Anda di halaman 1dari 16

TUGAS KELOMPOK

ANALISIS KASUS BUVANEST SPINAL


PRODUKSI KALBE FARMA

Dosen : Bpk. Imam Bagus Sumatri, S.Si, M.Si, Apt.


Mata Kuliah Etik & Disiplin Apoteker

Oleh :
1. Amirullah Harahap
2. Hel Amir
3. Rino Pranoki
4. Veronica Yosadora Saragih

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER PROGRAM PROFESI


INSTITUT KESEHATANDELI HUSADA DELI TUA
TAHUN 2019
1. Kronologis Kasus

Dua orang pasien di RS Siloam Karawaci meninggal dunia usai mendapat


injeksi Buvanest Spinal. Kini, obat tersebut sudah ditarik dari peredaran oleh
pihak produsen, Kalbe Farma.

Kronologi meninggalnya dua pasien tersebut bermula pada tanggal 11


Februari 2015, kedua pasien mendapatkan injeksi Buvanest Spinal. Satu pasien
mendapat injeksi Buvanest untuk tindakan Sectio Caesarea (operasi
caesar).Sedangkan, satu pasien lain terkait dengan kasus urologi, di mana yang
bersangkutan sedang melakukan cek kandung kemih lewat uretra. Setelah
pemberian injeksi tersebut, kedua pasien mengalami kejang dan panas. Sumber
lain juga mengatakan pasien mengalami gatal-gatal.

Kemudian, pasien mendapatkan perawatan intensif di ICU. Kurang dari


waktu 24 jam, pada 12 Februari 2015, kedua pasien meninggal. Untuk pasien
operasi caesar, diketahui sang bayi selamat. Pada tanggal 12 Februari itu pula,
Kalbe Farma menarik 2 produk yakni seluruh batch Buvanest Spinal 0,5 persen
Heavy 4 ml dan Asam Tranexamat Generik 500 mg/Amp 5 ml dengan nomor
batch 629668 dan 630025. Dalam suratnya untuk Otoritas Jasa Keuangan, Kalbe
menyebut langkah ini sebagai komitmen untuk bertanggung jawab atas segala
produk dan layanannya.

Dihubungi detikHealth pada Selasa (17/2/2015), Heppi Nurfianto, Kepala


Hubungan Masyarakat RS Siloam Karawaci membenarkan bahwa dua pasien di
RS Siloam Karawaci meninggal setelah mendapat suntikan salah satu dari obat
yang ditarik Kalbe.

"Iya benar, meninggal setelah pemberian Buvanest Spinal. Ada 2 kasus, obsgyn
dan urologi. Kita sedang tunggu investigasi dari Kemenkes dan BPOM, paling
dalam 1-2 hari ada hasilnya," kata Heppi.

Ada indikasi, Buvanest yang disuntikkan berisi obat lain yakni Kalnex
(Asam Tranexamat). Buvanest merupakan injeksi anestesi yang mengandung
Bupivacaine 5 mg/mL, sedangkan Asam Tranexamat merupakan obat untuk
mengatasi perdarahan. Keduanya merupakan obat injeksi dengan kemasan
berbentuk ampul atau vial.

2. Berita Mengenai Kasus Buvanest


3. Pembahasan Kasus

a. Sudut Pandang Menurut PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan


Kefarmasian
Pasal 10 menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan
Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 yakni pekerjaan kefarmasian dalam
produksi sediaan farmasi harus memiliki Apoteker penanggung jawab & dapat
dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga TeknisKefarmasian, harus
memenuhi ketentuan Cara Pembuatan yang Baik yang ditetapkan oleh Menteri.

b. Sudut Pandang Kode Etik Profesi


Kode etik apoteker merupakan salah satu pedoman untuk
membatasi,mengatur,dan sebagai petunjuk bagi apoteker dalam menjalankan
profesinya secara baik dan benar serta tidak melakukan perbuataN tercela.
Berdasarkan Permenkes No. 184 tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker
dilarang melakukan perbuatan yang melanggar kode etik apoteker. Oleh karena itu
apoteker harus memahami risiko kode etika poteker.
Kewajiban apoteker berdasarkan kode etik terbagi menjadi 3 bagian utama
yaitu :
1. Kewajiban apoteker terhadap pasien
2. Kewajiban apoteker terhadap teman sejawat
3. Kewajiban apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lain.
Kasus ini sanggat bersinggungan dengan tugas apoteker terhadap pasien,
dimana dikatakan pada :
Pasal 1
Seorang Apoteker harus menjungjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan Sumpah/Janji Apoteker
Pasal 2
Seorang Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati
dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia
Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai
kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang
teguh pada prinsip kemanusian dalam melaksanakan kewajibannya.

Pasal 9
Berkaitan dengan Kewajiban Apoteker Terhadap Pasien dikatakan bahwa
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus
mengutamakan kepentingan masyarakat. Menghormati hak azasi pasien
dan melindungi makhluk hidup insani

c. Melanggar sumpah Apoteker


Dalam kasus ini apoteker sudah melanggar kode etik sumpah apoteker
sebagaimana yang disebutkan dibawah
Sumpah Apoteker
1. Saya bersumpah/berjanjiakan membaktikan hidup saya guna
kepentingan perikemanusiaan terutama di bidang kesehatan.
2. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena
pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai apoteker.
3. Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan
kefarmasian saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum
perikemanusiaan.
4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai
dengan martabat dan tradisi luhu rjabatan kefarmasian.
5. Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan
sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan
keagamaan, kebangsaan, kesukuan, kepartaian atau kedudukan sosial.
6. Saya ikrar sumpah /janji ini dengan sungguh-sungguh dengan penuh
keinsyafan.
d. Tidak sesuai landasan peraturan BPOM (CPOB 2018)
Dalam kasus ini tidak sesuai dengan peraturan Badan pengawas obat dan
makanan nomor 13 tahun 2018 tentang perubahan atas peraturan kepala
badan POM HK.03.1.33.12.12.8195 tahun 2012 tentang penerapan
pedoman cara pembuatan obat yang baik.
CPOB adalah bagian dari pemastian mutu yang memastikan bahwa obat
dibuat dan di kendalikan secara konsisten untuk menapai standar mutu
yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan persyaratan dalam izin edar
dan spesifikasi produk.

e. Pengkajian Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


Pasal 29
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui mediasi.
Pasal 58 ayat 1
Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.

f. Melanggar UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


Pasal 4a.
Hak konsumen adalah :
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.

4. Permasalahan Kasus & Solusi

a. Permasalahan Kasus

Akhir dari penyelesaian kasus ini, setelah BPOM melakukan investigasi internal
dan kajian langsung kepada PT. Kalbe Farma melakukan sanksi administrasi
berupa penarikan & pembatalan nomor ijin edar, penyegelan, menghentikan
pendistribusian seluruh produk yang di produksi pada line 6, baik produk yang
belum beredar maupun menarik (me-recall) 26 produk lainnya yang sudah beredar
untuk dilakukan batch review.

Menurut Roy Sparingga (Kepala BPOM saat itu), PT. Kalbe Farma tidak ada
ganti rugi ataupun sanksi pidana. Dengan alasan BPOM belum menemukan unsur
kesengajaan, sehinggga kasus ini belum diarahkan ke penyelidikan pidana.

Sementara itu, Kemenkes memberikan teguran pada Rumah Sakit Siloam


Karawaci Tangerang kaena tidak melaporkan insiden secepatnya.

Dalam hal ini, kami berpendapat kasus ini seharusnya bisa masuk kedalam
ranah pidana. Terutama apoteker penanggung jawab produksi obat Buvanest
Spinal diminta pertangung jawabannya karena sudah melanggar Undang-undang
dan pelanggaran kode etik. Karena dalam kasus ini menyebab kan nyawa
seseorang tidak bisa di selamatkan serta dampak lain nya adalah banyak kerugian
yang di sebabkan oleh kasus ini, seperti hal nya perusahaan, rumah sakit serta
korban itu sendiri.

b. Solusi atau Tindakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh apoteker?


1. Cari komitmen pimpinan terhadap mutu.
2. Lakukan validasi proses.
3. Melakukan subsidi silang untuk menutup kerugian pabrik/jual neto aja.
4. Efektivitas produksi/menekan biaya produksi. Ganti dengan bahan
tambahan yang lebih murah tapi tidak mengubah kualitas.
5. Lakukan upaya diplomasi antara petinggi pabrik (pentingnya GP-Farmasi)
dengan pemerintah terkait regulasi.

1. KewajibanUmum
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha
mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi
luhur jabatan kefarmasian.
2. Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat
Pasal 10
Setiap Apoteker harus memperlakukan Teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan.
Pasal 11
Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk
mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik.

Pasal 12
Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan
kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat
jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam
menunaikan tugasnya.
3. Kewajiban apoteker terhadap perusahaan dan tanggung jawab
menjalankan CPOB yang baik.
Peraturan Badan pengawas obat dan makanan nomor 13 tahun 2018
tentang perubahan atas peraturan kepala badan POM HK.03.1.33.12.12.8195
tahun 2012 tentang penerapan pedoman cara pembuatan obat yang baik. Dimana
CPOB bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten, memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB
mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu
Foto Kelompok

.3 Antitukak
Tukak peptik dapat terjadi di lambung, duodenum, esofagus bagian bawah, dan stoma
gastroenterostomi (setelah bedah lambung).

Penyembuhan dapat dibantu dengan berbagai cara seperti penghentian kebiasaan


merokok dan minum antasida dan minum obat penghambat sekresi asam, namun sering
terjadi kambuh jika pengobatan dihentikan. Hampir semua tukak duodenum dan
sebagian besar tukak lambung yang tidak disebabkan oleh AINS, penyebabnya adalah
bakteri Helicobacter pylori. Pengobatan infeksi Helicobacter pylori dan tukak yang
disebabkan oleh AINS akan dibahas di bawah ini.

Infeksi Helicobacter pylori

Penyembuhan tukak lambung dan tukak duodenum dapat dilakukan dengan cepat
melalui eradikasi Helicobacter pylori. Direkomendasikan untuk memastikan terlebih
dahulu adanya H. pylori sebelum memulai terapi eradikasi. Penggunaan kombinasi
penghambat sekresi asam dengan antibakteri sangat efektif dalam eradikasi H.pylori.
Infeksi kambuhan jarang terjadi. Kolitis karena penggunaan antibiotik merupakan risiko
yang tidak umum terjadi.

Regimen terapi satu minggu yang terdiri dari 3 jenis obat yaitu penghambat pompa
proton, amoksisilin dan klaritromisin atau metronidazol, dapat mengeradikasi H.pylori
pada 90 % kasus. Setelah 1 minggu, obat dihentikan, kecuali terjadi komplikasi tukak
seperti hemoragi atau perforasi.

Resistensi terhadap klaritromisin atau metronidazol lebih sering terjadi dibandingkan


terhadap amoksisilin dan hal ini dapat terjadi pada saat terapi. Karena itu, regimen yang
terdiri dari amoksisilin dan klaritromisin direkomendasikan sebagai terapi awal eradikasi
dan regimen yang terdiri dari amoksisilin dan metronidazol untuk kegagalan terapi
eradikasi. Ranitidin bismut sitrat dapat digunakan sebagai pengganti penghambat
pompa proton. Regimen lain, termasuk kombinasi klaritromisin dan metronidazol sangat
baik digunakan pada keadaan tertentu. Kegagalan terapi biasanya disebabkan oleh
resistensi bakteri atau kepatuhan pasien yang rendah.
Regimen terapi dua minggu yang terdiri dari 3 jenis obat memberikan kemungkinan
yang besar dalam kecepatan eradikasi dibandingkan regimen terapi satu minggu, tetapi
efek samping sering terjadi dan rendahnya kepatuhan pasien akan lebih sering
ditemukan.

Regimen 2 minggu terapi yang terdiri dari 2 jenis obat yaitu penghambat pompa proton
dan antibakteri tunggal tidak direkomendasikan.

Regimen 2 minggu menggunakan trikalium disitratobismutat dengan penghambat


pompa proton dan dua antibakteri mungkin memiliki peran pada penanganan kasus
yang resisten setelah dilakukan konfirmasi adanya H. pylori.

Tinidazol atau tetrasiklin dapat pula digunakan untuk eradikasi H. pylori; obat-obat ini
sebaiknya dikombinasi dengan obat penghambat sekresi asam dan antibakteri lain.

Tidak ada bukti yang memadai untuk mendukung terapi eradikasi pada pasien anak-
anak, yang terinfeksi H. pylori namun tetap menggunakan AINS.

Tukak yang disebabkan oleh AINS

Perdarahan saluran cerna dan tukak dapat terjadi pada penggunaan AINS (bagian
12.1.1). Jika memungkinkan, penggunaan AINS sebaiknya dihentikan pada keadaan ini.
Pada individu yang berisiko mengalami tukak, penghambat pompa proton atau
antagonis reseptor-H2 seperti ranitidin diberikan dua kali dosis lazim, atau misoprostol
dapat dipertimbangkan untuk mencegah tukak lambung dan tukak duodenum yang
disebabkan oleh AINS; reaksi kolik dan diare dapat membatasi dosis misoprostol.

Pada pasien yang sedang dalam terapi AINS, eradikasi H. pylori tidak direkomendasikan
karena tidak akan mengurangi risiko perdarahan atau tukak akibat AINS. Akan tetapi,
pasien yang baru memulai terapi AINS jangka panjang dengan H. pylori positif atau
memiliki riwayat tukak lambung atau tukak duodenum, eradikasi H. pylori dapat
mengurangi risiko tukak.
Jika pemberian AINS dapat dihentikan pada pasien yang mengalami tukak, penghambat
pompa proton biasanya menghasilkan penyembuhan yang lebih cepat, tetapi tukaknya
dapat diterapi dengan antagonis reseptor-H2 atau misoprostol.

Jika terapi AINS perlu diteruskan, hal-hal berikut dapat dilakukan:

Atasi tukak dengan penghambat pompa proton dan selama penyembuhan tetap
dilanjutkan dengan pemberian penghambat pom proton (dosis tidak perlu dikurangi
karena dapat terjadi tukak yang bertambah parah tanpa disertai gejala)

Atasi tukak dengan penghambat pompa proton dan dilanjutkan dengan misoprostol
selama penyembuhan sebagai terapi pemeliharaan (kolik dan diare dapat terjadi, yang
memerlukan pengurangan dosis)

Atasi tukak dengan penghambat pompa proton dan kemudian ganti AINS dengan AINS
yang selektif yaitu COX-2.
Masing – masing buat powerpoint tentang spesifikasi obat (3 sediaan obat/mhs)
- Informasi Produk
Nama Obat Jadi : MELAVITA 0.1% CR 10GR

bentuk sediaan : Cream

Indikasi : Akne vulgaris, mengurangi komedo, papula & pustula.

Kemasan : Tube

Nama Pabrik : GALENIUM PHARMASIA LAB

Nomor Reg : DKL9927801129B1

No Bets : -
- QC (Pengawasan Mutu)
Berat Molekul : 300,44

Pemerian : Serbuk hablur, kuning sampai jingga muda

Kelarutan : Tidak larut dalam air, sukar larut dalam etanol dan dalam kloroform

Baku pembanding : Asam Retinoat BPFI, simpan ampul pada suhu dibawah 0¤, biarkan
mencapai suhu ruang sebelum dibuka dan gunakan isi segera setelah ampul dibuka.
(Catatan Hindari kontak dengan cahaya kuat dan gunakan alat kaca aktinik rendah pada
pelaksanaan prosedur berikut ini).

Spektrum Inframerah : Zat yang didispersikan dalam minyak mineral P menunjukkan


maksimum hanya pada bilangan gelombang yang sama seperti pada Asam Retinoat BPFI.
Rotasi Jenis : -

Susut Pengeringan : <1121> Tidak lebih dari 0,5 %, lakukan pengeringan dalam hampa
udara pada suhu ruang selama 16 jam.

Sisa Pemijaran : <301> Tidak lebih dari 0,1%

Logam Berat : <371> Metode III Tidak Lebih dari 20 bpj

Waktu Paruh :

pH : -

Penetapan kadar : Asam fosfat encer. Encerkan 10 ml asam fosfat P dengan air hingga
100 ml. Dapar fosfat Larutkan 1,38 mg natrium fosfat monobasa P dalam 1000 ml air,
atur pH hingga 3,0 dengan penambahan Asam fosfat encer. Saring dan awadaurakan.

Pengencer Campuran Air-Asam fosfat encer (9:1)

Fase gerak (Catatan Dapar fosfat dan tetrahidrofuran disaring dan diawaudarakan secara
terpisah sebelum dicampur). Buat campuran dapar fosfat -tetrahidrofuran P (58:42). Jika
perlu lakukan penyesuaian menurut kesesuaian sistem seperti tertera pada
Kromatografi.

Larutan baku Timbang saksama sejumlah Asam Retinoat BPFI, larutkan dalam
tetrahidrofuran P hingga kadar lebih kurang 0,4 mg per ml. Pipet sejumlah volume
larutan, encerkan secara kuantitatif dan jika perlu bertahap dengan campuran
tetrahidrofuran P-Pengencer (3:2) hingga kadar lebih kurang 4 mikrogram per ml.

Larutan uji Timbang saksama sejumlah krim setara dengan lebih kurang 1,0 mg asam
retinoat, masukkan kedalam suhu terukur 50 ml, tambahkan 20 ml tetrahidrofuran P.
Kocok labu, jika perlu encerkan dengan tetrahidrofuran P sampai tanda, saring.
Masukkan 5 ml filtrat kedalam labu terukur 25 ml, encerkan dengan campuran
tetrahidrofuran P-Pengencer (3:2) sampai tanda, campur dan saring.

Sistem kromatografi. Kromatograf kinerja tinggi dilengkapi drngan detektor 365 nm dan
kolom 15 cm x 3,9 mm berisi bahan pengisi L1 dengan ukuran partikel 4nm. Laju air lebih
kurang 1 ml per menit. Lakukan kromatografi terhadap Larutan baku, rekam
kromatogram dan ukur respons puncak seperti tertera pada Prosedur : simpangan baku
relatif pada penyuntikan ulang tidak lebih dari 2,0%.

Prosedur penyuntikan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih kurang 25 ml)
Larutan baku dan Larutan uji ke dalam kromatograf, rekam kromatogram dan ukur
respons puncak utama. Hitung jumlah dalam mg asam retinoat, C20H28O2, dalam krim
yabg digunakan dengan rumus :

250 C (ru/rs)
C adalah kadar Asam Retinoat BPFI dalam mikrogram per ml Larutan baku, ru dan rs
berturut turut adalah respons puncak dari Larutan uji dan Larutan baku.

Karakterisasi Tablet
(Hasil Uji Keseragaman Sediaan, Hasil Uji Karakterisasi granul, Hasil Uji keseragaman
kandungan, Hasil Uji Kekerasan Tablet, Hasil Uji Floating, Hasil Uji Kerapuhan Tablet, Uji
Mucoadhesive, Uji Disolusi).
QA (Pemastian Mutu)
Produksi
(Bahan awal, proses pembuatan, formula . Pengemasan,

Mupirocin Calsium

Berat Molekul : 1075.34

Pemerian : Serbuk putih atau hampir putih

Kelarutan : Sedikit larut dalam air, bebas larut dalam aseton, etanol dan metilen klorida.
Ini menunjukkan polimorfisme. (European Pharm)

50 mg per ml dalam Metanol. Kelarutan dalam Air, tidak kurang dari 3,0% dan tidak
lebih dari 4,5%. Kelarutan dalam Klorida, Larutkan 50 mg ke dalam campuran 1 ml Asam
Nitrat 2N dan 15 ml Metanol. Tambahkan 1 ml Silver Nitrat TS. Turbidity (Tingkat
Kekeruhan Air) tidak lebih dari yang dihasilkan oleh 0,70 ml Asam Hidroklorida (0,5%)
0,020 N. (USP 32)

Baku Pembanding : -

Spektrum Inframerah :
Rotasi Jenis : between –16 and –20

Anda mungkin juga menyukai