Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-
spesifik danimunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral
yang secara aktif diperankanoleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam
imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler
yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu
mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel
lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan
respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang
menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana
merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensiti1itas
atau alergi. Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensiti1itas,
yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap
sebagai alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi
alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi
ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik. Histamin yang
dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel
leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di
permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung
serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi
akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan
rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos
dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen
dan diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum
dapat bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama
makanan berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan
barier yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi
akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu,
sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia
relatif, karena disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi
degranulasi. Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase.
Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam mekanisme pembatasan atau

1
regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah
eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gangguan alergi familiar pada anafilaksis, penyakit atopik, asthma
bronchiale dan dermatitis atopik ?
2. Bagaimana mengetahui etiologi, pathogenesis, diagnosis dan pengobatan
penyakit imunologi tertentu ?
3. Apa yang dimaksud penyakit auto imun dan kompleks imun ?
4. Apa saja pendekatan terhadap keadaan defisiensi imun ?
C. Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui bagaimana gangguan alergi familiar pada anafilaksis,
penyakit atopik, asthma bronchiale dan dermatitis atopik ?
2. Mahasiswa mengetahui bagaimana mengetahui etiologi, pathogenesis,
diagnosis dan pengobatan penyakit imunologi tertentu ?
3. Mahasiswa mengetahui apa yang dimaksud penyakit auto imun dan kompleks
imun ?
4. Mahasiswa mengetahui apa saja pendekatan terhadap keadaan defisiensi imun
?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Gangguan Alergi Familiar


1. Pengertian Alergi
Alergi ialah reaksi imunologis berlebihan dalam tubuh yang timbul
segera atau dalam rentan waktu tertentu setelah eksposisi atau kontak dengan
zat yang tertentu (alergen).
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana
tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain,
tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan
yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang
menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.
Reaksi alergi terjadi jika seseorang yang telah memproduksi antibodi
IgE akibat terpapar suatu antigen (alergen), terpapar kembali oleh antigen
yang sama. Alergen memicu terjadinya aktivasi sel mast yang mengikat IgE
pada jaringan. IgE merupakan antibodi yang sering terlihat pada reaksi
melawan parasit, terutama untuk melawan cacing parasit yang umumnya
mewabah pada negara yang masih terbelakang.
Namun demikian, pada negara maju, respon IgE terhadap antigen sangat
menonjol dan alergi menjadi sebab timbulnya penyakit. Hampir separuh
masyarakat Amerika bagian utara dan juga masyarakat Eropa mempunyai
alergi terhadap satu atau lebih antigen yang berasal dari lingkungan, misalnya
serbuk bunga. Meskipun bahan alergen itu tidak sampai mengakibatkan
kematian namun sangat mengganggu produktivitas karena menyebabkan
penderitanya tidak dapat bekerja maupun sekolah.
Oleh karena alergi menjadi masalah kesehatan yang cukup penting
sehingga patofisiologi yang ditimbulkan oleh IgE lebih diketahui daripada
peran IgE pada fisiologi yang normal. Istilah alergi awalnya berasal dari
Clemen Von Pirquet yang artinya adalah perubahan kemampuan tubuh dalam
merespon substansi asing. Definisi ini memang cukup luas karena mencakup
seluruh reaksi imunologi.
2. Klasifikasi Alergi
Alergi saat ini mempunyai definisi yang lebih sempit yaitu penyakit
yang terjadi akibat respon sistem imun terhadap antigen yang tidak berbahaya.
Alergi merupakan salah satu respon sistem imun yang disebut reaksi
hipersensitif. Reaksi hipersensitif merupakan salah satu respon sistem imun
yang berbahaya karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan maupun

3
penyakit yang serius. Oleh Coobs dan Gell reaksi hipersensitif dikelompokkan
menjadi empat kelas. Alergi sering disamakan dengan hipersensitif tipe I

Gambar 2.1 Reaksi hipersensitif dimediasi oleh kerja sistem imun dan dapat
menimbulkan kerusakan jaringan.
Sejauh ini dikenal ada empat macam tipe hipersensitif. Tipe I-III
dimediasi oleh antibodi dan dibedakan satu sama lain dengan perbedaan
antigen yang dikenali dan juga kelas dari antibodi yang terlibat pada peristiwa
tersebut. Hipersensitif tipe I dimediasi oleh IgE yang menginduksi aktivasi sel
mast. Hipersensitif tipe II dan III dimediasi oleh IgG yang melibatkan reaksi
komplemen dan juga sel-sel fagosit. Tingkat keterlibatan komplemen dan
fagosit tergantung pada subklas IgG dan sifat antigen yang terlibat.
Hipersensitif tipe II tertuju pada antigen yang terdapat pada permukan atau
matrik sel, sedangkan hipersensitif tipe III tertuju pada antigen terlarut, dan
kerusakan jaringan disebabkan oleh adanya komplek imun. Pada hipersensitif
tipe II yang dimediasi antibodi IgG dimana antibodi berikatan dengan reseptor
pada permukaan sel akan mengganggu fungsi reseptor tersebut. Gangguan
pada reseptor dapat berupa aktivasi sel yang tak terkontrol maupun fungsi
reseptor hilang karena adanya bloking oleh antibodi itu. Hipersensitif tipe IV
dimediasi oleh sel T dan dapat dibagi menjadi tiga grup. Pada grup pertama,
kerusakan jaringan disebabkan oleh aktivasi makrofag akibat rangsangan sel
Th1. Pada mekanisme ini akan terjadi reaksi inflamasi. Pada grup kedua,
kerusakan jaringan disebabkan oleh aktivasi sel TH2 akibat adanya reaksi
inflamasi. Pada mekanisme ini eosinofil mempunyai peranan besar dalam
menyumbangkan kerusakan jaringan itu. Pada grup ketiga, kerusakan jaringan
disebabkan oleh aktivitas sel T sitotoksik, CD8

4
3. Etiologi
IgE diproduksi oleh sel plasma yang terletak pada lymph node dan
daerah yang mengalami reaksi alergi, yaitu pada germinal senter pada jaringan
yang mengalami inflamasi. Agar IgE dapat terbentuk memerlukan antigen
serta rute presentasi tertentu. TH2 yang merupakan subset CD4 dapat
membelokkan sisntesis isotipe antibodi dari bentuk IgM menjadi IgE. Pada
manusia TH2 dari subset CD4 dapat mengubah sintesis antibodi dari IgM
menjadi IgG2 dan IgG4 dan pada mencit dari IgM menjadi IgG1 dan IgG3.
Antigen yang secara khusus dapat mempengaruhi TH2 untuk membelokkan
sintesis antibodi menjadi IgE disebut allergen.
Reaksi alergi yang dimediasi IgE
Anafilaksis Obat Serum Intravena baik Edema
sistemik Bisa langsung Meningkatkan
Makanan diinjeksikan permeabelitas
maupun vaskuler Edema
terabsorpsi dari laring Kolap pada
usus masuk darah sirkulasi Kematian
Biduran akut Rambut Masuk kulit Peningkatan aliran
(wheal-and-flare) binatang Sistemik darah dan
Gigitan permeabilitas
serangga Tes vaskuler secara lokal
alergi
Alergi serbuk bunga Feses Inhalasi Edema pada mukosa
bunga Serbuk tungau nasal Bersin-bersin
Asma Bulu kucing Inhalasi Kontriksi bronkus
Serbuk sari
Feses tungau Peningkatan
produksi mukus
Inflamasi saluran
pernafasan
Alergi makanan Kerang Oral Muntah Diare
Kacangkacangan Kacang Pruritis (gatal)
tanah Susu Urticaria (biduran)
Telur Ikan Anafilaksis (jarang
Kedelai terjadi)
Wheat
Gambar 2. Reaksi pada antigen ekstrinsik yang dimediasi oleh IgE
Semua respon yang dimediasi oleh IgE selalu melibatkan degranulasi sel
mast, namun gejala yang dialami oleh pasien berbeda-beda tergantung dari
rute antigen masuk pada pasien tersebut. Antigen dapat masuk melalui injeksi,
terhirup atau termakan, dan pengaruhnya juga tergantung pada dosisnya.
4. Manifestasi Klinis
Keluhan alergi terjadi secara berulang dan berubah-ubah. Ahli alergi
modern berpendapat bahwa serangan alergi atas dasar target organ (organ
sasaran). Reaksi alergi merupakan manifestasi klinis yang disebabkan oleh
proses alergi dalam tubuh seorang anak yang dapat menggganggu semua
sistem tubuh (Widodo judarwanto, 2007).

5
Tabel 2.1 Manifestasi Alergi Pada bayi Baru lahir hingga 1 Tahun
No Organ/ Sistem Tubuh Gejala dan Tanda
1 System Pernapasan Bayi lahir dengan sesak (Transient Tachipneu Of
The newborn) cold-like respiratory congestion
(napas berbunyi/grok-grok)
2 System Pencernaan Sistem Pencernaan sering rewel/colic malam hari,
hiccups (cegukan), sering “ngeden”, sering mulet,
meteorismus, muntah, sering flatus, berak
berwarna hitam atau hijau, berak timbul warna
darah. Lidah sering berwarna putih. Hernia
umbilikalis, scrotalis atau inguinalis
3 Telinga Hidung Bersin, hidung berbunyi, kotoran hidung
Tenggorokan berlebihan, cairan telinga berlebiha, tangan sering
menggaruk atau memegang telinga.
4 Sistem Pembuluh Palpitasi, flushing (muka ke merahan), nyeri dada,
darah dan jantung colaps, pingsan, tekanan darah rendah.
5 Kulit Erthema toksikum, dermatitis atopic, diapers
dermatitis, urticaria, insect bite, keringat
berlebihan.
6 Sistem Saluran Kemih Nyeri saat berkemih, bed wetting (ngompol)
FreIuent, urgent or painful urination, inability to
control bladder: bedwetting, vaginal discharge,
itching, swelling, redness or pain in genitals,
painful intercourse.
7 Sistem Susunan Saraf Sensitif, sering kaget dengan rangsangan
Pusat suara/cahaya, gemetar, bahkan hingga kejang.
8 Mata Mata berair, mata gatal, kotoran mata berlebihan,
bintil pada mata, conjungtivitis vernalis.

Tabel 2.2 Manifestasi Alergi Pada Anak Usia Lebih dari 1 tahun
No Organ/ Sistem Tubuh Gejala dan Tanda
1 Sistem Pernapasan Batuk, pilek, bersin, hidung buntu, sesak
(astma), sering mengusap hidung.
2 Sistem Pencernaan Nyeri perut, sering buang air besar (>3 kali/hari),
sulit buang air besar (kotoran keras, berak, tidak
setiap hari, berak di celana, berak berwarna
hitam atau hijau, berak ngeden), kembung,
muntah, sulit berak, sering flatus, sariawan,
mulut berbau.
3 Telinga Hidung Hidung: Hidung buntu, bersin, hidung gatal,
Tenggorokan pilek, post nasal drip, epitaksis,salam alergi,
rabbit nose, nasal creases.
Tenggorokan: tenggorokan nyeri/kering/gatal,
palatum gatal, suara parau/serak, batuk pendek
(berdehem),

6
Telinga: telinga terasa
penuh/bergemuruh/berdenging, telinga bagian
dalam gatal, nyeri telinga dengan gendang
telinga kemerahan atau normal, gangguan
pendengaran hilang timbul, terdengar suara lebih
keras, akumulasi cairan di telinga tengah, pusing,
gangguan keseimbangan.
4 Sistem Pembuluh Palpitasi, flushing (muka kemerahan), nyeri
Darah dan Jantung dada, colaps, pingsan, tekanan darah rendah.
5 Kulit Sering gatal, dermatitis, urticaria, bengkak di
bibir, lebam biru kehitaman, bekas hitam seperti
digigit nyamuk, berkeringat berlebihan.
6 Sistem Susunan Darah Neuroanatomis : sering sakit kepala, migrain,
Pusat kejang gangguan tidur.
Neuroanatomis Fisiologis : gangguan perilaku,
emosi berlebihan, agresif, impulsif, overaktif,
gangguan belajar, gangguan konsentrasi,
gangguan koordinasi, hiperakti hingga autisme.
6 Mata Mata berair, mata gatal, serin belekan, bintil
pada mata (timbilan), allergic shiner (kulit di
bawah mata tampak hitam.
5. Patofiisiologi
Reaksi alergi yang kompleks dapat digambarkan sebagai berikut : reaksi
diawali dengan pajanan terhadap alergen yang ditangkap oleh antigen
Presenting Cell (APC), dipecah menjadi peptide-peptida kecil, diikat molekul
HLA (MHC II), bergerak ke permukaan sel dan dipresentasikan ke sel Th-2.
Sel Th-2 diaktifkan dan memproduksi sitokin-sitokin antara lain IF-4 dan IL-
13 yang memacu switching produksi IgG ke IgE oleh sel B, terjadi sensitisasi
sel mast dan basofil, sedangkan IL-5 mengaktifkan eosinofil yang merupakan
sel inflamasi utama dalam reaksi alergi. Antibodi IgE (antibody tersensitisasi)
melekat pada sel mast dan basofil. Bila ada alergen masuk dalam tubuh maka
akan terbentuk ikatan kompleks alergen dengan IgE. Ikatan tersebut
menyebabkan masuknya ion Ca++ ke dalam sel mast dan terjadi perubahan
pada membran sel mast dan basofil. Akibatnya terjadi degranulasi sel mast
yang kemudian menimbulkan pelepasan histamin serta mediator peradangan
lainnya. Selain itu sel residen juga melepas mediator dan sitokin yang juga
menimbulkan gejala alergi.
Mediator-mediator ini menyebabkan vasodilatasi perifer dan
pembengkakan ruang intestinum sehingga permeabilitas kapiler meningkat
dan terjadi perembesan cairan dan protein plasma ke jaringan yang pada
akhirnya menimbulkan oedem dan hipovolemik.
Pada sistem pernapasan histamin menyebabkan bronkokonstriksi yang
menyebabkan dispnoe. Pada saluran pencernaan pengeluaran histamin pada
fundus lambung mengaktifkan sel parietas yang meningkatkan produksi asam

7
lambung dan menyebabkan mual muntah dan diare. Reseptor histamin juga
terdapat di ujung saraf sensori yang dapat menimbulkan rasa nyeri dan gatal,
sedangkan pada mata menyebabkan mata gatal dan kemerahan.
Reaksi alergi yang berat dapat menyebabkan penurunan tekanan darah,
keadaan ini biasa disebut syok anafilaktik yang ditandai dengan gatal, kram
abdomen, kulit kemerahan, gangguan saluran cerna dan sulit bernafas.

Gambar 2.1 Mekanisme Reaksi Hipersensitifitas


B. Anafilaksis
1. Definisi Anafilaksis
Berdasarkan European Academy of Allergology and Clinical
Immunology Nomenclature Committee mendefinisikan bahwa anafilaksis
adalah reaksi hipersensitivitas yang berat, mengancam nyawa, bersifat general
atau sistemik. Hal ini dikarakteristikan oleh progresivitas perburukan yang
cepat dan mengancam nyawa pada jalan napas dan/atau pernapasan dan/atau
sirkulasi dan umumnya disertai perubahan pada kulit dan mukosa.
WHO menyatakan bahwa istilah “reaksi anafilaktoid” telah dieliminasi,
dan semua episode klinis yang menyerupai reaksi yang dimediasi IgE disebut
anafilaksis. WHO merekomendasikan anafilaksis terbagi menjadi reaksi
imunologis dan non-imunologis (termasuk reaksi anafilaktoid) dan reaksi
imunologis dibagi menjadi reaksi akibat pelepasan mediator basofil/sel mast
yang dimediasi IgE dan yang terjadi melalui mekanisme imunologis lain
(misalnya transfusi darah).
2. Etiologi
Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh berekasi dengan
antigen yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. sel
darah putih kemudian memproduksi antibodi dalm hal ini adalah IgE yang
bersirkulasi pada peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang
masuk. Perlekatan antigen/antobodi ini merangsang pelepasan mediator-
mediator seperti histamin dan menyebabkan berbagai reaksi dan gejala pada
berbagai organ dan jaringan.
a. Anafilaksis Terhadap Makanan

8
Makanan tersering yang menyebabkan anafilaksis termasuk
kacang/kacangan, ikan, kerang, susu sapi, kedelai, dan telur. Biji wijen
belakangan ini pun diidentifikasikan sebagai penyebab yang signifikan
pada anafilakasis yang diinduksi makanan. Hal yang sering terjadi
berhubungan dengan anafilakasis di induksi makanan yang fatal- reaksis
pada umumnya terutama akibat golongan kacang/kacangan; organ yang
terkena terutama berupa manifestasi kulit dan respirasi, pasien pada
umumnya adalah remaja dan dewasa muda; pasien memiliki riwayat alergi
makanan sebelumnya dan asma; dan gagal dalam pemberian epinefrin
secara tepat.
b. Anafilaksis akibat lateks alami
Sensitisasi lateks terjadi akibat reaktivitas yang dimediasi IgE
terhadap beberapa antigen dari Hevea brasiliensis, yang merupakan
sumber lateks. Disamping reaksi kutan, hipotensi, dan respirasi, kolaps
kardiovaskular hipotensi merupakan gambaran reaksi anafilaksis saat
operasi.
Anafilaksis yang diinduksi latex dapat terjadi pada kasus yang
melibatkan kontaks langsung dengan lateks, terutama sarung tangan atau
instrumen, ataudengan aerosolisasi antigen lateks yang melekat pada
tepung jagung pada sarung tangan lateks. Reaksi anafilaksis terjadi segera
atau lambat yaitu dalam 30-60 menit.
c. Anafilaksis saat Anatesi Umum, Periode Intraoperatif, dan Postoperatif
Manifestasi kulit merupakan hal penting dan merupakan indikator
anafilakasis yang sering digunakan. Kolaps kardiovaskular merupakan
manifestasi utama anafilaksis dan dapat dibingungkan dengan penyebab
lain kolaps kardiovaskular. Bradikardi lebih sering terjadi pada kasus
anafilaksis akibat anestesi dibandingkan pada kondisi lain dimana
takikardi merupakan manifestasinya.
d. Anafilaksis akibat Cairan Seminal
Hipersensitivitas plasma seminal merupakan diagnosis eksklusi.
riwayat yang lengkap merupakan hal yang penting dilakukan untuk
menyingkirkan penyebab lain seperti penyakit menular seksual,
sensitivitas lateks, transfer protein makanan atau protein obat dari partner
sex pria terhadap wanita atau kontaktan lain misalnya pembalut.
Anafilaksis akibat cairan seminal terjadi dalam hitungan detik hingga
menit setelah ejakulasi dan responnya berupa: pruritus difus dan urtikaria;
nyeri pelviks akibat kontraksi uterus; gejala nasal berupa rhinorhea dan
bersin; wheezing, dispnea, dan/atau edema laring; dan pada kasus jarang

9
berupa hipotensi dan syok. Pencegahan yang tepat adalah penggunaan
kondom.
e. Anafilaksis akibat Aktivitas
Gejalanya berupa rasa lemas, tubuh hangat, wajah kemerahan,
pruritus, dan urtikaria, dan pada kasus jarang berkembang menjadi
angioedema, wheezing, obstruksi jalan napas atas, dan kolaps. Pada
beberapa pasien, gejala tersebut terjadi apabila terdapat faktor lain yang
berkontribusis atau“co-trigger” berupa konsumsi makanan tertentu,
obat/oabatan tertentu, atau kadar polen yang tinggi.
f. Anafilaksis akibat Alergen Ekstrak Imunoterapi (Vaksin)
Pasien dengan asma, khususnya asma tidak terkontrol, beresiko
tinggi menjadi anafilaksis yang beresiko tinggi mengancam nyawa.
Anafilaksis pada pasien yang juga mengkonsumsi agen penghambat beta
adrenergik lebih sukar untuk ditangani.
g. Anafilaksis akibat Obat-obatan dan Agen Biologis
Anafilaksis terutama disebabkan oleh obat-obatan golongan penisilin.
h. Hipersensitivitas terhadap gigitan serangga
Reaksi kulit sistemik sering terjadi pada anak, syok hipotensi sering
terjadi pada dewasa, dan manifestasi respirasi terjadi dalam persentase
yang sama pada semua golongan usia. Venom imunoterapi harus
direkomendasikan pada pasien dengan sensitivitas sistemik terhadap
gigitan serangga karena berefektif.

3. Patogenesis
Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate
type reaction) oleh Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh
terpajan dengan alergen. Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara
antigen dengan IgE pada sel mast,yang menyebabkan terjadinya pelepasan
mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 2 fase: Fase sensitasi yaitu
waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampaidiikatnya dengan
reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil; Fase aktivasi yaitu
waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang sama dan
sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

10
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit).
Sel plasma memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat
pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE
spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator
vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran selyang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organorgan tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi
otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.
Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin
leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi. Basodilatasi
pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena
maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan
aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang
berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada
keaadan syok yang membahayakan penderita

Gambar 2.3 Patofisiologi Reaksi Anafilaksis


4. Diagnosis

11
Diagnosis anafilaksis didasarkan terutama pada gejala dan tanda klinis
serta deskripsiyang detail mengenai episode akut, terutama aktivitas dan
kejadian yang mendahului.
Table 2.3 Kriteria Diagnosis Anafilaksis
1 Onset akut (menit hingga jam) dengan keterlibatan kulit, mukosa,
atau keduanya (misalnya: kemerahan selutruh tubuh, pruritus, rasa
panas, bibir-lidah-uvula bengkak) dan minimal 1 dari berikut :
a) Gangguan respirasi (dispnea, wheezing, bronkospasme, stridor,
penurunan PEF, hipoksemia)
b) Penurunan tekanan darah atau gejala yang berhubungan dengan
disfungsi organ (hipotonia/kolaps, sinkop, inkotinensia)
2 2 atau lebih berikut yang terjadi segera terpapar sesuatu yang
menyerupai alergen (menit hingga beberapa jam):
a) Keterlibatan kulit-jaringan mukosa (gatal kemerahan, rasa panas,
generalized hives, bibir-lidah-ulva bengkak)
b) Penurunan tekanan darah atau gejala yang berhubungan
(hipotonia/kolaps, sinkop, inkotinesia)
c) Gejala gastrointestinal peristen (kram abdominalis yang sangat
nyeri, muntah)
3 Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang diketahui
pada pasien (menit hingga beberapa jam):
a) Bayi dan anak: tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur)
atau >30% penurunan tekanan darah
b) Dewasa: tekanan diastolic <90 mmHg atau >30% penurunan
personal baseline
Kunci diagnosis melipatkan pola pengenalan: onset yang mendadak
yang dikarakteristikan oleh tanda dan gejala yang berlangsung dalam hitungan
menit atau jam setelah terpapar pencetus potensial yang diketahui, terkadang
diikuti oleh progresi cepat gejala dan tanda dalam hitungan jam. Target organ
yang terlibat pun bervariasi. Secara tipikal, gejala terjadi pada 2 atau lebih
sistem tubuh: kulit dan mukosa, saluran napas atas dan bawah, saluran
gastrointestinal, sistem kardiovaskular, dan sistem saraf pusat. Pada beberapa
kejadian, anafilaksis dapat didiagnosis ketika hanya satu sistem tubuh yang
terlibat misalnya setelah tergigit serangga, onset mendadak gejala
kardiovaskular dapat merupakan manifestasi tunggal.
Anafilaksis pada kehamilan menempatkan baik ibu dan bayi dalam
resiko tinggi terjadinya kejadian fatal atau enselofati hipoksia/iskemia. selama
trimester I, II dan III, pencetus yang berpotensial sama dengan yang terdapat
pada wanita tidak hamil. selama proses persalinan dan kelahiran, anafilaksis
biasanya dicetuskan oleh intervensi iatrogen seperti oksitosin, atau lebih
sering terjadi antimikroba seperti penisilin atau sefalosforin yang diberikan
pada ibu untuk profilaksis infeksi streptokokus B hemolitikus pada neonatus.
Pada bayi, anafilaksis susah untuk dikenali. Beberapa tanda anafilaksis
juga merupakan kejadian normal pada bayi seperti kemerahan dan disfonia

12
setelah menangis, muntah setelah minum, dan inkontinensia. Bayi sehat
memiliki tekanan darah yang rendah dan iarama jantung istirahat yang tinggi
sehingga kriteria sesuai umur lah yang digunakan.
Remaja rentan untuk mengalami anafilaksis berulang karena perilaku
yang beresiko seperti kegagalan untuk menghindari faktor resiko. Pada usia
pertengahan dan usia tua beresiko tinggi untuk menjadi anafilaksis yang fatal
karena penyakit kardiovaskular yang telah diketahui ataupun subklinis dan
pengobatan yang digunakan untuk mengobatinya. Normalnya, sel mast
terdapat disekitar arteri koroner dan pembuluh darah intramural, antara serat
miokardial dan bagian intima arteri. Pada pasien dengan penyakit jantung
iskemik, jumlah dan densitas sel mast kardiak meningkat dan juga terdapat
pula pada plak aterosklerosis. Saat terjadi anafilaksis, histamin, leukotrin,
PAE, dan mediator lainnya akan dilepas dari sel mast dan berkontribusi dalam
vasokonstriksi dan spasme arteri koroner.
5. Pendekatan sistemik Terapi Anafilaksis
Merupakan hal yang penting dalam menangani pasien dengan
anafilaksis. Setelah dilakukan penilaian cepat pada pasien, terapi dapat
dilakukan sesuai dengan protokol. Hilangkan paparan terhadap faktor
pencetus, bila memungkinkan dan dilakukan penilaian segera terhadap
circulation, airway, dan breathing pasien serta status mental, kulit, dan
estimasi berat badan. Secara tepat dan simultan, panggil bantuan dan segera
injeksi epinefrin intamuskular pada mid anterolateral paha, dan tempatkan
pasien dalam posisi supinasi dan pisisi kaki lebih tinggi dari jantung pasien.
Bila diindikasikan pada saat kapanpun bila memungkinkan, segera setelah
dikenali, berikan oksigen suplementasi, pemasangan kateter intravena dan
resusitasi cairan intravena, dan mulai resusitasi kardiopulmonal dengan
kompresi dada. Dalam interval reguler, lakukan monitor tekanan darah, fungsi
dan irama jantung, status respirasi dan oksigenasi dan lakukan elektro
kardiogram, mulai dilakukan monitor non invasif kontinyu.
a. Lini Pertama Terapi
1) Efineprin (Adrenalin)
Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih
cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. berikan 0,5 ml
larutan 1:1.000 mg (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg
BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang 1-2 kali tiap 5-15 menit,
sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan. Namun, pada
beberapa kasus, injeksi epinefrin dilakukan lebih dari 2 kali
pemberian. Kegagalan injeksi yang tepat berpotensi fatal, enselofati
akibat hipoksia dan/atau iskemia, dan anafilaksis bifasik di mana

13
gejala dapat berulang dalam 1-72 jam (biasanya dalam 8-10 jam)
setelah gejala awal membaik.
2) Memposisikan Pasien
Pasien anafilaksis tidak boleh didudukan secara tiba/tiba,berdiri,
atau diposisikan dengan kepala lebih tinggi. Pasien sebaiknya
diposisikan dalam keadaan supinasi dengan elevasi tungkai bawah,
dan bila terdapat distres nafas atau muntah, pasien dapat diposisikan
senyaman mungkin namun dengan elevasi tungkai bawah. Tujuannya
adalah preservasi cairan dalam sirkulasi (kompartmen vaskular sentral)
manajemen penting dalam syok distributif dan mencegah sindrom
pengosongan vena kava/ ventrikel, yang dapat terjadi dalam hitungan
detik ketika pasien ditinggikan. Pasien dengan sindrom ini susah untuk
merespon epinefrin karena dosis obat tidak mencapai jantung.
3) Manajemen Distres Napas
Pemberian oksigen suplementaal harus diberikan dengan sungkup
muka atau orofaringeal dengan kecepatan aliran 6-8 L/menit pada
semua pasien dengan distress napas dan pada pasien yang mendapat
dosis epinefrin berulang. Manajemen kontinyu dapat dilakukan dengan
menggunakan pulse oxymetry bila memungkinkan.
4) Manajemen Syok dan Hipotensi
Selama anafilaksis, volume cairan yang besar berpotensi akan
meninggalkan sirkulasi dan masuk ke interstisial. Oleh karena itu,
pemberian terapi infus intavena saline 0.9% (saline isotonis atau
normal saline) harus segera diberikan segera setelah diketahui.
Kecepatan pemberian harus ditritasi sesuai dengan tekanan darah,
iarama jantung, dan urine output. Pasien harus dimonitor kemungkinan
overload cairan.
b. Pengobatan Lini Kedua
1) H1 Antihistmin
Pada anafilaksis, H1 antihistamin mengurangi gatal, kemerahan,
urtikaria, angioedema, gejala nasal dan mata; akan tetapi tidak boleh
menggantikan epinefrin karena bukan merupakan tindakan life-saving,
tidak mencegah atau mengurangi obstruksi saluran napas, hipotensi,
atau syok. Selain onset kerja yang lama dibandingkan epinefrin,
antihistamin juga berpotensi berbahaya karena efek CNS seperti
somnolen dan gangguan fungsi kognitif.
2) Beta-2 Adrenergik Agonis
Beta-2 adrenergik agonis selektif seperti salbutamol (albuterol)
sering diberikan pada kasus anafilaksis sebagai terapi tambahan untuk

14
wheezing, batuk, dan sesak yang tidak membaik dengan terapi
epinefrin. Namun terapiini tidak boleh mensubtitusi epinefrin karena
memiliki efek vasokonstriksi minimal alfa-1 adrenergik agonis dan
tidak mencegah atau mengurangi edema laring dan obstruksi saluran
napas, hipotensi, dan syok. Apabila terjadi bronkospasme yang
menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB selama 10-20
menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin
5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl
0,9% dan diberikan perlahan/lahan sekitar 15 menit.
3) Glukokortikoid
ukokortikoid akan menghentikan transkripsi gen yang teraktivasi
yang mengkode protein proinflamasi. Onset kerja glukokortikoid
sistemik memakan waktu beberapa jam. Meskipun dapat mengobati
gejala anafilaksis dan mencegah anafilaksis bifasik, efek ini belum
pernah dibuktikan sebelumnya.
4) H2-Antihistamin
H2-antihistamin yang digunakan bersamaan dengan H1-
antihistamin, berpotensial untuk menurunkan gejala kemerahan pada
kulit, nyeri kepala, dan gejala lainnya. Walaupun demikian, pemberian
simetidin intravena cepat dilaporkan menyebabkan hipotensi.
c. Penatalaksanaan
Riwayat reaksi alergi berat dengan respiratory
compromise atau hipotensi, terutama dengan
perubahan kulit

Identifikasi dan hentikan alergen

Oksigen 100% L/m

Adrenalin/epinephrine (1:1.000) 0,3-0,5 ml IM (0,01 mg/Kg BB)

Ulangi 5-15 menit jika tidak ada perubahan klinis

Antihistamin 10-20 mg atau IV pelan

Terapi tambahan
 Berikan cairan IV 1-2 L jika tanda-tanda syok tidak ada respon terhadap obat
 Kortikosteroid untuk kasus berat, berulang, dan pasien dengan asma
- Metal prednisolone 125-250 mg IV
- Dexamethasone 20 mg IV
- Hydrocortisone 200-500 mg IV pelan
 Inhalasi short octing β-z agonist pada bronkospasme berat
 vasopressor

 Obsetvasi 2= 3x24 jam, untuk kasus ringan cukup 6 jam


 Berikan kortikosteroid dan antihistamin PO 3x 24 jam

Bagan 2.1 Alogoritma Pelaksanaan Reaksi Anafilaksis


C. Penyakit Atopik
1. Dermatitis Atopik

15
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang khas, bersifat
kronis dan sering terjadi kekambuhan (eksaserbasi) terutama mengenai bayi
dan anak-anak dapat pula terjadi pada orang dewasa. Penyakit ini biasanya
disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum serta adanya riwayat
rinitis alergika dan asma pada keluarga maupun penderita (Kariosentono,
2006).
Inflamasi kulit pada dermatitis atopik merupakan hasil interaksi yang
komplek antara kerentanan genetik yang menjadi kulit menjadi rusak,
kerusakan sistem imun bawaan, dan kekebalan tinggi terhadap alergen
(imunologi) dan anti mikroba. Elemen utama dalam disregulasi imun adalah
sel Langerhans (LC), inflammatory dendritic epidermal cells (IDEC),
monosit, 9 makrofag, limfosit, sel mast, dan keratinosit, semuanya
berinteraksi melalui rangkaian rumit sitokin yang mengarah ke dominasi sel
Th2 terhadap sel Th1, sehingga sitokin Th2 (IL-4, IL5, IL-10, dan IL-13)
meningkat dalam kulit dan penurunan sitokin Th1 (IFN-γ dan IL-2) (Ong &
Leung, 2010).
2. Etiologi
Etiopatogenesis Faktor endogen yang berperan, meliputi disfungsi sawar
kulit, riwayat atopi, dan hipersensitivitas akibat peningkatan kadar IgE karena
aktivitas limfosit T meningkat. Faktor eksogen pada dermatitis atopik, antara
lain adalah bahan iritan, allergen dan hygiene lingkungan. Faktor endogen
lebih berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan faktor eksogen
cenderung menjadi faktor pencetus (Boediardja, 2009).
3. Diagnosis
Diagnosis Pada umumnya diagnosis dibuat dari riwayat adanya penyakit
atopi seperti asma dan rinitis alergi, pada keluarga, khususnya kedua orang
tuanya. Kemudian dari gejala yang dialami pasien, kadang perlu melihat
beberapa kali untuk dapat memastikan dermatitis atopik dan menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain serta mempelajari keadaan yang menyebabkan
iritasi/alergi kulit (Carson, 2013).
Adapun penggunaan kriteria diagnostik yang baik penting dalam
diagnosis dermatitis atopik, terutama untuk pasien yang termasuk dalam tipe
fenoti dan diagnosis ini dikembangkan oleh Hanifin dan Rajka yang secara
luas diterima (Akdis et al., 2006).
a. Kriteria mayor
1) Rasa gatal
2) Gambaran dan penyebaran kelainan kulit yang khas (bayi dan anak di
muka dan lengan)
3) Eksim yang menahun dan kambuhan

16
4) Riwayat penyakit alergi pada keluarga (stigmata atopik)
b. Kriteria minor
Xerosis, Iktiosis/pertambahan garis di palmar /keratosis pilaris,
Reaktivasi pada uji kulit tipe cepat, Peningkatan kadar IgE,
Kecenderungan mendapat infeksi kulit/kelainan imunitas seluler,
Dermatitis pada areola mammae, Keilitis, Konjungtivitis berulang,
Lipatan Dennie Morgan daerah infra orbita, Keratokonus, Katarak
subskapular anterior, Hiperpigmentasi daerah orbita, Kepucatan/eritem
didaerah muka, Pitiriasis alba, Lipatan leher anterior, Gatal bila
berkeringat, Intoleransi terhadap bahan wol dan lipid solven, Gambaran
perifolikuler lebih nyata, Intoleransi makanan, Perjalanan penyakit di
pengaruhi lingkungan dan emosi, White dermographism/ delayed blanch
4. Patofisiologi
Penyebabnya belum diketahui pasti. Gambaran klinis yang muncul
diakibatkan oleh kerja sama berbagai faktor konstitusional dan faktor
pencetus.
Sekitar 70% penderita ditemukan riwayat stigmata atopi (herediter)
berupa asma bronchial, rinitis alergik, konjungtivitis alergik dan dermatitis
atopik dalam keluarganya. Keadaan atopi ini diturunkan, mungkin tidak di
ekspresikan oleh gen tunggal, tetapi oleh banyak gen (polygenic). Pada
penderita dermatitis atopik, ditemukan peningkatan jumlah IgE di dalam
serum. Antigen akan ditangkap oleh fagosit kemudian akan dipresentasikan ke
sel T2 Helper (Sel Th2) . Sel Th2 akan memproduksi Sitokin kemudian
mengaktifkan seL-sel B untuk tumbuh dan berdiferensiasi sehingga
menghasilkan Antibodi IgE. IgE menempel di sel mast, lalu melepaskan
mediator kimia berupa Histamin. Histamin dianggap sebagai zat penting yang
memberi reaksi dan menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis
dan menekan produksi sel T sehingga terjadi peningkatan IgE yang akan
menyebabkan pruritus (rasa gatal) pada penderita. Sel mast akan meningkat
pada lesi dermatitis atopik kronis. Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan
histamin. Histamin sendiri tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa.
Kemungkinan zat tersebut menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin
karena garukan akibat gatal menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien
dermatitis atopik kapasitas untuk menghasilkan IgE secara berlebihan
diturunkan secara genetik.
Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe
lambat juga akan menurun pada 80% penderita dermatitis atopik, akibat
menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T
sitolitik (CD8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) meningkat sehingga

17
berakibat meningkatnya kerawanan (suseptibilitas) terhadap infeksi virus,
bakteri dan jamur, lalu menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1).
Rasa gatal (pruritus) dan reaktivitas kulit yang kuat merupakan tanda
penting pada dermatitis atopik. Pruritus dapat timbul karena faktor intrinsik
kulit, yaitu ambang gatal yang rendah. Eksaserbasi pruritus timbul disebabkan
oleh berbagai macam faktor pencetus yang akan memperburuk dermatitis
atopik, antara lain :
a. Makanan, inhalan berbagai alergen lain (seperti debu, kapuk, bulu
binatang, serbuk sari, karpet, boneka berbulu). Anak dengan bawaan atopi
lebih mudah bereaksi terhadap alergen tsb dan menimbulkan sensitisasi
terhadap reaksi hipersensitivitas tipe 1
b. Kelembaban rendah sehingga menyebabkan kulit menjadi kering karena
ada penurunan kapasitas pengikatan air, kehilangan air yang tinggi di
transepidermal, dan penurunan isi air. Pada bagian kehilangan air
mengalami kekeringan yang lebih lanjut dan peretakan dari kulit, menjadi
lebih gatal.
c. Keringat berlebih, disebabkan lingkungan yang bersuhu panas/dingin dan
kelembaban tinggi atau rendah, sinar matahari.
d. Penggunaan bahan iritan, seperti wol, sabun, deterjen, dll akan memicu
terjadinya pruritus pada kulit.
Faktor psikologik juga berpengaruh pada dermatitis atopik. Factor
psikologik ini juga merupakan factor pencetus yang dapat memperburuk
dermatitis atopik. Misalnya saja seseorang yang stress emosional, dapat
menimbulkan respons gatal sehingga menyebabkan terjadinya infeksi
sekunder. Karena stress, tubuh penderita akan terpajan oleh alergen yang
sama. Kemudian timbul sensitisasi terhadap reaksi hipersensitivitas tipe 1,
sehingga terjadi peningkatan IgE dalam jumlah yang lebih besar. Maka dari
itulah akan timbul infeksi sekunder yang dapat memperburuk dermatitis
atopik.
5. Pemeriksaan penunjang
a. Immunoglobulin
Kadar IgE biasanya meningkat pada 80 sampai 90% penderita DA.
Peningkatan kadar IgE erat hubungannya dengan tingkat keparahan
penyakit, dan tidak mengalami fluktuasi baik pada saat eksaserbasi,
remisi, ataupun sedang mendapat pengobatan. Kadar Ig E ini biasanya
akan kembali normal 6 sampai 12 bulan setelah remisi. Beberapa tehnik
pemeriksaan terhadap kadar Ig E ini dapat dilakukan dengan metode

18
ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay), ataupun RAST (Radio
allergosorbent test).

b. Bakteriologi
Pada kulit penderita DA yang aktif biasanya sering dijumpai bakteri
patogen seperti Staphylococcus aureus walaupun tanpa gejala klinis
infeksi.2 Uji tusuk (Skin Prick Test) Merupakan uji kulit yang sering
dilakukan pada anak yang dicurigai menderita DA. Tempat uji adalah
pada volar lengan bawah dengan jarak 2 cm dari pergelangaan tangan dan
lipat siku. Setelah meletakkan alergen pada permukaan kulit kemudian
kulit ditusuk dengan kedalaman 1 mm dengan menggunakan
lanset.Sebagai kontrol positif digunakan histamin dan untuk kontrol
negatif digunakan larutan gliserin. Reaksi terhadap alergen dibaca 15
menit kemudian dan dikatakan positif bila dijumpai rasa gatal, eritema dan
urtikaria.
c. Uji tempel (Atopy Patch Test)
Uji ini banyak digunakan untuk mengidentifikasi reaksi alergi
terhadap aeroalergen pada DA. Uji dilakukan selama masa remisi
penyakit. Sekitar 25 sampai 150 alergen pada plastik uji ditempelkan pada
punggung bagian atas penderita dengan menggunakan bahan perekat yang
hipoalergenik. Sebagai kontrol positif di gunakan histamin sedangkan
sebagai kontrol negatif digunakan larutan salin. Hasil pembacaan
dilakukan pada 48 jam, 72 jam dan 96 jam kemudian. reaksi dikatakan
positif apabila dijumpai eritema, papul, kulit terasa gatal, dan pada yang
ekstrim dapat dijumpai vesikel,reaksi seperti terbakar dan kulit melepuh.
d. Uji Eliminasi dan Provokasi
Uji ini biasanya dilakukan untuk mengidentifikasi reaksi alergi
terhadap makanan sebagai salah satu pencetus terjadinya DA.Eliminasi
makanan dilakukan selama tiga minggu sebelum dilakukan uji provokasi.
Uji provokasi makanan (food challenge) dimulai dengan makanan yang
paling tidak dicurigai akan menimbulkan reaksi alergi. Bila setelah 1
minggu dijumpai gejala alergi maka makanan tersebut dicurigai sebagai
penyebab alergi dan apabila dalam tiga kali provokasi di waktu yang
berbeda dijumpai reaksi yang sama maka makanan tersebut dinyatakan
definitif penyebab alergi.
6. Penatalaksanaan
a. Pencegahan (Avoidance)

19
Prinsip utama dalam penatalaksanaan DA adalah dengan
menghindari faktor pencetus baik makanan, alergen hirup, alergen kontak,
stress psikis maupun penyebab lainnya.
b. Probiotik
Rautava,dkk melaporkan bahwa resiko perburukan DA pada bayi
yang berusia di bawah dua tahun berkurang dengan pemberian probiotik
pada wanita yang mempunyai riwayat atopi dalam keluarga selama empat
minggu sebelum lahir dan selama masa menyusui. Akan tetapi perlu
penelitian lebih lanjut untuk membuktikan kebenarannya.
c. Pelembab
Pelembab dengan kandungan lipid konsentrasi tinggi ataupun yang
mengandung ceramide sebaiknya digunakan secara teratur untuk dapat
membantu mengatasi kekeringan pada kulit.
d. Mandi
Mandi dapat membantu hidrasi pada kulit, memperbaiki penetrasi
dari terapi topikal dan menjaga kulit yang sedang mengalami inflamasi
dari infeksisekunder. Penggunaan sabun yang mengandung pewangi dan
berbusa banyak serta penggunaan air panas sebaiknya di hindarkan untuk
mencegah kekeringan kulit pada penderita DA.
e. Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal yang sering digunakan untuk terapi DA salah
satunya adalah hidrokortison 1% yang aman digunakan untuk daerah yang
sensitif seperti pada wajah dan leher.Kortikosteroid topikal masih
merupakan terapi pilihan pertama DA pada populasi anak.

f. Penghambat calsineurin topikal


Merupakan terapi topikal pilihan lain yang cukup aman seperti
tacrolimus dan pimecrolimus yang digunakan untuk mengurangi efek
samping jangka panjang steroid topikal.
g. Pengobatan sistemik
Penggunaan kortikosteroid oral sangat terbatas, hanya digunakan
pada kasus yang berat dan tidak sembuh dengan terapi topikal, misalnya
prednison 0,5 mg/kgbb/hari dalam empat hari.
h. Antibiotik sistemik
Antibiotik biasanya digunakan untuk mengatasi DA yang luas
dengan infeksi sekunder. Antibiotik yang dianjurkan adalah eritomisin,
kloksasilin, dan sefalosporin
i. Imunomodulator sistemik

20
Beberapa tahun terakhir ini, fototerapi, penggunaan siklosporin,
azatioprin dan mikofenolat telah diterima sebagai terapi pada DA yang
refrakter dan tidak respon terhadap pengobatan topikal. Akan tetapi
efektifitas dan tingkat keamanannya belum banyak dilaporkan sehingga
membutuhkan penelitian lebih lanjut
D. Asthma Bronchiale
1. Definisi Asma Bronkial
Kata “Asthma” berasal dari bahasa yunani yang berarti “terengah-
engah” atau sukar bernapas. Menurut “United States National Tuberculosis
Association” 1967, Asma Bronkial
merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh
tanggap reaksi yang meningkat dari trakea
dan bronkus terhadap berbagai macam
rangsangan dengan manifestasi berupa
kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan yang menyeluruh dari
saluran napas.
Asma Bronkial adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan)
kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap
berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa
mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam atau
dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa
pengobatan.
Asma Bronkial dikenal karena adanya gejala sesak napas, batuk dan
mengi. Gejala-gejala tersebut disebabkan oleh penyempitan saluran napas.
Penyempitan tersebut disebabkan oleh mengkerutnya otot-otot yang
melingkari saluran napas, membengkaknya dan meradangnya jaringan sekitar
selaput lendir saluran dan meningkatnya produksi lendir atau dahak yang
ditumpahkan ke saluran napas. Akibatnya aliran udara yang masuk maupun
keluar dari paru terganggu.
Asma Bronkial bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang
tanpa gejala, tidak menganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala
ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian.
2. Klasifikasi Asma Bronkial
a. Klasifikasi Asma Bronkial Berdasarkan Penyebabnya
1) Asma Bronkial Ekstrinsik/Alergik/Atopik
a) Asma dengan alergen seperti bulu binatang, debu, tepung sari,
makanan dan lain-lain. Alergen terbanyak adalah airborne dan
musiman (seasonal).
b) Memiliki riwayat penyakit alergi pada keluarga.

21
c) Biasanya dimulai sejak kanak-kanak.
2) Asma Bronkial Non Atopik /Intrinsik/Non Alergenik
a) Faktor-faktor pencetus : common cold, infeksi saluran pernapasan
atas, aktivitas, emosi/stress, dan polusi lingkungan. Beberapa agen
farmakologi seperti bahan sulfat (penyedap makanan).
b) Serangan Asma Bronkial ini dengan berjalannya waktu dapat
berkembang menjadi bronkitis dan empisema.
c) Pada beberapa kasus dapat menjadi Asma Bronkial campuran.
d) Biasanya dimulai ketika dewasa.
3) Asma Bronkial Campuran / Mixed Asma Bronkial
a) Asma Bronkial yang paling sering ditemukan.
b) Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis Asma Bronkial
alergi dan non alergi.
b. Klasifikasi Berdasarkan Beratnya Asma Bronkial
1) Asma Bronkial Intermiten
Gejala-gejala kurang dari satu kali perminggu, kekambuhan
(eksaserbasi) sebentar, gejala-gejala di malam hari tidak lebih dari dua
kali per bulan, APE (Arus Puncak Ekspirasi) ≥ 80% prediksi,
variabilitas APE < 20%.
2) Asma Bronkial Persisten Ringan
Gejala-gejala lebih dari sekali per minggu tetapi kurang dari satu
kali per hari, eksaserbasi dapat mempengaruhi aktivitas dan tidur,
gejala-gejala di malam hari lebih dari dua kali per bulan, APE ≥80%
prediksi, variabilitas APE < 20-30%.
3) Asma Bronkial Persisten Sedang
Gejala-gejala setiap hari, eksaserbasi dapat mempengaruhi
aktivitas dan tidur, gejala-gejala di malam hari lebih dari dua kali per
bulan, APE ≥ 80% prediksi dan variabilitas APE > 30%.
4) Asma Bronkial Persisten Berat
Gejala-gejala setiap hari, eksaserbasi sering kali, gejala-gejala
Asma Bronkialdi malam hari sering kali, keterbatasan aktivitas fisik,
APE < 60% prediksi, variabilitas APE > 30%.
c. Gejala Asma Bronkial
Gejala Asma Bronkial bersifat episodik, seringkali reversible dengan
atau tanpa pengobatan. Gejala awal berupa :
1) Batuk terutama pada malam atau dini hari
2) Sesak napas
3) Napas berbunyi (mengi) yang terdengar saat menghembuskan napas
4) Rasa berat di dada

22
d. Dahak sulit keluar
Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam
jiwa, yang termasuk gejala yang berat adalah :
1) Serangan batuk yang hebat
2) Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
3) Sianosis
4) Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
5) Kesadaran menurun
e. Faktor Risiko Asma Bronkial
1) Faktor Host (Penjamu)
Faktor host adalah organisme, biasanya manusia atau hewan
yang menjadi tempat persinggahan penyakit. Host/penjamu bisa saja
terkena atau tidak terkena penyakit, yaitu genetik, hipereaktivitas
saluran napas, umur danjenis kelamin.
2) Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan adalah segala sesuatu yang mengelilingi dan
juga kondisi luar manusia atau hewan yang menyebabkan atau
memungkinkan penularan penyakit, yaitu alergen (debu rumah,
tungau, hewan peliharaan dan makanan), infeksi saluran napas,
tekanan jiwa, olah raga/kegiatan jasmani, obat-obatan dan polusi
udara.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Spirometri adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur
secara obyektif kapasitas/fungsi paru (ventilasi) pada pasien dengan
indikasi medis. Alat yang digunakan disebut spirometer.
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis
Asma Bronkial adalah melihat respons pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer). Caranya, setelah penderita
menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu diminta meniupkan udara
dengan cepat sampai habis ke dalam alat spirometer. Untuk anak yang
sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal/fungsi paru sebaiknya dilakukan.
Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter.
b. Pemeriksaan Darah
Pada penderita yang mengalami stress, dehidrasi dan infeksi, leukosit
dapat meningkat (15.000/mm3), sedangkan eosinofil meningkat diatas
nilai normal (normal= 250/mm3). Pada Asma Bronkial tipe alergi,
eosinofil dapat meningkat sampai 800-1000/mm3 . Bila peningkatan

23
eosinofil ini melebihi 1000/mm3, ada kemungkinan peningkatan ini
disebabkan infeksi, bila eosinofil tetap tinggi setelah diberi kortekosteroid,
maka Asma Bronkial tipe ini disebut steroid resistant bronchial asthma.
Pemeriksaan analisis gas darah hanya dilakukan pada Asma Bronkial
yang berat, saat penderita sudah tidak dapat lagi meniup spirometer,
karena sudah terlalu sesak. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan berat
ringannya suatu serangan Asma Bronkial, yang di ukur adalah tekanan
oksigen dan tekanan karbon dioksida dan keasaman darah. Pada Asma
Bronkial yang berat tekanan oksigen ini menurun, bila lebih berat lagi
tekanan karbon dioksida meninggi dan darah menjadi asam.
c. Uji Kulit
Tes ini bertujuan untuk menunjukkan adanya antibody IgE spesifik
dalam tubuh. Uji ini hanya mendukung anamnesis, karena uji alergen yang
positif tidak selalu merupakan penyebab Asma Bronkial, demikian pula
sebaliknya.
d. Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaan rontgen hanya sedikit membantu dalam diagnosis Asma
Bronkial, karena pemeriksaan ini tidak dapat menunjukkan adanya
penyempitan saluran napas. Tujuan pemeriksaan rontgen pada Asma
Bronkial adalah untuk melihat adanya penyakit paru lain seperti
empisema, tuberkulosis atau komplikasi Asma Bronkial, seperti infeksi
paru atau pecahnya alveoli.
e. Uji Provokasi Bronkus
Pemeriksaan provokasi baru dilakukan bila dokter masih belum dapat
memastikan diagnosis Asma Bronkial meskipun sudah melakukan
berbagai macam pemeriksaan. Untuk menunjukan adanya hipereaktivitas
bronkus dilakukan uji provokasi Bronkus. Ada beberapa cara melakukan
uji provokasi bronkus seperti uji provokasi dengan histamine, metakolin,
kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam, hipertonik, dan bahkan
dengan aqua destilata. Provokasi dengan zat kimia penderita diminta
untuk menghirup uap zat kimia. Sedangkan provokasi dengan kegiatan
jasmani penderita diminta berlari cepat selama 6 menit sehingga mencapai
denyut jantung 80-90% dari maksimum. Dianggap bermakna bila
menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak Ekspirasi) paling sedikit
10%. Sama halnya uji provokasi dengan alergen, hanya dilakukan pada
pasien yang alergi terhadap elergen yang di uji.
E. Penyakit Auto Imun Dan Kompleks Imun
1. Penyakit Autoimun
a. Definisi

24
Gagalnya mekanisme yang bertanggungjawab untuk toleransi self
dan induksi respon imun terhadap komponen self. Respon imun yang
terjadi tidak selalu merugikan bagi hospes (misal: antibodi anti-idiotype).
Walaupun demikian, telah dikenal adanya beberapa penyakit autoimun
yang merupakan produk sistem imun yang menyebabkan kerugian pada
hospes itu sendiri. Efektor yang terlibat dalam mekanisme penyakit
autoimun adalah antibodi dan sel T
Penyakit autoimun adalah kondisi ketika sistem kekebalan tubuh
seseorang menyerang tubuh sendiri. Normalnya, sistem kekebalan tubuh
menjaga tubuh dari serangan organisme asing, seperti bakteri atau virus.
Namun, pada seseorang yang menderita penyakit autoimun, sistem
kekebalan tubuhnya melihat sel tubuh yang sehat sebagai organisme asing.
Sehingga sistem kekebalan tubuh akan melepaskan protein yang disebut
autoantibodi untuk menyerang sel-sel tubuh yang sehat.
b. Klasifikasi
Tabel 5 : Spektrum penyakit autoimun, organ target dan tes diagnostik
Penyakit Organ Antibodi Tes Diagnostik
Hashimoto's Tiroid Tiroglobulin, RIA
thyroiditis tiroid
peroksidase
Miksidem Tiroid Reseptor TSH Imunofluoresen
primer sitoplasmik
Graves disease Tiroid - Bioassay
Anemia Sel darah sel perietal Imunofluoresen
pernisiosa merah Faktor gastrik B 12 binding to
intrinsik, IF
Penyakit Adrenal Sel adrenal Imunofluoresen
addison
Onset menopos Ovarium Sel yg Imunofluoresen
prematur memproduksi
steroid
infertilitas laki- Sperma Spermatozoa Aglutinasi.
laki Imunofluoresen

c. Gejala Penyakit Autoimun


Ada lebih dari 80 penyakit yang digolongkan penyakit autoimun.
Beberapa di antaranya memiliki gejala yang sama. Pada umumnya, gejala-
gejala awal penyakit autoimun adalah:
1) Kelelahan.
2) Pegal otot.
3) Ruam kulit.
4) Demam ringan.
5) Rambut rontok.

25
6) Sulit berkonsentrasi.
7) Kesemutan di tangan dan kaki.
Masing-masing penyakit autoimun memiliki gejala yang spesifik,
misalnya sering merasa haus, lemas, dan penurunan berat badan pada
penderita diabetes tipe 1.
Beberapa contoh dari penyakit autoimun beserta gejalanya, adalah:
1) Lupus; dapat memengaruhi hampir semua sistem organ dan
menimbulkan gejala seperti demam, nyeri sendi, ruam kulit, kulit
sensitif, sariawan, bengkak pada tungkai, sakit kepala, kejang, nyeri
dada, sesak napas, pucat, dan perdarahan.
2) Penyakit Graves; dapat mengakibatkan kehilangan berat badan, mata
menonjol, gelisah, rambut rontok, jantung berdebar.
3) Psoriasis; kulit bersisik.
4) Multiple sclerosis; nyeri, lelah, otot tegang, gangguan penglihatan,
dan kurangnya koordinasi tubuh.
5) Myasthenia gravis; kelelahan yang semakin parah seiring aktivitas
yang dilakukan.
6) Tiroiditis Hashimoto; kelelahan, depresi, sembelit, peningkatan berat
badan, kulit kering, dan sensitif pada udara dingin.
7) Kolitis ulseratif dan Crohn’s disease; nyeri perut, diare, BAB
berdarah, demam, dan penurunan berat badan.
8) Rheumatoid arthritis; menimbulkan gejala nyeri sendi, radang sendi,
dan pembengkakan.
9) Sindrom Guillain-Barre; kelelahan sampai kelumpuhan.
Gejala penyakit autoimun dapat mengalami flare, yaitu timbulnya
gejala secara tiba-tiba dengan derajat yang berat. Flare timbul karena
dipicu oleh suatu hal, misalnya paparan sinar matahari atau stres.
d. Diagnosis Penyakit Autoimun
Tidak mudah bagi dokter untuk mendiagnosis penyakit autoimun.
Meski setiap penyakit autoimun memiliki ciri khas, namun gejala yang
muncul bisa sama. Dokter akan menjalankan beberapa tes untuk
mengetahui apakah seseorang terserang penyakit autoimun, di antaranya
dengan tes ANA (antinuclear antibody) dan tes untuk mengetahui
peradangan yang mungkin ditimbulkan penyakit autoimun.
e. Pengobatan Penyakit Autoimun
Kebanyakan dari penyakit autoimun belum dapat disembuhkan,
namun gejala yang timbul dapat ditekan dan dijaga agar tidak timbul flare.
Pengobatan untuk menangani penyakit autoimun tergantung pada jenis
penyakit yang diderita, gejala yang dirasakan, dan tingkat keparahannya.

26
Untuk mengatasi nyeri, penderita bisa mengkonsumsi aspirin atau
ibuprofen.
Pasien juga bisa menjalani terapi pengganti hormon jika menderita
penyakit autoimun yang menghambat produksi hormon dalam tubuh.
Misalnya, untuk penderita diabetes tipe 1, dibutuhkan suntikan insulin
untuk mengatur kadar gula darah, atau bagi penderita tiroiditisdiberikan
hormon tiroid.
Beberapa obat penekan sistem kekebalan tubuh, seperti
kortikosteroid digunakan untuk membantu menghambat perkembangan
penyakit dan memelihara fungsi organ tubuh. Obat jenis anti TNF, seperti
infliximab, dapat mencegah peradangan yang diakibatkan penyakit
autoimun rheumatoid arthritis dan psoriasis.
2. Kompleks Imun
a. Definisi
Kompleks imun penyakit adalah reaksi nekrosis Arthus hemoragik
akut yang mengikuti re-paparan antigen, yang menarik PMN,
mengaktifkan komplemen, mengikat IC oleh reseptor Fc, menyebabkan
fagositosis, meningkatkan produksi faktor chemotactic, terutama C5b67
dan meningkatkan anaphylotoxins C3A dan C5a, mengakibatkan
vasodilatasi.
Kompleks imun adalah Sebuah penyakit yang disebabkan oleh
pengendapan antigen-antibodi atau antigen-antibodi-komplemen
kompleks pada permukaan sel, sehingga dalam pengembangan kronis atau
peradangan akut, yang dapat dimanifestasikan oleh vaskulitis ,
endokarditis, neuritis , atau glomeruloneritis.
Pembentukan kompleks imun atau kompleks antigen-antibodi
merupakan suatu proses alami dalam rangka mempertahankan tubuh
terhadap antigen yang larut, misalnya toksin bakteri.Penyatuan antigen
dan antibodi untuk membentuk kompleks yang tak larut pada tempat
tertentu dalam tubuh akan menimbulkan reaksi radang akut.
Penyakit kompleks imun adalah sekelompok penyakit yang ditandai
dengan adanya kompleks imun yang adalah antigen dan antibody terkunci
bersama-sama. Biasanya dikeluarkan dari darah oleh limpa tapi kadang-
kadang mereka terus beredar dan menjadi terjebak dalam berbagai
jaringan tubuh yang menyebabkan peradangan dan kerusakan jaringan.
Contoh penyakit kompleks imun adalah malaria, hepatitis virus dan
penyakit autoimun.
b. Klasifikasi

27
Penyakit kompleks imun terbagi atas dua kelompok yaitu: penyakit
kompleks imun alergi dan non alergi. Penyakit kompleks imun alergi
antara lain: reaksi Arthus, reaksi serum sickness, alergik bronko
alveolaris, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk penyakit kompleks
imun non alergi antara lain: Systemic Lupus Erythematous (SLE),
vaskulitis, glomerulonefritis, rheumatoid arthritis (RA), dan demam
rematik.
c. Etiologi
Walaupun etiologi spesifik penyakit ini sangat bervariasi namun
patofisiologi secara umum sama. Dasar patofisiologi penyakit kompleks
imun ini adalah reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Gell dan Comb.
Reaksi yang terjadi disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila
kompleks antigen-antibodi ditemukan di sirkulasi/dinding pembuluh darah
atau di jaringan dan mengaktifkan komplemen.
1) Kompleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh Darah
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten
(malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan
alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit
autoimun). Infeksi dapat disertai antigen dalam jumlah yang
berlebihan, tetapi tanpa adanya respon antibodi yang efektif. Makrofag
yang diaktifkan terkadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun
sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai
bahan yang dapat merusak jaringan.
Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan
IgM atau IgG3 (dapat juga IgA) diendapkan di membran basal
vaskular dan membran basal ginjal yang menimbulkan reaksi
inflamasi lokal dan luas. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan
agregasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas
vaskular, aktivasi sel mast, produksi dan penglepasan mediator
inflamasi dan bahan kemotaktik serta influks neutrofil. Bahan toksik
yang dilepas netrofil dapat menimbulkan kerusakan jaringan setempat.

Gambar 2. Kompleks imun menghadap di dinding pembuluh darah


2) Kompleks Imun Mengendap di Jaringan

28
Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks
imun di jaringan ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan
permeabilitas vaskular yang meningkat, antara lain karena histamin
yang dilepas oleh sel mast. Komplemen mastosit dan trombosit ikut
berperan pada elepasan histamin tersebut. Histamin dilepas dari
mastosit atas pengaruh anafilaktosin (C3a dan C5a) yang dilepas pada
aktivasi komplemen.
Endapan kompleks imun merupakan peristiwa yang dinamis dan
penyakit hanya bertahan bila antigen menetap seperti pada infeksi
kronik dan penyakit autoimun. Secara eksperimental Dixon
menunjukkan lesi glomerular kronik dengan pemakaian protein asing
berulang terhadap kelinci. Tidak semua kelinci menunjukkan lesi
tersebut, mungkin hanya kelinci yang secara genetik mampu
membentuk antibodi yang mempunyai afinitas rendah atau antibodi
terhadap determinan yang terbatas sehingga terbentuk kompleks imun
yang cukup besar.
F. Pendekatan Terhadap Keadaan Defisiensi Imun
1. Defisiensi Imun
Defisiensi imun adalah keadaan saat fungsi sistem imun menurun atau
tidak berfungsi dengan baik yang muncul ketika satu atau lebih komponen
sistem imun tidak aktif, kemampuan sistem imun untuk merespon patogen
berkurang pada baik golongan muda dan golonga tua, respon imun berkurang
pada usia 50 tahun, respon imun yang kurang baik akan terjadi juga pada
pengguna alkohol dan narkoba. Namun kekurangan nutrisi adalah akibat
paling umum yang menyebabkan difisiensi imun di negara berkembang. Diet
kekurangan cukup protein berhubungan dengan gangguan imunitas selular,
aktivitas komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi antibody, IgA dan produksi
sitokin, Defisiensi nutrisi seperti zinc, Selenium, zat besi, tembaga, vitamin A,
C, E, B6 dan asam folik (vitamin B9) juga mengurangi respon imun.
Defisiensi imun juga dapat didapat dari chronic granulomatus disease
(penyakit yang menyebabkan kemampuan fagosit untuk menghancurkan
fagosit berkurang), contohnya: Aids dan beberapa tipe kanker. Penyakit
defisiensi imun adalah sekumpulan dari berbagai penyakit yang karena
memiliki satu atau lebih ketidaknormalan sistem imun, sehingga terjadi
peningkatan kerentanan terhadap penyakit.
2. Pembagian Defisiensi Imun
Defisiensi imun terdiri atas sejumlah penyakit yang menimbulkan
kelainan atau lebih sistem imun. Manifestasi defisiensi imun tergantung dari
sebab dan respon. Defisiensi sel B ditandai oleh infeksi rekuren bakteri

29
dengan kapsel. Defisiensi sel T ditandai oleh infeksi virus, jamur dan protozoa
yang rekuren. Defisiensi fagosit dengan ketidakmampuan untuk memakan dan
mencerna patogen yang biasanya terjadi pada infeksi bakteri yang rekuren.
Penyakit gangguan komplemen menunjukkan defek aktivasi jalur klasik,
alternatif dan lektin yang meningkatkan mekanisme spesifik.
a. Defisiensi imun nonspesifik
1) Defisiensi komplemen
Defisiensi komponen atau fungsi komplemen berhubungan
dengan peningkatan insidens infeksi dan penyakit autoimun seperti
LES. Komponen komplemen diperlukan untuk membunuh kuman,
opsonisasi, kemotaksis, pencegahan penyakit autoimun dan eliminasi
kompleks antigen antibodi. Defisiensi komplemen dapat menimbulkan
berbagai akibat seperti infeksi bakteri yang rekuren dan peningkatan
sensitivitas terhadap penyakit autoimun. Kebanyakan defisiensi
komplemen adalah herediter.
Konsekuensi defisiensi komplemen tergantung dari komponen
yang kurang. Defisiensi C2 tidak begitu berbahaya. Hal tersebut
mungkin disebabkan oleh karena mekanisme jalur alternatif tidak
terganggu. Defisiensi C3 biasanya menimbulkan infeksi rekuren
bakteri piogenik dan negatif-Gram yang mungkin disebabkan oleh
karenea tidak adanya faktor kemotaktik, opsonisasi dan aktivitas
bakterisidal.
2) Defisiensi komplemen kongenital
Defisiensi komplemen biasanya menimbulkan infeksi yang
berulang atau penyakit kompleks imun seperti LES dan
glomerulonefritis.
a) Defisiensi inhibitor esterase C1
Defisiensi C1 INH berhubungan dengan angioedem herediter,
penyakit yang ditandai dengan edem lokal sementara tetapi
seringkali. Defek tersebut menimbulkan aktivitas C1 yang tidak
dapat dikontrol dan produksi kinin yang meningkatkan
permeabilitas kapilar. C2a dan C4a juga dilepas yang merangsang
sel mast melepas histamin didaerah dekat trauma yang berperan
pada edem lokal. Kulit, saluran cerna dan napas dapat terkena dan
menimbulkan edem laring yang fatal.
b) Defisiensi C2 dan C4
Defisiensi C2 dan C4 dapat menimbulkan penyakit serupa
LES, mungkin disebabkan kegagalan eliminasi kompleks imun
yang komplemen dependen.

30
c) Defisiensi C3
Defisiensi C3 dapat menimbulkan rekasi berat yang fatal
terutama yang berhubungan dengan infeksi mikroba piogenik
seperti streptokok dan stafilokok. Tidak adanya C3 berarti fragmen
kemotaktik C5 tidak diproduksi. Kompleks antigen-antibodi-C3b
tidak diendapkan dimembran dan terjadi gangguan opsonisasi.
d) Defisiensi C5
Defisiensi C5 menimbulkan kerentanan terhadap infeksi
bakteri yang berhubungan dengan gangguan kemotaksis.
e) efisiensi C6, C7 dan C8
Defisiensi C6, C7 dan C8 meningkatkan kerentanan terhadap
septikemi meningokok dan gonokok. Lisis melalui jalur
komplemen merupakan mekanisme kontrol utama dalam imunitas
terhadap neseria. Penderita dengan defisiensi protein tersebut
menunjukkan derajat infeksi neseria, sepsis, atritis yang lebih berat
dan peningkatan DIC.

3) Defisiensi komplemen fisiologik


Defisiensi komplemen fisiologik hanya ditemukan pada neonatus
yang disebabkan kadar C3, C5 dan faktor B yang masih rendah.
4) Defisiensi komplemen didapat
Defisiensi komplemen didapat disebabkan oleh depresi sintetis,
misalnya pada sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori. Pada anemia
sel sabit ditemukan gangguan aktivasi komplemen yang meningkatkan
resiko infeksi salmonela dan pneumokok.
a) Defisiensi Clq,r,s
Defisiensi Clq,r,s terjadi bersamaan dengan penyakit
autoimun, terutama pada penderita LES. Penderita ini sangat
rentan terhadap infeksi bakteri. Penyakit yang berhubungan
dengan defisiensi C1 adalah edem angioneuritik herediter.
Penderita tersebut tidak memiliki inhibitor esterase C1. Akibatnya
ialah efek C1 terhadap C4 atau C2 berjalan terus yang dapat
mengaktifkan berbagai bahan seperti plasmin dan peptida yang
vasoaktif. Hal ini menimbulkan edem lokal dalam berbagai alat
tubuh yang dapat fatal bila terjadi dalam larings. Danazol dan
oksimetolon memacu sintesis inhibitor esterase C1 pada penderita
dengan edem angioneurotik.
b) Defisiensi C4
Defisiensi C4 ditemukan pada beberapa penderita LES.

31
c) Defisiensi C2
Defisiensi C2 merupakan defisiensi komplemen yang paling
sering terjadi. Defisiensi tersebut tidak menunjukkan gejala seperti
telah dijelaskan terlebih dahulu dan terdapat pada penderita LES.

d) Defisiensi C3
Penderita dengan defisiensi C3 menunjukkan infeksi bakteri
rekuren. Pada beberapa penderita disertai dengan glomerulonefritis
kronik.
e) Defisiensi C5-C8
Penderita dengan defisiensi C5 sampai C8 menunjukkan
kerentanan yang meningkatkan terhadap infeksi terutama neseria.
f) Defisiensi C9
Defisiensi C9 sangat jarang ditemukan. Anehnya penderita
tersebut tidak menunjukkan tanda infeksi rekuren, mungkin karena
lisis masih dapat terjadi atas pengaruh C8 tanpa C9 meskipun
terjadi secara perlahan.
b. Defisiensi interferon dan lisozim
1) Defisiensi interferon congenital
Defisiensi interferon kongenital dapat menimbulkan infeksi
mononukleosis yang fatal.
2) Defisiensi interferon dan lisozim didapat
Defisiensi interferon dan lisozim dapat ditemukan pada
malnutrisi protein/kalori.
3) Gambaran Umum Defisiensi Imun
Gambaran umum defisiensi imun, dapat ditandai dengan
ditemukannya tanda-tanda klinik sebagai berikut:
a) Peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan jenis infeksinya
tergantung dari komponen sistem imun yang defektif;
b) Penderita dengan defisiensi imun juga rentan terhadap jenis kanker
tertentu;
c) Defisiensi imun dapat terjadi akibat defek pematangan limfosit
atau aktivutas atau dalam mekanisme efekator imunitas non-
spesifik dan spesifik;
d) Defisiensi imun tertentu berhubungan dengan peningkatan insidens
autoimunitas. Mekanismenya tidak jelas, diduga berhubungan
dengan defisiensi sel Tr.

32
33
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Alergi adalah reaksi sistem kekebalan tubuh manusia terhadap benda tertentu,
yangseharusnya tidak menimbulkan reaksi di tubuh orang lain. Reaksi tersebut dapat
muncul dalam bentuk pilek, ruam kulit yang gatal, atau bahkan sesak napas.
Reaksi alergi disebabkan oleh produksi antibodi spesifik IgE karena adanya
antigen tertentu. Munculnya IgE merupakan tanggapan tubuh oleh adanya alergen
yaitu antigen kecil yang mampu menstimuli sel B spesifik untuk mensekresi IgE.
Alergen umumnya memasuki tubuh dalam jumlah yang sangat kecil dan berdifusi
melalui melalui permukaan mukosa sehingga memicu reaksi TH2. Diferensiasi
sel T naive menjadi TH2 dibantu oleh IL4 dan IL-13. TH2 yang spesifik untuk
suatu alergen memproduksi IL-4 dan IL-13 yang berfungsi untuk memacu sel B
spesifik untuk memproduksi IgE. IgE spesifik yang diproduksi sebagai respon
terhadap alergen akan berikatan dengan afinitas tinggi dengan reseptornya yang
terletak pada sel mast, basofil, dan juga terikat pada eosinofil yang teraktivasi.
Ketiga sel yang disebutkan terakhir ini dapat memacu produksi IgE karena sel-sel
tersebut apabila telah teraktivasi akan mensekresi IL-4 dan ligan CD40.
Kecenderungan produksi yang berlebihan dapat disebabkan karena faktor genetik
dan lingkungan. Sekali saja IgE terbentuk karena adanya reaksi terhadap alergen,
maka jika alergen yang sama masuk kembali pada waktu yang lain akan
menimbulkan terjadinya reaksi alergi. Mekanisme regulasi imunologi mutlak
diperlukan untuk mengontrol penyakit alergi. Keikut sertaan sel T regulator
merupakan salah satu mekanisme aktif yang dimiliki tubuh khususnya mamalia
untuk mengontrol penyakit alergi maupun autoimun. Respon alergi terhadap
antigen yang memapar suatu individu merupakan konsekwensi adanya sistem
imun yang sesungguhnya diperlukan untuk melindungi tubuh dari infeksi parasit.
Reaksi tersebut dipicu oleh antigen yang melakukan ikatan dengan antibodi IgE
yang berada pada reseptornya terutama yang terletak pada sel mast yang berupa
protein FcεRI. Sel mast tersebar di bawah permukaan tubuh yang mempunyai
lapisan mukosa dan juga tersebar pada jaringan ikat. Antigen berikatan silang
menghubungkan IgE satu sama lain pada permukaan sel mast akan memicusel
mast melepaskan sejumlah besar molekul yang memediasi terjadinya inflamasi.
Inflamasi dapat dibagi menjadi respon cepat, yang ditandai dengan mediator yang
mempunyai periode aktif sangat singkat misalnya histamin, dan respon lambat
yang melibatkan leukotrin, sitokin, dan kemokin, yang selanjutnya terjadi
perekrutan dan pengaktifan eosinofil dan basofil. Respon lambat ini dapat

34
berkembang menjadi inflamasi kronik yang ditandai dengan kehadiran sel T
efektor dan eosinofil yang terlihat jelas pada alergi asma yang kronik.
B. Saran
Diharapkan jika pemicu alergi sudah diketahui, penderita dapat menghindari
kontak dengan alergen untuk mencegah terjadinya reaksi alergi. Untuk meredakan
gejala alergi yang muncul, dokter dapat memberikan obat antialergi, seperti
antihistamin dan kortikosteroid. Penderita yang mengalami reaksi alergi yang
berat perlu segera ke IGD rumah sakit terdekat untuk diberikan suntik epinephrine
oleh dokter.

35
DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kesehatan. 2016. Buku Pintar Posbindu PTM, Penyakit Tidak Menular Dan
Faktor Risiko.

Judarwanto, 2015. Alergi Pada Anak. Jakarta. Penerbit Yudhasmara. Dikutip


Https://Www.Academia.Edu/12215609/Alergi Diakses Agustus 2019

Diana, Inne Arline Dkk. 2014. Panduan Diagnosis Dan Tata Laksana Dermatitis
Atopic Di Indonesia. Jakarta. Center Communication

Rifa’i, Muhaimin. 2011. Alergi Dan Hipersensitif.


File:///C:/Users/User/Downloads/Alergi_Hipersensitif_Diktat1.Pdf Dikutip 15
Agustus 2019.

Roitt, IM. 2003. Imunologi, essential immunology. Edisi 8. Jakarta. Widya medika.

36

Anda mungkin juga menyukai