Dokter Pembimbing :
Dr.Tendry Septa, Sp.KJ (K)
Disusun Oleh :
Shesy Sya’haya
Reandy Ilham A
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan
kesempatan untuk selalu belajar dan mempermudah prosesnya sehingga penulis
dapat menyusun tugas referat ini
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Tendry Septa, Sp.KJ
sebagai pembimbing yang telah membantu dalam penyusunan refrat ini.
Refrat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran mengenai Gangguan
Tingkah Laku serta diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kedokteran Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung. Semoga refrat
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sehingga dapat memberi informasi
kepada para pembaca.
Penulis menyadari dalam penyusunan refrat ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak sehingga lebih baik pada referat berikutnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...............................................................Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………….
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………
2.1 GANGGUAN TINGKAH LAKU……………………………………………..
2.1.2 Klasifikasi…………………………………………………………………
2.1.3 Etiologi……………………………………………………………………
2.1.4 Gejala……………………………………………………………………..
2.1.5 Diagnosis…………………………………………………………………
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang…………………………………………………..
2.1.7 Terapi…………………………………………………………………
BAB III PENUTUP……………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan tingkah laku adalah pola tingkah laku anak atau remaja yang berulang dan menetap
dimana terjadi pelanggaran norma-norma sosial dan peraturan utama setempat. Gangguan
tingkah laku tersebut mencakup perusakan benda, pencurian, berbohong berulang-ulang,
pelanggaran serius terhadap peraturan, dan kekerasan terhadap hewan atau orang lain.
Sebelum mengklasifikasikan adanya gangguan perilaku pada usia anak-anak atau remaja, hal
pertama yang harus kita lakukan adalah mengetahui apa yang dianggap normal pada usia
tersebut. Untuk menentukan apa yang normal dan apa yang terganggu, khusus pada anak dan
remaja yang perlu ditambahkan selain kriteria umum yang telah kita ketahui adalah faktor usia
anak dan latar belakang budaya. Banyak masalah yang pertama kali teridentifikasi pada saat anak
masuk sekolah. Masalah tersebut mungkin sudah muncul lebih awal tetapi masih ditoleransi, atau
tidak dianggap sebagai masalah ketika di rumah. Kadang-kadang stres karena pertama kali
masuk sekolah ikut mempengaruhi kemunculannya (onset). Namun, perlu diingat bahwa apa
yang secara sosial dapat diterima pada usia tertentu, menjadi tidak dapat diterima di usia yang
lebih besar. Banyak pola perilaku yang mungkin dianggap abnormal pada masa dewasa,
dianggap normal pada usia tertentu.
Gangguan pada anak-anak ini sering kali dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu
eksternalisasi dan internalisasi. Gangguan eksternalisasi ditandai dengan perilaku yang diarahkan
ke luar diri, seperti agresivitas, ketidakpatuhan, overaktivitas, dan impulsivitas. Gangguan
internalisasi ditandai dengan pengalaman dan perilaku yang lebih terfokus kedalam diri seperti
depresi, menarik diri dari pergaulan social, dan kecemasan, termasuk juga anxietas dan mood
dimasa anak-anak.
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ) – III, Gangguan
Tingkah Laku (F.91) digolongkan dalam Gangguan Perilaku dan Emosional dengan Onset
Biasanya pada Masa Kanak dan Remaja, yang merupakan salah satu gangguan yang dapat terjadi
pada masa kanak, remaja, dan perkembangan. Sedangkan berdasarkan DSM-IV, gangguan
tingkah laku tergolongkan gangguan eksternalisasi yang termasuk dalam kategori DSM-IV-TR
bersama dengan Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) dan gangguan sikap
menentang (GSM).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Terdapat bukti bahwa anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku dan komorbid
dengan hambatan behavioral memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melakukan kejahatan
dibanding mereka yang mengalami gangguan tingkah laku yang komorbid dengan penarikan diri
dari pergaulan sosial. Bukti-bukti menunjukkan bahwa anak-anak perempuan yang mengalami
gangguan tingkah laku beresiko lebih tinggi untuk mengalami berbagai gangguan komorbid,
termasuk kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat, dan ADHD dibanding dengan anak laki-laki
yang memiliki gangguan tingkah laku.
2.1.4 Diagnosis
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) – III. Berdasarkan
PPDGJ-III, gangguan tingkah laku (F.91) dapat didiagnosis berdasarkan beberapa pedoman.
• Gangguan tingkah laku berciri khas dengan adanya suatu pola tingkah laku dissosial, agresif
atau menentang, yang berulang dan menetap.
• Penilaian tentang adanya gangguan tingkah laku perlu memperhitungkan tingkat perkembangan
anak. Begitu pula, pelanggaran terhadap hak orang lain (seperti tindak pidana dengan kekerasan)
tidak termasuk kemampuan anak berusia 7 tahun dan dengan demikian bukan merupakan kriteria
diagnostik bagi anak kelompok usia tersebut. Contoh-contoh perilaku yang dapat menjadi dasar
diagnosis mencakup hal-hal berikut: perkelahian atau menggertak pada tingkat berlebihan; kejam
terhadap hewan atau sesama manusia; perusakan yang hebat atas barang milik orang; membolos
dari sekolah dan lari dari rumah; sangat sering meluapkan temper tantrum yang hebat dan tidak
biasa; perilaku provokatif yang menyimpang; dan sikap menentang yang berat serta menetap.
Masing-masing dari kategori ini, apabila ditemukan, adalah cukup untuk menjadi alasan bagi
diagnosis ini, namun demikian perbuatan dissosial yang terisolasi bukan merupakan alasan yang
kuat.
• Diagnosis ini tidak dianjurkan kecuali bila tingkah laku seperti yang diuraikan di atas berlanjut
selama 6 bulan atau lebih.
Gangguan tingkah laku dapat digolongkan secara lebih spesifik lagi ke dalam beberapa subtipe,
antara lain:
F91.0 Gangguan Tingkah Laku yang Terbatas pada Lingkungan Keluarga
Pedoman Diagnostik
• Memenuhi kriteria F91 secara menyeluruh.
• Tidak ada gangguan tingkah laku yang signifikan di luar lingkungan keluarga dan juga
hubungan sosial anak di luar lingkungan keluarga masih berada dalam batas-batas normal.
F91.1 Gangguan Tingkah Laku Tak Berkelompok
Pedoman Diagnostik
• Ciri khas dari gangguan tingkah laku tak berkelompok ialah adanya kombinasi mengenai
perilaku dissosial dan agresif berkelanjutan (yang memenuhi seluruh kriteria F91 dan tidak
terbatas hanya pada perilaku membangkang, menentang, dan merusak), dengan sifat kelainan
yang pervasif dan bermakna dalam hubungan anak yang bersangkutan dengan anak-anak
lainnya.
• Tiadanya keterpaduan yang efektif dengan kelompok sebaya merupakan perbedaan penting
dengan gangguan tingkah laku yang “berkelompok” (socialized) dan ini diutamakan di atas
segala perbedaan lainnya.
• Rusaknya hubungan dengan kelompok sebaya terutama dibuktikan oleh keterkucilan dari
dan/atau penolakan ooleh, atau kurang disenanginya oleh anak-anak ebayanya, dan karena ia
tidak mempunyai sahabat karib atau hubungan empatik, hubungan timbal balik yang langgeng
dengan anak kelompok usianya. Hubungan dengan orang dewasa pun ditandai dengan oleh
perseisihan, rasa bermusuhan, dan dendam. Hubungan baik dengan orang dewasa dapat terjalin
(sekalipun biasanya kurang bersifat akrab dan percaya); dan seandainya ada, tidak menyisihkan
kemungkinan diagnosis ini.
• Tindak kejahatan lazim (namun tidak mutlak) dilakukan sendirian. Perilaku yang khas terdiri
dari: tingkah lku menggertak, sangat sering berkelahi, dan (pada anak yang lebih besar)
pemerasan atau tidank kekerasan; sikap membangkang secara berlebihan, perbuatan kasar, sikap
tidak mau kerja sama, dan melawan otoritas; mengadat berlebihan dan amarah yang tidak
terkendali; merusak barang orang lain, sengaja membakar, perlakuan kejam terhadap hewan dan
terhadap sesama anak. Namun ada pula anak yang terisolasi, juga terlibat dalam tindak kejahatan
berkelompok. Maka jenis kejahatan yang dilakukan tidaklah penting dalam menegakkan
diagnosis, yang lebih penting adalah soal kualitas hubungan personal-nya.
3. Pendekatan kognitif, terapi dengan intervensi bagi orang tua dan keluarga merupakan
komponen keberhasilan yang penting, tetapi penangana semacam itu banyak memakan biaya
dan waktu. Oleh kerena itu, penanganan dengan terapi kognitif individual bagi anak-anak
yang mengalami gangguan tingkah laku dapat mempaerbaiki tingkah laku mereka, meski
tanpa melibatkan keluarga. Contoh: mengajarkan keterampilan kognitif pada anak-anak
untuk mengendalikan kemarahan mereka menunjukan manfaat yang nyata dalam membantu
mereks mengurangi perilaku agresif. Mereka belajar untuk bertahan dari serangan verbal
tanapa merespon secara agresif dengan menguanakan teknik pengalihan seperti
bersenandung, mengatakan hal-hal yang menyenangkan pada diri sendiri, atau beranjak
pergi. Strategi lain dengan mengajarkan keterampilan moral kepada berbagai kelompok
remaja yang mengalami ganguan perilaku.
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan tingkah laku merupakan suatu pola perilaku yang berulang dan menetap dimana hak
dasar orang lain, peraturan atau norma sosial yang sesuai dengan usianya dilanggar, seperti
perkelahian atau pelecehan yang berlebihan, pencurian, perusakan, kebohongan berulang, yang
berlanjut selama 6 bulan atau lebih, yang sering ditemukan selama masa anak-anak hingga
remaja. Berdasarkan PPDGJ-III, gangguan tingkah laku (F.91) digolongkan dalam Gangguan
Perilaku dan Emosional dengan Onset Biasanya pada Masa Kanak dan Remaja, yang merupakan
salah satu gangguan yang dapat terjadi pada masa kanak, remaja, dan perkembangan.
Gangguan tingkah laku dapat disebabkan oleh berbagai etiologi dan faktor resiko, antara lain
faktor biologis, faktor psikologis, pengaruh lingkungan yang mencakup orangtua, saudara-
saudara, dan teman-teman seusia, serta faktor sosiologis seperti tingkat pendidikan dan keadaan
sosio-ekonomi keluarga.
Gangguan tingkah laku didiagnosis berdasarkan PPDGJ III dengan gejala khas suatu pola
tingkah laku dissosial, agresif atau menentang, yang berulang dan menetap. Contoh-contoh
perilaku yang dapat menjadi dasar diagnosis mencakup hal-hal berikut: perkelahian atau
menggertak pada tingkat berlebihan; kejam terhadap hewan atau sesama manusia; perusakan
yang hebat atas barang milik orang; membolos dari sekolah dan lari dari rumah; sangat sering
meluapkan temper tantrum yang hebat dan tidak biasa; perilaku provokatif yang menyimpang;
dan sikap menentang yang berat serta menetap. Perilaku seperti di atas harus sudah berlangsung
selama minimal 6 bulan.
Penanganan gangguan tingkah laku meliputi intervensi keluarga, meliputi home-based
interventions/sistem keluarga, dan pendekatan kognitif. Pada beberapa kasus dibutuhkan
penanganan lebih jauh melalui unit khusus untuk mengobati anak-anak dan remaja yang terdapat
di rumah sakit jiwa. Pengobatan di unit-unit ini biasanya diberikan untuk klien yang tidak
sembuh dengan metode alternatif yang kurang restriktif, atau bagi klien yang beresiko tinggi
melakukankekerasan terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain.
DAFTAR PUSTAKA