Anda di halaman 1dari 9

A LITTLE BRAVER

Park Jihoon sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Dia telah menempuh tiga per
empat dari keseluruhan jarak yang membentang antara rumah dan sekolahnya dengan
langkah sedikit tergesa. Jihoon sedikit ketakutan, ia merasa ada derap langkah asing
dibelakangnya, sedang mengikutinya! Namun Jihoon tidak berani memutar kepalanya
kebelakang sekedar untuk mengetahui apakah perasaannya itu benar atau hanya ilusi yang
ia ciptakan sendiri, ia hanya menatap kedepan dan terus berjalan.

Sesampainya di persimpangan, Jihoon salah berbelok, seharusnya ia belok ke kanan jika


ingin bertemu dengan rumah kecilnya yang nyaman, namun karena terlalu gugup langkah
kaki jihoon berbelok ke arah kiri, dan sialnya ini adalah jalan buntu. Buntu! Ok, kini Jihoon
mulai panik. Ia meremat ujung jas sekolahnya. Semakin gugup ketika mendengar derap
langkah mendekati punggungnya, sekarang Jihoon menutup mata. Mengerikan! Bagaimana
jika ia tengah berada dalam situasi berhadapan dengan pemburu organ dalam manusia.
Yang dengan kejinya mencabik tubuh korbannya untuk mengambil ginjal, hati dan
sebagainya. Sungguh Jihoon lebih memilih menjual organ dalamnya untuk membeli album
weni one saja daripada seperti ini. Oh! Ayolah! di situasi menegangkan seperti ini malah
memikirkan album? Dasar bucin!

Jihoon terkesiap, ada yang memegang bahu sempitnya dan memutar tubuhnya kasar.

“AAAA... tolong jangan bunuh aku, tolong! Organku tidak sehat, aku menderita kolesterol
tinggi, lemak darahku tinggi, aku tidak akan laku di jual. Tolong jangan bunuh aku!” Jihoon
mengatupkan kedua tangan tepat didepan wajahnya dan tentu saja masih memejamkan
mata. Ia terlalu takut untuk melihat wajah pembunuh itu, terus bergumam meminta untuk
dilepaskan. Ia berharap orang itu akan luluh dengan melihat wajah manisnya yang tengah
memelas ini.

“HAHAHAHAHA~” Bukan geraman marah ataupun kalimat ancaman yang Jihoon dapat
tetapi justru tawa menggelegar seorang laki-laki yang sedikit familiar ditelinga Jihoon.
Aneh! Jihoon membuka matanya dan perlahan menatap orang di hadapannya yang masih
tertawa keras dengan memegangi perutnya itu. Seketika air muka Jihoon berubah datar.

“YAK! Siapa yang kau pikir akan menjual organmu? Kolesterol? Hahahaha” ucap laki-laki itu
dan masih betah menertawakan Jihoon.

BUGH~
Satu tendangan manis mendarat pada tulang kaki si laki-laki tawa “akh! hey! Sakit!” ujarnya
sembari mengelus kakinya.

“sudah puas menertawakanku? Dasar Park Sialan Woojin!” Jihoon menekankan setiap kata
pada kalimat terakhirnya.

Oh ternyata, hanya Park Woojin. Seorang anak laki-laki menyebalkan yang baru saja pindah
ke kelas Jihoon 2 bulan lalu. Entah mengapa setelah mereka menjadi teman berbagi meja
mulai awal semester, Woojin dengan gencar mendekati Jihoon, padahal seingatnya
perkenalan mereka tidak berjalan dengan mulus karena Jihoon yang terlampau cuek untuk
urusan pertemanan dan tingkah laku Woojin tentu saja membuat Jihoon sebal setengah
hidup. Walaupun memiliki wajah manis, tetapi Jihoon bukanlah tipe anak yang mudah
didekati apalagi berteman dan untuk alasan itu Jihoon kini tidak memiliki teman dekat sama
sekali. Atau mungkin satu jika Woojin masuk dalam hitungan.

“untuk apa kau mengikutiku? Tidak punya kerjaan ya?!” Jihoon bertanya dengan nada suara
terlamapau sinis dan sukses membuat lawan bicaranya bergidik ngeri.

“sudah kubilang aku akan menjagamu, aku akan memastikan kau pulang dengan selamat
Park Jihoon” Woojin mengatakan itu dengan tegas dan penuh keyakinan.

Jihoon memutar bola matanya malas “tidak perlu, terimakasih! Aku bukan anak kecil yang
harus kau jaga omong-omong!” Jihoon masih setia dengan nada suara sinisnya

“iya, sama-sama. Jadi rumahmu mana? Aku haus, beri aku minum” Woojin tak peduli
dengan kalimat-kalimat pedas yang jihoon lontarkan untuknya, selama 2 bulan ini Woojin
sudah terbiasa menerimanya. Dan ya, Woojin tetaplah Woojin. Ia bersikeras melakukan apa
yang ia inginkah jika dirasa itu benar, menurutnya. Tapi tidak dengan Jihoon.

BUGH~

Satu lagi tendangan manis mendarat di kaki panjang Woojin. “YAK! Kaki ku bukan bola milik
Kim Jaehwan kenapa kau suka sekali menendangnya sih?!” Woojin kembali meringis
kesakitan, sementara Jihoon berjalan mendahului Woojin, tidak peduli dengan rintihan yang
Woojin keluarkan.
Woojin tersenyum sembari mengikuti langkah kecil Jihoon, ia selalu kagum dengan
pemandangan di depannya ini, Jihoon yang tengah kesal merupakan kesenangan Woojin.
Wajah manis itu akan terlihat kian manis ketika terdapat semburat kemerahan dipipi
bulatnya, ya walaupun untuk melihatnya Woojin harus merelakan kakinya babak belur
terlebih dahulu akibat tendangan kuat Jihoon. Itu lebih baik dari pada melihat wajah sedih
Jihoon, pikir Woojin. Dan ia bertekat untuk selalu menjauhkan Jihoon dari perasaan sedih
itu.

~~~~~~~~

PLUK~

Satu buah telur busuk mendarat di sebuah kepala yang tengah menunduk, selanjutnya
guyuran tepung dan air bersahutan diatas kepala tersebut. Seorang anak tengah terduduk
dengan di kelilingi tiga anak perempuan yang tengah tersenyum mengejek padanya. Uh!
Menyedihkan!

“selamat ulang tahun Hwang Yeji. Yuhuuu kau suka kue mu?” ucap salah satunya, yang di
panggil Yeji itu memasang wajah terkejut dan tersenyum lebar setelahnya, begitu melihat
pemandangan di hadapannya.

“ah apa ini? Aku suka sekali teman-teman, terimakasih” ujarnya pada kedua temannya,
kemudian mengambil satu telur lagi untuk di lemparkan ke kepala anak itu.

“hey anak haram?! Lihatlah, kau terlihat makin cantik jika seperti ini. Huhuhu” ujar Yeji
dengan nada skeptisnya. Yang dipanggil hanya diam menunduk dengan mengepalkan kedua
tangannya erat. Sudah berpuluh-puluh kali ia mendapat perlakuan seperti ini, namun tetap
saja ia sakit hati ketika mendapat panggilan itu.

Yeji duduk berjongkok di depan Jihoon “sepertinya Park Jihoon kita ini bisu ya. Oh! Atau
mungkin karena kutukan anak haram” ucap Yeji, tak lupa dengan senyum mengejek yang
menyebalkan itu. “dasar menjijikan!” Yeji mendorong kepala Jihoon dengan telunjuk kirinya,
kemudian bangkit.

“Ya ampun Yeji, apa yang kau lakukan. Tangan suci mu jadi kotor karena menyentuh anak
haram ini” salah satu teman Yeji bersuara

“oh! Iya! Bagaimana ini, aku harus mencucinya 10 kali agar kembali bersih. Ayo pergi, aku
tidak mau tertular kutukan anak haram ini!” ujarnya kemudian pergi meninggalkan Jihoon
yang masih terduduk dengan keadaan seragam dan tubuhnya berbau amis akibat ulah anak-
anak perempuan tadi. Oh tunggu! Terlalu manis jika menyebut mereka anak-anak
perempuan, mereka lebih pantas disebut pembully atau gangster saja, benar?

Satu tetes air matanya jatuh, hatinya teriris untuk yang ke sekian kalinya. Ia mendapat
perlakuan tidak adil ini hanya karena kebetulan dia lahir tanpa ayah. Menurut ibunya,
ayahnya pergi ketika ibunya tengah mengandung, lalu apa? Toh ia tidak pernah berkeluh
kesah atau meminta biaya hidup pada orang lain, walaupun ia hidup serba kekurangan
dengan hanya ibunya yang mencari nafkah, itupun hanya sebagai pembantu rumah tangga
di sebuah rumah mewah di dekat tempat tinggalnya dan tentu saja hidupnya jauh dari kata
lebih, hanya cukup dengan bisa mengisi perut tiap hari dan bersekolah dengan layak.
Namun tetap saja Jihoon tidak berani untuk sekedar melawan para pembully itu, ia akan
makin tertindas karena tingkat ekonomi mereka yang terlampau jauh berbeda, ia hanya bisa
menghela nafasnya panjang kemudian bangkit sembari menghapus air matanya dengan
tangan kiri.

Mata bulatnya semakin membola ketika pandangannya bertemu dengan seseorang yang
berdiri tak jauh darinya, Park Woojin. Lagi-lagi Woojin melihat Jihoon dalam keadaan yang
sangat menyedihkan, Jihoon segera berbalik dan melangkah pergi. Ia malu, untuk kesekian
kalinya Woojin melihat sisi lemah seorang Park Jihoon, ia benci ketika ada yang mengetahui
sisi dirinya yang ini, terlebih itu Woojin.

Jihoon duduk merenung di bawah sebuah pohon besar yang terletak di belakang sekolah,
masih dengan keadaan kacaunya. Ia masih enggan untuk membersihkan diri dan lebih
memilih duduk melamun di temani semilir angin sore. Fantasi Jihoon terganggu ketika
sebuah handuk kecil di sodorkan tepat di depan hidungnya, sontak membuat Jihoon
mendongak untuk mengetahui siapa yang datang dan kembali membuang muka ketika
sudah mengetahuinya, lagi-lagi Park Woojin.

“bersihkan dulu dirimu” ujar woojin, seperti yang ia duga, Jihoon tak merespon apa yang ia
katakan. Woojin mendesah kecewa, kemudian duduk di hadapan Jihoon. Dengan telaten ia
mulai membersihkan kepala Jihoon dari tepung yang menempel, walaupun sebenarnya
tidak begitu membantu karena tepung yang bercampur air itu sudah mulai mengering.

“tidak perlu mengasihaniku! Sebaiknya kau pergi!” ujar Jihoon dingin, namun tidak
menghentikan kegiatan Woojin di kepalanya.

“aku tidak mengasihanimu, omong-omong” jihoon mulai menatap manik Woojin yang masih
fokus pada rambutnya
“sejak kapan kau berdiri disana?”

“sejak mereka menyeretmu kebelakang gudang” Woojin tahu kemana arah pembicaraan
Jihoon dan kini Jihoon menatap Woojin dengan tatapan tidak percaya, Woojin diam saja
ketika ia dibully dan sekarang berlaga memberi perhatian padanya? Jihoon menepis tangan
Woojin dari kepalanya

“jika kau berfikir aku hanya berpura-pura baik padamu karena membiarkanmu dibully
sedangkan kini aku memperhatikanmu, jawabannya salah! Jangan menyimpulkan semaumu
sendiri!” ucap Woojin seolah tahu apa yang Jihoon pikirkan

“lalu apa?” nada suara Jihoon kini meninggi, ia sudah lelah dipermainkan.

“aku hanya menunggu” jihoon kembali dibuat tak mengerti “apa yang kau akan melawan
dan ternyata tidak” sambungnya

“aku bisa apa? Mereka hanya akan semakin menginjakku jika aku melawan” ujar Jihoon
putus asa

Woojin meraih dagu Jihoon agar manik mereka bertemu “tidak! Kau salah! Mereka justru
akan semakin menjadi jika kau hanya diam. Kau pikir mengapa bisa ada tindak kejahatan
pencurian? Hal itu bukan hanya karena kemauan si pencuri, tapi juga karena ada
kesempatan. Dan mengapa mereka membully mu? Karena kau membiarkan dirimu sediri
berada di posisi itu” ujar Woojin “dengarkan aku Park Jihoon! Tidak ada yang berhak
merendahkan dirimu jika kau dalam posisi benar bahkan jika itu dirimu sendiri”

Woojin membelai pipi bulat Jihoon, mengalirkan afeksi padanya, meyakinkan Jihoon untuk
mendengar dan meresapi setiap kata dan perlakuan yang Woojin berikan. “setiap manusia
berhak untuk dicintai dan mendapat keadilan. Tidak peduli apa status, jabatan, maupun
kasta. Setiap manusia berhak untuk mengeluarkan pendapat dan melawan sesuatu yang
salah dan itu juga berlaku untukmu Jihoon”

Mata Jihoon tiba-tiba berair, ada sesuatu yang menjalar kedalam relung hatinya, mengisi
tempat kosong di hati Jihoon dan memberinya kehangatan yang selama ini tidak pernah ia
rasakan. “be..benarkah?” suara Jihoon mulai bergetar.

Woojin mengangguk mantap dengan tatapan tak lepas dari mata bulat Jihoon, perlahan
Woojin mendekat pada Jihoon, menipiskan jarak keduanya hingga bisa merasakan
hembusan hangat yang keluar dari hidung mereka. Jihoon mulai memejamkan matanya
kemudian disusul Woojin. Dan....

CHU~~

Bibir mereka bertemu tanpa nafsu tanpa paksaan, hanya saling menyentuh bibir satu sama
lain, mengalirkan sengatan kasih sayang untuk pasangannya. Menghalau segala
kekhawatiran tak berujung yang dialami oleh Jihoon dan berhasil. Jihoon merasa lebih baik
setelah mendapat perlakuan hangat seorang Park Woojin, laki-laki menyebalkan dan sering
mengganggu Jihoon ini justru pemberi semangat terbesar dalam hidupnya, setelah ibu
tercinta tentunya.

Hanya beberapa menit dan tautan mereka terlepas, Woojin masih menatap manik Jihoon
dalam “aku bukan superman atau ironman yang bisa melindungimu dengan kekuatan super,
aku hanyalah laki-laki biasa seusiamu yang ingin mendukung dan melindungimu, bukan
hanya dengan kau bersembunyi di balik punggungku, walau sebenarnya aku tidak keberatan
sih. Tetapi aku ingin kau juga memiliki keberanianmu sendiri untuk menghadapi dunia.
Karena aku tidak setiap saat berada disampingmu, kau harus kuat diatas kakimu sendiri.
Tapi jika kau tidak cukup berani atau terlalu lelah sendiri, maka berlarilah ke arahku, aku
akan selalu ada untuk menjadi penyokong punggung rapuhmu”

Air mata Jihoon benar-benar jatuh, mengalir deras membasahi pipi bulatnya, ia benar-benar
tersentuh dengan segala perlakuan Woojin padanya. Jihoon melingkarkan kedua lengannya
di leher Woojin, menyandarkan kepalanya dibahu kokoh Woojin. Menangis tersedu karena
perasaan bahagia yang tersamat besar. Woojin memberikan usapan menenangkan pada
punggung Jihoon dan memberikan kecupan pada puncak kepala Jihoon berkali-kali, seolah
mengatakan ‘jangan khawatirkan apapun ada aku disini’ dan Jihoon mempercayai itu, ia
semakin mempererat pelukannya.

“aku mencintaimu, Park Jihoon” seru Woojin tepat di telinga Jihoon, hatinya terus menerus
menghangat

“terimakasih, aku juga mencintaimu, Park Woojin” balas Jihoon di sela tangisnya, Woojin
tersenyum bahagia, begitupun Jihoon. Woojin yakin pria manis-nya ini akan semakin kuat
setelah ini.
~~~~~~

BRUGH~~

Jihoon tersungkur ke tanah, ia kini harus berhadapan kembali dengan Hwang Yeji dan 2
anteknya di belakang gudang sekolah. Lagi dan lagi Jihoon menjadi sasaran bully perempuan
ini. Dan Jihoon lagi-lagi memejamkankan matanya. Jihoon mulai bangkit dan menatap mata
tajam Yeji.

“dasar anak haram! Berani kau menatapku dengan mata jelekmu itu!”

PLAK~~ satu tamparan melayang di pipi mulus Jihoon dan Jihoon enggan mengalihkan
pandangannya dari mata elang Yeji

“wah berani membangkang ya kau?!” Yeji kembali akan melayangkan tamparannya, namun
sebuah tangan kokoh menghalaunya. Hal itu sukses membuat Yeji dan kedua temannya
terkejut. Pasalnya Jihoon sendiri yang menghalau tamparan Yeji.

Jihoon ingat, bahwa ia tidak boleh lagi memberi kesempatan Yeji dan temannya menginjak
dirinya sesuka mereka, ia bertekat untuk berani membela dirinya sendiri.

“hey apa yang kalian lakukan, pegang tangannya!” perintah Yeji pada 2 temannya, benar
saja, tangan Jihoon di tahan dari sisi kanan dan kiri. Namun dengan sekali hentak,
cengkeraman itu terlepas. Hey! jangan lupakan fakta bahwa Jihoon adalah laki-laki dan yang
menahannya adalah perempuan. Ketiganya terkejut akan perubahan drastis Jihoon.

“dengar Hwang Yeji! Aku tidak peduli dari kalangan mana kau berasal, tapi aku tidak akan
membiarkamu menghinaku lagi. Jika kau menamparku, maka akan ku balas hal serupa
padamu dan temanmu” ucap Jihoon dengan tegas, ia mulai mengangkat tangannya tinggi,
bersiap memberi tamparan manis pada Yeji, tetapi Yeji dan teman-temannya terlebih
dahulu berlari ketakutan, sungguh aura Jihoon ketika marah sangat menyeramkan, jika tidak
percaya tanya saja pada Park Woojin, ia sudah akrab dengan hal itu.

Setelah tertawa puas, netra Jihoon bertemu dengan seseorang yang tengah tersenyum lebar
memperhatikannya, Jihoon menghampirinya dan meraih lengan orang tersebut.

“aku di bully lagi dan kau hanya diam disini?” ucap Jihoon kesal dengan mengerucutkan
bibir tebalnya, tak lupa melipat lengannya di dada, sungguh itu sangat menggemaskan dan
orang disampingnya berusaha mati-matian untuk menahan diri agar tidak menyerang Jihoon
saat ini juga.
“aku tahu Jihoon-ku sudah berubah dan berani membela dirinya sendiri. Aku bangga
padamu” ujar Woojin sembari merangkul bahu sempit Jihoon. Ok! Jihoon merasa pipinya
memanas dan ia berusaha untuk menahan senyumnya setelah mendapat pujian Woojin.

“kau bangga huh? Tapi tidak memberiku hadiah” jihoon masih mempertahankan sikap
denialnya

CHU~~~

Satu kecupan mendarat di pipi kiri Jihoon. Jihoon cukup terkejut dan sontak menoleh pada
orang di sampingnya yang tengah tersenyum lebar hingga gingsul menawannya terlihat,
‘mengagumkan’ batin Jihoon. ‘tampannya’ masih dalam batin Jihoon ><

Jihoon menangkup pipi Woojin dengan kedua tangannya. Dan...

CHU~~~

Jihoon mengecup sekilas bibir Woojin, Woojin terkesiap dengan mata sipitnya yang
berusaha keras untuk terbelalak

CHU~~~

Lagi, kecupan singkat mendarat di bibir Woojin. Sang pelaku kemudian berjalan menjauh
dari Woojin yang masih mencerna apa yang terjadi

“YAK! Park Jihoon kau mulai berani ya” ujar Woojin kemudian berjalan kearah Jihoon.
Jihoon mempercepat langkahnya, berlari menjauh dari Woojin, tidak lupa menjulurkan
lidahnya mengejek. Woojin yang gemas berusaha mengejar Jihoon. Dan ya, terjadi kejar-
kejaran antara oknum Park Woojin dengan oknum Park Jihoon. Kekasihnya.

Lucu bukan? mereka yang awalnya tak sejalan bahkan tak pernah saling bersikap baik, -ralat
hanya Jihoon yang tidak bersikap baik, kini menjadi sepasang kekasih yang sangat
menggemaskan dan saling menguatkan satu sama lain.
Cinta tidak selalu hanya mengenai kencan, ciuman, atau bahkan kegiatan ranjang. Cinta
yang Jihoon tau adalah dimana ia membutuhkan keberanian, maka cinta itu datang untuk
menguatkan dirinya dan tak membiarkan pandangannya jatuh melainkan menatap dengan
berani apapun yang ia hadapi. Cinta yang Jihoon kenal adalah cinta sederhana yang tak
memandang kasta, hanya memberi rasa percaya satu sama lain dan berjanji untuk selalu
berjalan beriringan menapaki kerasnya kehidupan.

Dan pemilik hati seorang Park Jihoon adalah Park Woojin, lelaki itu menawarkan cinta
sederhana yang berani pada Jihoon, dan tentu saja Jihoon dengan senang hati menerima
tawaran itu. Karena ia yakin yang dapat melengkapi separuh hidup kosongnya hanyalah Park
Woojin, tidak dengan yang lain dan Jihoon menyukai fakta itu.

~END~

Anda mungkin juga menyukai