Anda di halaman 1dari 10

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK TUGAS HARIAN

JULI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

PSIKIATRI FORENSIK

Oleh :
Turi Puji Cora Gau , S.Ked
Dachniar Dwi Astuti , S.Ked
Khalidinah Iriansyah, S.Ked
Diyah Sasmi Kurnia, S.Ked
Anita Rezky, S.Ked

PEMBIMBING :
Kompol. Dr.dr. Mauluddin M, SH, MH, Sp.F, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019

1
PSIKIATRI FORENSIK

I. PENDAHULUAN
Psikiatri (ilmu kedokteran jiwa) forensik sebagai ilmu yang mempelajari tingkah
laku manusia, khususnya dalam hal-hak abnormal dengan berbagai motifnya kian
lama menduduki tempat yang penting. Seperti kita ketahui, akhir-akhir ini sering
terjadi orang yang melakukan tindak pidana ternyata mengalami gangguan jiwa.
Bagaimanakah dari segi koridor hukum orang yang melakukan tindak pidana tetapi
mengalami gangguan jiwa, apakah disanksi pidana atau tidak? Dimana secara hukum
dalam penjelasan pasal 44 KUHP disebutkan bahwa orang yang mengalami gangguan
jiwa berat (psikosis), retardasi mental sedang, berat, dan gangguan pikiran tidak bias
dituntut atau dipidana.
Demikian juga menurut hukum kriminal, suatu perbuatan sosial yang berbahaya
bukan merupakan satu-satunya patokan kejahatan. Perbuatan yang tercela itu harus
dilakukan secara sukarela, penjahat itu harus mempunyai tujuan suatu maksud jahat
dan ia tahu akibat perbuatannya. Tidak mungkin ada maksud jahat pada pada
seseorang, biarpun ia melanggar hukum apabila keadaan mentalnya terganggu
sehibgga sebagai akibatnya ia kehilangan kemampuan bermaksud secara masuk akal
(rasional). Kemudian kalau kita melihat dalam sejarah di Inggris tahun 1834
ditetapkan peraturan M’ Naughten (M’ Naughten rule) yang mengatakan bahwa
seseorang tidak bersalah karena alas an gila, atau jika perbuatannya itu dilakukan di
bawah pengaruh penyakit jiwa sehingga ia tidak sadar akan sifat, kwalitas dan akibat
perbuatannya itu, atau jika ia tidak mampu menyadari bahwa perbuatannya itu salah.
Dalam tahun 1922, peraturan M’ Nuaughten diperluas dengan konsep “impuls yang
tak dapat ditahan”. Konsep ini mengatakan bahwa seseorang yang dituduh melakukan
kejahatan, tidak bertanggung jawab atas perbuatannya bila perbuatannya itu
dilakukan di bawah pengaruh suatu impuls yang tidak dapat ditahan olehnya karena ia

2
kehilangan daya sebab suatu penyakit jiwa. Dan di Amerika Srikat dalam tahun 1954
timbul peraturan Durham yang mengatakan bahwa sebagai satu-satunya patokan,
peraturan M’ Naughten belum memadai karena tidak dapat diterapkan secara valid
dalam semua keadaan, demikian juga dengan Impul yang tidak dapat ditahanbelum
memadai karena tidak mengindahkan gangguan jiwa yang ditandai oleh suka
memikir-mikirkan mengenai pelaksanaa suatu kejahatan dan reflexi (membayang-
bayangkan kembali). Peraturan Durham secara sederhana mengatakan bahwa
seseorang terdakwa tidak bertanggung jawab secara kriminal jika tindak pidananya
itu merupakan hasil penyakit jiwa atau defek mental. Banyak psikiater menyokong
peraturan Durham ini.
Jadi menurut hukum sudah jelas bahwa orang yang melakukan tindak pidana
mengalami gangguan jiwa atau tidak kompeten tidak diberi sanksi pidana. Namun
untuk menentukan apakah orang tersebut benar-benar mengalami gangguan jiwa,
aparat hukum meminta bantuan kepada dokter psikiatri atau dokter untuk memeriksa
orang tersebut, hal ini sesuai dengan Undang-undang No 8 tahun 1981 KUHAP,
Undang-undang No 23 tahun 1992 tentang kesehatan jo Peraturan Menkes RI No
1993 Tahun 1970 pasal 15 sampai dengan pasal 23.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Pengertian Psikiatri Forensik
Sebelumnya perlu diketahui psikiatri forensik merupakan bagaian dari
ilmu psikiatri, dan bagian ini (psikiatri forensik) merupakan cabang dari ilmu
forensik. Ada beberapa pengertian psikiatri forensik yaitu salah satu sub
spesialisasi atau bagian dari ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) yang mengkhususkan
diri mempelajari dan menangani pada hal-hal atau keadaan gangguan jiwa dengan
kasus tindak kriminal bagi kepentingan peradilan. Ada juga yang mengatakan
bahwa psikiatri forensik adalah psikiatri yang mempelajari aspek hukum
mengenai gangguan jiwa yang menunjukkan penyimpangan sosial, yaitu orang
yang telah melanggar ”peraturan” masyarakat sehingga perilakunya menjadi
masalah. Atau psikiatri forensik adalah cabang ilmu forensik yang menggunakan
ilmu psikiatri untuk membantu menegakkan hukum demi peradilan.

3
Perlu diketahui pada kasus-kasus tersangka diduga mengalami gangguan
jiwa psikiater atau dokter berusaha mengetahui penyebabnya dan melalui
pencegahan dan pengobatan akhirnya mengurangi perilaku yang menyimpang itu.
Jadi dokter berusaha memahami perilakunya, bukan membenarkannya.
B. Dasar Hukum
Dasar hukum psikiatri forensik terdiri dari :
1. Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan terutama bagian
ketujuh pasal 24, 25, 26, dan 27. Pada pasal 26 ayat (1) disebutkan penderita
gangguan jiwa yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan
ketertiban umum wajib diobati dan dirawat di sarana pelayanan kesehatan jiwa
atau pelayanan kesehatan lainnya. Dengan penjelasan bahwa penderita gangguan
jiwa karena keadaannya, mungkin sajamelakukan perbuatan yang dapat
mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau keselamatan dirinya. Oleh karena
itu wajib dirawat dan ditempatkan disarana pelayanan kesehatan jiwa selain itu
kewajiban pengobatan dan perawatan sarana kesehatan jiwa dimaksudkan agar
masyarakat tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan cara pengobatan
dan cara perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan. Yang
dimaksudkan sarana kesehatan lainnya antara lain rumah sakit umum dan
puskesmas. Dasal pasal 27 menyebutkan ketentuan mengenai kesehatan jiwa dan
upaya penanggulangannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia
kedokteran. Dimana pada penjelasan pasal 4 disebutkan berdasarkan pasal 322
KUHP, maka pembocoran rahasia jabatan dalam hal ini rahasia kedokteran,
adalah suatu tindak pidana yang dituntut atas pengaduan, apabila kejahatan itu
ditujukan kepada seseorang tertentu. Demi kepentingan umum Menteri Kesehatan
dapat bertindak terhadap pembocoran rahasia kedokteran, meskipun tidak ada
suatu pengaduan.
3. Undang-Undang No 3 Tahun 1966 tentang kesehatan jiwa, terutama pasal 5,6,
dan 8 (sekarang sudah tidak berlaku)

4
4. Peraturan Menkes RI tanggal 6 November Tahun 1970 No 1993/Kdj/U/70
tentang pemeriksaan terdakwa yang diduga menderita sakit jiwa terutama pasal 15
s/d pasal 23
5. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ) pasal 44

Pasal 44 terdiri dari 3 ayat yaitu :


(1) Barang siapa melakukan tindak pidana yang tidak dipertanggungjawabkan
padanya karena waktu melakukan perbuatan tersebut menderita sakit
jiwa/keterbelakangan mental/gangguan kesadaran tidak dipidana
(2) Karena ayat (1) hakim dapat melakukan memasukkannya untuk mendapat
perawatan dan pengobatan selama 1 tahun di RS Jiwa
(3) Ketentuan tersebut pada ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Penjelasan ayat (1) diatas adalah orang yang tidak dituntut melakukan tindak
pidana bila orang tersebut terbukti mengalami sakit jiwa berat (psikosis).
Keterbelakangan mental (retardasi mental) yang sedang, berat, dan sangat
berat, serta gangguan kesadaran seperti Epilepsi, Disosiasi histeri, dll.
6. KUHP pasal 332 dan pasal 224 mengenai sanksi membuka rahasia jabatan dan
sanksi jika tidak memenuhi panggilan sebagai saksi ahli bila diminta oleh pihak
yang berwenang.

C. Proses Permintaan dan Pembuatan Visum et Repertum Psikiatri dan Keterangan


Dokter
Sesuai dengan Undang-Undang No 23 Tahun 1992 dan Peraturan Menkes RI No
1993/Kdj/U/70 maka prosedur permintaan dan pembuatan visum et repertum psikiatri
dan keterangan dokter adalah sebagai berikut :
1. Ada surat permintaan secara tertulis dari pejabat yang berwenang dan memuat
identitas lengkap orang yang akan diperiksa, alas an pemeriksaan serta berita
acaranya. Pejabat yang berwenang untuk meminta visum et repertum adalah
hakim ketua pengadilan, sedangkan keterangan dokter adalah jaksa atau polisi.

5
Selain itu yang berhak menjadi pemohon visum et repertum adalah tersangka atau
terdakwa dan korban serta penasehat hokum melalui pejabat sesuai dengan tingkat
pemeriksaan. Surat permintaan ditujukan kepada Direktur atau Kepala Fasilitas
perawatan pasien gangguan jiwa atau lembaga khusus untuk pemeriksaan, disertai
tembusan kepada Kepala kantor Wilayah DEPKES RI (sekarang Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi). Direktur pada fasilitas pasien gangguan jiwa akan memberi
tugas pada dokter/psikiater, yaitu dokter yang memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a. Bekerja pada fasilitas perawatan pasien gangguan jiwa atau lembaga
khusus untuk pemeriksaan
b. Tidak berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan
c. Tidak ada hubungan keluarga atau terikat hubungan kerja dengan
tersangka atau korban
d. Tidak ada hubungan sengketa dalam perkara lain.
2. Tempat perawatan tidak bertanggung jawab terhadap larinya penderita/terdakwa,
judi menjudi menjadi tanggungjawab pejabat peminta visum et repertum
3. Pembuatan visum et repertum psikiatri selama 14 hari sedangkan keterangan
dokter tidak boleh melebihi 3x24 jam sejak tersangka ada di tempat perawatan
4. Kalau selama di tempat perawatan terbukti bahwa penderita/terdakwa menderita
penyakit jiwa, maka kepala tempat perawatan membuat laporan tertulis (visum et
repertum atau surat keterangan dokter) kepada Hakim Pengadilan Negeri dengan
disertai keterangan bahwa perawatan dan pengobatan bagi penderita/terdakwa
segera diperlukan.
5. Setelah penderita/terdakwa mendapat perawatan dan pengobatan dan penyakitnya
ada perbaikan atau kesembuhan, maka kepala tempat perawatan melaporkan hal
ini kepada Hakim Pengadilan Negeri dan minta supaya penderita dapat diadili.
Laporan itu dapat dilengkapi dengan pendapat-pendapat yang diperoleh dokter
selama penderita/terdakwa dirawat.
6. Selambat-lambatnya 2 bulan setelah Hakim Pengadilan Negeri menerima laporan
ini, kepala tempat perawatan nisa meminta Hakim untuk mengeluarkan keputusan
mengenai perkara penderita/terdakwa

6
7. Jika dalam keputusan Hakim Pengadilan negeri penderita terdakwa dibebaskan
dari segala tuntutan, maka kepala tempat perawatan menempatkan penderita
dalam golongan penderita yang dirawat atas permintaan hakim itu, kalau tidak
maka kepala tempat perawatan menyerahkan kembali penderita/terdakwa kepada
hakim tersebut.

Sedangkan untuk pembuatan visum et repertum psikiatri, yang perlu dilakukan :


1. Anamnesis (dari berbagai sumber)
2. Status Internis (status fisik)
3. Status Neurologis
4. Status Psikiatri (status jiwa)
5. Pemeriksaan tambahan
6. Diagnosis terdiri dari :
a. Formulasi diagnosis
b. Diagnosis multiaksial
7. Kesimpulan

D. Isi Visum et Repertum


1. Pendahuluan yang berisi :
a. Pro justitia
b. Identitas pemeriksa (nama, jabatan, dan tempat kerja pemeriksa)
c. Alasan pembuatan visum (surat permohonan, No, tanggal,, dan tahun)
d. Identas terperiksa
2. Laporan Isi Visum et Repertum :
a. Anamnesis
b. Status internis dan neurologis
c. Status psikiatris
d. Hasil pemeriksaan tambahan (psikologis, sosiologis, lab, dan EEG)
e. Diagnosis (nama penyakit, formulasi diagnosis)
3. Kesimpulan :

7
a. Berisi disabilitas yang didapat tidak atau mampu bertanggung jawab terhadap
hal-hal yang dilakukannya
4. Penutup :
a. Tanpa ada tulisan penutup, hanya ditulis “Demikianlah dibuat dengan
sesungguhnya dan mengingat sumpah jabatan/dokter”

E. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Visum et Repertum Psikiatri


Ada 4 hal yang harus diperhatikan dalam menjawab pertanyaan untuk membuat
Visum et repertum psikiatri :
1. Diagnosis : adanya gangguan jiwa dalam pemeriksaan
2. Diagnosis : dugaan adanya gangguan jiwa pada saat pelanggaran hokum
3. Dugaan bahwa tindakan pelanggaran hukum merupakan bagaian atau gejala dari
gangguan jiwanya
4. Penentuan kemampuan tanggung jawab
Ada 3 komponen yaitu :
a. Komponen kesadaran
b. Komponen pemahaman (tentang nilai perbuatan dan nilai resikonya)
c. Komponen memilih dan mengarahkan kemauannya
Melalui komponen-komponen tersebut dapat dibuat tingkat kemampuan
bertanggungjawab, yaitu :
1. Yang tidak mampu bertanggungjawab :
a. Yang tidak menyadari, tidak memahami, dan tidak mampu untuk
memilih dan mengarahkan kemauannya. Misalnya pelaku yang
menderita epilepsi lobus temporalis
b. Yang menyadari, tetapi tidak mampu memahami, memilih dan
mengarahkan kemauannya. Misal penderita psikosis
2. Yang bertanggungjawab sebagian :
a. Yang menyadari, memahami, tetapi tidak mampu memilih dan
mengarahkan kemauannya, seperti pada penderita kompulsi

8
b. Yang menyadari, memahami, dan sebenarnya mapu memilih dan
mengarahkan kemauannya tetapi tidak mendapat kesempatan untuk
berbuat seperti itu karena adanya dorongan impuls yang kuat, seperti
yang terjadi pada tindakan-tindakan impulsif atau mata gelap.
3. Yang mampu bertanggungjawab penuh :
a. Yang melakukan suatu pelanggaran hukum tanpa rencana lebih dahulu
b. Yang melakukan pelanggaran hukum dengan perencaan terlebih
dahulu.
F. Gangguan Jiwa dan Kriminal
Mereka yang melakukan tindak kriminal tanpa disadari dapat dibagi dalam tiga
bagian besar, yaitu :
a. Mereka yang melakukan tindak kriminal karena menderita penyakit
syaraf, yaitu epilepsi. Taraf kesadarannya berubah, dalam kesadaran yang
berubah tersebut yang bersangkutan dapat melakukan tindak kriminal.
Bila kesadaran kembali pulih (tidak dalam serangan epilepsi), maka yang
bersangkutan tidak ingat apa yang telah dilakukannya. Hal ini dinamakan
Amnesia, yaitu hilangnya daya ingat yang disebabkan karena kerusakan
dalam substansi otak. Untuk menyokong diagnosis selain pemeriksaan
neurologist, juga perlu EEG khususnya jenis epilepsi psikomotor.
b. Mereka yang melakukan tindak criminal tanpa disadari karena taraf
kesadarannya menurun (tidak compos mentis). Biasanya mereka yang
sedang sakit demam tinggi, sehingga menurunnya taraf kesadaran
(Stadium delirium). Keadaan di atas disebut juga dengan istilah Amentia,
yaitu suatu keadaan kekacauan hallusinatorik akut, dengan kesadaran yang
merendah yang disebabkan organo-biologik (factor eksogen) yang sifatnya
mengganggu fungsi susunan syaraf pusat.
c. Mereka yang melakukan tindak criminal disebabkan gangguan jiwa
yang tergolong psikosa fungsionit atau istilah populernya gila. Dalam
hal ini taraf kesadaran fisik masih baik, tetapi kesadaran mentalnya
terganggu. Ciri khasnya pada psikosis ini tidak ada faham sakit (insight
buruk sekali).

9
III. PENUTUP
Psikiatri Forensik adalah salah satu sub spesialisasi dari ilmu kedokteran jiwa
yang mengkhususkan diri mempelajari dan menangani pada hal-hal atau keadaan
gangguan jiwa dengan kasus tindak kriminal bagi kepentingan pengadilan. Bagian
ilmu psikiatri yang mempelajari hal tersebut merupakan cabang dari ilmu forensik.
Hukum di Indonesia juga menyatakan bahwa orang yang mengalami gangguan
jiwa melakukan tindak criminal tidak dikenai sanksi pidana. Namun harus dibuktikan
secara medis bahwa orang atau tersangka tersebut terganggu jiwanya.
Untuk dapat memahami kelaianan-kelainan alam berpikir, alam perasaan dan
alam perbuatan seseorang yang kadang-kasdang menjelma bdalam salah satu bentuk
tindak kriminal, maka pengetahuan tentang faham-faham dasar psikiatri.
Psikopatologi, dan psikodinamik amatlah penting.

10

Anda mungkin juga menyukai