Oleh :
Preseptor :
dr. Bestari Jaka Budiman, Sp.THT-KL(K)
Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi pada sebagian atau seluruh bagian
dari mukosa telinga tengah, tuba Eusthacius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid yang
timbul mendadak, dan menimbulkan gejala sesuai dengan stadium penyakit. Prevalensi
kejadian OMA banyak diderita oleh anak-anak maupun bayi dibandingkan pada
orang dewasa muda maupun dewasa tua. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh
karena bentuk anatomi dari tuba Eustachius yang lebih pendek, lebar dan letaknya agak
horizontal. Pada anak-anak makin sering menderita infeksi saluran napas atas (ISPA) baik
yang disebabkan oleh virus maupun bakteri, maka makin besar pula kemungkinan
terjadinya OMA disamping oleh karena sistem imunitas anak yang belum berkembang
secara sempurna. Pada orang dewasa OMA meskipun jarang, OMA dapat ditemukan
pada pasien yang mengalami infeksi saluran napas sebelumnya, dan pada kasus OMA
unilateral dapat dicurigai adanya keterlibatan karsinoma nasofaring1,2,3.
Otitis media pada anak-anak sering kali disertai dengan infeksi pada saluran
pernapasan atas. Epidemiologi seluruh dunia terjadinya otitis media berusia 1 thn sekitar
62%, sedangkan anak-anak berusia 3 thn sekitar 83%. Di Amerika Serikat, diperkirakan
75% anak mengalami minimal satu episode otitis media sebelum usia 3 tahun dan hampir
setengah dari mereka mengalaminya tiga kali atau lebih.1,4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Definisi
Otitis media adalah suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah.
Otitis media akut didefinisikan bila proses peradangan pada telinga tengah yang terjadi secara
cepat dan singkat (dalam waktu kurang dari 3 minggu) yang disertai dengan gejala lokal dan
sistemik2.
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring.
Secara fisiologis terdapat mikroorganisme pencegahan masukunya mikroba ke dalam telinga
tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim dan antibodi1,3.
2.4 Etiologi
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian, 65-
75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap
kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non- patogenik karena
tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media
tersering adalah Streptococcus pneumonia (50%), diikuti oleh Haemophilus influenza (20%)
dan Moraxella catarhalis (10%). 3 Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak
ditemukan pada anak dan neonatus yangmenjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus
influenza sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang
dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak3,6.
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau
bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada anak-
anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-
40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus
akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun
lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan
menganggu mekanisme farmakokinetiknya4.
2.5 Patofisiologi
Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh. Sumbatan
pada tuba Eustachius merupakan faktor utama penyebab terjadinya penyakit ini. Dengan
terganggunya fungsi tuba Eustachius, terganggu pula pencegahan invasi kuman ke dalam
telinga tengah sehingga kuman masuk dan terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba
Eustachius ini menyebabkan terjadinya tekanan negatif di telingah tengah, yang
menyebabkan transudasi cairan hingga supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi
saluran pernafasan atas (ISPA).
Makin sering anak-anak terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya OMA.
Pada bayi dan anak terjadinya OMA dipermudah karena: 1. morfologi tuba eustachius yang
pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal; 2. sistem kekebalan tubuh masih dalam
perkembangan; 3. adenoid pada anak relatif lebih besar dibanding orang dewasa dan sering
terinfeksi sehingga infeksi dapat menyebar ke telinga tengah. Beberapa faktor lain mungkin
juga berhubungan dengan terjadinya penyakit telinga tengah, seperti alergi, disfungsi siliar,
penyakit hidung dan/atau sinus, dan kelainan sistem imun2,3.
Pada dewasa terjadinya otitis media akut lebih disebabkan oleh adanya faktor resiko
berupa adanya infeksi saluran nafas sebelum gejala pada telinga. Selain itu juga dapat
disebabkan paparan lingkungan seperti asap rokok, alergen dan iritan yang menyebabkan
gangguan pada tuba eustachius. Gejala yang menonjol pada dewasa adalah adanya nyeri pada
telinga yang dapat disertai demam atau tidak5,6.
2.6 Epidimiologi
Otitis Media pada dewasa jarang terjadi1. Hanya sedikit informasi dan publikasi
tentang manajemen infeksi telinga tengah pada dewasa. Selain dikaitkan dengan infeksi pada
hidung sebelumnya, dapat dikaitkan pula dengan infeksi yang lama pada telinga tengah. Pada
infeksi telinga tengah yang menetap, perlu dicurigai adanya underlying disease seperti
Carsinoma Nasofaring. Infeksi akut dapat disebabkan adanya infeksi virus sebelumnya yang
masuk akibat disfungsi dari tuba. Pasien-pasien ini harus dievaluasi lebih kurang enam
minggu untuk melihat apakah terjadi resolusi atau tidak. Timpanometri dan audiometri
diperlukan juga selain perujukan kebagian THT untuk evaluasi lebih lanjut jika tidak terjadi
perbaikan dalam enam minggu5,6.
2.7 Stadium
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada
perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium
hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium
resolusi1,4.
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di
telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selainitu edema pada mukosa telinga tengah
menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial hancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di
kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga
luar. Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa
nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak.Dapat
disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai
muntah dan kejang. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa
membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan
akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat,
lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan
atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah
kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan
keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan
menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit
menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali.
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa
nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar.
Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering
disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman.Setelah
nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat
tertidur nyenyak. Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah
tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif
subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai
dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik.
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan
berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga
perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan
akhirnya kering. Pendengaran kembali normal.Stadium ini berlangsung walaupun
tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi
kuman rendah. Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis
media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap,
dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul. Otitis media supuratif
akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi
jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani1,2.
2.9 Diagnosis
1. Anamnesis gejala yang didapati pada pasien
2. Pemeriksaan telinga dengan menggunakan lampu kepala
3. Otoskop untuk melihat gambaran membran timpani yang lebih jelas
4. Kultur sekret dari membran timpani yang perforasi untuk mengetahui
mikroorganisme penyebab
2.10 Penatalaksanaan1,2,4
Terapi tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal
ditujukan untuk mengobati infeksi saluran nafas atas, dengan pemberian antibiotik,
dekongestan lokal atau sistemik dan antipiretik.
1. Stadium oklusi
Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba eustachiussehingga tekanan negative
di telinga tengah hilang.
- Diberikan obat tetes hidung HCL efedrin 0.5% (anak<12tahun) atau HCL efedrin 1 %
dalam larutan fisiologis untuk anak di atas 12 tahun atau dewasa.
- Mengobati sumber infeksi lokal dengan antibiotika bila penyebabnya bakteri.
3. Stadium supurasi
- Diberikan dekongestan, antibiotika, analgetik/antipiretik.
- Pasien harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh
sehingga gejala-gejala klinis cepat hilang dan ruptur (perforasi) dapat dihindari.
4. Stadim perforasi
- Diberikan obat cuci telinga perhidrol atau H2O2 3% selama 3-5hari serta antibiotika
yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekretakan hilang dan perforasi akan
menutup sendiri dalam 7-10 hari.
5. Stadium resolusi
- Antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu bila tidak ada perbaikan membran
timpani, sekret dan perforasi.
- Pengobatan pada anak-anak dengan kecenderungan mengalami otitis media akut
dapat bersifat medis atau pembedahan. Penatalaksanaan medis berupa pemberian
antibiotik dosis rendah dalam jangka waktu hingga 3 bulan. Alternatif lain adalah
pemasangan tuba ventilasi untuk mengeluarkan secret terutama pada kasus-kasus
yang membandel. Keputusan untuk melakukan miringotomi umumnya berdasarkan
kegagalan profilaksis secara medis atau timbul reaksi alergi terhadap antimikroba
yang lazim dipakai, baik golongan sulfa atau penisilin.
Penatalaksanaan OMA harus memasukkan penilaian adanya nyeri. Jika terdapat nyeri,
harus memberikan terapi untuk mengurangi nyeri tersebut. Penanganan nyeri harus dilakukan
terutama dalam 24 jam pertama onset OMA tanpa memperhatikan penggunaan antibiotik.
Penanganan nyeri telinga pada OMA dapat menggunakan analgetik seperti: asetaminofen,
ibuprofen, preparat topikal seperti benzokain, naturopathic agent, homeopathic agent,
analgetik narkotik dengan kodein atau analog, dan timpanostomi / miringotomi.
Di bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang pada penderita OMA khususnya
stadium presupurasi dan supurasi diberikan analgetik karena pada stadium ini umumnya
penderita merasakan nyeri pada telinga. Pada stadium supurasi bila membran timpani
menonjol dan masih utuh dianjurkan untuk melakukan miringotomi.
Antihistamin dapat membantu mengurangi gejala pada pasien dengan alergi hidung.
Dekongestan oral berguna untuk mengurangi sumbatan hidung. Tetapi baik antihistamin
maupun dekongestan tidak memperbaiki penyembuhan atau meminimalisir komplikasi dari
OMA, sehingga tidak rutin direkomendasikan.
Manfaat pemberian kortikosteroid pada OMA juga masih kontroversi. Dasar
pemikiran untuk menggunakan kortikosteroid dan antihistamin adalah obat tersebut dapat
menghambat sintesis atau melawan aksi mediator inflamasi, sehingga membantu
meringankan gejala pada OMA. Kortikosteroid dapat menghambat perekrutan leukosit dan
monosit ke daerah yang terkena, mengurangi permeabilitas pembuluh darah, dan
menghambat sintesis atau pelepasan mediator inflamasi dan sitokin. Di bagian THT-KL
RSUP Dr. M. Djamil Padang penggunaan antihistamin dan kortikosteroid juga tidak rutin
dilakukan, tetapi masih menganjurkan penggunaan dekongestan topikal (Efedrin HCL 0,5%)
terutama untuk mengatasi sumbatan hidung2.
Mengingat etiologi OMA salah satunya adalah bakteri, permberian antibiotik tentu
saja dianjurkan. Di bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil Padang, antibiotik merupakan terapi
rutin yang diberikan pada penderita OMA pada semua stadium tanpa memandang umur atau
berat-ringan penyakit2.
Walaupun observasi yang hati-hati dan pemberian obat merupakan pendekatan
pertama dalam terapi OMA, terapi pembedahan perlu dipertimbangkan pada anak dengan
OMA rekuren, otitis media efusi (OME), atau komplikasi supuratif seperti mastoiditis dengan
osteitis. Beberapa terapi bedah yang digunakan untuk penatalaksanaan OMA termasuk
timpanosintesis, miringotomi, dan adenoidektomi.
Timpanosintesis adalah pengambilan cairan dari telinga tengah dengan menggunakan
jarum untuk pemeriksaan mikrobiologi. Risiko dari prosedur ini adalah perforasi kronik
membran timpani, dislokasi tulang-tulang pendengaran, dan tuli sensorineural traumatik,
laserasi nervus fasialis atau korda timpani. Oleh karena itu, timpanosintesis harus dibatasi
pada: anak yang menderita toksik atau demam tinggi, neonatus risiko tinggi dengan
kemungkinan OMA, anak di unit perawatan intensif, membran timpani yang menggembung
(bulging) dengan antisipasi ruptur spontan (indikasi relatif), kemungkinan OMA dengan
komplikasi supuratif akut, OMA refrakter yang tidak respon terhadap paket kedua antibiotik.
Timpanosintesis dapat mengidentifikasi patogen pada 70-80% kasus. Walaupun
timpanosintesis dapat memperbaiki kepastian diagnostik untuk OMA, tapi tidak memberikan
keuntungan terapi dibanding antibiotik sendiri.Timpanosintesis merupakan prosedur yang
invasif, dapat menimbulkan nyeri, dan berpotensi menimbulkan bahaya sebagai
penatalaksanaan rutin.
Miringotomi adalah tindakan insisi pada membran timpani untuk drainase cairan dari
telinga tengah. Pada miringotomi dilakukan pembedahan kecil di kuadran posterior-inferior
membran timpani.Untuk tindakan ini diperlukan lampu kepala yang terang, corong telinga
yang sesuai, dan pisau khusus (miringotom) dengan ukuran kecil dan steril. Miringotomi
hanya dilakukan pada kasus-kasus terpilih dan dilakukan oleh ahlinya. Disebabkan insisi
biasanya sembuh dengan cepat (dalam 24-48 jam), prosedur ini sering diikuti dengan
pemasangan tabung timpanostomi untuk ventilasi ruang telinga tengah.Indikasi untuk
miringotomi adalah terdapatnya komplikasi supuratif, otalgia berat, gagal dengan terapi
antibiotik, pasien imunokompromise, neonatus, dan pasien yang dirawat di unit perawatan
intensif. Di bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang, miringotomi dapat dilakukan
pada OMA stadium supurasi dengan membran timpani yang menonjol dan masih utuh untuk
mencegah perforasi2.
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah komplikasi infra temporal dan intra kranial.
Secara epidemiologi terjadi pada 1 dari 300.000 kasus pertahun.Komplikasi infratemporal
meliputi mastoiditis, kelumpuhan saraf fasialis, dan otitis media kronik. Sementara
komplikasi intrakranial yang dapat terjadi adalah meningitis, ensefalitis, abses otak, abses
subaraknoid dan abses subdura6.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. WH
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Lubuk Begalung, Padang
Agama : Islam
Pekerjaan : Supir
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berusia 36 tahun datang ke Poli THT RSUP Dr. M. Djamil Padang
pada tanggal 1 Desember 2014 dengan:
Keluhan Utama : Keluar cairan dari telinga sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu
Keluhan tambahan : Tidak ada
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis cooperative
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 72 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Suhu : 37,3 0C
Pemeriksaan Sistemik
Kepala : tidak ada kelainan
Mata: Konjungtiva : anemis (-)
Sklera : ikterik (-)
Toraks: Jantung : diharapkan dalam batas normal
Paru : diharapkan dalam batas normal
Abdomen : diharapkan dalam batas normal
Ekstremitas : deformitas (-), edema (-)
Status Lokalis THT
Telinga
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Daun Telinga Kelainan Tidak ada Tidak ada
Kongenital
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Kelainan Tidak ada Tidak ada
Metabolik
Nyeri Tarik Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tekan Tidak ada Tidak ada
Tragus
Liang dan Dinding Cukup Lapang Cukup lapang
Telinga Sempit Sempit
Hiperemis Tidak ada Hiperemis
Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret/Serumen Bau Tidak ada Ada
Warna Kekuningan Coklat kekuningan
Jumlah Sedikit Banyak
Jenis Kering Basah
Membran Timpani
Utuh Warna Putih mutiara Suram
Refleks Cahaya Positif Tidak ada
Bulging Tidak ada Tidak ada
Retraksi Tidak ada Tidak ada
Atrofi Tidak ada Tidak ada
Perforasi Jumlah Perforasi Tidak ada Ada
Jenis Sentral
Kuadran
Pinggir Tidak rata
Gambar Membran
Timpani
Mastoid Tanda Radang Tidak ada Tidak ada
Fistel Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri Ketok Tidak ada Tidak ada
Tes Garpu Tala Rinne Positif Negatif
Schwabach Sama dengan Memanjang
pemeriksa
Weber Lateralisasi kearah
yang sakit
Kesimpulan Tuli konduktif
telinga kiri
Audiometri Tidak dilakukan
Timpanometri Tidak dilakukan
Hidung
Pemeriksaan Kelainan
Hidung Luar Deformitas Tidak ada
Kelainan Kongenital Tidak ada
Trauma Tidak ada
Radang Tidak ada
Massa Tidak ada
Sinus Paranasal
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Rinoskopi Anterior
Vestibulum Vibrise Ada Ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Cavum nasi Cukup lapang Cukup lapang Cukup lapang
Sempit
Lapang
Secret Lokasi Tidak ada Tidak ada
Jenis
Jumlah
Bau
Konka inferior Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Konka media Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Septum Cukup lurus/ Cukup lurus Cukup lurus
deviasi
Permukaan
Warna Merah muda Merah muda
Spina Tidak ada Tidak ada
Krista Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Massa Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk Tidak ada Tidak ada
Ukuran Tidak ada Tidak ada
Permukaan Tidak ada Tidak ada
Warna Tidak ada Tidak ada
Konsistensi Tidak ada Tidak ada
Mudah Digoyang Tidak ada Tidak ada
Pengaruh Tidak ada Tidak ada
Vasokonstriktor
Gambar Rinoskopi
Anterior
Laringoskopi Indirek
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Bentuk Kubah Kubah
Warna Merah muda Merah muda
Gambar
Pemeriksaan laboratorium: -
RESUME
1. Anamnesis
- Keluar cairan dari telinga sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu, cairan berwarna
kekuningan, 2 hari yang lalu cairan bercampur darah
- Hidung berair sejak 2 minggu yang lalu, berwarna bening dan agak kental, darah (-)
- Demam (+) 4 hari yang lalu
- Telinga terasa penuh dan nyeri 4 yang lalu, pasien sering meniup dengan keras dari
hidung sambil hidung dipencet dan mulut ditutup untuk mengurangi keluhan telinga
terasa penuh
- penurunan pendengaran (+)
- riwayat trauma pada telinga tidak ada
- riwayat telinga berair sebelumnya tidak ada
2. Pemeriksaan fisik
- Telinga kiri: membran timpani perforasi sentral pinggir tidak rata, reflek cahaya (-),
sekret kuning kecoklatan jumlah banyak
3. Diagnosis Utama : Otitis media akut AS stadium perforasi
4. Diagnosis Tambahan :-
5. Diagnosis Banding :-
6. Pemeriksaan Anjuran : Pemeriksaan darah rutin
7. Terapi
- H2O2 3% 3 tetes, 2 kali sehari, diberikan selama 5 hari pada telinga kiri
- Tarivid (Ofloksasin) 3 tetes, 2 kali sehari, diberikan selama 7 hari pada telinga kiri
- Amoksisilin tab 500mg, 3 kali sehari 1 tablet, diberikan selama 7 hari
8. Terapi Anjuran :-
9. Prognosis
- quo ad vitam : Bonam
- quo ad sanam : Dubia ad bonam
10. Nasehat
- jaga higiene telinga
- jangan mengorek telinga
- jaga jangan sampai masuk air ke telinga
- jika pilek, batuk, cepat berobat
BAB IV
DISKUSI
DAFTAR PUSTAKA