Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sejak zaman pra sejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang
sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan
antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat
Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian,
terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah
lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku
dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual kepada para pedagang asing. Pelabuhan-
pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi para pedagang
asing seperti Lamuri (Aceh), Barus, dan Palembang di Sumatra; Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka
tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang berupaya menyebarkan
agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di Indonesia ini bersamaan dengan kehadiran
para pedagang Arab tersebut. Meskipun belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.

2. Tujuan
Makalah ini mempunyai tujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai proses
perkembangan islam di Indonesia bagi para pembaca. Disamping itu, makalah ini juga bertujuan untuk memberikan
informasi kepada para pembaca bahwa kami menjelaskan sejarah perkembangan islam dan perkembangan pada masa
yang akan datangnya.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Kesultanan Aceh Darussalam

Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua
pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir.
Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta negara-negara Islam.
Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan ketiga,
masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan Aceh).

Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui
Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra.
Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para
pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara
Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual
hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu
justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah
pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)

Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan
Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520. Dan pada tahun itu
pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah
Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta
berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan
Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan Samudra Pasai.
Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal
Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.
A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh

Kesultanan Aceh Darussalam mulai berdiri ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang berada di
ambang keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami
kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam
pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh
Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada
sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan
Indrapura (Indrapuri).

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496 yang sebelumnya
telah dirintis pada abad ke-15 oleh Mudzaffar Syah. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas
wilayahKerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan
sekitarnya mencakup Daya, Pedir,Lidie,Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah
menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru. Bisa dikatakan bahwa,
sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan
meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya. Pada awalnya,
wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar tetapi pada saat pemerintahan
Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak dengan
ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan
pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa
Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus
1530 dan berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan
Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan
bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh).

2
B. Kehidupan Politik
 Penguasa

Berdasarkan Bustanus salatin 1637 M karangan Naruddin Ar-raniri yang berisi silsilah sultan-
sultan aceh, dan berita-berita eropa. Kerajan aceh telah berhasil membebaskan diri dari kaerajaan
pedir. Raja-raja yang pernah memerintah kerajaan aceh :

1. Sultan Ali Mughayat Syah


Adalah raja kerajaan aceh yang pertama. Ia memerintah tahun 1514 – 1528 M. Dibawah
kekuasaannya, kerajaan aceh melakukan perluasan ke beberapa daerah yang berada di daerah
Daya dan Pasai. Bahkan melakukan serangan terhadap bangsa portugis di malaka dan juga
menyerang Kerajaan Aru.
2. Sultan Salahuddin
Wafatnya Sultan Ali Mughayat Syah pemerintahan beralih kepada purtanya yang bergelar
Sultan Salahuddin. Ia memerintah tahun 1528 – 1537 M. Selama menduduki tahta kerajaan ia
tidak memperdulikan pemerintahan kerajaannya. Keadaan kerajaan mulai goyah dan
mengalami kemerosotan yang tajam. Oleh karena itu Sultan Salahuddin digantikan saudaranya
yang bernama Alauddin Riayat Syah Al-kahar.
3. Sultan Alauddin Riayat Syah Al-kahar
Ia memerintah aceh dari tahun1537 – 1568 M. Ia melakukan berbagai bentuk perubahan dan
perbaikan dalam segala bentuk pemerintahan. Pada pemerintahannya kerajaan aceh melakukan
perluasan wilayah kekuasaannya seperti melakukan serangan terhadap kerajaan malaka ( tetapi
gagal ). Daerah kerajaan Aru berhasil diduduki. Pada masa pemerintahannya kerajaan aceh
mengalami masa suram banyak pemberontakan dan perebutan kekuasaan sering terjadi.
4. Sultan Iskandar Muda
Ia memerintah kerajaan aceh tahun 1607 – 1636 M. Dibawah pemerintahannya kerajaan aceh
mengalami kejayaan, tumbuh menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas perdagangan islam,
bahkan menjadi bandar transito yang dapat menghubungkan dengan perdagangan islam di
barat.
Untuk mencapai kebesaran kerajaan aceh Sultan Iskandar Muda meneruskan perjuangan
dengan menyerang portugis dan kerajaan johor di semenanjung malaya. Tujuannya untuk
menguasai jalur perdagangan di selat malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada.
Sulata Iskandar Muda juga menolak permintaan Inggris dan Belanda untu membeli lada di
pesisir sumatra bagian barat. Selain itu, kerajaan aceh melakukan pendudukan terhadap daerah-
daerah sepertu Aru, Pahang, Kedah, Perlak, dan Indragiri sehingga kerajaan aceh memiliki
wilayah yang sangat luas.
Pada masa kekuasaannya terdapat dua orang ahli tasawwuf yang terkenal di aceh Syech
Syamsuddin bin Abdullah Asy-samatrani dan Syech Ibrahin Asy-syamsi. Setelah sultan itu
wafat digantikan oleh menantunya Iskandar Thani.
5. Sultan Iskandar Thani
Ia memerintah tahun 1636 – 1641 M. Dalam menjalankan pemerintahannya ia melanjutkan
tradisi Sultan Iskandar Muda.
Pada masa pemerintahannya muncul seorang ulama besar yang bernama Nuruddin Ar-raniri. Ia
menulis buku sejarah aceh berjudul Bustanu’salatin. Sebagai ulama besar Nuruddin Ar-raini
sangat dihormati Sultan Iskandar Thani dan keluarganya serta rakyat aceh. Setelah Sultan
Iskandar Thani meninggal tahta kerajaan dipegang oleh putri dari permasyurinya dengan gelar
Putri Sri Alam Permaisyuri ( 1641 – 1667 M ).
6. Sultan Sri Alam ( 1575 – 1576 M).
7. Sultan Zain Al-abidin ( 1576 – 1577 M).
8. Sultan Ala’ Al-din Mansur Syah ( 1577 – 1589 M).
9. Sultan Buyong ( 1589 – 1596 M).
10. Sultan Ala’ Al-din Riyayat Syah Sayyid Al-mukkamil ( 1596 – 1604 M).
11. Sultan Ali Riayat Syah ( 1604 – 1607 M).
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam ( 1607 – 1636 M).
13. Sultan Sri Ratu Salfi Al-din Taj Al-alam ( 1641 – 1675 M).
3
14. Sultan Sri Ratu Naqi Al-din Nur AL-alam ( 1675 – 1678 M).
15. Sultan Sri Ratu Zaqi Al-din Inayat Syah (1678 – 1688 M).
16. Sultan Sri Ratu Kamalat Syah Zinat Al-din ( 1688 – 1699 M).
17. Sultan Badr Al-alam Syarif Hashim Jamal Al-din ( 1699 – 1702 M).
18. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui ( 1702 – 1703 M).
19. Sultan Jamal Al-alam Badr Al-munir ( 1703 – 1726 M).
20. Sultan Jauhar Al-alam Amin Al-din ( 1726 M).
21. Sultan Syams Al-alam ( 1726 – 1727 M).
22. Sultan Ala’ Al-din Ahmad Syah ( 1727 – 1735 M).
23. Sultan Ala’ Al-din Johan Syah ( 1735 – 1760 M).
24. Sultan Mahmud Syah ( 1760 – 1781 M).
25. Sultan Badr Al-din ( 1781 – 1785 M).
26. Sultan Sulaiman Syah ( 1785 - .... M).
27. Alauddin Muhammad Daud Syah
28. Sultan Ala’ Al-din Jauhar Al-alam ( 1795 – 1815 dan 1818 – 1824 M).
29. Sultan Syarif Syaif Al-alam ( 1815 – 1818 M).
30. Sultan Muhammad Syah ( 1824 - 1838 M).
31. Sultan Sulaiman Syah ( 1838 – 1857 M).
32. Sultan Mansyur Syah ( 1857 – 1870 M).
33. ltan Mahmud Syah ( 1870 – 1874 M).
34. Sultan Muhammad Daun Syah ( 1874 – 1903 M).
 Masa Kejayaan

Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu


dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang
diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang
sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya
dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan
mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada
1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang
berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan
Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa
kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada
tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan
armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam
upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya
ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak
membawa penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar
Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan
Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti
ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini
dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
C. Kehidupan Ekonomi

Letak Aceh Darussalam yang strategis menyebabkan perdagangan maju pesat. Bidang
perdagangan yang maju tersebut menjadikan Aceh Darussalam makin makmur. Setelah dapat
menaklukan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh Darussalam makin bertambah makmur. Dengan
kekayaan yang melimpah, Aceh Darussalam mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat.
Sumber pemasukan utama Kerajaan Aceh Darussalam adalah lada dan emas. Mata pencaharian utama
penduduk Aceh Darussalam adalah bidang perdagangan, terutama perdagangan lada dan emas. Selain
berdagang, rakyat Aceh Darussalam juga menggantungkan diri pada sektor kelautan dan pertanian.

4
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:

1. Minyak tanah dari Deli,


2. Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
3. Kapur dari Singkil,
4. Kapur Barus dan menyan dari Barus.
5. Emas di pantai barat,
6. Sutera di Banda Aceh.

Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah barang
mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.Namun di antara
semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.

Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9
juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh
pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Perancis,
dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh

D. Kehidupan Sosial Budaya


Kehidupan sosial

Meningkatnya kemakmuran telah menyebabkan berkembangnya sistem feodalisme dan ajaran


agama islam di aceh. Kaum bangsawan yang memegang kekuasaan dalam pemerintahan sipil dalam
golongan Teuku, sedangkan kaum ulama yang memegang peranan penting dalam agama disebut
golongan Teungku, namun antara kedua golongan masyarakat itu sering terjadi persaingan yang
kemudian melemahkan aceh. Sejak berkuasanya Kerajaan Perlah ( abad ke-12 M samapai ke-13 M )
telah terjadi permusuhan antara aliran Syiah dengan Sunnah Wal Jamma’ah. Tetapi pada masa
kekuasaan Sultan Iskandar Muda aliran Syiah memperoleh perlindungan dan berkembang sampai di
daerah-daerah kekuasaan aceh.

Aliran ini diajarkan oleh Hamzah Fansuri yang diteruskan oleh muridnya yang bernama
Syamsuddin Pasai. Sesudah Sultan Iskandar wafat, aliran Sunnah Wal Jamma’ah mengembangkan
islam beraliran Sunnah Wal Jamma’ah, ia juga menulis sejarah aceh yang berjudul Busnanussalatin. (
Taman raja-raja dan berisi adat-istiadat aceh beserta ajaran agama islam ).

Pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Thani muncul ahli tasawwuf terkenal dari gujarad yang
bernama Nurruddin Ar-Raniri. Hasil karyanya yang terkenal adalah Bustanus Salatin yang berisi
sejarah Aceh. Ajaran Nurruddin Ar-Raniri bertentangan dengan ajaran Hamzah Fansyuri dan
Syamsudin As-Samatrani. Hal itu menyebabkan perpecahan di kerajaan aceh pada tahun 1641, Sultan
Iskandar Thani wafat. Setelah Sultan Iskandar Thani meninggal aceh mengalami kemunduran di
berbagai bidang.

Kehidupan Budaya

Kejayaan yang dialami oleh Kerajaan Aceh tersebut tidak banyak diketahui dalam bidang
kebudayaan. Walaupun ada perkembangan dalam bidang kebudayaan, tetapi tidak sepesat
perkembangan dalam aktifitas perekonomian. Peninggalan kebudayaan yang terlihat nyata adalah
Masjid Baiturrahman.

E. Keruntuhan Kerajaan Aceh

Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya
kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah
Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam
pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara
pewaris tahta kesultanan.

5
Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata
(kanan). Sekitar tahun 1870an

Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga
serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan
Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi
pengangkatan ratu.

Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing
tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan
seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun
beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah
seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal
bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, mesjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh
dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil
(semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama
perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan
sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung)
semata.

Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya
Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan
Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya
menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh
Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris
dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan
kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah
(1857-1870).

Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang
sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang
sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur,
sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan
200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang.
Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau
Kampai.

Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk
membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status
Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang
Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak
hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Perancis dengan mengirim surat
kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). Namun
permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.

6
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke
tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong
dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke
ibukota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk
menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib
namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika
berunding di Riau.[5]

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan
kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824
mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan,
baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan
ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan
karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke
Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih
simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri
menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal
invasi Belanda Aceh.

2. Kerajaan Samudra Pasai

Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah bersamaan. Sekitar abad ke-7 dan 8,
Selat Malaka sudah mulai dilalui oleh pedagang-pedagang Muslim dalam pelayarannya ke negeri-
negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan berita Cina zaman T’ang, pada abad-abad
tersebut diduga masyarakat Muslim telah ada, baik di Kanton maupun di daerah Sumatera.
Di Sumatera, daerah yang pertama kali disinggahi oleh orang-orang Islam adalah pesisir
Samudera. Penyebabnya terdiri dari para mubaligh dan saudagar Islam yang datang dari Arab, Mesir,
Persia dan Gujarat. Para saudagar ini banyak dijumpai di beberapa pelabuhan di Sumatera yaitu di
Barus yang terletak di pesisir Barat Sumatera, Lamuri di pesisir Timur Sumatera dan di pesisir lainnya
seperti di Perlak,yaitu sekitar tahun 674 Masehi.
Kehadiran agama Islam di Pasai mendapat tanggapan yang cukup berarti di kalangan
masyarakat. Di Pasai agama Islam tidak hanya diterima oleh lapisan masyarakat pedesaan atau
pedalaman malainkan juga merambah lapisan masyarakat perkotaan. Dalam perkembangan
selanjutnya, berdirilah kerajaan Samudera Pasai.
Samudera Pasai didirikan oleh Nizamudin Al-Kamil pada tahun 1267. Nizamudin Al-Kamil
adalah seorang laksmana angkatan laut dari Mesir sewaktu dinasti Fatimiyah berkuasa. Ia ditugaskan
untuk merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat pada tahun 1238 M. Setelah itu, ia mendirikan kerajaan
Pasai untuk menguasai perdagangan Lada. Dinasti Fatimiyah merupakan dinasti yang beraliran paham
Syiah, maka bisa dianggap bahwa pada waktu itu Kerajaan Pasai juga berpaham Syiah. Akan tetapi,
pada saat ada ekspansi ke daerah Sampar Kanan dan Sampar Kiri sang laksamana Nizamudin Al-
Kamil gugur.
Setelah keruntuhan dinasti Fatimiyah yang beraliran Syiah pada tahun 1284, dinasti Mamuluk
yang bermadzhab Syafi’I berinisiatif mengambil alih kekuasaan Kerajaan Pasai. Selain untuk
menghilangkan pengaruh Syiah, penaklukan ini juga bertujuan untuk menguasai pasar rempah-rempah
dan lada dan pelabuhan Pasai. Maka, Syekh Ismail bersama Fakir Muhammad menunaikan tugas
tersebut. Mereka akhirnya dapat merebut Pasai. Selanjutnya dinobatkanlah Marah Silu sebagai raja
Samudera Pasai yang pertama oleh Syekh Ismail. Setelah Marah Silu memeluk Islam dan dinobatkan
menjadi raja, dia diberi gelar “Malikus Saleh” pada tahun 1285. Nama ini adalah gelar yang dipakai
oleh pembangunan kerajaan Mamuluk yang pertama di Mesir yaitu “Al Malikus Shaleh Ayub”.
Ada kisah-kisah menarik yang diterangkan dalam Hikayat Raja Pasai seputar Marah Silu.
Kisah-kisah ini nyaris di luar nalar dan beraroma mistis. Seperti adanya sabda Rasulullah yang
menaubatkan berdirinya kerajaan Samudera Pasai ataupun kisah Merah Silu yang tanpa diajari
siapapun mampu membaca Al Quran 30 juz dengan sempurna. Terlepas dari itu, Malik As Saleh
kemudian berpindah paham, dari Syiah menjadi paham Syafi’i. Maka aliran paham di Kerajaan
Samudera Pasai yang semula Syiah berubah menjadi paham Syafi’I yang sunni.
B. Proses berkembangnya Kerajaan Samudra Pasai di segala bidang
7
Dengan timbulnya Kerajaan Samudra Pasai maka Kesultanan Perlak mengalami kemunduran.
Samudra Pasai tampil sebagai bandar dagang utama di pantai timur Sumatra Utara. Samudra Pasai
tidak hanya menjadi pusat perdagangan lada ketika itu, tetapi juga sebagai pusat pengembangan agama
Islam bermazhab Syafi’i.
Pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Saleh berkembanglah agama Islam mazhab Syafi’i.
Awalnya Sultan Malik Al Saleh merupakan pemeluk Syi’ah yang di bawa dari pedagang-pedagang
Gujarat yang datang ke Indonesia pada abad 12. Pedagang-pedagang Gujarat bersama-sama pedagang
Arab dan Persia menetap di situ dan mendirikan kerajaan-kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu
Kerajaan Perlak di muara Sungai Perlak dan Kerajaan Samudra Pasai di muara Sungai Pasai. Namun
kemudian Sultan Malik Al Saleh berpindah menjadi memeluk Islam bermazhab Syafi’i atas bujukan
Syekh Ismail yang merupakan utusan Dinasti Mameluk di Mesir yang beraliran mazhab Syafi’i. Pada
masa pemerintahan Sultan Malik Al Saleh juga Samudra Pasai mendapat kunjungan dari Marco Polo.
a. Kehidupan Politik
Raja pertama samudra pasai sekaligus pendiri kerajaan adalah Marah silu bergelar sultan Malik
al Saleh, dan memerintah antara tahun 1285-1297. Pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Saleh,
kerajaan tersebut telah memiliki lembaga Negara yang teratur dengan angkatan perang laut dan darat
yang kuat, meskipun demikian, secara politik kerajaan Samudra Pasai masih berada dibawah
kekuasaan Majapahit. Pada tahun 1295, Sulthan malik al saleh menunjuk anaknya sebagai raja, yang
kemudian dikenal dengan Sultan Malik Al Zahir I (1297-1326), Pada masa pemerintahannya samudra
pasai berhasail menaklukkan kerajaan islam Perlak.
Setelah sultan Malik Al Zahir I mangkat, Pimpinan kerajaan diserahkan kepada Sultan ahmad
laikudzahir yang bergelar Sulthan Malik Al Zahir II (1326-1348)
b. Kehidupan Ekonomi
Karena letak geografisnya yang strategis, ini mendukung kreativitas mayarakat untuk terjun
langsung ke dunia maritim. Samudera pasai juga mempersiapkan bandar – bandar yang digunakan
untuk :
a. Menambah perbekalan untuk pelayaran selanjutnya
b. Mengurus soal – soal atau masalah – masalah perkapalan
c. Mengumpulkan barang – barang dagangan yang akan dikirim ke luar negeri
d. Menyimpan barang – barang dagangan sebelum diantar ke beberapa daerah di Indonesia
Tahun 1350 M merupakan masa puncak kebesaran kerajaan Majapahit, masa itu juga
merupakan masa kebesaran Kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan Samudera Pasai juga berhubungan
langsung dengan Kerajaan Cina sebagai siasat untuk mengamankan diri dari ancaman Kerajaan Siam
yang daerahnya meliputi Jazirah Malaka.
Perkembangan ekonomi masyarakat Kerajaan Samudera Pasai bertambah pesat, sehingga
selalu menjadi perhatian sekaligus incaran dari kerajaan – kerajaan di sekitarnya. Setelah Samudera
Pasai dikuasai oleh Kerajaan Malaka maka pusat perdagangan dipindahkan ke Bandar Malaka.
c. Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Samudera Pasai diatur menurut aturan – aturan dan
okum – okum Islam. Dalam pelaksanaannya banyak terdapat persamaan dengan kehidupan sosial
masyarakat di negeri Mesir maupun di Arab. Karena persamaan inilah sehingga daerah Aceh mendapat
julukan Daerah Serambi Mekkah.

C. Raja- raja yang berpengaruh di Kerajaan Samudra Pasai


Kerajaan Samudra Pasai ini merupakan kerajaan islam kedua sesudah Perlak. Sumber-sumber
sejarah mengenai kerajaan ini jauh lebih lengkap dibandingkan dengan kerajaan pertama. Disamping
Hikayat, berita-berita luar negeri, kerajaan ini juga meninggalkan peninggalan arkeologis berupa
prasasti yang dapat menjadi saksi utama mengenai telah berdirinya kerajaan ini.
Menurut buku Daliman, Pendiri kerajaan Samudra Pasai adalah Sultan Malik Al Shaleh. Hal
ini diketahui dengan pasti dari prasasti yang terdapat dari batu nisan makamnya yang menyatakan
bahwa sultan Malik Al Shaleh ini meninggal pada bulan Ramadhan 676 tahun sesudah hijrah Nabi
atau 1297, jadi 5 tahun sesudah kunjungan Marcopolo ke negeri ini dalam perjalanannya pulang dari
Cina.
Tradisi dari hikayat raja-raja Pasai menceritakan asal-usul Sultan Malik Al-Saleh. Sebelum
menjadi raja dan bergelar Sultan, raja ini semula adalah seorang marah dan bernama Marahsilu. Ayah
Marahsilu bernama Marah Gajah dan ibunya adalah Putri Betung. Putri Betung mempunyai rambut
pirang di kepalanya. Ketika rambut pirang itu dibantun oleh Marah Gajah keluarlah darah putih.
8
Setelah darah putih itu berhenti mengalir, maka menghilanglah Putri Betung. Peristiwa itu didengar
oleh ayah angkat Putri Betung ialah Raja Muhammad. Raja Muhammad karena marah segera
mengerahkan orang-orangnya untuk mencari dan menangkap Marah Gajah. Marah Gajah yang takut
karena kehilangan Putri Betung menyingkir dan meminta perlindungan dari ayah angkatnya pula yang
bernama Raja Ahmad. Ternyata Raja Muhammad dan Raja Ahmad adalah dua orang bersaudara.
Tetapi karena peristiwa Putri Betung d atas, maka kedua orang bersaudara itu akhirnya berperang.
Keduanya tewas dan Marah Gajah sendiri juga tewas terbunuh dalam peperangan. Putri Betung
meninggalkan dua orang putra yaitu Marah Sum dan Marah Silu, mereka berdua meninggalkan tempat
kediamannya dan mulai hidup mengembara. Marah Sum kemudian menjadi raja Biruen. Sedang
Marah Silu akhirnya dapat merebut rimba Jirun dan menjadi raja di situ. Marah Slu mendirikan istana
kerajaannya di atas bukit yang banyak didiami oleh semut besar yang oleh rakyat di sekitarnya disebut
Semut Dara (Samudra). Itulah sebabnya maka negara itu kemudian dinamakan negara Samudra.
Semula Marah Silu adalah penganut agama Islam aliran Syi’ah. Seperti kita ketahui bahwa
agama Islam yang berpengaruh di pantai timur Sumatra Utara pada waktu itu adalah agama Islam
aliran Syi’ah.
Untuk melenyapkan pengaruh Syi’ah dan untuk kemudian mengembangkan Islam mahzab
Syafi’i di pantai timur Sumatra Utara, maka Dinasti Mameluk di Mesir yang beraliranmahzab Syafi’i
pada 1254 mengirimkan Syekh Ismail ke pantai timur Sumatra Utara bersama Fakir Muhammad,
bekas ulama di pantai barat India. Di Samudra Pasai, Syekh Ismail berhasil menemui Marah Silu dan
berhasil pula membujukknya untk memeluk agama Islam mahzab Syafi’i kemudian Syekh Ismail
menobatkan Marah Silu sebagai Sultan pertama di kerajaan Samudra Pasai dan bergelar Sultan Malik
Al-Saleh. Pengikut Marah Silu yang bernama Sri Kaya dan Bawa Kaya ikut juga masuk mahzab
Syafi’i dan berganti nama pula menjadi Sidi Ali Khiauddin dan Sidi Ali Hassanuddin.
Penobatan Marah Silu sebagai Sultan pertama di Samudra Pasai oleh Syekh Ismail ini
didasarkan atas beberapa pertimbangan. Setelah Sultan Malik Al Saleh meninggal pada 1297 ia
digantikan oleh putranya, Sultan Muhammad, yang lebih terkenal dengan Sultan Malik Al Tahir yang
memerintah sampai tahun 1326. Kemudian ia digantikan oleh Sultan Ahmad Bahian Syah Malik Al
Tahir dan pada masa pemerintahan beliau Samudra Pasai juga mendapat kunjungan dari Ibnu Batutah.
Ibnu Battutah adalah seorang dari Afrika Utara yang bekerja pada Sultan Delhi di India. Ia
mengunjungi Samudra Pasai dalam rangka singgah ketika melakukan perjalanannya ke Cina sebagai
utusan Sultan Delhi. Dalam catatan-catatan Ibnu Batutah kita dapat mengetahui bagaimana peranan
Samudra Pasai ketika perkembangannya. Sebagai bandar utama perdagangan di pantai timur Sumatra
Utara, Samudra Pasai banyak didatangi oleh kapal-kapal dari India, Cina, dan dari daerah-daerah lain
di Indonesia. Di bandar tersebut kapal-kapal saling bertemu, transit, membongkar serta memuat
barang-barang dagangannya.
Dalam sistem pemerintahanannya, Samudra Pasai mengadopsi dari India dan Persia. Keraton
dan Istana Kerajaan Samudra Pasai dibangun bergaya arsitektur India. Pengaruh Persia dapat terlihat
dari gelar-gelar yang digunakan oleh pemerintahan kerajaan. Raja sendiri menggunakan
gelar syah, sedang patihnya yang mendampingi raja bergelar amir, bahkan di antara pembesar-
pembesar kerajaan terdapat pula orang Persia.
D. Puncak kejayaan Kerajaan Samudra Pasai
Puncak Kejayaan Samudra Pasai Puncak kejayaan kerajaan samudra pasai ini ditandai dengan
adanya perkembangan dibidang-bidang kehidupan kerajaan Samudra pasai, seperti ;
a. Di bidang perekonomian dan perdagangan
Dalam segi ekonomi perkembangan kerajaan Samudra Pasai ini ditandai dengan sudah adanya
mata uang yang diciptakan sendiri untuk alat pembayaran yang terbuat dari emas, uang ini dinamakan
Dirham. Selain itu, ditandai juga dengan berkembangnya Kerajaan Samudra Pasai menjadi pusat
perdagangan internasional pada masa pemerintahan Sultan Malikul Dhahir, dengan lada sebagai salah
satu komoditas ekspor utama. Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000
bahara setiap tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan
dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor-impor yang maju. Sebagai bandar dagang
yang maju. Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras
dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang -pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di
pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.
b. Di bidang sosial dan budaya
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Samudera Pasai diatur menurut aturan–aturan dan
hukum – hukum Islam. Dalam pelaksanaannya banyak terdapat persamaan dengan kehidupan sosial
9
masyarakat di negeri Mesir maupun di Arab. Karena persamaan inilah sehingga daerah Aceh mendapat
julukan Daerah Serambi Mekkah. Kerajaan Samudera Pasai berkembang sebagai penghasil karya tulis
yang baik. Beberapa orang berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam untuk
menulis karya mereka dalam bahasa Melayu, yang kemudian disebut dengan bahasa Jawi dan hurufnya
disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks
ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu
klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-
Singkili untuk menuliskan buku-bukunya. Selain itu juga berkembang ilmu tasawuf yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.
c. Di bidang agama
Sesuai dengan berita dari Ibn Battutah tentang kehadiran ahli-ahli agama dari Timur Tengah,
telah berperan penting dalam proses perkembangan Islam di Nusantara. Berdasarkan hal itu pula,
diceritakan bahwa Sultan Samudra Pasai begitu taat dalam menjalankan agama Islam sesuai dengan
Mahzab Syafi'I dan ia selalu di kelilingi oleh ahli-ahli teologi Islam. Dengan raja yang telah beragama
Islam, maka rakyat pun memeluk Islam untuk menunjukan kesetiaan dan kepatuhannya kepada sang
raja. Karena wilayah kekuasaan Samudra Pasai yang cukup luas, sehingga penyebaran agama Islam di
wilayah Asia Tenggara menjadi luas.
d. Di bidang politik
Pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Shalih telah terjalin hubungan baik dengan Cina.
Diberitakan bahwa Cina telah meminta agar Raja Pasai untuk mengirimkan dua orang untuk dijadikan
duta untuk Cina yang bernama Sulaeman dan Snams-ad-Din. Selain dengan Cina, Kerajaan Samudra
Pasai juga menjalin hubungan baik dengan negeri-negeri Timur Tengah. Pada masa pemerintahan
Sultan Mahmud Malik az-Zahir, ahli agama mulai dari berbagai negeri di Timur Tengah salah satunya
dari Persi (Iran) yang bernama Qadi Sharif Amir Sayyid dan Taj-al-Din dari Isfahan. Hubungan
persahatan Kerajaan Samudra Pasai juga terjalin dengan Malaka bahkan mengikat hubungan
perkawinan.
E. Kemunduran Kerajaan Samudra Pasai
1. Faktor Interen Kemunduran Kerajaan Samudra Pasai
 Tidak Ada Pengganti yang Cakap dan Terkenal Setelah Sultan Malik At Thahrir
Kerajaan Samudera Pasai mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Malik At
Tahrir, sistem pemerintahan Samudera Pasai sudah teratur baik, Samudera Pasai menjadi pusat
perdagangan internasional. Pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, China, dan Eropa berdatangan ke
Samudera Pasai. Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin erat. Produksi
beras dari Jawa ditukar dengan lada.
Setelah Sultan Malik At Tahrir wafat tidak ada penggantinya yang cakap dalam meminmpin
kerajaan Samudra Pasai dan terkenal, sehingga peran penyebaran agama Islam diambil alih oleh
kerajaan Aceh.
Kerajaan Samudera Pasai semakin lemah ketika di Aceh berdiri satu lagi kerajaan yang mulai
merintis menjadi sebuah peradaban yang besar dan maju. Pemerintahan baru tersebut yakni Kerajaan
Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan Aceh Darussalam sendiri
dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Aceh pada masa pra Islam, seperti
Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura. Pada
1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah menyerang
Kesultanan Samudera Pasai. Akibatnya, pamor kebesaran Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup
sebelum benar-benar runtuh. Sejak saat itu, Kesultanan Samudera Pasai berada di bawah kendali kuasa
Kesultanan Aceh Darussalam.
 Terjadi Perebutan kekuasaan
Pada tahun 1349 Sultan Ahmad Bahian Syah malik al Tahir meninggal dunia dan digantikan
putranya yang bernama Sultan Zainal Abidin Bahian Syah Malik al-Tahir. Bagaimana pemerintahan
Sultan Zainal Abidin ini tidak banyak diketahui. Rupanya menjelang akhir abad ke-14 Samudra Pasai
banyak diliputi suasana kekacauan karenaa terjadinya perebutan kekuasaan, sebagai dapat diungkap
dari berita-berita Cina. Beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Samudra Pasai, yaitu
pemberontakan yang dilakukan sekelompok orang yang ingin memberontak kepada pemerintahan
kerajaan Samudra Pasai. Karena pemberontakan ini, menyebabkan beberapa pertikaian di Kerajaan
Samudra Pasai. Sehingga terjadilah perang saudara yang membuat pertumpahan darah yang sia-sia.
Untuk mengatasi hal ini, Sultan Kerajaan Samudra Pasai waktu itu melakukan sesuatu hal yang bijak,
yaitu meminta bantuan kepada Sultan Malaka untuk segera menengahi dan meredam
10
pemberontakan. Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan
oleh Portugal tahun1521 yang sebelumnya telah menaklukan Malaka tahun 1511, dan kemudian
tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.
2. Faktor Eksteren kemunduran Kerajaan Samudra Pasai
 Serangan dari Majapahit Tahun 1339
Kejayaan Kerajaan Samudera Pasai mulai mengalami ancaman dari Kerajaan Majapahit
dengan Gajah Mada sebagai mahapatih. Gajah Mada diangkat sebagai patih di Kahuripan pada periode
1319-1321 Masehi oleh Raja Majapahit yang kala itu dijabat oleh Jayanegara. Pada 1331, Gajah Mada
naik pangkat menjadi Mahapatih ketika Majapahit dipimpin oleh Ratu Tribuana Tunggadewi. Ketika
pelantikan Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan
Sumpah Palapa, yaitu bahwa Gajah Mada tidak akan menikmati buah palapa sebelum seluruh
Nusantara berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Mahapatih Gajah Mada rupanya sedikit terusik mendengar kabar tentang kebesaran Kerajaan
Samudera Pasai di seberang lautan sana. Majapahit khawatir akan pesatnya kemajuan Kerajaan
Samudera Pasai. Oleh karena itu kemudian Gajah Mada mempersiapkan rencana penyerangan
Majapahit untuk menaklukkan Samudera Pasai. Desas-desus tentang serangan tentara Majapahit, yang
menganut agama Hindu Syiwa, terhadap kerajaan Islam Samudera Pasai santer terdengar di kalangan
rakyat di Aceh. Ekspedisi Pamalayu armada perang Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih
Gajah Mada memulai aksinya pada 1350 dengan beberapa tahapan.
Serangan awal yang dilakukan Majapahit di perbatasan Perlak mengalami kegagalan karena
lokasi itu dikawal ketat oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Namun, Gajah Mada tidak
membatalkan serangannya. Ia mundur ke laut dan mencari tempat lapang di pantai timur yang tidak
terjaga. Di Sungai Gajah, Gajah Mada mendaratkan pasukannya dan mendirikan benteng di atas bukit,
yang hingga sekarang dikenal dengan nama Bukit Meutan atau Bukit Gajah Mada.
Gajah Mada menjalankan siasat serangan dua jurusan, yaitu dari jurusan laut dan jurusan darat.
Serangan lewat laut dilancarkan terhadap pesisir di Lhokseumawe dan Jambu Air. Sedangkan
penyerbuan melalui jalan darat dilakukan lewat Paya Gajah yang terletak di antara Perlak dan Pedawa.
Serangan dari darat tersebut ternyata mengalami kegagalan karena dihadang oleh tentara Kesultanan
Samudera Pasai. Sementara serangan yang dilakukan lewat jalur laut justru dapat mencapai istana.
Selain alasan faktor politis, serangan Majapahit ke Samudera Pasai dipicu juga karena faktor
kepentingan ekonomi. Kemajuan perdagangan dan kemakmuran rakyat Kerajaaan Samudera Pasai
telah membuat Gajah Mada berkeinginan untuk dapat menguasai kejayaan itu. Ekspansi Majapahit
dalam rangka menguasai wilayah Samudera Pasai telah dilakukan berulangkali dan Kesultanan
Samudera Pasai pun masih mampu bertahan sebelum akhirnya perlahan-lahan mulai surut seiring
semakin menguatnya pengaruh Majapahit di Selat Malaka.
Hingga menjelang abad ke-16, Kerajaan Samudera Pasai masih dapat mempertahankan
peranannya sebagai bandar yang mempunyai kegiatan perdagangan dengan luar negeri. Para ahli
sejarah yang menumpahkan minatnya pada perkembangan ekonomi mencatat bahwa Kerajaan
Samudera Pasai pernah menempati kedudukan sebagai sentrum kegiatan dagang internasional di
nusantara semenjak peranan Kedah berhasil dipatahkan.
Namun, kemudian peranan Kerajaan Samudera Pasai yang sebelumnya sangat penting dalam
arus perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan dunia mengalami kemerosotan dengan munculnya
bandar perdagangan Malaka di Semenanjung Melayu Bandar Malaka segera menjadi primadona dalam
bidang perdagangan dan mulai menggeser kedudukan Pasai. Tidak lama setelah Malaka dibangun,
kota itu dalam waktu yang singkat segera dibanjiri perantau-perantau dari Jawa.
Akibat kemajuan pesat yang diperoleh Malaka tersebut, posisi dan peranan Kerajaan Samudera
Pasai kian lama semakin tersudut, nyaris seluruh kegiatan perniagaannya menjadi kendor dan akhirnya
benar-benar patah di tangan Malaka sejak tahun 1450. Apalagi ditambah kedatangan Portugis yang
berambisi menguasai perdagangan di Semenanjung Melayu. Orang-orang Portugis yang pada 1521
berhasil menduduki Kesultanan Samudera Pasai.
 Berdirinya Bandar Malaka yang Letaknya Lebih Strategis
Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota
di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Pasai menjadi pusat
perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.
Letak geografis kerajaan samudera pasai terletak di Pantai Timur Pulau Sumatera bagian utara
berdekatan dengan jalur pelayaran internasional (Selat Malaka). Letak Kerajaan Samudera Pasai yang

11
strategis, mendukung kreativitas mayarakat untuk terjun langsung ke dunia maritim. Samudera pasai
juga mempersiapkan bandar - bandar yang digunakan untuk:
1) Menambah perbekalan pelayaran selanjutnya
2) Mengurus masalah – masalah perkapalan
3) Mengumpulkan barang – barang dagangan yang akan dikirim ke luar negeri
4) Menyimpan barang – barang dagangan sebelum diantar ke beberapa daerah di Indonesia.
Namun Setelah kerajaan Samudra Pasai dikuasai oleh Kerajaan Malaka pusat perdagangan
dipindahkan ke Bandar Malaka. Dengan beralihnya pusat perdagangan ke Bandar Malaka maka
perekonomian di Bandar Malaka menjadi ramai karena letaknya yang lebih strategis dibanding bandar-
bandar di Samudra Pasai.
 Serangan Portugis
Orang-orang Portugis memanfaatkan keadaan kerajaan Samudra Pasai yang sedang lemah ini
karena adanya berbagai perpecahan (kemungkinan karena politik / kekuasaan) dengan menyerang
kerajaan Samudra Pasai hingga akhirnya kerajaan Samudra Pasai runtuh. Sebelumnya memang orang-
orang Portugis telah menaklukan kerajaan Malaka, yang merupakan kerajaan yang sering membantu
kerajaan Samudra Pasai dan menjalin hubungan dengan kerajaan Samudra Pasai.
Orang-orang Portugis datang ke Malaka, karena telah mengetahui bahwa pelabuhan Malaka
merupakan pelabuhan transito yang banyak didatangi pedagang dari segala penjuru angin. Malaka
dikenal sebagai pintu gerbang Nusantara. Julukan itu diberikan mengingat peranannya sebagai jalan
lalu lintas bagi pedagang-pedagang asing yang hendak masuk dan keluar pelabuhan-pelabuhan
Indonesia. Malaka pada akhir abad ke-15 dikunjungi oleh para saudagar yang datang dari Arab, India,
Asia Tenggara dan saudagar-saudagar Indonesia. Hal ini sangat menarik perhatian orang-orang
Portugis.
Maksud Portugis untuk menduduki Malaka adalah untuk menguasai perdagangan melalui selat
Malaka.Kedatangan orang-orang Portugis di bawah pimpinan Diego Lopez de Squeira ke Malaka atas
perintah raja Portugis, bertujuan untuk membuat perjanjian-perjanjian dengan penguasa-penguasa di
Malaka. Perjanjian-perjanjian ini dimaksudkan untuk memperoleh suatu izin perdagangan yang
menguntungkan kedua belah pihak. Jadi semboyan orang-orang Portugis untuk meluaskan daerah
pengaruhnya tidak hanya bermotif penyebaran agama akan tetapi terutama motif ekonomi.
F. Peninggalan dari Kerajaan Samudra Pasai
1. Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai
Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama
Islam. Banyak makam – makam para pemimpin kerajaan Samudra Pasai yang merupakan bukti nyata
adanya kerajaan Samudra Pasai. Beberapa makam terseut adalah :
a. Makam Sultan Malik AL-Saleh
b. Makam Sultan Maulana Al Zhahir
c. Makam Nahriyah
d. Makam Teungku Sidi Abdullah Tajul Nillah
e. Makam Naina Hasanuddin
f. Makam Perdana Menteri
g. Makam Teungku Peuet Ploh Peuet
h. Makam Said Syarif
i. Makam Teungku Diboih
j. Makam Batte

12
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Bukti tertulis mengenai adanya masyarakat Islam di Indonesia tidak ditemukan sampai dengan
abad 4 H (10 M). Yang dimaksud dengan bukti tertulis adalah bangunan-bangunan masjid, makam,
ataupun lainnya.
Hal ini memberikan kesimpulan bahwa pada abad 1—4 H merupakan fase pertama proses
kedatangan Islam di Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya, dengan kehadiran para pedagang
muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatera. Dan hal ini dapat diketahui berdasarkan
sumber-sumber asing.
Dari literature Arab, dapat diketahui bahwa kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke
wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke– 7 M. Sehingga, kita dapat berasumsi, mungkin
dalam kurun waktu abad 1—4 H terdapat hubungan pernikahan anatara para pedagang atau masyarakat
muslim asing dengan penduduk setempat sehingga menjadikan mereka masuk Islam baik sebagai istri
ataupun keluarganya.
Sedangkan bukti-bukti tertulis adanya masyarakat Islam di Indonesia khususnya Sumatera, baru
ditemukan setelah abad ke– 10 M. yaitu dengan ditemukannya makam seorang wanita bernama Tuhar
Amisuri di Barus, dan makam Malik as Shaleh yang ditemukan di Meunahasah Beringin kabupaten
Aceh Utara pada abad ke– 13. M.

B. SARAN
Makalah ini berhasil disusun dengan banyak kekurangannya, salah satunya adalah ketidakjelasan
topik apa yang harus dimuat dan dipelajari dalam makalah. Minimnya sumber data juga menghambat
penyelesaian makalah. Hal ini perlu diperhatikan agar penyusunan makalah selanjutnya lebih jelas lagi
dan lebih mudah lagi di selesaikan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Judul asli: At-Tarikh Al-Islami,
penerjemah: Samson Rahman, (Akbar Media, Jakarta: 2010), cet. 10
Amin, Samsul Munir , Drs., M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Sinar Media Grafika, 2009)
http://education.poztmo.com/2011/06/kesultanan-samudera-pasai.html, di unduh pada tanggal 12 Mei 2012
http://geosejarah.org/index.php?option=com_content&view=article&id=65:kerajaan-pagaruyung-hegemoni-
melampaui-sekat-sekat kewilayahan & catid =34: artikel & Itemid= 59…. diakses pada tanggal 12 Mei 2013.
http://www.minangforum.com/Thread-Sejarah-Islam-di-Minangkabau, di unduh pada tanggal 12 Mei 2013.
http://imagination-my.blogspot.com/2012/09/bukti-bukti-masuknya-islam-di-indonesia_1.html, di akses pada
tanggal 15 Mei 2013
Syamsu As, Muhammad , Drg., H., Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, (Jakarta: Lentera, 1996).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2011), cet. 23.

14
15
16

Anda mungkin juga menyukai