Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS JURNAL KMB

PEMBERIAN AROMATERAPI PADA PASIEN


DENGAN MASALAH KEPERAWATAN MUAL

1. PENDAHULUAN

Prosedur anestesi umum yang digunakan pada setiap tindakan operasi


dapat menyebabkan munculnya permasalahan pada pasien antara lain mual,
muntah, batuk kering, nyeri tenggorokan, pusing, nyeri kepala, pusing, nyeri
punggung, gatal-gatal, lebam di area injeksi, dan hilang ingatan sementara (Allen,
2004; Conway, 2009; Hewitt & Watts, 2009). Selain kondisi post operasi , mual
juga sering dijumpai pada pasien dengan penyakit pada GIT karena terjadinya
sensitivitas pada organ pencernaan. Mual dan muntah merupakan kondisi tidak
nyaman yang diikuti dengan gejala pucat, berkeringat, teraba panas atau dingin,
takikardi, penurunan denyut jantung, sakit perut, dan mulut terasa tidak nyaman
(Gundzik, 2008). Menurut Cook (2008) mual merupakan sensasi tidak
menyenangkan yang mengawali terjadinya muntah, tetapi tidak semua muntah
diawali dengan mual sedangkan muntah merupakan kondisi pengeluaran isi
lambung ke dalam mulut.
Mual dan muntah melibatkan fungsi fisiologis yang kompleks dari saraf
pusat dan perifer. Pada pusat lateral retikular menerima berbagai macam jaras
termasuk jaras vagal mukosa, saluran gastrointestinal dan saluran syaraf, stimulasi
salah satu dari jaras ini akan memicu terjadinya refleks muntah (Chiravalle &
Caffrey, 2005). Stimulasi muntah pada pasien post operasi dapat disebabkan oleh
berbagai faktor diantaranya faktor resiko dari pasien (jenis kelamin, usia, riwayat
mual dan muntah, kecemasan, kebiasaan merokok, kondisi pencernaan dan
adanya penyakit kronik yang menyertai), faktor lamanya prosedur operasi, faktor
penggunaan anestesi dan kondisi post operasi itu sendiri. (Cook, 2008; Gundzik,
2008; Hewitt & Watts, 2009). Kondisi akut mual dan muntah ini dapat terjadi pada
24 jam pertama post operasi (Burden, 2000 dalam Gundzik, 2008).

2. PEMBAHASAN

Penanganan mual dan muntah dapat menggunakan farmakologi dan


nonfarmakologi yang berfungsi sebagai pencegahan dan pengobatan.
Penanganan mual dan muntah nonfarmakologi yang efektif salah satunya dengan
terapi komplementer (Chiravalle & Caffrey, 2005). Penggunaan terapi
komplementer relatif mudah, murah, efektif mengurangi mual dan muntah, menarik
dan dapat diterima pasien (Hewitt & Watts, 2009). Terapi komplementer
merupakan terapi pendamping pengobatan konvensional (Buckle, 2007).
Terapi komplementer lain yang dapat digunakan untuk mencegah dan
mengurangi mual dan muntah post operasi adalah aromaterapi. Aromaterapi
adalah minyak tumbuhan yang harum dan mempunyai konsentrasi tinggi dan
mudah mengalami penguapan (Potts, 2009).. Minyak aromaterapi ini dapat
digunakan dengan berbagai cara diantaranya dihirup, melalui kulit saat mandi,
digunakan untuk kompres, krim dan pencuci mulut (Buckle, 2007; Carstens, 2010).
Keefektifan pemberian aromaterapi terhadap pasien post operasi
dengan keluhan mual dilakukan oleh Supatmi 2014 dengan menggunakan minyak
peppermint membuktikan bahwa aroma terapi dapat menurunkan tingkat mual
muntah. Dwi Novi Susanti 2016 dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh
aromaterapi peppermint terhadap penurunan skala mual pada pasien kemoterapi
menyimpulkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap penurunan mual antara
sebelum dan setelah pemberian aromaterapi peppermint. Aromaterapi lemon
untuk menurunkan mual pada ibu hamil dilakukan penelitian oleh Siti Cholifah
(2015), dengan hasil penelitian bahwa aromaterapi lemon secara bermakna
mempunyai pengaruh dalam menurunkan mual dan muntah pada ibu hamil
trimester 1.
Prinsip utama aromaterapi yaitu pemanfaatan bau dari tumbuhan atau
bunga untuk mengubah kondisi perasaan, psikologi, status spiritual dan
memengaruhi kondisi fisik seseorang melalui hubungan pikiran dan tubuh pasien
(Carstens, 2010). Sumber minyak harum yang digunakan sebagai aromaterapi
diantaranya berasal dari pepermint, bunga lavender, bunga mawar, jahe, lemon
(Allen, 2004; Buckle, 2007; Kim, et all, 2007). Pemberian aromaterapi ini
merupakan terapi komplementer yang termasuk tindakan mandiri perawat yang
bisa dilakukan di semua unit pelayanan. Aroma yang akan digunakan tentunya
berdasarkan kebutuhan dan pilihan pasien. Perlu juga dilakukan penelitian
seberapa lama durasi pemberian aromaterapi.
ANALISIS JURNAL KMB
DIAGNOSIS APENDISITIS AKUT DENGAN SKOR ALVARADO

1. PENDAHULUAN
Apendisitis akuta adalah penyebab tersering penyakit abdomen akut
yang memerlukan tindakan bedah segera. Insiden berkisar 1,5-1,9/1.000 populasi
perempuan dan laki-laki umumnya muncul pada dewasa muda, usia 20-30 tahun .
Apendisitis terjadi karena proses obstruksi di lumen apendiks, penyebab yang
tersering adalah akibat hiperplasia jaringan limfoid. Gejala dan tanda apendisitis
umumnya sakit pada perut kuadran kanan bawah disertai mual, muntah, dan tidak
nafsu makan. Operasi pada kasus apendisitis akut menduduki salah satu operasi
tersering yang dilakukan dalam kasus kegawatdaruratan abdomen (10% dari
semua kasus kegawatdaruratan abdomen).
Diagnosis apendiks akut biasanya ditegakkan dari anamnesa,
pemeriksaan fisik dan laboratorium. ketepatan diagnosis sangat penting. Skor
Alvarado adalah salah satu metode scoring untuk menegakkan diagnosis
apendiksitis akut. Skor Alvarado, pertama kali dijabarkan oleh Alfredo Alvarado
pada tahun 1988 adalah skor/penilaian klinis yang digunakan untuk skrining kasus
apendisitis akut pada fase awal dan dapat diterapkan secara mudah pada pasien
rawat jalan. Skor Alvarado merupakan sistem skoring berdasarkan simptom,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
2. PEMBAHASAN
Tabel Alvarado Scoring System
symptom score
Migratory right iliac fossa pain 1
Nausea / vomiting 1
Anorexia 1
SIGN
Tenderness in right fossa iliac 2
Rebound tenderness in right iliac fossa 1
Elevated temperature 1
LABORATORY FINDINGS
Leucocytosis 2
Shift to the left of neutropoils 1
TOTAL 10

score 5-6 : possible


score 7-8 : probable
score >9 : very probable

Skor Alvarado adalah 10 butir skoring untuk diagnosis apendisitis berdasarkan


simptom dan tanda klinis serta pemeriksaan laboratorium. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Douglas dan MacPherson, skor tersebut efektif dalam
mengklasifikasi penatalaksanaan pasien apendisitis, dimana pasien dengan skor
Alvarado kurang dari 4 tidak membutuhkan apendiktomi.

Penelitian yang dilakukan oleh Khan dan Rehman pada tahun 2003 membagi
sampel pasien menjadi tiga grup berdasarkan skor Alvarado; dimana pasien
dengan skor 7-10 dipersiapkan untuk apendiktomi cito, skor 5-6 dilakukan
observasi dan pemberian antibiotik, skor 1-4 diberikan pengobatan simptomatik
dan dipulangkan. Hasil yang didapat sebanyak 83,5%.
Phoprom dkk juga melakukan penelitian dengan membandingkan skor Alvarado
dengan skor Alvarado yang telah dimodifikasi yaitu menambahkan tanda lain
seperti batuk, rovsing sign dan ketegangan rectum. Tujuan dari penambahan
tersebut agar skore alfarado lebih sensitive untuk penegakan dignosa apendisitis
akut.

Diagnosis apendisitis akut tidak selalu mudah ditegakkan terutama bila gejala yang
ditimbulkan tidak khas, pada pasien anak-anak, orang tua dan wanita usia
produktif. Skor Alvarado dan modifikasinya dapat menjadi pedoman yang mudah
dan murah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut terutama di unit layanan
yang belum tersedia pemeriksaaan radiologi. Skor Alvarado juga dapat membantu
menentukan kapan waktu yang tepat untuk merujuk pasien.

Anda mungkin juga menyukai