Kualitas pendidikan tiap individu sangat bergantung pada kelas ekonomi suatu keluarga,
terutama pada masa pandemi. Berdasarkan penelitian dari SMERU Research Institute, tingkat
kemiskinan di Indonesia memiliki potensi semakin meningkat akibat pandemi covid-19 ini.
Kemungkinan terburuknya adalah tingkat kemiskinan pada tahun 2020 naik sebesar 4%
dibanding dengan tahun 2019, menjadi sekitar 12%. Terjadinya peningkatan tersebut
tentunya dapat berakibat pada sektor pendidikan, khususnya kemampuan orang tua dalam
memenuhi fasilitas belajar anak-anaknya (Santosa, 2020:2).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh SMERU, siswa yang di kelasnya mempunyai
kemampuan akademis di atas rata-rata cenderung memiliki kondisi lingkungan rumah yang
mendukung pembelajaran daring. Mayoritas dari mereka tinggal di wilayah perkotaan di
mana fasilitas maupun akses terhadap teknologi dan internet lebih mudah dijangkau.
Disparitas atau ketimpangan terhadap akses internet ini dapat dilihat dengan jelas ketika data
daerah perkotaan dan pedesaan dibandingkan. Menurut data dari BPS Susenas Maret 2020,
persentase penggunaan internet oleh siswa di daerah perkotaan adalah 68,23%. Sedangkan,
persentase penggunaan internet oleh siswa di daerah pedesaan adalah 47,76 %.
Selain itu, data hasil survei Lembaga Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)
mengenai penerapan kebijakan belajar dari rumah di Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa
Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara, dan Jawa Timur diperoleh bahwa angka
pembelajaran daring paling rendah tercatat di Provinsi NTB dan NTB dengan presentase 7%
dan 4%. Pembelajaran lebih sering dilakukan menggunakan buku maupun lembar kerja siswa
(LKS). Data tersebut memperkuat dugaan disparitas atau ketimpangan pendidikan bagi
beberapa wilayah di Indonesia selama pelaksanan pembelajaran daring pada masa pandemi.