Anda di halaman 1dari 10

1.

Model-model Pembelajaran Terpadu

Ditinjau dari cara memadukan konsep, keterampilan, topik, dan unit sematisnya/ terpadunya,
menurut seorang ahli yang bernama Robin Fogarty (1991) terdapat sepuluh cara atau model
dalam merencanakan pembelajaran terpadu. Kesepuluh cara atau model tersebut adalah:
(1) fragmented, (2) connected, (3) nested, (4) sequenced, (5) shared, (6) webbed, (7) threaded,
(8) integrated, (9) immersed, dan (10) networked. Secara singkat kesepuluh cara atau model
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

Tabel 1 Ragam Model


Pembelajaran Terpadu Deskripsi Kelebihan Kelemahan
Nama Model

Terpisah (Fragmented)

Adanya kejelasan Keterhubungan


Model ini berisikan mata
dan pandangan menjadi tidak
pelajaran/disiplin ilmu
yang terpisah dalam jelas; lebih
yang berbeda dan saling
suatu mata sedikit transfer
terpisah
pelajaran pembelajaran

Konsep–konsep
Topik-topik dalam satu utama saling
Disiplin-
mata pelajaran/disiplin terhubung,
disiplin ilmu
ilmu berhubungan satu mengarah pada
Keterkaitan/ tidak berkaitan;
sama lain.Dalam model ini pengulangan
Keterhubungan (Connected materi pelajaran
hubungan satu topik atau (review),
) tetap terfokus
antar konsep, rekonseptualisasi,
pada satu
keterampilan, atau tugas dan asimilasi
disiplin ilmu
diekspilisitkan gagasan-gagasan
dalam suatu disiplin

Berbentuk Sarang/ kumpulan Dalam model ini Memberi perhatian Pelajar dapat
Tabel 1 Ragam Model
Pembelajaran Terpadu Deskripsi Kelebihan Kelemahan
Nama Model

(Nested) dipadukan berbagai pada berbagai mata menjadi


keterampilan dari berbagai pelajaran yang bingung dan
disiplin ilmu, misalnya berbeda dalam kehilangan arah
keterampilan-keterampilan waktu yang mengenai
sosial, berpikir, dan bersamaan, konsep-konsep
kontent (contents skill) memperkaya dan utama dari
dicapai di dalam satu mata memperluas suatu kegiatan
pelajaran (subject area) pembelajaran atau pelajaran

Membutuhkan
kolaborasi yang
terus menerus
Dalam model ini topik-
dan fleksibilitas
Dalam satu rangkaian topik diurutkan dan Memfasilitasi
yang tinggi
(Sequence) persamaan-persamaan transfer
karena guru-
yang ada dalam mata pembelajaran
guru memilki
pelajaran yang dipadukan melintasi beberapa
lebih sedikit
diajarkan secara mata pelajaran
otonomi untuk
bersamaan,
mengurutkan
(merancang)
kurikulum

Dalam model ini


dipadukan dua mata
Terdapat
pelajaran/disiplin ilmu dan
pengalaman-
dari mata pelajaran yang
pengalaman Membutuhkan
Terbagi (Shared) dipadukan itu memiliki
pembelajaran waktu,
bagian yang
bersama; dengan fleksibilitas,
sama.Perencanaan tim dan
dua orang guru di komitmen, dan
atau pengajaran yang
dalam satu tim, kompromi
melibatkan dua disiplin
akan lebih mudah
difokuskan pada konsep,
untuk berkolaborasi
keterampilan, dan sikap-
sikap (attitudes) yang sama

Jaring laba-laba (Webbed) Model ini memadukan Dapat memotivasi Tema yang
beberapa mata pelajaran. murid-murid: digunakan
Pembelajaran dikat dengan membantu murid- harus dipilih
Tabel 1 Ragam Model
Pembelajaran Terpadu Deskripsi Kelebihan Kelemahan
Nama Model

tema sehingga dikenal murid untuk baik-baik


dengan Pembelajaran melihat secara selektif
tematis, karena keterhubungan agar menjadi
menggunakan suatu tema antar gagasan berarti, juga
sebagai dasar relevan dengan
pembelajaran dalam content
berbagai disiplin mata
pelajaran

Model pembelajaran
terpadu yang
memfokuskan pada
Murid-murid
penguasaan Disiplin-
mempelajari cara
Dalam satu alur (Threaded) keterampilan.Keterampilan disiplin ilmu
mereka belajar;
-keterampilan sosial, yang
memfasilitas
berpikir, berbagai jenis bersangkutan
transfer
kecerdasan, dan tetap terpisah
pembelajaran
keterampilan belajar satu sama lain
selanjutnya
‘direntangkan’ melalui
berbagai disiplin
ilmu/mata pelajaran

Model pembelajaran Mendorong murid-


terpadu yang memadukan murid untuk Membutuhkan
berbagai mapel/disiplin melihat keterkaitan tim
ilmu, tetapi ada penetapan dan antardeparteme
Terpadu (Integrated) prioritas untuk kesalingterhubunga n yang
menemukan konsep, n di antara disiplin- memiliki
keterampilan, sikap yang disiplin ilmu; perencanaan
sama dari berbagai disiplin murid-murid dan waktu
ilmu yangsaling tumpang termotivasi dengan pengajaran
tindih dalam berbagai melihat berbagai yang sama
disiplin ilmu keterkaitan tersebut

Dalam model ini guru Keterpaduan Dapat


membantu peserta didik berlangsung di mempersempit
Immersed
untuk memadukan apa dalam pelajar itu fokus pelajar
yang dipelajari dengan sendiri tersebut
Tabel 1 Ragam Model
Pembelajaran Terpadu Deskripsi Kelebihan Kelemahan
Nama Model

cara memandang seluruh


pengajaran melalui
perspektif bidang yang
disukai (area of interest)

Dapat memecah
perhatian
peserta didik.,
upaya-upaya
menjadi tidak
efektif. Jika
Model ini membelaarkan
Bersifat proaktif; peserta didik
peserta didik untuk
peserta didik tidak memiliki
melakukan proses
terstimulasi oleh kemampuan
jejaring(Networked) pemaduan topik yang
informasi, mengadakan
dipelajari melalui
keterampilan, atau penafsiran
pemilihan jejaring pakar
konsep-konsep baru ulang terhadap
dan sumber daya.
pemahaman
yang
dimilikinya dan
menerap-
kannya secara
tepat

( Indrawati, 2010)

Pada Kurikulum 2013, KD mata pelajaran IPA sudah memadukan konsep dari aspek fisika,
biologi kimia dan IPBA, tetapi tidak semua aspek dipadukan karena pada suatu topik IPA tidak
semua aspek dapat dipadukan.

Dari sejumlah model pembelajaran yang dikemukakan Fogarty (1991), terdapat beberapa model
yang potensial untuk diterapkan dalam pembelajaran IPA terpadu,
yaitu connected, webbed, shared, dan integrated. Empat model tersebut dipilih karena konsep-
konsep dalam KD IPA memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga memerlukan model
yang sesuai agar memberikan hasil keterpaduan yang optimal.

Bagaimana cara menentukan model keterpaduan untuk penyajian suatu topic IPA?
Ada sejumlah konsep yang saling bertautan dalam suatu KD. Agar pembelajarannya
menghasilkan kompetensi yang utuh, maka konsep-konsep tersebut harus dipertautkan
(connected) dalam pembelajarannya. Pada model connected ini konsep pokok menjadi materi
pembelajaran inti, sedangkan contoh atau terapan konsep yang dikaitkan berfungsi untuk
memperkaya.

Ada KD yang mengandung konsep saling berkaitan tetapi tidak beririsan. Untuk menghasilkan
kompetensi yang utuh, konsep-konsep harus dikaitkan dengan suatu tema tertentu hingga
menyerupai jaring laba-laba. Model semacam ini disebut webbed. Karena selalu memerlukan
tema pengait, maka model webbed lazim disebut model tematik.

Ada sejumlah KD yang mengandung konsep saling beririsan/tumpang tindih, sehingga bila
dibelajarkan secara terpisah-pisah menjadi tidak efisien. Konsep-konsep semacam ini
memerlukan pembelajaran model integrated atau shared. Pada model integrated, materi
pembelajaran dikemas dari konsep-konsep dalam KD yang sepenuhnya beririsan; sedangkan
pada model shared, konsep-konsep dalam KD yang dibelajarkan tidak sepenuhnya beririsan,
tetapi dimulai dari bagian yang beririsan.

Empat model keterpaduan di atas dipilih karena konsep-konsep dalam KD IPA memiliki
karakteristik yang berbeda-beda, sehingga memerlukan model yang sesuai agar memberikan
hasil yang optimal.

Model Pembelajaran Sains-Teknologi-Masyarakat (STM)


Model pembelajaran STM merupakan salah satu model dalam pembelajaran Sains di
sekolah. Sasaran yang ingin dicapai melalui pendekatan STM adalah meningkatkan minat siswa
terhadap Sains serta membentuk pribadi siswa yang literasi sains dan teknologi. Melalui model
pembelajaran STM, para siswa sebagai warga masyarakat diharapkan lebih bertanggung jawab
terhadap lingkungan alam dan sosialnya. Model pembelajaran STM merupakan “perekat” yang
mempersatukan sains, teknologi, dan masyarakat (Rustum Roy, 1983). Pengajaran Sains akan
lebih bermakna jika konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan teori-teori Sains dikemas dalam
kerangka yang bertalian dengan teknologi dan masyarakat.
Hasil penelitian yang dilakukan USA oleh Yager (1984), Yager & Yager (1985)
menunjukkan bahwa jumlah siswa yang merasa bahwa sains tidak menyenangkan dan hanya
merupakan hafalan fakta, meningkat pada kelas-kelas yang makin tinggi. Kesan siswa bahwa
guru Sains berusaha membuat sains menarik, menimbulkan rasa ingin tahu, serta mendorong
siswa untuk berani mengemukakan pendapat, menurun pada kelas-kelas yang makin tinggi. Di
samping itu, terungkap pula bahwa 1) guru Sains terikat pada buku ajar yang diikuti baik isi,
urutan maupun contoh-contohnya secara kaku, 2) kebutuhan dan minat siswa diabaikan, dan 3)
disiplin dalam sains dipisahkan secara sangat tajam, dan tidak ditunjukkan aplikasinya dan
kaitannya dengan disiplin lainnya.
National Science Teacher Assosiation (NSTA) di USA mendefinisikan STM sebagai “
the teaching and learning of science in the contaxt of human experience (Yager,1992). NSTA
mengajukan sebelas ciri dalam mendeskripsikan pendekatan STM dalam pembelajaran Sains,
yaitu:
1) Siswa mengidentifikasi masalah-masalah sosial dan teknologi di daerahnya serta dampaknya.
2) Menggunakan sumber lokal (manusia dan material) untuk memperoleh informasi yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah.
3) Keterlibatan siswa secara aktif dalam mencari informasi yang dapat digunakan dalam
memecahkan masalah dalam kehidupan nyata.
4) Perluasan untuk terjadinya proses belajar yang melampaui waktu, kelas, dan sekolah.
5) Memusatkan pengaruh sains dan teknologi kepada siswa.
6) Pandangan bahwa materi subyek lebih dari sekedar konsep yang harus dikuasai siswa.
7) Penekanan pada keterampilan proses yang dapat digunakan siswa dalam memecahkan
masalah.
8) Penekanan terhadap kesadaran karir, terutama karir yang berhubungan dengan sains dan
teknologi.
9) Memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan sebagai warga masyarakat, jika telah dapat
mengatasi isu yang telah diidentifikasinya.
10) Identifikasi cara-cara yang memungkinkan sains dan teknologi memecahkan masalah di masa
depan.
11) Perwujudan otonomi dalam proses belajar sebagai isu individu.
Keuntungan pendekatan STM dalam pembelajaran Sains adalah berlakunya model
belajar konstruktivis. Pendekatan STM sejajar dengan pelaksanaan pandangan konstruktivisme
dalam belajar dan mengajar (Yager, 1992). Pandangan konstriktivisme dalam belajar dan
mengajar didasarkan atas asumsi bahwa “pengetahuan dibangun di dalam pikiran pebelajar”
(Bodner, 1986). Model konstruktivis tentang belajar dan mengajar, memberi tekanan pada
pentingnya peran prior knowledge siswa dalam belajar, serta memperhatikan bagaimana
pengetahuan itu dibangun di dalam struktur kognitif siswa. Jadi, model konstruktivis
menempatkan siswa pada posisi sentral dalam proses pembelajaran. Pendekatan STM di samping
menggunakan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang berlaku pada model konstruktivis dalam
pembelajaran, juga memberi kesempatan kepada siswa sebagai decision maker dalam
memecahkan masalah.
Berikut ini dikemukakan perbandingan antara karakteristik pembelajaran Sains yang
tradisional yang pada umumnya diikuti oleh para guru Sains dan karakteristik pembelajaran
Sainsdengan pendekatan STM.
Pembelajaran Sains tradisional
(1) Konsep-konsep diperoleh dari buku teks.
(2) Menggunakan laboratorium dan aktivitas yang disarankan dalam buku petunjuk.
(3) Keterlibatan siswa kurang aktif, karena informasi biasanya telah disediakan guru atau ada dalam
LKS.
(4) Pernyataan pentingnya informasi berasal dari guru.
(5) Siswa berkonsentrasi pada masalah yang disiapkan oleh guru.
(6) IPA dipelajari di sekitar dinding kelas, sebagai bagian dari kurikulum.
8. Penerapan Model pembelajaran Kontruktivisme
1. Belajar Bermakna David P. Ausubel
Teori belajar Ausubel menitik beratkan pada bagaimana seseorang memperoleh
pengetahuannya. Menurut Ausubel terdapat dua jenis belajar yaitu belajar hafalan (rote-
learning) dan belajar bermakna (meaningful-learning).
a. Belajar Hapalan
Materi dalam pelajaran matematika bukanlah pengetahuan yang terpisah-pisah namun
merupakan satu kesatuan, sehingga pengetahuan yang satu dapat berkait dengan pengetahuan
yang lain. Seorang anak tidak akan mengerti penjumlahan dua bilangan jika ia tidak tahu arti dari
“1” maupun “2”. Ia harus tahu bahwa “1” menunjuk pada banyaknya sesuatu yang tunggal
seperti banyaknya kepala, mulut, lidah dan seterusnya; sedangkan “2” menunjuk pada
banyaknya sesuatu yang berpasangan seperti banyaknya mata, telinga, kaki, … dan seterusnya.
Sering terjadi, anak kecil salah menghitung sesuatu. Tangannya masih ada di batu ke-4 namun ia
sudah mengucapkan “lima” atau malah “enam”. Kesalahan kecil seperti ini akan berakibat pada
kesalahan menjumlah dua bilangan. Hal yang lebih parah akan terjadi jika ia masih sering
meloncat-loncat di saat membilang dari satu sampai sepuluh.

b. Belajar Bermakna
Agar proses mengingat bilangan kedua dapat bermakna, maka proses mengingat bilangan kedua
(yang baru) harus dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, yaitu tentang 17-08-1945
akan tetapi dengan membalik urutan penulisannya menjadi 5491-80-71.Untuk bilangan pertama,
yaitu 89.107.145. Bilangan ini hanya akan bermakna jika bilangan itu dapat dikaitkan dengan
pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran kita. Contohnya jika bilangan itu berkait dengan
nomor telepon atau nomor lain yang dapat kita kaitkan. Tugas guru adalah membantu
memfasilitasi siswa sehingga bilangan pertama tersebut dapat dikaitkan dengan pengetahuan
yang sudah dimilikinya. Jika seorang siswa tidak dapat mengaitkan antara pengetahuan yang
baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, maka proses pembelajarannya disebut
dengan belajar yang tidak bermakna (rote learning).
Itulah inti dari belajar bermakna (meaningful learning) yang telah digagas David P Ausubel. Di
samping itu, seorang guru dituntut untuk mengecek, mengingatkan kembali ataupun
memperbaiki pengetahuan prasyarat siswanya sebelum ia memulai membahas topik baru,
sehingga pengetahuan yang baru tersebut dapat berkait dengan pengetahuan yang lama yang
lebih dikenal sebagai belajar bermakna tersebut.

2. Teori Belajar Bruner


Menurut Bruner, ada tiga tahap belajar, yaitu enaktif, ikonik dan simbolik.Berbeda
dengan Teori Belajar Piaget yang telah membagi perkembangan kognitif seseorang atas empat
tahap berdasar umurnya, maka Bruner membagi penyajian proses pembelajaran dalam tiga tahap,
yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik.
Bruner memusatkan perhatian pada masalah apa yang dilakukan manusia terhadap
informasi diterimanya dan apa yang dilakukan setelah menerima informasi tersebut untuk
pemahaman dirinya.

a. Tiga Tahap Proses Belajar


Teori Bruner tentang tiga tahap proses belajar berkait dengan tiga tahap yang harus dilalui
siswa agar proses pembelajarannya menjadi optimal, sehingga akan terjadi internalisasi pada diri
siswa, yaitu suatu keadaan dimana pengalaman yang baru dapat menyatu ke dalam struktur
kognitif mereka. Ketiga tahap pada proses belajar tersebut adalah:
1. Tahap Enaktif.
Pada tahap ini, pembelajaran yang dilakukan dengan cara memanipulasi obyek secara aktif.
Contohnya, ketika akan membahas penjumlahan dan pengurangan di awal pembelajaran, siswa
dapat belajar dengan menggunakan batu, kelereng, buah, lidi, atau dapat juga memanfaatkan
beberapa model atau alat peraga lainnya. Ketika belajar penjumlahan dua bilangan bulat, para
siswa dapat saja memulai proses pembelajarannya dengan menggunakan beberapa benda nyata
sebagai “jembatan” atau dengan menggunakan obyek langsung.
2. Tahap Ikonik
Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu
direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imaginery), gambar, atau
diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi kongkret yang terdapat pada tahap
enaktif tersebut di atas (butir a). Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir.
Kemudian seseorang mencapai masa transisi dan menggunakan penyajian ikonik yang
didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik yang didasarkan pada berpikir abstrak.

3. Tahap Simbolik
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbul-simbul atau
lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek seperti pada tahap
sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan
terhadap objek riil. Pada tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk
simbol-simbol abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan
kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya
huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambang-
lambang abstrak yang lain.

b. Empat Teori Belajar dan Mengajar


Meskipun pepatah Cina menyatakan “Satu gambar sama nilainya dengan seribu kata”,
namun menurut Bruner, pembelajaran sebaiknya dimulai dengan menggunakan benda nyata
lebih dahulu. Karenanya, seorang guru ketika mengajar matematika hendaknya menggunakan
model atau benda nyata untuk topik-topik tertentu yang dapat membantu pemahaman siswanya.
Bruner mengembangkan empat teori yang terkait dengan asas peragaan, yakni:
1. Teori konstruksi menyatakan bahwa siswa lebih mudah memahami ide-ide abstrak dengan
menggunakan peragaan kongkret (enactive) dilanjutkan ke tahap semi kongkret (iconic) dan
diakhiri dengan tahap abstrak (symbolic). Dengan menggunakan tiga tahap tersebut, siswa dapat
mengkonstruksi suatu representasi dari konsep atau prinsip yang sedang dipelajari.
2. Teori notasi menyatakan bahwa simbol-simbol abstrak harus dikenalkan secara bertahap, sesuai
dengan tingkat perkembangan kognitifnya. Sebagai contoh:
1. Notasi 3×2 dapat dikaitkan dengan 3×2 tablet.
2. Soal seperti ... + 4 = 7 dapat diartikan sebagai menentukan bilangan yang kalau ditambah 4
akan menghasilkan 7. Notasi yang baru adalah 7 − 4 = ... .
3. Teori kekontrasan atau variasi menyatakan bahwa konsep matematika dikembangkan melalui
beberapa contoh dan bukan contoh seperti yang ditunjukkan gambar di bawah ini tentang contoh
dan bukan contoh pada konsep trapesium.
4. Teori konektivitas menyatakan bahwa konsep tertentu harus dikaitkan dengan konsep-konsep lain
yang relevan. Sebagai contoh, perkalian dikaitkan dengan luas persegi panjang dan penguadratan
dikaitkan dengan luas persegi. Penarikan akar pangkat dua dikaitkan dengan menentukan
panjang sisi suatu persegi jika luasnya diketahui.
Lebih lanjut, berbagai jenis kegiatan dalam pembelajaran yang menerapkan Teori- Teori Bruner
dapat diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti yang dikemukakan oleh Edgar Dale dalam
bukunya “Audio Visual Methods in Teaching” sebagaimana dikutip Heinich, Molenda, dan
Russell (1985:4) sebagai berikut,
1. Pengalaman langsung. Artinya, siswa diminta untuk mengalami, berbuat sendiri dan mengolah,
serta merenungkan apa yang dikerjakan.
2. Pengalaman yang diatur. Sebagai contoh dalam membicarakan sesuatu benda, jika benda tersebut
terlalu besar atau kecil, atau tidak dapat dihadirkan di kelas maka benda tersebut dapat diragakan
dengan model. Contohnya: peta, gambar benda-benda yang tidak mungkin dihadirkan di kelas,
model kubus, dan kerangka balok,
3. Dramatisasi. Misalnya: permainan peran, sandiwara boneka yang bisa digerakkan ke kanan atau
ke kiri pada garis bilangan.
4. Demonstrasi. Biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat bantu seperti papan tulis, papan
flanel, OHP dan program komputer. Banyak topik dalam pembelajaran matematika di SD yang
dapat diajarkan melalui demonstrasi, misalnya: penjumlahan, pengurangan, dan pecahan.
5. Karyawisata. Kegiatan ini sebenarnya sangat baik untuk menjadikan matematika sebagai atau
menjadi pelajaran yang disenangi siswa. Kegiatan yang diprogramkan dengan melibatkan
penerapan konsep matematika seperti mengukur tinggi objek secara tidak langsung, mengukur
lebar sungai, mendata kecenderungan kejadian dan realitas yang ada di lingkungan merupakan
kegiatan yang sangat menarik dan sangat bermakna bagi siswa serta bagi daya tarik pelajaran
matematika di kalangan siswa.
6. Pameran. Pameran adalah usaha menyajikan berbagai bentuk model-model kongkret yang dapat
digunakan untuk membantu memahami konsep matematika dengan cara yang menarik. Berbagai
bentuk permainan matematika ternyata dapat menyedot perhatian siswa untuk mencobanya,
sehingga jenis kegiatan ini juga cukup bermakna untuk diterapkan dalam pembelajaran
matematika.
7. Televisi sebagai alat peragaan. Program pendidikan matematika yang disiarkan melalui media TV
juga merupakan alternatif yang sangat baik untuk pembelajaran matematika.
8. Film sebagai alat peraga
9. Gambar sebagai alat peraga

Dengan demikian jelaslah bahwa asas peragaan dalam bentuk enaktif dan ikonik selama
pembelajaran matematika adalah sangat penting untuk meningkatkan pemahaman dan daya tarik
siswa dalam mempelajari matematika sebelum mereka menggunakan bentuk-bentuk simbolik.

9. Keunggulan dan Kelemahan Model Konstrutivisme


Keunggulan Model kontruktivisme
Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi
gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan dengan
gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal
siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan
untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan
gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang
pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi
tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan
menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya
memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
Pembelajaran Konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan
merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk
mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
Pembelajaran Konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang
mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada
satu jawaban yang benar.

Kelemahan Model Konstruktivisme


Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses
belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.
Kekurangan Metode Konstruktivisme
Siswa membangun pengetahuan mereka sendiri, tidak jarang bahwa konstruksi siswa tidak
cocok dengan pembangunan ilmuwan yang menyebabkan kesalahpahaman.
Konstruktivisme pengetahuan kita menanamkan bahwa siswa membangun sendiri, hal ini pasti
memakan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda.
Situasi dan kondisi masing-masing sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki
infrastruktur yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.

Anda mungkin juga menyukai