Patofisiologi
Manusia
Manusia dapat terinfeksi oleh B. abortus, B. melitensis, B. suis, dan B. canis
dengan berbagai derajat keparahan (Shirima dan Kunda 2016). Sumber penularan
yang potensial dari hewan ke manusia adalah melalui kontak dengan plasenta,
fetus, cairan organ reproduksi hewan, darah, urin, daging mentah, dan sumsum
tulang yang dapat menularkan bakteri Brucella sp. ke manusia (Noor 2006).
Penularan pada manusia dapat terjadi dengan mengonsumsi susu dan daging
yang mengandung Brucella sp. Penyebaran melalui susu dan olahannya yang
tidak diproses dan tidak ada kontrol kualitas dan keamanannya
(Norman et al. 2016) atau makan keju, minum susu yang tidak dipasteurisasi dari
sapi yang terjangkit bruselosis (Anka et al. 2013). Brucella sp. dapat bertahan
hingga beberapa bulan di susu dan produk olahannya (Novita 2016).
Transmisi antar manusia jarang terjadi, tetapi dilaporkan kejadian bahwa
transfusi darah, transplantasi sumsum tulang, hubungan seksual, transmisi
transplasenta, dan pada saat menyusui. Infeksi kongenital dapat terjadi ketika
terpapar darah, urin atau feses saat proses kelahiran (CFSPH 2009). Wanita hamil
yang terinfeksi bruselosis dapat menularkan bakteri Brucella sp. ke janin melalui
plasenta yang mengakibatkan terjadinya abortus spontan dan kematian fetus
5
Hewan
Hewan memperoleh infeksi dari hewan yang terinfeksi lainnya melalui
kontak langsung dan penularan vertikal (Bamaiyi 2016). Reservoir bruselosis
pada satwa liar seperti babi hutan, bison, rusa, dan mamalia laut yaitu pinnipeds
dan paus. B. abortus, B. melitensis, B. suis, dan B. canis biasanya ditularkan
antara hewan oleh kontak dengan plasenta, janin, cairan fetus, dan cairan saluran
reproduksi dari hewan yang terinfeksi. Hewan akan menularkan setelah aborsi
atau setelah masa parturasi. Meskipun ruminansia biasanya asimtomatik pasca
aborsi pertama, mereka dapat menjadi pembawa kronis, dan menyebarkan melalui
susu dan infeksi transplasenta pada kehamilan berikutnya. Brucella yang
ditemukan dalam semen induk jantan dapat menjadi penyebar bakteri ini untuk
waktu yang lama. Transmisi secara seksual perlu diperhatikan dalam pengawasan
rute penularan untuk B. ovis, B. suis, dan B. canis (CFSPH 2009).
Menurut Ditkeswan (2015) Brucella abortus dapat disebarkan melalui feses
yang terkontaminasi terutama dari ternak sesudah melahirkan atau dengan kontak
langsung pada waktu kawin dengan hewan yang terinfeksi. Sapi yang terinfeksi
dengan mudah dapat menularkan pada saat sapi melahirkan, karena bakteri yang
dikeluarkan pada saat itu mampu menularkan sampai dengan jumlah 6000 ekor.
Penyakit ini dapat menyebabkan gangguan reproduksi dan penurunan
produksi susu, penyebaran diantara ternak terjadi akibat penyebaran sejumlah
besar bakteri melalui cairan fetus saat terjadi abortus maupun kelahiran
normal oleh hewan yang terkena penyakit ini (Lindahl et al. 2015).
Kondisi yang memungkinkan kontak antar hewan atau kondisi setelah
melahirkan akan menaikkan tingkat penularan antar hewan. Ukuran kelompok
ternak yang besar, tingkat arus pembelian yang tinggi dan padang penggembalaan
adalah faktor yang dihubungkan dengan tingkat infeksi yang tinggi. Kejadian
spillove dapat terjadi ketika spesies yang rentan terhadap
penyakit ini dipelihara secara bersama atau berbagi ladang rumput dan sumber air
6
(Pappas et al. 2006). Transmisi infeksi dapat terjadi antara ternak dan satwa liar
yang dipelihara berdekatan, hal ini dapat menyebabkan infeksi berulang pada dua
populasi ternak (Shirima dan Kunda 2016).
Antigen
Antibodi primer
Antibodi sekunder
positif dimasukkan ke dalam sumur A1, kontrol negatif di sumur A2, sedangkan
A3 dengan sampel dan seterusnya sampai sumur A12. Microplate ditutup dengan
adhesive film dan diinaktivasi dalam penangas air 58 ºC selama 30 menit.
Sebanyak 25 µl buffer saline dimasukkan ke dalam sumur baris B sampai H.
Pengenceran serial dilakukan dengan cara memindahkan 25 µl dari sumur A ke B,
kemudian B ke C, dan seterusnya hingga sampai ke baris H. Antigen CFT
sebanyak 25 µl dimasukkan ke dalam setiap sumur mulai baris C sampai H.
Sebanyak 25 µl komplemen dimasukkan ke dalam sumur baris B sampai H
sedangkan sumur baris B ditambahkan PBS 25 µl untuk menyamakan volume.
13
100% lebih tinggi dari hasil penelitian sebelumnya yaitu 99.8%. Perbedaan ini
disebabkan penggunaan serum-serum lapangan yang memiliki keragaman yang
bervariasi pada penelitian ini.
Menurut OIE (2009) sensitifitas dan spesifitas hasil pengujian untuk
mendeteksi B. abortus secara serologis pada ternak dilakukan pengujian
menggunakan beberapa metode yang berperan sebagi uji screening atau uji
konfirmasi untuk mendeteksi penyakit. Kesalahan diagnosis dalam bentuk positif
palsu merupakan kesalahan terbanyak yang akan memberikan dampak kerugian
materi dan begitu pula sebaliknya jika kesalahan diagnosis dalam bentuk negatif
palsu dapat menyebabkan risiko penularan yang terus menerus terjadi (Mau et al.
2014).
Uji I-ELISA yang dikembangkan menunjukkan sensitifitas yang lebih baik
dari uji RBT dan I-ELISA komersial. Sensitifitas I-ELISA yang dikembangkan
sebesar 100%, berarti proporsi uji ini untuk mendeteksi positif bruselosis pada
sapi perah sebesar 100%, sedangkan nilai spesifisitas sebesar 62.10% berarti
proporsi uji untuk mendeteksi sapi perah negatif bruselosis sebesar 62.10%.
Berdasarkan perhitungan sensitifitas dan spesifisitas menunjukkan I-ELISA yang
dikembangkan dapat dijadikan uji alternatif sebagai uji screening untuk
mendeteksi keberadaan bruselosis pada sapi perah. I-ELISA yang dikembangkan
pada penelitian ini spesifisitasnya masih perlu ditingkatkan, sehingga proporsi
sapi perah yang didiagnosis negatif bruselosis dapat terdeteksi dengan lebih baik
untuk mengurangi kesalahan adanya negatif palsu pada hasil diagnosis.
Uji diagnostik dengan tingkat sensitifitas yang tinggi dibutuhkan untuk
mendeteksi penyakit. Spesifisitas yang tinggi lebih dibutuhkan untuk memperkuat
dugaan adanya suatu penyakit, bukan untuk mendeteksi suatu penyakit (Noerjanto
et al. 2014). Uji yang digunakan untuk pengendalian atau pemberantasan penyakit
membutuhkan uji yang relatif murah dengan sensitifitas dan presisi yang tinggi,
walaupun dengan spesifisitas yang tidak terlalu tinggi. Uji dengan sensitifitas
tinggi dapat digunakan untuk uji screening . Uji screening harus dapat diterapkan
untuk sejumlah besar hewan (seluruh populasi) di mana tujuannya adalah untuk
mendapatkan hasil yang meyakinkan bahwa hewan-hewan yang telah di uji
negatif pada kenyataannya memang bebas penyakit.
Uji I-ELISA yang dikembangkan merupakan uji yang memiliki nilai
sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan RBT dan I-ELISA komersial.
Teknik I-ELISA yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat diaplikasikan
pada lalu lintas sapi perah sebagai uji screening. Setiap hasil positif uji screening
kemudian diuji menggunakan uji konfirmasi yang sangat spesifik untuk
meminimalkan jumlah keseluruhan positif palsu pada akhir proses pengujian.
Untuk hewan yang dianggap positif harus positif untuk kedua uji screening dan
uji konfirmasi.
Nilai Kappa