Anda di halaman 1dari 21

A.

Definisi Asma
Penyakit asma berasal dari kata “Asthma” yang diambil dari bahasa yunani yang berarti
“sukar bernapas”. Penyakit asma dikenal karena adanya gejala sesak napas, batuk yang d
isebabkan oleh penyempitan saluran napas. Asma juga disebut penyakit paru-paru kronis
yang menyebabkan penderita sulit bernapas. Hal ini disebabkan karena pengencangan dar
i otot sekitar saluran napas, peradangan, rasa nyeri, pembengkakan dan iritasi pada salura
n napas di paru-paru. Hal lain disebut juga bahwa asma adalah penyakit yang disebabka
n oleh peningkatan respon dari trachea dan bronkus terhadap bermacam-macam stimuli y
ang di tandai dengan penyempitan bronkus atau bronkiolus dan sekresi berlebih dari kele
njar di mukosa bronkus.
Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) pada National In
stitute of Health (NIH) Amerika, asma (dalam hal ini asma bronkial) didefinisikan sebag
ai penyakit radang/inflamasi kronik pada paru, yang dikarakterisir oleh adanya :
1. Penyumbatan saluran nafas yang bersifat reversible (dapat balik), baik secara sponta
n maupun dengan pengobatan.
2. Peradangan pada jalan nafas.
3. Peningkatan respon jalan nafas terhadap berbagai rangsangan (hiper- responsivitas).
Pada saat seseorang menderita asma terkena faktor pemicunya, maka dinding saluran maf
asnya akan menyempit dan membengkak menyebabkan sesak napas. Kadang dinding salu
ran napas dilumuri oleh lendir yang lengket sehingga dapat menyebabkan sesak napas ya
ng lebih parah. Jika tidak dapat ditangani dengan baik maka asma dapat menyebabkan k
ematian.

B. Klasifikasi Penyakit Asma

1. Berdasarkan penyebabnya, asma dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :


a. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh alegren yang spesifik, seperti debu,
serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur yang ti
dak membawa pengaruh apa-apa terhadap mereka yang sehat.
Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap a
lergi. Oleh karena itu jika ada alegren spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka aka
n terjadi serangan asma ekstrinsik. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terja
di dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk m
embentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyeba
bkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini teru
tama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat d
engan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody I
gE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada s
el mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya hi
stamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemota
ktik eosinofilik dan bradikinin.
Dengan kta lain Antibodi ini mencari dan menempelkan dirinya pada sel-sel batang. Peri
stiwa ini terjadi dalam jumlah besar di paru-paru dan saluran pernafasan lalu membangki
tkan suatu reaksi. Batang-batang sel melepaskan zat kimia yang disebut mediator. Salah
satu unsur mediator ini adalah histamin. Dan akibat pelepasan histamin terhadap paru-par
u adalah reaksi penegangan/pengerutan saluran pernafasan dan meningkatnya produksi le
ndir yang dikeluarkan jaringan lapisan sebelah dalam saluran tersebut.
b. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap faktor yang tidak spesif
ik atau tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari alergen. Asma jenis ini disebab
kan oleh stres, infeksi, dan kondisi lingkungan seperti cuaca, kelembaban dan suhu udara,
polusi udara, dan juga oleh aktivitas olahraga yang berlebihan. Serangan asma ini menja
di lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi
bronkhitis kronik dan emfisema.
Asma intrinsik biasanya berhubungan dengan menurunnya kondisi ketahanan tubuh, terut
ama pada mereka yang memiliki riwayat kesehatan paru-paru yang kurang baik, misalnya
karena bronkitis dan radang paru-paru (pneumonia). Penderita diabetes mellitus golonga
n lansia juga mudah terkena asma intrinsik.

c. Asma Campuran
Asma campuran adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteris
tik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau non alergik.

2. Klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahan penyakit (derajat asma) yaitu:


a. Intermiten
Intermitten ialah derajat asma yang paling ringan. Pada tingkatan derajat asma ini, serang
annya biasanya berlangsung secara singkat. Dan gejala ini juga bisa muncul di malam ha
ri dengan intensitas sangat rendah yaitu ≤ 2x sebulan.
b. Persisten Ringan
Persisten ringan ialah derajat asma yang tergolong ringan. Pada tingkatan derajat asma in
i, gejala pada sehari-hari berlangsung lebih dari 1 kali seminggu, tetapi kurang dari atau
sama dengan 1 kali sehari dan serangannya biasanya dapat mengganggu aktifitas tidur di
malam hari.
c. Persisten Sedang
Persisten sedang ialah derajat asma yang tergolong lumayan berat. Pada tingkatan derajat
asma ini, gejala yang muncul biasanya di atas 1 x seminggu dan hampir setiap hari. Ser
angannya biasanya dapat mengganggu aktifitas tidur di malam hari.
d. Persisten Berat
Persisten berat ialah derajat asma yang paling tinggi tingkat keparahannya. Pada tingkata
n derajat asma ini, gejala yang muncul biasanya hampir setiap hari, terus menerus, dan s
ering kambuh. Membutuhkan bronkodilator setiap hari dan serangannya biasanya dapat m
engganggu aktifitas tidur di malam hari.
C. Gejala – Gejala Penyakit Asma

Secara umum gejala penyakit asma adalah sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas
yang berbunyi dimana serinya gejala ini timbul pada pagi hari menjelang waktu subuh, h
al ini dikarenakan pengaruh keseimbangan hormon kortisol yang kadarnya rendah ketika
pagi hari.
Penderita asma akan mengeluhkan sesak napas karena udara pada waktu bernapas tidak
dapat mengalir dengan lancar pada saluran napas yang sempit hal ini juga yang menyeba
bkan timbulnya bunyi pada saat bernapas. Pada penderita asma, penyempitan saluran nap
as yang terjadi dapat berupa pegerutan dan tertutupnya saluran oleh dahak yang diproduk
si secara berlebihan dan menimbulkan batuk sebagai respon untuk mengeluarkan dahak t
ersebut.
Salah satu ciri asma adalah hilangnya keluhan diluar serangan. Artinya, pada saat serang
an, penderita asma bisa kelihatan amat menderita (banyak batuk, sesak napas, hebat bahk
an sampai tercekik) tetapi diluar serangan penderita sehat-sehat saja. Inilah salah satu ya
ng membedakannya dengan penyakit lain.

D. Patofisiologi Penyakit Asma

Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan s
ukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap bend
a-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan
cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reak
si alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya.
Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial p
aru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghi
rup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antib
odi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berba
gai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupak
an leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.
Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding
bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan sp
asme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sanga
t meningkat Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi dari pada
inspirasi.
Selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan
bagian luar bronkiolus.
Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat d
ari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada
penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali
-kali melakukan ekspirasi.Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan
volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran m
engeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.

E. Manifestasi KlinisI

a. Asma Kronik
Asma kronik ditandai dengan episode dispnea yang disertai dengan bengek, tapi gambara
n klinik asma beragam. Pasien dapat mengeluhkan sempit dada, betuk atau bunyi saat be
rnapas. Hal ini sering terjadi saat latihan fisik yang dapat terjadi secara spontan atau ber
hubungan dengan allergen tertentu. Tanda-tandanya termasuk bunyi disaat ekspirasi deng
an pemeriksaan auskultasi, batuk kering yang berulang atau tanda atopi.
Asma dapat bervariasi dari gejala harian kronik sampai gejala yang berselang. Terdapat k
eparahan dan remisi berulang dan interval antar gejala mingguan, bulanan atau tahunan.
Keparahan ditentukan oleh fungsi paru-paru dan gejala sebelum terapi disamping jumlah
obat dalam mengontrol gejala. Pasien dapat menunjukkan gejala berselang ringan yang ti
dak memerlukan pengobatan atau hanya penggunaan sewaktu-waktu agonis beta inhalasi.
b. Asma Parah Akut
Asma yang tidak terkontrol dapat berlanjut menjadi akut dimana inflamasi, edema jalan
udara, akumulasi mukus yang berlebihan dan bronkospasmus parah yang menyebabkan p
enyempitan jalan udara yang serius tidak responsif terhadap terapi bronkodilator biasa. P
asien mengalami kecemasan dan mengeluhkan dispnea parah, nafas pendek, sempit dada
atau rasa terbakar. Penderita mungkin hanya dapat mengucapkan kata dalam satu napas.
Gejala tidak responsif terhadap penanganan biasa.

Tanda termasuk bunyi yang terdengar dengan auskultasi saat inspirasi dan ekspirasi, batu
k kering yang berulang, takhipnea, kulit pucat atau kebiruan dan dada yang mengembang
disertai dengan retraksi interkostal dan supra klavilar. Bunyi nafas dapat hilang bila obst
ruksi sangat parah.

F. Penatalaksanaan Asma

Tujuan pengobatan asma bronkial adalah agar penderita dapat hidup normal, bebas dari s
erangan asma serta memiliki faal paru senormal mungkin, mengurangi reaktifasi saluran
napas, sehingga menurunkan angka perawatan dan angka kematian akibat asma Suatu ke
salahan dalam penatalaksanaan asma dalam jangka pendek dapat menyebabkan kematian ,
sedangkan jangka panjang dapat mengakibatkan peningkatan serangan atau terjadi obstr
uksi paru yang menahun.
Untuk pengobatan asma perlu diketahui juga perjalanan penyakit, pemilihan obat yang te
pat cara untuk menghindari faktor pencetus Dalam penanganan pasien asma penting dibe
rikan penjelasan tentang cara penggunaan obat yang benar, pengenalan dan pengontrolan
faktor alergi. Faktor alergi banyak ditemukan dalam rumah seperti tungau debu rumah al
ergen dari hewan, jamur, dan alergen di luar rumah seperti zat yang berasal dari tepun
g sari, ja mur, polusi udara. Obat aspirin dan anti inflamasi non steroid dapat menjadi fa
ktor pencetus asma. Olah raga dan peningkatan aktivitas secara bertahap dapat menguran
gi gejala asma.
Manajemen pengendalian asma terdiri dari 6 (enam) tahapan yaitu sebagai berikut:

a. Pengetahuan
Memberikan pengetahuan kepada penderita asma tentang keadaan penyakitnya dan mekan
isme pengobatan yang akan dijalaninya kedepan (GINA, 2005).
b. Monitor
Memonitor asma secara teratur kepada tim medis yang menangani penyakit asma. Memo
nitor perkembangan gejala, hal-hal apa saja yang mungkin terjadi terhadap penderita asm
a dengan kondisi gejala yang dialaminya beserta memonitor perkembangan fungsi paru
(GINA, 2005).
c. Menghindari Faktor Resiko
Hal yang paling mungkin dilakukan penderita asma dalam mengurangi gejala asma adala
h menhindari faktor pencetus yang dapat meningkatkan gejala asma. Faktor resiko ini da
pat berupa makanan, obat-obatan, polusi, dan sebagainya (GINA, 2005).
d. Pengobatan Medis Jangka Panjang
Pengobatan jangka panjang terhadap penderita asma, dilakukan berdasarkan tingkat kepar
ahan terhadap gejala asma tersebut. Pada penderita asma intermitten, tidak ada pengobata
n jangka panjang. Pada penderita asma mild intermitten, menggunakan pilihan obat gluko
kortikosteroid inhalasi dan didukung oleh Teofilin, kromones, atau leukotrien. Dan untuk
asma moderate persisten, menggunakan pilihan obat β.
Berikut penjelasan tentang obat-obat pengontrol asma :
• Glukokortikosteroid Inhalasi
Jenis obat ini digunakan selama satu bulan atau lebih untuk mengurangi gejala inflamasi
asma. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru, mengurangi hiperresponsive dan mengur
angi gejala asma dan meningkatkan kualitas hidup.
Obat ini dapat menimbulkan kandidiasis orofaringeal, menimbulkan iritasi pada bagian sa
luran napas atas dan dapat memberikan efek sistemik, menekan kerja adrenal atau mengu
rangi aktivitas osteoblast.
• Glukokortikosteroid Oral
Mekanisme kerja obat dan fungsi obat ini sama dengan obat kortikosteroid inhalasil. Oba
t ini dapat menimbulkan hipertensi, diabetes, penekanan kerja hipothalamus-pituitary dan
adrenal, katarak, glukoma, obaesitas dan kelemahan
• Kromones (Sodium Cromogycate dan Nedocromyl Sodium)
Obat ini dapat menurunkan jumlah eosin bronchial pada gejala asma. Obat ini dapat men
urunkan gejala dan menurunkan reaksi hiperresponsive pada imun nonspecific. Obat ini d
apat menimbulkan batuk-batuk pada saat pemakaian dengan bentuk formulasi powder.
• β2-Agonist Inhalasi
Obat ini berfungsi sebagai bronkodilator selama 12 jam setelah pemakaian. Obat ini dapa
t mengurangi gejala asma pada waktu malam, meningkatkan fungsi paru. Obat ini dapat
menimbulkan tremor pada bagian musculoskeletal, menstimulasi kerja cardiovascular dan
hipokalemia
• β2-Agonist Oral
Obat ini sebagai bronkodilator dan dapat mengontrol gejala asma pada waktu malam. Ob
at ini dapat menimbulkan anxietas, meningkatkan kerja jantung, dan menimbulkan tremor
pada bagian muskuloskeletal (GINA, 2005).
• Teofiline
Obat ini digunakan untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dengan
merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal. Obat ini da
pat menyebabkan efek samping berupa mual, muntah, diare, sakit kepala, insomnia dan i
ritabilitas. Pada level yang lebih dari 35 mcg/mL menyebabkan hperglisemia, hipotensi, a
ritmia jantung, takikardi, kerusakan otak dan kematian.
• Leukotriens
Obat ini berfungsi sebagai anti inflamasi. Obat ini berfungsi untuk mengurangi gejala ter
masuk batuk, meningkatkan fungsi paru dan menurunkan gejala asma (GINA, 2005).
Berikut penjelasan tentang obat-obat meringankan (reliever) asma:
• β2-Agonist Inhalasi
Obat ini bekerja sebagai bronkodilator. Obat ini digunakan untuk mengontrol gejala asma,
variabilitas peak flow, hiperresponsive jalan napas. Obat ini dapat menstimulasi kerja ja
ntung, tremor otot skeletal dan hipokalemia (GINA, 2005).
• β2-Agonist Oral
Obat ini sebagai bronkodilator. Obat ini dapat menstimulasi kerja jantung, tremor otot sk
eletal dan hipokalemia (GINA, 2005).
• Antikolinergic
Obat ini sebagai bronkodilator. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru. Obat ini dapat
menyebabkan mulut kering dan pengeluaran mucus (GINA, 2005).
e. Metode Pengobatan Alternative
Metode pengobatan alternative ini sebagian besar masih dalam penelitian. Buteyko merup
akan salah satu pengobatan alternative yang terbukti dapat menurunkan ventilasi alveolar
terhadap hiperventilasi paru penderita asma, selain itu memperbaiki gejala yang ditimbul
kan asma. Buteyko ini merupakan tehnik bernapas yang dirancang khusus untuk penderit
a asma dengan prinsip latihan tehnik bernapas dangkal (GINA, 2005).

f. Terapi Penanganan Terhadap Gejala


Terapi ini dilakukan tergantung kepada pasien. Terapi ini dianjurkan kepada pasien yang
mempunyai pengalaman buruk terhadap gejala asma, dan dalam kondisi yang darurat. Pe
natalaksanaan terapi ini dilakukan di rumah penderita asma dengan menggunakan obat br
onkodilator seperti: β2 -agonist inhalasi dan glukokortikosteroid oral.
g. Pemeriksaan Teratur
Penderita asma disarankan untuk memeriksakan kesehatannya secara teratur kepada tim
medis. Pemeriksaan teratur berfungsi untuk melihat perkembangan kemampuan fungsi par
u.
Dalam penatalaksanaan asma, pola hidup sehat sangat dianjurkan. Pola hidup sehat akan
sangat membantu proses penatalaksanaan asma. Dengan pemenuhan nutrisi yang memada
i, menghindari stress, dan olahraga atau yang biasa disebut latihan fisik teratur sesuai tol
eransi tubuh (The Asthma Foundation of Victoria, 2002).
Pemenuhan nutrisi yang memadai dan menghindari stress akan menjaga penderita asma d
ari serangan infeksi dari luar yang dapat memperburuk asma dengan tetap menjaga kesta
bilan imunitas tubuh penderita asma (The Asthma Foundation of Victoria, 2002).
Latihan fisik dapat membuat tubuh menjadi lebih bugar, sehingga tubuh tidak menjadi le
mas. Latihan fisik dapat merubah psikologis penderita asma yang beranggapan tidak dapa
t melakukan kerja apapun, anggapan ini dapat memperburuk keadaan penderita asma. Se
hingga dengan latihan fisik, kesehatan tubuh tetap terjaga dan asupan oksigen dapat ditin
gkatkan sejalan dengan peningkatan kemampuan latihan fisik (The Asthma Foundation of
Victoria, 2002)

G. Inhaler

Inhaler merupakan sebuah alat yang digunakan untuk memberikan obat ke dalam tubuh
melalui paru-paru. Hal ini terutama digunakan dalam pengobatan asma.
Yang paling umum adalah MDI (Metered Dose Inhaler) yang diberi tekanan udara dan d
iukur dosis pengisapnya. Pada MDI, obat-obatan biasanya disimpan dalam bentuk larutan
yang diberi tekanan udara dalam tabung kecil yang berisi propellan, meskipun mungkin
juga bisa dalam bentuk suspensi. Prosedur yang benar untuk menggunakan MDI adalah p
ertama, mengambil nafas dan keluarkan sepenuhnya, masukkan pompa ke dalam mulut k
emudian ambil nafas, tekan ujung tabung untuk melepaskan obat.

Cara penggunaan :
1. MDI menghasilkan kadar tertentu obat PPOK dalam bentuk aerosol. MDI memungkink
an bagi Anda untuk menghirup obat PPOK Anda, bukan minum pil. Dengan demikian, o
bat PPOK anda kemudian langsung menuju ke paru-paru Anda
2. Sebelum menggunakan MDI, lepaskan tutup mulut dan kocok secara menyeluruh. Jika
Anda belum menggunakan inhaler selama seminggu atau lebih, atau itu adalah pertama
kalinya anda menggunakan inhaler, semprot ke udara pertama untuk memeriksa bahwa ia
bekerja.
3. Ambil napas panjang beberapa kali dan kemudian bernapas keluar dengan lembut.
4. Segera tempat corong di mulut Anda dan menempatkan Anda di sekitar gigi itu (tidak
di depan dan jangan digigit), dan segel bibir Anda di sekitar mulut, memegang di antar
a bibir Anda.
5. Mulai untuk bernapas dalam perlahan dan me ndalam melalui corong telepon. Ketika
Anda bernapas dalam, secara bersamaan tekan ke bawah tabung inhaler untuk melepaska
n obat. Satu siaran pers satu kali semprotan obat.Lanjutkan bernapas dalam-dalam untuk
memastikan obat masuk ke paru-paru Anda.
6. Tahan nafas Anda selama 10 detik atau selama Anda nyaman bisa, sebelum bernapas
perlahan-lahan.
7. Jika Anda perlu mengambil puff lain, tunggu selama 30 detik.
8. kocok inhaler Anda lagi kemudian ulangi langkah 2 sampai 6.
9. Ingatlah untuk membilas mulut Anda secara menyeluruh dengan a ir setelah setiap kali
digunakan untuk membantu mengurangi efek samping mengganggu.

Alergi
Alergi adalah reaksi tubuh terhadap suatu substansi/zat/materi (alergen) yang pada umum
nya tidak menunjukan pengruh berbahaya pada kebanyakan orang, dapat terkena kontak
alergen pada lingkungan berbeda dan cara yang berbeda yaitu lewat pernafasan, makanna,
minuman, sentuhan. Bisa pula mnedekati atau dimasuki alergen.
Alergi tidak memebahaayakan keselamatan jiwa. Namun, hasil penelitian menunjukkan b
ahwa kejadian alergi saluran pernapasan seperti asma dan rhinitis dalam dua piluh tahun
terakhir terus meningkat. Bahkan diperkirakan, alergi dialami oleh 30-35% populasi duni
a.
Hasil penelitian pun menunjukkan bahwa alergi saluran pernapasan yang paling umum te
rjadi adalaah rhinitis dengan gejala hidung berlendir, bersin, dan gatal; dialami 20% pend
uduk dunia. Sementara, asma-jenis alergi yang pertumbuhannya tercepat-diderita anak-ana
k dengan jumlah dua kali lipat dari pada orang dewasa.

Berbagai tanda atau gejala bisa ditimbulkan akibat alergi, dan jenisnya pun berbeda-beda.
Lalu bagaimana cara Anda mengetahui jika anak Anda terkena alergi sesuatu? Beberapa
penjelasan di bawah ini bisa Anda gunakan untuk melihat apakah si kecil terkena alergi
atau tidak.

a. Alergi debu. Debu adalah salah satu penyebab paling umum dari suatu alergi. Debu m
erupakan hal yang paling sering dijumpai di mana pun dan kapa npun. Di dalam debu te
rdapat jutaan bakteri serta virus yang dapat menyerang anak. Debu sendiri banyak terdap
at di rumah, seperti pada tempat tidur, meja, karpet, dan barang-barang. Jika anak terken
a alergi debu, rajinlah untuk melap alat rumah tangga yang bisa membuat alergi si kecil
kambuh.
b. Alergi makanan. Beberapa makanan seperti susu, gandum, kacang-kacangan, telur, ika
n, seafood dan kerang bisa menimbukan alergi pada anak. Beberapa gejala dapat timbul
akibat alergi ini seperti, muntah, gatal-gatal, sakit perut, eksim, sesak nafas, sakit perut,
bahkan bisa menyebabkan kematian (jika alergi sudah parah).
c. Alergi hewan peliharaan. Alergi ini sering sekali terjadi jika Anda memelihara hewan
di dalam rumah. Kucing atau anjing dan beberapa hewan lain (terutama yang berbulu) bi
sa menimbulkan gejala asma atau saluran pernafasan. Biasanya alergi ini dipicu oleh bul
u hewan.
d. Alergi musim. Alergi ini bisa muncul jika si kecil tidak tahan terhadap cuaca dingin
maupun panas. Gejala yang timbul akibat alergi ini pun hampir sama dengan yang terjad
i pada alergi makanan, yang membedakan biasanya hanya pemicunya saja.
e. Sengatan serangga. Pada beberapa anak sengatan serangga pada tubuh mereka dapat m
enyebabkan bengkak, kemerahan atau gatal pada daerah yang digigit. Namun, pada anak
yang alergi terhadap sengatan serangga, gejala yang timbul bisa lebih parah daripada itu.
Akibat sengatan serangga dapat memicu reaksi lebih parah yang dikenal dengan anafilak
sis. Anafilaksis bisa mengancam jiwa si kecil dan tanda-tanda yang ditimbulkan antara la
in kehilangan kesadaran, sesak nafas berat, ruam kulit yang parah, mual dan muntah, sert
a pembengkakan saluran pernafasan yang dapat menyebabkan sulit bernafas.

f. Alergi rhinitis. Gejala yang ditimbulkan meliputi hidung meler dan gatal, mata berair,
gatal, sesak nafas (seperti asma) dan bengkak.
g. Alergi obat. Beberapa jenis obat yang berfungsi untuk mengobati infeksi umumnya da
pat menyebabkan reaksi alergi pada anak. Jenis obat yang dijual bebas juga dapat menim
bulkan alergi. Bicaralah dengan dokter mengenai alergi obat anak sebelum dokter menuli
skan resep.
h. Dermatitis atopik. Kondisi ini dapat menimbulkan eksim pada kulit si kecil yang dapa
t menyebabkan kulit gatal, merah, dan pengelupasan pada kulit.
i. Bahan/zat kimia. Bahan kimia yang terkandung dalam deterjen, pewangi atau parfum b
isa menimbulkan ruam pada anak yang alergi terhadap bahan kimia. Pewarna, pembersih
rumah tangga, dan pestisida yang digunakan menyiram tanaman atau rumput di rumah j
uga dapat menyebabkan reaksi alergi pada beberapa anak.

Sistem kekebalan tubuh memproduksi antibodi berupa protein yang berbeda-beda, seperti
IgG, IgA, dan IgM untuk melawan bakteri dan virus. Jika alergi, sistem kekebalan meni
ngkatkan kinerjanya dan memproduksi antibodi. Antibodi yang bereaksi terhadap alergen
adalah IgE. Antibodi Ige mengikat dan bereaksi padaa permukaaan sel tertentu bernama
“mast cell” ( sel masta), sel tersebut melepaskan unsur histamin, yang mengakibatkan pe
rubahan di beberapa bagian tubuh, misalnya timbul bentol, pembengkakan lapisan hidung,
dan peningkatan produksi mukus (lendir pada hidung/ingus).

Orang yang alergi cenderung lebih sensitif terhadap baerbagai iritan “normal” : Udara di
ngin, cuaca lembap, Perubahan suhu dan kelembapan , Asap rokok atau asap pembakara
n, Bau menyengat, Polusi, Olahraga (aktivitas fisik).

Pilek dan alergi sulit dibedakan, beberapa perbedaan pilek biasa dan alergi saluran perna
pasan :
a. Pilek : gejalanya sekresi mukus bervariasi mulia dari encer hingga kuning kental. Hid
ung mata atau tenggorokan atau telinga tidak gatal. Bersin terjadi sewaktu-waktu. Masa t
erjadi gejala kurang dari dua minggu.
b. Alergi : gejalanya sekresi mukus encer. Timbul rasa gatal di hidung/mata/tenggorokan/
telinga. Bersin sering terjadi. Masa terjadinya gejala yaitu leboh dari dua minggu.

Riset menunjukkan bahwa alergi lebih banyak disebabkan oleh keturunan dari keluarga;
meliputi alergi makanan, alergi pada hidung (rhinitis), atau pada dada (asma) dan alergi
kulit (eksem). Sementara itu, alergi yang bukan karena keturunan diantaranya bentol-bent
ol, reaksi obat, gigitan serangga, dan alergi terhadaap karet.
Asma dan rhinitis adalah dua penyakit yang berhubungan dengan alaat pernapasan ( bron
kus = jalan napas) yang gejalanya menyerupai pilek biasa. Pengidap asma biasanya men
galami masalah pernapasan ketika terpapar zat asing. Pada saat itu saluran naps menyem
pit, menyebabkan sesak napas, terutama ketika mengeluarkan napas ( ekspirasi). Sesak na
pas pada pengdap asma terjadi saat mengeluarkan napas.
Karena saluran napas menyempit pada satat mengeluarkan napas, sering terdengar bunyi
ngik ngik. Asma adalah penyakit saluran napas yang ditandai dengan adanya penyempita
n jalan napas. Sesak napas adalah gejala munculnya serangan karena jalan napas menye
mpit.
Asma terjadi sebagai suatu reaksi alergi yang disebabkan oleh alergen zat asing masuk k
e tubuh melalui saluran napas, yang kemudian menimbulkan reaksi alergi berupa pengeru
tan jalan napas. Pengerutan ini menyempitkan diameter sakulan napas akibat kontraksi ot
ot. Terjadilah pembengkakan selaput lendir ditempat itu sehingga produksi lendir bertamb
ah banyak, hal ini terjadi karena respons terhadap cuaca dingin.

RHINITIS ALERGI

Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasie
n atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskann
ya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut
(von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE.
Berdasarkan penyebabnya, ada 2 golongan rhinitis :
1. Rhinitis alergi ( disebabkan oleh adanya alergen yang terhirup oleh hidung.
2. Rhinitis non alergi ( disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu : Rhinitis vasomoto
r, rhinitis medicamentosa, rhinitis struktural
Menurut WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjad i:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, bero
lahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Etiologi rinitis alergi


Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi ri
nitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen
inhalan pada dewasa dan ingestan pada anakanak. Pada anak-anak sering disertai gejala
alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbe
da tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alerge
n yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rini
tis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama
tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, bin
atang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya de
bu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelemba
ban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jam
ur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspe
sifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan pe
rubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telu
r, coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, mi
salnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu :

1.Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlan
gsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Munculnya segera dalam 5-
30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin,
rinore karena hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan pel
epasan amin vasoaktif seperti histamin.

2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangs
ung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa pe
maparan tambahan. Hal ini berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, n
eutrofil, basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi antigen yang menyebabk
an pembengkakan, kongesti dan sekret kental.

Patogenesis Rinitis Alergi


Patofisiologi rinitis alergi dapat dibedakan ka dalam fase sensitisasi dan elisitasi. Fase eli
sitasi dibedakan atas tahap aktivasi dan tahap efektor.

a. Fase sensitisasi diawali dengan paparan alergen yang menempel dimukosa hidung bers
ama udara pernapasan. Alergen tersebut ditangkap kemudian dipecah oleh sel penyaji ant
igen (APC) seperti sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag menjadi peptida rantai pe
ndek. Hasil pemecahan alergen ini akan dipresentasikan di permukaan APC melalui mole
kul kompleks histokompatibilitas mayor kelas II (MHC kelas II). Ikatan antara sel penyaj
i antigen dan sel Th 0 (sel T helper) melalui MHC-II dan reseptornya (TcR-CD4) me
micu deferensiasi Sel Th0 menjadi sel Th2. Beberapa sitokin yaitu IL3, IL4, IL5,
IL9,IL10, IL13 dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GMCSF) akan
dilepaskan.
IL-4 dan IL-13 selanjutnya berikatan dengan reseptornya di permukaan sel limfosit B, se
hingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE) yang
akan dilepaskan di sirkulasi darah dan jaringan sekitarnya. IgE di sirkulasi darah akan m
asuk ke jaringan dan berikatan dengan reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basof
il (sel mediator membentuk ikatan IgE-sel mast. Individu yang mengandung komplek t
ersebut disebut individu yang sudah tersensitisasi, yang menghasilkan sel mediator yan
g tersensitisasi.
b. Fase aktivasi bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan menyebabkan terjadinya degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia ya
ng sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikelu
arkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (L
T D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sit
okin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Fact
or) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mu
kosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga
terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain hi
stamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hi
dung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFL, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai
disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.
Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosi
nofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin s
eperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung
adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinop
hilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein
(MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang
merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Ru
smono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan pe
nebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa
dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar k
eadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-mener
us (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibe
l, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa
hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang sec
ara garis besar terdiri dari :
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik
dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi b
erlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sist
em imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat s
ementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.Gell dan Coombs
mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate
hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe
4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan
yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasaka
yan, Rusmono, 2008).

Gejala klinik
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya ber
sin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak den
gan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses members
ihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari
5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersi
n patologis (Soepardi, Iskandar, 2004).
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung
termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidun
g akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute),
pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak.
Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata,
kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga te
rmasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tu
ba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa ja
ringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Ca
uwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001).
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi,
penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami
lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).

Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemerik
sa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yan
g khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore)
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersu
mbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Ira
wati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap)
beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik da
n herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kond
isi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila
terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung da
n mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta be
rair maka dinyatakan positif.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu baya
ngan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Ir
awati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintan
g pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering
digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute).
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau
livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya
kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Sel
ain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainn
ya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).

3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemer
iksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai norm
al, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan
RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Ass
ay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan al
ergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (I
rawati, 2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakuka
n untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang b
ertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi sert
a dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000).
Penatalaksanaan
1. Terapi Non-farmakologi
Terapi non-farmakologi yang paling ideal adalah dengan menghindari alergen penye
babnya (avoidance) dan eliminasi.

2. Terapi Farmakologi (Terapi Simptomatis)


a. Medikamentosa- Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimet
ik, kortikosteroid dan antikolinergik topikal.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1. Antagonis reseptor histamin H1
berikatan dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasi reseptor, yang mencegah ikatan dan ker
ja histamin. Merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini per
tama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi d
engan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 ber
sifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) d
an plasenta serta mempunyai efek kolinergik.
Generasi kedua lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul lebih besar sehingg
a lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma dan berkurang kemampuann
ya melintasi otak. Generasi kedua AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan farm
akokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 ja
m) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang ef
ektif dalam mengatasi kongesti hidung.
Farmakokinetik AH generasi kedua (Cetirizin dan Loratadin).
a. Preparat simpatomimeti
Golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kom
binasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh un
tuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Beraksi pada
reseptor adrenergik pada mukosa hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan
mukosa yang membengkak, dan memperbaiki pernapasan.

1. Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat simpatom
imetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien
dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi,
berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran muk
osa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat di
berikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1
oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.
2. Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin)
juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Ob
at ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus di
batasi kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampin
gnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal tida
k dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara d
osis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kar
diovaskular dan sistem saraf pusat

b. Preparat Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai penyakit alergi oleh kar
ena sifat anti inflamasinya yang kuat. Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid diperan
tarai oleh pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Telah diketahui bahwa
kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti interleukin IL-1 sampai IL-6,
tumor nekrosis factor-α (TNF-α), dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor
(GM-CSF). Kortikosteroid juga menghambat sintesis khemokin IL-8, regulated on activa
tion normal T cell expressed and secreted (RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory
protein- 1α (MIP-1α), dan monocyt chemoattractant protein-1.

1. Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Oba
t ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif
terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terl
ihat setelah beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak diperte
ntangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ad
a laporan tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka p
anjang. Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan d
ianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik
dengan keluhan hidung tersumbat yang menonjol.

2. Kortikosteroid oral/IM
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon, pre
dnisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi da
n hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkink
an, kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral
/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai b
atas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pa
da anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal da
n inhalasi.
Sodium sumolin
Sebagai suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan
mediator termasuk histamin dengan cara memblokade pengangkutan kalsium yang dirang
sang antigen melewati membran sel mast.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi r
inore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).
Anti-leukotrien seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, akan memblok reseptor
CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam komb
inasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-o
bat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.

c. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila kon
ka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

d. Imunoterapi - Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan medikame


ntosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak dapat dikompr
omi. Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi juga meningkatkan titer antibo
di IgG spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi & netralisasi. Desensitisasi dan
hiposensitisasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejal
anya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi ti
dak membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan (Mulyarjo, 2006).

Bila ada konjungtivitis, tambahkan :


o Penghambat H1 oral
o Atau penghambat H1 Intra-okuler
o Atau kromolin intra-okuler
o (atau larutan garam fisiologis)

Pertimbangkan Imunoterapi spesifik


Bila ada perbaikan turunkan ke tahap sebelumnya, kalau memburuk naikkan ke tahap ber
ikutnya.
Komplikasi
Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip hid
ung.
Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
Sinusitis paranasal.
Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama khususnya pa
da anak-anak.
Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar mendapat asma b
ronkial.

Daftar Pustaka :

Adnyana, I Ketut dkk, 2008. ISO Farmakoterapi. PT.ISFI.Jakarta

Fairawan, Sulfan.2008.Hubungan antara tingkat pengetahuan tentang penyakit asm


a dengan sikap penderita dalam perawatan asma pada pasien rawat jalan di balai keseh
atan paru masyarakat (BBKPM).Skripsi.Surakarta

Maryono.2009.hubungan antara faktor lingkungan dengan kekambuhan asma bron


chial pada klien pasien rawat jalan di poliklinik paru instalasi rawat jalan RSUD.DR M
OEWARDI Surakarta.Skripsi
Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 135-142.

ARIA -World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on as
thma. J allergy clinical immunology : S147-S276.

Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C., 1994. Ear, Nose, and Throat Disease. Edisi
kedua. Thieme. New York: 242-260.

Benjamini E., Coico R., Sunshine G., 2000. Immunology: A Short Course. 4th ed.
John Wiley & sons. Available from: URL http:// www.wiley.com. [Accessed 01 March
2010].
Bousquet J, Cauwenberge P V., Khaltaev N., 2001. ARIA workshop group.
World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma.J allergy c
linical immunol : S147-S276.

Harmadji S, 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam : Kumpula
n Makalah Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit Tinggi.

Hassan, rusepno dkk. 1985. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 2. Jakarta: Info Medika

Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam :


Kumpulan Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy andClinical Immunology”,
Divisi Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta:55-65.

Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI,.

Kaplan AP dan Cauwenberge PV, 2003. Allergic Rhinitis In : GLORIA Global R


esources Allegy Allergic Rhinitis and Allergic Conjunctivitis, Revised Guidelines, Milwa
ukeem USA:P, 12

Mulyarjo, 2006. Penanganan Rinitis Alergi Pendekatan Berorientasi pada Simpto


m, Dalam: Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaa
n Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral, Masile
ktomi dan Septorinoplasti, Malang : pp10, 2, 1-18.

Roland P, McCluggage CM., Sciinneider GW., 2005. Evaluation and Managemen


t of Allergic Rhinitis : a Guide for Family Physicians. Texas Acad. Fam. Physicians. 1-
15 .

Soepardi E., Iskandar N, 2004. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi k
elima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: UI
Sumarman, Iwin. 2000. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan Rin
itis Alergi, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-17.
Von Pirquet C. Klinische studien uber Vaccination und vaccinale allergie. ... J. I
mmunol 1986. 133: 1594-1600. (Accepted 12 March 1986).

Anda mungkin juga menyukai