Anda di halaman 1dari 11

Edelweiss Saksi Akadku

Oleh : Assyarohmei

Udara dingin menggelitik liar sesukanya, jaket parasut berlapis polar pun
mampu ditembusnya. Tubuhku bergelut dengan kelembaban udara menjelang waktu
tinggi ini. Lilitan syal sedikit longgar dileher menjadi penghalang bagi pawana yang
berusaha mencuri celah menerobos bentengku. Sarung tangan dengan bolong-bolong
kecilnya adalah pertahanan agar jariku tak begitu keriput termakan suhu. Bersilahlah
aku dibatuan besar sisa aktivitas vulkanik beberapa tahun silam. Dikelilingi bunga-
bunga abadi kebanggaan pendaki yang berserak di diatas ketinggian 2597 Mdpl. Dan
mulailah aku tertawa senyum sendiri tidak percaya akan begini jadinya.

------

Kemarin dia memutuskan untuk pergi dari tugas-tugas kaku yang memasung
otaknya. Mencari titik terang untuk kejenuhan yang hampir merajai. Tetiba
mengajakku “refresing” katanya. Ntah karena bertepatan dengan hari lahirku yang
selang beberapa tanggal bahwa usianya pun akan bertambah atau hanya sekedar jalan
saja. Dia tak pernah mengajakku seserius ini. Mulanya aku asing, aku pikir mungkin
karena tak ada teman lain untuk diajak. Tapi dia benar-benar sungguh, menyediakan
segala perlengkapan. Tak apa, mungkin ini rezeki, kesempatan tak datang dua kali.

Pekan itu, tiket bus jurusan Medan-Padang tergeletak diatas meja bersama dua
carrier berukuran 75 L berwarna abu-abu dan 55 L warna merah akan siap dibawa
tempur.

“Ra, cepat. Waktu sudah hampir petang dan kau masih sibuk dalam bilik
sendiri” katanya dengan nada sedikit keras. Memang dia selalu keras apalagi padaku,
gadis yang terperangkap ditangannya.

“iya bang” kataku singkat.


Sesiapnya berkemas, pamitlah kami pada orangtua memohon doa restu untuk
perjalanan sekitar 728 km jauhnya. Pergilah segera ke loket bus Antar Lintas
Sumatera dan memulai perjalan terjauhku bersama dia hanya berdua untuk pertama
kalinya. Kami duduk dikursi nomor 15-16 berdampingan, disilahkannya aku masuk
lebih dulu dekat dengan jendela bus, dia memang paham bahwa itu adalah
kesukaanku. Dan dia mulai bercerita tentang pekerjaannya, kebosanannya, hingga
tentang hidupnya. Aku yang mulanya berpikir akan basi jalan berdua malahan tertawa
sendiri dalam hati. Dia tidak sekejam yang kubayangkan.

-------

Hari sudah gelap, kami telah melewati beberapa kabupaten dan menuju pintu
keluar Sumatera Utara. Diperjalanan malam yang sangat dingin sedang aku lupa
mengambil jaket di tas yang telah dimuat dalam bagasi, tersiksalah aku dikerumuni
pawana malam liar. Dilihatnya aku seperti menggigil melipat tangan diatas dada.

“itulahkan, tak pernah safety . rasakanlah dingin malam ini” gumamnya dengan
nada nyeleneh. Dia selalu seperti itu dan aku hanya bisa meratapi kesalahanku
seorang, hingga aku tertidur hanya beberapa jam saja dipotong waktu subuh.

“Bangun.Sholat dulu” digoyang-goyangkannya bahuku, kali ini dengan perlakuan


lembut, dilihatnya aku membuka mata dan mulai sadar kemudian dia turun lebih dulu
meninggalkanku.

Aku tersadar ada jaketnya menyelimutiku, pantasan aku tertidur pulas. Dia
baik juga, aku sulit sekali menerkanya walau sudah 18 tahun tinggal bersama. Dia
sedikit banyak aneh memperlakukanku, ntah apa latar belakangnya.

Selesainya kami melaksanakan sholat subuh dan melanjutkan perjalanan, tak


terasa bus sudah berada di tanah kelahiran pahlawan Tuanku Imam Bonjol, keluar
dari tanah kelahiranku dan memasuki tanah orang awak. Sepanjang subuh hingga
waktu hampir tinggi, kami seperti orang yang tak saling kenal. Diam tanpa kata,
sibuk dengan khayalan masing-masing. Aku malas bertanya, aku malas memancing
emosiku, karena setiap perbincangan antara kami selalu ada konflik debat atau apalah
yang membuat tensiku naik sesaat. Selama diperjalanan aku lebih memilih
memandangi perumahan, sawah, dan lainnya yang mengarah berbanding terbalik.
Hingga dia berucap,

“Kita ada di Pasaman, tepatnya di bonjol daerah yang dilintasi garis khatulistiwa”

Dia bercerita banyak tentang bonjol, daerah Sumatera dan tempat yang akan
kami singgahi serta menginap malam nanti. Dia bercerita tentang pengalamannya
yang sudah beberapa kali mengunjungi provinsi ini, bercerita tentang Gunung
Talamau yang sudah kami lewati, Gunung Marapi, Singgalang, dan danau serta pulau
lainnya yang membuatku berhasrat untuk menjajaki negeri ini, membuatku benar-
benar penasaran akan keindahan-keindahan yang dikarangnya atau nyata adanya.
Kami menjadi penumpang paling aktif saat itu ketika yang lainnya memilih tidur atau
diam di tempat masing-masing.

Sampainya kami di Bukittinggi, singgahlah di loket. Dia menemui seseorang


temannya meninggalkanku sendiri duduk dikursi tunggu tanpa ada mengenalkanku
sedikitpun atau dia sudah lupa membawaku. Aku diam mengamati apa yang harus
diamati sembari menunggu serunya dia bercerita hingga berteriaklah supir bus bahwa
perjalanan menuju padang akan dilanjutkan. Bergegaslah aku naik sendiri dan
kuputuskan untuk tidur beberapa saat. Untuk pertama kalinya ke tempat ini, sudah
kubayangkan akan begini begitu bertemu dengan pendaki keren yang sudah
diceritakan dan macam sebagainya. Gunung Marapi dan Singgalang telah kami
lewati, takjub aku melihatnya. Gunung yang bertetanggaan rukun berdiri tegak indah
nan rancak kata orang awak. Aku sangat ingin mendaki kesana, aku harap dia
mengajakku. Aku terus berkhayal tanpa batas tetapi dibatasi pula oleh supir yang
mengatakan kami telah sampai di kota tujuan. Kulihat dia tertidur pulas, mungkin
lelah bercerita. Kubangunkanlah dia dan turunlah kami bersama.

Kugendong carrier kesayanganku menuju ruang tunggu, ternyata kami sudah


ditunggu oleh temannya yang akan membawa kami berkelana. Dikenalkan aku
padanya dan diceritakanlah sifatku yang nakal. Aku malu tapi tak apa, ini hanya
pengenalan. Dibawalah kami ke kediaman mereka yang ternyata adalah penjara
bagiku. Sebuah pondok yang memisahkan antara ikhwan dan akhwat, sementara aku
belum pernah begini sebelumnya. Aku menolak perintahnya bermalam di pondok, dia
mungkin lupa aku bukanlah perempuan yang bergamis. Sudah kuduga ini bukanlah
perjalanan yang menyenangkan. Dia meninggalkanku di pondok akhwat. Aku benci
padanya.

“istirahatlah dulu semalam disana, besok kita akan berangkat ke suatu tempat.
Sekalian belajar disitu ya” dia menceramahi dan aku hanya mengganguk kesal, kesal
sekali.

------

Beberapa hari sudah aku berdiam di pondok dengan segala hal yang kujalani
berharap bukanlah sebuah ratapan. Kini, puncaknya tiba dimana dia berjanji
mengajakku tracking. Kulihat di pelataran pondok ikhwan sudah siap sedia alat
outdoor lengkap. Dua carrier ukuran 75 L miliknya dan temannya serta carrier 55 L
milikku. Aku bersemangat. Tapi katanya ada yang ditunggu beberapa personil lagi
untuk menemani perjalanan kami.

Datanglah dua lelaki dan empat perempuan bergamis dengan carrier masing-
masing digendong.

“bergamis?” pikirku.

Mereka datang dengan santun dan aku masih tak habis pikir mendaki
menggunakan gamis. Segera kami susun barang kami ke dalam mobil dan aku
bergabung diantara akhwat-akhwat. Aku paling lain, menggunakan celana cargo
lamaku, kemeja hitam lengan seponggol, dan hijab yang masih tipis serta sepatu
hiking boots merahku. Mereka memperhatikan penampilanku yang asing sendiri.
Biarlah pikirku
---------

Tibalah di kaki gunung Selasih atau ramah dipanggil Gn. Talang. Berjalanlah
kami dengan beban masing-masing, beriringan dituntun seorang guide melewati jalur
pendakian Ai Batumbuk.

“Naik bu ?” sapa seorang pendaki padaku. Nampak dia sedang beristirahat makan
bersama temannya. Aku tersenyum mencoba ramah karena masih sedikit bingung.
Seingatku, umurku tidak terlalu matang untung dipanggil sebagai seorang ibu.
Beberapa lama kemudian kakak dan abang asal Padang bergantian menyapa pendaki
lain yang kebetulan berpapasan di jalan.

“Pak.. Bu…” Sapanya ramah sambil nyengir. Akhirnya aku tambah bingung. Bukan
saja karena yang disapa adalah sekumpulan anak seumur SMA, tetapi juga mereka
yang disapa tampak biasa saja di panggil dengan ‘bapak’ atau ‘ibu’.

Setelah bertanya, mengertilah aku kalau panggilan Bapak dan Ibu itu ternyata
memang sekedar sapaan basa-basi khas para pendaki di Sumatra Barat. Sama seperti
‘mas’ atau ‘mbak’ di Pulau Jawa, “Bang” atau “kak” di Sumatera Utara. Karena
setahuku, hanya di Sumatra Barat orang menyapa dengan panggilan ‘pak’ dan ‘bu’
itu.

Kami melewati jalur yang penuh dengan pacet di sepanjang jalannya. Tak ada
kaki yang selamat digigit meskipun sudah memakai kaos kaki, sepatu dan celana
panjang bahkan mereka yang sudah menggunakan rok. Aku masih tak habis pikir
dengan cara berpenampilan perempuan-perempuan itu. Aneh kataku. Kami melewati
pohon tumbang yang memotong jalan, mau tidak mau kami harus loncat dan manjat.
Aku kasihan dengan mereka yang sepertinya tersiksa oleh rok panjang. Aku berlagak
berani di tanah orang, kutanya pada guide tentang bagaimana jalur track selanjutnya,
kemudian aku jalan sendiri mencari abangku yang meninggalkan tanpa kata. Dia
selalu begitu dan begitu, sesukanya saja. Tak seharusnya ia lupa akan
tanggungjawabnya terhadapku.
Diantara akar-akar dan pepohonan yang menjulang tinggi, sepertinya aku
benar-benar berada dalam rimba, yang terdengar hanya jangkrik serta tapak kakiku.
Aku jalan antara berani dan kadang ciut sendiri, ingin lari tapi untuk apa ? Aku jalan
terus hingga bertemu dengan pendaki lain asal Payahkumbuh, tiga orang pemuda
gagah sedang istirahat. Aku menumpang saja bersama mereka, kenalan, dan
mengobrol banyak. Kuceritakan nasibku yang tertinggal dan mereka tertawa seolah
kami sudah akrab lama. Biarlah daripada sendiri pikirku.

Di pos terakhir kami di hadang hujan lebat yang tiba-tiba. Jalur pendakian
berbentuk cekungan ini akhirnya membuat kami seolah-olah berjalan melewati sungai
kecil yang deras. Jalur sempit ditambah hujan lebat dan banyak kerikil, sudah cukup
untuk mematahkan semangat kami menuju ke puncaknya. Baru kali ini aku mendaki
gunung yang “kebanjiran”. Dan dipastikan, misi kali ini aku gagal.

Kami tiba di lapangan yang merupakan kawah datar luas difungsikan sebagai
campground di gunung ini. Di sini, aliran sungai kecil membelah tepat di tengah-
tengah. Puluhan tenda sudah terparkir rapi. Kabut dengan rinai mulai turun
menandakan suhu tidak bersahabat. Aku bermalas-malasan diatas matras bukan
milikku sambil melihat-lihat dimana kumpulnya rombonganku tadi. Dan ternyata
mereka sudah sibuk mendirikan tenda dibalik ilalang hijau. Kuajak lelaki yang
menemani setengah perjalanan bergabung bersama. Sudah masuk waktu Ashar,
akhwat sibuk membersihkan diri. Kebetulan aku sedang menyambut tamu, jadi aku
diamanahkan meneruskan masakan mereka. Ketika sadar bahwa bajuku basah semua,
bingunglah aku malam ini dengan kostum apa. Kuceritakan pada abangku, dia hanya
tertawa. Sama saja nol berbagi dengannya, dia memberi saran pakai sarung. Saran tak
berguna.

“kamu ndak ganti ?” Tanya salah seorang akhwat.

Dengan nyegir-nyengir tidak jelas, kukatakan bajuku basah semua. Aku masih
bertahan dengan lumpur yang menempel ntah sampai kapan.
Kak Aisyah datang membawa sekantong plastik hitam, untukku sementara
katanya. Kulihat ternyata gamis. Gamis ??? aku berpikir seribu kali untuk
memakainya, tapi daripada mati menggigil. Biarlah.

Keluarlah aku dari tenda dome muatan empat orang. Mata tertuju padaku.
Malu sekali, seperti menjilat ludah sendiri. Kemudian seorang lelaki dibelakangku
bertanya,

“Siapa itu ?”

“Adikmu, si Dira” jawab salah seorang akhwat.

Dia terdiam memandangiku dan aku segera lari menjauh darinya. Jalan sendiri
celingak celinguk sekeliling. Aku dilihat aneh karena menggunakan gamis, banyak
yang melihat dari atas kebawah. Beberapa segan menyapa atau mengucap salam. Aku
seketika lain sekali, dimulai rasa malu yang teramat sangat lalu perlahan jalan sedikit
dan kelamaan ada rasa nyaman menempel. Sedikit perbandingan, beda bila aku
terlihat tomboy menggunakan celana cargo apalagi tanpa hijab, sering diganggu,
dibecandain, atau apalah semacamnya.

------

Subuh harus dijalankan. Walau hujan, akhwat dan ikhwan itu tetap sholat
berjamaah disamping tenda, terbesit salut pada mereka. Sebelumnya, kami
merencanakan summit attack demi melihat sunrise. Namun apa daya, suhu dingin dan
sleeping bag merupakan kombinasi sempurna bagi para pelaku hibernasi.

Setelah matahari meninggi, ditengah tanah lapang yang tidak ramai, aku
berdiam memandangi sekeliling. Pinus-pinus lahir menjulang vertikal diselimuti
kabut. Hutan mati diseberang terlihat menggoda ingin kudatangi dan kawah
mengeluarkan asapnya terlihat lebih menawan.
“lagi apa sih ?” suara lelaki merusak kenyamananku. Aku menoleh, ternyata dia lagi
penggangguku. Hanya melihat sekilas kemudian kualihkan kembali pandanganku.

Ditariknya tanganku, dituntunnya ke suatu tempat. Kulihat dia sudah siap


dengan kamera melilit tangannya. Sudah kuduga, pasti aku bakal jadi asisten yang
harus siaga memegang tas, samyang, mantel, wide, kit, shutter release, atau mungkin
tripodnya juga.

Aku jalan lebih dulu sambil bercerita tentang perjalananku, dia hanya tertawa,
sesekali belagak menceramahiku. Aku duduk di sebuah batu bekas muntahan gunung
Talang dahulu, menjaga barangnya dan melihat dia memotret lautan tenda serta
pemandangan yang sayang sekali jika dilewatkan. Aku benar-benar kagum dengan
lukisan alam nyata ini.

“Kau cantik seperti itu” tiba-tiba dia sudah ada dibelakangku, memperlihatkan isi
galeri kameranya yang ternyata sudah banyak fotoku tercetak. Foto candid. Dia
sangat mahir dalam hal itu. Dia memang tukang potret handal tapi aku malas
menyebutnya begitu. Baru kusadari, cantik juga aku menggunakan gamis, dan aku
mulai nyaman lebih terjaga. Aku ingat juga dengan hari-hari yang telah kulalui di
pondok, akhwat sempat mengatakan bahwa aku cantik apalagi menutup aurat dengan
benar. Tersentuh sedikit hatiku, bergetar. Apalagi bersinggungan dengan dosa serta
ayah. Mereka menceritakan sedikit banyak tentang muslimah padaku, kewajiban dan
ketentuannya. Mulanya, aku pikir hanya teori dan teori atau bahkan sekedar sesuatu
yang menakut-nakuti, tapi ketika Allah membuktikan teorinya disini, saat aku jalan
sendiri hendak ke sungai, pemuda-pemuda itu malahan menghormati dan
menghargaiku tanpa mengganggu dan bertindak yang aneh hingga ada salah seorang
mengatakan,“ bu, doakan kami ya masuk surga juga” Lalu aku hanya bisa senyum
sambil mengotak atik pikiran. Mendoakan masuk surga ? aku sendiri bagaimana ?
kenapa mengatakan itu padaku ? timbul pertanyaan dan penyataan bercabang. Aku
teringat bahwa aku sedang menggunakan gamis diantara perempuan bercelana cargo
dekat sungai itu. perasaanku seperti malu, ini hanya sampulnya saja. Sepanjang jalan
aku memikirkan hal itu, ntah kenapa terus kepikiran dan menghantuiku. Hingga aku
duduk disini. Pada diri, kuingat-ingat ulang memori lama, aku serasa hina, dan
banyak sekali dosa. Belumlah pantas meminta surga dari Allah sementara jiwa dan
ragaku masih sangat berantakan. Aku benar-benar malu, ingin taubat tapi syaitan
selalu mengusik. Akan kucoba, aku juga ingin dapat surga dari-Nya sebagai rumahku
nanti. Untuk langkah awal dengan hati yang naik turun, kuputuskan menutup aurat
dengan benar hingga pulang, kemudian kuusahakan hingga Dia memanggil. Disini,
ada Edelweiss yang menjadi saksi akadku tadi.

“jangan senyum-senyum sendiri” potongnya lagi,

Kali ini dia mengeluarkan sepotong kue. Dia ini abang kandungku, anak
sulung dan aku si bungsu, kami memiliki hobi yang sama sebagai pendaki tetapi baru
kali ini kami bisa mendaki bersama. Selalu ada kesibukan masing-masing yang
memisahkan jadwal keberangkatan. Dan kami juga tidak begitu akur, aku dengan
teman-temanku, dia pun dengan temannya. Dia yang mengenalkan gunung padaku,
aku penasaran lalu aku pergi bersama temannya dan mulailah aku terkena candu
racun gunung.

Ternyata dia mengingat ulangtahun kami yang hanya jarak seminggu. Kami
rayakan di sepetak batu ini berdua sambil berselfie. Sekedar memanjatkan do’a,
memakan sepotong, lalu kami turun lagi ke tenda. Disini kurasakan banyak nikmat,
seperti lebih mengenal Allah, kenikmatan yang dianugerahkan pada kami, dan rasa
nyaman yang luar biasa. Ini adalah pertama kalinya aku pergi ke gunung
menggunakan gamis, berhijab antara akhwat-ikhwan serta sangat santunnya
perkataan. Jujur aku lebih nyaman dan tenteram. Ternyata aku disesatkan di sebuah
jalan yang benar. Sebelum berkemas pulang, kami foto bersama dan akhirnya
terciptalah fotoku bergamis diatas gunung Talang.

Aku rasa ini jalan Allah, mempertemukanku dengan orang yang aku sebut
aneh tapi malah aku sendiri yang jadi aneh. Aneh karena ini tak pernah terlintas
sedetik pun dalam benakku. Aku senyum antara terharu atau gembira hingga lupa ada
air mata yang sudah bertumpahan dari kelopakku. Kali ini aku merasakan dia adalah
benar abangku, menuntun sejauh ini, menyelamatkan pola pikirku kedepannya.
Bagaimana mungkin aku akan membencinya lagi. Dan akhirnya, aku benar tak ingin
menyelesaikan perjalanan ini. Misiku gagal, misi menaklukan puncak karena hari
badai. Yang berhasil adalah aku mampu menaklukan diriku sendiri, karena pada
dasarnya mendaki bukan soal puncak melainkan lebih pengendalian pada diri.

Begitulah Allah, Dia selalu punya cara untuk hamba-Nya yang coba-coba
melarikan diri dari genggaman. Mengirimkan agen-agen sosial yang datang seperti
jurang, bukan malah menjatuhkan melainkan menyelamatkan. Seketika fakirlah aku
dari agama dan ilmu yang selama ini sudah berada didekatku namun dengan
sombongnya aku berlagak apatis. Sekarang keyakinanku mulai terbentuk kembali
bahwa Dia sayang masih sudi menegur dan menuntunku. Aku harap Dia selalu ridho
menerimaku.
Biografi Penulis

Assyaroh Meidini P. akrab dipanggil Sarangtawon oleh sekelompok orang di


daerah asalnya. Gadis keturunan Jawa yang terlahir di Medan pada 10 Mei 1999
membuatnya sering digelari ‘Butet’ di luar Sumatera Utara walau sudah ditegaskan
bahwa dia bukan berasal dari suku batak. Anak sulung dari pasangan Ringin
Syahputra dan Misnawaty ini memiliki motto ‘Penikmat Hidup’ dijelaskannya bahwa
hidup untuk dinikmati bukan diratapi.

Karena karakternya bergerak di bidang outdoor menjadikannya aktif dalam


organisasi pecinta alam di masa SMA. Pemilik hobi menggambar, memotret,
menulis, dan berpetualang ini suka terlihat aneh sendiri, sering memiliki sudut
pandang yang berbeda di satu kelompok. Tidak suka membaca namun akhir-akhir ini
dia berusaha menyukai buku-buku dalam rak saudaranya.

Cita-citanya menjadi Geograf terlahir sejak dia merasa penasaran pada bumi,
maka dia putuskan mengambil jurusan Geografi Non Kependidikan di Universitas
Negeri Padang. Berharap bisa menjawab pertanyaannya, ada apa dengan bumi ?

Anda mungkin juga menyukai