Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH TAFSIR HADITS

“TAFSIR Q.S AL-FATIHAH”

Makalah ini di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Hadits

Dosen Pengampu Mata Kuliah: Dra. Hj. Elo M. Albugis, M.Ag.

Disusun oleh :

Rika Nanda Fitria (11150163000007)

Niken Uswatun Alimah (11160163000012)

Qurotul A‟in (11160163000027)

Kelompok 1

Pendidikan Fisika 6A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur
kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT., karena limpahan rahmat serta karunia-Nya penyusun
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tafsir Al-Fatihah”.

Makalah ini kami susun dalam rangka menyelesaikan tugas dan memenuhi penilaian
mata kuliah tafsir hadits. Dalam makalah ini kami mengupas banyak hal tentang tafsir Al-
Fatihah.

Penyusun juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, yaitu

1. Ibu Dra. Hj. Elo M. Albugis, M.Ag, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Tafsir
Hadits.
2. Orang tua kami yang telah memberikan dukungan.
3. Rekan-rekan kelompok selaku penyusun yang telah meluangkan tenaga dan pikiran
dalam penyusunan makalah.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaaat bagi para pembaca dan memberikan
kontribusi di masa yang akan datang. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Aamiin..
Ciputat Timur, 16 Maret 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ...........................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan Makalah ............................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Terjemahan Q.S Al-Fatihah ............................................................................................. 3


B. Mufradat Q.S Al-Fatihah .................................................................................................4
C. Makna Q.S Al-Fatihah .....................................................................................................4

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Surat Al-Fatihah yang merupakan surat pertama dalam Al-Quran yang terdiri dari 7
ayat adalah termasuk kelompok surat makiyyah, yakni surat yang diturunkan saat Nabi
Muhammad SAW di kota Mekah. Dinamakan Al-Fatihah karena kedudukannya sebagai
pembuka semua surah yang terdapat dalam Al-Quran. Ia diletakkan pada lembaran awal
untuk menyesuaikan urutan surah dan bukan berdasarkan urutan turunnya. Walaupun ia
hanya terdiri dari beberapa ayat dan sangat singkat namun ia telah menginterpretasikan
makna dan kandungan Al Quran secara komprehensif.
Al Fatihah juga mengandung dasar-dasar Islam yang disebutkan secara global, pokok
dan cabang agama, akidah, ibadah, tasyri‟, keyakinan akan hari akhir, iman kepada sifat-
sifat Allah, menunggalkan Allah dalam hal beribadah, memohon pertolongan, berdoa,
meminta hidayah untuk berpegang teguh kepada agama yang benar dan jalan yang tidak
menyimpang, diteguhkan dan dikokohkan untuk senanatiasa berada di atas jalan iman
dan manhaj orang-orang yang shaleh, memohon perlindungan agar terhindar dari jalan
orang-orang yang sesat.
Didalam ayat yang terakhir dari surat Al Fatihah menunjukkan ada tiga golongan
manusia. Pertama, manusia yang diberi nikmat. Kedua, manusia yang dimurkai. Ketiga,
manusia yang sesat. Sebab, saat mencampakkan kebenaran, mereka telah berpaling dari
tujuan yang benar dan menghadap ke arah yang keliru. Mereka tidak akan sampai pada
tujuan yang diinginkan dan tidak akan pernah mendapatkan untuk memperoleh yang
dikehendaki.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana terjemahan Q.S Al-Fatihah?
2. Bagaimana mufradat Q.S Al-Fatihah?
3. Bagaimana penjelasan makna Q.S Al-Fatihah?

C. Tujuan Penulisan

1
1. Menjelaskan terjemahan Q.S Al-Fatihah.
2. Menjelaskan mufradat Q.S Al-Fatihah.
3. Menjelaskan makna Q.S Al-Fatihah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. TERJEMAHAN Q.S AL-FATIHAH

Artinya :
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4. Yang menguasai di hari Pembalasan.
5. Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan.
6. Tunjukilah Kami jalan yang lurus.
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

3
B. MUFRADAT Q.S AL-FATIHAH

C. MAKNA Q.S AL-FATIHAH


1. Ayat 1
َّ ِ‫الر ْحم َٰ ن‬ َ
ِ‫الر ِح ِيم‬ َّ ‫اّلل‬
ِِ ‫م‬ ِ ِ ‫ِب ْس‬
َ
Arti kata ‫اّلل‬
ِِ ‫م‬ ِ ِ ‫( ِب ْس‬basmalah)

Ba’ atau yang dibaca bi yang diterjemahkan dengan kata “dengan”


mengandung satu makna yang tidak terucapkan tetapi harus terlintaskan kedalam
benak ketika membaca basmalah, yaitu kata “memulai”. Sehingga bismillah berarti
“saya atau kami akan memulai apa yang akan kami kerjakan.

Dengan demikian kalimat itu menjadi semacam doa atau pernyataan dari
pengucap bahwa ia memulai pekerjaanya atas nama Allah, atau dapat juga diartikan
sebagai perintah dari Allah (walaupun kalimat tersebut tidak dalam bentuk perintah),
yang menyatakan “mulailah perkerjaanmu dengan nama Allah”. Kedua pendapat
yang menyisipkan dalam benak kata “memulai” pada Basmalah ini mempunyai

4
semangat yang sama, yakni menjadikan (nama) Allah sebagai pangkalan tempat
bertolak.

Ada juga yang mengaitkan kata bi/ba, dengan memunculkan dalam benaknya
“kekuasaan”. Pengucap basmalah seakan-akan berkata, “dengan kekuasaan Allah dan
pertolongan-Nya, pekerjaan yang sedang saya lakukan ini dapat terlaksana”.
Pengucapanya ketika itu seharusnya sadar bahwa tanpa kekuasaan Allah dan
pertolongan-Nya, apa yang sedang dikerjakannya itu tidak akan berhasil. Dengan
demikian, ia menyadari kelemahan dan keterbatasan dirinya, tetapi dalam saat yang
sama pula (setelah menghayati arti Basmalah ini) ia memiliki kekuatan dan rasa
percaya diri, karena ketika itu dia telah menyandarkan dirinya kepada Allah dan
memohon bantuanya Yang Maha Kuasa itu.

Kata ism terambil dari kata as-sumuw yang berarti “tinggi”, memang nama
menjadi tanda bagi sesuatu serta harus dijunjung tinggi. Kini timbul pertanyaan,
“kalau memang kata ism demikian itu maknanya dan kata Bismi seperti yang
diuraikan diatas, maka apa gunanya kata ism disebut disini? Tidak cukuplah
langsung saja disebutkan “dengan Allah?”. Sementara ulama secara filosofis
menjawab bahwa nama Allah maksudnya adalah dengan Allah. Kata ism menurut
mereka digunakan disini sebagai penguat. Dengan demikian, makna harfiah dari kata
tersebut tidak dimaksudkan disini. Memang dikenal dengan syair-syair lama
penyisipan kata ism untuk tujuan tersebut.

Az-Zamakhsyari dan banyak ulama tafsir mengemukakan bahwa orang-orang


Arab, sebelum kehadiran Islam, memulai pekerjaan-pekerjaan mereka dengan
menyebut nama Tuhan mereka, misalnya bismil-lata atau bismil-uzza (keduanya
nama berhala), sedangkan bangsa-bangsa lain menyebutnya dengan nama raja
mereka. Kalau demikian, memulai pekerjaan dengan nama Allah berarti pekerjaan itu
dilakukan atas perintah dan karena Allah, bukan atas dorongan hawa nafsu.

Telah dikemukakan dua pandangan menyangkut kata yang hendaknya muncul


dalam benak ketika membaca bismi. Ada yang memunculkan kata “memulai”, dan
juga dengan kata “kekuasaan”

5
Setiap kalimat yang bertujuan mewarnai satu aktivitas dengan warna islami,
warna Ketuhanan Yang Maha Esa, maka kalimat tersebut disusun dengan
menggunakan kata ism. Seperti dalam penyembelihan (QS. Al-An‟am [6]:118), dan
atau aktivitas yang diharapkan memperoleh keberkahan dan petolongan Allah seperti
firman-Nya : iqra‟ bismi rabbika (QS. Al-„Alaq [96]:1). Ism/nama Allah bukan Dzat-
Nya, yakni kekuasaan dan kodratnya yang diharapkan terlibat dalam kegiatan-
kegiatan itu. Ketika kita memulai pekerjaan tersebut dengan menyebut “nama”
Allah diharapkan kekal di sisi Allah, ganjaran dari yang dilakukan akan kekal
sehingga dapat diraih kelak di hari kemudian.

Bismillahirrahmanirrahim yang terdiri dari sembilan belas huruf itu adalahh


tempat muslim bertolak, jumlah huruf-hurufnya sebanyak sembilan belas huruf,
demikian juga dengan Laa haula wa laa quwwata illaa billaah (tiada daya untuk
memperoleh manfaat) dan upaya untuk menolak mudarat kecuali dengan bantuan
Allah. Dengan demikian permulaan dan akhir usaha setiap muslim adalah bersumber
dan berakhir pada kekuasaan Allah yang Rahman dan Rahim yang Maha Pengasih
dan Penyayang. Dalam surat QS.al-Muddatsir (74): 30 dinyatakan bahwa penjaga
neraka terdiri dari Sembilan belas malaikat. Basmalah dan Hauqalah yang masing-
masing mempunyai sembilan belas huruf itu dapat menjadi perisai bagi seseorang
yang menghayati dan mengamalkan tuntunan kedua kalimat tersebut. Menjadi perisai
bagi sembilan belas penjaga neraka itu.

Kata Allah merupakan nama Tuhan yang paling popular. Apabila anda berkata
Allah maka apa yang anda sedang ucapkan itu telah mencakup semua nama-nama-
Nya.

Demikian banyak sifat/nama Tuhan, namun yang terpilih dalam Basmalah


hanya ada dua sifat/nama Tuhan yaitu ar-Rahman dan ar-Rahim yang keduanya
terambil dari akar kata yang sama. Agaknya kedua sifat ini terpilih, karena sifat
itulah yang paling dominan. Dalam hal ini Allah dalam Al-Quran menegaskan:
“Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu” (QS. Al-A‟raf [7]:156)

6
Kedua kata itu berakar juga pada kata rahim yang juga telah masuk dalam
perbendaharaan bahasa Indonesia, dalam arti “peranakan”. Apabila disebut kata
“rahim”, maka yang dapat terlintas didalam benak adalah “ibu dan anak”, dan ketika
itu dapat terbayang betapa besar kasih sayang yang dicurahkan sang ibu kepada
anaknya. Tetapi, jangan disimpulkan bahwa sifat Rahmat Tuhan sepadan dengan
rahmat ibu, betapun besar kasih sayang ibu, karena keyakinan kita bahwa Allah SWT
Maha Penyayang.

Kata Ar-Rahman dan Ar-rahim berakar dari kata rahim yang berarti rahmat.
Ar-rahman digambarkan bahwa Tuhan mencurahkan rahmat-Nya, sedang dengan ar-
Rahim dinyatakan bahwa Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada diri-Nya. 1

Ada juga Ulama yang mehami kata ar-Rahman sebagai sifat Allah swt yang
mencurahkan rahmat yang sementara di dunia, sedang ar-Rahim adalah rahmat-Nya
yang bersifat kekal.

Sementara Ulama menjelaskan makna penggabungan kata Allah, ar-Rahman


dan ar-Rahim dalam Basmalah. Menurutnya, seseorang yang kalau bermaksud
memohon pertolongan kepada Dia yang berhak disembah serta Dia yang
mencurahkan aneka nikmat, kecil dan besar, maka yang bersangkutan menyebut
nama teragung dari Dzat yang wajib wujudnya itu sebagai pertanda kewajaran-Nya
untuk dimintai. Selanjutnya menyebut sifat rahmat-Nya (rahman) untuk menunjukan
bahwa Dia wajar melimpahkan rahmat sekaligus wajar dimintai pertolongan dalam
amal-amal kebajikan karena yang demikian itu nikmat rahmat.

Ketika seseorang membaca Basmalah, seharusnya menghayati kekuatan dan


kekuasaan Allah, serta rahmat dan kasih sayang-Nya yang tercurah bagi seluruh
makhluk. Kalau demikian itu yang tertanam di dalam jiwa, maka pasti nilai-nilai
luhur terjelma keluar dalam bentuk perbuatan, karena perbuatan merupakan cerminan
dari suasana kejiwaan.

2. Ayat 2

1
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), hlm 13-32.

7
َ ْ ْ
ِِ ِ‫الح ْمد‬
ِ‫لل ربِ لعل ِمي‬
"Segala puji hanya bagi Allah pemelihara seluruh alam."

Alhamdulillah..( segala puji bagi Allah) lafadz ayat ini merupakan kalimat berita
dimaksud sebagai ungkapan pujian kepada Allah. Kandungan didalamnya, yaitu
bahwa Allah SWT adalah yang memiliki semua pujian yang diungkapkan oleh
semua hamba-Nya, atau makna yang dimaksud ialah bahwa Allah SWT, itu adalah
Zat yang harus mereka puji. Lafadz Allah merupakan nama bagi Zat yang berhak
untuk disembah.

Rabillaa‟lamiin (Tuhan semesta alam), artinya Allah adalah maha yang memiliki
pijian semua makhluk-Nya, yaitu berdiri atas manusia, jin, malaikat, hewan-hewan
melata dan lainnya. Masing-masing dari mereka disebut alam, oleh karenanya ada
alam manusia, alam jin dan sebagainya. Lafaz al-a‟lamina merupakan bentuk jamak
dari lafadz alam, yaitu memakai huruf ya dan huruf nun pada akhirnya secara umum.
Alam semesta merupakan alamat (pertanda) mengingat yang merupakan pertanda
bagi adanya Yang Menciptakan.

3. Ayat 3
َّ ِ‫الر ْحمن‬
ِ‫الر ِح ِيم‬ ّ
Ar-Rahman ar-Rahim
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, yaitu yang mempunyai rahmat,
rahmat ialah menghendaki kebaikan bagi orang yang menerimanya.

Pemeliharaan tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan sempurna kecuali bila
disertai dengan rahmat dan kasih sayang, maka ayat ini menggaris bawahi kedua sifat
Allah ini, setelah sebelumnya menegaskan bahwa Allah adalah pemelihara seluruh
alam. Pemeliharaan-Nya itu bukan hanya kesewenang-wenangan tetapi diliputi oleh
rahmat dan kasih sayang.

Ayat ketiga ini tidak bisa dianggap sebagai pengulangan sebagaian kandungan
ayat pertama (Basmalah). Ar Rahman dan Ar Rahim dalam ayat ketiga ini bertujuan
untuk menjelaskan bahwa pendidikan dan pemeliharaan Allah SWT sebagaimana

8
disebutkan dalam ayat kedua, sama sekali bukan untuk kepentingan Allah atau
sesuatu pamrih, seperti halnya seseorang atau perusahaan yang menyekolahkan
karyawanya. Pendidikan dan pemeliharaan semata-mata karena rahmat dan kasih
sayang Tuhan yang dicurahkan kepada makhluk-makhluk-Nya

Kata Rahmat dapat dipahami sebagai sifat zat dan ketika itu Rahman dan
Rahiim merupakan sifat zat Allah SWT, dan juga dapat dipahami dalam arti sesuatu
yang dicurahkan dan bila demikian rahmat menjadi sifat perbuatan-Nya. Apakah
sama makna kata Rahmaan dan Rahiim? Ada yang mempersamakannya, namun
pandangan ini tidak banyak didukung oleh ulama. Dua kata yang seakar bila berbeda
timbangan pasti mempunyai perbedaan makna, dan bila salah satunya memiliki huruf
berlebih, maka biasanya kelebihan huruf menunjukan kelebihan makna.

Iman Ghazali dalam bukunya “al-Maqshad al-A‟laa” menjelaskan bahwa kata


Rahmaan merupakan kata khusus yang menunjukan kepada Allah dan bukan selain-
Nya, maka berdasar pembedaan itu Hujjatul Islam (Pembela Islam) ini berpendapat
bahwa rahmat yang khusus dan yang tidak dapat diberikan oleh makhluk, yakni yang
berkaitan dengan kebahagiaan ukhrawi (akhirat), sehingga ar-Rahman adalah Tuhan
yang Maha Kasih terhadap hamba-hamba-Nya; pertama, dengan penciptaan; kedua,
dengan petunjuk hidayah meraih iman dan sebab-sebab kebahagiaan; ketiga,
kebahagiaan ukhrawi yang dinikmati kelak; serta keempat, adalah kenikmatan
memandang wajah-Nya.

Ada juga yang berpendapat bahwa kata Rahmaan menunjuk kepada Allah dari
sudut pandang bahwa Dia mencurahkan rahmat secara faktual, sedang rahmat yang
disandang-Nya dan melekat pada diri-Nya, menjadikan Dia berhak menyandang sifat
Rahiim. Dengan demikian gabungan kedua dari kata itu mengambarkan dalam benak
bahwa Allah Rahman (mencurahkan Rahmat kepada seluruh makhluknya) karena
Dia rahim, yakni Dia adalah wujud/zat yang memiliki sifat rahmat. Dengan kata ar-
Rahman tergambar bahwa Allah mencurahkan Rahmat-Nya, dan dengan ar-Rahiim
menyatakan bahwa Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada diri-Nya

4. Ayat 4

9
ِ‫ك ي ْو ِ ِم الد ْين‬
ِ ِ ‫م ِال‬
”Yang menguasai hari Pembalasan”

Lafaz ِ‫ ي ْو ِ ِم الد ْين‬disebutkan secara khusus, karena di hari itu tiada seorangpun
yang mempunyai kekuasaan melainkan hanya Allah SWT. Semata, sesuai dengan
firman Allah SWT yang menyatakan:

“Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini (hari kiamat)? Kepunyaan Allah
Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Q.S 40 Al-Mu‟min,16)

Ada dua bacaan yang poluler yang menyangkut ayat ini yaitu Malik yang berarti
“Raja”, dan Maaliki yang berarti “pemilik”. Ayat keempat surah ini dapat dibaca
dengan kedua bacaan itu, dan keduanya adalah bacaan Nabi SAW, berdasar riwayat-
riwayat yang dapat dipertanggung jawabkan kesahahihannya (mutawatir).

Kata malik mengandung penguasaan terhadap sesuatu disebabkan oleh kekuatan


pengendalian dan keshahihannya. Malik yang biasanya diterjemahkan „raja” adalah
“yang menguasai dan menangani perintah dan larangan, anugerah dan pencabutan”,
dan karena itu biasanya kerajaan terarah pada manusia dan tidak kepada barang yang
sifatnya tidak dapat menerima perintah dan larangan.

Menyifati Allah seperti bunyi ayat di atas memberi kesan penegakan keadilan,
karena Raja atau penguasa yang baik yang kasih kepada rakyat/bawahanya, serta
yang mendidik mereka pasti akan membela siapa yang teraniaya, antara lain dengan
menegakan keadilan.

Allah SWT adalah raja sekaligus pemilik, ini terbaca jelas antara lain dalam
QS.Ali Imraan (3): 26.

Allah SWT adalah ِ‫الدين‬


ْ ِ‫ك ي ْو ِم‬
ِ ِ ‫ م ِال‬, yaum biasanya diterjemahkan sebagai hari,
kata ini terulang sebanyak 365 kali. Al-Quran menggunakan kata yaum dalam arti
“waktu” atau “periode” yang terkadang sangat panjang menurut kita.

10
Bagi orang yang membacanya maliki maknanya menjadi “Dia Yang memiliki
semua perkara di hari kiamat”. Atau Dia adalah Zat yang memiliki sifat ini secara
kekal, perihalnya sema dengan sifat-sifat-Nya yang lain, yaitu seperti gafiruzzanbi
(Yang Mengampuni Dosa). Dengan demikian maka lafadz maliki yaumiddin ini sah
menjadi sifat bagi Allah, karena sudah ma‟rifah (dikenal). 2

Kata ad-diin dalam ayat ini diartikan sebagai “pembalasan” atau perhitungan
atau “ketaatan”, Karena pada hari itu hari kiamat terjadi perhitungan dan pembalasan
Allah, dan juga karena ketika itu semua makhluk tanpa terkecuali menampakan
ketaanya kepada Allah SWT dalam bentuk yang sangat nyata.

5. Ayat 5

ِ‫ِإ َّياكِن ْعبدِو ِإ َّياكِن ْست ِعي‬

(Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami
memohon pertolongan) artinya, kami beribadah hanya kepada-Mu, seperti
mentauhidkan / mengesakan dan lain-lain, dan kami memohon pertolongan hanya
kepada-Mu dalam menghadapi semua hamba-Mu dan lain-lain.
Redaksi ayat ini (Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami
memohon pertolongan) adalah bukti bahwa kalimat-kalimat tersebut adalah
pengajaran yang diajarkan Allah agar kita ucapkan, karena mustahil Allah
berucap/berfirman demikan kalau tujuannya bukan untuk pengajaran.
Banyak sekali pesan yang dikandung oleh kedua kata serangkai ini, iyyaka dan
na’budu, secara tidak langsung penggalan ayat ini mengecam mereka yang
mempertuhankan atau menyembah selain Allah, baik masyarakat arab maupun yang
lainnya.
Anak kalimat ayat ini menuntut anda mengundang kehadiran Allah ketika
melaksanakan ibadah dan ketika memohon pertolongan-Nya, karena jika anda
berkata Kepada-Mu, maka lawan bicara anda ada dihadapan anda. Berbeda jika anda
berkata kepada-Nya. Nah, ketika kita mengatakan iyyaakana’budu maka pengabdian

2
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti.2009. Tafsir Jalalain. Sinar Baru
Alghesindo, Bandung, hlm 1-3.

11
yang dilakukan itu, dilakukan dihadapan-Nya bukan dibelakang-Nya. Ketika
mengucapkan iyyakana’budu maka kehadiran-Nya kalau pun tidak dapat dilihat
maka paling tidak, dapat dirasakan dan dia tidak berada jauh dari pengucap. Di
sinilah “muraqabah” dan pengawasan itu tampil ke permukaan seperti hakikat ihsan
yang disabdakan Rasullulah: “Ihsan adalah mengabdi kepada Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya maka
rasakan/yakinlah bahwa Dia melihatmu.” (HR. Bukhari)
Kata na’budu biasa diartikan menyembah mengabdi dan taat. Ketika seseorang
menyatakan iyyaaka na’budu maka ketika itu tidak ada sesuatupun, baik dalam diri
seseorang itu, maupun yang berkaitan dengan orang itu, kecuali dijadikan milik
Allah. Memang segala aktivitas manusia harus berakhir menjadi ibadah kepada-Nya,
sedang puncak ibadah adalah ihsan.
Seorang yang membaca iyyaaka na’budu dengan menonjolkan kekamiaannya,
pada hakikatnya menanamkan ke dalam jiwanya sambil mengadu kepada Tuhan
masih belum mencapai kesempurnaan; shalatnya belum khusyu‟, pikirannya masih
melayang, sujudnya belum sempurna, bacaan-bacaanya belum terhayati dan
sebagainya. Namun demikian ia seakan-akan berkata kepada Tuhan. “Ya Allah aku
datang bersama yang lain, yang lebih sempurna ibadahnya, aku gabungkan ibadahku
dengan yang lain, yang lebih sempurna ibadahnya, aku gabungkan ibadahku dan
ibadah mereka agar Engkau menerima ibadahku pula.”
Waiyyaaka kanasta’iin dan hanya kepada-Mu kami memohon bantuan, jika kita
memohon bantuan maka itu berarti kita tidak dapat atau terhalang atau sulit meraih
apa yang kita mohonkan itu oleh satu dan lain sebab, kecuali bila dibantu “Bantuan”
adalah mempermudah melakukan sesuatu yang sulit diraih oleh yang memintanya,
yaitu dengan jalan mempersiapkan sarana pencapaiannya, seperti meminjamkan alat
yang dibutuhkan, atau partisipasi dalam aktivitas baik dalam bentuk tenaga atau
pikiran, nasihat atau harta benda.
Permohonan bantuan kepada Allah adalah permohonan agar Dia mempermudah
apa yang tidak mampu diraih oleh yang memohon dengan upaya sendiri. Para ulama
mendefisikannya sebagai penciptaan sesuatu yang dengannya menjadi sempurna atau
mudah pencapaian apa yang diharapkan.

12
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa permohonan bantuan itu bukan berarti
berlepas tangan sama sekali. Tidak! Anda masih dituntut untuk berperan sedikit atau
banyak sesuai kondisi yang dihadapi.
Selanjutnya pernyataan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan
mengandung pula makna bahwa sang pengucap tidak memohon pertolongan kepada
selain Allah.
Penggalann ayat ini tidaklah bertentangan dari sekian banyak ayat dan hadits
yang memerintahkan manusia untuk tolong menolong, seperti Firmannya QS al-
Maidah (5): 23, atau sabda nabi “Allah akan menolong hamba-Nya selama ia
menolong Saudaranya.”
Ayat dan hadits semacam ini tidak bertentangan dengan kandungan ayat kelima
surat al-fatihah, yang membatasi permohonan hanya kepada Allah semata. Ini karena
ada pertolongan yang berada dalam wilayah kemampuan manusia dan ada pula yang
di luar wilayah kemampuannya yang berada dalam lingkungan sebab dan akibat
biasanya dapat dilaksanakan oleh manusia. Dalam hal inilah perintah tolong-
menolong dimaksudkan. Demikian banyak ulama mengkompromikan kedua teks
keagamaan itu.
Ayat ini mendahulukan iyyaaka na’budu atas iyyaaka nasta’iin serta mengulangi
kata iyyaaka. Ibadah merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah, karena itu ia
lebih wajar didahulukan daripada meminta pertolongan-Nya. Bukankah sebaiknya
anda mendekat sebelum meminta? Disisi lain ibadah dilakukan oleh orang yang
bermohon sedang meminta bantuan adalah mengajak pihak lain untuk ikut serta.
Memulai dengan upaya yang dilakukan sendiri lebih wajar didahulukan daripada
upaya meminta bantuan pihak lain. Selanjutnya, salah satu hal yang diharapkan
bantuan-Nya adalah ibadah itu sendiri sehingga menjadi sangat wajar menyebut
ibadah terlebih dahulu, yang merupakan azam (tujuan) dan kebulatan tekad si
pemohon, baru kemudian memohon agar dibantu antara lain dalam meraih
kesempurnaan ibadah yang dimaksud. Ini dari segi makna, sedang dari segi redaksi,
adalah lebih tepat menyebut nasta‟iin sebagai akhir ayat agar iramanya sama atau
mirip dengan irama sebelumnya dan sesudahnya.

13
Pengulangan iyyaaka perlu karena iyyaaka yang berkaitan dengan ibadah
mengandung arti pengkhususan mutlak. Tidak diperkenankan memadukan motivasi
ibadah dengan selain Allah. Karena, kalau demikian, hilang unsur keikhlasan dan
muncul sifat pamrih atau riya.

6. Ayat 6

ْ ْ
ِ‫اه ِدناِالِّصاطِالم ْست ِقيم‬
(Tunjukilah kami ke jalan yang lurus) artinya, bimbinglah kami ke jalan yang
lurus, dan kemudian jalan lurus yang dimaksud dijelaskan pada ayat berikutnya.
Dalam tafsir al-misbah dijelaskan bahwa kata ihdinaa terambil dari akar kata
yang terdiri dari huruf-huruf haa, daal, yaa. Maknanya berkisar pada dua hal.
Pertama, tampil kedepan memberi petujuk dan kedua menyampaikan dengan
lemah lembut. Dari sini timbul kata hadiah yang merupakan penyampaian sesuatu
dengan lemah lembut, guna menunjukan simpati.
Allah SWT menuntun setiap makhluk kepada apa yang perlu dimiliknya dalam
rangka memenuhi kebutuhannya. Dialah yang memberi hidayah kepada anak-anak
ayam untuk memakan benih ketika baru saja menetes, atau lebah untuk membuat
sarangnya dalam bentuk segi enam karena bentuk tersebut lebih sesuai dengan
bentuk badan dan kondisinya.
Para ulama membagi petunjuk agama pada dua petunjuk:
Pertama, petunjuk menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Cukup banyak
ayat yang menggunakan akar kata hidayah yang mengandung makna ini, misalnya,
dalam QS. Asy-Syura [42]:52 dan QS Fushilat [41]:17. Kata hidayah yang pelakunya
manusia adalah hidayah dalam bentuk pertama ini.
Kedua, petunjuk serta kemampuan untuk melaksanakan petunjuk ini tidak dapat
dilakukan kecuali oleh Allah SWT, karena itu ditegaskan dalam surat al-Qasas
[28]:56 bahwa yang berhak memberikan hidayah hanya Allah bahkan Nabi
Muhammad SAW pun tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang
dicintainya.

14
Kata ash-shiraat bermakna jalan yang lebar. Jalan yang lebar dinamai shiraat
karena sedemikian lebarnya sehingga ia bagaikan menelan si pejalan.
Shiraat, bagaikan jalan tol, anda tidak dapat lagi keluar atau tersesat setelah
memasukinya. Bila memasukinya anda telah ditelan olehnya dan tidak dapat keluar
kecuali setelah tiba di tujuan perjalanan.
Shiraat adalah jalan yang luas, semua orang dapat melaluinya tanpa berdesak-
desakan. Berbeda dengan sabiil, dia banyak namun merupakan jalan yang kecil atau
lorong-lorong. Tak mengapa anda menelusuri sabil asal pada akhirnya anda dapat
menemukan shiraat, yakni jalan yang luas lagi lurus.
Shiraat yang luas yang dimohonkan dalam surat Al-Fatihah ini adalah yang
mustaqiim yakni lurus. Kata ini terambil dari kata qaama, yaquumu yang arti asalnya
yaitu mengandalkan kekuatan betis dan atau memegangnya secara teguh agar yang
bersangkutan dapat berdiri tegak lurus. Dalam surah al-Fatihah ini, kata mustaqiim
diartikan lurus. Dengan demikian, yang diharapkan bukan hanya Shiraat yakni jalan
yang lebar dan luas, tetapi juga yang lurus karena kalau hanya jalan yang lebar dan
luas lagi berliku-liku, sungguh panjang jalan yang harus ditempuh guna mencapai
tujuan. Jalan luas lagi lurus itu yaitu segala jalan yang dapat mengantar kepada
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ada tiga ayat Al-Qur‟an yang menggunakan kata Shiraat, dan yang dapat
membantu lebih untuk membantu menjelaskan istilah shiraath al-mustaqiim. Yaitu:

1. QS Maryam [19]:43. Disini diinformasikan bahwa Nabi Ibrahim as berkata


kepada ayah beliau: “wahai bapakku, sesunguhnya telah datang kepadaku
sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku,
maka niscaya aku akan menunjukan kepadamu ash-shiraath al-mustaqiim.”
2. Qs azzukhruf [43]:63, dimana Nabi Muhammad diberitakan bersabda: “Dan
sesungguhnya Isa itu memberikan pengetahuan tentang hari kiamat. Karena itu
janganlah kamu ragu tentang kiamat itu dan ikutilah aku. Inilah Ash shiraatha
mustaqiim.
3. QS al-Fatihah [1]:7: “jalan yang engkau anugerahkan nikmat”

15
Ketiga ayat diatas memberi atau mengisyaratkan contoh konkret ash-shiraath al-
mustaqiim, yakni jalan yang ditelusuri dan gaya hidup yang diamalkan oleh Nabi
Ibrahim as, Nabi Muhammad SAW, serta orang-orang yang dianugrahi nikmat. Nabi
Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW adalah orang-orang sukses dalam hidup ini. Jika
demikian, ash-shiraath al-mustaqiim adalah jalan orang-orang yang sukses dalam
kehidupan dunia dan akhiratnya. Tentu masih banyak selain kedua nabi mulia diatas,
walaupun dalam tingkat kesuksesan yang berbeda.

7. Ayat 7

ِّ َّ ْ ْ َ ْ ْ ْ ْ َْ ْ َْ َ
ِ‫وبِعلي ِهمِوَلِالضالي‬ ِ ‫ض‬ ‫غ‬ ‫م‬‫ِال‬‫ي‬ ‫ِغ‬ ‫م‬‫ه‬ِ ‫ي‬‫ل‬‫ِع‬ ‫ت‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫ن‬‫ِأ‬ ‫ين‬‫ذ‬ِ ‫ِال‬‫ِِصاط‬

‫م‬
َ
ِْ ‫وب ِعل ْي ِه‬ ‫ض‬
ْ ْ ْ ْ َْ
‫غ‬ ‫م‬ ‫ِال‬‫ي‬ ‫غ‬ ِ ‫م‬‫ه‬ ‫ي‬‫ل‬‫ِع‬ ‫ت‬ ْ ‫ِالذين َِأ ْنع‬
‫م‬
َ
‫( ِِصاط‬jalan orang-orang yang
ِ ِ ِ
telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka) melalui petunjuk dan hidayah-
َ ْ ْ ْ
Mu, kemudian diperjelas lagi makna ayat berikutnya ‫وبِعل ْي ِهم‬
ِ ‫ غيِالمغض‬. (bukan
jalan mereka yang dimurkai) yang dimaksud adalah orang-orang yahudi - ‫ ( ولِا‬dan
ِّ َّ
bukan pula ) dan selain - ِ‫( الضالي‬Mereka yang sesat) yang dimaksud adalah orang-
orang nasrani. Faedah adanya penjalasan tadi mempunyai pengertian bahwa orang-
orang yang mendapat hidayah itu bukanlah orang-orang yahudi dan orang-orang
nasrani. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui, dan hanya kepada-Nya lah
segalaa sesuatu dikembalikan.
Kata ni'mah/nikmat yang dimaksud di sini adalah nikmat yang paling bernilai
yang tanpa nikmat itu, nikmat-nikmat yang lain tidak akan mempunyai nilai yang
berarti, bahkan dapat menjadi niqmah atau bencana jika tidak bisa mensyukuri dan
menggunakannya dengan benar. Nikmat tersebut adalah nikmat memperoleh hidayah
Allah serta ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka yang taat melaksanakan
pesan-pesan Ilahi yang merupakan nikmat terbesar itu, mereka itulah yang masuk
dan bisa melalui shiraath al-mustaqim.
Mengenai yang disebut dengan al-maghdhub 'alaihim, ayat ini tidak menjelaskan
siapakah orang-orang tersebut, tetapi Rasulullah telah memberi contoh konkret, yaitu
orang-orang Yahudi yang mengerti akan kebenaran tetapi enggan melaksanakannya.

16
Demikian ayat terakhir surah al-Fatihah ini mengajarkan manusia agar
bermohon kepada Allah, kiranya ia diberi petunjuk oleh-Nya sehingga mampu
menelusuri Shiraath al-mustaqim, jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sukses
di dunia maupun di akhirat. Ayat ini juga mengajarkan kaum muslimin agar selalu
optimis menghadapi hidup ini, bukankah nikmat Allah selalu tercurah kepada
hamba-hamba-Nya?

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Surah al-Fatihah (pembukaan) yang diturunkan di Makkah yang terdiri atas 7 ayat
ini adalah surah yang pertama-tama diturunkan dengan sempurna satu surah. Disebut
dengan al-Fatihah karena merupakan pembuka dalam Al-Qur'an. Dinamakan juga sebagai
Ummul Qur'an karena di dalamnya mencakup kandungan tema-tema pokok semua ayat
Al-Qur'an. Yang di antaranya mencakup aspek keimanan, hukum, dan kisah.

Alasan mengapa al-Fatihah diletakkan di awal Al-Qur'an adalah kandungan Surah


al-Fatihah yang bersifat global yang dirinci oleh ayat-ayat lain sehingga ia bagaikan
mukaddimah atau pengantar bagi kandungan surah-surah Al-Qur'an.

Tujuan utama dari surah al-Fatihah adalah menetapkan kewajaran Allah untuk
dihadapkan kepada-Nya segala pujian dan sifat-sifat kesempurnaan, dan meyakini
kepemilikan-Nya atas dunia dan akhirat serta kewajaran-Nya untuk disembah dan
dimohonkan dari-Nya pertolongan, dan nikmat menempuh jalan yang lurus sambil
memohon terhindar dari jalan orang yang binasa. Inilah tujuan utama dan tema pokok
surah al-Fatihah, dan yang lainnya adalah cara-cara untuk mencapainya

18
DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin, Al-Mahalli Imam dan Imam Jalaluddin As-Suyuti. 2009. Tafsir Jalalain. Bandung :
Sinar Baru Algeshindo.

Quraish, Shihab M. 2002. Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta :
Lentera Hati.

19

Anda mungkin juga menyukai