Anda di halaman 1dari 30

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

EFUSI PLEURA

Disusun oleh
Grasia Angger Ayu Wilujeng (1810029030)
M. Yusuf Aditya P (13100152)

Pembimbing
dr. William, Sp. A

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2019

1
LEMBAR PERSETUJUAN

TUTORIAL KLINIK

EFUSI PLEURA

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Stase Anak

Oleh :

Grasia Angger Ayu Wilujeng (1810029030)


M. Yusuf Aditya P (13100152)

Pembimbing

dr. William S Tjeng, Sp.A

LAB / SMF ILMU KESEHATAN ANAK


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie
2019

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan Refleksi Kasus mengenai“Efusi Pleura” Tutorial Klinik
ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Kesehatan
Anak Rumah Sakit Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan refleksi kasus ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Samarinda.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
3. dr. Ahmad Wisnu Wardhana, M.Se., Sp. A, sebagai Kepala Laboratorium Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. William S Tjeng, Sp.A, selaku dosen pembimbing tutorial klinik.
5. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
6. Rekan sejawat dokter muda stase Ilmu Kesehatan Anak angkatan 2018/2019
yang telah bersedia memberikan saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
7. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam refleksi kasus ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan. Akhir kata,
semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Samarinda, Agustus 2019

3
Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... 1


LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... 2
KATA PENGANTAR ........................................................................................ 3
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 4
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 5
1.2 Tujuan ............................................................................................................ 5
BAB 2 LAPORAN KASUS……………………………………………………..7
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 15
2.1 Definisi ........................................................................................................... 15
2.2 Etiologi ............................................................................................................ 15
2.3 Patofisiologi .................................................................................................... 16
2.4 Manifestasi Klinis ........................................................................................... 20
2.5 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang .......................................................... 21
2.6 Tatalaksana ..................................................................................................... 26
BAB 4 PEMBAHASAN ………………………………………………………..30
BAB 5 PENUTUP ............................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 36

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rongga pleura adalah ruangan di antara pleura parietalis dan pleura viseralis.
Pada orang normal mengandung 7-14 ml cairan yang bekerja sebagai pelumas antara
kedua permukaan pleura. Efusi pleura adalah akumulasi abnormal cairan dalam
rongga pleura. Pada keadaan normal, sejumlah kecil (0,01 ml/kg/jam) cairan secara
konstan memasuki rongga pleura dari kapiler di pleura parietal. Cairan pleura berasal
dari kapiler (terutama pleura parietalis), limfatik, pembuluh darah intratoraks, ruangan
interstisial paru, dan rongga peritoneum. Cairan pleura direabsorbsi melalui saluran
limfatik pleura parietalis yang mempunyai kapasitas pengeluaran sedikitnya 0,2
ml/kg/jam.8
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya.
Sementara pada populasi umum secara internasional,diperkirakan tiap 1 juta orang,
3000 orang terdiagnosa efusi pleura. Di negara-negara barat, efusi pleura terutama
disebabkan oleh gagaljantungkongestif,sirosishati,keganasan, dan pneumonia bakteri,
sementara di negaranegara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim
diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis.9 Penyebab efusi, penyakit ganas menyumbang
41% dan tuberkulosis untuk 33% dari 100 kasus efusi pleura eksudatif, 2 pasien (2%)
memiliki koeksistensi tuberkulosis dan keganasan yang dianalisis dengan kelompok
ganas. Parapneumoni efusi ditemukan hanya 6% kasus, penyebab lain gagal jantung
kongestif 3%, komplikasi dari operasi by pass koroner 2%, rheumatoid atritis 2%,
erythematous lupus sistemik 1%, gagal ginjal kronis 1%, kolesistitis akut 1%, etiologi
tidak diketahui 8%.10 Diagnosis efusi pleura dapat ditegakkan melalui anamnesis serta
pemeriksaan fisik yang teliti, diagnosis yang pasti melalui pungsi percobaan, biopsi
dan analisa cairan pleura.10 Penatalaksanaan efusi pleura dapat dilakukan dengan cara
pengobatan kausal, thorakosintesis, Water Sealed Drainage (WSD), dan pleurodesis.23

1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya tutorial ini adalah untuk menambah wawasan bagi dokter
muda mengenai “Demam Tifoid”, serta sebagai salah satu syarat mengikuti ujian
stase Ilmu Kesehatan Anak.

5
BAB 2
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Identitas pasien
Nama : An. ANSNS
Usia : 11 Tahun 11 Bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 37 Kg
Tinggi Badan : 142 centimeter
Agama : Islam
Alamat : Jl. Gatot Subroto Samarinda

Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn. S
Usia : 42 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Gatot Subroto Samarinda
Pendidikan terakhir : SMA
Pernikahan ke : pertama

Nama Ibu : Ny. NS


Usia : 44 tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. Gatot Subroto Samarinda
Pendidikan terakhir : SMA
Pernikahan ke : pertama

MRS tanggal 22 Juli 2019 Pukul 14.30 WITA.

6
3.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 30 Juli 2019, di ruang Melati.
Alloanamnesa oleh pasien dan ibu kandung pasien.

3.2.1 Keluhan Utama


Sesak nafas
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan pasien rawat inap dengan diagnosa demam tyfoid. Pada hari
ke 4 di rawat di ruang melati, pasien mengeluhkan sesak nafas terutama saat pasien
berbaring. Sesak nafas dirasakan muncul tiba-tiba. Sebelum sesak nafas ibu pasien
mengatakan anaknya sempat batuk selama lebih kurang 3 hari setelah dirawat inap.
Ibu pasien mengatakan batuknya hilang timbul dan tidak terlalu mengganggu. Pasien
juga mengatakan selain sesak nafas juga mengeluhkan nyeri dada dan dada terasa
berat. Saaat masuk ke IGD pasien datang dengan keluhan demam selama 7 hari
namun saat di ruang perawatan pasien sudah tidak mengalami demam lagi. Pasien dan
orang tua pasien menyangkal adanya batuk lama atau kontak dengan penderita dalam
pengobatan paru.
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya. Riwayat MRS
sebelumnya tidak ada.

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada

3.2.5 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir : 3000 gram
Panjang badan lahir : lupa
Berat badan sekarang : 37 kg
Tinggi badan sekarang: 142 cm
Gigi keluar : OT lupa
Tersenyum : OT lupa
Miring : OT lupa
Tengkurap : OT lupa
Duduk : OT lupa
7
Merangkak : OT lupa
Berdiri : OT lupa
Berjalan : OT lupa
Berbicara : OT lupa

3.2.6 Makan dan Minum Anak


ASI : ASI ekslusif 6 bulan sampai usia 2 tahun
Susu sapi : Dari usia 2 tahun

3.2.7 Pemeriksaan Prenatal


Periksa di : Klinik bidan
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang sering diminum : Tidak ada

3.2.8 Riwayat Kelahiran


Lahir di : Rumah Sakit
Ditolong oleh : Dokter
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan

2.2.10 Keluarga Berencana


Keluarga Berencana : Tidak Ada

3.2.11 Jadwal Imunisasi


Imunisasi BCG, Polio, Campak, DPT, Hepatitis B lengkap
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster I Booster II

BCG 1 bulan ////// ////// ////// ////// //////


Polio 1 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -
Campak 9 bulan ////// ////// ////// ////// //////
DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan ////// - -
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 6 bulan - - -

8
3.3 Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 30 Juli 2019
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Berat Badan : 37 Kg
Panjang Badan : 142 cm
Tanda Vital : Tekanan Darah 100/80 mmHg
Nadi 110 x/menit
Pernafasan 30 x/menit
Temperatur axila 36,6o C
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam, tidak mudah di cabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor,
diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+), edema palpebra (-/-)
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-), mimisan (-),
bekuan darah (-)
Mulut : Mukosa bibir tampak kering, sianosis (-), perdarahan pada
gusi (-), faring hiperemis (-), stomatitis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-) nyeri tekan (-)

Thorax
Paru: Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris, retraksi
supra sternum (-), retraksi supraclavicula (-),
Palpasi : Pelebaran ICS (-), fremitus raba D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : suara napas vesikuler, Stridor (-), Ronki (-/-
), wheezing (-/-)
Jantung: Inspeksi :Ictus cordis tampak pada ICS 5 midclavicularis
sinistra
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS 5 midclavicularis
sinistra
Perkusi : Normal pada batas jantung
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler kesan normal,murmur (-
),gallop (-)
9
Abdomen
Inspeksi : flat, sikatriks (-) striae (-) hernia umbilikalis (-) scar (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan 4 kuadran abdomen (+), organomegali (-),
turgor kulit normal
Perkusi : Timpani, acites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal

Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-), rumple leed (+),
petekie (-)
Ekstremitas inferior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-), petekie (-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium 26 Juli 2019
Pemeriksaan hematologi dan kimia klinik pukul 13:34
Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dilakukan didapat
Leukosit 6,490/mm3 4.500 – 14.500/ mm3
Hemoglobin 9,8 g/dl 12,0 – 16,0 g/dl
Hematokrit 27,2 % 35,0 – 45.0%
Trombosit 69.000 / mm3 150.000 – 450.000/ mm3

b. Foto Thorax PA/Lateral


Kesimpulan: Efusi Pleura bilateral minimal

3.5 Diagnosis Kerja


Demam Tyfoid + Efusi Pleura bilateral minimal

 Penatalaksanaan

Observasi vital sign diruangan

Tatalaksana sebelumnya lanjut :

- Inj. Ceftriaxone 2x1gr

- Sucralfat 3x 10cc

10
- IVFD RL 1800cc/24jam

Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
27-Juli-2019 S: Sesak nafas (+) Nyeri dada A : Demam Tyfoid +
(Hari perawatan (+)
Efusi Pleura bilateral
ke 6) TD : 110/80 mmHg
N:120 x/menit, reguler,kuat minimal
angkat
P:
RR:31 x/Menit,
T:36,6 0C, - Inj. Ceftriaxone
K/L An (-/-) ik (-/-)
2x1gr
pembesaran KGB (-)
Tho Whz (-/-), rho (-/-), stridor - Sucralfat 3x 10cc
(-) S1 S2 tunggal reguler.
Abd BU (+) N, nyeri abdomen - IVFD RL
(+) 1800cc/24jam
Ext akral hangat, CRT < 2
detik, petekie (-), rumple leed
(+)

28-Juli-2019 S: Sesak nafas (+) Nyeri dada A : Demam Tyfoid + Efusi


(perawatan Hari (+) Pleura bilateral minimal
ke 7) TD : 110/60 mmHg P:
N:105 x/menit, reguler,kuat - Raber Pulmologi
angkat - Gentamysin2x60mg
RR:32 x/Menit, - Foto Thorax LLD
T:37,6 0C, - Observasi vital sign
K/L An (-/-) ik (-/-)
pembesaran KGB (-)
Tho Whz (-/-), rho (-/-), stridor
(-) S1 S2 tunggal reguler.
Abd BU (+) N, nyeri abdomen
(+)
Ext akral hangat, CRT < 2
detik, petekie (-), rumple leed
(-)

11
29-Juli-2019 S: sesak (-) nyeri dada (-) A : Demam typhoid efusi
(perawatan H ke TD : 100/60 mmHg pleura bilateral
8) N:110 x/menit, reguler,kuat P:
angkat - Raber Pulmologi
RR:30 x/Menit, - Gentamysin2x60mg
T:37 0C, - Foto Thorax LLD
K/L An (-/-) ik (-/-) - Observasi vital sign
pembesaran KGB (-)
Tho Whz (-/-), rho (-/-), stridor
(-) S1 S2 tunggal reguler.
Abd BU (+) N, nyeri abdomen
(+), hepatomegali (-)
Ext akral hangat, CRT < 2
detik, petekie (-).

Foto Thorax LLD

30-Juli-2019 S: (-) A : Demam typhoid + Efusi


(perawatan H ke TD : 110/80 mmHg Pleura bilateral minimal
9) N:98 x/menit, reguler,kuat P:
angkat Pasien boleh KRS
RR:24 x/Menit,
T:36,8 0C,
K/L An (-/-) ik (-/-)
pembesaran KGB (-)
Tho Whz (-/-), rho (-/-), stridor
(-) S1 S2 tunggal reguler.
Abd BU (+) N, nyeri abdomen
(+), hepatomegali (-)
Ext akral hangat, CRT < 2
detik, petekie (-).

12
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Rongga pleura adalah ruangan di antara pleura parietalis dan pleura viseralis.
Pada orang normal mengandung 7-14 ml cairan yang bekerja sebagai pelumas antara
kedua permukaan pleura. Efusi pleura adalah akumulasi abnormal cairan dalam
rongga pleura. Pada keadaan normal, sejumlah kecil (0,01 ml/kg/jam) cairan secara
konstan memasuki rongga pleura dari kapiler di pleura parietal. Cairan pleura berasal
dari kapiler (terutama pleura parietalis), limfatik, pembuluh darah intratoraks, ruangan
interstisial paru, dan rongga peritoneum. Cairan pleura direabsorbsi melalui saluran
limfatik pleura parietalis yang mempunyai kapasitas pengeluaran sedikitnya 0,2
ml/kg/jam.8

3.2 Anatomi dan Fisiologi Pleura


Kata pleura berasal dari bahasa latin pleuron yang berarti sisi. Pleura
merupakan selapis membran jaringan fibrosa yang halus, basah dan semitransparan
serta terdiri dari selapis epitel skuamosa yang disebut mesotelium. Pleura terdiri dari
pleura viseral dan pleura parietal serta ruang kosong di antara keduanya yang disebut
rongga pleura. Rongga pleura dalam keadaan normal mengandung cairan dengan
kadar protein yang rendah (<1,5 g/dl) yang dibentuk oleh pleura viseral dan parietal.
Cairan pleura diserap oleh pleura parietal melalui pembuluh limfe dan pleura viseral
melalui pembuluh darah mikro. Produksinya sekitar 0,01 ml/kgBB/jam yang hampir
sama dengan kecepatan penyerapan dan dalam rongga pleura. Volume cairan pleura
lebih kurang 1020 ml. Mekanisme ini mengikuti Hukum Starling yaitu jumlah
produksi dan pengeluaran cairan pleura dalam kondisi yang seimbang sehingga
volume cairan pleura relatif tetap. Cairan pleura berfungsi sebagai pelicin agar paru
dapat bergerak leluasa saat bernapas. Fungsi utama pleura dan rongga pleura adalah
memfasilitasi pengembangan dan pengempisan paru di dalam dada. Tekanan
subatmosfer intrapleura dalam keadaan normal menjaga pleura viseral dan pleura
parietal tetap berhubungan secara mekanik dan mempertahankan posisi
mediastinum.22

13
3.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya.
Sementara pada populasi umum secara internasional,diperkirakan tiap 1 juta orang,
3000 orang terdiagnosa efusi pleura. Di negara-negara barat, efusi pleura terutama
disebabkan oleh gagaljantungkongestif,sirosishati,keganasan, dan pneumonia bakteri,
sementara di negaranegara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim
diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis.9 Penyebab efusi, penyakit ganas menyumbang
41% dan tuberkulosis untuk 33% dari 100 kasus efusi pleura eksudatif, 2 pasien (2%)
memiliki koeksistensi tuberkulosis dan keganasan yang dianalisis dengan kelompok
ganas. Parapneumoni efusi ditemukan hanya 6% kasus, penyebab lain gagal jantung
kongestif 3%, komplikasi dari operasi by pass koroner 2%, rheumatoid atritis 2%,
erythematous lupus sistemik 1%, gagal ginjal kronis 1%, kolesistitis akut 1%, etiologi
tidak diketahui 8%.10
Distribusi penyakit penyebab efusi pleura tergantung pada studi populasi.
Penelitian yang pernah dilakukan di rumah sakit Persahabatan, dari 229 kasus efusi
pleura pada bulan Juli 1994-Juni 1997, keganasan merupakan penyebab utama diikuti
oleh tuberkulosis, empiema toraks dan 5 kelainan ekstra pulmoner. Penyakit jantung
kongestif dan sirosis hepatis merupakan penyebab tersering efusi transudatif
sedangkan keganasan dan tuberkulosis (TB) merupakan penyebab tersering efusi
eksudatif.3,5

14
3.4 Etiologi
Etiologi dari efusi pleura diantaranya adalah:11
1. Efusi pleura transudat
a. Gagal jantung
b. Sirosis hepatis
c. Embolisasi paru
d. Sindroma nefrotik
e. Dialisis peritoneal
f. Ostruksi vena cava superior
2. Efusi pleura eksudat
a. Pneumonia bakterialis
b. TB
c. Karsinoma
d. Infark paru
e. Pleuritis
f. SLE (Systematic Lupus Eritematous)

3.5 Klasifikasi
Dua klasifikasi utama efusi pleura adalah:
a. Eksudat
Efusi pleura eksudatif terjadi akibat abnormalitas permeabilitas kapiler,
obstruksi aliran limfatik, infeksi, atau pendarahan.12Efusi digolongkan sebagai
eksudat jika memenuhi satu atau lebih kriteria Light, seperti rasio protein cairan
pleura terhadap protein serum >0,5; rasio lactat dehidrogenase (LDH) cairan
pleura terhadap LDH serum >0,6; dan level LDH cairan pleura lebih besar dari
2/3 batas atas level normal LDH serum. Sensitivitas kriteria Light dalam
mengidentifikasi eksudatif hampir 100%.13Cairan pleura eksudat apabila tes
rivalta positif, berat jenis >1,016, kadar protein >3 gr/dl, LDH > 200 IU, leukosit
> 1000/mm3.12
b. Transudat
Efusi pleura transudatif terjadi akibat peningkatan tekanan hidrostatik atau
penurunan tekanan onkotik dalam rongga pleura.12 Efusi pleura transudatif
berkaitan dengan gagal ventrikel kiri sering bilateral; jika unilateral efusi sisi
kanan lebih sering daripada efusi sisi kiri. Torakosintesis tidak harus dilakukan
15
untuk memastikan sifat transudasi dari efusi pleura jika terdapat gagal jantung
kongestif; namun jika efusi tidak sebanding dengan ukurannya, jika penderita
demam atau jika ada nyeri dada pleuritik, torakosintesis sangat dianjurkan.11

3.6 Patogenesis
Efusi pleura sering kali mencerminkan penyakit di tempat lain yang menyebar
ke rongga pleura dengan proses infeksi, inflamasi, metastasis atau edema. Cairan
masuk atau keluar dari rongga pleura terjadi karena perbedaan tekanan yang timbul
akibat gerakan pernapasan dan aliran darah. Namun, banyaknya proses seluler yang
aktif menyebabkan cairan masuk ke rongga pleura secara berlebihan. Penyebabnya
dapat secara genetik, lingkungan daninfeksi yang menyebar ke pleura. Cairan pleura
memiliki konsentrasi protein yang lebih rendah dari paru-paru dan kelenjar getah
bening perifer. Cairan pleura dapat menumpuk karena hal-hal berikut:9,14,15
a. Peningkatan tekanan hidrostatik di sirkulasi mikrovaskular. Studi mengatakan
bahwa peningkatan tekanan pada pembuluh kapiler adalah pemicu penting
dalam terjadinya efusi pleura pada penderitagagaljantung.
b. Penurunan tekanan onkotik dalam sirkulasi mikrovaskular karena
hipoalbuminemia yang meningkatkan penumpukan cairan dalam rongga
pleura.
c. Peningkatan tekanan negatif pada rongga pleura juga membuat meningkatnya
akumulasi cairan pada rongga pleura. Hal ini dapat terjadi pada ateletaksis
d. Peningkatan permeabilitas kapiler akibat mediator inflamasi. Hal tersebut
mengakibatkan lebih banyak protein dan cairan yang masuk dalam rongga
pleura, contohnya pada pneumonia.
e. Gangguan drainase limfatik dari permukaan pleura karena penyumbatan
olehtumordanfibrosis.
Pada orang normal, cairan di rongga pleura sebanyak 10-20 cc. Cairan di
dalam rongga pleura jumlahnya tetap karena ada keseimbangan antara produksi oleh
pleura viseralis dan absorpsi oleh pleura parietalis. Keadaan ini dapat dipertahankan
karena adanya keseimbangan tekanan hidrostatik pleura parietalis sebesar 9 cmH20
dan tekanan koloid osmotik pleura viseralis sebesar 10 cm H20. Namun pada keadaan
tertentu, sejumlah cairan abnormal dapat terakumulasi di rongga pleura. Cairan pleura
tersebut terakumulasi ketika pembentukan cairan pleura lebih daripada absorpsinya.

16
Fungsi dari cairan pleura sendiri adalah untuk melicinkan dan mengurangi gesekkan
antara pleura parietal dan viseral selama gerakan nafas terjadi (Halim, 2009).
Secara garis besar, akumulasi cairan pleura disebabkan oleh dua hal (Halim,
2009)::
1. Pembentukan cairan pleura yang berlebih. Hal ini dapat terjadi karena
peningkatan permeabilitas kapiler (peradangan dan neoplasma), tekanan
hidrostatik yang meningkat (gagal jantung kiri), tekanan negatif
intrapleura (atelaktasis)

2. Penurunan kemampuan absorpsi sistem limfatik. Hal ini disebabkan oleh


penurunan tekanan osmotik koloid darah (hipoalbuminemi)

Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai


filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan
tekanan osmotik plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian
melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Proses penumpukan
cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan. Bila proses
radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus, sehingga terjadi empiema.
Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura maka akan
menyebabkan hemothoraks (Halim, 2009).
Efusi cairan dapat berbetuk transudat, terjadinya karena penyakit lain
bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindroma
nefrotik, hipoalbuminemia. Efusi eksudat terjadi bila ada proses radang yang
menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat
sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi
pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudatifa
yang paling sering adalah karena M. Tuberculosa yang dikenal sebagai
pleuritis TB (Halim, 2009).

17
18
Gambar 3.1 Mekanisme terjadinya efusi pleura (Halim, 2009)

Gambar 3.2 Patogenesis efusi pleura (Ferrer, 2012)

19
3.7 Diagnosis
Diagnosis efusi pleura dapat ditegakkan melalui anamnesis serta pemeriksaan
fisik yang teliti, diagnosis yang pasti melalui pungsi percobaan, biopsi dan analisa
cairan pleura.10
Pada anamnesis, pasien dengan efusi pleura biasanya memiliki keluhan berupa
sesak, batuk, nyeri dada yang bersifat tajam. Gejala yang paling sering timbul adalah
sesak, namun pada efusi ringan sesak bisa tidak terjadi. Mekanisme terjadinya batuk
masih belum jelas, diduga karena terjadinya stimulasi reseptor batuk di saluran napas.
Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri
tumpul. Riwayat gagal jantung, gagal ginjal, dan penyakit hati dapat mengarahkan
kepada efusi pleura yang bersifat transudat. Sedangkan riwayat kanker
dapatmengarah pada efusi akibat keganasan. Pembengkakan pada ekstermitas, atau
deep vein thrombosis menunjukkan efusi yang berhubungandenganembolismeparu.
Riwayat infeksi seperti pneumonia menunjukkan efusi parapneumonik.16
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan fremitus taktil yang menurun
terutama pada daerah basal. Perkusi redup, kemudian suara nafas vesikular yang
menurun atau tidak ada sama sekali pada paru yang terdapat efusi. Suara pleural
friction rub mungkin juga terdengarselamaakhirinspirasi.Kelainan pada pemeriksaan
fisik timbul bila efusi pleura yang mencapai volume 300 ml.15,17
Pemeriksaan radiografi posteroanterior dan lateral menjadi standar pada
diagnosis radiologi paru. Pada posisi berdiri atau duduk tegak, cairan bebas pada
rongga pleura akan memenuhi lateral kubah diafragma yang menyebabkan gambaran
sudut kostofrenikus yang tumpul. Foto toraks dapat mendeteksi efusi pleura bila
terdapat minimal 50 ml cairan yang terlihat pada posisi lateral dan 200 ml cairan
akan terlihat pada posisi posteroanterior (PA). Gambaran perselubungan homogen
yang disertai dengan pendorongan trakea dan mediastinum ke arah kontralateral
merupakan gambaran khas efusi pleura masif. Ultrasonografi (USG) toraks lebih
sensitif daripada foto toraks karena mampu mendeteksi cairan dengan volume yang
lebih sedikit (5-50 ml). Pada kasus dengan jumlah cairan yang sedikit USG toraks
sangat membantu untuk memastikan cairan dan sekaligus sebagai penanda lokasi.
Apabila tidak terlihat pada foto toraks dapat dideteksi dengan CT-scan toraks.21
Torakosintesis dengan analisis cairan dapat mempersempit diagnosis
diferensial dari efusi. Setelah cairan disedot, langkah pertama dalam analisa cairan
20
pleura adalah pemeriksaan laboratorium klinik untuk membedakan transudat atau
eksudat dengan kriteria Light yang memiliki sensitivitas sebesar 90,1-100%dengan
spesifisitas 83,3-97,2%. Kemudian dapat dilanjutkan pada pemeriksaan kultur
mikrobiologi. Tetapi pada stadium lanjut yang perlu dilakukan adalah biopsi dan
aspirasi pleura untuk pemeriksaan patologi anatomi. Diagnosa efusi pleura ganas
adalah dengan penemuan sel ganas pada cairan pleura atau jaringan pleura18,19,20

3.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan efusi pleura dapat dilakukan dengan cara pengobatan kausal,
thorakosintesis, Water Sealed Drainage (WSD), dan pleurodesis.23
Torakosintesis dilakukan pada sela iga ke enam atau tujuh pada garis
midaksilaris atau aksilaris posterior. Chest tube (kateter) dimasukkan dengan teknik
tertentu ke dalam rongga pleura yang dihubungkan dengan sistem water sealed
drainage (WSD) dan negative continous suction dengan tekanan 15-20 mmH20.
Pengeluaran cairan pleura dianjurkan tidak sekaligus (maksimal 1,5 liter) karena
terjadi peningkatan permeabiliti kapiler sehingga menyebabkan edema paru
reekspansi. Komplikasi lain adalah cedera paru, hematothoraks, pneumothoraks,
emfisema subkutis, refleks vasovagal, hipotensi, gagal jantung dan infeksi sekunder.23

Pleurodesis berasal dari kata Yunani yaitu pleura artinya selaput yang meliputi
dinding luar paru dan dinding dalam toraks dan desis artinya melekatkan. Pleurodesis
bertujuan untuk melekatkan pleura viseral dan pleura parietal sehingga mencegah
akumulasi baik udara pada pneumotoraks ataupun cairan pada efusi pleura di dalam
rongga pleura. Pleurodesis telah direkomendasikan oleh ATS dan BTS sebagai terapi
paliatif pada pasien efusi pleura ganas yang berulang, memiliki gejala sesak napas

21
dan prognosis lebih dari 1 bulan. Pleurodesis dilakukan bila paru telah mengembang
setelah dilakukan torakosintesis terapeutik dan keluhan berkurang, tidak terdapat
obstruksi bronkus dantrapped lung. Bronkoskopi sebaiknya dikerjakan sebelum
pleurodesis untuk mengetahui obstruksi endobronkial.24
Kriteria penilaian keberhasilan pleurodesis:25
1. Keberhasilan lengkap bila gejala membaik dalam jangka waktu yang lama dan
tidak ada reakumulasi cairan pada pemeriksaan foto toraks sampai pasien
meninggal dunia.
2. Keberhasilan sebagian bila gejala sesak timbul karena efusi pleura dan
reakumulasi cairan pleura ( < 50% pada pemeriksaan foto toraks)
Mekanisme pleurodesis didasarkan pada bahan kimiawi yang dimasukan ke
dalam ronggapleura akan mencederai lapisan sel mesotel sehingga menimbulkan
inflamasi. Penelitian Miller bertujuan untuk mengetahui kemokin yang terlibat dalam
pleuritis yang diinduksi oleh tetrasiklin. Penelitian menggunakan kelinci percobaan
yang disuntikan tetrasiklin ke dalam rongga pleura. Hasil penelitian menunjukan
tetrasiklin menyebabkan influks neutrofil ke dalam rongga pleura yang diikuti dengan
peningkatan jumlah makrofag dalam 48 jam pertama. Respons sel inflamasi berperan
penting dalam progresivitas fibrosis pleura. Kadar kemokin interleukin-8 (IL-8) yang
memiliki aktivitas kemotaksis neutrofil meningkat secara bermakna di cairan pleura.
Penurunan kadar IL-8 di rongga pleura kelinci percobaan pada hari ketiga
berhubungan dengan berkurangnya influks neutrofil sehingga diduga IL-8 berperan
pada proses pengaturan sel inflamasi lokal pada pleuritis.26

Pemilihan bahan pleurodesis:


1. Tetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin
Tetrasiklin merupakan bahan pleurodesis yang sering digunakan karena
pemberian yang relatif mudah, aman dan harganya murah. Dosis optimal pemberian
secara intrapleura adalah 20 mg/kgBB. Efek samping pemberian tetrasiklin seperti
demam (10%) dan nyeri dada pleuritik (30%).19 Berbagai penelitian
merekomendasikan 500 mg doksisiklin yang dicampur dengan 50-100 ml larutan
salin. Tetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin intrapleura akan menghasilkan respons
inflamasi yang menghasilkan cedera dan destruksi sel mesotel pleura, penebalan
jaringan ikat subpleura dan perlekatanperlekatan pleura parietal dan viseral.
Mekanisme lain yang sampai saat ini masih diteliti adalah doksisiklin menginhibisi
22
matrix degrading metalloproteinase (MMP) di dalam cairan pleura sehingga tidak
terjadi deposisi kolagen pada pleura yang mengalami inflamasi dan trauma sel akan
menghasilkan per le katan kedua pleura. Keberhasilan pleurodesis bervariasi berkisar
antara 60-86%. Nyeri merupakan komplikasi pada pleurodesis dengan doksisiklin
yang paling sering dikeluhkan sehingga direkomendasikan untuk menggunakan
analgesik golongan narkotik dan sedasi.27

2. Povidon iodin
Povidon iodin adalah suatu iodofor yaitu kompleks iodium dengan polivinil
pirolidon. Obat ini digunakan sebagai antiseptik berspektrum luas yang digunakan
topikal dalam sediaan salep, larutan untuk luka, pencuci tangan dan obat kumur.
Povidon iodin juga efektif untuk pleurodesis tanpa efek samping yang serius. Povidon
iodin pertama kali dilaporkan sebagai bahan pleurodesis tahun 1991. Mekanisme
kerja povidon iodin sebagai bahan pleurodesis diduga berhubungan dengan pH cairan
yang rendah (pH 2,97) atau sifat sitotoksik dan antioksidan povidon iodin yang dapat
menginduksi respons inflamasi. Penelitian Baru di RS Persahabatan melakukan
pleurodesis pada 25 pasien efusi pleura ganas dengan povidon iodin mendapatkan
angka keberhasilan 68% dengan efek samping nyeri dada (24%), sesak napas (4%),
demam (12%) dan mual muntah (4%).28

3. Bleomisin
Bleomisin memiliki mekanisme yang sama dengan tetrasiklin walaupun 45%
pemberian bleomisin akan diserap secara sistemik. Tingkat keberhasilan pleurodesis
dengan bleomisin berkisar antara 58-85%. Efek samping pemberian bleomisin pada
umumnya demam, nyeri dada dan batuk. Dosis yang direkomendasikan 60 unit yang
dicampur dalam 50-100 ml larutan salin. Kendala pleurodesis dengan bleomisin ialah
harganya yang relatif mahal dan harus dikerjakan oleh petugas yang terlatih.
Penelitian yang membandingkan pleurodesis pada 36 pasien EPG dengan bleomisin
melalui instilasi intrapleura dengan menggunakan kateter toraks berukuran 10-14F
dengan pleurodesis melalui torakoskopi yang menggunakan talkum tabur
(talcpoudrage), pada hasil penelitian didapatkan angka rekurensi EPG pada kelompok
bleomisin 41% dan kelompok talkum tabur 13%.29

4. Talkum tabur (talc poudrage).


23
Talkum merupakan silikat magnesium hidrat (Mg3Si4O10(OH)2) dan telah
semakin sering digunakan oleh dokter ahli paru dan dokter bedah untuk pleurodesis
karena efektivitasnya, ketersediaan dan harga yang murah. Ukuran partikel talkum
dengan diameter < 5 µm berhubungan dengan beratnya respons inflamasi lokal dan
sistemik dan keamanannya. Komposisi dan ukuran talkum bervariasi di berbagai
negara. Talkum yang telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di
Amerika Serikat tersedia dalam 2 sediaan yaitu bubuk talkum steril (dikemas dalam
sediaan dosis tunggal 5 gram didalam 100 ml botol gelas) dan talkum aerosol (dosis
tunggal 4 gram dengan 2 tabung pengantar). Di Eropa talkum tersedia dalam 4
sediaan yaitu steritalc F2 (2 gram bubuk talkum steril dalam vial gelas), steritalc F4 (4
gram bubuk talkum steril dalam vial gelas), steritalc spray (3 gram dalam semprotan)
dan steritalc PF4 spray (4 gram dalam pompa tangan-udara).24 Talkum tabur telah
digunakan secara luas untuk pleurodesis pada EPG yang sering dikerjakan dengan
pleuroskopi medis atau video assisted thoracoscopy surgery (VATS). Seluruh cairan
pleura sebaiknya dievakuasi sebelum talkum disemprotkan. Evakuasi cairan
dikerjakan dengan pleuroskopi. Paru yang dikolapskan dengan sempurna merupakan
proses yang penting untuk memberikan kesempatan kepada operator untuk inspeksi
rongga pleura, biopsi pleura dan mendistribusikan talkum dengan luas. Dosis optimal
talkum tabur belum pernah diteliti tapi biasanya dosis yang direkomendasikan 5 gram
(8-12 gram) untuk pleurodesis pada efusi pleura ganas. Inspeksi rongga pleura perlu
dikerjakan setelah talkum didistribusikan. Selang water sealed drainage (WSD)
ukuran 24-32F harus dipasang setelah plurodesis. Mesin continous suction harus
dipasang untuk mengeluarkan cairan pleura setiap hari sampai jumlahnya kurang dari
100 ml.30

5. Talkum cair (talc slurry)


Talkum cair juga merupakan bahan pleurodesis yang efektif untuk efusi
pleura ganas. Kerugian penggunaan talkum cair yang sering ialah distribusi yang
tidak merata, akumulasi talkum cair tergantung kepada rongga pleura dan mungkin
menimbulkan pleurodesis yang tidak lengkap. Talkum cair dibuat dengan
mencampurkan talkum dengan larutan normal salin. Jumlah larutan normal salin yang
digunakan bervariasi yang berkisar antara 10 sampai 250 ml. Teknik pleurodesis
untuk talkum cair sama seperti bahan pleurodesis yang larut di dalam cairan.
Rekomendasi ATS untuk penggunaan talkum cair adalah menggunakan dosis kecil
24
anestesi golongan narkotik yang diberikan intravena dan obat antiemetik dan
antiansietas sebelum prosedur. Selang WSD ukuran 18-24F telah digunakan untuk
pleurodesis dengan talkum cair. Dosis talkum cair 4-5 gram di dalam 50 ml larutan
normal salin yang diinstilasikan lewat selang water WSD setelah foto toraks
menunjukan tidak ada cairan pleura atau jumlah yang minimal dan paru telah
mengembang sempurna. Selang WSD sebaiknya diklem selama 1 jam setelah instilasi
talkum cair. Gerakan merotasi pasien masih direkomendasikan sampai tersedia data
penelitian yang menunjukan manfaat rotasi pasien pasca pleurodesis. Klem selang
WSD dilepaskan lalu dipasang mesin continous suction pada tekanan –20 cm H2O
dan selang WSD sebaiknya dilepas bila produksi cairan kurang dari 100 ml dalam 24
jam. Pleurodesis dengan talkum cair sebaiknya diulang bila produksi cairan pleura
lebih dari 250 ml dalam 24 jam.1 Tingkat keberhasilan pleurodesis lengkap dengan
bahan pleurodesis (obat bukan golongan antineoplasik) sekitar 75% dibandingkan
dengan obat golongan antineoplastik hanya 44%. Talkum memiliki tingkat
keberhasilan yang tinggi dengan pleurodesis lengkap mencapai 93%. Efikasi talkum
untuk mengontrol efusi pleura ganas lebih superior dibandingkan dengan bleomisin
dan tetrasiklin. Pasien yang akan menjalani pleurodesis disarankan untuk mengurangi
atau menghentikan dosis kortikosteroid karena kortikosteroid dapat mengurangi
efikasi bahan pleurodesis.31

25
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1. Pasien merupakan pasien rawat inap dengan diagnosa demam tyfoid.
Pada hari ke 4 di rawat di ruang melati, pasien mengeluhkan sesak nafas terutama saat
pasien berbaring. Sesak nafas dirasakan muncul tiba-tiba. Sebelum sesak nafas ibu
pasien mengatakan anaknya sempat batuk selama lebih kurang 3 hari setelah dirawat
inap. Ibu pasien mengatakan batuknya hilang timbul dan tidak terlalu mengganggu.
Pasien juga mengatakan selain sesak nafas juga mengeluhkan nyeri dada bersifat
tajam dan dada terasa berat. Saaat masuk ke IGD pasien datang dengan keluhan
demam selama 7 hari namun saat di ruang perawatan pasien sudah tidak mengalami
demam lagi. Pasien dan orang tua pasien menyangkal adanya batuk lama atau kontak
dengan penderita dalam pengobatan paru.

Teori Kasus
Pasien mengeluhkan
- Pada anamnesis, pasien dengan efusi
Sesak nafas
pleura biasanya memiliki keluhan
Nyeri dada
berupa sesak, batuk, nyeri dada yang
Batuk
bersifat tajam.

4.2 Pemeriksaan Fisik


Teori Kasus
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan fremitus taktil Pasien
yang menurun terutama pada daerah basal. Perkusi Keadaan Umum : Sakit Sedang
redup, kemudian suara nafas vesikular yang menurun Kesadaran : Composmentis
atau tidak ada sama sekali pada paru yang terdapat efusi. BB : 37 Kg

26
Suara pleural friction rub mungkin juga Tanda Vital
terdengarselamaakhirinspirasi.Kelainan pada TD : 100/60 mmHg :
pemeriksaan fisik timbul bila efusi pleura yang Nadi 101 x/menit
mencapai volume 300 ml Pernafasan 30 x/menit
Temp : 36,6o C
SpO2 98%

Thorax:
 Inspeksi : Pergerakan
dinding dada simetris D =
S, retraksi supra sternum (-
), retraksi intercosta (-)
 Palpasi : Pelebaran ICS (-),
fremitus raba D = S
 Perkusi : Lapang paru sonor
 Auskultasi : suara napas
vesikuler , Stridor (-),
Ronki (-/-), wheezing (-/-)

4.3 Pemeriksaan Penunjang


Teori Kasus
Masukan Foto Thorax
Pemeriksaan radiografi posteroanterior dan
lateral menjadi standar pada diagnosis radiologi
paru. Foto toraks dapat mendeteksi efusi pleura
bila terdapat minimal 50 ml cairan yang terlihat
pada posisi lateral dan 200 ml cairan akan
terlihat pada posisi posteroanterior (PA).
Gambaran perselubungan homogen yang disertai
dengan pendorongan trakea dan mediastinum ke
arah kontralateral merupakan gambaran khas
efusi pleura masif. Ultrasonografi (USG) toraks
lebih sensitif daripada foto toraks karena mampu
mendeteksi cairan dengan volume yang lebih

27
sedikit (5-50 ml). Pada kasus dengan jumlah
cairan yang sedikit USG toraks sangat
membantu untuk memastikan cairan dan
sekaligus sebagai penanda lokasi. Apabila tidak
terlihat pada foto toraks dapat dideteksi dengan
CT-scan toraks.

4.5 Penatalaksanaan
Teori Kasus
Penatalaksanaan efusi pleura dapat Pasien
dilakukan dengan cara pengobatan kausal, - Inj. Ceftriaxone 2x1gr
thorakosintesis, Water Sealed Drainage - Sucralfat 3x 10cc
(WSD), dan pleurodesis. Jika efusi pleura
- Gentamysin2x60mg
minimal maka dapat di reabsorbsi spontan

28
BAB 5
KESIMPULAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien anak permpuan usia 11 tahun 11


bulan yang didiagnosis dengan Demam Typhoid berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang didapatkan penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan yang telah sesuai dengan literatur yang mendukung pada kasus
tersebut.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Nelwan, R. (2012). Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Cermin Dunia


Kedokteran , 39 (4), 247-250.
2. Soedarmo, S. S., Garna, H., Hadinegoro, S. R., & Satari, H. I. (2015). Buku Ajar
Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
3. RISKESDAS. (2009). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Provinsi Kalimantan Timur. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
4. Karim, Z., Arsin, A. A., & Ansar, J. (2015). Hubungan personal hygiene dengan
kejadian demam tifoid pada anak di puskesmas galut. Departemen Epidemiologi
Universitas Hasanuddin .
5. Seran, E., Palandeng, H., & Kallo, V. (Mei 2015). Hubungan personal hygienen
dengan kejadian demam tifoid di wilayah kerja puskesmas tumaratas. Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi .
6. Nurlaila, S., Trisnawati, E., & Selviana. (2013). Faktor-faktor yang
berhubungan dengan demam thypoid pada pasien yang dirawat di RSU Dr
Soedarso Pontianak. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Ponianak .
7. IDAI. (2016). Rekomendasi IDAI mengenai Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Demam Tifoid. REKOMENDASI No.018/Rek/PP IDAI/VII/2016 .
8. Parry, M., Hien, T., Dougan, G., White, N., & Farrar, J. (2013). A Review of
Thypoid Fever. New England Journal of Medicine , 1770-1782
9. WHO. (2010). Background document: The diagnosis, treatment and prevention
of thypoid fever. World Health Organization , 17-18.
10. KEMENKES. (2008). Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia NOMOR 364/MENKES/SK/V/2008 .
11. Pudjiadi, A. H. (2009). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: IDAI

30

Anda mungkin juga menyukai