Anda di halaman 1dari 27

PROPOSAL SKRIPSI

PROGRAM SARJANA KEDOKTERAN FK UKRIDA

UNTUK KEPERLUAN SEKRETARIAT

1 Mahasiswa/i

Nama Mohamad Yanuar Prasetyo Nugroho NIM 102014191

2 Pembimbing Tim pembimbing skripsi tidak boleh melebihi dua orang

Nama Wani Devita Gunardi Gelar dr. , Sp.MK

Nama Elisabeth D. Harahap Gelar Dra, MS

3 Judul Skripsi Harus informatif dan singkat jangan. melebihi 20 kata

Uji Deteksi Pembentukan Biofilm dari Enterococcus faecalis Hasil Isolat Klinik Kateter Urin
Menggunakan Congo Red Agar dengan Tube Method

4 Kata Kunci 3-5 kata kunci (key words)

Enterococcus faecalis Kateter Urin

Biofilm Congo red agar

Tube Method

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


5 Persetujuan Pembimbing

Nama Tanda Tangan Tanggal

dr. Wani Devita Gunardi Sp.MK

Nama Tanda Tangan Tanggal

Dra, Elisabeth D. Harahap MS

6 Persetujuan Penilai Proposal

Nama Penilai & Gelar Institusi

Tanggal dan Tanda tangan Penilaian (mohon diberi tanda  )

 Diterima tanpa perbaikan


 Diterima dengan perbaikan
( mohon diberikan komentar)
 Tidak diterima
(mohon diberikan komentar)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


7 Komentar Penilai (apabila tidak mencukupi dapat dituliskan di lembar tambahan)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


8 Latar Belakang Jangan melebihi 2 halaman yang disediakan. Gunakan spasi tunggal (12 pts Font )

Enterococci merupakan salah satu dari flora normal intestinal manusia. Namun, mikroba ini juga
penyebab penting agen nosokomial yang menginfeksi berbagai situs tubuh, menyebabkan bakteremia,
infeksi saluran kemih infeksi intra-abdominal, dan endokarditis. Dari 17 spesies Enterococcus,
Enterococcus faecalis dan Enterococcus faecium merupakan spesies Enterococci yang paling umum dan
bertanggung jawab 80-95% dari infeksi enterococcal pada manusia.(1,2) Enterococci mempunyai
kemampuan resisten intriksik dan didapat terhadap antibiotik, yang menjadikannya bakteri patogen
nosokomial yang penting.(1) Mereka berada di urutan ketiga dari patogen perawatan isolasi yang paling
sering, dan mampu menyebabkan berbagai infeksi seperti endocarditis, sepsis, luka operasi, dan infeksi
traktus urinarius.(3)
Dalam dua puluh tahun terakhir, ditemukan 6-14% pasien rawat inap mendapatkan infeksi
nosokomial yang umumnya terkait dengan perangkat medis invasif, seperti pipa endotrakeal, alat pacu
jantung, kontak lensa, kateter dialisis peritoneal, implan ortopedi, kateter urin, dan lain-lain. Diantara
infeksi pada perangkat medis, infeksi pada kateter terutama ditemukan karena meningkatnya pemakaian
pada terapi ataupun diagnosis.(2,4) Patogenesis pada enterococci terasosiasi dengan kemampuan untuk
mengekspresikan protein pada permukaan yang memungkinkan kolonisasi dan pembentukan biofilm pada
host manusia itu sendiri.(5)
Menurut National Institute of Health, biofilm sangat penting dalam dunia kesehatan karena
bertanggung jawab 80% dari infeksi pada tubuh, dengan urologi menjadi sorotan dimana biofilm dapat
menjadi masalah yang serius. Bakteri pada kateter urin dan membentuk biofilm berkemungkinan
menempel pada uretra ataupun kandung kemih ketika kateter dimasukkan. Menempelnya bakteri dapat
melalui eksudat yang menyelubungi kateter, ataupun berjalan intraluminal dari dalam tabung ataupun
kantung penampung.(2) Terdapat dua studi yang mengatakan bahwa mayoritas bakteri yang menghasilkan
biofilm adalah hasil isolat dari tips kateter urin.(6,7) Perlekatan mikroba pada substrat tertentu, diikuti
dengan kolonisasi dan pembentukan biofilm dapat mempunyai efek negatif pada banyak area, terutama
pada alat-alat industri dan medis. Kemampuan enterococci untuk memproduksi biofilm mempunyai dua
fungsi, yaitu untuk proteksi organisme bakteri dari pertahanan tubuh dan memulai pertukaran material
genetik dengan bakteri patogen lain.(1)
Hasil produksi biofilm enterococci juga bervariasi pada bermacam negara, seperti di United
Kingdom (UK), diantara 109 enterococcal hasil isolasi aliran darah, semua hasil isolasi E. faecalis dan
setengah hasil isolasi E. faecium menghasilkan biofilm.(2) Studi lain di polandia menyimpulkan, 59%

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


hasil isolasi E. faecalis dari traktus urinarius dapat membentuk biofilm.(8) Pada penelitian di pakistan,
dideteksi ada 75% produksi biofilm oleh uropatogen dari traktus urinarius. Biofilm tersebut kebanyakan
dideteksi dari S. aureus (75%), E. faecalis (75%), dan E. coli (40%).(9) Di Michigan, Amerika Serikat,
dilakukan penelitian pertama tentang endodontik klinik dan koloni E. faecalis oral. Hasilnya
mengindikasi perbedaan yang kontras dengan koloni bakteri di sumber lain dan disimpulkan bahwa
koloni E. faecalis oral dan endodontik klinik memiliki kapasitas yang rendah untuk membentuk biofilm.
(10) Sedangkan di jepang, semua 352 sampel E. faecalis dari infeksi traktus urinarius dapat membentuk
biofilm dan di kelompokkan pembentuk biofilm yang lemah, medium, atau kuat. (11)
Terdapat beberapa metode yang dapat mendeteksi biofilm, ada beberapa studi yang menyebutkan
bahwa Tissue Culture Plate (TCP) dapat diandalkan untuk mendeteksi mikroorganisme pembentuk
biofilm dibandingkan dengan Tube Method (TM) dan Congo Red Agar(CRA).(6,12) Untuk sekarang,
belum ada penelitian yang menyebutkan metode yang paling cepat dan murah. Banyak pertentangan
antara penelitian yang menyebutkan TM atau CRA yang lebih baik, studi sudah mendemonstrasikan CRA
mempunyai sensitivitas yang rendah, namun metode ini murah, cepat, mudah untuk dilakukan,
mempunyai keuntungan dimana koloni tetap bertahan dalam medium untuk analisis lebih lanjut dan untuk
kriteria evaluasi hanya berdasarkan analisis visual dari warna dari koloni yang tumbuh pada agar.(13)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


9 Permasalahan Cantumkan juga hipotesis (bila ada) atau pertanyaan penelitian.

Masalah:
1. Bakteri Enterococcus faecalis merupakan penyebab tersering dari pembentukan biofilm
2. Belum ada pemeriksaan deteksi biofilm yang cepat dan mudah

Hipotesis:
1. Uji Congo Red Agar dapat digunakan untuk mendeteksi biofilm dari bakteri Enterococcus faecalis

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


10 Tujuan Penelitian Uraikan tujuan khusus dan makna penelitian harus diuraikan dengan jelas.

Tujuan Umum:
1. Ingin mengetahui metode CRA apakah dapat digunakan untuk deteksi biofilm dari Enterococcus
faecalis

Tujuan Khusus:
1. Mengetahui prevalensi biofilm dari bakteri Enterococcus faecalis hasil isolasi kateter urin
2. Membandingkan Tube method dengan CRA dalam mendeteksi biofilm

Manfaat Penelitian :
1. Mendapatkan metode deteksi biofilm yang cepat dan mudah
2. Manfaat akademika

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


11 Tinjauan Pustaka

11.1. Gambaran Enterococcus faecalis Secara Umum


Enterococcus faecalis diklasifikasikan dalam Kingdom Bacteria, Filum Firmicutes, Famili
Enterococcaceae, Genus Enterococcus, Spesies Enterococcus faecalis. E.faecalis merupakan
bakteri yang tidak membentuk spora, fakultatif anaerob, kokus gram positif dan tidak
menghasilkan reaksi katalase dengan hidrogen peroksida. Bakteri ini berbentuk ovoid dengan
diameter 0,5 sampai 1 μm dan terdiri dari rantai pendek, berpasangan atau bahkan tunggal.(1,14)
Spesies Enterococcus adalah organisme fakultatif anaerob, dimana artinya bakteri ini dapat
hidup dengan ada ataupun tanpa oksigen. Organisme ini mempunyai kemampuan untuk
menghidrolisa eskulin dengan adanya empedu, pertumbuhannya dalam natrium 6,5%, hidrolisis
pyrrolidonyl arylamidase, dan reaksinya dengan antiserum grup D.(1) Pada tahun 1930, bakteri ini
dikelompokkan ke dalam Streptococci grup D kerena dapat bereaksi dengan antiserum grup D.
Namun, pada tahun 1984 berdasarkan perbedaan genetik enterococci dipindahkan dari genus
Streptococcus dan ditempatkan di genusnya sendiri yaitu Enterococcus.(14) Enterococci adalah
bakteri yang dapat beradaptasi dengan baik dan persisten pada berbagai macam lingkungan.
Bakteri ini mungkin memang tidak secara inheren bersifat virulen seperti bakteri patogen lainnya,
namun mereka cenderung aktif dalam mengumpulkan dan bertukar faktor deteriminan resistensi
antibiotik, yang artinya bakteri ini secara alami mempunyai kemampuan resisten antibiotik.
Bakteri ini juga tahan pada kondisi tertentu seperti temperatur setinggi 60˚C, dan pada air keran,
membuatnya sulit untuk dibunuh sebagai patogen oportunistik. Organisme ini mempunyai
kemampuan untuk mendapatkan, mengakumulasi, dan berbagi elemen ekstrakromosomal yang
mengkode sifat virulensi, dimana dapat membantu untuk kolonisasi, bersaing dengan bakteri lain,
melawan mekanisme pertahanan host dan menghasilkan perubahan patologis secara langsung
melalui produksi toxin atau secara tidak langsung melalui inflamasi.(14)
Faktor virulensi dan patogenitas sudah dijelaskan menggunakan teknik molekuler.
Beberapa gen hasil isolasi dari enterococci resisten (agg, gelE, Ace, cyILLS, Esp cpd, fsrB)
mengkode faktor virulensi seperti produksi gelatinase dan hemolysin, pelekatan ke caco-2 dan
hep-2-cells, dan kapasitas dalam membentuk biofilm.(1)

11.2. Enterococcus faecalis dengan Kateter Urin


Infeksi yang umum disebabkan oleh enterococci meliputi infeksi saluran kencing (ISK),
endokarditis, bakteremia, infeksi terkait kateter, infeksi luka, dan infeksi intra abdomen dan
8

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


panggul. Banyak strain yang menginfeksi berasal dari flora usus pasien. Dari sini, mereka dapat
menyebar dan menyebabkan ISK, infeksi intra-abdominal, dan infeksi luka bedah. Bakteremia
dapat terjadi bersamaan dengan pembibitan lokasi yang jauh. Sebagai contoh, infeksi saluran
genitourinari atau instrumentasi sering mendahului timbulnya endokarditis enterococcal.
meningitis, infeksi ruang pleura.(1)
Infeksi saluran kencing (ISK) adalah salah satu penyebab utama morbiditas dan
pengeluaran perawatan kesehatan yang mempengaruhi orang-orang dari semua umur, termasuk
wanita muda, anak-anak, dan orang tua. Diperkirakan sekitar 40% wanita memiliki ISK pada
suatu waktu dalam kehidupan mereka. ISK rekuren muncul di lebih dari 20% wanita muda dengan
sistitis akut dan terbagi menjadi kambuh (jika semua infeksi disebabkan oleh mikroorganisme
yang sama) dan infeksi ulang (jika episode disebabkan oleh mikroorganisme yang berbeda).
Kambuhan dikategorikan sebagai ISK yang rumit dan membutuhkan antibiotik yang lebih lama.
Relaps pada wanita telah dikaitkan dengan kapasitas mikroorganisme untuk membentuk biofilm.
(15)
Kateter urin adalah jalur masuk bakteri. Antara 10 dan 20% pasien rawat inap
disembuhkan. ISK terkait dengan kateter mencakup 40% infeksi nosokomial dan merupakan
sumber bakteremia Gram negatif yang paling umum pada pasien rawat inap. Enterococcus
merupakan salah satu patogen tersering ditemukan dalam jenis ISK ini, biasanya diperoleh secara
eksogen melalui manipulasi kateter dan perangkat drainase.(15)

11.3. Konsep Biofilm


Pembentukan biofilm adalah proses perkembangan kompleks yang melibatkan perlekatan
pada permukaan, interaksi sel-sel, formasi mikrokoloni, pembentukan biofilm konfluen, dan
pengembangan struktur biofilm tiga dimensi.(16) Biofilm sendiri dapat mengandung bakteri,
fungi, protozoa, algae, dan biasanya sel-sel ini membutuhkan faktor tertentu untuk pertumbuhan
biofilm. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan biofilm sangat beragam, seperti
kelembapan, temperature, pH lingkungan, dan komposisi dari nutrisi substrat.(17) Biofilm
merupakan komunitas mikrobial yang dapat terdiri dari satu atau berlapis, terbungkus dalam
matriks Ekstracellular Polymeric Substances (EPS) yang dihasilkannya sendiri. Matriks ini
menunjukkan fenotip yang berubah sehubungan dengan laju pertumbuhan dan perubahan
transkripsi gen dari sel planktonik atau sel bebasnya.(18)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Struktur mikroba ini telah diidentifikasi sebagai biofilm berdasarkan karakteristik dan sifat
fenotipik. Maka dari itu, definisi dari biofilm juga harus mencakup variasi fenotipik yang dibuat
dalam biofilm. Definisi yang mencakup aspek perbedaan fenotip antara bakteri biofilm dan
planktonik mungkin dapat menggambarkan fitur penting tanpa membahas spesifik semua sifat
fisik yang dapat berbeda antara masing-masing struktur biofilm.(4)
Biofilm mikroba dapat terbentuk pada permukaan cair-padat (contoh : permukaan
perangkat medis, permukaan batu yang dekat dengan air), cair-cair (minyak, air, tangki minyak),
cair-udara (daun tumbuhan, akar), dan jaringan hewan (gigi, pencernaan, saluran pernapasan).
Perlekatan dan produksi biofilm oleh Enterococcus faecalis pada biomaterial yang berbeda-beda
sudah di demonstrasikan, hasilnya kemampuan enterococci berikatan dengan berbagai
perlengkapan medik seperti stent ureteral, kateter intravaskular, stent biliar, dan silikon
berhubungan dengan kemampuan enterococci membentuk biofilm.(2)

11.3.1. Mekanisme Pembentukan Biofilm (15,18)


11.3.1.1. Perlekatan reversibel bakteri planktonik ke permukaan. Pembentukan
biofilm dimulai dari beberapa sel planktonik melekat pada suatu permukaan. Perlekatan
pertama bakteri ini dipengaruhi oleh kekuatan menarik atau menolak yang bervariasi
bergantung pada kadar gizi, pH, dan temperatur dari permukaan atau kedudukan yang
sesuai. Pada langkah ini, flagel dan kemotaksis bermain peranan penting dalam
menghindari aksi dari hidrodinamik dan gaya repulsif dari permukaan yang dipilih.

11.3.1.2. Perlekatan ireversibel ke permukaan. Pada tahap ini, sel-sel planktonik yang
melekat memperbanyak diri dan membentuk satu lapisan tipis (monolayer) biofilm. Tetapi,
pembelahan pada tahap ini akan berhenti selama beberapa saat dan terjadi banyak sekali
perubahan pada sel planktonik, yang akan menjadi sel dengan fenotip biofilm. Nantinya,
sel biofilm berbeda secara metabolik dan fisiologik dari sel planktoniknya.

11.3.1.3. Pembentukan lapisan kompleks biomolekul dan sekresi EPS yang


merupakan matriks eksternal. Produksi polisakarida dalam strain pembentuk biofilm
memfasilitasi agregasi, perlekatan, dan toleransi permukaan, yang memungkinkan
kolonisasi permukaan yang lebih baik.

10

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


11.3.1.4. Biofilm memperoleh struktur tiga dimensi saat mencapai kematangan.
Struktur tiga dimensi ini dengan morfologi makrokoloni bergantung pada komponen
matriks ekstraselular yang dihasilkan sendiri. EPS, adhesins, protein pembentuk amiloid,
dan eksopolisakarida (semua termasuk dalam matriks biofilm) diperlukan untuk
menghasilkan struktur ini di mana gradien nutrisi, air, senyawa pensinyalan atau produk
limbah hadir di sepanjang area biofilm yang berbeda, yang mengkondisikan metabolisme
sel.

11.3.1.5. Bila biofilm sudah matang, detachment mungkin terjadi. Detachment


memungkinkan sel untuk kembali mengambil keadaan planktonik dan dengan demikian
dapat membentuk biofilm di permukaan lain. Jika sel-sel terus melanjutkan
pertumbuhannya dan membentuk lapisan yang makin menebal, biofilm akan melepaskan
bakteri (detachment). Artinya biofilm mempunyai mekanisme aktif yang diprakarsai oleh
bakteri itu sendiri seperti degradasi enzimatis dari matriks biofilm dan quorum sensing
sebagai respons terhadap perubahan lingkungan yang berkaitan dengan tingkat gizi dan
deplesi oksigen dan oleh mekanisme pasif yang dimediasi oleh kekuatan luar dan erosi.
Pembentukan biofilm dilakukan dalam lima tahap dapat ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Langkah Pembentukan Biofilm(15)

11.3.2. Struktur Biofilm


Matriks biofilm adalah bagian penting dari biofilm, yang mengandung sel mikroba, EPS
dan air. Diketahui hampir dari seluruh struktur biofilm terdiri dari matriks biofilm yang
komponennya adalah air, sedangkan kandungan mikroba hanya sekitar 2-5%, dikelilingi oleh EPS
yang bisa mencapai hingga 2% dari total matriks. Zat lain yang sering ditemukan dalam matriks
biofilm meliputi DNA, RNA, protein dan enzim yang mencapai tingkat sekitar 2% secara total.
Stoodley mendefinisikan kriteria atau karakteristik tertentu yang bisa dipertimbangkan untuk

11

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


menjelaskan biofilm pada umumnya, termasuk film dasar yang tipis, mulai perlekatan lapisan
tunggal sel (monolayer) menjadi beberapa lapisan film yang tebal yang mengandung saluran air.
(4)
Monolayer ini dikenal juga sebagai linking film yaitu substrat yang menjadi tempat sel
bakteri melekat dan membentuk mikrokoloni. Jika sel-sel terus melanjutkan pertumbuhannya
membentuk lapisan yang makin menebal, maka mikroba yang melekat pada lapisan terdalam akan
kekurangan nutrisi dan terjadi akumulasi produk pembuangan yang bersifat toksik. Untuk
mengalami masalah ini, mikrokoloni akan berkembang menjadi bentuk jamur yang mempunyai
saluran atau pori-pori yang dapat dilewati oleh nutrisi dan produk-produk metabolit dari semua
sel.(18)

11.3.3. Kemampuan Enterococcus faecalis Membentuk Biofilm(19,20)


Ada beberapa faktor genetik yang berkontribusi dalam kemampuan enterococci untuk
bertahan hidup dan menyebabkan infeksi pada lingkungan host, yang disebut sebagai faktor
virulensi. Faktor virulensi yang dimiliki Enterococcus faecalis adalah gelatinase, Serine protease,
aggregation substance, Pili, Ace, toxin cytolysin, Esp, lipoteichoic acid, dan masih banyak lagi.
Setelah banyak penelitian menyebutkan, beberapa faktor genetik ini diduga sebagai peran
pembentuk biofilm pada Enterococcus faecalis. Faktor-faktor ini mencakup faktor perlekatan pada
permukaan, seperti protein pada dinding sel, glikolipid, dimana faktor-faktor ini berkontribusi
pada fase perlekatan. Sedangkan, pada fase maturasi terdapat polisakarida , lipoteichoic acid,
DNA ekstraseluler, dan protease.
11.3.3.1. Aggregation Substance
Aggregation substance (AS) adalah pelekat permukaan yang memediasi kontak terhadap
sel-sel saat kultivasi pheromone responsif donor dan penerima sel Enterococcus faecalis
yang krusial untuk transfer plasmid. AS juga berfungsi untuk memediasi perlekatan dan
invasi dari sel epitel intestinal dan sel epitel ginjal, meningkatkan tingkat survival terhadap
sel leukosit polymorphonuclear(PMN) dan makrofag. AS juga terasosiasi dalam
peningkatan virulensi dan mortalitas pada model kelinci dengan infeksi endokarditis.

11.3.3.2. Enterococcal Surface Protein(Esp)


Pertama kali diidentifikasi pada E. faecalis sebagai lapisan protein dengan permukaan
besar yang diperkaya di antara isolat infeksi. Pada penelitian disebutkan bahwa Esp
berperan penting dalam perlekatan bakteri pada permukaan sehingga dapat menyebabkan

12

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


infeksi yang persisten. Banyak penelitian juga menyebutkan, korelasi antara Esp dengan
pembentukan biofilm sangat kuat sehingga Esp penting dalam pembentukan biofilm.

11.3.3.3. Microbial Surface Components Recognizing Adhesive Matrix Molecules


(MSCRAMMs)
MSCRAMMs memfalisitasi kolonisasi dari jaringan pada host dan pengikatan sel bakteri
untuk tinggal di permukaan abiotik yang dilapisi dengan komponen matriks ekstraselular
yang diturunkan dari host. Pada E. faecalis dan E. faecium mempunyai lebih dari satu
lusin MSCRAMMs. Adhesion of collagen from E. faecalis(Ace) merupakan satu dari tiga
MSCRAMMs yang sudah diteliti secara ekstensif, menunjukkan pengikatannya terhadap
kolagen tipe I, kolagen tipe IV, laminin, dan dentin. Pada studi in-vitro, disebutkan
bahwa Ace E. faecalis dapat memediasi perlekatan pada intestinal manusia dan sel
endotel vena umbilikal.

11.3.3.4. Pili
Ekspresi dari pili pada permukaan bakterial dapat memfalisitasi perlekatan, dimana sangat
penting pada pembentukan biofilm. Pada bakteri gram-positif, pembetukan pili adalah
proses yang sangat kompleks yang melibatkan gabungan dari pilin subunit menjadi pilus
polymer, yang nantinya akan melekat pada dinding sel.

11.3.3.5. Polisakarida
E. faecalis polisakarida antigen lokus(epa) sudah diteliti bahwa telah terlibat dalam sintesis
dari polisakarida yang berhubungan dengan dinding sel dimana telah berkontribusi
terhadap pembentukan biofilm, di antara sifat virulensi lainnya. Disini dijelaskan,
perubahan kandungan polisakarida epa dapat menurunkan tingkat pembentukan biofilm.

11.3.4. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Biofilm Enterococcus faecalis


Pada dekade terakhir, telah diidentifikasi sejumlah gen enterococcal yang berperan dalam
pembentukan biofilm dan pematangan, terutama pada E. faecalis.(19)

11.3.4.1. Efek Permukaan (Substratum).


Perlekatan terjadi lebih baik pada permukaan yang kasar, karena akan menurunkan
kekuatan aliran yang dapat melepaskan biofilm, dan permukaan yang kasar mempunyai
13

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


luas permukaan yang lebih besar. Hal lain adalah mikroorganisme lebih baik melekat pada
permukaan yang hidrofobik seperti teflon dan plastik dibandingkan gelas atau logam.(18)
Pada kebanyakan bakteri gram-positif mempunyai pili, yang tampaknya memainkan peran
besar dalam mediasi kontak sel-sel, kolonisasi pada jaringan inang, dan pembentukan
biofilm.(21)

11.3.4.2. Conditioning Film


Permukaan yang terpapar oleh media cair akan segera ditutupi oleh polimer-
polimer dari medium dan menimbulkan modifikasi kimiawi yang akan mempengaruhi
pertumbuhan dan perluasan dari perlekatan mikroorganisme dari permukaan tersebut.(18)
Contohnya, pada permukaan kateter yang memang tidak mempunyai mekanisme
pertahanan. Langkah pertama dalam pembentukan biofilm pada kateter urin adalah
pengkondisian dari pengendapan film komponen urin inang, termasuk protein, elektrolit,
dan molekul organik lainnya. Pengkondisian film ini dapat mengubah permukaan kateter
urin dan menetralisir sifat antiadhesif apapun. Kemudian, bakteri bebas dapat menempel
ke permukaan kateter melalui interaksi hidrofobik dan elektrostatik.(22)

11.3.4.3. Hidrodinamik
Semakin cepat aliran cairan yang terjadi maka semakin mempercepat perlekatan sel
pada permukaan karena sel-sel akan berturbulensi dan berputar. Semakin kuat kekuatan
yang ditempatkan pada biofilm selama pengembangan, semakin melekat koloni awal, dan
faktor-faktor ini kemudian membatasi ukuran dan konstitusi biofilm. Akibatnya, biofilm
akan berbeda antara infeksi terkait kateter yang menjalani aliran urin intermiten, infeksi
prostesis ortopedi tanpa kekuatan cairan yang kuat dan dengan yang ada di mulut yang
terus dipadatkan dengan cara mengunyah.(4,18)

11.3.4.4. Karakteristik Media Cairan


Seperti pH, suhu, jumlah zat gizi, kation dan adanya antimikroba akan
mempengaruhi perlekatan.11 Pada E. faecalis, penambahan suplementasi glukosa 1% pada
medium tryptic soy broth (TSB) akan meningkatkan pembentukan biofilm daripada TSB
tanpa glukosa. Studi lain juga menyebutkan, mutan E. faecalis mengandung 1% maltosa
dapat membentuk biofilm 4% lebih tinggi dari E. faecalis yang mengandung 1% glukosa.
Pengamatan ini menunjukkan bahwa ketersediaan gula yang berbeda dalam lingkungan
pertumbuhan dapat secara drastis mengubah produksi biofilm di E. faecalis, tetap harus

14

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


ditetapkan jika proses ini terkait dengan represi katabolit atau ketersediaan total sumber
karbon yang dapat difermentasi.(2,23)

11.3.4.5. Keadaan Permukaan Sel Bakteri


Permukaan sel yang hidrofobik, adanya fimbriae , flagel dan polisakarida atau
protein pada permukaan sel bakteri akan mempermudah perlekatan, terutama bila terjadi
kompetisi dalam suatu mikroorganisme.(18) Modifikasi dari alat-alat biomaterial
merupakan salah satu pendekatan untuk mengurangi (elektrostatik, hidrofobik) perlekatan
mikrobial. Ini menunjukkan jika kateter yang terbuat dari silikon murni dapat mengurangi
jumlah infeksi.(22)

11.4. Biofilm Enterococcus faecalis dan Kateter Urin


Alasan mengapa biofilm begitu banyak pada kateter urin adalah bahwa ia mengandung
keuntungan kelangsungan hidup bagi mikroorganisme; Untuk alasan yang sama biofilm kateter
urin ini sulit untuk diberantas. Kondisi lingkungan yang tercipta pada permukaan kateter
menjadikannya tempat yang ideal untuk perlekatan bakteri dan pembentukan struktur biofilm.(24)
Pada kultur urin bulanan untuk pasien yang menggunakan kateter urin jangka panjang
menunjukkan flora bakteri terus bergeser, berubah, dan terus membentuk koloni, terlepas dari
penggunaan antibiotik.(22)
Untuk mikroorganisme urease-producer yang mengkolonisasi kateter urin, untuk
membentuk biofilm pada alat medis ini, mereka menghidrolisa urea dalam urin menjadi ion
amoniak yang meningkatkan nilai pH dari urin, dan mengakibatkan presipitasi dari magnesium,
dan kristal kalsium fosfat. Kristal ini mampu melindungi mikroba dari senyawa antimikroba yang
senyawa yang digunakan untuk melapisi kateter.(25)
Dalam upaya pendekatan untuk memerangi infeksi terkait biofilm, banyak penelitian
mengevaluasi beberapa antimikroba, baik sendiri atau kombinasi, sebagai agen yang digunakan
untuk melapisi permukaan kateter untuk mencegah adhesi mikroba. Pada kateter berlapiskan asam
salisilat, perlekatan E. faecalis menurun. Studi lain menunjukkan, aktivitas penghambat kateter
yang dilapisi minosiklin dan rifampisin lebih baik daripada kateter yang dilapisi vankomisin.(19)

11.5. Deteksi dari Perlekatan Bakterial dan Biofilm


Dalam keadaan tertentu, mikroskop cahaya adalah alat tercepat untuk melihat interaksi
antara mikroorganisme dan permukaan. Metode ini memperlihatkan mikroskopis untuk
menghitung banyak perlekatan dan kolonisasi mikrobial. Karena relatif murah, mudah, dan cepat,
15

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


mikroskop cahaya terbukti sebagai alat serbaguna untuk mempelajari perlekatan mikroorganisme
dari permukaan berbagai macam alat.(4) Terdapat beberapa variasi metode yang dapat digunakan
untuk mendeteksi produksi biofilm, yaitu Tissue Culture Plate (TCP), Tube Method (TM), Congo
Red Agar (CRA), microtitre plate, dan masih banyak lagi.
Hassan et al.(6) menyebutkan, bahwa pemeriksaan gold-standard untuk melihat
pembentukan biofilm adalah TCP. Parameter seperti sensitivitas, spesifisitas, nilai negatif
prediktif, nilai positif prediktif dan akurasi sudah terkalkulasi. Hasilnya menunjukkan sensitivitas
dan spesifisitas dari TM adalah 73% dan 92,5%. Untuk metode CRA yaitu, 11% dan 92%,
sedangkan pada TCP yang dimodifikasi 96,2 % dan 97,3%.(6,12)
Pernyataan ini didukung oleh Kour et al.(26) yang berkesimpulan TCP adalah metode
paling sensitif, akurat untuk mendeteksi pembentukan biofilm. Hasil penelitiannya menunjukkan,
TCP 94% sensitif dan 83% akurat. Pada TM didapatkan 77% sensitif dan 81% akurat. CRA juga
menunjukkan kurang sensitif (38%) dan akurat (44%) dibandingan metode TCP. Metode TM juga
berkorelasi baik dengan TCP untuk mengidentifikasi penghasil biofilm yang kuat, namun
disebutkan juga bahwa sulit untuk mendiferensiasi antara sedang, lemah dan non-biofilm
producers dikarenakan perubahan dari hasil yang terdeteksi oleh observer yang berbeda-beda.(6)
Namun pada penelitian terkini menyebutkan, metode microtiter plate adalah gold-standard untuk
mendeteksi dari pembentukan biofilm dengan sensitivitas dan spesifitas yaitu, 98,08% dan
61,22%. (27)
Untuk perbandingan CRA dan TM sendiri, penelitian oleh Basavaraju et al.(28)
menunjukkan bahwa dari 48% isolat yang memproduksi biofilm (52% penghasil non-biofilm),
CRA menunjukkan 66% hasil positif sedangkan untuk TM hanya 33% yang menunjukkan bahwa
metode CRA lebih baik dari TM dalam mendeteksi biofilm. Akan tetapi, studi lain juga
menunjukkan dari 147 isolat S. epidermidis, TM mendeteksi 79 isolat (53,7%) adalah penghasil
biofilm dan CRA mendeteksi hanya 64 isolat (43,5%) yang artinya TM lebih baik dari CRA.(29)
Pada negara berkembang seperti Indonesia, sangat dibutuhkan metode yang murah,
praktis, lebih sedikit membutuhkan perlengkapan, dan lebih sedikit membutuhkan keahlian teknis.
CRA sendiri merupakan salah satu metode fenotipik sederhana yang hemat biaya untuk
mendeteksi pembentukan biofilm dan tidak memerlukan keahlian teknis.(13,30) Pada tahun 2002,
Arciola et al.(31) membagi skala metrik warna dari sangat merah, merah, bordeaux, hampir
hitam, hitam, dan sangat hitam untuk mengklasifikasikan produksi biofilm dimana warna merah
untuk penghasil non-biofilm dan warna hitam untuk penghasil biofilm.

16

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Gambar 2. Warna koloni dengan CRA. (a) Koloni merah, pembentuk non-biofilm ; (b) Koloni hitam,
pembentuk biofilm ; (c) Koloni coklat, pembentuk biofilm ; Koloni merah gelap, pembentuk non-biofilm.
(13)

11.6. Deteksi Biofilm dengan Tube Method dan Congo Red Agar
Deteksi biofilm dengan tube method dicetuskan oleh Christensen pada tahun 1982
menggunakan bakteri Staphylococcus epidermidis.(32) Kemudian, pada tahun 1989 ditemukan
metode baru untuk mendeteksi biofilm pada bakteri S. epidermidis menggunakan Congo Red
Agar(CRA) oleh Freeman.(33) Pada metode yang digunakan Christensen tidak selalu berhasil
dalam mendeteksi bakteri penghasil biofilm yang lemah, dan variasi dari media dapat berefek
kepada hasilnya. Sedangkan metode Freeman, menggunakan medium brain heart infusion broth
dengan suplementasi sukrosa 5% dan pewarnaan Congo red hasilnya memuaskan dalam
mendeteksi biofilm.(33) Gunardi menyebutkan, biofilm terdiri dari matrik (85% dari volume) dan
Uji Deteksi Biofilm :
kumpulan sel-sel bakteri (15% dari volume), dimana Extracelullar Polymeric Substances(EPS)
CRA
Tube Methode
sebagai material matrik yang utama. EPS bervariasi secara fisik dan kimia, tapi terutama terdiri
dari polisakarida.(18) Untuk pewarnaan pada biofilm, metode Christensen menggunakan
pewarnaan biru alcian, karena dapat mengacu kepada karakter dari polisakarida. Pada Freeman,
pewarnaan Congo red dipilih karena dapat mendeteksi keberadaan dari polisakarida pada bakteri
Bakteri E.
gram negative ini.(32,33)
Kateter Bakteri faecalis
Urin Isolasi E. pembentuk
faecalis biofilm
1.7. Kerangka Teori

Faktor E. faecalis Membentuk


Biofilm :
Kemampuan bakteri E.faecalis
membentuk biofilm
Efek permukaan
Conditioning film
Hidrodinamik
Karakteristik media cairan 17
Keadaan permukaan sel bakteri
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
11.8. Kerangka Konsep

18

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Uji Bakteri E. faecalis Uji Bakteri E. faecalis
menggunakan Congo Red Agar menggunakan Tube Method

Mendeteksi Biofilm pada bakteri E.


faecalis

12 Metodologi Penelitian Uraikan dengan jelas tetapi ringkas strategi umum dari penelitian yang diusulkan
serta pendekatan khusus dan metode yang akan digunakan. Apabila diperlukan fasilitas di institusi lain, tunjukan
bahwa lembaga yang bersangkutan telah dihubungi dan memberikan persetujuan. Jangan melebihi 3 halaman spasi
tunggal (12 pts Font)

19

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


12.1 Desain Penelitian :
Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan desain deskriptif analitik

12.2 Tempat dan Waktu penelitian


Penelitian ini dilakukan di laboratorium riset Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Waktu penelitian akan dibagi menjadi empat waktu:
 Waktu pembuatan proposal dari Februari 2017 sampai Maret 2017.
 Waktu penatalaksanaan penelitian, pengambilan sampel, dan pencatatan hasil dilakukan dari
Maret 2017 sampai Oktober 2017.
 Waktu analisis hasil penelitian dan penulisan skripsi dari bulan Maret 2017 sampai bulan Oktober
2017.

No Kegiatan Bulan(Tahun 2016-2017)


Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun
1 Studi Pustaka  

2 Persiapan alat  
dan bahan
penelitian
3 Penelitian   

4 Penulisan  
No Kegiatan Bulan(Tahun 2017)
Juli Agust Sep Okt

1 Studi Pustaka

2 Persiapan alat
dan bahan
penelitian
3 Penelitian  

4 Penulisan    
Tabel 1. Waktu
pelaksanaan penelitian

12.3 Subjek Penelitian

20

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Tiga belas isolat bakteri Enterococcus faecalis yang terkumpul dari hasil kultur kateter urin periode
Agustus- November 2016 di rumah sakit swasta di Tangerang

12.4 Sampling (menyebutkan teknik sampling dan menghitung besar sampel dengan rumus yang sesuai)
Total sampling : Tiga belas isolat bakteri Enterococcus faecalis yang terkumpul dari hasil kultur kateter
urin periode Agustus - November 2016 di rumah sakit swasta di Tangerang

12.5. Bahan, alat, dan cara penelitian(27,34)


12.5.1. Tube Method
12.5.1.1. 10 ml dari trypticase soy broth dengan glukosa 1% diinokulasi dengan kumpulan
mikroorganisme dari cawan yang dikultur dalam jangka waktu semalam
12.5.1.2. Cawan yang sudah dikultur diinkubasi pada suhu 37˚C selama 24-48 jam.
12.5.1.3. Tabung dituang dan dicuci dengan garam buffer fosfat (pH 7,3) dan dikeringkan.
12.5.1.4. Tabung kering diwarnai dengan kristal ungu violet 0,1%. Kelebihan noda dicuci dengan air
deionisasi.
12.5.1.5. Tabung dikeringkan dalam posisi terbalik. Skor untuk metode tabung dilakukan sesuai
dengan hasil strain kontrol.
12.5.1.6. Pembentukan biofilm dianggap positif saat film yang terlihat melapisi dinding dan bagian
bawah tabung. Jumlah biofilm yang terbentuk dinilai 1-lemah / tidak ada, 2-sedang dan tinggi-3 /
kuat, dibaca menggunakan spektrofotometer. Percobaan dilakukan secara rangkap tiga dan diulang
sebanyak tiga kali.

12.5.2. Congo Red Agar


12.5.2.1. Media CRA disiapkan dengan brain heart infusion broth 37 g / L, sukrosa 50 g / L, agar No.
1 10 g / L dan indikator Congo Red 0,8 g / L.
12.5.2.2. Pewarna Red Congo disiapkan sebagai solusi aquoeus terkonsentrasi dan diautoclav (121˚C
selama 15 menit)
12.5.2.3. Setelah terpisah dari unsur penyusun media lainnya, kemudian ditambahkan ke medium agar
yang telah didinginkan sampai 55 ° C.
12.5.2.4. Cawan diinokulasi dan diinkubasi secara aerobik selama 24-48 jam pada suhu 37 ° C.
12.5.2.5. Hasil positif ditunjukkan oleh koloni hitam dengan konsistensi kristal kering. Produsen
biofilm lemah biasanya tetap merah muda, meski kadang-kadang terjadi penggelapan di pusat koloni

21

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


diamati. Semakin gelap koloni, dengan tidak adanya morfologi kolonial kristal kering, menunjukkan
hasil yang tidak pasti. Percobaan dilakukan secara rangkap tiga dan diulang sebanyak 3 kali.

12.6. Parameter yang Diperiksa :


Parameter yang diperiksa disini adalah angka pertumbuhan biofilm bakteri Enterococcus faecalis
pada metode CRA dan metode tube.

12.7. Dana Penelitian :


Perkiraan dana penelitian
1. Trypticase Soy Broth : Rp. 300.000,00-
2. Brain heart infusion : Rp. 955.000,00-
3. Cawan petri x 30 : Rp. 90.000,00-
4. Tabung reaksi x 30 : Rp. 90.000,00-
Total : Rp. 1.435.000,00-

12.8. Definisi Operasional


12.8.1. Bakterial biofilm: Komunitas mikrobial yang terdiri dari sel-sel yang menempel secara
ireversibel ke suatu permukaan atau substrat tertentu dan dibungkus dalam matriks dari
extracellular polymeric substances (EPS) yang mereka produksi.

12.8.2. Enteroccous faecalis : Bakteri yang tidak membentuk spora, fakultatif anaerob, kokus gram
positif dan tidak menghasilkan reaksi katalase dengan hidrogen peroksida. Bakteri ini berbentuk
ovoid dengan diameter 0,5 sampai 1 μm dan terdiri dari rantai pendek, berpasangan atau bahkan
tunggal, dan mempunyai kemampuan untuk membentuk biofilm.

13 Jadwal Penelitian Cantumkan lama penelitian dan rincian jadwal secara skematis.

22

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Bulan (Tahun………)
ni
No Kegiatan Mei J Juli Agus Sept Des Maret Aprl Mei Juni
1 Studi pustaka
Persiapan alat
dan bahan
2 penelitian
3 Penelitian
4 Penulisan

14 Persyaratan Etik Bagian dibawah ini harus diisi apabila penelitian yang diusulkan berkaitan dengan
eksperimentasi pada manusia dan hewan. Metode yang digunakan harus memenuhi ketentuan etik penelitian pada
manusia dan hewan (Human and Animal Ethics). Persyaratan ini dianut oleh semua jurnal ilmiah berbobot.
23

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Implikasi Etik Eksperimental pada Manusia Berikan pernyataan singkat mengenai permasalahn etik
yang dapat timbul dari eksprimentasi, dan jelaskan bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi. Permasalahan etik
termasuk (a) bahaya dan komplikasi perlakuan, (b) kerahasiaan data (confidentiality), (c) Informed consent, dan sebagainya.

Implikasi Etik Eksperimental pada Hewan

15 Daftar Pustaka Harus relevan dengan usulan.

1. Fraser SL. Enterococcal Infections: Background, Pathophysiology, Epidemiology [Internet].


Medscape. 2015. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/216993-
overview#showall
24

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


2. Mohamed JA, Huang DB. Biofilm formation by enterococci. J Med Microbiol. 2007;56(12):1581–
8.
3. Van Tyne D, Martin MJ, Gilmore MS. Structure, function, and biology of the Enterococcus faecalis
cytolysin. Toxins (Basel). 2013;5(5):895–911.
4. Jass J, Surman S, Walker J. Medical Biofilms: Detection, Provention and Control [Internet]. Vol.
100, John Wiley & Sons, Ltd. 2003. Available from: http://doi.wiley.com/10.1002/0470867841
5. Pinkston KL, Gao P, Diaz-Garcia D, Sillanpää J, Nallapareddy SR, Murray BE, et al. The Fsr
quorum-sensing system of Enterococcus faecalis modulates surface display of the collagen-binding
MSCRAMM Ace through regulation of gelE. J Bacteriol. 2011;193(17):4317–25.
6. Hassan A, Usman J, Kaleem F, Omair M, Khalid A, Iqbal M. Evaluation of different detection
methods of biofilm formation in the clinical isolates. Braz J Infect Dis [Internet]. 2011;15(4):305–
11. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S1413-8670(11)70197-0
7. Donlan RM, Murga R, Bell M, Toscano CM, Carr JH, Novicki TJ, et al. Protocol for detection of
biofilms on needleless connectors attached to central venous catheters. J Clin Microbiol.
2001;39(2):750–3.
8. Dworniczek E, Wojciech Ł, Sobieszczańska B, Seniuk A. Virulence of enterococcus isolates
collected in lower silesia (Poland). Scand J Infect Dis. 2005;37(9):630–6.
9. Baqai R, Aziz M, Rasool G. Urinary tract infection in diabetic patients and Biofilm formation of
Uropathogens. 2008;7–9.
10. Duggan JM, Sedgley CM. Biofilm Formation of Oral and Endodontic Enterococcus faecalis. J
Endod. 2007;33(7):815–8.
11. Seno Y, Kariyama R, Mitsuhata R, Monden K, Kumon H. Clinical implications of biofilm
formation by Enterococcus faecalis in the urinary tract. Acta Med Okayama. 2005;59(3):79–87.
12. Mathur T, Singhal S, Khan S, Upadhyay D, Fatma T, Rattan A. Detection of biofilm formation
among the clinical isolates of Staphylococci: An evaluation of three different screening methods.
Indian J Med Microbiol [Internet]. 2006;24(1):25. Available from: http://www.ijmm.org/text.asp?
2006/24/1/25/19890
13. Kaiser TDL, Pereira EM, dos Santos KRN, Maciel ELN, Schuenck RP, Nunes APF. Modification
of the Congo red agar method to detect biofilm production by Staphylococcus epidermidis. Diagn
Microbiol Infect Dis. 2013;75(3):235–9.
14. Suchitra U, Kundabala M. Enterococcus Faecalis-An Endodontic Pathogen. Endodontology
[Internet]. 2006;11–3. Available from: http://eprints.manipal.edu/78336/

25

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


15. Soto SM, Soto SM. Importance of Biofilms in Urinary Tract Infections: New Therapeutic
Approaches. Adv Biol [Internet]. 2014;2014:1–13. Available from:
http://www.hindawi.com/journals/ab/2014/543974/
16. O`Toole G, Kaplan HB, Kolter R. Biofilm Formation As Microbial Development. Annu Rev
Microbiol. 2000;49–79.
17. Vivas J, Padilla D, Real F, Bravo J, Grasso V, Acosta F. Influence of environmental conditions on
biofilm formation by Hafnia alvei strains. Vet Microbiol. 2008;129(1–2):150–5.
18. Gunardi WD. Peranan Biofilm dalam Kaitannya dengan Penyakit Infeksi. J Kedokt Meditek.
2014;15 No. 39a(6).
19. Dunny GM, Hancock LE, Shankar N. Enterococcal Biofilm Structure and Role in Colonization and
Disease. Enterococci From Commensals to Lead Causes Drug Resist Infect [Internet]. 2014;1–17.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24649508
20. Garsin D a., Frank KL, Silanpää J, Ausubel FM, Hartke A, Shankar N, et al. Pathogenesis and
Models of Enterococcal Infection. Enterococci From Commensals to Lead Causes Drug Resist
Infect [Internet]. 2014;1–57. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK190426/?
report=reader%0Ahttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24649512
21. Telford JL, Barocchi M a, Margarit I, Rappuoli R, Grandi G. Pili in gram-positive pathogens. Nat
Rev Microbiol [Internet]. 2006;4(7):509–19. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16778837
22. Trautner BW, Darouiche RO. Role of biofilm in catheter-associated urinary tract infection. Vol. 32,
American Journal of Infection Control. 2004. p. 177–83.
23. Kafil HS, Mobarez AM. Assessment of biofilm formation by enterococci isolates from urinary tract
infections with different virulence profiles. J King Saud Univ - Sci [Internet]. 2015;27(4):312–7.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jksus.2014.12.007
24. Ong CLY, Ulett GC, Mabbett AN, Beatson SA, Webb RI, Monaghan W, et al. Identification of type
3 fimbriae in uropathogenic Escherichia coli reveals a role in biofilm formation. J Bacteriol.
2008;190(3):1054–63.
25. Choong S, Wood S, Fry C, Whitfield H. Catheter associated urinary tract infection and
encrustation. In: International Journal of Antimicrobial Agents. 2001. p. 305–10.
26. Kour M, Soni I, Sharma R. Assessment of biofilm formation by Enterococcus faecalis causing
nosocomial infections and their statistical analysis. 2014;77–9.
27. Devaraj C, Sajjan AG. Comparision of three different methods for the detection of biofilm in gram

26

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


positive cocci and gram negative bacilli isolated from clinical specimens. J Pharm Sci Res.
2015;7(11):952–5.
28. Basavaraju A, Praveena M. Detection of biofilm producing bacteria on invasive medical devices
and their antibiogram. Int J Pharm Sci Res [Internet]. 2016;7(7):3053–9. Available from:
http://ijpsr.com/?action=download_pdf&postid=25989
29. Růžička F, Holá V, Votava M, Tejkalová R, Horvát R, Heroldová M, et al. Biofilm detection and
the clinical significance of Staphylococcus epidermidis isolates. Folia Microbiol (Praha).
2004;49(5):596–600.
30. De A, Deshpande D, Baveja S, Taklikar S. Detection of biofilm formation in bacteria from cases of
urinary tract infections, septicemia, skin and soft tissue infections and post-operative infections by
Congo Red Agar method. J Acad Med Sci [Internet]. 2012;2(1):46. Available from: http://www.e-
jams.org/text.asp?2012/2/1/46/104017
31. Arciola CR, Campoccia D, Gamberini S, Cervellati M, Donati E, Montanaro L. Detection of slime
production by means of an optimised Congo red agar plate test based on a colourimetric scale in
Staphylococcus epidermidis clinical isolates genotyped for ica locus. Biomaterials.
2002;23(21):4233–9.
32. Christensen GD, Simpson WA, Bisno AL, Beachley EH. Adherence of slim-producing strains of
staphylococcus epidermidis to smooth surfaces. Infect Immun. 1982;37(1):318–26.
33. Freeman DJ, Falkiner FR, Keane CT. New method for detecting slime production by coagulase
negative staphylococci. J Clin Pathol [Internet]. 1989;42(8):872–4. Available from:
http://jcp.bmj.com/cgi/doi/10.1136/jcp.42.8.872
34. Niveditha S, Pramodhini S, Umadevi S, Kumar S, Stephen S. The isolation and the biofilm
formation of uropathogens in the patients with catheter associated urinary tract infections (UTIs). J
Clin Diagnostic Res. 2012;6(9):1478–82.

27

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Anda mungkin juga menyukai