Anda di halaman 1dari 14

TUGAS UAS

PENDIDIKAN KEWARANEGARAAN

KONSEP RELASI AGAMA DI INDONESIA

Disusun oleh :

Dwi Ardan Kusnadi

17.05.006

BTP DIV A

PROGRAM STUDI DIPLOMA

BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN DIV

POLITEKNIK LPP

YOGYAKARTA

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta Karunia-Nya kepada penulis berhasil menyelesaikan Tugas UAS Pendidilan
Kewarganegaraan Ini yang Alhamdulillah pada waktunya yang berjudul “Konsep Relasi
Agama di Indonesia “.

Tugas ini beriisikan tentang informasi cara perkembangbiakan tanaman secara


generatif dan vegetatif, tetapi laporan ini lebih dikhususkan terhadap perkembangbiakan
tanaman secara vegetatif yang mudah dan secara umum. Diharapkan Pendidikan
Kewarganegaraan ini dapat memberikan informasi dan manfaar kepada pembaca tugas
ini.

Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kata sempurna , oleh karena itu
kritik dan saran dari pengoreksi (dosen pembingbing) yang bersifat membangun selalu
penulis harapkan demi kesempurnaan laporan ini.

Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu berperan membantu serta dalam penyususnan laporan ini dar awal dan akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridai segaka usaha kita. AMIN
PENDAHULUAN

Dalam konteks Indonesia, sejak berabad-abad yang lalu di Kepulauan Nusantara


sudah terdapat berbagai agama: Hindu, Budha dan pelbagai kepercayaan, baik animisme
maupun dinamisme. Kecenderungan sinkretisme yang mencampurkan berbagai agama
yang ada juga menjadi warna tersendiri terutama di Pulau Jawa. Secara akademis
membincangkan persoalan agama di keraton-keraton Jawa oleh elit agama juga
merupakan tradisi yang tidak asing. Menurut Onghokham, mereka bersikap saling
toleran, tanpa perasaan emosi. Namun di sisi lain perbedaan agama atau pendapat
mengenai teologi juga seringkali mengakibatkan konflik berdarah.

Pola relasi antar agama pada masa lalu sangat dipengaruhi oleh politik stelsel dan
politik keagamaan pemerintah kolonial. Masing-masing dibiarkan dalam sebuah relasi
antitesis, persaingan. Sementara Pemerintah kolonial melakukan politik keagamaan yang
hanya bertendensi pada dogma (ajaran) bukan etika (perilaku). Akibatnya kehidupan
keagamaan kehilangan inspirasi bagi umatnya. Oleh elit penguasa kolonial, komunikasi
antarumat beragama dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak berjalan secara bebas
dan terbuka.

Agama saat ini merupakan realitas yang berada di sekeliling manusia. Masing-
masing manusia memiliki kepercayaan tersendiri akan agama yang dianggapnya sebagai
sebuah kebenaran. Agama juga diyakini tidak hanya berbicara soal ritual semata
melainkan juga berbicara tentang nilai-nilai yang harus dikonkretkan dalam kehidupan
sosial. Termasuk dalam ranah ketatanegaraan muncul tuntutan agar nilai-nilai agama
diterapkan dalam kehidupan bernegara. Masing-masing penganut agama meyakini bahwa
ajaran dan nilai-nilai yang dianutnya harus ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. (Anshari Thayib, 1997: v)

Munculnya tuntutan konkretisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara


memunculkan perdebatan yang tidak kunjung selesai mengenai relasi antara negara dan
agama. Banyak pendapat yang dikeluarkan oleh para ahli dalam menempatkan posisi
agama dalam kehidupan bernegara. Hampir setiap fase dalam sejarah sebuah bangsa
selalu saja muncul persoalan ini.
PEMBAHASAN

Pengertian Negara

Secara literal, istilah Negara merupakan terjemahan dari kata asing, yakni
state(bahasa Inggris), staat (bahasa Belanda dan Jerman), dan etat (bahasa Prancis). Kata
state,staat, etat diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan
yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.

Secara terminology, Negara adalah organisasi tertinggi diantara satu kelompok


masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup dalam daerah tertentu dan
mempunyai pemerintah yang berdaulat. Dengan demikian unsur dalam sebuah Negara
terdiri dari masyarakat(rakyat), adanya wilayah(daerah), dan adanya pemerintah yang
berdaulat.

Menurut Roger H. Soltao, Negara adalah alat (agency) atau wewenang yang
mengatur persoalan bersama atas nama masyarakat. Sedangkan menurut islam, dalam Al-
Qur’an dan Al- Sunnah pengertian Negara tidak dijelaskan secara eksplinsit, hanya
trdapat prinsip-prinsp dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan
mengembangkan paradigma tentang teori khifalah dan imamah.

Bentuk-bentuk Negara

a) Negara Kesatuan

Negara kesatuan merupakan bentuk suatu Negara yang merdeka dan berdaulat.
Dengan satu pemerintah yang mengatur seluruh daerah.

b) Negara serikat

Kekuasaan asli dalam negara federasi merupakan tugas Negara bagian, karena ia
berhubungan dengan rakyatntya, sementara Negara federasi bertugas untuk menjalankan
hubungan luar Negeri. Pertahanan Negara. Keuangan dan urusan pos. selain kedua
bentuk Negara tersebut. Bentuk Negara kedalam tiga kelompok yaitu: monarki, olgarki,
dan demokrasi.
Negara dan Agama

Negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan


(discoverese) yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli.

Hubungan agama dan Negara menurut paham teokrasi

Negara menyatu dengan agama. Karena pemerintahan menurut paham ini di jalankan
berdasarkan firman-firman tuhan segala kata kehidupan dalam masyarakat bangsa,
Negara di lakukan atas titah Tuhan.

Hubungan Agama dan Negara menurut paham sukuler

Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama
atau firman-firman Tuhan. Meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan
dengan norma-norma agama.

Hubungan Agama dengan Kehidupan Manusia

Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan
masyarakat Negara. Sedangkan Agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk
manusia, agama merupakan keluhan makhluk tertindas.

Konsep Relasi Negara dan Agama

Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara ini di ilhami oleh
hubungan yang agak canggung antara islam. Sebagai agama(din) dan Negara (dawlah),
agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya
merupakan dua lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.

Hubungan Agama dan Negara dalam Islam

Dalam Islam, hubungan agama dan Negara menjadi perdebatan yang cukup panjang
diantara pakar Islam hingga kini. Bahkan menurut Azyumardi Azra perdebatan itu telah
berlangsung sejak hampir satu abad, dan belangsung hingga dewasa ini. Lebih lanjut
Azra mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara ini
diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara islam sebagai agama (din) dan
Negara (dawlah), berbagai eksperimen dilakuakn dalam menyelaraskan antara din dengan
konsep dan kultur politik masyarakat muslim, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal
sangat beragam.

Dalam lintasan historis Islam, hubungan agama dan Negara dan system politik
menunjukan fakta yang sangat beragam. Banyak para ulama tradisional beragumen
bahawa Islam merupakan system kepercayaan dimana agama memiliki hubungan erat
dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia
termasuk bidang politik. Dari sudut pandang ini maka pada dasarnya dalam Islam tidak
ada pemisahan antara agama (din) dan politik (dawlah). Argumentsi ini sering dikaitkan
dengan posisi nabi Muhammad ketika berada di madinah yang membangun system
pemerintahan dalam sebuah Negara kota (city-state). Di Madinah Rasulullah berperan
sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala agama.

Menyikapi realitas empitik tersebut, Ibnu Taimiyah mengatkan bahwa posisi nabi
saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (al kitab) bukan
sebagai penguasa. Kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk
menyampaikan agama dan kekuasaan hanyalah sebagai alat bagi agama bukan suatu
ekstensi dari agama. Pendapat Ibnu Taimiyah ini dipertegas dengan ayat al-Quran yang
artinya : “sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul kami yang disertai keterangan-
keterangan, dan kami turunkan bersama mereka kitab dan timbangan, agar manusia
berlaku adil, dan kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat-
manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan
(menolong, Rasul-nya yang ghaib (daripadanya) (Q.S 57 : 25). Dari ayat ini, ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan
pedang penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan
dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah
agama itu sendiri.
Dalam lintas sejarah dan opini para teoritis politik Islam ditemukan beberapa
pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan Negara, antara lain dapat
dirangkum ke dalam (tiga) 3 paradigma, yakni integralistik, simbiotik dan sekuleristik.

Paradigma Simbiotik mutualistic

Simbiotik mutualistik adalah salah satu dari tiga jenis paradigma relasi (paradigma
integralistik, paradigma simbiotik mutualistik, dan paradigma sekularistik) antara agama
dan Negara. Maksud dari simbiotik mutualistik itu sendiri adalah hubungan timbal balik
yang saling menguntungkan. Dalam konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai
instrument dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya,
negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan
moral, etika, dan spiritualitas. Agama perlu landasan etik untuk mengatur masyarakat dan
agama membutuhkan negara sebagai tempat untuk mengembangkannya.

Paradigma Simbiotik dimana peran agama dan Negara tidak menyatu (Indosesia
bukan Negara Islam meski mayoritas masyarakatnya Islam) dan tidak terpisah. Negara
Indonesia menjamin kebebasan beragama serta melindungi para penganut agama
sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945, pasal 28E ayat (1) yang menyatakan, ”Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya….” dan pasal 28E ayat
(2) berbunyi, ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran, dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Selain itu, kebebasan beragama juga
diatur dalam pasal 29 ayat (2) bahwa, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.”

Dalam hal ini kedudukan Agama dalam suatu masyarakat pasti dimaknai sebagai
sumber etika moral dan mempunyai kedudukan yang sangat vital. Agama memiliki kaitan
yang sangat erat dengan perilaku seseorang dalam interaksi sosial kehidupannya. Agama
apapun pada dasarnya mengajarkan kebaikan.
Tetapi pada kenyataannya pada masyarakat, agama juga hampir selalu dijadikan
sebagai alat ukur atau pembenaran (justifikasi) dalam setiap langkah kehidupan.
Pembenaran atas nama agama itu terjadi dalam interaksi terhadap sesama maupun kepada
sumber agama tersebut “Hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan
Tuhannya”. Akibatnya dalam ranah horisontal (hubungan sesama manusia) konflik antar
agama sering kali tidak terelakkan.

Paradigma ini menyatakan bahwa negara dan agama adalah satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Keduanya saling melengkapi dan memberi kekuatan. Dalam sebuah
negara pasti terdapat lembaga negara sekaligus lembaga politik, karena paham ini tidak
mengenal adanya pemisahan antara keduanya. Jadi dalam menjalankan kehidupan selain
mengunakan kaidah politik, juga digunakannya nilai-nilai agama untuk mengatur segala
tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Segala tata pemerintahan berbangsa dan bernegara
didasarkan atas firman Tuhan.

Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan
politik, karena didalamnya diyakini bahwa kekuasaan berasal dari Tuhan. Dalam Islam,
Allah berfirman memerintahkan khalifah untuk menjaga bumi. Kemudian Imam adalah
pemimpin dalam keagamaan sekaligus pemimpin dalam politik atau negara.

Paradigma Sekuleristik

Sekularisme yang dalam bahasa Arabnya dikenal “al-’Ilmaniyyah”, diambil dari kata
ilmu. Konon, secara mafhum, ia bermaksud mengangkat martabat ilmu.Dalam hal ini
tentu tidak bertentangan dengan paham Islam yang juga menjadikan ilmu sebagai satu
perkara penting manusia. Bahkan, sejak awal, Islam menganjurkan untuk memuliakan
ilmu. Tetapi sebenarnya, penerjemahan kata sekular kepada “al-’Ilmaniyyah” hanyalah
tipu daya yang berlindung di balik selogan ilmu

Paradigma ini menolak kedua paradigma di atas. Sebagai gantinya, paradigma


sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas Negara dan pemisahan
Negara atas agama. (Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 28)
Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan
dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang
dikotomisini, maka hokum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal
dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum
Agama. (Agus Thohir, 2009: 4)

Paradigma ini memunculkan Negara sekuler. Dalam Negara sekuler, tidak ada
hubungan antara system kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, Negara adalah
urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama
adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak
dapat disatukan.

Dalam Negara sekuler, system dan norma hokum positif dipisahkan dengan nilai dan
norma Agama. Norma hokum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak
berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut
bertentangan dengan norma-norma Agama. Sekalipun ini memisahkan antara Agama
dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan warganegaranya
untuk memeluk Agama apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam
urusan – urusan Agama (Syari’at).

Relasi Negara dan Agama Menurut Konstitusi Indonesia

Persoalan relasi antara negara dan agama juga ada di dalam kehidupan bernegara di
Indonesia. Relasi negara dan agama di Indonesia selalu mengalami pasang surut karena
relasi antar keduanya tidak berdiri sendiri melainkan dipengaruhi oleh persoalan-
persoalan lain seperti politik, ekonomi, dan budaya.

Pembahasan mengenai relasi negara dan agama yang akan berlaku di Indonesia
sudah dimulai oleh para pendiri bangsa. Menjelang kemerdekaan 17 Agustus 1945, para
tokoh pendiri negara dari kelompok Nasionalis Islam dan Nasionalis, terlibat perdebatan
tentang dasar filsafat dan ideologi negara Indonesia yang akan didirikan kemudian. The
Founding Fathers kita menyadari betapa sulitnya merumuskan dasar filsafat negara
Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam etnis, ras, agama serta golongan politik yang
ada di Indonesia ini. Perdebatan tentang dasar filsafat negara dimulai tatkala Sidang
BPUPKI pertama, yang pada saat itu tampillah tiga pembicara, yaitu Yamin pada tanggal
29 Mei 1945, Soepomo pada tanggal 31 Mei, dan Soekarno pada tanggal 1 Juni, tahun
1945. Berdasarkan pidato dari ketiga tokoh pendiri negara tersebut, persoalan dasar
filsafat negara (Pancasila) menjadi pusat perdebatan antara golongan Nasionalis dan
Golongan Islam. Pada awalnya golongan Islam menghendaki negara berdasarkan Syari’at
Islam, namun golongan nasionalis tidak setuju dengan usulan tersebut. Kemudian
terjadilah suatu kesepakatan dengan ditandatanganinya Piagam Jakarta yang
dimaksudkan sebagai rancangan Pembukaan UUD Negara Indonesia pada tanggal 22
Juni 1945. (Kaelan, 2009: 11-12)

Pendiri negara Indonesia menentukan pilihan yang khas dan inovatif tentang bentuk
negara dalam hubungannya dengan agama. Pancasila sila pertama, ”Ketuhanan yang
Maha Esa”, dinilai sebagai paradigma relasi negara dan agama yang ada di Indonesia.
Selain itu, melalui pembahasan yang sangat serius disertai dengan komitmen moral yang
sangat tinggi sampailah pada suatu pilihan bahwa negara Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Mengingat kekhasan unsur-unsur rakyat
dan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam etnis, suku, ras agama
nampaknya Founding Fathers kita sulit untuk menentukan begitu saja bentuk negara
sebagaimana yang ada di dunia. (Kaelan, 2009: 24)

Bangsa Indonesia yakin bahwa kemerdekaan yang dikumandangkan pada tanggal 17


Agustus 1945 bukan semata-mata perjuangan rakyat, namun semua itu tidak akan pernah
terwujud jika Tuhan Yang Maha Kuasa tidak menghendakinya. Jadi sejak negara
Indonesia lahir, didasari oleh nilai-nilai Ketuhanan. Dalam Pembukaan UUD 1945 alenia
ke-empat dinyatakan secara tegas bahwa: ”Kemerdekaan Indonesia adalah berkat Rahmat
Allah Yang Maha Kuasa”. Selain itu, dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 29 ayat (1)
diperkuat lagi pengakuan negara atas kekuatan Tuhan yang menyatakan bahwa “Negara
berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Indonesia bukan negara agama melainkan negara hukum. Hukum menjadi panglima,
dan kekuasaan tertinggi di atas hukum. Artinya bahwa Undang-Undang dibuat oleh
lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, dan Anggota DPR terdiri dari
berbagai suku, etnis, agama, jenis kelamin dan sebagainya. Hukum di Indonesia tidak
dibuat oleh kelompok agama. Jadi agama tidak pernah mengatur negara, begitu juga
sebaliknya negara tidak semestinya mengatur kehidupan beragama seseorang.

Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka
agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). (Lukman Hakim Saifuddin, 2009: 9). Menurut Adi
Sulistiyono, agama diperlakukan sebagai salah satu pembentuk cita negara (staasidee).
(Adi Sulistiyono, 2008: 3)

Namun hal itu bukan berarti bahwa Indonesia merupakan negara teokrasi. Relasi
yang terjalin antara negara Indonesia dan agama ialah relasi yang bersifat simbiosis-
mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling memberi. Dalam konteks ini, agama
memberikan “kerohanian yang dalam” sedangkan negara menjamin kehidupan
keagamaan. (Lukman Hakim Saifuddin, 2009: 10)

Indonesia bukan negara agama melainkan negara hukum. Hukum menjadi panglima,
dan kekuasaan tertinggi di atas hukum. Artinya bahwa Undang-Undang dibuat oleh
lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, dan Anggota DPR terdiri dari
berbagai suku, etnis, agama, jenis kelamin dan sebagainya. Hukum di Indonesia tidak
dibuat oleh kelompok agama. Jadi agama tidak pernah mengatur negara, begitu juga
sebaliknya negara tidak semestinya mengatur kehidupan beragama seseorang.
(http://legal.daily-thought.info/2010/02/relasi-negara-dan-agama-jaminan-kebebasan-
beragama-antara-indonesia-dan-amerika-serikat/)

Penataan hubungan antara agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar checks
and balances (saling mengontrol dan mengimbangi). Dalam konteks ini, kecenderungan
negara untuk hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak represif terhadap warga
negaranya, harus dikontrol dan diimbangi oleh nilai ajaran agama-agama yang
mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta dengan
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Sementara di sisi lain, terbukanya kemungkinan
agama-agama disalahgunakan sebagai sumber dan landasan praktek-praktek
otoritarianisme juga harus dikontrol dan diimbangi oleh peraturan dan norma kehidupan
kemasyarakatan yang demokratis yang dijamin dan dilindungi negara. (Lukman Hakim
Saifuddin, 2009: 10)

Jadi, baik secara historis maupun secara yuridis, negara Indonesia dalam hal
relasinya dengan agama menggunakan paradigma pancasila. Mahfud M.D. menyebut
pancasila merupakan suatu konsep prismatik. Prismatik adalah suatu konsep yang
mengambil segi-segi yang baik dari dua konsep yang bertentangan yang kemudian
disatukan sebagai konsep tersendiri sehingga dapat selalu diaktualisasikan dengan
kenyataan masyarakat indonesia dan setiap perkembangannya. Negara Indonesia bukan
negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama saja, tetapi
negara pancasila juga bukan negara sekuler karena negara sekuler sama sekali tidak mau
terlibat dalam urusan agama. Negara pancasila adalah sebuah religions nation state yakni
sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi
perkembangan semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa pembedaan besarnya dan
jumlah pemeluk
KESIMPULAN

Kesimpulan

1. Relasi antara agama dan negara dapat dipandang dari beberapa paham,
diantaranya adalah paham teokrasi, sekulerisme, dan komunisme.
a) Paham Teokrasi menjelaskan negara adalah amanat dari agama.
b) Paham sekularisme antara agama dan negara adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan.
c) Paham komunisme beranggapan bahwa antara negara dan agama tidak dapat
disatukan.
2. Paradigma hubungan Negara dan agama dalam Islam diantaranya,
a) paradigma simbiotik mutualistik yaitu hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan,
b) paradigma integralistik yaitu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
c) paradigma sekuleristik yaitu pemisahan (disparitas) agama atas Negara dan
pemisahan Negara atas agama.
DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani.


Jakarta : ICCE UIN
Kaelan. 2009. ”Relasi Negara dan Agama Dalam Perspektif Filsafat Pancasila”.
Makalah. Yogyakarta, tanggal 1 Juni 2009.
Makhrus, dkk. 2005. Pancasila dan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga
Sulistyon, A. 2008. ”Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum”. Makalah
Seminar Hukum Islam dengan Tema Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan
Beragama ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum yang
diselenggarakan oleh FOSMI Fakultas Hukum UNS, Surakarta, tanggal 8 Mei
2008.
Syamsudin, M. Dien. 1994. Islam dan Politik Orde Baru. Jakarta : Logos
Thayib, A. 1997. HAM dan Pluralisme Agama. Surabaya: Pusat Kajian Strategis dan
Kebijakan
Thohir, A. 2009. ”Relasi Agama dan Negara”. Makalah Diskusi Kajian Spiritual
yang diselenggarakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI, Semarang,
tanggal 4 November 2009.
Toriqudin, Moh. 2009. Relasi Agama dan Negara. Malang: UIN Malang Press
Wahid, M & Rumaidi. 2001. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum
Islam Di Indonesia. Yogyakarta: LKiS

Anda mungkin juga menyukai