Anda di halaman 1dari 10

SEJARAH GERAKAN MAHASISWA INDONESIA

Posted by : semaoen proletariat

Patah tumbuh, hilang berganti. Sejarah gerakan mahasiswa Indonesia memperlihatkan periode pasang
dan surut, sesuai dengan perkembangan ekonomi-politik yang melingkupinya. Tidak sedikit perubahan
penting dalam sejarah nasional Indonesia tidak terlepas dari kepeloporan dari mahasiswa dan kaum muda.
Sehingga meskipun populasi mahasiswa tidak melebihi 2% dari total populasi penduduk Indonesia,
gerakan mahasiswa telah memainkan peranan cukup besar. Sebagai contoh dapat kami sebutkan disini
seperti Sumpah Pemuda, Perlawanan anti-fasis, proklamasi kemerdekaan, revolusi fisik, dan perjuangan
menentang imperialisme paska Indonesia merdeka. Mahasiswa telah memberikan sumbangsihnya kepada
ibu pertiwi, ibu yang telah melahirkannya.

A. Kelahiran Gerakan Mahasiswa dan Perjuangan Anti Kolonial


Keberadaan mahasiswa tidak dapat dilepaskan dengan kehadiran lembaga pendidikan pertama kali.
Setelah berakhirnya tanam paksa, kaum liberal belanda mulai memikirkan cara untuk mempebesar
keterlibatan kelompok swasta (borjuis) belanda untuk mengembangkan modalnya di Hindia-Belanda
(Indonesia kala itu). Lahirlah politik etis, yang oleh penemunya Van Deventer adalah politik balas-budi,
akan tetapi tujuan sebenarnya adalah untuk memuluskan berkembang-biaknya kapital di bumi hindia-
belanda. Inti politik etis adalah edukasi (pendidikan), migrasi (perpindahan penduduk) dan irigasi
(pengairan). Disini kita akan berfokus kepada edukasi sebagai jalan lahirnya kaum intelek di kalangan
bumiputera. Pada tahun 1983 di bentuk dua jenis sekolah dasar untuk bumiputera, Eerste Klass
Inlandsche (sekolah bumiputera angka satu) untuk anak-anak priayi dan orang-orang “berada”, serta
Tweede Klass Inlandsche Scholen (sekolah bumiputera angka dua) untuk anak-anak rakyat kebanyakan.
Selain itu berdiri pula sekolah-sekolah lanjutan seperti Hollandsche Inlandsche School (HIS), Hollandsche
Burgerscholen (HBS), School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), dll.

Pendidikan telah melahirkan pengetahuan, bahasa, dan tulisan. Hal itu telah melahirkan kesadaran baru
bagi bumiputera yakni “kemodernan” dan “kebebasan”. Organisasi dan pers segera berdiri dimana-mana.
Terbitan-terbitan berbahasa belanda atau bumiputera mulai masuk kekantong-kantong kesadaran
bumiputera. Perkembangan ini berbarengan dengan situasi penindasan kolonial yang kian menjadi
kesadaran dari segenap kaum muda. Medan Priayi adalah organ pertama yang didirikan mahasiswa
(1909-1912). Disamping itu, Tirto Adhisuryo mendirikan Serikat Priayi, yang bertujuan memajukan
pendidikan anak-anak bumiputera dan bangsawan bumiputera lainnya.

Di belahan dunia lain, gerakan pembebasan nasional dan gerakan kaum muda bangkit. Gerakan nasionalis
bergolak di Tiongkok menumbangkan dinasti Ch’ing pada oktober 1911. di Turki juga muncul gerakan
nasionalis oleh kaum muda. Dan pengaruh dari revolusi Rusia 1905. Berita-berita tersebut telah
memberikan pengaruh kepada kebangkitan gerakan nasionalis di dalam negeri. Muncullah Serikat Dagang
Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi Serikat Islam (SI). Sementara itu, di Bandung pada 6
September 1912 dua mahasiswa lulusan Stovia, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat
serta seorang Indo, E.F.E. Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia atau Indishe Partij (IP).[1] Tidak
ketinggalan, mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda antara bulan Januari-Pebruari 1925
mendirikan Perhimpunan Indonesia (PI)—organisasi ini merupakan kelanjutan dari Indsche Vereeniging[2].
PI sangat dipengaruhi oleh ideologi marxisme yang sedang naik daun di Eropa dan juga banyak
melakukan diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia seperti Semaun.[3]

Mahasiswa semakin bergerak maju. Mereka sudah menciptakan organisasinya, sudah menemukan
kesadarannya (anti-kolonialisme) dan sudah menemukan metode-metode pergerakannya; aksi massa,
pemogokan, boikot, propoganda, selebaran, rapat akbar (vergandering). Pada tahun 1914, iklim
pergerakan Indonesia semakin meningkat. Beberapa pemuda dan mahasiswa menerjemahkan
perjuangannya dalam bentuk politik radikal dengan membangun Indische Sociaal-Democratische
Vereeniging (ISDV), yang merupakan cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahap ini,
perjuanga-perjuangan yang terkotak-kota dalam batas lokalisme (kedaerahan), kesukuan, keagamaan
telah dicairkan. Pada tanggal 28 Oktober 1928, pemuda-pemuda dari berbagai kelompok mendeklarasikan
“sumpah Pemuda Indonesia”. Sumpah Pemuda dapat dikatakan sebagai kristalisasi dari sentimen
nasionalisme Indonesia pertama kali yang diikrarkan oleh kaum muda.

B. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Peran Historis Mahasiswa


Dibawah pendidikan fasisme Jepang yang keji, gerakan mahasiswa tidak mengendorkan perjuangannya.
Mereka malah menempuh jalan berbahaya dengan mengorganisasikan perjuangan bawah tanah (illegal)
dan perjuangan bersenjata (Blitar, singaparna, dan lain-lain). Ketika fasisme mengalami kemunduran dan
jepang sendiri menyerah kepada sekutu, beberapa kelompok pemuda bergerak cepat untuk mengorganisir
proklamasi kemerdekaan. Terjadilah peristiwa “rengasdeklot”, dimana pemuda dan mahasiswa menculik
Bung Karno dan Hatta untuk memaksa keduanya membacakan proklamasi kemerdekaan. Peristiwa
“rengasdeklot” menjelaskan pula soal pertentangan kaum muda dan kaum tua dalam hal kemerdekaan
Indonesia. Kaum Muda menuntut proklamasi dikumandangkan secepatnya dengan memanfaatkan masa
kevakuman kekuasaan sedangkan kaum tua bersifat menunggu itikad baik dari pemerintah Jepang.

Paska proklamasi kemerdekaan, tugas berat bagi mahasiswa dan kaum muda menunggu. Kemerdekaan
adalah harapan, impian yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi,
situasi pada saat itu menunjukkan kita memiliki kekurangan yang cukup besar, disisi lain ada ancaman dari
masuknya kembali neokolonialisme. Mahasiswa dan pemuda bergerak cepat. Instalasi-instalasi penting,
seperti jawatan kereta api, Radio, Kantor Pos, Gudang Persenjataan, dan gudang-gudang milik Jepang
diambil-alih oleh pemuda dan rakyat. Kemerdekaan harus diisi dan dipertahankan dengan mobilisasi rakyat
dan propoganda. Lagu “darah rakyat” menjadi symbol semangat baru dari rakyat Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan. Leaflet-leaflet dibagikan, mural-mural “merdeka atau mati” menjejali
tembok-tembok dan dinding-dinding gedung/rumah, serta slogan-slogan yang membakar semangat.
Puncak dari mobilisasi-mobilisasi rakyat mempertahankan kemerdekaan adalah rapat akbar di lapangan
Ikada---dimana ratusan ribu rakyat dan pemuda menghadirinya.

Pada masa itu berdiri organisasi mahasiswa dan pemuda seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API),
Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI), Ikatan Pelajar
Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi. Pada saat belum ada organisasi pemuda
dan pelajar, yang berbentuk federasi, diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia I (1945) dan II
(1946). Kedua kongres tersebut sangat penting artinya, karena: Melahirkan organisasi Gabungan Pemuda
Sosialis Indonesia (PESINDO), yang merupakan peleburan dari API, PRI, GERPRI, dan AMRI.
Terbentuknya Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). Kongres I sangat diwarnai semangat
perjuangan bersenjata. Kongres II menghasilkan keputusan: Berpegang teguh pada Undang-Undang,
membentuk dan memperkuat laskar, mengisi jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan mematuhi
pemimpin yang mengajak revolusi nasional dan revolusi sosial.

Disamping organisasi itu, berdiri pula organisasi mahasiswa yang berbasiskan keyakinan agama dan
kedaerahan seperti pada tanggal 5 februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), kemudian diikuti berdirinya Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal 25
Maret 1947 dan kemudian disusul dengan pendirian Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
(PMKRI).[4] Kehadiran mereka tidak lepas dari kelahiran partai-partai politik yang berideologi sejenis
seperti Masyumi, Parkindo, dan Partai Katolik.

Ketika revolusi fisik bergolak, pemuda dan mahasiswa turut membentuk organisasi perlawanan dan laskar-
laskar bersenjata seperti Tentara Pelajar dan PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia)---merupakan
gabungan tujuh organisasi yakni API,AMRI, Angkatan Muda Gas dan Listrik, Pemuda Republik Indonesia,
Angkatan Muda Pos dan Telegraf,dll. Di pihak lain, Belanda mencoba menarik sismpati Mahasiswa
Indonesia. Pada Januari 1946, perguruan tinggi di masa kolonial dibangun kembali menjadi Universitas
Indonesia yang fakultas-fakultasnya tersebar di berbagai kota besar di Indonesia. Kegiatan ekstrakurukuler
mahasiswa dipolakan persis seperti di Belanda. Publikasi mahasiswa dijauhkan dari berita-berita politik.
Organisasi-organisasi seperti Perhimpunan Mahasiswa de Jakarta (PMD), Perhimpunan Mahasiswa
Jogja, Sarekat Mahasiswa Indonesia (SMI), Perhimpuan mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI),
Himpuanan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH), Perhimpunan
Mahasiwa Kristen Indonesia (PMKI) dan Persatuan Pelajar Peguruan Tinggi Malang (PPPM) setuju
membentuk Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan mahasiwa Indonesia dan Badan Koordinasi
Mahasiswa Indonesia (BKMI) khusus didaerah kedudukan Belanda. Yang pada perjalanannya dianggap
kolaborator dan perpanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda, karena mahasiswa yang tergabung
dalam BKMI hanya sibuk menyelesaikan studinya.

Untuk membatasi pengaruh BKMI, mahasiswa pro-republik membentuk PPMI (perserikatan perhimpunan-
perhimpunan Mahasiswa Indonesia) di Malang pada Maret 1947. Elemen mahasiswa pro-republik berhasil
melakukan infiltrasi ke dalam tubuh BKMI. Kongres Pemuda Indonesia pada tanggal 8-14 Juni 1950
berhasil membentuk Front Pemuda Indonesia (FPI) dan hanya mengakui PPMI sebagai federasi
mahasiswa universitas. Pada massa ini gerakan pemuda dan mahasiswa mencoba memperkuat
penolakan terhadap usaha kolonialisme Belanda untuk kedua kalinya-1950 merupakan, dan secara umum
belum sampai kepada tahap anti-imperialisme (perusahaan-perusahaan milik Belanda tetap bercokol.

Menjelang pemilu 1955, beberapa partai politik memanfaatkan organisasi mahasiswa sebagai alat
mendapatkan dukungan dikalangan mahasiswa. Masuknya mahasiswa dalam pertarungan politik
berdampak positif. Pertentangan dan polarisasi dikalangan kelompok kiri dan kanan dalam pemilu juga
menyebar dikalangan organisasi kampus.

C. Perjuangan anti Imperialis


Paska pengakuan kedaulatan, beberapa unsur revolusioner dalam grup mahasiswa menyadari kelemahan
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang cukup menguntungkan pihak Belanda. Kelompok mahasiswa dan
gerakan buruh mengorganisir aksi-aksi menentang perjanjian KMB dan kembalinya kekuasaan
kolonialisme Belanda. Mereka sibuk mengorganisir aksi-aksi massa dan pengambil-alihan terhadap
perusahaan-perusahaan asing, bukan saja milik Belanda, tetapi juga milik AS dan Inggris. Gerakan ini
disebut sebagai gerakan nasionalisasi, mencapai puncaknya pada tahun 1957. Gerakan mahasiswa
terlibat aktif dalam mengkampanyekan “ganyang imperialis inggris- amerika”, “Inggris kita linggis, Amerika
kita Setrika”. Pertentangan politik antara kekuatan anti-imperialis dengan kekuatan antek imperialis didalam
negeri tidak saja terjadi dalam lapangan ekonomi, tetapi berkembang sengit menjelang pemilu 1955.

Pertentangan lama antara Front "Kiri" dan "Kanan" mendapat momentum dalam persiapan menghadapi
Pemilu, dan implementasinya disektor mahasiswa adalah peperangan antara CGMI, GMNI, GMKI di satu
pihak dengan HMI, PMKRI dan GMS di lain pihak. Dalam peperangan itu isu utama dari pihak kiri adalah
Kapitalisme, Neo-Kolonialisme, Feodalisme dan Fasisme. Sedangkan isu dari pihak Kanan adalah
Komunisme, Diktator, Satelit Komunis, Menghalalkan Segala Cara dsb. Sementara itu, PPMI makin
condong ke kiri. Sejak tahun 1956 perpecahan dalam gerakan mahasiswa menjadi lebih terbuka, ditambah
penentangan yang dilakukan oleh beberapa partai didaerah terhadap presiden Soekarno.

Pada tanggal 28 Februari 1957, aktivis-aktivis mahasiswa yang berbasis di UI berprakarsa menggalang
senat2 mahasiswa dari berbagai universitas dan berhasil membentuk federasi mahasiswa yang bernama
Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Mahasiswa kembali lari dari persoalan-persoalan yang ada di
masyarakat, seperti misalnya: Mahasiswa tidak memandang perjuangan pembebasan Irian Barat
(TRIKORA) sebagai kelanjutan dari perjuangan melawan kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme (bumi
Irian sangat kaya dengan bahan-bahan tambang, hutan, dan mineral). Mereka tidak turut berpartisiapasi
dalam Hari Solidaritas Internasional Menentang Kolonialisme pada tanggal 24 April 1957 (yang
berpartisiapasi adalah PPMI, FPI dan Perserikatan Pemuda Indonesia/PORPISI, yang tujuannya
memperkuat kerja sama negara Asia-Afrika menuntut klaim Irian Barat sebagai wilayah RI).
D. Dibawah Kediktatoran Orde Baru, masa Kontra-Revolusioner
Gerakan mahasiswa “66” telah mengambil peran menentukan sebagai sekutu sipil tentara dalam
menjatuhkan pemerintahan progressif Soekarno. Peran ini dibalas jasa oleh orba dengan menempatkan
beberapa aktifis dalam jabatan pemerintahan, DPR, pengusaha, atau sekedar diberi modal untuk jalan-
jalan keluar negeri. Beberapa diantara mereka yang memiliki tujuan idealis mencoba menghindarkan diri
dari tawaran kekuasaan dan mengambil jalan kritis. Hanya sedikit dari Angkatan 66 yang tidak diserap ke
dalam lembaga-lembaga Orde Baru, seperti Soe Hok Gie, Ahmad Wahid, Arif Budiman, Syahrir, dll.

Pada tahun 1970-an, beberapa kebijakan Soeharto yang dianggap tidak merakyat (populis) ditentang oleh
mahasiswa. Mahasiswa di kampus UI menentang keputusan pemerintah menaikkan harga BBM 100%,
termasuk mengeritik persoalan korupsi yang kian merajalela dikalangan pemerintah. Menjelang pemilu
1971, mahasiswa kembali bergerak memprotes campur tangan pemerintah dalam internal partai politik,
serta menentang pengunaan kekerasan dan intimidasi di wilayah pedesaan terhadap pemilih agar berpihak
pada pemerintah. Mereka menganjurkan pencoblosan diluar pemilu resmi, inilah cikal bakal gerakan
Golput. Pada waktu soeharto berencana menggelontorkan duit sebesar 10,5-20 Milyar untuk
pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), mahasiswa kembali melakukan penentangan. Proyek
tersebut disponsori oleh organisasi yang bernama Yayasan Harapan Kita; istri Presiden Soharto, Tien
Soeharto, adalah ketua Yayasan tersebut.

Modal asing mulai membanjiri Indonesia. Persaingan antara kapital asing untuk mendapatkan lahan
berkembang biak di Indonesia turut membelah kepentingan elit politik di Indonesia dimasa itu. Mahasiswa
mulai resah dengan derasnya aliran modal berkontribusi pada melebarnya gap antara si kaya dan miskin.
Disisi lain, beberapa politisi merasa irih dengan keunggulan modal Jepang. Kedatangan perdana Menteri
Tanaka ke Jakarta tanggal 15 Januari 1974 disambut oleh gelombang demonstrasi mahasiswa. Akan
tetapi, perlawanan ini dengan mudah dilindas oleh penguasa Orba. Beberapa pimpinan mahasiswa seperti
Hariman Siregar ditangkap.

Orde baru semakin bergerak mempersempit ruang bagi oposisi. Setelah mengutak-atik partai politik dan
membersihkan unsur-unsur kiri dan nasionalis, Orde baru selangjutnya mencoba menyederhanakan partai
politik. Partai politik yang diakui hanya tiga, itupun dasar politik dan pengabdiannya harus kepada
kesinambungan kekuasaan Orde baru. mahasiswa kembali bergerak. Kali ini, mereka benar-benar sudah
marah dengan Soeharto sehingga isunya berporos pada penolakan kepada pencalonan Harto sebagai
presiden. Di kampus Institut Tekhnologi Bandung (ITB) yang menjadi pusat perlawanan mereka diserbu
tentara dengan menggunakan panser. Di Jogjakarta, mahasiswa malah dikejar-kejar hingga kedalam
kampus oleh aparat militer. Beberapa tokoh pimpinan mereka ditangkap, seperti Risal Ramli.

Depolitisasi dan Deorganisasi


Gerakan ditahun 1978 merupakan akhir dari apa yang disebut “keistimewaan” terhadap mobilisasi
mahasiswa. Soeharto benar-benar tidak bisa mentolerir lagi gerakan-gerakan yang dibuat mahasiswa,
termasuk yang berbau “moral force”. Dewan Mahasiswa (DEMA) dibubarkan, semua kegiatan
kemahasiswa yang berbau politik dilarang. Kebijakan ini diatur dalam Normalisasi Kehidupan Kampus
(NKK) yang diserap dari konsep Ali Moertopo tentang “massa mengambang”. Perguruan tinggi dirombak
menjadi sebuah institusi yang hanya menempa mahasiswa menjadi Tenaga kerja murah dan pengabdi
rejim Orde baru. pola-pola indoktrinasi diperkenalkan, seperti penataran P4, mata-kuliah, dan lain-lain.
Untuk waktu yang cukup lama, kehidupan kampus dikontrol oleh KOPKAMTIB.

Organisasi mahasiswa yang diakui hanya organisasi mahasiswa yang patuh kepada rejim. Organisasi yang
tetap diperbolehkan berdiri antara lain; HMI, PMII, IMM, GMKI, PMKRI, dan GMNI (tetap di-ijinkan hidup
namun sudah dihilangkan nasionalisme progressifnya). Organisasi-organisasi inipun diharuskan
menerapkan azas tunggal dalam organisasinya. Hal itu memicu keretakan ditubuh HMI. HMI terbelah
menjadi dua, yakni HMI yang tetap mempertahankan azas islam, disebut HMI Majelis Penyelamat
Organisi(MPO) dan HMI yang merubah azas menjadi pancasila, disebut HMI Dipo. Didalam kehidupan
kampus, DEMA yang sudah dibubarkan digantikan dengan sistem Senat Mahasiswa (SMPT), dan secara
hierarki berada dibawah Rektor. Pada dasarnya aktivitas berpolitik dilarang, akan tetapi pimpinan-pimpinan
dari organisasi mahasiswa memiliki afiliasi dengan organisasi pemerintah. Setelah mereka menyelesaikan
study, mereka akan direkrut masuk dalam pemerintahan. bagi mereka yang tidak berminat dengan politik,
diberikan kesempatan untuk menyalurkan hobbynya lewat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Hal –hal diatas menyebabkan kehidupan politik dikampus menjadi kering dan aktifis mahasiswa mengalami
demoralisasi. Sebagaian diantara mereka beralih studi keluar negeri, sedangkan yang bertahan akhirnya
mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Lahirnya Gerakan Mahasiswa Kerakyatan


Seperti sebuah hukum perlawanan menjelaskan, “dimana ada rejim otoriter yang meninas, maka disitu
akan lahir perlawanan”. Politik “massa mengambang” yang dijalankan oleh orde baru praktis membuat
kehidupan politik dikampus membeku dalam waktu yang lama. Akan tetapi, beberapa waktu kemudian
muncul kecenderungan di gerakan mahasiswa, memungkinkan ini sebagai respon atas situasi yang ada;
pertama kemunculan kelompok-kelompok study. Mereka mahasiswa-mahasiswa yang mencoba membuka
literature-literatur lama (buku-buku pramoedya, dll), dan membedahnya dengan tekun. Aktifitas ini
dilakukan secara sembunyi-sembunyi, serta dalam lingkaran-lingkaran kecil yang tertutup. Hal tersebut
dilakukan guna menghindari intelijen orde baru mengetahui dan membubarkannya. Kita dapat melihat
nasib yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho[5] dari kelompok diskusi Palagan yang
dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya Ananta Toer. Kedua, mereka yang baru saja
belajar diluar negeri kembali dengan membawa teori-teori kiri-baru (new-left). Kendati teori ini berbau
marxisme tetapi merupakan antitesa terhadap marxisme itu sendiri. Inti gagasannya adalah pemberdayaan
rakyat. Beberapa waktu kemudian, LSM-LSM menjamur ibarat “jamur di musim hujan”.
Aktivitas LSM umumnya ditekuni oleh mantan-mantan aktivis mahasiswa yang sudah menyelesaikan study.
Terkadang mereka melibatkan junior-junior mereka dalah aktiftas2 diakar rumput. Disisi lain, rejim orde
baru mulai kehilangan kemampuan “memagari” kelompok-kelompok mahasiswa yang ada, akhirnya
kelompok studi mulai bertransformasi menjadi aktifitas pengorganisiran. Mahasiswa mulai terlibat
melakukan advokasi-advokasi terhadap persoalan yang dialami oleh rakyat, seperti penggusuran,
pembasmian tukang becak, perampasan tanah, kasus “PHK”, dan kasus-kasus lainnya. Pada saat
bersamaan, komite-komite kampus mulai terbangun dengan melepaskan diri dengan organisasi-organisasi
mahasiswa yang status quo. Tahun 1992, mahasiswa turun kejalan memprotes UU Lalu-lintas yang baru.
setahun berikutnya, gerakan mahasiswa kembali memprotes pemberlakuan SDSB.

Aksi-aksi mahasiswa diberitakan panjang lebar oleh Koran dan media massa, seperti Tempo, Detik, dan
Editor. Koran-koran tersebut dibredel oleh Orde baru, dan mahasiswa diberbagai daerah melakukan
protes. Tahun 1996, di Makassar, mahasiswa melakukan protes atas kenaikan tariff angkutan umum. Aksi
protes ini direspon dengan keji oleh aparat dengan mendatangkan tank-tank kedalam kampus. Sebanyak 7
orang mahasiswa dinyatakan tewas, dan beberapa lainnya tidak jelas, tragedy ini kemudian disebut
“tragedy amarah”. Kejadian itu mendapat solidaritas dari mahasiswa dari berbagai kota seperti Jakarta,
Jogjakarta, Surabaya, Lampung, dan Solo.

Gerakan mahasiswa semakin memperlihatkan kemajuan. Komite-komite aksi yang terbangun akhirnya
berhasil dikonsolidasikan dan melahirkan organisasi mahasiswa berskala nasional yakni Solidaritas
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), dideklarasikan Agustus 1994. SMID merupakan organisasi
mahasiswa berkarakter progressif-kerakyatan. Mereka aktif mengorganisir klas buruh, petani dan miskin
kota, serta memberikan pendidikan politik kepada mereka. Program perjuangannya cukup maju, yakni;
pencabutan dwi-fungsi ABRI, pencabutan 5 UU paket politik, dan gulingkan rejim Soeharto.

E. Gerakan Mahasiswa 1998

Sentiment anti kediktatoran Orde Baru terus berkembang. Kendati diusahakan untuk dihentikan orba
dengan menjalankan represi dan propokasi berbau SARA, akan tetapi militansi dan radikalisme rakyat
sudah tak tertahankan. Beberapa organisasi rakyat, seperti Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI),
Serikat Tani Nasional (STN), Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat(JAKER), Serikat Rakyat Indonesia(SRI),
SMID dan beberapa aktifis lainnya membentuk Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) tahun 1994. Namun,
dua tahun kemudian PRD berubah menjadi Partai Rakyat Demokratik lewat deklarasinya di kantor YLBHI,
Juli 1996. akan tetapi, dua hari setelah dideklarasikan PRD dan para kadernya dikejar-kejar karena dituduh
terlibat dalam peristiwa “kudatuli” (27 Juli 1996).
Tahun 1996-1997, krisis moneter mulai membayang-bayangi Asia Tenggara. Bermula di Thailand, Akhirnya
juga menyerbu Malaysia, Filipina, dan juga Indonesia. struktur ekonomi Orde Baru yang sangat rapuh
ditambah KKN (kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) kian merajalela dalam birokrasi, menyebabkan krisis
Indonesia jauh lebih parah ketimbang negara lain. Krisis moneter menyebabkan nilai rupiah jatuh, disertai
dengan naiknya harga sembako, PHK massal, dan lain-lain. Mahasiswa cukup merasakan imbas dari
krisis, berupa lonjakan harga buku, kontrakan, dan kebutuhan-kebutuhan ekonomis lainnya.

Dalam waktu dua bulan, antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei, Edwad Aspinal dalam tulisannya, The
Indonesia Student Uprising of 1998 mencatat terjadi 14 bentrokan antara mahasiswa dan militer yang
terjadi di Jawa, Sumatera, Bali, dan Lombok. Bentrokan ini menunjukkan sikap tegas mereka terhadap
militer. Itulah mereka, GM '98 yang sangat antimiliterisme dan kediktatoran. Eskalasi perlawanan
mahasiswa meningkat menjelang mei, dan puncaknya menjelang peringatan kebangkitan nasional. Ketika
hari-hari terakhir Soeharto akan “lengser”, gedung DPR/MPR dikuasai mahasiswa, ratusan ribu mahasiswa
menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari sebelum Soeharto turun,
sekitar satu juta rakyat – yang dipelopori mahasiswa Yogyakarta -- memenuhi alun-alun Utara, menuntut
Soeharto mundur.
Soeharto, sang diktator akhirnya lengser. Kepemimpinan politik diserahkan kepada Habibie, salah satu
orang kepercayaan Orde Baru. perjuangan mahasiswa menentang Orde Baru terus berlangjut. Mahasiswa
menganggap pemerintahan Habibie masih kelanjutan rejim Orde baru, beberapa kekuatan politik
pendukung Orba (militer dan Orba) masih aman bertengger dalam kekuasaan. Mahasiswa kemudian
melanjutkan perlawanan dengan menekankan kepada pembersihan terhadap sisa-sisa orde baru. akan
tetapi, cakupan mahasiswa yang menyadari ini masihlah kecil sedangkan mayoritas lainnya menganggap
bahwa setelah soeharto jatuh artinya mereka sudah menang. Habibie mencoba meneruskan
kesinambungan politik Orba dengan menyelenggarakan SI MPR tahun 1999. Hanya kelompok radikal
seperti KOMRAD, KBUI,FAMRED, FORKOT, dll yang merespon SI MPR yang berujung pada “tragedy
semanggi I”.
Kelemahan gerakan Mahasiswa 1998
Kita patut memberikan acungan jempol kepada GM 98. militansi dan keberanian mereka telah berhasil
menyinkirkan Soeharto dari kekuasaan. Akan tetapi, kejatuhan soeharto hanyalah salah satu bagian dari
proses perjuangan strategis menuju Indonesia baru; Indonesia demokratis yang sejahtera seadil-adilnya.
Kenyataan bahwa soeharto jatuh akan tetapi mesin politiknya masih tetap terjaga. Sehingga ditengah jalan,
kekuatan sisa orde baru kembali mengkonsolidasikan diri dan berhasil terus mendominasi pemerintahan
paska reformasi. Berikut beberapa analisa terhadap GM 1998;
Pertama, kelemahan dalam lapangan konsep strategis (ideology), lemah dalam persoalan teoritik.
Kelemahan ini menyebabkan GM tidak dapat menangkap dan menyimpulkan situasi objektif yang
berkembang, serta mendialektikannya guna menghasilkan perubahan. Seolah ada dikotomi antara
pemahaman teoritik dan praktek lapangan. Sehingga pada saat krisis revolusioner berlansung, mahasiswa
tumpah ruah kejalanan dengan menonjolkan keberanian dan militansi bertempur, tetapi meninggalkan
persoalan konsepsi dan teoritik.
Kedua, Kuatnya sektarianisme dikalangan gerakan mahasiswa. Sektarianisme selain dilahirkan oleh
metode pendidikan kapitalisme yang atomistik, juga dibesar-besarkan oleh karena ketidak-adaan konsepsi
ideologis yang kuat. Ketidak-adaan konsepsi politik perjuangan menyebabkan gerakan mahasiswa dengan
mudah dipolarisasi berdasarkan kepentingan elit tertentu.

Ketiga, Kelemahan dalam hal Konsepsi (ideology) dan teoritik berujung pada kesalahan analisa, cara
pandang, dan kesimpulan. GM tidak dapat merumuskan taktik-taktik baru dalam menghadapi perubahan
(dinamika) politik yang terjadi. Momentum pemilu 1999, yang merupakan titik balik kembalinya kekuatan
Orde baru, tidak dimanfaatkan oleh GM guna menjadi lapangan pertempuran menghadapi sisa-sisa
kekuatan orde baru.

Keempat, kesadaran umum mahasiswa adalah kesadaran ekonomisme dan bersifat spontan, sedangkan
dalam lapangan praktek sangat “heroistis”. Banyak mahasiswa yang termobilisasi karena faktor-faktor “ikut-
ikutan” atau “trend”, bukan karena kesadaran politik yang benar-benar muncul.
Kelima, tidak ada penyatuan dalam skala luas (nasional) dan permanent terhadap komite-komite aksi
ataupun organisasi-organisasi tingkatan lokal. Ada usaha dalam bentuk Rembug Mahasiswa Nasional
Indonesi (RMNI) I dan II, akan tetapi ajang itu justru menjadi perdebatan pada hal-hal yang sifatnya teknis,
bukan hal yang ideologis, menyebabkan upaya penyatuan sulit menyatukan spectrum gerakan mahasiswa.

F. Tantangangan Gerakan Mahasiswa Saat Ini


Sudah 10 tahun reformasi berjalan. Perubahan-perubahan mendasar dalam pengertian pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan mendesak rakyat, belum juga menampakkan hasil. Sistem ekonomi-politik paska
reformasi bukannya membaik, malahan semakin membuka diri terhadap kepentingan opensif modal asing.
Jika di masa Orde baru, eksploitasi berlansung dengan sistem politik otoriter yang dilakukan oleh rejim
orde baru beserta kroni dengan bergandengan dengan modal asing. Maka dimasa sekarang, eksploitasi
dilakukan sepenuhnya dilakukan oleh kapital internasional dengan memanfaatkan beberapa elit politik
didalam negeri. Inilah yang kami sebutkan sebagai imperialisme, sebagai problem pokok perjuangan rakyat
Indonesia.

Sistem politik seolah-olah terbuka, tapi pada dasarnya hanya membolehkan pemain-pemain yang memiliki
modal dan kekuasaan, sedangkan partisipasi politik lansung tetap dipagari. Sistem demokrasi dipolakan
persis dengan demokrasi liberal di barat, dimana hanya sekedar menjadi instrument stabilisasi bagi
kepentingan pemilik modal. Kita menyadari, terjadi keterbukaan politik paska reformasi terutama dalam
aspek kebebasan berserikat, mendirikan partai politik, menyampaikan pendapat, melakukan protes dan
sebagainya. Akan tetapi, proses-proses keterbukaan politik itu kadang-kadang masih berbeda dilapangan.
Masih sering terjadi pengekangan, diskriminasi, kekerasan, dan berbagai bentuk pembatasan-pembatasan
lainnya.
Inilah lapangan perjuangan baru bagi gerakan mahasiswa. Terlepas dari begitu banyak persoalan yang
muncul setiap hari, tetapi karakter pokok dari perjuangan mahasiswa haruslah anti-imperialisme. Ada
kemajuan-kemajuan kecil dari segi gerakan, seperti tumbuh dan berkembangnya Aksi Massa dan metode-
metode perlawanan rakyat, dalam hal program dan tuntuan sudah semakin maju meski belum utuh yakni
anti-neoliberalisme. Kemajuan-kemajuan ini merupakan dasar-dasar yang bersifat maju, yang dapat
diakumulasikan, guna memberikan arah perjuangan yang lebih maju dimasa depan. Berhadapan dengan
situasi baru, gerakan mahasiswa tidak boleh kaku dalam menerapkan taktik-taktik dan metode perjuangan.
Peluang-peluang dari perjuangan parlementer harus dimanfaatkan (bahkan bisa menjadi wajib) dalam
situasi tertentu guna mengakumulasi sentimen anti-imperialis dan anti-neoliberal, serta memunculkan
kekuatan politik alternatif. Dunia terus berubah, situasi terus bergerak, serta kita dituntut menyesuaikan hal
itu dengan penemuan taktik-taktik dan metode-metode baru.

[1] Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, hal 246-7.
[2] John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1938, LP3S,
Jalarta, hal. 2.
[3] Harry A. Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, Grafiti, Jakarta. Hal. 368.
[4] Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Lingkar Studi Indonesia, hal.84.
[5] Bambang Isti Nugroho, seorang droup-out kelas 3 SMA, yang kemudian bekerja di fakultas MIPA UGM.
Dia diadili karena memperdagangkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan menyimpan buku-buku
Pram, Marxim Gorky, Frans Magnis Suseno

Anda mungkin juga menyukai