Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULAN

DIABETES MILLITUS TIPE II


A. Definisi

Diabetes mellitus Tipe 2 atau dikenal dengan istilah Non-insulin Dependent Millitus
(NIDDM) adalah keadaan dimana hormone insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi
dengan semestinya, hal ini dikarenakan berbagai kemungkinan seperti kecacatan dalam
produksi insulin atau berkurangnya sensitifitas (respon) sel dan jaringan tubuh terhadap
insulin yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah (Nurul Wahdah,
2017).
Diabetes Mellitus Tipe II adalah defek sekresi insulin, dimana pankreas tidak mampu
menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal,
sehingga terjadi hiperglikemia yang disebabkan insensitifitas seluler akibat insulin
(Elizabeth J Corwin, 2018).
Diabetes Mellitus Tipe II adalah keadaan dimana kadar glukosa tinggi, kadar insulin
tinggi atau normal namun kualitasnya kurang baik, sehingga gagal membawa glukosa
masuk dalam sel, akibatnya terjadi gangguan transport glukosa yang dijadikan sebagai
bahan bakar metabolisme energi (Gibson, Jhon 2018).

B. Etiologi
Penyebab dari DM Tipe II antara lain:
1. Penurunan fungsi cell  pankreas
Penurunan fungsi cell  disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Glukotoksisitas
Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebkan peningkatan stress
oksidatif, IL-1 DAN NF-B dengan akibat peningkatan apoptosis sel beta
b. Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam proses
lipolisis akan mengalami metabolism non oksidatif menjadi ceramide yang toksik
terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis
c. Penumpukan amiloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar glukosa
darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha mengkompensasinya
dengan meningkatkan sekresi insulin hingga terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan
sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi amylin dari sel beta yang akan
ditumpuk disekitar sel beta hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak
sel beta itu sendiri sehingga akirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans
menjadi berkurang. Pada DM Tipe II jumlah sel beta berkurang sampai 50-60%.
d. Efek inkretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkatkan
proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel
beta.
e. Umur
Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi
setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut. Usia lanjut
yang mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50 – 92%. Proses menua
yang berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis,
fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat
jaringan dan ahirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi
homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah sel beta
pankreas yang mengahasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan terget yang
menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar
glukosa.
f. Genetik
2. Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tapi faktor-
faktor berikut ini banyak berperan:
a. Obesitas terutama yang bersifat sentral ( bentuk apel )
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah berkurang,
selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di otot berkurang
jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.
b. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
c. Kurang gerak badan
d. Faktor keturunan ( herediter )
e. Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf simpatis
yang diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila stress menetap maka
sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Hipotalamus mensekresi corticotropin
releasing factor yang menstimulasi pituitari anterior memproduksi kortisol, yang
akan mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah.
C. Manifestasi Klinis DM Tipe II
1. Tanda dan gejala spesifik DM Tipe II, antara lain:
a. Penurunan penglihatan
b. Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine ) karena air mengikuti glukosa dan keluar
melalui urine.
c. Polidipsia (peningkatan kadar rasa haus)akibat volume urineyang sangat besar dan
keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti
ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien
konsentrasi keplasma yang hipertonik (konsentrasi tinggi) dehidrasi intrasel
menstimulasi pengeluaran hormon anti duretik (ADH, vasopresin)dan menimbulkan
rasa haus
d. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat kataboisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi.
Aliran darah yang buruk pada pasien DM kronis menyebabkan kelelahan
e. Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang kronis,
katabolisme protein dan lemak dan kelaparan relatif sel. Sering terjadi penurunan
berat badan tanpa terapi
f. Konfusi atau derajat delirium
g. Konstipasi atau kembung pada abdomen(akibat hipotonusitas lambung)
h. Retinopati atau pembentukan katarak
i. Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki akibat kerusakan sirkulasi perifer,
kemungkinan kondisi kulit kronis seperti selulitis atau luka yang tidak kunjung
sembuh, turgor kulit buruk dan membran mukosa kering akibat dehidrasi
j. Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan kemungkinan nyeri
perifer atau kebas
k. Hipotensi ortostatik

D. Patofisiologi DM Tipe II

Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi insulin


perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan fungsi cell β,
yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula timbul resistensi insulin
yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi retensi
insulin itu agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta tidak akan
sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin hingga kadar glukosa darah meningkat dan
fungsi sel beta makin menurun saat itulah diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata
penurunan fungsi sel beta itu berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali
tidak mampu lagi mengsekresi insulin.
Individu yang mengidap DM Tipe II tetap mengahasilkan insulin. Akan tetapi
jarang terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah total insulin yang
di lepaskan. Hal ini mendorong semakin parah kondisi seiring dengan bertambah usia
pasien. Selain itu, sel-sel tubuh terutama sel otot dan adiposa memperlihatkan resitensi
terhadap insulin yang bersirkulasi dalam darah. Akibatnya pembawa glukosa (transporter
glukosa glut-4) yang ada disel tidak adekuat. Karena sel kekurangan glukosa, hati
memulai proses glukoneogenesis, yang selanjutnya makin meningkatkan kadar glukosa
darah serta mestimulasai penguraian simpanan trigliserida, protein, dan glikogen untuk
mengahasilkan sumber bahan bakar alternative, sehingga meningkatkan zat- zat ini
didalam darah. Hanya sel-sel otak dan sel darah merah yang terus menggunakan glukosa
sebagai sumber energy yang efektif . Karena masih terdapa insulin , individu dengan DM
Tipe II jarang mengandalkan asam lemak untuk menghasilkan energi dan tidak rentang
terhadap ketosis.

E. Penatalaksanaan DM Tipe II
1. Penatalaksanaan Medis
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:
a. Obat Hipoglikemik Oral
1) Pemicu sekresi insulin
a) Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan. Efek ekstra pankreas yaitu memperbaiki
sensitivitas insulin ada, tapi tidak penting karena ternyata obat ini tidak
bermanfaat pada pasien insulinopenik.
b) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea, dengan
meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obat yaitu: Repaglinid (derivate asam benzoat) dan Nateglinid (derivate
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral
dan diekskresi secara cepat melalui hati.
b. Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari pulau
Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin yang bila
kemudian distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah akan
terbelah untuk menghasilkan insulin dan peptide penghubung (C-peptide)yang
masuk kedalam aliran darah dalam jumlah ekuimolar.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM Tipe II akan memerlukan
insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Pada DM Tipe II tertentu
akan butuh insulin bila:
1) Terapi jenis lain tida dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah
2) Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark
miocard akut atau stroke.
Pengaruh insulin tehadap jaringan tubuh antara lain insulin menstimulasi
pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian meningkatkan sintesa protein.
Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak
sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel untuk
di gunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam
sel otot dan hati.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada kasus DM Tipe II antara lain:
a. Memberikan penyuluhan tentang keadaaan penyakit, symptom, hasil yang
ditemukan dan alternative tindakan yang akan diambil pada pasien maupun keluarga
pasien.
b. Memberikan motivasi pada klien dan keluarga agar dapat memanfaatkan potensi
atau sumber yang ada guna menyembuhkan anggota keluarga yang sakit dan
menyelesaikan masalah penyakit diabetes dan resikonya.
c. Konseling untuk hidup sehat yang juga dimengerti keluarga dalam pengobatan dan
pencegahan resiko komplikasi lebih lanjut
d. Memberikan penyuluhan untuk perawatan diri, budaya bersih, menghindari alkohol,
penggunaaan waktu luang yang positif untuk kesehatan, menghilangkan stress dalam
rutinitas kehidupan atau pekerjaan, pola makan yang baik
e. Memotivasi penanggung jawab keluarga untuk memperhatikan keluhan dan
meluangkan waktu bagi anggota keluarga yang terkena DM atau yang memiliki
resiko
f. Mengawasi diet klien DM Tipe II, bila perlu berikan jadwal latihan jasmani atau
kebugaran yang sesuai.

F. Pemeriksaan Penunjang DM Tipe II


Pemeriksaan penunjang DM Tipe II antara lain:
1. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa dapat diukur dari sample berupa darah biasa atau plasma. Pemeriksaan
kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat langsung dan dapat mendeteksi kondisi
hiperglikemia dan hipoglikemia. Pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan
glukometer lebih baik daripada kasat mata karena informasi yang diberikan lebih
objektif kuantitatif.
2. Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan kadar glukosa urin menggambarkan kadar glukosa darah secara tidak
langsung dan tergantung pada ambang batas rangsang ginjal yang bagi kebanyakan
orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan ini tidak memberikan informasi tentang kadar
glukosa darah tersebut, sehingga tak dapat membedakan normoglikemia atau
hipoglikemia.
3. Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi Glukosa
Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia, pemeriksaan glukosa
serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi glukosa oral lebih membantu
menegakan diagnosis karena lansia mungkin memiliki kadar glukosa puasa hampir
normal tetapi mengalami hiperglikemia berkepanjangan setelah makan. Diagnosis
biasanya dibuat setelah satu dari tiga kriteria berikut ini terpenuhi:
a) Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi.
b) Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi.
c) Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl atau lebih.
4. Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c)
Menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam 3 bulan sebelumnya, biasanya
dilakukan untuk memantau keefektifan terapi antidiabetik. Pemeriksaan ini sangat
berguna, tetapi peningkatan hasil telah ditemukan pada lansia dengan toleransi glukosa
normal.
5. Fruktosamina serum
Menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2 sampai 3 minggu sebelumnya,
merupakan indicator yang lebih baik pada lansia karena kurang menimbulkan
kesalahan. Sayangnya pemeriksaan ini tidak stabil sehingga jarang dilakukan. Namun
pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada keadaan dimana pengukuran AIC tidak dapat
dipercaya, misalnya pada keadaan anemia hemolitik.
6. Pemeriksaan keton urine
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang hormone insulin menyebabkan
tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energy. Keton urin dapat diperiksa dengan
menggunkan reaksi kolorimetrik antara benda keton dan nitroprusid yang menghasilkan
warna ungu.
7. Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test AIC)
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan
kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu terakhir. Bila kadar glukosa darah
dalam keadaan normal antara 70-140 mg/dl selama 8-10 minggu terakhir, maka test
AIC akan menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan AIC dipengaruhi oleh anemia berat,
kehamilan, gagal ginjal dan hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal
4bulan sekali dalam setahun.
8. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
PKGS memberikan informasi kepada penyandang DM mengenai kendali glikemik dari
hai kehari sehingga memungkinkan klien melakukan penyesuaian diet dan pengobatan
terutama saat sakit, latihan jasmani dan aktivitas lain. PKGS memberikan feedback
cepat kepada pasien terhadap kadar glukosa setiap hari.
9. Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Merupakan metode sample glukosa cairan intestinal ( yang berhubungan dengan
glukosa darah) telah banyak digunakan untuk mengetahui kendali glikemik. Caranya
adalah menggunakan sistem mikrodialisis yang dinsersi secara subkutan, konsentrasi
glukosa kemudian diukur dengan detector elektroda oksidasi glukosa. Sensor glukosa
pada PGB memiliki alaram untuk mendeteksi kondisi hipoglikemi dan hiperglikemi.
G.Komplikasi DM Tipe II
Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat DM Tipe II, antara lain:
1. Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang di obati dengan
insulin atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin di sebabkan oleh pemberian
insulin yang berlebihan, asupan kalori yang tidak adekuat, konsumsi alkohol, atau
olahraga yang berlebihan. Gejala hipoglikemi pada lansia dapat berkisar dari ringan
sampai berat dan tidak disadari sampai kondisinya mengancam jiwa.
2. Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi yang
mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada lansia dengan diabetes
Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada individu yang menderita diabetes Tipe 2
yang mengalami stress fisik dan emosional yang ekstrim.
3. Sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar hyperglycemic
syndrome, HHNS) atau koma hiperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien yang menderita
diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai dengan hiperglikemia
berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl), hiperosmolaritas (di atas 280 mOSm/L),
dan dehidrasi berat akibat deuresis osmotic. Tanda gejala mencakup kejang dan
hemiparasis (yang sering kali keliru diagnosis menjadi cidera serebrovaskular) dan
kerusakan pada tingkat kesadaran (biasanya koma atau hampir koma).
4. Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau nyeri dan
kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi dalam berbagai cara,
yang mencakup gastroparesis (keterlambatan pengosongan lambung yang
menyebabkan perasaan mual dan penuh setelah makan), diare noktural, impotensi, dan
hipotensi ortostatik.
5. Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insidens hipertensi 10 kali lipat dari
yang di temukan pada lansia yang tidak menderita diabetes. Hasil ini lebih
meningkatkan resiko iskemik sementara dan penyakit serebrovaskular, penyakit arteri
koroner dan infark miokard, aterosklerosis serebral, terjadinya retinopati dan neuropati
progresif, kerusakan kognitif, serta depresi sistem saraf pusat.
6. Infeksi kulit
Hiperglikemia merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena kandungan glukosa
epidermis dan urine mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini membuat lansia rentan
terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta vaginitis.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas pasien
2. Identitas penanggung jawab pasien
3. Keuhan utama
4. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
5. Riwayat kesehatan pasien dan pengobatan sebelumnya
6. Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya,mendapat terapi insulin
jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang
dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Aktivitas / istirahat
1) Gejala : - Lemah, letih, sulit bergerak / berjalan , Kram otot, tonus otot
menurun, gangguan tidur
2) Tanda :
a. Takikardia dan takipnea pada keadaan isitrahat atau dengan aktivitas
b. Letargi / disorientasi, koma
c. Penurunan kekuatan otot
b. Sirkulasi
1) Gejala :
a. Adanya riwayat hipertensi
b. Klaudikasi, kebas dan kesemutan pada ekstremitas
c. Ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama
2) Tanda :
a. Takikardia
b. Perubahan tekanan darah postural, hipertensi
c. Nadi yang menurun / tidak ada
d. Disritmia
e. Krekels
f. Kulit panas, kering, kemerahan, bola mata cekung
c. Integritas Ego
1. Gejala :
a. Stress, tergantung pada orang lain
b. Masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi
2. Tanda : - Ansietas, peka rangsang
1. Eliminasi
a. Gejala :
1) Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia
2) Rasa nyeri / terbakar, kesulitan berkemih (infeksi)
3) Nyeri tekan abdomen
4) Diare
3. Tanda : - Urine encer, pucat, kuning : poliuri
d. Makanan / cairan
1. Gejala :
a. Hilang nafsu makan
b. Mual / muntah
c. Tidak mengikuti diet : peningkatan masukan glukosa / karbohidrat.
d. Penurunan BB lebih dari periode beberapa hari / minggu
e. Haus
f. Penggunaan diuretic (tiazid)
2. Tanda : - Disorientasi : mengantuk, letargi, stupor / koma (tahap lanjut).
Ganguan memori (baru, masa lalu) kacau mental.
e. Nyeri / kenyamanan
1. Gejala : - Abdomen yang tegang / nyeri (sedang/berat)
2. Tanda : - Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati
f. Pernafasan
1. Gejala : - Merasa kekurangan oksigen : batuk dengan / tanpa sputum
purulen (tergantung ada tidaknya infeksi)
2. Tanda :
a. Lapar udara
b. Batuk, dengan / tanpa sputum purulen (infeksi)
c. Frekuensi pernafasan
g. Keamanan
1. Gejala : - Kulit kering, gatal; ulkus kulit
2. Tanda :
a. Demam, diaphoresis
b. Kulit rusak, lesi / ilserasi
c. Menurunnya kekuatan umum / rentang gerak

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan penurunan metabolisme
karbohidrat akibat defisiansi insulin, intake tidak adekuat akibat adanya mual muntah
2. Resiko devisit volume cairan dean elektrolit b/d diuresis osmotic dan poliuria
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat penurunan produksi
energi
4. Gangguan integritas kulit b/d penurunan sensasi sensori, gangguan sirkulasi,
penurunan aktifitas/mobilisasi, kurangnya pengetahuan tentang perawatan kulit.

C. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan penurunan metabolisme
karbohidrat akibat defisiansi insulin, intake tidak adekuat akibat adanya mual muntah

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam


diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria hasil : Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat, BB
stabil, nilai lab normal

Intervensi :
a. Timbang berat badan tiap hari atau sesuai dengan indikasi
Rasional : Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat
b. Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan
yang dapat dihabiskan pasien
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan
terapeutik
c. Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrient) dan elektrolit
dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui pemberian cairan
melalui oral
Rasional :Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan fungsi
gastroisntetinal baik
d. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti glukosa darah, aseton, pH, dan HCO3
Rasional : Gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian cairan dan
terapi insulin terkontrol.
e. Kolaborasi dengan ahli diet
Rasional : Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
2. Resiko Devisit volume cairan dan elektorlit b/d diuresis osmotic dan poliuria

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam


diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh
tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan
pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan
kadar elektrolit dalam batas normal.

Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD orotstatik
Rasional : Hipovelemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia.
b. Ukur berat badan setiap hari
Rasional : Memberikan hasil pengkajian yang terbaik di status cairan yang sedang
berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
c. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
Rasional : Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi
yang adekuat
d. Pantau pemeriksaan lab seperti : Hematoksit (Ht), BUN (kreatinin) dan
Osmulalitas darah, Natrium, kalium
Rasional :
Ht : Mengkaji tingkat hidrasi dan sering kali meningkat akibat homokonsentrasi
yang terjadi setelah dieresis osmotik
BUN : Peningkatan nilai dapat mencerminkan kerusakan sel karena dehidrasi atau
tanda awitan kegagalan ginbjal.
Osmolalitas darah : Meningkat sehubungan dengan adanya hiperglikemia dan
dehidrasi
Natrium : Mungkin menurun yang dapat mencerminkan perpindahan cairan dari
intra sel (dieresis osmotik)
Kalium : Awalnya akan terjadi hiperkalemia dalam breepons pada asodisis
3. Intoleransi aktivitas b.d penurunan simpanan energy

Tujuan : Pada pasien tidak terjadi kelelahan dengan penurunan


produksi energi

Kriteria hasil : -Mengungkapkan peningkatan tingkat energy


-Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk
berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan
Intervensi :
a. Diskusi dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Membuat jadwal perencanaan
dengan pasien dan identifikasi aktivitas yang menimbulkan kelelahan.
Rasional :Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat
aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.
b. Beri aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup / tanpa diganggu.
Rasional :Mencegah kelelahan yang berlebihan.
c. Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan TD sebelum / sesudah melakukan aktivitas.
Rasional :Mengidentifikasi tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara
fisiologi.
d. Mendiskusikan cara menghemat kalori selama mandi, berpindah tempat.
Rasional : Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan penurunan
kegiatan akan pada energi pada setiap kegiatan.
e. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan
yang dapat ditoleransi.
Rasional : Meningkatkan kepercayan diri / harga diri positif sesuai tingkat
aktivitas yang dapat ditoleransi pasien.
4. Gangguan integritas kulit b/d gangrene

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam


diharapkan integritas kulit dapat membaik.
Kriteria hasil : - Mempertahankan integritas kulit
- Mendemonstrasikan perilaku / teknik mencegah
kerusakan kulit.
Intervensi :
a. Lihat kulit, area sirkulasinya terganggu / pigmentasi atau kegemukan / kurus
Rasional : Kulit beresiko karena gangguan sirkulasinya perifer, imobilitas fisik
dan gangguan status nutrisi.
b. Dapatkan kultur dari drainase luka saat masuk
Rasional : Mengidentifikasi pathogen dan terapi pilihan
c. Rendam kaki dalam air steril pada suhu kamar dengan larutan betadine tiga kali
sehari selama 15 menit
Rasional : Germisidal lokal efektif untuk luka permukaan
d. Balut luka dengan kasa kering steril. Gunakan plester kertas
Rasional : Menjaga kebersihan luka / meminimalkan kontaminasi silang. Plester
adesif dapat membuat abrasi terhadap jaringan mudah rusak.
e. Berikan dikloksasi 500 mg per oral setiap 6 jam, mulai jam 10 malam amati tanda-
tanda hipersensitivitas, seperti : pruritus, urtikaria, ruam
Rasional : Pengobatan infeksi / pencegahan komplikasi. Makanan yang
mengganggu absorbsi obat memerlukan penjadwalan sekitar jam makan. Meskipun
tidak ada riwayat reaksi penicilin tetapi dapat terjadi kapan saja.
PATHWAY DM Tipe II
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2018. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC.


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2017. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Gibson, Jhon.2018. Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk PerawatEdisi 2. Jakarta:EGC
Stockslager L, Jaime dan Liz Schaeffer .2017. Asuhan Keperawatan Geriatric. Jakarta:EGC.
Tambayong, Jan. 2017. Anatomi dan Fisiologi untuk Keperawatan.Jakarta:EGC
Wahdah, Nurul. 2017 .Menaklukan Hipertensi dan Diabetes. Yogyakarta: Multipress.

Anda mungkin juga menyukai