Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara Kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai
17.508 dan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 Km (DKP, 2008). Kota
Kupang merupakan ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di
Wilayah Pesisir Teluk Kupang. Kota Kupang mempunyai luasan kawasan pesisir
12.695 Ha dan panjang pesisir 22,7 Km.
Kawasan Pesisir Kota Kupang merupakan awal perkembangan dari Kota
Kupang. Secara historis perkembangan kawasan pesisir Kota Kupang karena
adanya potensi ekonomi. Keadaan ini menyebabkan kawasan pesisir menjadi
andalan sumber pendapatan masyarakat Indonesia. Secara umum, wilayah pesisir
dapat didefenisikan sebagai wilayah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem
laut dan ekosistem udara yang saling bertemu dalam suatu keseimbangan yang
rentan (Beatly et al, 2002).
Aktivitas manusia dalam menciptakan ruang-ruang terbangun akhirnya sering
mengakibatkan masalah di dalam ekosistem pesisir. Batasan kawasan terbangun
seperti kota pesisir harus dilakukan. Perkembangan pemukiman, atau fasilitas lain
harus dibatasi melalui sistem penataan ruang agar perkembangan ruang terbangun
dapat terkendali dan arah pengembangan ke arah sepanjang pantai harus di cegah.
Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tinggi namun dihadapkan pada
ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus
agar wilayah ini dapat berkelanjutan. Permasalahan pemanfaatan ruang terbangun
di kawasan pesisir Kota
Kupang antara lain adanya pembangunan di sepanjang pesisir Kota Kupang
tanpa memperhatikan sempadan pantai, pola pembangunan yang membelakangi
pantai, banyaknya bangunan liar (tidak ber-IMB) sepanjang pesisir pantai yang
tidak memperhatikan kondisi lingkungan sekitarnya, baik dari aspek penataan
maupun sanitasi lingkungan, sehingga menimbulkan kesan kumuh. Kuantitas dan
kualitas jaringan jalan, terutama jalan-jalan lokal dan lingkungan yang ada, masih
perlu ditingkatkan. Sanitasi pemukiman pesisir belum memadai. Terjadinya
pembuangan limbah ke pesisir pantai yang dapat menyebabkan timbulnya polusi
tanah, air dan udara.
Seperti halnya yang terjadi di pantai Oeba, yang terletak di kota kupang
kelurahan Oeba kecamatan Kota Lama. Dimana pembangunan rumah tinggal
permanen dan semi permanen yang tepat berada di bibir pantai oeba tanpa pembatas
dan pengaman. Yang selain mengancam keselamatan masyarakat yang tinggal di
kawasan itu juga dapat merusak ekosistem pesisir.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan yang di ambil penulis adalah
“Bagaimana pengelolaan wilayah pesisir di pantai Oeba ?”

1.3 Batasan Masalah


Memperhatikan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka pembatasan
masalah dalam studi kasus ini adalah permasalahan dalam pengelolaan wilayah
pesisir di Pantai Oeba

1.4 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk memahami permasalahan dalam
pengelolaan wilayah pesisir pantai Oeba.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Karakteristik Wilayah Pesisir


Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia,
wilayah perairan Indonesia mencakup :
1. Laut territorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis
pangkal kepulauan Indonesia,
2. Perairan Kepulauan, adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis
pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari
pantai,
3. Perairan Pedalaman adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari
garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk didalamnya semua
bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat pada suatu garis penutup
Menurut Dayan, perairan pedalaman adalah perairan yang terletak di mulut sungai,
teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut dan di pelabuhan.
Karakteristik umum dari wilayah laut dan pesisir dapat disampaikan sebagai
berikut:
1. Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki trografi yang
relative mudah dikembangkan dan memiliki akses yang sangat baik (dengan
memanfaatkan laut sebagai “prasarana” pergerakan).
2. Pesisir merupakan kawasan yang kaya sumber daya alam, baik yang terdapat
di ruang daratan maupun ruang lautan, yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan manusia.

2.2 Pengertian Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan


yang Berbasis Masyarakat
Menurut Sain dan Krecth Pengelolaan Pesisir Terpadu (P2T) adalah proses
yang dinamis yang berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusan-
keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan
sumberdaya pesisir dan lautan. Bagian penting dalam pengelolaan terpadu adalah
perancangan proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi dalam cara yang
dapat diterima secara politis.
Suatu kegiatan dikatakan keberlanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara
ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara
ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan
pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan capital (capital maintenance), dan
penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara
ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan
integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumber
daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan
pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara
sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat
menciptakan pemerataan hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial,
partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat (dekratisasi), identitas sosial,
dan pengembangan kelembagaan (Wiyana, 2004).

2.3 Pemanfaatan dan Pengelolaan Potensi Pesisir di Daerah

Secara alamiah potensi pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh


masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri
dari nelayan. Nelayan di pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan,
rumput laut, terumbu karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutukan hidupnya.
Pada umumnya potensi pesisir dan kelautan yang di manfaatkan oleh nelayan
terbatas pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Pemanfaatan potensi daerah
pesisir secara besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis
dalam rangka peningkatan pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak
dilakukan. Pemanfaatan pesisir untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru
dilakukan pada sebagian Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir. Pada
umumnya usaha ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak disektor
pariwisata. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah
berupaya untuk memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga
memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan
perekonomian masyarakat di daerah. Mengingat kewenangan daerah untuk
melakukan pengelolaan bidang kelautan yang termasuk juga daerah pesisir masih
merupakan kewenangan baru bagi daerah maka pemanfaatan potensi daerah pesisir
ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten atau kota yang berada
di pesisir. Jadi belum semua Kabupaten dan Kota yang memanfaatkan potensi
daerah pesisir. Namun demikian hal ini merupakan peluang dan kesempatan untuk
mulai merencanakan semua kegiatan dan konsentrasi pembangunan mengarah ke
kawasan pesisir terutama daerah – daerah yang tidak terlalu banyak mempunyai
luas daratan termasuk Kota Surabaya.

2.4 Permasalahan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pesisir

Pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat


maupun daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya
alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi
dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. Penyebab degradasi kondisi daerah
pesisir secara tidak langsung juga disebabkan oleh pengelolaan sumber daya alam
di hulu yang berpengaruh terhadap muara di pesisir.

Kebijakan reklamasi yang tidak berdasarkan kepada analisa dampak lingkungan


pada beberapa daerah juga berpengaruh terhadap ekosistem dipesisir. Perizinan
pengembangan usaha bagi kelangan dunia usaha selama ini sebagian besar menjadi
kewenangan pusat. Kadangkala dalam hal ini pemberian izin tersebut tanpa
memperhatikan kepentingan daerah dan masyarakat setempat. Jika kita perhatikan
berbagai permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah
pesisir dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Pemanfaatan dan pengelolaan daerah belum diatur dengan peraturan


perundang-undangan yang jelas, seingga daerah mengalami kesulitan dalam
menetapkan sesuatu kebijakan.
2. Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir cendrung bersifat sektoral,
sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu sama
lain.
3. Pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir belum memperhatikan konsep
daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh
wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal ini dapat menimbulkan
konflik kepentingan antar daerah
4. Kewenangan daerah dalam rangka otonomi daerah belum dipahami secara
komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap daerah dan setiap
sector timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam
pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.

2.5 Konsep Pengelolaan

Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir yaitu:

1. UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan


Ekosistemnya.
2. UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang.
3. UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4. UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.
5. PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.
6. Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung.
7. Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di
Daerah.
8. Berbagai Peraturan Daerah yang relevan.

Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak memenuhi kaidah-kaidah


pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya.
Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan ini akan dapat mempengaruhi
produktivitas sumberdaya akibat proses produksi dan residu, dimana pemanfaatan
yang berbeda dari sumberdaya pesisir kerap menimbulkan konflik yang dapat
berdampak timbal balik. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk
tujuan pembangunan nasional akan dapat berhasil jika dikelola secara terpadu
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penulisan


Dalam melakukan penulisan ada beberapa metode yang dapat dilakukan
yaitu:

3.1.1 Teknik Pengumpulan Data


a. Observasi
Melakukan pengamatan secara langsung ke pantai oeba.
b. Studi Pustaka
Mencari informasi dari artikel dan jurnal yang didapat di internet yang
berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir pantai.
3.1.2 Data Yang Dibutuhkan
Data Sekunder, data pendukung yang diperoleh dari artikel – artikel dan
jurnal yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir pantai Oeba.

3.1.3 Metode Analisa Data


Analisa data yang dilakukan dalam penulisan makalah ini adalah dengan
metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif adalah metode analisis
dengan terlebih dahulu mengumpulkan data yang didapat dari hasil penelitian
berupa fakta – fakta verbal atau keterangan saja.
3.2 Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah penyusunan dan pembahasan makalah ini berikut
uraian secara garis besar dalam beberapa bab penulisan dalam rincian sebagai
berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini menjelaskan teori – teori yang menjadi landasan dalam memaparkan
pokok permasalahan.

BAB III : METODE PENULISAN

Pada bab ini menjelaskan tentang metode penulisan dan sistematika pembahasan.

BAB IV : PEMBAHASAN

Pada bab ini menjelaskan tentang pembahasan mengenai masalah reklamasi.

BAB V : PENUTUP

Pada bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran.


BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pengelolaan Wilayah Pesisir pantai Oeba

Anda mungkin juga menyukai