Anda di halaman 1dari 24

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi Dalam Kehamilan

Hipertensi atau tekanan darah tinggi terjadi pada sekitar 8-10% kehamilan.

Tekanan darah tinggi dalam kehamilan dapat merupakan tanda awal dari

preeklampsia, dan dapat bertahan dalam beberapa minggu setelah melahirkan.

Diagnosa preeklampsia termasuk peningkatan tekanan darah dan ditemukan

adanya protein di dalam urine. Preeklampsia muncul pada sekitar 5% kehamilan

dan sebagai faktor penyebab dari sekitar 16% kematian ibu secara global

(Cunningham et al., 2010).

Preeklampsia juga menyebabkan risiko kematian bayi meningkat hingga dua

kali lipat. Preeklampsia bahkan kadang tidak menunjukkan gejala dan dapat

berkembang menjadi kondisi yang mengancam nyawa yang disebut eklampsia

(Gibson, 2009).

2.2 Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan

Working Group of The National High Blood Pressure Education Program

pada tahun 2000 membuat klasifikasi hipertensi pada kehamilan.

6
7

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan (Cunningham et al., 2010).

Diagnosa hipertensi ditegakkan bila didapatkan tekanan darah sistolik ≥ 140

mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg. Kenaikan tekanan darah ≥ 30 mmHg untuk

sistolik dan ≥ 15 mmHg untuk diastolik (kendati pada pengukuran tekanan darah

tidak melebihi 140/90 mmHg) tidak digunakan lagi sebagai kriteria diagnostik

hipertensi (Cunningham et al., 2010).


8

2.2.1 Hipertensi Kronis

Hipertensi kronis didefinisikan sebagai hipertensi yang ditemukan sebelum

kehamilan atau sebelum usia kehamilan mencapai 20 minggu, atau hipertensi

yang ditemukan pertama kali pada usia kehamilan > 20 minggu dan tidak kembali

turun ke tekanan darah normal dalam 12 minggu setelah persalinan (Cunningham

et al., 2010).

2.2.2 Hipertensi Gestasional

Diagnosis Hipertensi Gestasional ditegakkan bila didapatkan tekanan darah

≥ 140/90 mmHg pada usia kehamilan ≥ 20 minggu, tanpa disertai adanya

proteinuria. Kendati demikian, apabila didapatkan peningkatan tekanan darah

yang signifikan, maka diperlukan pengawasan yang lebih ketat, karena kejadian

eklampsia dapat mendahului proteinuria. Tekanan darah pada kasus gestasional

hipertensi berangsur normal dalam 12 minggu setelah persalinan (Cunningham et

al., 2010).

2.2.3 Preeklampsia - Eklampsia

Preeklampsia ditandai dengan adanya peningkatan tekanan darah ≥ 140/90

mmHg disertai adanya proteinuria (300 mg/24 jam atau +1 pada pemeriksaan

dipstick). Edema tungkai yang sebelumnya menjadi salah satu kriteria diagnostik,

kini tidak lagi digunakan, karena banyak dijumpai pada wanita hamil normal.

Secara umum preeklampsia dibagi menjadi 2, yaitu preeklampsia ringan dan

preeklampsia berat. Batasan antara keduanya adalah peningkatan tekanan darah,

peningkatan proteinuria, peningkatan serum kreatinin, dan peningkatan serum

enzim hepar (Cunningham et al., 2010).


9

Preeklampsia berat didefinisikan sebagai adanya peningkatan tekanan darah

sistolik ≥ 160 mmHg dan diastolik ≥ 110 mmHg yang disertai proteinuria ≥ +2.

Pada preeklampsia berat, sejumlah penanda laboratorium seperti fungsi ginjal dan

fungsi hepar ditemukan meningkat, namun pada preeklampsia ringan

peningkatannya hanya minimal atau bahkan tidak ada peningkatan sama sekali.

Eklampsia didefinisikan sebagai timbulnya kejang pada wanita penderita

preeklampsia yang tidak disebabkan oleh hal lain. Kejang pada eklampsia bersifat

general dan dapat terjadi sebelum, saat, atau sesudah persalinan (Cunningham et

al., 2010).

2.2.4 Superimposed Preeklampsia pada Hipertensi Kronis

Superimposed preeklampsia didefiniskan sebagai timbulnya proteinuria

untuk pertama kali (≥ 300 mg/24 jam) di usia kehamilan ≥ 20 minggu, pada

wanita hamil yang sebelumnya telah terdiagnosa dengan hipertensi (hipertensi

kronis). Apabila seorang wanita menderita hipertensi dan proteinuria sebelum usia

kehamilan 20 minggu, maka diagnosis superimposed preeklampsia dapat

ditegakkan bila didapatkan peningkatan tekanan darah lebih dari sebelumnya,

peningkatan proteinuria, terjadinya trombositopenia (kurang dari 100.000/µL)

(Cunningham et al., 2010).

2.3 Preeklampsia

2.3.1 Epidemiologi

Preeklampsia mengkomplikasi sekitar 5-7% kehamilan di dunia (Decherney

et al, 2007). Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar tahun
10

2009-2010, didapatkan prevalensi preeklampsia ringan sebesar 1,36%;

preeklampsia berat sebesar 4,79%; superimposed preeklampsia sebesar 0,43%;

dan eklampsia sebesar 0,82% (Sutopo dan Surya, 2011).

2.3.2 Faktor-Faktor yang Meningkatkan Risiko Terjadinya Preeklampsia

Kendati dasar teori terjadinya preeklampsia masih belum pasti, terdapat

beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya preeklampsia

Cunningham et al., 2010).:

1. Usia ibu > 35 tahun

2. Ibu yang obesitas

3. Keadaan-keadaan di mana ibu terpapar vili korealis dalam jumlah besar

(kehamilan kembar, mola hidatidosa, ukuran plasenta yang besar)

4. Ibu hamil dengan penyakit kardiovaskular (hipertensi kronis, penyakit

ginjal)

5. Ibu dengan penyakit thyroid

6. Riwayat dari anggota keluarga yang menderita preeklampsia

2.3.3 Etiologi Preeklampsia

Hingga saat ini, belum ada satu teori yang pasti, yang menjadi dasar

terjadinya preeklampsia. Namun dari sejumlah studi yang telah dilakukan, etiologi

preeklampsia mengarah pada plasenta.

Hipotesis yang digunakan saat ini adalah preeklampsia merupakan sindroma

penyakit dengan 2 tahap (Cunningham et al., 2010). Tahap I merupakan keadaan

preklinis yang ditandai dengan gagalnya remodeling arteri spiralis oleh sel-sel
11

trofoblas dan menyebabkan hipoksia plasenta. Hal ini kemudian menyebabkan

pasien masuk ke dalam tahap II yang ditandai dengan respon inflamasi sistemik

yang diperantarai oleh aktivasi endotel.

Gambar 2.1 Gambar skematik preeklampsia sebagai sindrom penyakit dengan 2 tahap
(Cunningham et al., 2010).

Cunningham dkk (2010) menyatakan bahwa preeklampsia merupakan puncak

dari sejumlah faktor yang melibatkan ibu, plasenta, dan janin. Berikut adalah

faktor-faktor yang dianggap penting dalam terjadinya preeklampsia :

1. Implantasi plasenta dengan invasi abnormal dari sel-sel trophoblas ke

arteri spiralis.

2. Maladaptasi dari respon imun ibu terhadap jaringan ayah (plasenta) dan

jaringan janin.
12

3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamasi

yang terjadi.

4. Faktor-faktor genetik.

2.3.3.1 Invasi Abnormal Trophoblas

Pada kehamilan normal, arteri spiralis akan mengalami remodeling sebagai

akibat dari invasi sel-sel sitotrophoblas. Sel-sel sitotrophoblas akan menggantikan

endotel pada arteri spiralis beserta tunika medianya. Remodeling ini menyebabkan

lumen arteri spiralis menjadi lebih besar daripada sebelumnya dan memiliki

tahanan yang lebih kecil, sehingga memungkinkan terjadinya perfusi yang lebih

baik pada plasenta (Lindheimer et al., 2009 ; Cunningham et al., 2010).

Namun hal ini rupanya tidak terjadi pada kasus preeklampsia. Remodeling

yang terjadi pada preeklampsia ternyata hanya sebatas pada pembuluh darah di

desidua, tidak mencapai pembuluh darah di miometrium. Ini dikenal dengan

Incomplete Trophoblastic Invasion. Diameter lumen arteri spiralis tidak sebesar

pada kehamilan normal. Ini menyebabkan kondisi hipoksia pada plasenta yang

pada akhirnya menyebabkan terlepasnya debris-debris plasenta, masuk ke dalam

sirkulasi ibu, dan menimbulkan respon inflamasi sistemik pada ibu (Cunningham

et al., 2010).

2.3.3.2 Maladaptasi Respon Imun Ibu

Secara fungsional, respon imun manusia terbagi menjadi 2, yaitu innate

immune response atau respon imun bawaan dan adaptive immune response atau
13

respon imun adaptif/yang didapat. Respon imun adaptif ini yang banyak berperan

dalam hal diterima atau tidaknya hasil konsepsi.

Respon imun maternal-placental tergantung pada antingen Major

Histocompatibility (MHC) yang diekspresikan oleh sel-sel trofoblas, dan inilah

yang membedakan dengan sel-sel somatik lainnya, karena sel-sel sitotrofoblas

tidak mengekspresikan antigen HLA-A atau HLA-B (MHC tipe 1a) atau HLA-D

(MHC tipe 2). Ketiga antigen ini merupakan stimulator utama dari respon

penolakan jaringan (dalam hal ini penolakan hasil konsepsi) yang diperantarai

oleh sel T. Namun demikian, sel-sel sitotrofoblas mengekspresikan HLA-C (MHC

tipe 1a) dan sejumlah MHC klas 1b non-klasikal yaitu HLA-E dn HLA-G

(Lindheimer et al., 2009).

Disebutkan bahwa uterus (desidua) adalah suatu jaringan yang unik, yang

berbeda dengan jaringan lain dalam hal imunitas. Selama fase luteal, desidua akan

diinfiltrasi oleh leukosit, dimana 75% dari leukosit tersebut adalah Natural Killer

Cells. Natural Killer Cells yang ada di uterus (uNK) membawa receptor yang

nantinya akan berinteraksi dengan HLA yang diekspresikan oleh sel-sel

sitotrofoblas. HLA-C adalah ligand untuk Killer Immunoglobulin-like Receptors

(KIR) yang diekspresikan oleh uNK sendiri. HLA-G akan berikatan dengan

Inhibitory Leucocyte Immunoglobulin-like Receptors (LIR-1 dan LIR-2) yang

diekspresikan oleh monosit, NK-sel, sel T, dan makrofag.

Redman et al (2009) meneliti kemungkinan peran maladaptasi dari respon

imun ibu dalam patofisiologi preeklamsia. Pada awal kehamilan yang ditakdirkan

untuk menjadi preeklampsia, sel-sel trofoblas mengekpresikan HLA-G dalam


14

jumlah yang lebih kecil daripada kehamilan normal. Hal ini berkontribusi

terhadap remodeling arteri spirales yang kurang baik.

2.3.3.3 Maladaptasi Terhadap Perubahan Vaskular

Respon inflamasi yang terjadi pada preeklampsia adalah kelanjutan dari

perubahan tahap I yang disebabkan oleh remodeling arteri spirales yang tidak

sempurna. Remodeling yang tidak sempurna menyebabkan plasenta menjadi

hipoksia dan melepaskan mediator-mediator yang akan memicu aktivasi sel

endotel ibu (disfungsi sel endotel).

Sel endotel adalah adalah sel yang melapisi pembuluh darah, terletak di

antara otot polos pembuluh darah dan darah yang bersirkulasi di dalamnya. Sel

endotel mampu mengeluarkan berbagai molekul-molekul signal yang langsung

masuk ke dalam sirkulasi dan menyebar ke seluruh organ. Sel endotel berfungsi

mengatur tonus vaskular, permeabilitas vaskular, koagulasi, dan sebagai target

dari sel-sel imun. Tonus vaskular dipertahankan oleh endotel di bawah pengaruh

dari vasokonstriktor (seperti endothelin dan tromboxan A2) dan vasodilator

(seperti Nitric Oxide, prostacyclin), sementara fungsi koagulasi terjadi sebagai

akibat dari keseimbangan antara pro-koagulan dan antikoagulan, dan

permeabilitas vaskular dipertahankan oleh sel endotel dengan adanya endothelial

tight junction. Disfungsi endotel maternal dipercaya menyebabkan vasospasme,

microtrombosis, dan peningkatan permeabilitas vaskular yang nantinya akan

menjadi tanda dan gejala dari ibu dengan preeklampsia. (Taylor et el., 2009).
15

2.3.3.4 Faktor Genetik

Preeklampsia adalah suatu penyakit multifaktorial dan poligenik. Review

yang dilakukan oleh Ward dan Lindheimer pada tahun 2009 menyatakan bahwa

risiko insiden preeklampsia pada seorang putri dari ibu yang mengalami

preeklampsia adalah 20-40 persen; risiko seorang wanita mengalami preeklampsia

yang saudarinya mengalami preeklampsia adalah 11-37 persen; dan 22-47 persen

pada wanita kembar yang saudari kembarnya mengalami preeklampsia. Ward dan

Lindheimer pada tahun 2009 juga menemukan ada sekitar 70 gen yang berperan

dalam terjadinya preeklampsia (Cunningham et al., 2010).

2.3.4 Patogenesis

Seperti telah disebutkan sebelumnya, preeklampsia adalah suatu sindrom

penyakit yang terdiri dari 2 tahap. Tahap pertama ditandai dengan kegagalan

remodeling arteri spiralis dan tunika medianya oleh sel-sel sitotrofoblas yang

menginvasinya. Pada kehamilan normal, sel-sel sitotrofoblas akan mengurangi

ekspresi reseptor adhesi yang merupakan karakteristik dari sel epitel, yaitu

integrin α6β4 dan E-cadherin; dan lebih meningkatkan ekspresi dari reseptor

adhesi yang biasanya ada pada sel endotel, yaitu integrin α1β1, αVβ3 dan VE-

cadherin. Ini menyebabkan sel-sel sitotrofoblas mengalami perubahan secara

fenotip, menyerupai sel-sel endotel yang digantikannya. Akibat dari perubahan

ini, sel-sel sitotrofoblas menjadi lebih motil dan invasif. Efek akhir yang

dihasilkannya adalah diameter arteri spiralis yang membesar secara bermakna,

yang memungkinkan aliran darah ke plasenta lebih baik, mengikuti perkembangan

janin (Fisher et al., 2009).


16

Hal sebaliknya terjadi pada kehamilan dengan preeklampsia, dimana sel-sel

sitotrofoblas gagal mengekspresikan reseptor adhesi endotel seperti yang terjadi

pada sel-sel trofoblas yang normal. Kegagalan ini menyebabkan terbatasnya

aliran darah yang mensuplai plasenta dan terjadilah hipoksia plasenta. Selain itu,

kegagalan remodeling ini juga membawa dampak yang lebih luas, yaitu sel-sel

trofoblas tidak mampu berfungsi dengan baik sebagai sel endotel sebagaimana

layaknya pada kehamilan normal (Fisher et al., 2009).

Setelah kegagalan remodeling ini, maka perjalanan penyakit preeklampsia

masuk ke dalam tahap kedua, yaitu aktivasi endotel yang ditandai dengan

peningkatan sensitivitas pembuluh darah terhadap agen-agen vasopressor, yang

menyebabkan vasokonstriksi menyeluruh; aktivasi sistem pembekuan darah, yang

menyebabkan mikrotrombosis; dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,

yang menyebabkan keluarnya cairan dari ruang intravaskular. Lebih jauh, aktivasi

endotel yang menyebabkan vasokonstriksi menyeluruh, pada akhirnya akan

membuat aliran darah utero-plasenta menurun sehingga terjadi hipoksia yang

lebih berat pada plasenta (Roberts, 2007).

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, bagaimana penurunan perfusi

plasenta dapat memicu aktivasi endotel pada ibu, dan menyebabkan ibu jatuh ke

dalam keadaan preeklampsia. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa keadaan

hipoksia pada plasenta, akan memicu plasenta untuk melepaskan mediator-

madiator tertentu. Sitokin seperti TNFα akan dilepaskan dan dapat masuk ke

sirkulasi ibu kemudian akan memicu aktivasi endotel. Hipoksia plasenta juga akan

memicu apopotosis dan nekrosis yang ekstensif dari sel-sel sinsitiotrofoblas,


17

dimana mikropartikelnya dapat memasuki sirkulasi ibu, kemudian menyebabkan

aktivasi endotel.

Hipotesis yang banyak dianut sekarang menyatakan bahwa stress oksidatif

adalah sinyal utama yang menjembatani tahap I dan tahap II dari perjalanan

penyakit preeklampsia. Biomarker stress oksidatif yang berasal dari lipid dan

protein banyak ditemukan dalam sirkulasi ibu yang menderita preeklampsia serta

pada daerah pertemuan jaringan ibu dan fetal (Maternal-Fetal Interface).

Tabel 2.2 Daftar Biomarker yang Ditemukan Pada Wanita dengan Preeklampsia
(Lyall dan Belfort, 2007)

Stres oksidatif pada plasenta, dapat menyebabkan pembentukan

malondialdehid atau isoprostan yang akan berinteraksi dengan sel-sel endotel

secara sistemik. Selain itu, juga ditemukan produk-produk darah yang teraktivasi
18

pada penderita preeklampsia. Neutrofil dan Monosit dapat teraktivasi oleh

keadaan stress oksidatif saat melewati ruang antarvilus dan selanjutnya

berinteraksi dengan sel-sel endotel dan melepaskan Reactive Oxigen Species/ROS

(Roberts, 2007).

2.4 Stres Oksidatif

Stres oksidatif adalah keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara pro-

oksidan dan antioksidan. Stres oksidatif timbul ketika pembentukan radikal bebas

(substansi reaktif yang memiliki 1 atau lebih elektron yang tidak berpasangan)

melebihi kapasitas pembentukan atau jumlah antioksidan di dalam tubuh. Stres

oksidatif telah dipostulatkan menjadi penyebab dari aktivasi endotel pada

preeklampsia (Taylor et al., 2009).

Termasuk di dalam pro-oksidan adalah radikal bebas seperti anion superoksid

(O2-), radikal hidroksil (OH•), Nitrit Oksida (NO), dan Reactive Oxigen

Species/ROS lainnya. ROS adalah terminologi untuk keseluruhan turunan dari

oksigen, baik itu radikal bebas maupun yang non-radikal seperti Hidrogen

Peroksida (H2O2). ROS secara terus menerus diproduksi oleh berbagai macam sel

di dalam tubuh, termasuk oleh sel-sel endotel (Taylor et al., 2009).

Ada sejumlah jalur metabolik yang dapat menghasilkan radikal bebas turunan

dari oksigen. Mitokondria, retikulum endoplasmik, dan membran nukleus telah

terbukti memproduksi anion superoksid (O2-) sebagai konsekuensi dari auto-

oksidasi pada komponen transfer elektron. Radikal bebas juga dihasilkan dari
19

metabolisme arakhidonat oleh Prostaglandin H sintase, lipoxigenase, dan sitokrom

P450. Nitrit Oksida sintase dapat menghasilkan anion superoksid dan hydrogen

peroksida, terutama bila konsentrasi L-arginin (prekursor untuk pembentukan

Nitrit Oksida) intra seluler rendah (Taylor et al., 2009).

Reactive Oxygen Species yang paling banyak dihasilkan oleh tubuh adalah

superoksid (O2•), kemudian secara cepat dirubah ke dalam bentuk hidrogen

peroksida (H2O2), yang kemudian memisah menjadi anion hiroksil (OH•), yang

sangat reaktif. Ada banyak sumber biologis dari O 2•. Pada rantai oksidasi (siklus

krebs) yang terjadi di dalam mitokondria, sejumlah elektron (1-3%) terlepas dan

membentuk O2•. Kerusakan pada DNA mitokondria juga dapat meningkatkan

produksi O2•. Jika berlebihan, O2• mitokondria dapat menyebabkan apoptosis,

proses penuaan (aging process) dan penyakit yang berkaitan dengan usia, serta

kerusakan oksidatif pada plasenta (Raijmakers dan Poston, 2007).

Pada neutrofil, sel endotel, sel otot polos vaskular, dan trofoblas, sumber

utama dari O2• adalah golongan NADPH oksidase. Aktivasi dari enzim-enzim

golongan ini menghasilkan stimulus pada angiotesin II, platelet-derived growth

factor, thrombin, sitokin, serta perubahan hemodinamik dan metabolik.

Peningkatan produksi O2• oleh NADPH oksidase membawa dampak pada kondisi

stress oksidatif dan perkembangan dari penyakit kardiovaskular (Raijmakers dan

Poston, 2007).

Pada wanita penderita preeklampsia, produksi superoksid meningkat. Sitokin

seperti TNFα juga meningkat dan secara langsung menyebabkan kerusakan

oksidatif serta secara tidak langsung meningkatkan jumlah radikal bebas melalui
20

jalur xantine oksidase. Radikal bebas ini kemudian menyebabkan serangkaian

efek negatif di dalam tubuh diantaranya teroksidasinya komponen lipid pada

membran sel dan modifikasi oksidatif dari lipoprotein.

Mekanisme pertahanan tubuh dalam melawan pro-oksidan adalah dengan

membentuk antioksidan. Antioksidan secara umum terbagi dalam antioksidan

enzimatik dan non-enzimatik. Glutathione (GSH), Vitamin C, dan Vitamin E

adalah contoh dari antioksidan non-enzimatik. Sedangkan contoh antioksidan

enzimatik adalah Superoksid Dismutase (SOD), Katalase, dan golongan

Glutathione Peroksidase (GPx). Superoksid Dismutase (SOD) adalah mekanisme

pertahanan pertama di dalam melawan radikal bebas melalui konversi O 2•

menjadi H2O2 dan oksigen. Sedangkan GPx memegang peran penting dalam

peroksidasi lipid terutama dalam mengkatalis pemecahan dari H2O2 dan

hidroperoksida organik lainnya. Ada dua GPx intraseluler utama di dalam tubuh,

yaitu GPx-1 dan GPx-4. GPx-1 yang juga disebut GPx klasik, tersedia dalam

jumlah banyak di hampir seluruh jaringan dan terdistribusi secara luas di dalam

sel. GPx-4 atau Phospolipid Hydroperoxide Peroxidase, adalah antioksidan yang

unik karena tidak memerlukan aktivasi dari phosporilase untuk mendetoksifikasi

lipid peroksidase. Sistem Thioredoksin, kendati memainkan peran yang lebih

kecil dalam hal jumlahnya, namun terdapat di dalam pusat kontrol redoks.

Thioredoksin berperan dalam regenerasi dari sejumlah antioksidan, diantaranya

asam askorbat, glutathione, dan ubiquinone (Raijmakers dan Poston, 2007; Boutet

et al., 2009).
21

Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa total GPx menurun pada plasenta,

darah dan plasma ibu. Jaringan plasenta dari ibu yang menderita preeklampsia

menunjukkan peningkatan kapasitas untuk memproduksi O2•, sedangkan total

kapasitas antioksidan seringkali dilaporkan menurun. Level Vitamin E dalam

darah dilaporkan menurun dan ekspresi dari sejumlah antioksidan enzimatik

(SOD, GPx) juga didapatkan berkurang (Raijmakers dan Poston, 2007).

Ketidakseimbangan antara pro-oksidan dan antioksidan inilah yang memicu

terjadinya stress oksidatif yang kemudian menjadi perantara tahap I (kegagalan

remodeling arteri spirales oleh sitotrofoblas) dan tahap II (aktivasi endotel dan

respon inflamasi sistemik pada ibu) dalam perjalanan penyakit preeklampsia

(Raijmakers dan Poston, 2007).

2.5 Selenium

Selenium adalah suatu unsur kimia, yang di dalam tabel periodik memiliki

singkatan Se dan nomor atom 34. Selenium banyak didapatkan di dalam menu

diet sehari-hari. Dalam jumlah besar, dapat bersifat toksik bagi makhluk hidup,

tapi sangat dibutuhkan dalam jumlah kecil.

Pertama kali ditemukan oleh peneliti bernama Jons Jacob Berzelius pada

tahun 1817 saat meneliti penyebab dari banyaknya pekerja pada pabrik asam

sulfat di Swedia yang mendadak menjadi sakit. Nama selenium diambil dari kata

‘Selene’ yang merupakan dewi bulan dari mitologi Yunani (Mistry, et al., 2012).
22

Kandungan Selenium di dalam tubuh manusia dewasa, bisa sangat bervariasi,

tergantung dari kandungan Selenium yang terdapat di dalam diet harian. Di dalam

tubuh manusia, sebanyak 30% selenium disimpan di dalam hati, 15% di dalam

ginjal, 30% di dalam otot, dan 10% di dalam plasma darah. Sisanya tersebar di

dalam jaringan lain dalam jumlah yang sangat kecil (Gambling dan McArdle,

2010; Mistry, et al., 2012).

2.5.1 Sumber, Bioavaibilitas, dan Metabolisme Selenium

Di daratan Amerika Utara, selenium banyak terdapat pada gandum dan

sejumlah hasil bumi lainnya. Sementara di daratan Eropa Utara, hasil laut seperti

ikan, kerang, dan kepiting menjadi sumber utama dari selenium. Sedangkan di

daratan Inggris, daging yang difortifikasi, unggas, dan ikan menjadi sumber utama

dari selenium (Rayman, 2000).

Selenium yang dikonsumsi dari makanan atau dari suplemen memiliki

bentuk organik dan inorganik. Selenomethionin (dari tanaman, hewan, dan

suplemen) dan selenocystein (bersumber dari hewan) adalah contoh bentuk

organik, sedangkan selenate dan selenite (bersumber dari suplemen) adalah

contoh bentuk inorganik (Rayman, 2000).

Bioavaibilitas dan distribusi pada jaringan tergantung dari bentuk yang

dikonsumsi. Sebagai contoh, selenomethionin lebih cepat dalam meningkatkan

status selenium seseorang. Akan tetapi, ketersediaannya di alam jauh lebih sedikit

bila dibandingkan dengan selenite atau selenate. Sebaliknya selenite atau selenate

perlu direduksi terlebih dahulu menjadi selenide untuk kemudian diubah menjadi
23

selenophospate, prekursor dari selenocystein, bentuk aktif dari selenium yang

terdapat di selenoprotein (Rayman, 2000).

Selenium yang didapatkan dari makanan sehari-hari, akan diabsorpsi di

dalam usus halus untuk kemudian berinteraksi dengan protein karier dalam suatu

proses komplek yang hingga saat ini masih belum jelas. Selenite (SeO32-) akan

menembus membran plasma dan bereaksi dengan gugus thiol yang ada di dalam

sitoplasma untuk kemudian berperan dalam proses redoks. Setelah menjalani

perannya dalam proses redoks, selenium akan mengalami metilasi untuk

kemudian diekskresikan di dalam urin, feses, dan udara ekspirasi. Banyaknya

selenium yang diekskresikan bergantung pada seberapa banyak asupan selenium

(Mistry, et al., 2012).

Gambar 2.2 Ilustrasi Metabolisme Selenium di dalam Tubuh Manusia


(Mistry, et al., 2012).
24

Keterangan :

 GS-SeH : Gluthation

 H2SE : Hidrogen selenide

 CH3SeH : methyl selenide

 (CH3)2SE : dimethyl selenide

 (CH3)3SE+ : trimethyl selenonium ion

2.5.2 Kadar Normal dan Kebutuhan Selenium

Penelitian yang dilakukan di Teheran Iran, yang melibatkan 24 wanita dan

102 pria usia di atas 16 tahun, menunjukkan bahwa kadar normal selenium darah

untuk wanita dewasa berkisar antara 74 – 125 µg/L, sedangkan untuk pria berkisar

antara 75 – 134 µg/L (Safaralizadeh et al, 2005). Sementara itu, penelitian yang

dilakukan oleh Klapcinska dkk di Polandia menghasilkan data sebagai berikut :

 Pada kelompok umur 16 – 20 tahun dengan jenis kelamin wanita, rata-rata

kadar selenium pada darah adalah 55,0 µg/L, sedangkan pada pria adalah

60,9 µg/L.

 Pada kelompok umur 21 - 40 tahun dengan jenis kelamin wanita, kadar

normal selenium pada darah adalah 63,8 µg/L, sedangkan pada pria adalah

69,2 µg/L.

Hingga saat ini, belum ada kesepakatan tentang kebutuhan harian dari

selenium. Namun demikian, sejumlah negara dan WHO telah mengeluarkan

rekomendasi kebutuhan harian selenium. WHO melalui Normative Requirement

Estimate (NR) merekomendasikan asupan harian sebesar 30 µg untuk wanita


25

dewasa. Amerika Serikat melalui Recommended Daily Allowance (RDA)

merekomendasikan asupan harian sebesar 55 µg bagi wanita dewasa dan 60 µg

bagi wanita hamil, dengan batas maksimum 400 µg selenium per harinya. Inggris

Raya melalui Reference Nutrient Intakes (RNI) merekomendasikan 60 µg untuk

wanita dewasa, dan 75 µg untuk wanita hamil. Dengan mengkonsumsi sejumlah

selenium tersebut di atas, diharapakan dapat mencapai konsentrasi selenium di

dalam plasma sebesar 95 µg/dL, dimana konsentrasi tersebut merupakan

konsentrasi optimal bagi selenoenzyme untuk menjalankan fungsinya (Mistry, et

al., 2012).

Tabel 2.3 Rekomendasi Harian Asupan Selenium Amerika Serikat, Inggris Raya, dan
WHO (Mistry, et al., 2012).

Keterangan :
 RDA : Recommended Daily Allowance
 RNI : Reference Nutrient Intakes
 NR : Normative Requirement Estimate
26

Tabel 2.4 Rekomendasi Harian Asupan Selenium Negara-Negara di Eropa


(Rayman, 2000)

Defisiensi selenium seringkali dijumpai pada penduduk yang tinggal di

daerah dengan kandungan selenium rendah, seperti pada daerah pegunungan.

Defisiensi selenium yang parah dapat menyebabkan penyakit-penyakit seperti

Keshan disease, suatu kardiomiopati yang ditandai dengan nekrosis fokal pada

miokard. Berbagai fungsi tubuh juga mengalami penurunan pada keadaan

defisiensi selenium, karena selenium berperan dalam sejumlah fungsi tubuh,

seperti reproduksi dan imunitas (Mistry, et al., 2012; Rayman M. P.; 2000).

Sebaliknya, asupan yang berlebihan dapat mengarah pada toksisitas

selenium yang ditandai dengan rontoknya rambut dan terlepasnya kuku, gangguan

pada gastrointestinal, gangguan pada sistem saraf, bintik-bintik kemerahan pada

kulit, dan bau nafas (Mistry, et al., 2012).

2.5.3 Fungsi Selenium

Hingga saat ini, telah diketahui sejumlah peran selenium bagi manusia.

Diantaranya adalah pada sistem kekebalan tubuh, kardiovaskular, sistem

reproduksi, kehamilan, dan anti oksidan.


27

Tabel 2.5 Fungsi Sejumlah Selenoprotein di Tubuh Manusia (Mistry, et al., 2012).

2.5.3.1 Selenium dan Sistem Kekebalan Tubuh

Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa defisiensi selenium dapat berakibat

pada penurunan sistem kekebalan tubuh. Fungsi sel T dan sel B didapati menurun

pada kondisi defisiensi selenium. Sebaliknya, suplementasi selenium ternyata

dapat meningkatkan imunitas seseorang, ditandai dengan proliferasi dari sel T.

Limfosit dari sukarelawan-sukarelawan yang mendapat suplemen selenium

sebanyak 200 µg per hari menunjukkan adanya peningkatan respon terhadap

stimulasi dari antigen dan peningkatan kemampuan untuk berubah menjadi sel T

sitotoksik yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel-sel kanker. Selain

itu, aktivitas NKC (Natural Killer Cells) juga meningkat.


28

Mekanisme dari ini semua rupanya berkaitan dengan kemampuan selenium

untuk meningkatkan ekspresi dari reseptor Growth-regulatory Cytokine

Interleukin-2 yang terdapat pada permukaan sel limfosit dan NKC. Hal ini

penting bagi proliferasi sel T dan diferensiasi menjadi sel T sitotoksik (Rayman,

2000).

2.5.3.2 Fungsi Selenium Dikaitkan dengan Stres Oksidatif

Selenium, yang sangat esensial bagi manusia, adalah komponen utama dari

sejumlah selenoprotein yang memainkan peran penting dalam reproduksi,

metabolisme hormon tiroid, sintesis DNA, dan fungsi penting dari enzim-enzim.

Selenoprotein sendiri adalah senyawa protein yang di dalamnya mengandung

asam amino selenocysteine (Se-Cys). Glutathione Peroksidase (GPx) dan

Thioredoksin Reductase adalah antioksidan endogen yang memerlukan selenium

di dalam pembentukannya (Vanderlelie et al., 2011; Burk et al., 2003).

Selenium pada tubuh manusia dapat bertindak sebagai anti oksidan sekaligus

sebagai anti inflamasi. Ini disebabkan selenium mampu mereduksi hidrogen

peroksida, lipid dan phospolipid hidroperoksida dan karenanya mampu

menghambat pembentukan radikal bebas dan Reactive Oxygen Species (ROS);

mereduksi hidroperoksida yang berperan dalam jalur siklooksigenase dan

lipooksigenase sehingga mengurangi terbentuknya prostaglandin dan leukotrien

pada proses inflamasi (Rayman, 2000).


29

2.5.3.3 Fungsi Selenium Dikaitkan dengan Penyakit Kardiovaskular

Selenium dapat berperan sebagai agen protektor dari penyakit

kardiovaskular. Hal ini didasari oleh kemampuan GPx untuk melawan oksidasi

dari lipid dan agregasi dari platelet. GPx4 mengurangi hidroperoksida dari

fosfolipid dan gugus ester yang berkaitan dengan lipoprotein dan karenanya

mampu mengurangi akumulasi dari LDL (Low-density Lipoprotein) yang

teroksidasi dari dinding arteri (Rayman, 2000).

Studi epidemiologi prospektif terhadap efek selenium pada sistem

kardiovaskular menunjukkan hasil yang beragam. Solonen dkk menemukan

bahwa risiko morbiditas karena kardiovaskular meningkat dua sampai tiga kali

pada individu dengan kadar selenium serum di bawah 45 µg/L bila dibandingakan

dengan individu dengan kadar selenium serum yang lebih tinggi. Sementara itu

Virtamo dkk menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar

selenium di bawah dan di atas 45 µg/L kecuali pada kasus mortalitas karena

stroke. Sementara itu studi yang dilakukan oleh Susdicani dkk terhadap pria paruh

baya di Denmark dengan kadar selenium serum kurang dari 79 µg/L menunjukkan

adanya peningkatan risiko yang signifikan untuk penyakit jantung iskemik. Akan

tetapi, sekitar 6 studi lain tidak menunjukkan adanya hubungan yang jelas antara

kadar selenium serum yang rendah dengan risiko gangguan kardiovaskular

(Rayman, 2000).

Anda mungkin juga menyukai