Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

GANGGUAN TINGKAH LAKU

Dokter Pembimbing :
Dr.Tendry Septa, Sp.KJ (K)

Disusun Oleh :

Shesy Sya’haya
Reandy Ilham A

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan
kesempatan untuk selalu belajar dan mempermudah prosesnya sehingga penulis
dapat menyusun tugas referat ini

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Tendry Septa, Sp.KJ
sebagai pembimbing yang telah membantu dalam penyusunan refrat ini.

Refrat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran mengenai Gangguan
Tingkah Laku serta diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kedokteran Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung. Semoga refrat
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sehingga dapat memberi informasi
kepada para pembaca.

Penulis menyadari dalam penyusunan refrat ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak sehingga lebih baik pada referat berikutnya.

Bandar Lampung, 7 Januari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...............................................................Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………….
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………
2.1 GANGGUAN TINGKAH LAKU……………………………………………..
2.1.2 Klasifikasi…………………………………………………………………
2.1.3 Etiologi……………………………………………………………………
2.1.4 Gejala……………………………………………………………………..
2.1.5 Diagnosis…………………………………………………………………
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang…………………………………………………..
2.1.7 Terapi…………………………………………………………………
BAB III PENUTUP……………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan tingkah laku adalah pola tingkah laku anak atau remaja yang berulang dan menetap
dimana terjadi pelanggaran norma-norma sosial dan peraturan utama setempat. Gangguan
tingkah laku tersebut mencakup perusakan benda, pencurian, berbohong berulang-ulang,
pelanggaran serius terhadap peraturan, dan kekerasan terhadap hewan atau orang lain.

Sebelum mengklasifikasikan adanya gangguan perilaku pada usia anak-anak atau remaja, hal
pertama yang harus kita lakukan adalah mengetahui apa yang dianggap normal pada usia
tersebut. Untuk menentukan apa yang normal dan apa yang terganggu, khusus pada anak dan
remaja yang perlu ditambahkan selain kriteria umum yang telah kita ketahui adalah faktor usia
anak dan latar belakang budaya. Banyak masalah yang pertama kali teridentifikasi pada saat anak
masuk sekolah. Masalah tersebut mungkin sudah muncul lebih awal tetapi masih ditoleransi, atau
tidak dianggap sebagai masalah ketika di rumah. Kadang-kadang stres karena pertama kali
masuk sekolah ikut mempengaruhi kemunculannya (onset). Namun, perlu diingat bahwa apa
yang secara sosial dapat diterima pada usia tertentu, menjadi tidak dapat diterima di usia yang
lebih besar. Banyak pola perilaku yang mungkin dianggap abnormal pada masa dewasa,
dianggap normal pada usia tertentu.

Gangguan pada anak-anak ini sering kali dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu
eksternalisasi dan internalisasi. Gangguan eksternalisasi ditandai dengan perilaku yang diarahkan
ke luar diri, seperti agresivitas, ketidakpatuhan, overaktivitas, dan impulsivitas. Gangguan
internalisasi ditandai dengan pengalaman dan perilaku yang lebih terfokus kedalam diri seperti
depresi, menarik diri dari pergaulan social, dan kecemasan, termasuk juga anxietas dan mood
dimasa anak-anak.

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ) – III, Gangguan
Tingkah Laku (F.91) digolongkan dalam Gangguan Perilaku dan Emosional dengan Onset
Biasanya pada Masa Kanak dan Remaja, yang merupakan salah satu gangguan yang dapat terjadi
pada masa kanak, remaja, dan perkembangan. Sedangkan berdasarkan DSM-IV, gangguan
tingkah laku tergolongkan gangguan eksternalisasi yang termasuk dalam kategori DSM-IV-TR
bersama dengan Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) dan gangguan sikap
menentang (GSM).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Tingkah Laku


Definisi gangguan tingkah laku pada DSM-IV-TR memfokuskan pada perilaku yang melanggar
hak-hak dasar orang lain dan norma-norma sosial utama. Tipe perilaku yang dianggap sebagai
simtom gangguan tingkah laku mencakup agresi dan kekejian terhadap orang lain atau hewan,
merusakkan kepemilikan, berbohong, dan mencuri. Gangguan tingkah laku merujuk pada
berbagai tindakan yang kasar dan sering dilakukan yang jauh melampaui kenakalan dan tipuan
praktis yang umum dilakukan anak-anak dan remaja. Seringnya, perilaku ini ditandai dengan
kesewenang-wenangan, kekejian dan kurang penyesalan.

Kriteria gangguan tingkah laku dalam DSM-IV-TR :


1. Pola perilaku yang berulang dan tetap yang melanggar hak-hak dasar orang lain atau norma-
norma sosial konvensional yang terwujud dalam bentuk tiga atau lebih perilaku dibawah ini
dalam 12 bulan terakhir dan minimal satu diantaranya dalam enam bulan terakhir :
a. Agresi terhadap orang lain dan hewan, contohnya mengintimidasi, memulai perkelahian
fisik, melakukan kekejaman fisik kepada orang lain atau hewan, memaksa seseorang
melakukan aktivitas seksual
b. Menghancurkan kepemilikan (properti), contohnya membakar, vandalisme
c. Berbohong atau mencuri, contohnya, masuk dengan paksa ke rumah atau mobil milik
orang lain, menipu, mengutil
d. Pelanggaran aturan yang serius, contohnya tidak pulang ke rumah hingga larut malam
sebelum usia 13 tahun karena sengaja melanggar peraturan orang tua, sering membolos
sekolah sebelum berusia 13 tahun
2. Disabilitas signifikan dalam fungsi sosial, akademik atau pekerjaan
3. Jika orang yang bersangkutan berusia lebih dari 18 tahun, kriteria yang ada tidak memenuhi
gangguan kepribadian anti sosial
Banyak anak yang mengalami gangguan tingkah laku juga menunjukkan gangguan lain. Ada
tingkat komorbiditas yang tinggi antara gangguan tingkah laku dan ADHD. Hal ini terjadi pada
anak laki-laki, namun jauh lebih sedikit yang diketahui mengenai komorbiditas gangguan
tingkah laku dan ADHD pada anak perempuan. Penyalahgunaan zat juga umum terjadi
bersamaan dengan gangguan tingkah laku dimana dua kondisi tersebut saling memperparah satu
sama lain.

Terdapat bukti bahwa anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku dan komorbid
dengan hambatan behavioral memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melakukan kejahatan
dibanding mereka yang mengalami gangguan tingkah laku yang komorbid dengan penarikan diri
dari pergaulan sosial. Bukti-bukti menunjukkan bahwa anak-anak perempuan yang mengalami
gangguan tingkah laku beresiko lebih tinggi untuk mengalami berbagai gangguan komorbid,
termasuk kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat, dan ADHD dibanding dengan anak laki-laki
yang memiliki gangguan tingkah laku.

2.1.2 Etiologi dan Faktor Resiko Gangguan Tingkah Laku


a. Faktor-faktor biologis. Dalam tiga studi adopsi berskala besar di Swedia, Denmark, dan
Amerika Serikat, mengindikasikan bahwa perilaku kriminal dan agresif dipengaruhi oleh
faktor genetik dan lingkungan dimana faktor lingkungan pengaruhnya sedikit lebih besar.
Dari studi terhadap orang kembar mengindikasikan bahwa perilaku agresif (a.l kejam
terhadap hewan, berkelahi, merusak kepemilikan) jelas diturunkan, sedangkan perilaku
kenakalan lainnya (a.l mencuri, lari dari rumah, membolos sekolah) kemungkinan tidak
demikian. Kelemahan neurologis, tercakup dalam profil masa kanak-kanak dari anak-anak
yang mengalami gangguan tingkah laku. Kelemahan tersebut termasuk keterampilan verbal
yang rendah, masalah dalam fungsi pelaksanaan (kemampuan mengantisipasi,
merencanakan, menggunakan pengendalian diri, dan menyelesaikan masalah) dan masalah
memori.
b. Faktor-faktor psikologis. Teori pembelajaran yang melibatkan modelling dan pengondisian
operant memberikan penjelasan yang bermanfaat mengenai perkembangan dan berlanjutnya
masalah tingkah laku. Anak-anak dapat mempelajari agresivitas orang tua yang berperilaku
agresif. Anak juga dapat meniriu tindakan agresif dari berbagai sumber lain seperti televisi.
Karena agresi merupakan cara mencapai tujuan yang efektif, meskipun tidak menyenangkan,
kemungkinan hal tersebut dikuatkan. Oleh karena itu setelah ditiru, tindakan agresif
kemungkinan akan dipertahankan.Berbagai karakteristik pola asuh seperti disiplin keras dan
tidak konsisten dan kurangnya pengawasan secara konsisiten dihubungkan dengan perilaku
antisosial pada anak-anak.
c. Pengaruh dari teman-teman seusia. Penelitian mengenai pengaruh teman seusia terhadap
agresi dan antisocial anak-anak memfokuskan pada dua bidang besar, yaitu:
1) Penerimaan atau penolakan dari teman-teman seusia. Penolakan menunjukkan hubungan
yang kausal dengan perilaku agresif, bahkan dengan tindakan pengendalian perilaku
agresif yang terdahulu (Coie & Dodge, 1998).
2) Afiliasi dengan teman-teman seusia yang berperilaku menyimpang. Pergaulan dengan
teman seusia yang nakal juga dapat meningkatkan kemungkinan perilaku nakal pada anak
(Capaldi & Patterson, 1994).
d. Faktor-faktor sosiologis. Tingkat pengangguran tinggi, fasilitas pendidikan yang
rendah, kehidupan keluarga yang terganggu, dan subkultur yang menganggap perilaku
criminal sebagai suatu hal yang dapat diterima terungkap sebagai faktor-faktor yang
berkontribusi (Lahey dkk, 1999; Loeber & Farrington, 1998). Kombinasi perilaku
antisosial anak yang timbul di usia dini dan rendahnya status sosioekonomi keluarga
memprediksikan terjadinya penangkapan di usia muda karena tindakan criminal
(Patterson, Crosby, & Vuchinich, 1992). Factor-faktor social berperan, korelasi terkuat
dengan kenakalan adalah hiperaktivitas dan kurangnya pengawasan orang tua.

2.1.3 Gejala Klinik


Berdasarkan gejala klinik dapat dibedakan 4 tipe:
 Tipe tak berkelompok: ditandai dengan kegagalan untuk membentuk ikatan dan kasih
sayang dengan orang lain; gangguan tingkah laku sendirian.
 Tipe berkelompok : memperlihatkan bukti terdapatnya ikatan sosial dengan
kelompoknya, tetapi tidak dengan orang lain di luar kelompok; gangguan tingkah laku
berkelompok.
 Tipe agresif : terdapat tingkah laku agresif dengan tindak kekerasan terhadap orang lain,
mencakup konfrontasi dengan korban atau pencurian di luar rumah.
 Tipe non agresif: gangguan tingkah laku, tetapi tidak terdapat tindak kekerasan terhadap
orang lain, tidak terdapat konfrontasi langsung dengan korban.

2.1.4 Diagnosis
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) – III. Berdasarkan
PPDGJ-III, gangguan tingkah laku (F.91) dapat didiagnosis berdasarkan beberapa pedoman.
• Gangguan tingkah laku berciri khas dengan adanya suatu pola tingkah laku dissosial, agresif
atau menentang, yang berulang dan menetap.
• Penilaian tentang adanya gangguan tingkah laku perlu memperhitungkan tingkat perkembangan
anak. Begitu pula, pelanggaran terhadap hak orang lain (seperti tindak pidana dengan kekerasan)
tidak termasuk kemampuan anak berusia 7 tahun dan dengan demikian bukan merupakan kriteria
diagnostik bagi anak kelompok usia tersebut. Contoh-contoh perilaku yang dapat menjadi dasar
diagnosis mencakup hal-hal berikut: perkelahian atau menggertak pada tingkat berlebihan; kejam
terhadap hewan atau sesama manusia; perusakan yang hebat atas barang milik orang; membolos
dari sekolah dan lari dari rumah; sangat sering meluapkan temper tantrum yang hebat dan tidak
biasa; perilaku provokatif yang menyimpang; dan sikap menentang yang berat serta menetap.
Masing-masing dari kategori ini, apabila ditemukan, adalah cukup untuk menjadi alasan bagi
diagnosis ini, namun demikian perbuatan dissosial yang terisolasi bukan merupakan alasan yang
kuat.
• Diagnosis ini tidak dianjurkan kecuali bila tingkah laku seperti yang diuraikan di atas berlanjut
selama 6 bulan atau lebih.
Gangguan tingkah laku dapat digolongkan secara lebih spesifik lagi ke dalam beberapa subtipe,
antara lain:
F91.0 Gangguan Tingkah Laku yang Terbatas pada Lingkungan Keluarga
Pedoman Diagnostik
• Memenuhi kriteria F91 secara menyeluruh.
• Tidak ada gangguan tingkah laku yang signifikan di luar lingkungan keluarga dan juga
hubungan sosial anak di luar lingkungan keluarga masih berada dalam batas-batas normal.
F91.1 Gangguan Tingkah Laku Tak Berkelompok
Pedoman Diagnostik
• Ciri khas dari gangguan tingkah laku tak berkelompok ialah adanya kombinasi mengenai
perilaku dissosial dan agresif berkelanjutan (yang memenuhi seluruh kriteria F91 dan tidak
terbatas hanya pada perilaku membangkang, menentang, dan merusak), dengan sifat kelainan
yang pervasif dan bermakna dalam hubungan anak yang bersangkutan dengan anak-anak
lainnya.
• Tiadanya keterpaduan yang efektif dengan kelompok sebaya merupakan perbedaan penting
dengan gangguan tingkah laku yang “berkelompok” (socialized) dan ini diutamakan di atas
segala perbedaan lainnya.
• Rusaknya hubungan dengan kelompok sebaya terutama dibuktikan oleh keterkucilan dari
dan/atau penolakan ooleh, atau kurang disenanginya oleh anak-anak ebayanya, dan karena ia
tidak mempunyai sahabat karib atau hubungan empatik, hubungan timbal balik yang langgeng
dengan anak kelompok usianya. Hubungan dengan orang dewasa pun ditandai dengan oleh
perseisihan, rasa bermusuhan, dan dendam. Hubungan baik dengan orang dewasa dapat terjalin
(sekalipun biasanya kurang bersifat akrab dan percaya); dan seandainya ada, tidak menyisihkan
kemungkinan diagnosis ini.
• Tindak kejahatan lazim (namun tidak mutlak) dilakukan sendirian. Perilaku yang khas terdiri
dari: tingkah lku menggertak, sangat sering berkelahi, dan (pada anak yang lebih besar)
pemerasan atau tidank kekerasan; sikap membangkang secara berlebihan, perbuatan kasar, sikap
tidak mau kerja sama, dan melawan otoritas; mengadat berlebihan dan amarah yang tidak
terkendali; merusak barang orang lain, sengaja membakar, perlakuan kejam terhadap hewan dan
terhadap sesama anak. Namun ada pula anak yang terisolasi, juga terlibat dalam tindak kejahatan
berkelompok. Maka jenis kejahatan yang dilakukan tidaklah penting dalam menegakkan
diagnosis, yang lebih penting adalah soal kualitas hubungan personal-nya.

F91.2 Gangguan Tingkah Laku Berkelompok


Pedoman Diagnostik
• Kategori ini berlaku terhadap gangguan tingkah laku yang ditandai oleh perilaku dissosial atau
agresif berkelanjutan (memenuhi kriteria untuk F91 dan tidak hanya terbatas pada perilaku
menentang, membangkang, merusak) terjadi pada anak yang pada umumnya cukup terintegrasi
dalam kelompok sebayanya.
• Kunci perbedaan terpenting adalah adanya ikatan persahabatan langgeng dengan anak yang
seusia. Sering kali, namun tidak selalu, kelompok sebaya itu terdiri atas anak-anak yang juga
terlibat dalam kegiatan kejahatan atau dissosial (tingkah laku yang tidak dibenarkan masyarakat
justru dibenarkan oleh kelompok sebayanya itu dan diatur oleh subkultur yang menymbutnya
dengan baik). Namun hal ini bukan merupakan syarat mutlak untuk diagnosisnya; bisa saja anak
itu menjadi warga kelompok sebaya yang tidak terlibat dalam tindak kejahatan sementara
perilaku dissosial dilakukannya di luar lingkungan kelompok itu. Bila perilaku dissosial itu pada
khususnya, merupakan penggertakan terhadap anak lain, boleh jadi hubungan dengan korbannya
atau beberapa anak lain terganggu. Perlu ditegaskan lagi, hal itu tidak membatalkan
diagnosisnya, asal saja anak itu memang termasuk dalam kelompok sebaya dan ia merupakan
anggota yang setia dan mengadakan ikatan persahabatan yang langgeng.

F91.3 Gangguan Sikap Menentang (Membangkang)


• Ciri khas dari jenis gangguan tingkah laku ini adalah berawal dari anak di bawah usia 9 dan 10
tahun. Ditandai oleh adanya perilaku menentang, ketidak-patuhan, perilaku provokatif dan tidak
adanya tindakan dissosial dan agresif yang lebih berat yang melanggar hukum ataupun
melanggar hak asasi orang lain.
• Pola perilaku negativistik, bermusuhan, menentang, provokatif dan merusak tersebut
berlangsung secara berkelanjutan, yang jelas sekali melampaui rentang perilaku normal bagi
anak kelompok usia yang sama dalam lingkungan sosial-budaya yang serupa, dan tidak
mencakup pelanggaran yang lebih serius terhadap hak orang lain seperti dalam kategori F91.0
dan F91.2. Anak dengan gangguan ini cenderung sering kali dan secara aktif membangkang
terhadap permintaan atau peraturan dari orang dewasa serta dengan sengaja mengusik orang lain.
Lazimnya mereka bersikap marah, benci dan mudah terganggu oleh orang lain yang
dipersalahkan atas kekeliruan dan keulitan yang mereka lakukan sendiri. Mereka umumnya
mempunyai daya toleransi terhadap frustasi yang rendah dan cepat hilang kesabarannya.
Lazimnya sikap menentangnya itu bersikap provokatif, sehingga mereka mengawali konfrontasi
dan sering kali menunjukkan sifat kasar, kurang suka kerjasama, menentang otoritas.
F91.8 Gangguan Tingkah Laku Lainnya8
F91.9 Gangguan Tingkah Laku YTT
• Hanya digunakan untuk gangguan yang memenuhi kriteria umum untuk F91, namun
tidakmemenuhi kriteria untuk salah satu subtipe lainnya.

2.1.5 Pemeriksaan Penjunjang


Pemeriksaan fungsi kognitif, tingkat edukasi, dan pemeriksaan neuropsikologis, sekalipun tidak
menolong dalam mengkategorikan diagnosis, dapat memberikan informasi penting mengenai
fungsi linguistik, kognitif, motorik, dan edukasi dari pasien. Data tersebut penting untuk
merancang rencana terapi yang kmprehensif.

2.1.6 Diagnosis Banding


1. Gangguan aktivitas dan perhatian (ADHD)
ADHD dapat dikonsepkan sebagai gangguan kognitif/perkembangan, dengan onset usia lebih
muda dari gangguan tingkah laku. Anak dengan ADHD lebih menunjukkan defisit pada
perhatian dan fungsi kognitif, dan memiliki aktivitas motorik yang meningkat, dengan
abnormalitas perkkembangan neurologis yang lebih hebat. Sedangkan anak dengan gangguan
tingkah laku cenderung memiliki karakteristik sifat agresi yang tinggi dan disfungi keluarga yang
lebih hebat.
2. Gangguan campuran tingkah laku dan emosi
3. Gangguan emosional dengan onset khas pada anak dan remaja

2.1.7 Penanganan Gangguan Tingkah Laku


Hal penting bagi keberhasilan dalam penanganan adalah upaya mempengaruhi banyak system
dalam kehidupan seorang remaja (keluarga, teman-teman sebaya, sekolah, lingkungan tempat
tinggal). Salah satu masalah yang dihadapi masyarakat adalah bagaimana menghadapai orang-
orang yang nurani sosialnya tampak kurang berkembang.
1. Intervensi keluarga, beberapa pendekatan yang paling menjanjikian untuk menangani
gangguan tingkah laku mnecakup intervensi bagi orang tua atau keluarga dari si anak
antisosial. Gerald Patterson dan kolegannya mengembangkan dan menguji sebuah program
behavioral, yaitu Pelatihan Manajemen Pola Asuh (PMP), dimana orang tua diajari untuk
mengubah berbagai respon untuk anak-anak mereka sehingga perilaku prososial dan
bukannya perilaku antisosial yang dihargai secara konsisten. Para orang tua diajarkan untuk
menggunakan teknik-teknik seperti penguatan positif bila si anak menunjukkan perilaku
positif dan pemberian jeda serta hilangnya perilaku istimewa bila ia berperilaku agresif atau
antisosial. Pmp terbukti mengubah interaksi orang tua-anak, yang pada akhirnya
berhubungan dengan berkurangnya perilaku antisosial dan agresif. PMP juga terbukti
memperbaiki perilaku para saudara kandung dan mengurangi depresi pada para ibu yang
mengikuti program tersebut

2. Penanganan multisistemik (PMS), Henggeler menujukkan keberhasilan dalam hal


mengurangi tingkat penangkapan karena tindak kriminal dalam empat tahun setelah
penanganan (Borduin dkk, 1995). Intervensi ini memandang masalah tingkah laku sebagai
suatu hal yang dipengaruhi oleh berbagai konteks dalam keluarga dan antara keluarga dan
berbagai sistem sosial lainnya. Teknik yang dipergunakan variasai meliputi teknik perilaku
kognitif, system keluarga, dan manajemen kasus. Keunikan dari terapi ini terletak pada
penekanan kekuatan individu dan keluarga, mengidenikasikan konteks bagi masalah-masalah
tingkah laku, yang berfokus pada masa kini dan berorientasi pada tindakan, dan
menggunakan intervensi yang membutuhkan upaya harian atau mingguan oleh para anggota.

3. Pendekatan kognitif, terapi dengan intervensi bagi orang tua dan keluarga merupakan
komponen keberhasilan yang penting, tetapi penangana semacam itu banyak memakan biaya
dan waktu. Oleh kerena itu, penanganan dengan terapi kognitif individual bagi anak-anak
yang mengalami gangguan tingkah laku dapat mempaerbaiki tingkah laku mereka, meski
tanpa melibatkan keluarga. Contoh: mengajarkan keterampilan kognitif pada anak-anak
untuk mengendalikan kemarahan mereka menunjukan manfaat yang nyata dalam membantu
mereks mengurangi perilaku agresif. Mereka belajar untuk bertahan dari serangan verbal
tanapa merespon secara agresif dengan menguanakan teknik pengalihan seperti
bersenandung, mengatakan hal-hal yang menyenangkan pada diri sendiri, atau beranjak
pergi. Strategi lain dengan mengajarkan keterampilan moral kepada berbagai kelompok
remaja yang mengalami ganguan perilaku.
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan tingkah laku merupakan suatu pola perilaku yang berulang dan menetap dimana hak
dasar orang lain, peraturan atau norma sosial yang sesuai dengan usianya dilanggar, seperti
perkelahian atau pelecehan yang berlebihan, pencurian, perusakan, kebohongan berulang, yang
berlanjut selama 6 bulan atau lebih, yang sering ditemukan selama masa anak-anak hingga
remaja. Berdasarkan PPDGJ-III, gangguan tingkah laku (F.91) digolongkan dalam Gangguan
Perilaku dan Emosional dengan Onset Biasanya pada Masa Kanak dan Remaja, yang merupakan
salah satu gangguan yang dapat terjadi pada masa kanak, remaja, dan perkembangan.
Gangguan tingkah laku dapat disebabkan oleh berbagai etiologi dan faktor resiko, antara lain
faktor biologis, faktor psikologis, pengaruh lingkungan yang mencakup orangtua, saudara-
saudara, dan teman-teman seusia, serta faktor sosiologis seperti tingkat pendidikan dan keadaan
sosio-ekonomi keluarga.

Gangguan tingkah laku didiagnosis berdasarkan PPDGJ III dengan gejala khas suatu pola
tingkah laku dissosial, agresif atau menentang, yang berulang dan menetap. Contoh-contoh
perilaku yang dapat menjadi dasar diagnosis mencakup hal-hal berikut: perkelahian atau
menggertak pada tingkat berlebihan; kejam terhadap hewan atau sesama manusia; perusakan
yang hebat atas barang milik orang; membolos dari sekolah dan lari dari rumah; sangat sering
meluapkan temper tantrum yang hebat dan tidak biasa; perilaku provokatif yang menyimpang;
dan sikap menentang yang berat serta menetap. Perilaku seperti di atas harus sudah berlangsung
selama minimal 6 bulan.
Penanganan gangguan tingkah laku meliputi intervensi keluarga, meliputi home-based
interventions/sistem keluarga, dan pendekatan kognitif. Pada beberapa kasus dibutuhkan
penanganan lebih jauh melalui unit khusus untuk mengobati anak-anak dan remaja yang terdapat
di rumah sakit jiwa. Pengobatan di unit-unit ini biasanya diberikan untuk klien yang tidak
sembuh dengan metode alternatif yang kurang restriktif, atau bagi klien yang beresiko tinggi
melakukankekerasan terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Childhood disorders: attention-deficit and disruptive behaviour disorders. In:


Kay J, Tasman A,eds. Essentials of psychiatry. England: John Wiley & Sons Ltd; 2006.
p.321-6.
2. Davison, Gerald C dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
3. Nevid, Jeffrey S, dkk. Psikologi abnormal. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006.
4. Maramis, WF. Gangguan perilaku anak. Dalam: Catatan ilmu kedokteran jiwa. Cetakan
ketujuh. Surabaya: Airlangga University Press; 1998. h.516-528.
5. Maslim, R. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada masa anak dan
remaja. Dalam: Buku saku diagnosis gangguan jiwa. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2004.

Anda mungkin juga menyukai