Anda di halaman 1dari 21

I.

Identitas pasien
Nama : an. S
Usia : 1,5 th
Jenis kelamin : Wanita
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Tgl masuk Rs : 17 Desember 2018
Dokter pemeriksa : dr. Laras Asri Fatahani

II. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Kejang 2 jam SMRS

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSUD Majenang diantar oleh ibunya, dengan keluhan kejang 1 kali
dirumah pada jam 15.00 WIB sebelum ke IGD, pasien kejang dengan mata mendelik keatas
dan badan kaku, lama kejang ± 2 menit, setelah kejang pasien masih sadar dan menangis.
Sebelumnya pasien batuk berdahak berwarna jernih kental serta demam sejak 2 hari yang
lalu. Ibu pasien mengatakan suhu terakhir sebelum terjadi kejang yaitu 39,0°C. Selama sakit
pasien mengalami penurunan nafsu makan. Keluhan tidak disertai sesak ataupun muntah,
BAB dan BAK tidak ada keluhan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kejang dengan atau tanpa demam tidak ada, riwayat penyakit paru-paru ataupun
jantung tidak ada.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang memiliki riwayat kejang disertai demam ataupun epilepsi di keluarga
e. Riwayat Pengobatan
Pasien mengkonsumsi obat penurun panas terakhir pukul 12.30 WIB SMRS yang dibeli
sendiri oleh ibunya di apotek
f. Riwayat Alergi
Alergi makanan, obat-obatan, cuaca dan debu disangkal
g. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Ibu pasien rutin melakukan pemeriksaan (ANC) setiap sebulan sekali di bidan selama masa
kehamilan. Selama hamil ibu tidak mengalami sakit ataupun gangguan. Anak lahir cukup
bulan 38 minggu, kehamilan tunggal, spontan di bidan tanpa penyulit kehamilan. Langsung
menangis setelah lahir dengan BB 2850 gram dan PB 50 cm.
Kesan : tidak ada sakit selama masa hamil.
h. Riwayat Imunisasi
Hepatitis B pada saat lahir 1x, pada usia 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan.

Polio diberikan pada usia 0 bulan untuk OPV-0, OPV-1 diberikan pada usia 2 bulan, OPV-2
diberikan pada usia 3 bulan dan OPV-3 diberikan pada usia 4 bulan.

BCG diberikan 1 kali pada usia di bawah 3 bulan

DTP diberikan pada usia 2 bulan DTP-1, DTP-2 usia 3 bulan, DTP-3 usia 4 bulan

Hib diberikan pada usia 2 bulan Hib-1, Hib-2 usia 3 bulan, Hib-3 usia 4 bulan

Campak diberikan usia 9 bulan

Kesan : Imunisasi lengkap sesuai usia pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Tanda vital
a. Nadi : 93 kali/ menit,reguler,kuat angkat
b. Respirasi rate : 30 kali/ menit
c. Suhu : 38.8 ° C
Antropometri
BB : 13 kg
TB : 85 cm
STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephal.
Mata : konjungtiva njuanemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+), d= 2
mm/2mm, isokor kanan-kiri.
Kulit : ikterus pada kulit (-), sianosis (-), pucat pada telapak tangan dan kaki (-), eritema (+)
KGB : Tidak ada pembesaran KGB pada daerah submandibula, supraclavicula,
infraclavicula, axilla, inguinal serta tidak ada nyeri penekanan
Hidung : Normonasi, hidung bagian luar tidak ada kelainan, epistaksis (- ),pernafasan
cuping hidung (-).
Telinga :Normotia, membran timpani intak.

Mulut : Bibir kering (-), stomatitis (-), mukosa mulut lembab, faring hiperemis (-),

Leher : Pembesaran KGB (-).

THORAX
Paru-Paru
-Inspeksi : Pernafasan abdomino-torakal, gerakan dinding paru saat bernafas simetris saat
statis dan dinamis, penggunaan otot bantu pernafasan (-).
-Palpasi : Taktil fremitus simetris antara paru kiri dan kanan
-Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar setinggi ICS V linea
midclavicularis dextra
-Auskultasi : Vesikuler +/+ dikedua lapang paru, Ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis ada pada ICS V di sebelah medial linea midklavikularis sinistra
Perkusi : - Kanan atas: SIC II Linea Para Sternalis Dextra
Kanan bawah: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra
Kiri atas: SIC II Linea Para Sternalis Sinistra
Kiri bawah: SIC IV Linea Medio Clavicularis Sinistra

Auskultasi : bunyi jantung 1 dan 2 murni reguler


Murmur (-)
Gallop (- )
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusa (-), tonjolan (-), bekas operasi (-),
Palpasi : Supel, Nyeri tekan epigastrium (-),nyeri tekan abdomen (-), Hepatomegali (-).
Perkusi : Timpani pada 4 kuadran abdomen, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) pada seluruh kuadran abdomen 15 x/menit. Turgor kulit kembali
dengan cepat.

Ekstremitas
Ekstremitas atas : Akral dingin (-),edema (-).
Ekstremitas bawah : akral dingin(-), edema pretibia -.

IV. Pemeriksaan Penunjang


Darah rutin
L : 3.8 - 10.6
Leukosit 16.6
P : 3.6 – 11.0
L : 4.4 – 5.9
Eritrosit 4.8
P : 3.8 – 5.2
L : 13.2 - 17.3
Hemoglobin 12.6
P : 11.7 – 15.5
L : 40 – 52
Hematokrit 36
P : 35 - 47
MCV 74 82 – 98
MCH 26 27 – 32
MCHC 35 32 – 37
Trombosit 264 150 – 400
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 1 2-4
Basofil 0 0-1
Netrofil Batang 3 3-5
Neutrofil Segmen 64 50 – 70
Limfosit 26 25 – 40
Monosit 7 2–8

V. RESUME
Anak laki-laki 1 tahun 5 bulan, datang ke IGD RSUD Majenang pukul 15.40 WIB
dengan keluhan kejang ± 30 menit yang lalu SMRS, kejang terjadi sekitar pukul 15.00 WIB,
kejang tersebut terjadi 1x seluruh tubuh, disertai dengan demam, batuk, pilek dan nafsu
makan menurun sejak 2 hari yang lalu. Suhu terakhir saat di rumah sekitar 39.0oC. Pada saat
kejang mata anak mendelik keatas dan badan kaku. Kejang merupakan yang pertama kali.
Pasien sudah diberikan parasetamol, terakhir diberikan pada pukul 12.30 WIB. Nadi
118x/menit, pernafasan 30x/menit, suhu 38,3 °C.

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : Kejang Demam Sederhana

VII. TATALAKSANA

Cairan
 IVFD RL
BB : 13 kg  13 kg I : 100 ml/kgBB/24 jam = 1300 ml/24 jam
10 kg II : 50 ml/kgBB/24 jam = 50 ml/24 jam
Total = 1350 ml/24 jam
Suhu : 38.3oC  kebutuhan cairan meningkat 12% setiap 1oC, jika suhu > 37oC
Kenaikan suhu  1.3oC ~ 1oC
1050 ml x 12% = 126 ml  Total kebutuhan cairan pada pasien ini :
1050 ml + 126 ml = 1176 ml/24 jam ~ 1180 ml/24 jam
(1180 ml x 20) / (24 x 60) = 16 tpm (makro)

Medikamentosa
 O2 via nasal canul 2 lpm
 Inj. Parasetamol 3 x 130 mg (tiap 4 jam bila suhu >38oC)
 Ambroxol syr (15 mg/5 ml) 2 x 1 cth
 Diazepam syr (2 mg/5ml) 3 x ½ cth (jika suhu >37.5oC)
 Diazepam supp 10 mg apabila terjadi kejang ulang (dapat diberikan 2x apabila terjadi
kejang berulang dengan interval pemberian 5 menit).
 Inj. Amoxicillin 3 x 92 mg

FOLLOW UP

Tanggal S O A P

17/12/18 Demam (-) S : 37,1 0C KDS  IVFD RL 16 tpm


RR : 28 x/m  Inj. Parasetamol 3 x 130 mg
Kejang (-)
HR: 106x/m (tiap 4 jam bila suhu >38oC) 
Batuk berdahak (+)
bila Demam
Lemas (+)  Ambroxol syr (15 mg/5 ml) 2 x
1 cth  Lanjut
Nafsu makan
 Diazepam syr (2 mg/5ml) 3 x ½
masih
cth  jika suhu >37.5oC
kurang (+)  Diazepam supp 10 mg apabila
terjadi kejang ulang (dapat
diberikan 2x apabila terjadi
kejang berulang dengan interval
pemberian 5 menit).
 Inj. Amoxicillin 3 x 92 mg 
lanjut

18/12/18 Demam (-) S : 36,7 0C KDS  BLPL


RR : 26 x/m  Parasetamol syr (120 mg/5 ml) 3
Kejang (-) x 1 cth (tiap 4 jam bila suhu
HR: 98 x/m
>38oC)
Batuk berkurang
 Ambroxol syr (15 mg/5 ml) 2 x1
Nafsu makan cth
 Amoxicillin syr (125 mg/5 ml) 3
membaik x ¾ cth (Habiskan)
 Diazepam supp 10 mg apabila
terjadi kejang ulang (dapat
diberikan 2x apabila terjadi
kejang berulang dengan interval
pemberian 5 menit).
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi

2.1.1 Kejang Demam


Kejang demam didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (380C, rektal), biasanya terjadi pada bayi dan anak antara umur
6 bulan dan 5 tahun, yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium, dan tidak
terbukti adanya penyebab tertentu.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai
pada anak-anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 5 tahun. Menurut
Consensus statement on febrile seizures, kejang demam adalah kejadian pada bayi
atau anak yang berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya
infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam
dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam kejang demam.
Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang
berulang tanpa demam. Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit
saraf seperti meningitis, ensefaltis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini
mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang
mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat.

2.2 Epidemiologi

Kejang demam terjadi pada 2-4% anak dengan umur berkisar antara 6 bulan
sampai 5 tahun, insidensi tertinggi pada umur 1 sampai 2 tahun (usia rerata 22 bulan).
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi susunan saraf pusat, atau
epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Anak yang pernah kejang tanpa demam,
kemudian kejang kembali disertai demam tidak termasuk dalam kejang demam. Seorang
anak yang mengalami kejang demam, tidak berarti dia menderita epilepsi karena epilepsi
ditandai dengan kejang berulang yang tidak dipicu oleh adanya demam.

2.3 Faktor Resiko


Faktor risiko pertama yang penting pada kejang demam adalah demam. Selain
itu juga terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus. Setelah kejang demam
pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-
kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Resiko rekurensi meningkat pada
usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur saat
kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.
Sebanyak 20% sampai 25% penderita kejang demam mempunyai keluarga dekat
(orang-tua dan saudara kandung) yang juga pernah menderita kejang demam.
Tsuboi mendapatkan bahwa insiden kejang demam pada orang tua penderita kejang
demam ialah 17% dan pada saudara kandungnya 22%. Pada penderita kejang demam
risiko saudara kandung berikutnya untuk mendapat kejang demam ialah 10%. Namun
bila satu dari orang-tuanya dan satu saudara pernah pula mengalami kejang demam,
kemungkinan ini meningkat menjadi 50% .
Penelitian Prof. Dr. dr. S.M. Lumbantobing juga memperoleh data riwayat
keluarga pada 231 penderita kejang demam. Dari mereka ini 60 penderita merupakan
anak tunggal waktu diperiksa. Sedang 221 penderita lainnya - yang mempunyai satu
atau lebih saudara kandung - 79 penderita (36%) mempunyai satu atau lebih saudara
kandung yang pemah mengalami kejang yang disertai demam. Jumlah seluruh saudara
kandung dari 221 penderita ini ialah 812 orang, dan 119 (14,7%) di antaranya pernah
mengalami kejang yang disertai demam.

2.4 Klasifikasi Kejang Demam

2.4.1 Klasifikasi menurut Livingston


Livingston (1954-1963) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2
golongan, yaitu:
1. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Convulsion).
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (Epilepsy Triggered Off by Fever).

Di Sub Bagian Saraf Anak bagian IKA FKUI – RSCM Jakarta, kriteria
Livingston telah dimodifikasi dan dipakai sebagai pedoman untuk membuat
diagnosa kejang demam sederhana, yakni:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh
kriteria modifikasi Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi
oleh demam.
2.4.2 Klasifikasi menurut Prichard dan Mc Greal
Prichard dan Mc Greal membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
1. Kejang Demam Sederhana
2. Kejang Demam Tidak Khas

Ciri-ciri kejang demam sederhana ialah:


1. Kejangnya bersifat simetris, artinya akan terlihat lengan dan tungkai kiri yang
kejang sama seperti yang kanan.
2. Usia penderita antara 6 bulan – 4 tahun.
3. Suhu 100 oF (38oC, rectal ) atau lebih.
4. Lamanya kejang berlangsung kurang dari 30 menit.
5. Keadaan neurologi (fungsi saraf) normal atau setelah kejang juga tetap normal.
6. EEG (electro encephalography – rekaman otak) yang dibuat setelah tidak
demam adalah normal.
Kejang demam yang tidak memenuhi butir tersebut diatas digolongkannya
sebagai kejang demam tidak khas.
2.4.3 Klasifikasi menurut Fukuyama
Fukuyama juga membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu:
1. Kejang demam sederhana
2. Kejang demam kompleks

Kejang demam sederhana harus memenuhi semua kriteria berikut, yaitu:


1. Dikeluarga penderita tidak ada riwayat epilepsi.
2. Sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun.
3. Serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan – 6 tahun.
4. Lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20 menit.
5. Kejang tidak bersifat fokal.
6. Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang.
7. Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis atau abnormalitas
perkembangan.
8. Kejang tidak berulang dalam waktu singkat.
Bila kejang demam tidak memenuhi kriteria tersebut di atas, maka
digolongkannya sebagai kejang demam jenis kompleks.
Akhir-akhir ini kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu:
1. Kejang Demam Sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat,
kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk
umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam
waktu 24 jam.
2. Kejang Demam Kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri berikut
ini: berlangsung lebih lama dari 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi,
atau kejang umum didahului kejang parsial, berulang atau lebih dari 1 kali
dalam 24 jam.

2.5 Etiologi

Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti. Ada
beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam, yaitu:
1. Demamnya sendiri.
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak.
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi.
4. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang tidak diketahui
atau ensefalopati toksik sepintas.
6. Gabungan semua faktor di atas.

Kejang demam biasanya berhubungan dengan demam yang tiba-tiba tinggi dan
kebanyakan terjadi pada hari pertama anak mengalami demam. Demam dapat muncul
pada permulaan penyakit infeksi (ekstrakranial), yang disebabkan oleh banyak macam
agent, antara lain:

 Bakteri
 Penyakit pada Tractus Respiratorius :
 Pharingitis
 Tonsilitis
 Otitis Media
 Laryngitis
 Bronchitis
 Pneumonia
 Pada Gastro Intestinal Tract :
 Dysenteri Baciller, Shigellosis
 Sepsis
 Pada tractus Urogenitalis :
 Pyelitis
 Cystitis
 Pyelonephritis
 Virus:
Terutama yang disertai exanthema :
 Varicella
 Morbili
 Dengue

Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit)
biasanya disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skeletal yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapneu, dan asidosis laktat.
Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh disebabkan
meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme otak

Awal (< 15 menit) Lanjut (15-30 menit) Berkepanjangan (>1jam)


Meningkatnya kecepatan Menurunnya tekanan Hipotensi disertai
denyut jantung darah berkurangnya aliran darah
Meningkatnya tekanan Menurunnya gula darah serebrum sehingga terjadi
darah hipotensi serebrum
Meningkatnya kadar Disritmia Gangguan sawar darah otak
glukosa yang menyebabkan edema
Meningkatnya suhu pusat Edema paru nonjantung serebrum
tubuh
Meningkatnya sel darah
putih

Tabel 1. Efek Fisiologis Kejang

Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron


otak pada kejang yang lama. Faktor yang terpenting adalah gangguan peredaran darah
yang mengakibatkan hipoksia sehingga berakibat meningkatnya permeabilitas vaskular
dan udem otak serta kerusakan sel neuron. Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat
menetap bisa terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada serangan kejang yang
berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya epilepsi.
1.7 Manifestasi Klinis

Terjadinya bangkitan kejang demam pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar
sistem saraf pusat, misalnya karena Tonsillitis, Bronchitis atau Otitis Media Akut.7
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam,
berlangsung singkat, dengan sifat bangkitan kejang berbentuk tonik, klonik, tonik-
klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti
untuk sesaat anak tidak memberikan reaksi apapun, tetapi setelah beberapa detik atau
menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa ada kelainan neurologi.
Living Stone membagi kriteria kejang menjadi 2, yaitu:
1. Kejang Demam Sederhana / KDS
2. Epilepsi yang Diprovokasi oleh Demam

Epilepsi yang diprovokasi oleh demam ditegakkan apabila kejang tidak


memenuhi salah satu atau lebih kriteria KDS. Kejang pada Epilepsi adalah merupakan
dasar kelainan, sedang demam adalah faktor pencetus terjadinya serangan.
Adapun kejang demam dibagi menjadi 2 bentuk (menurut Livingstone), yaitu :
1. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut :
 Kejang berlangsung singkat < 15 menit
 Kejang umum tonik dan atau klonik
 Umumnya berhenti sendiri
 Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
2. Kejang demam komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan cirri-ciri gejala klinis
sebagai berikut :
 Kejang lama > 15 menit
 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
 Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

Gejala-gejala yang dapat timbul setelah kejang adalah, otot-otot menjadi lebih
lunak, dan dalam beberapa kejadian seseorang dapat menjadi bingung dan lupa akan
kejadian sebelumnya, mengantuk dan sakit kepala.

1.8 Pemeriksaan Penunjang


2.8.1 Laboratorium
Pada kejang demam beberapa peneliti mendapatkan kadar yang normal pada
pemeriksaan laboratorium tersebut, oleh karenanya tidak diindikasikan pada kejang
demam, kecuali bila didapatkan kelainan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Bila dicurigai adanya meningitis baktrialis, lakukan pemeriksaan kultur darah dan
kultur cairan serebrospinal. Bila dicurigai adanya ensefalitis, lakukan pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) terhadap virus herpes simpleks.
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Macam pemeriksaan
laboratorium ditentukan sesuai kebutuhan. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.
2.8.2 Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kejang disertai
penurunan status kesadaran/mental, perdarahan kulit, kaku kuduk, kejang lama,
gejala infeksi paresis, peningkatan sel darah putih, atau tidak adanya faktor pencetus
yang jelas. Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48 atau 72 jam untuk
memastikan adanya infeksi SSP. Bila didapatkan kelainan neuroligis fokal dan
adanya peningkatan tekanan intracranial, dianjurkan pemeriksaan CT Scan kepala
terlebih dahulu, untuk mencegah terjadinya resiko herniasi.
The American Academy of Pediatric merekomendasikan pemeriksaan pungsi
lumbal pada serangan pertama kejang disertai demam pada anak usia di bawah 12
bulan sangat dianjurkan, karena gejala klinis yang berhubungan dengan meningitis
sangat minimal bahkan tidak ada. Pada anak usia 12 – 18 bulan lumbal pungsi
dianjurkan, sedangankan pada usia lebih dari 18 bulan lumbal pungsi dilakukan bila
ada kecurigaan adanya infeksi intracranial (meningitis).
2.8.3 Neuroimaging
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-
scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin
dan hanya atas indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
Neuroimaging tidak berguna pada anak anak dengan kejang demam,
berdasarkan kasus pada 71 anak dengan kejang demam tidak ditemukan adanya
suatu kondisi kelainan intrakranial seperti adanya lesi, perdarahan, hidrochephalus,
abses atau edema serebri.
2.8.4 Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada
pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.Pemeriksaan EEG
masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya:
kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam
fokal.

2.9 Diagnosis

Diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan kriteria Livingston yang telah


dimodifikasi, yang merupakan pedoman yang dipakai oleh Sub Bagian Saraf Anak IKA
FKUI-RSCM Jakarta, yaitu:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan – 6 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu setelah suhunormal tidak
menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang demam,
dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak didapatkan gejala
neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu. Tetapi perlu diingat bahwa
kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat pula tejadi pada kelainan lain, misalnya
pada radang selaput otak (meningitis) atau radang otak (ensefalitis).11
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama dan dengan
usia kurang dari 1 tahun. Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang mempunyai nilai
diagnostik, EEG tidak dapat digunakan untuk memperkirakan kemungkinan terjadinya
epilepsy atau kejang demam berulang si kemudian hari. Saat ini pemeriksaaan EEG tidak
dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana. Pemeriksaan laboratorium tidak
dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi. Pasien dengan keadaan
diare, muntah dan gangguan keseimbangan cairan dapat diduga terdapat
gangguan metabolisme akut, sehingga pemeriksaan elektrolit diperlukan. Pemeriksaan
labratorium lain perlu dilakukan untuk mencari penyebab timbulnya demam.

2.10 Diagnosis Banding


Menghadapi seorang anak yang menderita kejang dengan demam, harus
dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat
(otak).3 Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya meningitis,
encephalitis, abses otak dan lain-lain. Oleh karena itu perlu waspada untuk
menyingkirkan apakah ada kelainan organis di otak. Baru sesudah itu dipikirkan apakah
kejang demam ini tergolong dalam kejang demam sederhana atau kejang demam
kompleks.

2.11 Tatalaksana Kejang Demam

Pengobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada algoritma tatalaksana


kejang. Saat ini lebih diutamakan pengobatan profilaksis intermitten pada saat demam
berupa:

 Antipiretik
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari tidak lebih dari 5 kali
atau Ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari.
 Anti kejang
Diazepam oral dengan dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam atau diazepam rektal
dosis 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat suhu tubuh >38,50C. Terdapat efek
samping berupa ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39%
kasus.
 Pengobatan jangka panjang/rumatan (maintenance)
Pengobatan jangka panjang hanya diberikan jika kejang demam menunjukan
ciri-ciri sebagai berikut (salah satu):
 Kejang lama > 15 menit
 Kelainan neurologi yang nyata sebelum/sesudah kejang : Hemiparesis,
retardasi mental, hidrosefalus.
 Kejang fokal

Pengobatan jangka panjang dipertimbangkan jika :

 Kejang berulang 2 kali/lebih dalam 24 jam.


 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
 Kejang demam ≥ 4 kali per tahun.

Obat untuk pengobatan jangka panjang:


 Fenobarbital (dosis 3-4 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis) atau
 Asam valproat (dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis). Pemberian
obat ini efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Pengobatan
diberikan sampai dengan 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan
secara bertahap selama 1-2 bulan.

Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri setenang
mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah
sebagai berikut:
 Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping, bukan
terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
 Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok atau penggaris,
karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
 Jangan memegangi anak untuk melawan kejang.
 Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan penanganan
khusus.
 Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke fasilitas
kesehatan terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk dibawa ke fasilitas
kesehatan jika kejang masih berlanjut setelah 5 menit. Ada pula sumber yang
menyatakan bahwa penanganan lebih baik dilakukan secepat mungkin tanpa
menyatakan batasan menit.
 Setelah kejang berakhir (jika < 10 menit), anak perlu dibawa menemui dokter untuk
meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-muntah yang
berat, atau anak terus tampak lemas.

Jika anak dibawa ke fasilitas kesehatan, penanganan yang akan dilakukan selain
poin-poin di atas adalah sebagai berikut:
 Memastikan jalan napas anak tidak tersumbat
 Pemberian oksigen melalui face mask
 Pemberian diazepam 0,5 mg/kg berat badan per rektal (melalui anus) atau jika telah
terpasang selang infus 0,2 mg/kg per infus
 Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan

Sebagian sumber menganjurkan pemeriksaan kadar gula darah untuk meneliti
kemungkinan hipoglikemia. Namun sumber lain hanya menganjurkan pemeriksaan
ini pada anak yang mengalami kejang cukup lama atau keadaan pasca kejang
(mengantuk, lemas) yang berkelanjutan.

2.12 Komplikasi

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan
tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari
15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan
energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia,
asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai
denyut jantung yang tidak teratur, makin meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat, kerusakan neuron otak, kelumpuhan,
penurunan IQ. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya
kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.
Faktor-faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Jadi kejang demam yang berlangsung lama
dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsy.

2.13 Prognosis

Prognosis anak dengan kejang demam sederhana sangat baik. Banyak anak yang
akan mengalami kejang demam kembali, namun risiko epilepsi di kemudian hari tidak
lebih besar dibandingkan pada populasi umum (sekitar 1%). Anak dengan kejang demam
kompleks hanya memiliki risiko 7% untuk mengalami kejang demam kembali.

Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan
tidak perlu menyebabkan kematian. Perkembangan mental dan neurologis umumnya
tetap normal pada pasien yang sebelumnya tidak memiliki kelainan neurologis.
LAPORAN KASUS BANGSAL
"KEJANG DEMAM SIMPLEK”

Disusun oleh :
dr. Laras Asri Fatahani

Pendamping :

dr. Nur Cahyo Anggorojati


INTERNSIP RSUD MAJENANG
2018 - 2019
DAFTAR PUSTAKA
1. H. Pudjiadi, Antonius, dkk. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Penerbit : Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2013. Hal 31-37
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2011. Hal. 150-152
3. Taslim S Soetomenggolo. Kejang Demam Dalam Buku Neurologi UI. Jakarta:
Penerbit FKUI. 2004. Hal. 244-251.
4. Asril Aminulah, Prof Bambang Madiyono. Hot Topik In Pediateric II : Kejang Pada
Anak. Cetakan ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002.
5. Tumbelaka, Alan R, Trihono, Partini P, Kurniati, Nia, Putro Widodo, Dwi. Penanganan
Demam Pada Anak Secara Profesional: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLVII. Cetakan pertama. FKUI-RSCM. Jakarta. 2005.
6. Hasan Rusepno, Alatas Husein. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FK.UI. 1997. Hal.
847-60
7. Rukhmana, Yudith F. Kejang Demam. 2008. Sumber :
https://www.scribd.com/doc/87503808
8. Matondang, Corry S, dkk. Diagnosis Fisis Pada Anak. Edisi ke-2. Jakarta : PT
Sagung Seto; 2007. Hal 9-10

9. Lumbantobing, S.M. Kejang Demam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.


10. Pusponegoro, Hardiono D, dkk. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta:
UKK Neurologi IDAI. 2006.
11. Waruiru & Appleton. Febrile Seizure: an Update. Arch Dis. 2008. Available from
URL:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1720014/pdf/v089p00751.pdf/?t
ool=pmcentrez
12. World Health Organization Indonesia. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit.
Jakarta : WHO Indonesia; 2008. Hal. 16
13. Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman., Hal B. Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak : Kejang Demam. 18 edition. Jakarta : EGC. 2007.
14. Pusponegoro, Hardiono D. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. 2004.
15. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Jakarta: IDAI.
2015. Hal. 32-38
KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, juga shalawat serta
salam kami panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam mengikuti Program Internsip
Dokter Indonesia, penulis menyusun laporan kasus yang berjudul “kejang demam simplek”
sebagai salah satu syarat tujuan dalam menyelesaikan tugas di wahana terpilih, yakni RSUD
Majenang.
Penulis berharap semoga hasil dari laporan ini dapat bermanfaat bagi diri penulis sendiri dan
orang lain, sehingga diharapkan lebih banyak masyarakat yang lebih sadar bahwa setiap faktor
perilaku, faktor lingkungan, ketersediaan pelayanan kesehatan, dan faktor genetik mempengaruhi
status kesehatan.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada berbagai pihak yang telah
mendukung penulis menyelesaikan laporan ini, kepada dokter pembimbing dr. Nur Cahyo
Anggorojati dan teman-teman sejawat internsip di RSUD Majenang.

Majenang, Maret 2019

Penulis

Anda mungkin juga menyukai