Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar Lanjut Usia (Lansia)


1. Definisi Lansia
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.
13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah
seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk,
2008).
Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia
(lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit,
namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres
lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan
seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres
fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan
untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009).

2. Batasan Umur Lanjut Usia


Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-
batasan umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut
:
1) Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal
1 ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai
usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”.
2) Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi
menjadi empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah
45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua
(old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90
tahun.
3) Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu :
pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities)
ialah 40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun,
keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia.
4) Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia
(geriatric age): > 65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric
age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old
(70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old ( > 80 tahun) (Efendi,
2009).

3. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia
berdasarkan Depkes RI (2003) dalam Maryam dkk (2009) yang terdiri
dari : pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59
tahun, lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, lansia
resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang
yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan, lansia
potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa, lansia tidak potensial
ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya
bergantung pada bantuan orang lain.

4. Karakteristik Lansia
Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60
tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan),
kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif
hingga kondisi maladaptif, lingkungan tempat tinggal bervariasi
(Maryam dkk, 2008).

5. Tipe Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman
hidup, lingkungan, kodisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho
2000 dalam Maryam dkk, 2008). Tipe tersebut dijabarkan sebagai
berikut:
1) Tipe Arif Bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah
hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi
panutan.
2) Tipe Mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam
mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
3) Tipe Tidak Puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi
pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik
dan banyak menuntut.
4) Tipe Pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan
melakukan pekerjaan apa saja.
5) Tipe Bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,
menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.

Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe independen
(ketergantungan), tipe defensife (bertahan), tipe militan dan serius, tipe
pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta
tipe putus asa (benci pada diri sendiri).

6. Proses Penuaan
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku
yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka
mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan
suatu fenomena yang kompleks multidimensional yang dapat diobservasi
di dalam satu sel dan berkembang sampai pada keseluruhan sistem
(Stanley, 2006).
Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan
yang maksimal. Setelah itu tubuh mulai menyusut dikarenakan
berkurangnya jumlah sel-sel yang ada di dalam tubuh. Sebagai akibatnya,
tubuh juga akan mengalami penurunan fungsi secara perlahan-lahan.
Itulah yang dikatakan proses penuaan (Maryam dkk, 2008).
Aging process atau proses penuaan merupakan suatu proses biologis
yang tidak dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap orang. Menua
adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan (gradual)
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti serta
mempertahankan struktur dan fungsi secara normal, ketahanan terhadap
cedera, termasuk adanya infeksi.
Proses penuaan sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai
dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot,
susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh ‘mati’ sedikit demi
sedikit. Sebenarnya tidak ada batasan yang tegas, pada usia berapa
kondisi kesehatan seseorang mulai menurun. Setiap orang memiliki
fungsi fisiologis alat tubuh yang sangat berbeda, baik dalam hal
pencapaian puncak fungsi tersebut maupun saat menurunnya. Umumnya
fungsi fisiologis tubuh mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun.
Setelah mencapai puncak, fungsi alat tubuh akan berada dalam kondisi
tetap utuh beberapa saat, kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai
dengan bertambahnya usia (Mubarak, 2009).
Pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah, baik
secara biologis, mental, maupun ekonomi. Semakin lanjut usia seseorang,
maka kemampuan fisiknya akan semakin menurun, sehingga dapat
mengakibat kan kemunduran pada peran-peran sosialnya (Tamher, 2009).
Oleh karena itu, perlu perlu membantu individu lansia untuk menjaga
harkat dan otonomi maksimal meskipun dalam keadaan kehilangan fisik,
sosial dan psikologis.
7. Teori-Teori Proses Penuaan
Menurut Maryam, dkk (2008) ada beberapa teori yang berkaitan
dengan proses penuaan, yaitu : teori biologi, teori psikologi, teori sosial,
dan teori spiritual.
1) Teori Biologis
Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi, immunology slow
theory, teori stres, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.
 Teori Genetik dan Mutasi
Menurut teori genetik dan mutasi, semua terprogram secara
genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai
akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-
molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami
mutasi.
 Immunology Slow Theory
Menurut immunology slow theory, sistem imun menjadi efektif
dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh
yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
 Teori Stres
Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-
sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan
usaha, dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
 Teori Radikal Bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya
radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen
bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini
menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi.
 Teori Rantai Silang
Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel
yang tua menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan
kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas
kekacauan, dan hilangnya fungsi sel.
2) Teori Psikologi
Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan
keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya
penurunan dan intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan
kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka
sulit untuk dipahami dan berinteraksi.
Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan.
Dengan adanya penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi
pula penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan
merespons stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi/reaksi
yang berbeda dari stimulus yang ada.
3) Teori Sosial
Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan,
yaitu teori interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan
diri (disengagement theory), teori aktivitas (activity theory), teori
kesinambungan (continuity theory), teori perkembangan
(development theory), dan teori stratifikasi usia (age stratification
theory).
 Teori Interaksi Sosial
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada
suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai
masyarakat. Pada lansia, kekuasaan dan prestasinya berkurang
sehingga menyebabkan interaksi sosial mereka juga berkurang,
yang tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka untuk
mengikuti perintah.
 Teori Penarikan Diri
Teori ini menyatakan bahwa kemiskinan yang diderita lansia dan
menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia
secara perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya.
 Teori Aktivitas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung
bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan
aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting
dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan.
 Teori Kesinambungan
Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus
kehidupan lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat
merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal
ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan
seseorang ternyata tidak berubah meskipun ia telah menjadi
lansia.
 Teori Perkembangan
Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua
merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia
terhadap berbagai tantangan tersebut yang dapat bernilai positif
ataupun negatif. Akan tetapi, teori ini tidak menggariskan
bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau yang
seharusnya diterapkan oleh lansia tersebut.
 Teori Stratifikasi Usia
Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan yang
dilakukan bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk
mempelajari sifat lansia secara kelompok dan bersifat makro.
Setiap kelompok dapat ditinjau dari sudut pandang demografi dan
keterkaitannya dengan kelompok usia lainnya. Kelemahannya
adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai lansia
secara perorangan, mengingat bahwa stratifikasi sangat kompleks
dan dinamis serta terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok
etnik.
4) Teori spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian
hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu
tentang arti kehidupan.
8. Tugas Perkembangan Lansia
Lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik yang
terjadi seiring penuaan. Waktu dan durasi perubahan ini bervariasi pada
tiap individu, namun seiring penuaan sistem tubuh, perubahan
penampilan dan fungsi tubuh akan terjadi. Perubahan ini tidak
dihubungkan dengan penyakit dan merupakan perubahan normal.
Adanya penyakit terkadang mengubah waktu timbulnya perubahan atau
dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.
Adapun tugas perkembangan pada lansia dalam adalah : beradaptasi
terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap
masa pensiun dan penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian
pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan
kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan
anak yang telah dewasa, menemukan cara mempertahankan kualitas
hidup (Potter & Perry, 2009).

B. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten
dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90
mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan
sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer, 2010).
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg (Luckman
Sorensen,2012).
Hipertensi dikategorikan ringan apabila tekanan diastoliknya antara
95 – 104 mmHg, hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya antara 105
dan 114 mmHg, dan hipertensi berat bila tekanan diastoliknya 115
mmHg atau lebih. Pembagian ini berdasarkan peningkatan tekanan
diastolik karena dianggap lebih serius dari peningkatan sistolik (Smith
Tom, 2010).
2. Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi menurut WHO, yaitu :
1) Tekanan darah normal yaitu bila sistolik kurang atau sama dengan
140 mmHg dan diastolik kurang atau sama dengan 90 mmHg
2) Tekanan darah perbatasan (broder line) yaitu bila sistolik 141-149
mmHg dan diastolik 91-94 mmHg
3) Tekanan darah tinggi (hipertensi) yaitu bila sistolik lebih besar atau
sama dengan 160 mmHg dan diastolik lebih besar atau sama dengan
95mmHg.

3. Etiologi
Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik
(idiopatik). Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output
atau peningkatan tekanan perifer. Namun ada beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya hipertensi :
1) Genetik : Respon neurologi terhadap stress atau kelainan eksresi atau
transport Na.
2) Obesitas : terkait dengan level insulin yang tinggi yang
mengakibatkan tekanan darah meningkat.
3) Stress Lingkungan.
4) Hilangnya Elastisitas jaringan dan arterosklerosis pada orang tua
serta pelebaran pembuluh darah.

4. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis
di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti
kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat
sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla
adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat
respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan
rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada
gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon
ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini
cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan
structural dan fungsional pada system pembuluh perifer
bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia
lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas
jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah,
yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh
jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung
dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, 2006).
Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi
palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi
oleh Cuff Sphygmomanometer (Darmojo, 2008).
Menurunnya tonus vaskuler merangsang saraf simpatis yang
diteruskan ke sel jugularis. Dari sel jugularis ini bisa meningkatkan
tekanan darah. Dan apabila diteruskan pada ginjal, maka akan
mempengaruhi eksresi pada rennin yang berkaitan dengan
Angiotensinogen. Dengan adanya perubahan pada angiotensinogen II
berakibat pada terjadinya vasokontriksi pada pembuluh darah, sehingga
terjadi kenaikan tekanan darah.Selain itu juga dapat meningkatkan
hormone aldosteron yang menyebabkan retensi natrium. Hal tersebut
akan berakibat pada peningkatan tekanan darah. Dengan peningkatan
tekanan darah maka akan menimbulkan kerusakan pada organ-organ
seperti jantung. ( Suyono, Slamet. 2004 ).

5. Tanda Dan Gejala


Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :
1) Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan
peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh
dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan
pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
2) Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi
meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini
merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang
mencari pertolongan medis.

6. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pada klien dengan hipertensi adalah :
1) Peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg 2.
2) Sakit kepala
3) Pusing / migraine
4) Rasa berat ditengkuk
5) Penyempitan pembuluh darah
6) Sukar tidur
7) Lemah dan lelah
8) Nokturia
9) Azotemia
10) Sulit bernafas saat beraktivitas

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :
1) Pemeriksaan yang segera seperti :
 Darah rutin (Hematokrit/Hemoglobin) : untuk mengkaji hubungan
dari sel-sel terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat
mengindikasikan factor resiko seperti: hipokoagulabilitas,
anemia.
 Blood Unit Nitrogen/kreatinin : memberikan informasi tentang
perfusi / fungsi ginjal.
 Glukosa : Hiperglikemi (Diabetes Melitus adalah pencetus
hipertensi) dapat diakibatkan oleh pengeluaran Kadar
ketokolamin (meningkatkan hipertensi).
 Kalium serum : Hipokalemia dapat megindikasikan adanya
aldosteron utama (penyebab) atau menjadi efek samping terapi
diuretik.
 Kalsium serum : Peningkatan kadar kalsium serum dapat
menyebabkan hipertensi
 Kolesterol dan trigliserid serum : Peningkatan kadar dapat
mengindikasikan pencetus untuk/ adanya pembentukan plak
ateromatosa ( efek kardiovaskuler )
 Pemeriksaan tiroid : Hipertiroidisme dapat menimbulkan
vasokonstriksi dan hipertensi
 Kadar aldosteron urin/serum : untuk mengkaji aldosteronisme
primer (penyebab)
 Urinalisa: Darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal
dan ada DM.
 Asam urat : Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko
hipertensi
 Steroid urin : Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
 EKG: 12 Lead, melihat tanda iskemi, untuk melihat adanya
hipertrofi ventrikel kiri ataupun gangguan koroner dengan
menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian gelombang
P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
 Foto dada: apakah ada oedema paru (dapat ditunggu setelah
pengobatan terlaksana) untuk menunjukan destruksi kalsifikasi
pada area katup, pembesaran jantung.
2) Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil
pemeriksaan yang pertama) :
 IVP : Dapat mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti
penyakit parenkim ginjal, batu ginjal / ureter.
 CT Scan : Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.
 IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti: Batu
ginjal,
perbaikan ginjal.
 Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal
tab, CAT scan.
 (USG) untuk melihat struktur gunjal dilaksanakan sesuai kondisi
klinis pasien

8. Komplikasi
Efek pada organ :
1) Otak
 Pemekaran pembuluh darah
 Perdarahan
 Kematian sel otak : stroke
2) Ginjal
 Malam banyak kencing
 Kerusakan sel ginjal
 Gagal ginjal
3) Jantung
 Membesar
 Sesak nafas (Dyspnoe)
 Cepat lelah
 Gagal jantung

9. Penatalaksanaan
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan
pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg.

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah langkah pertama dari proses keperawatan melalui
kegiatan pengumpulan data atau perolehan data yang akurat dapat pasien
guna mengetahui berbagai permasalahan yang ada (Aziz Alimul. 2009 : h 85).
Adapun pengkajian pada pasien hipertensi menurut Doengoes, et al
(2009) adalah
1) Aktivitas istirahat
 Gejala :
 Kelelahan umum, kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup
 Tanda :
 Frekuensi jantung meningkat
 Perubahan trauma jantung (takipnea)
2) Sirkulasi
 Gejala :
 Riwayat hipertensi ateros klerosis, penyakit jantung koroner / katup
dan penyakit screbiovakuolar, episode palpitasi, perpirasi.
 Tanda :
 Kenaikan TD (pengukuran serial dan kenaikan TD diperlukan untuk
menaikkan diagnosis
 Hipotensi postural (mungkin berhubungan dengan regimen otak)
 Nada denyutan jelas dari karotis, juguralis, radialis
 Denyut apical : Pm, kemungkinan bergeser dan sangat kuat
 Frekuensi/irama : Tarikardia berbagai distrimia
 Bunyi, jantung terdengar S2 pada dasar S3 (CHF dini)
S4 (pengerasan vertikel kiri / hipertrofi vertical kiri).
3) Integritas ego
 Gejala :
 Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi eufuria atau jarah
kronis (dapat mengidentifikasi kerusakan serebral ) faktor-faktor
inulhfel, hubungan keuangan yang berkaitan dengan pekerjaan.
 Tanda :
 Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontiniu perhatian,
tangisan yang meledak, gerak tangan empeti otot muka tegang
(khususnya sekitar mata) gerakkan fisik cepat, pernafasan
mengelam peningkatan pola bicara.
4) Eliminasi
 Gejala :
 Gangguan ginjal sakit ini atau yang lalu
5) Makanan/Cairan
 Gejala :
 Makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi
garam, tinggi lemak, tinggi kolestrol, mual, muntah, perubahan
berat badan (meningkatkan/menurun) riwayat pengguna diuretik.
 Tanda :
 Berat badan normal atau obesitas
 Adanya edema (mungkin umum atau tertentu)
 Kongestiva
 Glikosuria (hampir 10% hipertensi adalah diabetik).
6) Neurosensori
 Gejala :
 Keluhan pening/pusing
 Berdenyut, sakit kepala suboksipital (terjadi saat bangun dan
menghilang secara spontan setelah beberapa jam)
 Episode kebas dan kelemahan pada satu sisi tubuh
 Gangguan penglihatan
 Episode epistaksis
 Tanda :
 Status mental perubahan keterjagaan orientasi, pola isi bicara, efek,
proses fikir atau memori.
7) Nyeri/Ketidak nyamanan
 Gejala :
 Angma (penyakit arteri koroner/keterlibatan jantung
 Nyeri hilang timbul pada tungkai/klaudikasi
 Sakit kepala oksipital berat seperti yang pernah terjadi sebelumnya
 Nyeri abdomen / massa
8) Pernapasan
 Gejala :
 Dispenea yang berkaitan dengan aktivitas kerja
 Riwayat merokok, batuk dengan / tanpa seputum
 Tanda :
 Distres respirasi
 Bunyi nafas tambahan
 Sianosis
9) Keamanan
 Gejala :
 Gangguan koordinas / cara berjalan
 Hipotesia pastural
 Tanda :
 Frekuensi jantung meningkat
 Perubahan trauma jantung (takipnea)
10) Pembelajaran/Penyebab
 Gejala :
 Faktor resiko keluarga : hipertensi, aterosporosis, penyakit jantung,
DM

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinis mengenai seseorang,
keluarga atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang aktual atau potensial. (Aziz Alimul, 2009 : h 92)
Nanda menyatakan bahwa diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik
tentang respon individu. Keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan
aktual atau potensial. Sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk
mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat.
Semua diagnosa keperawatan harus didukung oleh data. Dimana menurut
Nanda diartikan sebagai defensial arakteristik definisi karakteristik tersebut
dinamakan tanda dan gejala suatu yang dapat diobservasi dan gejala sesuai
yang dirasakan oleh klien.
Menurut Doengoes, et al (2006), diagnosa keperawatan yang mungkin
ditemukan pada pasien dengan hipertensi adalah :
1) Nyeri (akut), sakit kepala b/d peningkatan tekanan vaskuler selebral d/d
melaporkan tentang nyeri berdenyut yang terletak pada regiu
suboksipital. Terjadi pada saat bangun dan hilang secara spontan setelah
beberapa waktu
2) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi rencana
pengobatan b/d kurang pengetahuan / daya ingat d/d menyatakan
masalah, meminta informasi.

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi (Perencanaan) adalah proses penyusunan berbagai intervensi
keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menghilangkan atau
mengurangi masalah pasien (Aziz Alimul. 2009 : h 106)
Perencanaan keperawatan pada pasien dengan hipertensi menurut
(Dongoes et al 2007) adalah :
1) Diagnosa Keperawatan 1
Nyeri (akut), sakit kepala b/d peningkatan tekanan vaskuler selebral d/d
melaporkan tentang nyeri berdenyut yang terletak pada regium
suboksipital. Terjadi pada saat bangun dan hilang secara spontan setelah
beberapa waktu.
 Intervensi :
 Observasi tanda-tanda vital
 Kaji skala nyeri
 Anjurkan teknik distraksi dan relaksasi
 Anjurkan pasien untuk banyak istirahat
 Anjurkan pasien diet makanan rendah kalori, rendah garam
 Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik
 Rasionalisasi :
 Untuk mengetahui keadaan umum pasien
 Untuk mengehtahui itensitas skala nyeri
 Untuk mengurangi rasa nyeri
 Untuk mempercepat proses penyembuhan
 Untuk menstabilkan tekanan darah pada pasien
 Untuk membantu dalam proses mengurangi rasa nyeri
2) Diagnosa keperawatan 2
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi rencana
pengobatan b/d pengetahuan / daya ingatt, menerima informasi
 Intervensi :
 Kaji tingkat pengetahuan pasien
 Berikan penkes kepada pasien tentang penyakit hipertensi
 Melakukan evaluasi :
- Tanyakan kembali tentang definisi hipertensi
- Tanyakan kembali tentang klasifikasi hipertensi
- Tanyakan kembali tentang etiologi hipertensi
- Tanyakan kemabali tentang tanda dan gejala hipertensi
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai
strategis keperawatan (tindakan keperawatan) yaitu telah direncanakan. (Aziz
Alimuml. 2008 : h 11)
Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan pencegahan
penyakit. Pemulihan kesehatan dan mempasilitas koping perencanaan
tindakan keperawatan akan dapat dilaksanakan dengan baik. Jika klien
mempunyai keinginan untuk berpatisipasi dalam pelaksanaan tindakan
keperawatan selama tahap pelaksanaan perawat terus melakukan
pengumpulan data dan memilih tindakan perawatan yang paling sesuai
dengan kebutuhan klien tindakan.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap terakhir proses keperawatan dengan cara menilai
sejauh mana tujuan diri rencana keperawatan tercapai atau tidak. (Aziz
Alimul. 2009 : h 12)
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai
tujuan. Hal ini dapat dilaksanakan dengan mengadakan hubungan dengan
klien berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang diberikan
sehingga perawat dapat mengambil keputusan :
1) Mengakhiri tindakan keperawatan (klien telah mencapai tujuan yang
ditetapkan)
2) Memodifikasi rencana tindakan keperawatan (klien memerlukan waktu
yang lebih lama untuk mencapai tujuan) (lyer, at al, 2008)

C. Konsep Penyakit
A. Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastoliknya ≥ 90 mmHg atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Arif
Mansjoer, 2001).
Hipertensi adalah tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya
diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg. (Brunner dan
Suddarth, 896 ; 2002).
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang abnormal dan diukur paling
tidak pada tiga kesempatan yang berbeda (Elizabeth J. Corwin, 484; 2009).
Adapun Klasifikasi tekanan darah orang dewasa berusia 18 tahun keatas
menurut Joint National Committee on Prevenion, Detectoion, Evaluation, and
Treatment of High Blood pressure, dalam buku Brunner dan suddarth (896, 2002),
yaitu :
Tabel Klasifikasi Tekanan Darah
KATEGORI SISTOLIK DIASTOLIK
Normal < 130 < 80
Tinggi Normal Hipertensi 130 – 139 80 – 89
Stadium 1 (ringan) 140 – 159 90 – 99
Stadium 2 (Sedang) 160 – 179 100 – 109
Stadium 3 (berat) 180 – 209 110 – 119
Stadium 4 (sangat berat) > 210 > 120

B. Etiologi
Pada umunya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik.
Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output atau peningkatan
tekanan perifer. Berdasarkan etiologinya Hipertensi dibagi menjadi 2 golongan
yaitu:
1. Hipertensi Esensial (Primer).
Penyebab tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhi
seperti genetika, lingkungan, hiperaktivitas, susunan saraf simpatik.
2. Hipertensi Sekunder.
Dapat diakibatkan karena penyakit parenkim renal/vakuler renal,
penggunaan kontrasepsi oral yaitu pil, gangguan endokrin dan lain-lain. Namun
ada beberapa faktor yang mempengeruhi terjadinya hipertensimenurut Jan
Tambayong (2000) etiologi dari hipertensi adalah sebagai berikut :
(1) Genetik
Respon nerologi terhadap stress atau kelainan eksresi atau transport Na.
(2) Obesitas
Terkait dengan level insulin yang tinggi yang mengakibatkan tekanan
darah meningkat.
(3) Hilangnya Elastisitas jaringan dan arterisklerosis pada orang tua serta
pelabaran pembuluh darah.
(4) Usia
Insidens hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia.
Hipertensi pada yang kurang dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden
penyakit arteri koroner dan kematian prematur.
(5) Pola hidup
Faktor seperti pendidikan, penghasilan, dan faktor pola hidup lain telah
diteliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan rendah, dan kehidupan atau pekerjaan
yang penuh stres agaknya berhubungan dengan insidens hipertensi yang lebih
tinggi.

C. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jarak saraf simpatis, yang berlanjut kebawah ke korda spinalis dan keluar
dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke
bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilapaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan
ketakutan dapat mempengaruhi respons penbuluh darah terhadap rangsang
vasokonstriktor.
Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun
tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat
bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah seebagai
rangsang respons emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medula adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kkortisol dan steroid
lainnya, yang dapat mempekuat respon vasokonsriktor pembiluh darah.
Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal,
menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I
yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriksi striktor kuat,
yang pada gilirannya merangsang sekresi aldesteron oleh korteks adenal. Hormon
ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi (Brunner & Suddarth, 898; 2001).
HIPERTENSI

Sumber : Smeljer,s.c Bare, B.G ,2005 Buku


ajar Keperawatan Medikal Bedah
D. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada pederita hipertensi
menurut Elizabeth J. Corwin (2009 ; 487), antara lain :
1. Sakit kepala saat terjaga kadang-kadang disertai mual
dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah
intrakranium.
2. Penglihatan kabur akibat kerusakan hipertensif pada
retina.
3. Cara berjalan yang tidak mantap karena kerusakan
susuna saraf pusat.
4. Nokturia yang disebabkan peningkatan aliran darah
ginjal dan filtrasi glomerulus.
5. Edema dependen dan pembengkakan akibat
peningkatan tekanan kapiler.
Sedangkan menurut Marllyn Doengoes (2000). Tanda dari hipertensi adalah
kelemahan, napas pendek, frekuensi jantung meningkat, ansietes, depresi, obesitas,
pusing, sakit kepala, tekanan darah meningkat.

E. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertensi menurut Elizabeth J. Corwin
(2009), antara lain :
1. Stroke
2. Infark miokard
3. Ensefalopati (kerusakan otak)
4. Kejang
F. Pemeriksaan Dignostik
Jenis pemeriksaan diagnostik pada penyakit hipertensi menurut Elizabeth J.
Corwin (2009 ; 487), antara lain :
1. Pengukuran diagnostik pada tekanan darah menggunakan sfigmomanometer akan
memperlihatkan peningkatan tekanan sistolik dan diastolik jauh sebelum adanya
gejala penyakit.
2. Tes lebih spesifik bila terdapat kecurigaan yang lebih besar, aortogram untuk
koarktasio aorta atau kelainan vaskuler ginjal.
3. Glukosa: Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapatdiakibatkan oleh
pengeluaran kadar ketokolamin.
4. EKG: Dapat menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian gelombang P
adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
5. Foto Thoraks: Menunjukan destruksi kalsifikasi pada area katup, pembesaran
jantung.

G. Penatalaksanaan Medis
Tujuan tiap program penanganan bagi setiap pasien adalah mencegah
terjadinya morbiditas dan mortalitas penyerta dengan mencapai dan mempertahankan
tekanan darah di bawah 140/90 mmHg.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendekatan nonfarmakologis,
termasuk penurunan berat badan, pembatasan alkohol, natrium dan tembakau; latihan
relaksasi merupakan intervensi wajib yang harus dilakukan pada setiap terapi
antihipertensi (Brunner and Suddarth, 2002).
Penanggulangan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi dua jenis
penatalaksanaan:
1. Penatalaksanaan Non Farmakologis.
(1) Diet
Pembatasan atau pengurangan konsumsi garam. Penurunan BB dapat
menurunkan tekanan darah dibarengi dengan penurunan aktivitas rennin dalam
plasma dan kadar adosteron dalam plasma.
(2) Aktivitas.
Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan dengan
batasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan, jogging, bersepeda
atau berenang.
2. Penatalaksanaan Farmakologis.
(1) Mempunyai efektivitas yang tinggi.
(2) Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.
(3) Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
(4) Tidak menimbulkan intoleransi.
(5) Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
(6) Memungkinkan penggunaan jangka panjang.
(7) Golongan obat - obatan yang diberikan pada klien dengan hipertensi seperti
golongan diuretic, golongan betabloker, golongan antagonis kalsium,
golongan penghambat konversi rennin angiotensin.

D. Manajemen Keperawatan
1.Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal proses keperawatan dan merupakan suatu proses
pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2008 hal. 29). Adapun pengkajian
pada pasien hipertensi menurut Doengoes, et al (2001) adalah
1. Aktivitas istirahat
Gejala : Kelelahan umum, kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup
Tanda : - Frekuensi jantung meningkat
- Perubahan trauma jantung (takipnea)
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi ateros klerosis, penyakit jantung koroner / katup dan
penyakit screbiovakuolar, episode palpitasi, perpirasi.
Tanda : - Kenaikan Tekanan darah (pengukuran serial dan kenaikan td diperlukan
untuk menaikkan diagnosis
- Hipotensi postural (mungkin berhubungan dengan regimen otak)
- Nada denyutan jelas dari karotis, jugularis, radialis
- Frekuensi/irama : Tarikardia berbagai distrimia
3. Integritas ego
Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi eufuria atau jarah kronis
(dapat mengidentifikasi kerusakan serebral) hubungan keuangan yang
berkaitan dengan pekerjaan.
Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontiniu perhatian, tangisan
yang meledak, gerak tangan empeti otot muka tegang (khususnya sekitar
mata) gerakkan fisik cepat, pernafasan mengelam peningkatan pola bicara.
4. Makanan/Cairan
Gejala : Makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi garam, tinggi
lemak, tinggi kolestrol, mual, muntah, perubahan berat badan
(meningkatkan/menurun) riwayat pengguna diuretik.
Tanda : - Berat badan normal atau obesitas
- Adanya edema (mungkin umum atau tertentu)
5. Neurosensori
Gejala : - Keluhan pening/pusing
- Berdenyut, sakit kepala suboksipital (terjadi saat bangun dan
menghilang secara spontan setelah beberapa jam)
- Gangguan penglihatan
Tanda : - Status mental perubahan keterjagaan orientasi, pola isi bicara, efek,
proses fikir atau memori.
6. Nyeri/Ketidaknyamanan
Gejala : - Nyeri hilang timbul pada tungkai
- Sakit kepala oksipital berat seperti yang pernah terjadi sebelumnya
- Nyeri abdomen / massa
7. Pernapasan
Gejala : - Dispenea yang berkaitan dengan aktivitas kerja
- Riwayat merokok, batuk dengan / tanpa seputum
Tanda : - Distres respirasi
- Bunyi nafas tambahan
- Sianosis
8. Keamanan
Gejala : - Gangguan koordinas/cara berjalan
- Hipotesia pastural
Tanda : - Frekuensi jantung meningkat
- Perubahan trauma jantung (takipnea)
9. Pembelajaran/Penyebab
Gejala : Faktor resiko keluarga : hipertensi, aterosporosis, penyakit jantung, DM

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon
manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok
dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasikan dan memberikan
intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi,
mencegah dan merubah (Nursalam, 2008 hal. 59).
1. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d peningkatan tekanan
vaskuler serebral
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake nutrisi inadekuat
3. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum,
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2.

3. Perencanaan
Perencanan meliputi pengembangan strategi desain untuk pencegahan,
mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagonosa
keperawatan (Nursalam, 2008 hal. 77). Perencanaan keperawatan pada pasien dengan
hipertensi menurut dongoes et al (2000) adalah :
Diagnosa 1: Gangguan rasa nyaman nyeri b.d peningkatan tekanan vaskuler
serebral
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang
Kriteria hasil :
a. Melaporkan ketidanyamanan hilang atau terkontrol.
b. Mengikuti regimen farmakologi yang diresepkan.
Intervensi :
a. Kaji tingkat nyeri pasien
R/ Mengetahui seberapa parah nyeri yang dirasakan pasien
b. Pertahankan tirah baring selama fase akut.
R/ Meminimalkan stimulasi dan meningkatkan relaksasi.
c. Berikan tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala, misalnya
kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher.
R/ Tindakan yang menurunkan tekanan vaskuler serebral, efektif dalam
menghilangkan sakit kepala dan komplikasinya.
d. Hilangkan/minimalkan aktifitas vasokontraksi yang dapat meningkatkan sakit
kepala, misalnya batuk panjang, mengejan saat BAB.
R/ Aktifitas yang meningkatkan vasokontraksi menyebabkan sakit kepala
pada adanya peningkatan vaskuler serebral.
e. Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan.
R/ Meminimalkan penggunaan oksigen dan aktivitas yang berlebihan yang
memperberat kondisi klien.
f. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik, anti ansietas,
diazepam dll.
R/ Analgetik menurunkan nyeri dan menurunkan rangsangan saraf
simpatis.
Diagnosa 2: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake nutrisi inadekuat
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil :
a. Klien menunjukkan peningkatan berat badan
b. Menunjukkan perilaku meningkatkan atau mempertahankan berat badan ideal
Intervensi :
a. Bicarakan pentingnya menurunkan masukan lemak, garam dan gula sesuai
indikasi.
R/ Kesalahan kebiasaan makan menunjang terjadinya aterosklerosis,
kelebihan masukan garam memperbanyak volume cairan intra vaskuler dan
dapat merusak ginjal yang lebih memperburuk hipertensi.
b. Kaji ulang masukan kalori harian dan pilihan diet.
R/ Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dalam program diit terakhir..
c. Dorong klien untuk mempertahankan masukan makanan harian termasuk
kapan dan dimana makan dilakukan, lingkungan dan perasaan sekitar saat
makanan dimakan.
R/ Memberikan data dasar tentang keadekuatan nutrisi yang dimakan dan
kondisi emosi saat makan, membantu untuk memfokuskan perhatian pada
faktor mana pasien telah/dapat mengontrol perubahan.
d. Intruksikan dan bantu memilih makanan yang tepat, hindari makanan dengan
kejenuhan lemak tinggi (mentega, keju, telur, es krim, daging dll) dan
kolesterol (daging berlemak, kuning telur, produk kalengan,jeroan).
R/ Menghindari makanan tinggi lemak jenuh dan kolesterol penting dalam
mencegah perkembangan aterogenesis.
e. Kolaborasi dengan ahli gizi sesuai indikasi.
R/ Memberikan konseling dan bantuan dengan memenuhi kebutuhan diet
individual.
Diagnosa 3: Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum, ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan O2.
Tujuan : tidak terjadi intoleransi aktivitas
Kriteria Hasil :
a. Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan atau diperlukan
b. Melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang dapat diukur.
Intervensi :
a. Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas dengan menggunkan parameter :
frekwensi nadi 20 x/menit diatas frekwensi istirahat, catat peningkatan TD,
dipsnea, atau nyeri dada, kelelahan berat dan kelemahan, berkeringat, pusing
atau pingsan.
R/ Parameter menunjukan respon fisiologis pasien terhadap stress, aktivitas dan
indikator derajat pengaruh kelebihan kerja jantung.
b. Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh : penurunan
kelemahan/kelelahan, TD stabil, frekwensi nadi, peningkatan perhatian pada
aktivitas dan perawatan diri.
R/ Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat
aktivitas individual.
c. Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.
R/ Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat
meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap
mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.
d. Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi,
menyikat gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.
R/ Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan sehingga
membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
e. Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.
R/ Jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah
kelemahan.
4. Implementasi Keperawatan
Menurut Nursalam, 2008 hal. 127. Tahap implementasi dimulai setelah rencana
tindakan disusun dan ditujukan pada nursing order untuk membantu klien mencapai
tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan
untuk memodifikasi faktor-faktor yang memengaruhi masalah kesehatan klien.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Tujuan dari evaluasi adalah untuk melihat
kempuan klien dalam mencapai tujuan. Hal ini biasa dilaksanakan dengan
menggandakan hubungan dengan klien berdasarkan respon klien terhadap tindakan
keperawatan yang diberikan (Nursalam, 2008 hal. 135).
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2010. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah Vol 2, Jakarta,
EGC, Hamzah, : Ensiklopedia Artikel Indonesia, Surabaya

Doengoes, Marilynn E. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien, Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC,

Imam, S Dkk.2013. Asuhan Keperawatan Keluarga.Buntara Media:malang

Santosa, Budi. 2010. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:


Prima Medika

Smet, Bart.2011. Psikologi Kesehatan. Pt Grasindo:Jakarta

Soeparman dkk,2011 Ilmu Penyakit Dalam , Ed 2, Penerbit FKUI, Jakarta

Smeljer,s.c Bare, B.G ,2005 Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah

Anda mungkin juga menyukai