PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sejak zaman pra sejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang
sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan
antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat
Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian,
terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah
lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku
dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual kepada para pedagang asing. Pelabuhan-
pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi para pedagang
asing seperti Lamuri (Aceh), Barus, dan Palembang di Sumatra; Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka
tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang berupaya menyebarkan
agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di Indonesia ini bersamaan dengan kehadiran
para pedagang Arab tersebut. Meskipun belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
2. Tujuan
Makalah ini mempunyai tujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai proses
perkembangan islam di Indonesia bagi para pembaca. Disamping itu, makalah ini juga bertujuan untuk memberikan
informasi kepada para pembaca bahwa kami menjelaskan sejarah perkembangan islam dan perkembangan pada masa
yang akan datangnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua
pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir.
Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta negara-negara Islam.
Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan ketiga,
masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui
Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra.
Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para
pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara
Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual
hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu
justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah
pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan
Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520. Dan pada tahun itu
pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah
Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta
berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan
Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan Samudra Pasai.
Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal
Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.
A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh
Kesultanan Aceh Darussalam mulai berdiri ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang berada di
ambang keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami
kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam
pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh
Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada
sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan
Indrapura (Indrapuri).
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496 yang sebelumnya
telah dirintis pada abad ke-15 oleh Mudzaffar Syah. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas
wilayahKerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan
sekitarnya mencakup Daya, Pedir,Lidie,Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah
menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru. Bisa dikatakan bahwa,
sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan
meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya. Pada awalnya,
wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar tetapi pada saat pemerintahan
Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak dengan
ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan
pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa
Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus
1530 dan berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan
Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan
bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh).
2
B. Kehidupan Politik
Penguasa
Berdasarkan Bustanus salatin 1637 M karangan Naruddin Ar-raniri yang berisi silsilah sultan-
sultan aceh, dan berita-berita eropa. Kerajan aceh telah berhasil membebaskan diri dari kaerajaan
pedir. Raja-raja yang pernah memerintah kerajaan aceh :
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa
kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada
tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan
armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam
upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya
ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak
membawa penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar
Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan
Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti
ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini
dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
C. Kehidupan Ekonomi
Letak Aceh Darussalam yang strategis menyebabkan perdagangan maju pesat. Bidang
perdagangan yang maju tersebut menjadikan Aceh Darussalam makin makmur. Setelah dapat
menaklukan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh Darussalam makin bertambah makmur. Dengan
kekayaan yang melimpah, Aceh Darussalam mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat.
Sumber pemasukan utama Kerajaan Aceh Darussalam adalah lada dan emas. Mata pencaharian utama
penduduk Aceh Darussalam adalah bidang perdagangan, terutama perdagangan lada dan emas. Selain
berdagang, rakyat Aceh Darussalam juga menggantungkan diri pada sektor kelautan dan pertanian.
4
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:
Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah barang
mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.Namun di antara
semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9
juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh
pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Perancis,
dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh
Aliran ini diajarkan oleh Hamzah Fansuri yang diteruskan oleh muridnya yang bernama
Syamsuddin Pasai. Sesudah Sultan Iskandar wafat, aliran Sunnah Wal Jamma’ah mengembangkan
islam beraliran Sunnah Wal Jamma’ah, ia juga menulis sejarah aceh yang berjudul Busnanussalatin. (
Taman raja-raja dan berisi adat-istiadat aceh beserta ajaran agama islam ).
Pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Thani muncul ahli tasawwuf terkenal dari gujarad yang
bernama Nurruddin Ar-Raniri. Hasil karyanya yang terkenal adalah Bustanus Salatin yang berisi
sejarah Aceh. Ajaran Nurruddin Ar-Raniri bertentangan dengan ajaran Hamzah Fansyuri dan
Syamsudin As-Samatrani. Hal itu menyebabkan perpecahan di kerajaan aceh pada tahun 1641, Sultan
Iskandar Thani wafat. Setelah Sultan Iskandar Thani meninggal aceh mengalami kemunduran di
berbagai bidang.
Kehidupan Budaya
Kejayaan yang dialami oleh Kerajaan Aceh tersebut tidak banyak diketahui dalam bidang
kebudayaan. Walaupun ada perkembangan dalam bidang kebudayaan, tetapi tidak sepesat
perkembangan dalam aktifitas perekonomian. Peninggalan kebudayaan yang terlihat nyata adalah
Masjid Baiturrahman.
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya
kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah
Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam
pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara
pewaris tahta kesultanan.
5
Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata
(kanan). Sekitar tahun 1870an
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga
serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan
Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi
pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing
tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan
seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun
beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah
seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal
bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, mesjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh
dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil
(semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama
perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan
sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung)
semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya
Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan
Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya
menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh
Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris
dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan
kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah
(1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang
sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang
sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur,
sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan
200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang.
Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau
Kampai.
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk
membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status
Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang
Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak
hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Perancis dengan mengirim surat
kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). Namun
permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.
6
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke
tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong
dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke
ibukota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk
menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib
namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika
berunding di Riau.[5]
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan
kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824
mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan,
baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan
ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan
karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke
Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih
simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri
menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal
invasi Belanda Aceh.
Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah bersamaan. Sekitar abad ke-7 dan 8,
Selat Malaka sudah mulai dilalui oleh pedagang-pedagang Muslim dalam pelayarannya ke negeri-
negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan berita Cina zaman T’ang, pada abad-abad
tersebut diduga masyarakat Muslim telah ada, baik di Kanton maupun di daerah Sumatera.
Di Sumatera, daerah yang pertama kali disinggahi oleh orang-orang Islam adalah pesisir
Samudera. Penyebabnya terdiri dari para mubaligh dan saudagar Islam yang datang dari Arab, Mesir,
Persia dan Gujarat. Para saudagar ini banyak dijumpai di beberapa pelabuhan di Sumatera yaitu di
Barus yang terletak di pesisir Barat Sumatera, Lamuri di pesisir Timur Sumatera dan di pesisir lainnya
seperti di Perlak,yaitu sekitar tahun 674 Masehi.
Kehadiran agama Islam di Pasai mendapat tanggapan yang cukup berarti di kalangan
masyarakat. Di Pasai agama Islam tidak hanya diterima oleh lapisan masyarakat pedesaan atau
pedalaman malainkan juga merambah lapisan masyarakat perkotaan. Dalam perkembangan
selanjutnya, berdirilah kerajaan Samudera Pasai.
Samudera Pasai didirikan oleh Nizamudin Al-Kamil pada tahun 1267. Nizamudin Al-Kamil
adalah seorang laksmana angkatan laut dari Mesir sewaktu dinasti Fatimiyah berkuasa. Ia ditugaskan
untuk merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat pada tahun 1238 M. Setelah itu, ia mendirikan kerajaan
Pasai untuk menguasai perdagangan Lada. Dinasti Fatimiyah merupakan dinasti yang beraliran paham
Syiah, maka bisa dianggap bahwa pada waktu itu Kerajaan Pasai juga berpaham Syiah. Akan tetapi,
pada saat ada ekspansi ke daerah Sampar Kanan dan Sampar Kiri sang laksamana Nizamudin Al-
Kamil gugur.
Setelah keruntuhan dinasti Fatimiyah yang beraliran Syiah pada tahun 1284, dinasti Mamuluk
yang bermadzhab Syafi’I berinisiatif mengambil alih kekuasaan Kerajaan Pasai. Selain untuk
menghilangkan pengaruh Syiah, penaklukan ini juga bertujuan untuk menguasai pasar rempah-rempah
dan lada dan pelabuhan Pasai. Maka, Syekh Ismail bersama Fakir Muhammad menunaikan tugas
tersebut. Mereka akhirnya dapat merebut Pasai. Selanjutnya dinobatkanlah Marah Silu sebagai raja
Samudera Pasai yang pertama oleh Syekh Ismail. Setelah Marah Silu memeluk Islam dan dinobatkan
menjadi raja, dia diberi gelar “Malikus Saleh” pada tahun 1285. Nama ini adalah gelar yang dipakai
oleh pembangunan kerajaan Mamuluk yang pertama di Mesir yaitu “Al Malikus Shaleh Ayub”.
Ada kisah-kisah menarik yang diterangkan dalam Hikayat Raja Pasai seputar Marah Silu.
Kisah-kisah ini nyaris di luar nalar dan beraroma mistis. Seperti adanya sabda Rasulullah yang
menaubatkan berdirinya kerajaan Samudera Pasai ataupun kisah Merah Silu yang tanpa diajari
siapapun mampu membaca Al Quran 30 juz dengan sempurna. Terlepas dari itu, Malik As Saleh
kemudian berpindah paham, dari Syiah menjadi paham Syafi’i. Maka aliran paham di Kerajaan
Samudera Pasai yang semula Syiah berubah menjadi paham Syafi’I yang sunni.
B. Proses berkembangnya Kerajaan Samudra Pasai di segala bidang
7
Dengan timbulnya Kerajaan Samudra Pasai maka Kesultanan Perlak mengalami kemunduran.
Samudra Pasai tampil sebagai bandar dagang utama di pantai timur Sumatra Utara. Samudra Pasai
tidak hanya menjadi pusat perdagangan lada ketika itu, tetapi juga sebagai pusat pengembangan agama
Islam bermazhab Syafi’i.
Pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Saleh berkembanglah agama Islam mazhab Syafi’i.
Awalnya Sultan Malik Al Saleh merupakan pemeluk Syi’ah yang di bawa dari pedagang-pedagang
Gujarat yang datang ke Indonesia pada abad 12. Pedagang-pedagang Gujarat bersama-sama pedagang
Arab dan Persia menetap di situ dan mendirikan kerajaan-kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu
Kerajaan Perlak di muara Sungai Perlak dan Kerajaan Samudra Pasai di muara Sungai Pasai. Namun
kemudian Sultan Malik Al Saleh berpindah menjadi memeluk Islam bermazhab Syafi’i atas bujukan
Syekh Ismail yang merupakan utusan Dinasti Mameluk di Mesir yang beraliran mazhab Syafi’i. Pada
masa pemerintahan Sultan Malik Al Saleh juga Samudra Pasai mendapat kunjungan dari Marco Polo.
a. Kehidupan Politik
Raja pertama samudra pasai sekaligus pendiri kerajaan adalah Marah silu bergelar sultan Malik
al Saleh, dan memerintah antara tahun 1285-1297. Pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Saleh,
kerajaan tersebut telah memiliki lembaga Negara yang teratur dengan angkatan perang laut dan darat
yang kuat, meskipun demikian, secara politik kerajaan Samudra Pasai masih berada dibawah
kekuasaan Majapahit. Pada tahun 1295, Sulthan malik al saleh menunjuk anaknya sebagai raja, yang
kemudian dikenal dengan Sultan Malik Al Zahir I (1297-1326), Pada masa pemerintahannya samudra
pasai berhasail menaklukkan kerajaan islam Perlak.
Setelah sultan Malik Al Zahir I mangkat, Pimpinan kerajaan diserahkan kepada Sultan ahmad
laikudzahir yang bergelar Sulthan Malik Al Zahir II (1326-1348)
b. Kehidupan Ekonomi
Karena letak geografisnya yang strategis, ini mendukung kreativitas mayarakat untuk terjun
langsung ke dunia maritim. Samudera pasai juga mempersiapkan bandar – bandar yang digunakan
untuk :
a. Menambah perbekalan untuk pelayaran selanjutnya
b. Mengurus soal – soal atau masalah – masalah perkapalan
c. Mengumpulkan barang – barang dagangan yang akan dikirim ke luar negeri
d. Menyimpan barang – barang dagangan sebelum diantar ke beberapa daerah di Indonesia
Tahun 1350 M merupakan masa puncak kebesaran kerajaan Majapahit, masa itu juga
merupakan masa kebesaran Kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan Samudera Pasai juga berhubungan
langsung dengan Kerajaan Cina sebagai siasat untuk mengamankan diri dari ancaman Kerajaan Siam
yang daerahnya meliputi Jazirah Malaka.
Perkembangan ekonomi masyarakat Kerajaan Samudera Pasai bertambah pesat, sehingga
selalu menjadi perhatian sekaligus incaran dari kerajaan – kerajaan di sekitarnya. Setelah Samudera
Pasai dikuasai oleh Kerajaan Malaka maka pusat perdagangan dipindahkan ke Bandar Malaka.
c. Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Samudera Pasai diatur menurut aturan – aturan dan
okum – okum Islam. Dalam pelaksanaannya banyak terdapat persamaan dengan kehidupan sosial
masyarakat di negeri Mesir maupun di Arab. Karena persamaan inilah sehingga daerah Aceh mendapat
julukan Daerah Serambi Mekkah.
11
strategis, mendukung kreativitas mayarakat untuk terjun langsung ke dunia maritim. Samudera pasai
juga mempersiapkan bandar - bandar yang digunakan untuk:
1) Menambah perbekalan pelayaran selanjutnya
2) Mengurus masalah – masalah perkapalan
3) Mengumpulkan barang – barang dagangan yang akan dikirim ke luar negeri
4) Menyimpan barang – barang dagangan sebelum diantar ke beberapa daerah di Indonesia.
Namun Setelah kerajaan Samudra Pasai dikuasai oleh Kerajaan Malaka pusat perdagangan
dipindahkan ke Bandar Malaka. Dengan beralihnya pusat perdagangan ke Bandar Malaka maka
perekonomian di Bandar Malaka menjadi ramai karena letaknya yang lebih strategis dibanding bandar-
bandar di Samudra Pasai.
Serangan Portugis
Orang-orang Portugis memanfaatkan keadaan kerajaan Samudra Pasai yang sedang lemah ini
karena adanya berbagai perpecahan (kemungkinan karena politik / kekuasaan) dengan menyerang
kerajaan Samudra Pasai hingga akhirnya kerajaan Samudra Pasai runtuh. Sebelumnya memang orang-
orang Portugis telah menaklukan kerajaan Malaka, yang merupakan kerajaan yang sering membantu
kerajaan Samudra Pasai dan menjalin hubungan dengan kerajaan Samudra Pasai.
Orang-orang Portugis datang ke Malaka, karena telah mengetahui bahwa pelabuhan Malaka
merupakan pelabuhan transito yang banyak didatangi pedagang dari segala penjuru angin. Malaka
dikenal sebagai pintu gerbang Nusantara. Julukan itu diberikan mengingat peranannya sebagai jalan
lalu lintas bagi pedagang-pedagang asing yang hendak masuk dan keluar pelabuhan-pelabuhan
Indonesia. Malaka pada akhir abad ke-15 dikunjungi oleh para saudagar yang datang dari Arab, India,
Asia Tenggara dan saudagar-saudagar Indonesia. Hal ini sangat menarik perhatian orang-orang
Portugis.
Maksud Portugis untuk menduduki Malaka adalah untuk menguasai perdagangan melalui selat
Malaka.Kedatangan orang-orang Portugis di bawah pimpinan Diego Lopez de Squeira ke Malaka atas
perintah raja Portugis, bertujuan untuk membuat perjanjian-perjanjian dengan penguasa-penguasa di
Malaka. Perjanjian-perjanjian ini dimaksudkan untuk memperoleh suatu izin perdagangan yang
menguntungkan kedua belah pihak. Jadi semboyan orang-orang Portugis untuk meluaskan daerah
pengaruhnya tidak hanya bermotif penyebaran agama akan tetapi terutama motif ekonomi.
F. Peninggalan dari Kerajaan Samudra Pasai
1. Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai
Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama
Islam. Banyak makam – makam para pemimpin kerajaan Samudra Pasai yang merupakan bukti nyata
adanya kerajaan Samudra Pasai. Beberapa makam terseut adalah :
a. Makam Sultan Malik AL-Saleh
b. Makam Sultan Maulana Al Zhahir
c. Makam Nahriyah
d. Makam Teungku Sidi Abdullah Tajul Nillah
e. Makam Naina Hasanuddin
f. Makam Perdana Menteri
g. Makam Teungku Peuet Ploh Peuet
h. Makam Said Syarif
i. Makam Teungku Diboih
j. Makam Batte
12
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bukti tertulis mengenai adanya masyarakat Islam di Indonesia tidak ditemukan sampai dengan
abad 4 H (10 M). Yang dimaksud dengan bukti tertulis adalah bangunan-bangunan masjid, makam,
ataupun lainnya.
Hal ini memberikan kesimpulan bahwa pada abad 1—4 H merupakan fase pertama proses
kedatangan Islam di Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya, dengan kehadiran para pedagang
muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatera. Dan hal ini dapat diketahui berdasarkan
sumber-sumber asing.
Dari literature Arab, dapat diketahui bahwa kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke
wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke– 7 M. Sehingga, kita dapat berasumsi, mungkin
dalam kurun waktu abad 1—4 H terdapat hubungan pernikahan anatara para pedagang atau masyarakat
muslim asing dengan penduduk setempat sehingga menjadikan mereka masuk Islam baik sebagai istri
ataupun keluarganya.
Sedangkan bukti-bukti tertulis adanya masyarakat Islam di Indonesia khususnya Sumatera, baru
ditemukan setelah abad ke– 10 M. yaitu dengan ditemukannya makam seorang wanita bernama Tuhar
Amisuri di Barus, dan makam Malik as Shaleh yang ditemukan di Meunahasah Beringin kabupaten
Aceh Utara pada abad ke– 13. M.
B. SARAN
Makalah ini berhasil disusun dengan banyak kekurangannya, salah satunya adalah ketidakjelasan
topik apa yang harus dimuat dan dipelajari dalam makalah. Minimnya sumber data juga menghambat
penyelesaian makalah. Hal ini perlu diperhatikan agar penyusunan makalah selanjutnya lebih jelas lagi
dan lebih mudah lagi di selesaikan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Judul asli: At-Tarikh Al-Islami,
penerjemah: Samson Rahman, (Akbar Media, Jakarta: 2010), cet. 10
Amin, Samsul Munir , Drs., M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Sinar Media Grafika, 2009)
http://education.poztmo.com/2011/06/kesultanan-samudera-pasai.html, di unduh pada tanggal 12 Mei 2012
http://geosejarah.org/index.php?option=com_content&view=article&id=65:kerajaan-pagaruyung-hegemoni-
melampaui-sekat-sekat kewilayahan & catid =34: artikel & Itemid= 59…. diakses pada tanggal 12 Mei 2013.
http://www.minangforum.com/Thread-Sejarah-Islam-di-Minangkabau, di unduh pada tanggal 12 Mei 2013.
http://imagination-my.blogspot.com/2012/09/bukti-bukti-masuknya-islam-di-indonesia_1.html, di akses pada
tanggal 15 Mei 2013
Syamsu As, Muhammad , Drg., H., Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, (Jakarta: Lentera, 1996).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2011), cet. 23.
14
15
16