasternal (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal
Perkusi :timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi :supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)
Hepar : tidak teraba pembesaran
Lien : tidak teraba pembesaran
Ekstremitas
Atas :edem (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+), jari tabuh (+)
Bawah :edem (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Darah lengkap
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap 12 Juli 2018
Hemoglobin 13.7 11.7 - 15.5
Leukosit 15360 (H) 3600 – 11000
Hematokrit 45 35 – 47
Eritrosit 4.9 juta 3.8 - 5.2
Trombosit 212000 150000 – 440000
MCV 91.4 80 – 100
MCH 28.0 26 – 34
MCHC 30.6 (L) 32 – 36
RDW 15.6 (H) 11.5 - 14.5
MPV 9.9 9.4 - 12.3

Basofil 0.5 0–1


Eosinofil 0.0 (H) 2–4
Batang 0.3 (L) 3–5
Segmen 87.1 (H) 50 – 70
Limfosit 10.2 (L) 25 – 40
Monosit 1.9(L) 2–8

Ureum 18.33 14.98 - 38.52


Kreatinin 0.42 (L) 0.70 - 1.30
GDS 140 <=200
Na 144 134 – 146
K 4 3.4 - 4.5
Cl 105 96 – 108
Protein 7.75 6.40 - 8.20
Albumin 3.75 3.40 – 5.00
Globulin 4.00 (H) 2.7 – 3.2

2) Foto thorax

E. DIAGNOSA KERJA
1. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) eksaserbasi akut
F. PLANNING
1. Terapi
a. Farmakologi
1) IVFD RL 20 tpm + aminofilin 1 Ampul/ 12 jam
2) Cefixime 2x100 mg
3) Rantin 2x1 tab AC
4) Metilprednisolon 2x4 mg
5) Sukralfat syr 3x1 cth
6) Acetyl cystein 200 mg 3x1 kaps
7) Salbutamol 2 mg 3x1 tab
b. Non Farmakologi
1) Oksigen 42 lt/menit nasal kanul
2) Nebulizer combivent
3) Bed rest
4) Edukasi tentang PPOK
5) Edukasi tentang zat-zat kimia seperti asap rokok, asap hasil
pembakaran (sampah, kayu bakar, dll), dan polusi udara terutama
di lingkungan rumah dan kerja yang merupakan faktor resiko
memperberat PPOK dan dapat mencetuskan infeksi saluran nafas.
2. Usulan Pemeriksaan Penunjang
a. Faal paru (spirometri)
3. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
4. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
III. PEMBAHASAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru kronis


yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progresif irreversibel atau reversibel parsial, disebabkan oleh proses inflamasi
paru karena pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan
sistemik. Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh
gabungan antara obstruktif saluran napas kecil (obstruktif bronkiolitis) dan
kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu (PDPI,
2011).
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit sistemik yang
mempunyai hubungan antara keterlibatan metabolik, otot rangka dan molekuler
genetik. Keterbatasan aktivitas merupa-kan keluhan utama penderita PPOK yang
sangat mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama
yang berperan dalam keterbatasan aktivitas penderita PPOK. Inflamasi sistemik,
penurunan berat badan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis,
dan depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK (Heidy, 2008).
The Asia Pacific COPD Round Table Group memperkirakan, jumlah
penderita PPOK sedang hingga berat dinegara-negara Asia pasifik tahun 2006
mencapai 56,6 Juta penderita dengan prevalensi 6,3 %. Angka prevalensi berkisar
3,5 – 6,7%, seperti : China dengan angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa, Jepang
(5,014 juta jiwa) dan Vietnam (2,068 juta jiwa) sementara di Indonesia
diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa
meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena 90 % penderita
PPOK adalah perokok atau mantan perokok.1 Akan tetapi, data prevalensi
Internasional tidak relevan dengan situasi di Indonesia karena perbedaan etnis dan
kondisi lingkungan. Wijaya pada penelitian epidemiologi terhadap 6.144
responden mendapatkan prevalensi PPOK di Jawa Timur sebesar 13%. Di masa
mendatang, angka ini akan meningkat bila melihat industrialisasi sebagai bagian
pembangunan jangka panjang (Megantara, 2013).
Pada kasus ini didapatkan seorang perempuan berusia 51 tahun
terdiagnosis mengalami PPOK eksaserbasi akut. Dasar diagnosis pada pasien ini
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.Dasar
diagnosis PPOK eksaserbasi akut pada pasien ini adalah sebagai berikut:
1. Anamnesis
Pasien yang mengalami PPOK akan mengalami keterbatasan aktivitas
karena sifatnya yang progresif dan ireversibel, sehingga pada tampilan klinis
(keluhan dan tanda klinis) yang menonjol adalah gambaran adanya
perburukan penyakit dari waktu ke waktu. Pasien ini yang dahulu dapat
beraktifitas normal, sekarang hanya dapat melakukan aktivitas ringan.
Penyebab paling umum kondisi eksaserbasi adalah infeksi
trakeobronkial dan polusi udara, 1/3 penyebab dari eksaserbasi berat tidak
dapat diidentifikasi. Peran infeksi bakteri masih kontroversial, tetapi baru-
baru ini penelitian menggunakan teknik baru telah memberikan informasi
penting, yaitu penelitian dengan bronkoskopi yang menunjukkan bahwa
sekitar 50% dari pasien eksaserbasi terdapat bakteri dalam konsentrasi tinggi
pada saluran napas bawah, hal ini menunjukkan bukti kolonisasi bakteri.
Lingkungan tempat tinggal pasien memiliki risiko yang tinggi untuk
menimbulkan eksaserbasi karena di depan rumah pasien adalah jalan raya
yang di lalui kendaraan besar maupun kecil yang mana debu serta asap
(mengandung zat toksik) dapat memicu terjadinya eksaserbasi. Eksaserbasi
akut pada pasien ini didasarkan pada adanya kondisi sesak yang bertambah
dan produksi sputum yang meningkat.
Kondisi PPOK diakibatkan oleh faktor risiko yang berupa pajanan zat
toksik salah satunya adalah rokok. Merokok merupakan penyebab PPOK
terbanyak (95% kasus) di negara berkembang. Perokok aktif dapat
mengalami hipersekresi mukus dan obstruksi jalan napas kronik. Dilaporkan
ada hubung-an antara penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1) dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok. Studi di China
menghasilkan risiko relatif merokok 2,47 (95% CI : 1,91-2,94). Perokok pasif
juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK dengan
peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas
berbahaya. Merokok pada saat hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap
janin dan mempengaruhi pertumbuhan paru-paru-nya (Oemiati, 2013). Suami
pasien sudah merokok selama 30 tahun yang dalam sehari dapat
menghabiskan rata-rata 22 batang rokok, jika dihitung dalam Indeks
Brinkman didapatkan hasil 660. Hasil hitungan tersebut menunjukkan bahwa
pasien ini merupakan seorang perokok berat.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik terutama thoraks pada inspeksi bentuk dada
pasien hemitoraks dan pengembangan dada simetris kanan kiri. Pada palpasi
dirasakan vokal fremitus pada dada kiri dan kanan sama. Pada perkusi
ditemukan hipersonor pada kedua lapang paru karena terjadinya hiperinflasi
di paru. Pada auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler yang menurun, dan
suara ronkhi basah kasar dan wheezing di kedua paru. CHF dapat
disingkirkan dengan tidak adanya gallop dan juga edem pada ekstremitas.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan bahwa hasil pemeriksaan
darah pasien menunjukkan pasien dalam kondisi homeostasis metabolik yang
baik.
Penatalaksanaan pada pasien ini dapat dilakukan secara farmakologis
dan non farmakologis. Hal ini bertujuan untuk melakukan menstabilkan
serangan dan mempertahankan kondisi secara umum.
Karena pasien mengalami PPOK eksaserbasi akut maka diberikan
terapi oksigen adekuat, diberikan O2 4 lpm menggunakan nasal kanul. Pada
eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa. Pasien perlu dirawat inap, dengan indikasi mengalami
PPOK eksaserbasi akut sehingga perlu pemantauan hingga kondisi pasien
menjadi stabil.
Pemberian terapi farmakologis memiliki beberapa alternatif pilihan
sebagai berikut :
1) Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit
(lihat tabel 3.1 dan 3.2). Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi,
nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat
berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting). Macam - macam bronkodilator
(Wedzicha, 2011):
a) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali
perhari).
b) Golongan agonis beta -2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang
berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
c) Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana
dan mempermudah penderita.
d) Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet
biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk
suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.Penggunaan
jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

2) Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih
golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi
jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan
minimal 250 mg (Drummond, 2011).
3) Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
Lini I (amoksisilin dan makrolid), Lini II (Amoksisilin dan asam
klavulanat, Sefalosporin, Kuinolon dan Makrolid baru).
4) Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
5) Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
6) Antitusif : diberikan dengan hati – hati
Tabel 3.1. Penatalaksanaan PPOK (PDPI, 2011)
Tabel 3.2 Penatalaksanaan PPOK (PDPI, 2011)

Diet pada pasien PPOK


Pemberian diet pada pasien PPOK bertujuan (Antariksa et al., 2011) :
1. Memperbaiki malnutrisi
2. Mempernaiki anoreksia
3. Mencegah asidosis respirasi dengan mengurangi kelebihan produksi CO2
4. Memperbaiki hidrasi
5. Menghindari konstipasi
6. Meringankan kesulitan menguyah dan menelan karena nafas pendek
Nutrisi pasien PPOK harus dipertimbangkan. Malnutrisi sering terjadi pada
PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja
muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Malnutrisi dapat dievaluasi dengan
mengukur berat badan, kadar albumin darah, antopometri, kekuatan otot dan hasil
metabolisme. Malnutrisi dapat diatasi dengan pemberian diet kalori yang
seimbang, yaitu antara kalori yang masuk dan keluar, bila perlu nutrisi dapat
diberikan terus menerus atau nocturnal feedings, menggunakan pipa nasogaster
(Antariksa et al., 2011).
Komposisi nutrisi berimbang pada psien PPOK dapat berupa tinggi lemak,
rendah hidrat. Hal ini didasarkan pada pemikiran pemberian karbohidrat yang
berlebih menimbulkan penumpukan CO2 sebagai hasil metabolisme aerob. Hal ini
menambah keparahan PPOK karena pada pasien PPOK terdapat kesulitan untuk
mengeluarkan CO2. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit konsumsi oksigen dan respon ventilasi terhadap
hipoksia dan hiperkapni. Ganguan elektrolit seperti hipofosfatemi, hiperkalemi,
hipokalsemi dan hipomagnesemi kerap terjadi. Gangguan ini dapat mengurangi
fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian komposisi berimbang, porsi kecil tapi
sering (Antariksa et al., 2011).
IV. KESIMPULAN

1. Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru kronis


yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat progresif irreversibel atau reversibel parsial, disebabkan oleh proses
inflamasi paru karena pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan
gambaran gangguan sistemik.
2. Faktor risiko PPOK adalah merokok, polusi udara (indoor atau outdoor),
dan polusi di lingkungan pekerjaan.
3. Terapi farmakologi dapat mengurangi gejala PPOK, mengurangi frekuensi
dan keparahan eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup serta toleransi
latihan.
4. Komposisi nutrisi berimbang pada pasien PPOK dapat berupa tinggi lemak,
rendah karbohidrat
DAFTAR PUSTAKA

Antariksa B, Sitompul ANL, Ginting AK, Hasan A, Tanuwihardja BY,


Drastyawan B, et al. Penyakit Paru Obstruktif Kronik Diagnosis dan
Penatalaksanaan. Revisi pertama. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (PDPI); 2011. hal.1-86.
Drummond MB, Dasenbrook EC, Pitz MW, et al. 2011. Inhaled Corticosteroids in
Patients With Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal of
American Medical Association, p. 2408-2416
Heidy Agustin dan Faisal Yunus. Proses Metabolisme pada PPOK. J Respir Indo.
2008. Vol 28(3): 60-7.

Megantara, Supriyadi. Faktor Genetik Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Cermin


Dunia Kedokteran. 2013. 40(8): 572-78.
Oemiati, Ratih. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Media
Litbangkes. 2013. 23(2): 82-88.
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2011.
Jakarta : PDPI.

Wedzicha JA, 2011. Beonchodilator Therapy For COPD. New England Journal
Medicine.

Anda mungkin juga menyukai