Anda di halaman 1dari 57

HUBUNGAN ANTARA BAKTERI ESCHERICHIA COLI PADA AIR

MINUM DENGAN KEJADIAN STUNTING


DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SEDONG
KABUPATEN CIREBON
TAHUN 2020

PROPOSAL

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh


Gelar Sarjana pada Program Studi Kesehatan Masyarakat
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan

Disusun oleh:
CHRISA MEILA PRATAMA
CMR0160068

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
KUNINGAN
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh anak balita (bayi dibawah lima tahun) akibat

kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi

sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir. Akan tetapi, kondisi

stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek

(saverely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U)

menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku. Sedangkan menurut Kementrian

Kesehatan (2015) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD / standar deviasi

(stunted) dan kurang dari -3SD (saverely stunted) (WHO-MGRS, 2006).

Ancaman permasalahan gizi di dunia ada 165 juta anak dibawah 5 tahun dalam kondisi

pendek dan 90% lebih berada di Afrika dan Asia. Target global adalah menurunkan stunting

sebanyak 40% pada tahun 2025 Untuk itu dibutuhkan penurunan 3,9% per tahun. Target global

yang tercapai adalah menurunkan stunting 39,7% dari tahun 1990 menjadi 26,7% pada tahun

2010, dalam jangka waktu 20 tahun tersebut dapat diturunkan 1,6% per tahun. Penurunan yang

sangat kecil terjadi di Afrika (40% menjadi 38%). Sedangkan penurunan yang sangat besar

terjadi di Asia (dari 49% menjadi 28%), sekitar 2,9% per tahun. Penurunan yang terbesar ada

di Tiongkok, pada tahun 1990 sebesar 30% menjadi 10% pada tahun 2011 (WHA, 2012).

Anak balita yang mengalami stunting di Indonesia, sekitar 37% (hampir 9 juta) dan di

seluruh dunia, Indonesia adalah negara dengan prevalensi stunting kelima terbesar.

Balita/Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat

kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di

masa depan dapat berisiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas
stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan

memperlebar ketimbangan (Riskesdas, 2013).

Jawa Barat sebagai provinsi prioritas dalam penanganan masalah kekerdilan (stunting).

Upaya penurunan angka stunting di Jawa Barat dinilai masih jauh dari target yang ditetapkan

pada rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020. Berdasarkan data

Riskesdas Kemenkes RI, angka prevalensi stunting di Jawa Barat sebesar 29,2%. Angka ini

hampir menyerupai angka prevalensi di tingkat Nasional, yakni 30,8% (Kemenkes, 2019).

Angka stunting di Kabupaten Cirebon mengalami kenaikan. Pada tahun 2018 kasus

stunting sebesar 8,68%, sedangkan pada tahun 2019 naik menjadi 9,01%. Menurut data

(Dinkes Kabupaten Cirebon) stunting merupakan keadaan anak gagal tumbuh sejak dalam

kandungan sampai usia 2 tahun. Akibatnya karena kekurangan gizi, sehingga menyebabkan

tinggi badan tidak sesuai dengan umurnya. Ada tiga upaya yang dilakukan guna menangani

kasus stunting yakni melalui pola asuh, pola makan, dan sanitasi air bersih. Jumlah balita di

Kecamata Sedong sebanyak 2823 balita. Prevalensi stunting di Kecamatan Sedong Kabupaten

Cirebon sebanyak 269 balita yang mempunyai status gizi indeks TB/U pendek, dan sebanyak

51 balita yang mempunyai status gizi indeks TB/U sangat pendek. Prevalensi stunting tertinggi

di Kecamatan Sedong adalah di Desa Kertawangun sebanyak 10 balita yang mempunya status

gizi indeks TB/U sangat pendek dan 29 balita yang mempunyai status gizi indeks TB/U pendek.

Jadi di Desa Kertawangun sebanyak 39 balita yang mengalami stunting (Dinkes Kab.Cirebon,

2019).

Stunting dapat terjadi karena faktor langsung maupun tidak langsung. Faktor langsung

stunting adalah nutrisi ibu saat hamil, penyakit infeksi, dan nutrisi balita sendiri. Sedangkan

untuk faktor tidak langsung dapat terjadi dari berbagai aspek. Salah satu faktor tidak langsung

penyebab stunting adalah water, sanitation, and hygiene (WASH), yang terdiri dari sumber air

minum, kualitas fisik air minum, kepemilikan jamban dan hygiene yaitu kebiasaan cuci tangan.
Sumber air minum tidak lepas dari kualitas fisik air minum. Berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No.492 / MENKES / PER / IV / 2010 tentang persyaratan

kualitas air minum, air minum yang aman bagi kesehatan apabila memenuhi persyaratan fisik,

mikrobiologi, kimiawi dan radioaktif. Parameter yang digunakan untuk melihat kualitas fisik

air yang baik yaitu memenuhi syarat tidak keruh tidak berasa, tidak berbau dan tidak berwarna

(Sinatrya, 2019).

Air adalah sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia akan lebih cepat meninggal

karena kekurangan air daripada kekurangan makanan. Dalam tubuh manusia itu sebagian besar

terdiri dari air. Tubuh orang dewasa, sekitar 55-60% berat badan terdiri dari air, untuk anak-

anak sekitar 65%, dan untuk bayi sekitar 80%. Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks

antara lain untuk minum, masak, mandi, mencuci, dan sebagainya. Menurut perhitungan WHO

di negara-negara maju setiap orang memerlukan air antara 60-120 liter perhari. Sedangkan di

negara-negara berkembang, termasuk Indonesia setiap orang memerlukan air antara 30-60 liter

perhari. Di antara kegunaan-kegunaan air tersebut yang sangat penting adalah kebutuhan untuk

minum (Notoatmodjo, 2014).

Keamanan suplai air minum terhadap mikroba dijamin dengan menggunakan

perlindungan berganda, mulai dari penampungan air hingga konsumen, untuk mencegah

kontaminasi air minum atau untuk mengurangi kontaminasi hingga ketingkat yang tidak

membahayakan kesehatan. Pada umumnya, risiko terbesar terhadap mikroba diakibatkan oleh

konsumsi air yang terkontaminasi dengan kotoran manusia atau hewan (termasuk burung).

Kotoran tersebut dapat menjadi sumber patogen bakteri, virus, protozoa, dan cacing

(Widyastuti & Apriningsih, 2011).

Penularan bawaan air E. Coli patogenik terdokumentasi dengan baik untuk sarana air

rekreasi dan air minum yang terkontaminasi. Dalam WSP, tindakan pengendalian yang dapat

diterapkan untuk mengelola risiko potensial akibat E. Coli enteropatogenik mencakup


perlindungan terhadap persediaan air mentah dari kotoran manusia dan hewan, pengelolaan

dan perlindungan air secara memadai selama distribusi. Tidak ada indikasi yang menunjukan

bahwa respons jenis mikroba (strain) entropatogenik E. Coli terhadap prosedur pengolahan

dan disinfeksi air berbeda dengan strain lain E. Coli (Widyastuti & Apriningsih, 2011).

Hygiene dan sanitasi yang rendah dapat menyebabkan faktor kejadian stunting pada

balita. Anak yang tinggal di lingkungan dengan sanitasi rendah lebih rawan terkontaminasi

bakteri. Status ekonomi yang rendah pada kelompok stunting juga berdampak pada hygiene

dan sanitasi yang rendah. Anak yang tinggal dilingkungan dengan sanitasi rendah lebih rawan

terkontaminasi bakteri (Anugrahaeni, 2012).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti di Puskesmas

Kecamatan Sedong Kabupaten Cirebon menyatakan bahwa angka stunting sebanyak 320

balita, diantaranya sebanyak 269 balita yang mempunyai status gizi indeks TB/U pendek dan

sebanyak 51 balita yang memiliki status gizi indeks TB/U sangat pendek. Dari 10 desa yang

ada di Kecamatan Sedong Kabupaten Cirebon yang memilki angka stunting paling tinggi yaitu

di Desa Kertawangun sebanyak 39 balita. Desa Kertawangun sebanyak 3.730 jiwa, diantaranya

laki-laki sebanyak 1.901 jiwa dan perempuan sebanyak 1.829 jiwa. Jumlah kartu keluarga (KK)

sebanyak 1.113 jiwa, jumlah rumah sebanyak 285 dan jumlah masyarakat yang menggunakan

Penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (PAMSIMAS) sebanyak 488 rumah.

PAMSIMAS di Desa Kertawangun ada tiga titik, yang pertama program PAMSIMAS tahun

2014 di dusun 2, kedua program dana alokasi khusus (DAK) tahun 2017 di dusun 3, ketiga

program pemerintah dari sumber dana desa tahun 2018 di dusun 2. Desa Kertawangun ada tiga

dusun, tetapi dusun 1 tidak ada PAMSIMAS karena wilayah daerahmya ada di bawah jadi

cakupannya ada di PAMSIMAS dusun 2 dan dusun 3. Desa Kertawangun sudah Open

Defecation Free (ODF) pada tahun 2013 jadi mayoritas masyarakat di Desa Kertawangun

mengkonsumsi air minum, mandi, dan mencuci dari PAMSIMAS, sumur gali, dan galon.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin meneliti dan menganalisis lebih jauh

hubungan kadar bakteri E. Coli pada air minum dengan kejadian stunting pada balita. Oleh

karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Hubungan Antara Bakteri Escherechia Coli

pada Air Minum dengan Kejadian Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Sedong Kabupaten

Cirebon Tahun 2020?”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah “Hubungan

Antara Bakteri Escherechia Coli pada Air Minum dengan Kejadian Stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Sedong Kabupaten Cirebon Tahun 2020?”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui Hubungan Antara Bakteri Escherechia Coli pada Air Minum dengan

Kejadian Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Sedong Kabupaten Cirebon Tahun 2020.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran stunting di wilayah kerja Puskesmas Sedong Kabupaten

Cirebon tahun 2020.

2. Menganalisis hubungan antara sumber air minum dengan kejadian stunting pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Sedong Kabupaten Cirebon tahun 2020.

3. Menganalisis hubungan antara bakteri escherchia coli pada air minum dengan

kejadian stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sedong Kabupaten

Cirebon tahun 2020.

4. Menganalisis hubungan antara hygiene dengan kejadian stunting pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Sedong Kabupaten Cirebon tahun 2020.


5. Menganalisis hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Sedong Kabupaten Cirebon tahun 2020.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu kesehatan masyarakat dan gizi

kesehatan lingkungan untuk meningkatkan pengetahuan orangtua tentang pencegahan stunting

pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sedong Kabupaten Cirebon Tahun 2020.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Puskesmas

Hasil penelitian yang diperoleh dapat memberikan informasi tentang stunting,

melakukan upaya pencegahan berupa penyuluhan tentang stunting pada balita dan

melakuakan penanggulangan stunting dengan cara meningkatkan hygiene dan

sanitasi air bersih sehingga dapat menurunkan prevalensi stunting pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Sedong.

2. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian yang diperoleh dapat memberikan informasi kepada

masyarakat terkait penyebab stunting sehingga masyarakat lebih berpartisipasi

dalam upaya pencegahan stunting pada balita dengan meningkatkan hygiene dan

sanitasi air bersih.

3. Bagi Prodi Kesehatan Masyarakat STIKes Kuningan

Hasil penelitian yang diperoleh dapat bermanfaat sebagai bahan ajar peserta

didik dan dapat digunakan sebagai rujukan penelitian selanjutnya dengan variabel

yang berbeda.
1.5 Keaslian Penelitian
No Penelitian
1. Judul Hubungan Karakteristik Balita, Orangtua, Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Terhadap
Stunting Pada Balita.

Peneliti Beauty Rahayu dan Syarief Darmawan (2019).

Subyek Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Kelurahan Kampung Melayu pada bulan
Desember 2016 sampai dengan Januari 2017. Populasi berjumlah 1.348 orang dan banyak
sampel = 76 orang.
Metode Metode penelitian ini termasuk jenis deskriktif dengan pendekatan cross sectional.
Penelitian ini dilakukan dengan mengisi kuesioner hygiene dan sanitasi lingkungan.
Analisis data dalam penelitian ini univariat dan bivariat dengan menggunakan uji chi-
square.
Hasil Ditemukan 3 Variabel (Karakteristik Balita, Karakteristik Orang tua, dan Higiene) yang
tidak memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian stunting pada balita yaitu p-value >
0,05, Namun terdapat 1 variabel (Sanitasi Lingkungan) memiliki hubungan signifikan
terhadap kejadian stunting yaitu p-value < 0,05. Sanitasi lingkungan yang tidak baik
berhubungan dengan kejadian stunting pada balita, Oleh karena itu perlu adanya
peningkatan sanitasi lingkungan untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan pada
balita yang dapat mempengaruhi status gizi balita.
2. Judul Hubungan Faktor Water, Sanitation, And Hygiene (WASH) Dengan Kejadian Stunting Di
Wilayah Kerja Puskesmas Kotakulon, Kabupaten Bondowoso.

Peneliti Alfadhila Khairil Sinatrya dan Lailatul Muniroh (2019).

Subyek Populasi balita berusia 24 hingga 59 bulan yang diasuh oleh ibu yang tinggal di wilayah
kerja Puskesmas Kotakulon Kabupaten Bondowoso. Berdasarkan data bulan timbang
Puskesmas Kotakulon pada Februari tahun 2018, populasi balita tercatat sebanyak 1.570,
dengan balita stunting sebayak 69 balita dan balita non stunting sebanyak 1.501. Dalam
pengambilan sampel dan diperoleh besar sampel 66 balita, yaitu 33 pada kelompok kasus
dan 33 balita pada kelompok kontrol.
Metode Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain case-control dengan
metode simple random sampling.
Hasil Kebiasaan cuci tangan (p<0,001; OR=0,12) adalah faktor risiko dari stunting pada balita
dengan besar risiko 0,12 kali lebih tinggi bagi ibu yang memiliki kebiasaan cuci tangan
kurang baik, sedangkan sumber air minum (p=0,415), kualitas fisik air minum (p=0,58),
kepemilikan jamban (p=0,22) bukan merupakan faktor risiko dari stunting.
3. Judul Faktor Risiko Stunting Pada Balita (24-59 Bulan) Di Sumatera.

Peneliti Zilda Oktarina dan Trini Sudiarti (2013).


Subyek Populasi penelitian adalah semua balita usia 24—59 bulan yang terdapat pada data
Riskesdas 2010 di wilayah Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan
Lampung.
Metode Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan pendekatan kuantitatif.
Penelitian menggunakan data sekunder berasal dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2010. Penelitian ini menggunakan kuesioner dan pengukuran antropometri. Analisis
chi square dan regresi logistik digunakan untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko
dengan kejadian stunting pada balita. Hasil Waktu penelitian pada bulan Maret sampai Mei
2012.
Hasil Hasil penelitian menunjukkan prevalensi balita stunting 44.1%. Faktor risiko stunting pada
balita (p<0.05) yaitu tinggi badan ibu (OR=1.36), tingkat asupan lemak (OR=1.30), jumlah
anggota rumah tangga (OR=1.38) dan sumber air minum (OR=1.36). Faktor dominan yang
berhubungan dengan kejadian stunting pada balita adalah jumlah anggota rumah tangga.
Keluarga disarankan agar dapat membatasi jumlah anak sesuai dengan program Keluarga
Berencana (KB).
4. Judul Faktor Determinan yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting Pada Balita di Kabupaten
Pesawaran Lampung.

Peneliti Rita Sari dan Apri Sulistianingsih (2017).


Subyek Populasi pada penelitian ini adalah balita yang berusia 2-5 tahun di 12 Wilayah Kerja
Puskesmas Kabupaten Pesawaran. Jumlah sampel pada penlitian ini adalah 385 pasangan
ibu dan balita dari 12 Wilayah kerja Puskesmas di Pesawaran.
Metode Desain penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan crossectional. Subjek
dalam penelitian ini adalah pasangan ibu dan balita usai 2-5 tahun. Penelitian ini
menggunakan uji chi square dan uji regresi logistik ganda.
Hasil Hasil penelitian 46% berada pada kondisi stunting (pendek). Faktor Penghasilan, pola asuh
dan pemberian makan berhubungan dengan kejadian balita stunting (ρ<0,05). Penelitian ini
menunjukkan faktor yang berhubungan empat faktor yang secara bersama-sama
mempengaruhi stunting (pendek) di Kabupaten Pesawaran yaitu penghasilan, hygiene dan
sanitasi, pola asuh dan pemberian makan. Faktor yang paling dominan adalah pola
pemberian makan (POR=18,074). Risiko orang tua yang tidak melakukan pemberian makan
dengan baik berisiko 18,0 kali pada balitanya menderita stunting bila dibandingkan dengan
balita yang orang tuanya memiliki pola pemberian makan baik. Faktor pendapatan, pola
asuh dan pemberian makan terhadap kejadian stunting di Kabupaten Pesawaran.
5. Judul Hubungan Hygiene dan Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Stunting pada Balita.

Peneliti Zairinayati1 dan Rio Purnama (2019).


Subyek Populasi kasus dalam penelitian ini adalah seluruh anak balita yang berumur 1-5 tahun yang
dinyatakan mengalami stunting oleh dokter/petugas paramedis dan populasi kontrol adalah
balita yang dinyatakan tidak menderita stunting dengan besar sampel 30 kasus dan 30
kontrol.
Metode Penelitian ini adalah case control dengan pendekatan retrospective study, dengan analisis
data menggunakan uji statistik chi square.
Hasil Anak yang menderita stunting sebesar 43, 3% berada pada rentang umur 3,2 - 3,9 tahun,
memiliki berat badan 9-15 kg sebanyak 73,3% dan 97% keluarga memilki pendapatan
rendah (kurang dari juta/bulan). Hasil uji bivariat didapatkana ada hubungan antara jenis
jamban, sumber air bersih dengan kejadian stunting pada balita. Namun tidak ada hubungan
antara kejadian kecacingan dengan stunting.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Balita

2.1.1 Definisi Balita

Anak bawah lima tahun atau sering disingkat anak balita adalah anak yang berusia

diatas satu tahun atau dibawah lima tahun atau dengan perhitungan bulan 12-59 bulan

(Kemenkes RI ,2015). Balita didefinisikan sebagai anak dengan usia dibawah lima tahun

dimana pertumbuhan tubuh dan otak sangat pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya.

Masa balita sering disebut sebagai golden age karena pada masa ini pertumbuhan dasar akan

mempengaruhi dan menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran

sosial, emosional, dan intelegensia yang berjalan sangat cepat dan merupakan dasar

perkembangan berikutnya (Wirandari, 2013).

2.1.2 Karakteristik Balita

Balita mempunyai karakteristik yang digolongkan menjadi dua yaitu anak usia 1-3

tahun yang disebut balita dan anak usia prasekolah (Kemenkes RI, 2015). Toodler adalah

anak berusia 12-36 bulan dimana masa ini yang paling penting untuk pertumbuhan intelektual

dan perkembangan kepandian anak (Sufyanti, 2009). Anak usia dibawah lima tahun

khususnya pada usia 1-3 tahun merupakan masa pertumbuhan fisik yang cepat, sehingga

memerlukan kebutuhan gizi yang paling banyak dibanding masa-masa berikutnya. Anak akan

mudah mengalami gizi kurang diusia ini apabila kebutuhan nutrisi tidak ditangani dengan

baik (Ningsih et all 2015).

2.1.3 Tumbuh Kembang Balita

Menurut Sufyanti (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan anak terdiri dari :


1. Faktor genetik

Faktor genetik merupakan faktor bawaan yang diturunkan oleh orangtua. Faktor

genetik antara lain jenis kelamin dan suku bangsa. Gangguan pertumbuhan di

negara maju biasanya disebabkan oleh faktor genetik, sedangkan di negara

berkembang faktor genetik penyebab kematian terbesar adalah faktor lingkungan

yang kurang memadai, seperti asupan gizi, infeksi penyakit, dan kekerasan pada

anak.

2. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan sangat berperan penting dalam menentukan potensi yang

sudah dimilikinya. Faktor lingkungan meliputi faktor prenatal yaitu faktor

lingkungan dalam kandungan, dan lingkungan postnatal yaitu lingkungan setelah

bayi lahir yang didalam faktor tersebut terdapat kebutuhan nutrisi yang penting

dalam proses pertumbuhan dan perkembangan (Hidayat, 2008).

Faktor lingkungan prenatal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan

perkembangan janin, yaitu gizi pada ibu sewaktu hamil, mekanis, toksin/zat kimia,

endrokin, radiasi, infeksi, stres, imunitas, dan anoksia embrio. Menurut

Sulistyawati (2014) Faktor lingkungan postnatal yang berpengaruh terhadap

tumbuh kembang terdiri dari :

a. Lingkungan biologis terdiri dari ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi,

perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi

metabolisme dan hormon.

b. Faktor fisik terdiri dari cuaca, musim, keadaan geografis suatu daerah,

sanitasi, keadaan rumah, dan radiasi.


c. Faktor psikososial terdiri dari stimulasi, motivasi belajar, ganjaran atau

hukuman yang wajar, kelompok sebaya, stres, sekolah, cinta dan kasih

sayang, dan kualitas interaksi anak dan orangtua.

d. Faktor adat dan istiadat terdiri dari pekerjaan dan pendapatan keluarga,

pendidikan ayah dan ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dalam keluarga,

stabilitas rumah tangga, kepribadian ibu dan ayah, dan adat istiadat.

2.2 Konsep Stunting

2.2.1 Definisi Stunting

Stunting (tubuh pendek) adalah keadaan tubuh yang sangat pendek hingga melampaui

defisit 2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi

internasional. Stunting adalah masalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi

yang kurang dalam waktu lama. Hal ini terjadi karena asupan makan yang tidak sesuai dengan

kebutuhan gizi. Stunting terjadi terjadi mulai dari kandungan dan baru terlihat saat anak

berusia dua tahun (WHO, 2013). Stunting didefinisikan sebagai presentase anak-anak usia

0-59 bulan, dengan tinggi dibawah minus (stunting sedang dan berat) dan tiga minus (stunting

kronis) diukur dari standar pertumbuhan anak keluaran WHO (UNICEF, 2019).

Stunting pada anak balita merupakan konsekuensi dari beberapa faktor yang sering

dikaitkan dengan kemiskinan termasuk gizi, kesehatan, sanitasi dan lingkungan. Ada lima

utama faktor penyebab stunting yaitu kemiskinan, sosial dan budaya, peningkatan paparan

terhadap penyakit infeksi, kerawanan pangan dan akses masyarakat terhadap pelayanan

kesehatan (Farah, 2015).

Masalah kurang gizi atau stunting merupakan dua masalah yang saling berhubungan.

Stunting merupakan dampak dari defisiensi nutrien selama seribu hari pertama kehidupan.

Hal ini menimbulkan gangguan perkembangan fisik anak yang irreversible, sehingga
menyebabkan penurunan kemampuan kognitif dan motorik serta penurunan performa kerja.

Anak stunting memiliki rata-rata skor Intelligence Quotient (IQ) sebelah poin lebih rendah

dibandingkan rerata skor IQ pada anak normal. Gangguan tumbuh kembang pada anak akibat

kekurangan gizi bila tidak mendapatkan intervensi sejak dini akan berlanjut hingga dewasa.

Stunting pada balita perlu mendapatkan perhatian khusus karena dapat menyebabkan

terhambatnya pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan status kesehatan pada anak.

Studi terkini menunjukan anak yang mengalami stunting berkaitan dengan prestasi di sekolah

yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah dan pendapatan yang rendah pada saat dewasa.

Anak yang mengalami stunting memiliki kemungkinan lebih besar tumbuh menjadi individu

dewasa yang tidak sehat dan miskin (Setiawan, 2018).

Stunting pada anak juga berhubungan dengan peningkatan kerentanan anak terhadap

penyakit, baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular (PTM) serta peningkatan

risiko overweight dan obesitas. Keadaan overweight dan obesitas jangka panjang dapat

meningkatkan risiko penyakit degeneratif. Kasus stunting pada anak dapat dijdikan prediktor

rendahnya kualitas sumber daya manusia suatu negara. Keadaan stunting menyebabkan

buruknya kemampuan kognitif, rendahnya produktivitas, serta TB/U (Setiawan, 2018).

Berdasarkan beberapa peneliti diatas, peneliti menyimpulkan bahwa stunting adalah

keadaan dimana balita mengalami masalah gizi yang di sebabkan oleh asupan gizi yang

kurang dalam waktu lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan

memiliki keterlambatan dalam berfikir.

2.2.2 Penyebab Stunting

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor

gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling

menentukan untuk dapat mengurangi prevalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan
pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) dari anak balita. Menurut Jusuf (2017), secara leih

detail beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu

mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan. Serta setelah ibu

melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukan bahwa 60% dari anak

usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24

bulan tidak menerima makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI).

2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan Ante Natal Care-ANC

(pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan

pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi

Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu

semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat

akses yang memadai kelayanan imunisasi.

3. Masalah kurangnya akses rumah tangga / keluarga kemakanan bergizi. Hal ini

dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal Menurut

beberapa sumber (Riskesdas 2013, Sdki 2012, Susenas).

4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh dilapangan

menunjukan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB)

diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum

bersih.

2.2.3 Pencegahan Stunting

Menurut MCA Indonesia (2014) dalam ebook yang berjudul stunting dan masa depan

indonesia, menyatakan bahwa stunting dapat di cegah dengan cara, sebagai berikut :

1. Pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil. Ibu hamil harus mendapatkan makanan

yang cukup gizi, suplemen zat gizi (tablet zat besi atau Fe), dan terpantau
kesehatannya. Namun, kepatuhan ibu hamil untuk meminum tablet tambah darah

hanya 33%. Padahal mereka harus minimal mengkonsumsi 90 tablet selama

kehamilan.

2. ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi makanan

pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya.

3. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat strategis

untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan.

4. Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga

kebersihan lingkungan.

2.2.4 Kriteria Stunting

Tabel 2.1.4 Kriteria Stunting

No. Kriteria Ambang Batas (Z-Score)

1. Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD

2. Sangat Pendek <-3 SD

Sumber : Kemenkes RI (2011).

2.3 Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Stunting

2.3.1 Sumber Air Minum

Air merupakan suatu sarana untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat karena

air merupakan salah satu media dari berbagai macam penularan penyakit (Slamet, 2004).

Menurut Notoatmodjo (2003), penyediaan air bersih harus memenuhi persyaratan yaitu

sebagai berikut :

a. Syarat fisik : persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah bening, tidak

berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau.


b. Syarat bakteriologis : air merupakan keperluan yang sehat yang harus bebas dari

segala bakteri, terutama bakteri patogen.

c. Syarat kimia : air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu dalam

jumlah yang tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat kimia di dalam

air, akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia.

Penyediaan air minum adalah kebutuhan dasar dan hak sosial ekonomi masyarakat yang

harus dipenuhi oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Ketersediaan air minum ini menjadi salah

satu penentu dalam peningkatan kesehatan, kesejahteraan dan produktifitas masyarakat dalam

bidang ekonomi. Oleh karena itu, penyediaan sarana dan prasarana air minum menjadi salah

satu kunci dalam pengembangan ekonomi didaerah (Ernawati & Aji, 2018).

Salah satu target Millenium Development Goals (MDG’s) yang dicetuskan pada tahun

2000 oleh PBB adalah pengurangan setengah dari jumlah penduduk bumi yang belum

memiliki akses yang layak terhadap air minum. Hal ini sangat penting karena air minum

sangat dibutuhkan dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan terkait dengan ketahanan

sosial, derajat kesehatan dan pengurangan tingkat kemiskinan. Pelayanan air minum sendiri

merupakan salah satu sektor yang saat ini menjadi prioritas pemerintah karena terkait dengan

peningkatan pelayanan sektor lainnya, diantaranya ialah sektor sanitasi. Salah satu upaya

dalam pencapaian target pelayanan dibidang sanitasi adalah terpenuhinya kebutuhan dasar air

minum masyarakat (Widiastuti & Apriningsih, 2011).

Menurut Permenkes RI No. 492/ Menkes/Per/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air

minum, air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan

yang melalui syarat dan dapat langsung diminum. Air minum harus terjamin dan aman bagi

kesehatan, air minum yang aman bagi kesehatan harus memenuhi persyaratan fisika,

mikrobiologis, kimiawi dan radioaktif.


Balita dari keluarga yang memiliki sumber air minum tidak terlindungi lebih banyak

mengalami stunting dibandingkan balita dari keluarga yang memiliki sumber air minum

terlindungi. Studi membuktikan bahwa terdapat hubungan antara sumber air minum dengan

kejadian stunting balita. Balita yang berasal dari keluarga yang memiliki sumber air minum

tidak terlindungi 1.35 kali lebih berisiko mengalami stunting dibandingkan dengan balita dari

keluarga dengan sumber air terlindungi. Beberapa penelitian di berbagai negara menunjukan

bahwa kualitas sumber air minum memiliki hubungan positif dengan pengurangan kejadian

diare dan kematian pada anak (Rita, 2017).

2.3.2 Personal Hygiene

Personal hygiene adalah semua perilaku yang dilakukan atas dasar kesadaran sehingga

anggota keluarga dapat menolong dirinya sendiri dibidang kesehatan dan berperan aktif

dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat (Anik Maryunani, 2013).

Menurut Tartowo dan Wartonah (2011) menyatakan bahwa personal hygiene adalah

kebersihan dan kesehatan diri yang bertujuan untuk mencegah timbulnya penyakit pada diri

sendiri atau oranglain. Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene adalah

sebagai berikut :

1. Dampak fisik

Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak

terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik. Gangguan fisik yang sering terjadi

adalah gangguan integritas kulit, gangguan mulkosa mulut, gangguan pada mata dan

telinga, gangguan pada kuku.

2. Dampak psikososial

Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan

kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi

sosial.
Menurut Perry dan Potter (2008) faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan

personal hygiene adalah sebagai berikut :

1. Citra tubuh

Penampilan umum pasien dapat menggambarkan pentingnya hygiene pada

orang tersebut. Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang tentang penampilan

fisikinya. Citra tubuh ini dapat sering berubah. Citra tubuh mempengaruhi cara

mempertahankan hygiene. Citra tubuh dapat berubah akibat adanya pembedahan atau

penyakit fisik maka harus membuat suatu usaha ekstra untuk meningkatkan hygiene.

2. Praktik sosial

Kelompok-kelompok sosial wadah seseorang pasien berhubungan dapat

mempengaruhi praktik hygiene pribadi. Selama masa kanak-kanak, kanak-kanak

mendapatkan praktik hygiene dari orangtua mereka, kebiasaan keluarga, jumlah orang

dirumah, dan ketersediaan air panas dan atau air mengalir hanya merupakan beberapa

faktor yang mempengaruhi perawatan kebersihan.

3. Status sosial ekonomi

Sumber daya ekonomi seseorang mempengaruhi jenis dan tingkat praktik

kebersihan yang dilakukan.

4. Pengetahuan

Pengetahuan tentang pentingnya hygiene dan implikasinya bagi kesehatan

mempengaruhi praktek hygiene.

5. Kebudayaan

Kepercayaan kebudayaan pasien dan nilai pribadi mempengaruhi perawatan

hygiene.

6. Pilihan pribadi
Kebiasaan individu untuki memilih waktu perawatan diri, memilih produk yang

ingin digunakan, dan memilih bagaimana cara melakukan hygiene.

7. Kondisi fisik

Pada keadaan sakit tertentu kemampuan untuk merawat diri berkurang sehingga

perlu bantuan untuk melakukan perawatan diri.

2.3.3 Sanitasi Lingkungan

Sanitasi adalah suatu usaha yang mengawasi beberapa faktor lingkungan fisik yang

berpengaruh kepada manusia terutama terhadap hal-hal yang mempengaruhi efek, merusak

perkembangan fisik, kesehatan dan keberlangsungan hidup (WHO).

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan atau lingkungan yang mencakup

perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih, dan sebagainya. Banyak sekali

permasalahan lingkungan yang harus dicapai dan sangat mengganggu terhadap tercapainya

kesehatan lingkungan. Kesehatan lingkungan bisa bersifat positif terhadap kondisi elemen-

elemen hayati dan non hayati dalam ekosistem. Bila lingkungan tidak sehat maka sakitlah

elemennya, tapi sebaliknya jika lingkungan sehat maka sehat pulalah ekosistem tersebut.

Perilaku yang kurang baik dari manusia telah mengakibatkan perubahan ekosistem dan

timbulnya sejumlah masalah sanitasi (Notoatmodjo, 2007).

Kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman adalah konsis fisik, kimia, dan

biologi di dalam rumah, di lingkungan rumah, dan perumahan sehingga memungkinkan

penghuni mendapatkan derajat kesehatan yang optimal. Persyaratan kesehatan perumahan

dan pemukiman adalah ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka

melindungi penghuni dan masyarakat yang bermukim di perumahan atau di masyarakat

sekitar dari bahaya atau kesehatan (Soedjadi, 2005).

Ilmu sanitasi lingkungan adalah bagian dari ilmu kesehatan lingkungan meliputi cara

dan usaha individu atau masyarakat untuk mengontrol dan mengendalikan lingkungan hidup
eksternal yang berbahaya bagi kesehatan serta yang dapat mengancam kelangsungan hidup

manusia (Chandra, 2007).

Lingkungan hidup manusia pada dasarnya terdiri dari dua bagian, internal dan

eksternal. Lingkungan hidup internal merupakan suatu keadaan yang dinamis dan seimbang

yang disebut dengan homeostatik, sedangkan lingkungan hidup eksternal merupakan

lingkungan diluar tubuh manusia yang terdiri dari tiga komponen, antara lain :

1. Lingkungan fisik

Lingkungan fisik bersifat abiotik atau benda mati seperti air, udara, tanah,

cuaca, makanan, rumah, dan lain-lainnya. Lingkungan fisik ini berinteraksi secara

konstan dengan dengan manusia sepanjang waktu dan masa serta memegang

peranan penting dalam proses terjadinya penyakit pada masyarakat. Contohnya,

kekurangan persediaan air bersih terutama dalam musim kemarau dapat

menimbulkan penyakit diare dimana-mana.

2. Lingkungan biologis

Lingkungan biologis bersifat biotik atau benda hidup, misalnya tumbuh-

tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit serangga, dan lain-lainnya yang

dapat berperan sebagai agent penyakit, reservoir infeksi, vektor penyakit, dan

hospes intermediat. Hubungan manusia dengan lingkungan biologisnya bersifat

dinamis dan pada keadaan tertentu saat terjadi ketidakseimbangan diantara

hubungan tersebut, manusia akan menjadi sakit.

3. Lingkungan sosial

Lingkungan sosial berupa kultur, adat-istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama,

sikap, standar dan gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi

sosial dan politik. Manusia di pengaruhi oleh lingkungan sosial melalui berbagai

media seperti radio, TV, pers, seni, literatur, cerita, lagu dan sebagainya. Bila
manusia tidak menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosial, akan terjadi konflik

kejiwaan dan menimbulkan gejala psikomatik seperti stres, insomnia, depresi, dan

lain-lain.

Hygiene dan sanitasi yang rendah dapat menyebabkan faktor kejadian stunting pada

balita. Anak yang tinggal di lingkungan dengan sanitasi rendah lebih rawan terkontaminasi

bakteri. Status ekonomi yang rendah pada kelompok stunting juga berdampak pada hygiene

dan sanitasi yang rendah. Anak yang tinggal dilingkungan dengan sanitasi rendah lebih rawan

terkontaminasi bakteri. Penelitian di Banglandesh melaporkan bahwa komponen

Proteobacteria seperti Klebsiella, Escherenchia dan Neiseria yang merupakan bakteri

patogen, berjumlah lebih banyak pada anak yang malnutrisi. Penelitian lain di India

melaporkan bahwa spesies Campylobacter dan Helicobacter ditemukan berjumlah lebih

banyak pada anak malnutrisi (Anugrahaeni, 2012).

2.4 Faktor Internal yang Mempengaruhi stunting

2.4.1 Nutrisi Ibu pada saat Hamil

Nutrisi ibu saat hamil merupakan salah satu faktor utama kesehatan ibu dan janin.

Kurangya asupan nutrisi selama kehamilan dan gaya hidup yang kurang baik, membuat janin

berisiko lebih tinggi mengalami gangguan, seperti berat badan lahir kurang, hambatan

tumbuh kembang, hingga cacat bawaan lahir.

Penyebab stunting diantaranya adalah hambatan pertumbuhan dalam kandungan,

asupan zat gizi yang tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan

yang cepat pada masa bayi dan anak-anak, serta seringnya terkena infeksi selama masa awal

kehidupan dan anak memiliki panjang badan yang rendah ketika lahir. Anak yang lahir BBLR

disebabkan karena asupan ibu yang kurang pada saat kehamilan sehingga terjadi
penghambatan pertumbuhan pada anak dan sering terkena penyakit infeksi (Sukmawati,

2018).

2.4.2 Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi adalah masalah kesehatan yang disebabkan oleh organisme seperti

virus, bakteri, jamur, dan parasit. Meski beberapa jenis organisme terdapat di tubuh dan

tergolong tidak berbahaya, pada kondisi tertentu, organisme-organisme tersebut dapat

menyerang dan menimbulkan gangguan kesehatan, yang bahkan berpotensi menyebabkan

kematian.

Timbulnya status gizi stunting tidak hanya karena makanan yang kurang tetapi juga

karena penyakit. Kejadian penyakit infeksi berulang tidak hanya berakibat pada menurunnya

berat badan atau akan tampak pada rendahnya nilai indikator berat badan menurut umur, akan

tetapi juga indikator tinggi badan menurut umur. Hal tersebut bisa dijelaskan bahwa status

gizi stunting disebut sebagai gizi kurang kronis yang menggambarkan adanya gangguan

pertumbuhan tinggi badan yang berlangsung pada kurun waktu cukup lama. Sebagian besar

balita pada kelompok stunting menderita penyakit ISPA. Memburuknya keadaan gizi anak

akibat penyakit infeksi dapat menyebabkan turunnya nafsu makan, sehingga masukan zat gizi

berkurang padahal anak jurstu memerlukan zat gizi yang lebih banyak (Welasasih &

Wirjatmadi, 2012).

2.4.3 Nutrisi pada Balita

Kebutuhan nutrisi balita merupakan prioritas utama meskipun balita tidak bertumbuh

sepesat saat masa bayi. Di masa ini, nutrisi balita memegang peranan penting dalam

perkembangan seorang anak.

Status gizi balita berpengaruh yang sangat besar dalam mewujudkan sumber daya

manusia yang berkualitas di masa yang akan datang. Status gizi berhubungan dengan

kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia dini tergantung pada asupan zat
gizi yang diterima. Semakin rendah asupan zat gizi yang diterima, semakin rendah pula status

gizi dan kesehatan anak. Balita mempunyai risiko yang sangat tinggi dan harus mendapatkan

perhatian yang lebih. Semakin tinggi faktor risiko yang berlaku terhadap balita tersebut maka

akan semakin besar kemungkinan balita menderita gangguan nutrisi. Nutrisi yang tidak ade

kuat merupakan salah satu penyebab gangguan gizi pada balita, dimana balita yang nutrisinya

tidak cukup akan berdampak pada gangguan gizi seperti kependekan atau stunting.

Gangguan gizi kependekan merupakan rendahnya tinggi dibandikan usianya yang

mengidentikasi gangguan kronis dari hormon pertumbuhan (Apri, 2015).

2.5 Bakteri Escherenchia Coli

2.5.1 Definisi

Bakteri adalah makhluk bersel tunggal yang tidak mempunyai inti sel , hidup di semua

kolom air dan tanah, beberapa bersifat aerobik (memerlukan oksigen) dan ada yang anaerobik

(tidak memerlukan oksigen). Beberapa bakteri hidup bebas sendiri (free living) dan ada yang

hidup bersama-sama (symbionts). Bakteri E. Coli adalah salah satu jenis bakteri yang sering

dibicarakan. Cukup banyak masyarakat yang mengetahui tentang E. Coli walaupun terbatas

bahwa bakteri ini adalah penyebab infeksi saluran pencernaan. E. Coli biasa hidup di alam

terbuka seperti tanah. Jika terjadi pencemaran (umumnya pencemar organik yang ditandai

dengan BOD yang tinggi), tanah menjadi media pertumbuhan yang baik untuk bakteri ini dan

menyebabkan peningkatan konsentrasi E. Coli dalam tanah (Sutiknowati, 2016).

Escherechia coli adalah bakteri gram negatif yang termasuk keluarga

Enterobacteriaceae. Kuman berbentuk batang pendek (koko basil), ukuran 0,4-0,7 µm x 1,4

µm, sebagian bergerak positif dan beberapa galur berkapsul. Sifat biokimiawi dari kuman

enterik kompleks dan bervariasi. Reaksi fermentasi terjadi pada suasana anaerob atau kadar

O2 rendah terjadi reaksi fermentasi dan pada keadaan aerob atau kadar O2 cukup terjadi siklus
asam karbosilat dan transport elektron untuk pembentukan energi (Widiasih & Budiharta,

2012).

2.5.2 Karakteristik Morfologi

Bakteri E. Coli dapat membentuk koloni pada saluran pencernaan manusia maupun

hewan dalam beberapa jam setelah kelahiran. Faktor predisposisi pembentukan koloni ini

adalah mikroflora dalam tubuh masih sedikit, rendahnya kekebalan tubuh, faktor stres, pakan

dan oportunis. Ditjenak (1982) melaporkan bahwa E. Coli keluar dari tubuh bersama tinja

dalam jumlah besar serta mampu bertahan sampai beberapa minggu. Kelangsungan hidup dan

replikasi E. Coli di lingkungan membentuk koliform. E. Coli tidak tahan terhadap keadaan

kering atau desinfektan biasa. Bakteri ini akan mati pada suhu 60˚C selama 30 menit (Songer

& Post, 2005).

E. Coli bersifat patogen karena dapat menyebabkan infeksi pada manusia dan hewan.

Seorang bakteriologi yaitu Theodor Escherich, mengidentifikiasi E. Coli dari babi yang

menderita enteritis. Enteritis merupakan peradangan usus yang bisa menyebabkan sakit perut,

mual, muntah, dan diare baik manusia maupun hewan. E. Coli merupakan bakteri yang bisa

hidup pada lingkungan yang berbeda. Bakteri ini dapat ditemukan di tanah, air, tanaman,

hewan dan manusia (Berg 2004 ; Bhunia 2008 ; Manning, 2010).

2.5.3 Signifikasi Escherenchia Coli pada Air Minum

Menurut Widyastuti & Apriningsih (2011) penularan bawaan air E. Coli patogenik

terdokumentasi dengan baik untuk sarana air rekreasi dan air minum yang terkontaminasi.

KLB penyakit bawaan air yang disebabkan oleh E. Coli O157:H7 (Campylobacter jejuni)

terjadi dalam komunitas pertanian di Walkerton, Ontario, Kanada. KLB itu berlangsung pada

Mei 2000 dan mengakibatkan 7 kasus kematian serta lebih dari 2.300 kasus kesakitan.

Persediaan air minum terkontaminasi oleh aliran air hujan yang mengandung kotoran ternak

sapi. Dalam Water Safety Plan (WSP), tindakan pengendalian yang dapat diterapkan untuk
mengelola risiko potensial akibat E. Coli enteropatogenik mencakup perlindungan terhadap

persediaan air mentah dari kotoran manusia dan hewan, pengelolaan dan perlindungan air

secara memadai selama distribusi. Tidak ada indikasi yang menunjukan bahwa respons strain

entropatogenik E. Coli terhadap prosedur pengolahan dan disinfeksi air berbeda dengan strain

lain E. Coli (Widyastuti & Apriningsih, 2011).

2.6 Kualitas Air Minum

2.6.1 Definisi Air Minum

Menurut Permenkes RI No. 492/ Menkes/Per/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air

minum, air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan

yang melalui syarat dan dapat langsung diminum. Air minum harus terjamin dan aman bagi

kesehatan, air minum yang aman bagi kesehatan harus memenuhi persyaratan fisika,

mikrobiologis, kimiawi dan radioaktif.

Sekitar tiga perempat tubuh manusia terdiri dari air, menjadikan air sebagai zat

terpenting untuk kebutuhan dasar agar keberlangsungannya kehidupan. Air selain bermanfaat

bagi manusia juga merupakan media yang baik untuk kehidupan bakteri. Bakteri ini di

bedakan menjadi dua, yaitu bakteri patogen dan bakteri non-patogen. Bakteri patogen dapat

menyebabkan penyakit dengan keluhan diare seperti disentri, tipus, dan kolera, melalui air

yang diminum. Air yang aman untuk diminum adalah air bersih yang harus memenuhi

persyaratan secara fisika, kimia, radioaktif dan mikroba yang telah ditetapkan oleh

pemerintah. Secara mikrobiologi, salah satu syarat air bersih yang dapat dikonsumsi adalah

tidak ditemukannya Escherenchia Coli dalam 100 ml (Afif, 2015).

2.6.2 Jenis Air Minum

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.907/MENKES/SK/VII/2002 tentang

syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum, jenis air minum meliputi :
1. Air yang di distribusikan melalui pipa untuk keperluan rumah tangga

2. Air yang di distribusikan melalui tangki air

3. Air kemasan

4. Air yang digunakan untuk produksi bahan makanan dan minuman yang disajikan

kepada masyarakat harus memenuhi syarat kesehatan air minum

Air minum harus steril (tidak mengandung hama penyakit apapun) dan harus memenuhi

syarat agar tidak menyebabkan gangguan kesehatan. Di Indonesia standar air minum yang

berlaku dapat dilihat pada Permenkes RI No. 492/ Menkes/Per/IV/2010 yang meliputi

parameter fisika, mikrobiologi, kimiawi dan radioaktivitas.

2.6.3 Syarat-Syarat Air Minum yang Sehat

Menurut Permenkes RI No. 492/ Menkes/Per/IV/2010 tertanggal 19 April 2010

menetapkan persyaratan kualitas air minum dengan pertimbangan agar agar air minum yang

dikonsumsi oleh masyarakat tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Peraturan Kepala

BPOM HK. 00.06.1.52.4011 tertanggal 28 Oktober 2009 selanjutnya disebut Peraturan

Kepala (Perka BPOM) juga menetapkan 6 parameter persyaratan cemaran mikroba, dan 4

parameter cemaran logam berat untuk air minum dalam kemasan (AMDK).

Menurut Notoatmodjo (2014) agar air minum tidak menyebabkan penyakit, maka air

tersebut hendaknya diusahakan memenuhi persyaratan-persyaratan kesehatan, setidak-

tidaknya diusahakan mendekati persyaratan tersebut. Air yang sehat harus mempunyai

persyaratan sebagai berikut :

a. Syarat Fisik

Persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah bening (tidak berwarna),

tidak berasa, suhu dibawah suhu udara di luarnya. Cara mengenal air yang

memenuhi persyaratan fisik ini tidak sukar.


b. Syarat Bakteriologis

Air untuk keperluan minum yang sehat harus bebas dari segala bakteri, terutama

bakteri patogen. Cara ini untuk mengetahui apakah air minum terkontaminasi oleh

bakteri patogen, adalah dengan memeriksa sampel (contoh) air tersebut. Apabila

dari pemeriksaan 100 cc air terdapat kurang dari 4 bakteri E. Coli maka air tersebut

sudah memenuhi syarat kesehatan.

c. Syarat Kimia

Air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu dalam jumlah yang

tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat kimia dalam air, akan

menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia.

2.6.4 Sumber-sumber Air Minum

Menurut Notoatmodjo (2014) menyatakan bahwa pada prinsipmya semua air dapat

diproses menjadi air minum. Sumber-sumber air minum sebagai berikut :

a. Air Hujan

Air hujan dapat ditampung kemudian dijadikan air minum. Akan tetapi air hujan

ini tidak mengandung kalsium. Oleh karena itu, agar dapat dijadikan air minum

yang sehat perlu ditambahkan kalsium didalamnya.

b. Air Sungai dan Danau

Menurut asalnya sebagai dari air sungai air danau ini juga dari air hujan yang

mengalir melalui saluran-saluran kedalam sungai atau danau. Kedua sumber air

ini sering juga disebut air permukaan. Oleh karena air sungai dan danau ini sudah

terkontaminasi atau tercemr oleh berbagai macam kotoran maka bila akan

dijadikan air minum harus diolah terlebih dahulu.


c. Mata Air

Air yang keluar dari mata air ini biasanya berasal dari air tanah yang muncul

secara alamiah. Oleh karena itu, air dan mata air ini bila belum tercemar oleh

kotoran sudah dapat dijadikan air minum langsung.

d. Air Sumur Dangkal

Air ini keluar dari dalam tanah, juga disebut air tanah. Air berasal dari lapisan

air didalam tanah yang dangkal. Dalamnya lapisan air ini dari permukaan tanah

dan tempat yang satu ke yang lain berbeda-beda. Biasanya berkisar antara 5

sampai dengan 15 meter dari permukaan tanah. Air sumur pompa dangkal ini

belum begitu sehat, karena kontaminasi kotoran dari permukaan tanah masih ada.

Oleh karena itu, perlu direbus dahulu sebelum diminum.

e. Air Sumur Dalam

Air ini berasal dari lapisan air kedua didalam tanah. Dalamnya dari permukaan

tanah biasanya diatas 15 meter. Oleh karena itu sebagian besar besar air sumur

kedalaman seperti ini sudah cukup sehat untuk dijadikan air minum yang langsung

(tanpa melalui proses pengolahan).

2.6.5 Manfaat Air Bagi Kesehatan

Air minum dalam tubuh manusia berfungsi untuk menjaga keseimbangan metabiolisme

dan fisiologi tubuh. Setiap waktu, air perlu dikonsumsi karena setiap saat tubuh berkerja dan

berproses. Di samping itu, air juga berguna untuk melarutkan dan mengolah sari makanan

agar dapat dicerna. Tubuh manusia terdiri dari berjuta-juta sel dan komponen terbanyak sel-

sel itu adalah air. Jika kekurangan air maka sel tubuh akan menciut dan tidak dapat berfungsi

dengan baik (Apriningsih, 2005).


Air digunakan untuk melarutkan berbagai jenis zat yang diperlukan oleh tubuh.

Misalnya untuk melarutkan oksigen sebelum memasuki pembuluh darah yang ada disekitar

alveoli. Begitu juga dengan zat-zat makanan hanya dapat diserap apabila dapat larut dalam

cairan yang meliputi selaput lender usus. Di samping itu, transportasi zat-zat makanan dalam

tubuh semuanya dalam bentuk larutan dengan pelarut air. Air juga berguna untuk

mempertahankan suhu badan karena dengan penguapannya suhu dapat menurun (Walangitan

et al 2016).

2.6.6 Parameter Kualitas Air Minum

Adapun parameter kualitas air minum yang digunakan di Indonesia adalah sebagai

berikut :

Kadar
No. Parameter Satuan Maksimum Keterangan

yang
Diperbolehkan

A. FISIKA

1 Bau - - Tidak Berbau

2 Rasa - - Tidak Berasa

3 Kekeruhan Skala NTU 5 -


o
4 Temperatur C Suhu Udara ± 3oC -
5 Warna Skala TCU 15 -
B.1 KIMIA
ANORGANIK

1 Antimony (mg/liter) 0,005 -


2 Air Raksa (mg/liter) 0,001 -
3 Arsenic (mg/liter) 0,01 -
4 Barium (mg/liter) 0,7 -
Kadar
No. Parameter Satuan Maksimum Keterangan

yang
Diperbolehkan

5 Boron (mg/liter) 0,3 -


6 Cadmium (mg/liter) 0,003 -
7 Kromium (mg/liter) 0,05 -
8 Tembaga (mg/liter) 2 -
9 Sianida (mg/liter) 0,07 -
10 Flouride (mg/liter) 1,5 -
11 Timah (mg/liter) 0,01 -
12 Molybdenum (mg/liter) 0,07 -
13 Nikel (mg/liter) 0,02 -
14 Nitrat (sebagai NO3) (mg/liter) 50 -
15 Nitrit (sebagai NO2) (mg/liter) 3 -
16 Selenium (mg/liter) 0,01 -
17 Ammonium (mg/liter) 1,5 -
18 Aluminium (mg/liter) 0,2 -
19 Chloride (mg/liter) 250 -
20 Copper (mg/liter) 1 -
21 Kesadahan (mg/liter) 500 -
22 Hidrogen Sulfide (mg/liter) 0,05 -
23 Besi (mg/liter) 0,3 -
24 Mangan (mg/liter) 0,1 -
25 pH - 6,5 - 8,5 -
26 Sodium (mg/liter) 200 -
27 Sulfate (mg/liter) 250 -
Kadar
No. Parameter Satuan Maksimum Keterangan

yang
Diperbolehkan

28 Padatan Terlarut (mg/liter) 1000 -


29 Seng (mg/liter) 3 -
B.2 KIMIA ORGANIK

1 Chlorinate alkanes -
2 Carbon tetrachloride (µg/liter) 2 -
3 Dichlorimethane (µg/liter) 20 -
4 1,2-dichloroethane (µg/liter) 30 -
5 1,1,1-tricholoethane (µg/liter) 2000 -
6 Chlorinated ethenes -
7 Vinyl chloride (µg/liter) 5 -
8 1,1-dichloroethene (µg/liter) 30 -
9 1,2-dichloroethene (µg/liter) 50 -
10 Trichloroethene (µg/liter) 70 -
11 Tetrachloroethene (µg/liter) 40 -
12 Benzene (µg/liter) 10 -
13 Toluene (µg/liter) 700 -
14 Xylenes (µg/liter) 500 -
15 benzo[a]pyrene (µg/liter) 0,7 -
16 Chlorinated benzene -
17 Monochlorobenzene (µg/liter) 300 -
18 1,2-dichlorobenzene (µg/liter) 1000 -
19 1,4-dichlorobenzene (µg/liter) 300 -
20 etedic acid (EDTA) (µg/liter) 200 -
Kadar
No. Parameter Satuan Maksimum Keterangan

yang
Diperbolehkan

21 Nitriloacetic acid (µg/liter) 200 -


22 Tributyltin oxide (µg/liter) 2 -
23 Xylene (µg/liter) 20 – 1800 -
24 Ethylbenzene (µg/liter) 2 – 200 -
25 Styrene (µg/liter) 4 – 2600 -
26 Trichlorobenzene (Total) (µg/liter) 5 – 50 -
27 2-chlorophenol (µg/liter) 600 – 1000 -
28 2,4-dichlorophenol (µg/liter) 0,3 – 40 -
29 2,4,6-trichlorophenol (µg/liter) 2 – 300 -
C. BAKTERIOLOGIS

a. Air Minum -
Jumlah per
1 E. coli atau fecal coli 100 0

ml sampel -
b. Air yang masuk -
sistem distribusi

Jumlah per
1 E. coli atau fecal coli 100 0 -
ml sampel

Jumlah per
2 Total Bakteri Coliform 100 0 -
ml sampel

c. Air pada sistem

distribusi -
Kadar
No. Parameter Satuan Maksimum Keterangan

yang
Diperbolehkan

Jumlah per
1 E. coli atau fecal coli 100 0 -
ml sampel

Jumlah per
2 Total Bakteri Coliform 100 0 -
ml sampel

D. RADIOAKTIFITAS -
Gross alpha activity (Bq/liter) 0,1 -
Gross beta activity (Bq/liter) 1 -

Sumber : Surat Keputusan Mentri Kesehatan No. 907/MENKES/VII/2002

2.6.7 Metode Pengambilan Sampel Air Minum

Metode pengambilan sampel air untuk uji bakteriologis adalah serangkaian kegiatan

untuk mengambil air minum sebagai sampel yang digunakan untuk pemeriksaan

laboratorium, guna mengetahui jumlah bakteri escherchia coli per 100ml sampel. Adapun

metode pengambilan sampel bakteriologis sebagai berikut :

1. Air permukaan secara langsung, tahapan pengambilan sampel adalah sebagai

berikut :

a) Siapkan botol yang volumenya paling sedikit 100ml dan telah disterilkan pada

suhu 120˚C selama 15 menit atau dengan cara strelisasi lain.

b) Ambil sampel dengan cara memegang botol steril bagian bawah dan celupkan

botol 20 cm dibawah permukaan air dengan posisi mulut botol berlawanan

dengan arah aliran.


2. Air permukaan secara tidak langsung dari jembatan atau lintasan gantung tahapan

pengambilan sampel ini sebagai berikut :

a) Siapkan botol steril yang tutupnya terbungkus kertas alumunium

b) Ikat botol dengan tali dan pasang pemberat dibagian dasar botol

c) Buka pembungkus kertas dibagian mulut botol dan turunkan botol perlahan-

lahan kedalam permukaan air

d) Tarik tali sambil digulung

e) Buang sebagian isi botol hingga volumenya ± ¾ volume botol

f) Bakar bagian mulut botol, kemudian botol ditutup kembali

3. Air tanah pada sumur gali, tahapan pengambilan sampel sama dengan pengambilan

sampel pada air permukaan dari jembatan atau lintasan gantung.

4. Air tanah pada kran, tahapan pengambilan sampel sebagai berikut :

a) Siapkan botol steril yang tutupnya terbungkus kertas alumunium

b) Buka kran selama 1-2 menit

c) Sterilkan kran dengan cara membakar mulut kran sampai keluar uap air

d) Alirkan lagi air selama 1-2 menit

g) Buka tutp botol steril dan isi sampai ± ¾ volume botol

h) Bakar bagian mulut botol, kemudian botol ditutup kembali

2.7 Pengukuran Antropometri

2.7.1 Definisi Antropometri

Antropometri berasal dari “antrho” yang berarti manusia dan “metron” yang berarti

ukuran. Secara definitif antropometri dinyatakan sebagai suatu studi yang menyangkut

pengukuran dimensi tubuh manusia dan aplikasi rancangan yang menyangkut geometri fisik,

massa, kekuatan dan karakteristik tubuh manusia yang berupa bentuk dan ukuran. Manusia
pada dasarnya akan memiliki bentuk, ukuran tinggi dan berat yang berbeda satu dengan yang

lainnya. Antropometrik secara luas akan digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan

ergonomis dalam memerlukan interasti manusia (Indianti, 2010).

Dengan pengukuran antropometri akan diketahui tinggi badan, berat badan, dan ukuran

badan aktual seseorang. Selanjutnya, tinggi badan, berat badan dan ukuran tubuh seseorang

dapat digunakan untuk tujuan menilai pertumbuhan dan distribusi tubuh seseorang, serta

dapat berguna sebagai data referensi. Pengukuran antropometri adalah pengukuran terhadap

pada tulang, otot dan lemak yang menentukan tipe-tipe tubuh manusia, dan mengetahui

pertumbuhan dan perkembangan tubuh seseorang. Salah satu pengukuran antropometri ini

antara lain pengukuran tinggi dan berat badan, panjang lengan dan tungkai, lingkar lengan

dan paha, serta kapasitas paru (Indianti, 2010).

2.7.2 Karakteristik Antropometri

Menurut Kuswana (2015) karakteristik antropometri bila ditinjau dari pendekatan,

dibagi menjadi dua yakni :

1. Antropometri statis, dimana pengukuran dilakukan pada saat tubuh dalam keadaan

diam /posisi diam/tidak bergerak

2. Antropometri dinamis, pengukuran dimana dimensi tubuh diukur dalam berbagai

posisi tubuh yang bergerak.

2.7.3 Pengukuran Antropometri

Menurut Anisa (2012) ukuran antropometri yang sering dipakai antara lain sebagai

berikut :

1. Umur

Untuk menentukan status umur gizi seseorang faktor umur sangat penting,

penentuan umur yang salah bisa menyebabkan interpretasi status gizi yang tidak

tepat. Batasan umur yang digunakan adalah tahun umur penuh (completed year).
2. Berat Badan

Berat badan adalah hasil keseluruhan pertumbuhan jaringan-jaringan tulang,

otot, lemak, cairan tubuh dan lainnya. Berat badan merupakan ukuran antropometri

yang terpenting. Dipakai pada setiap pemeriksaan kesehatan anak pada setiap

kelompok umur.

3. Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan parameter yang penting untuk keadaan sekarang

maupun keadaan yang lalu, apabila umur tidak diketahui dengan tepat. Selain itu,

tinggi badan merupakan ukuran kedua yang terpenting, sebab dengan

menghubungkan berat badan menurut tinggi badan, faktor umur dapat ditiadakan.

4. Indeks Antropometri

Parameter merupakan dasar dari penelitian status gizi. Indeks antropometri

merupakan kombinasi dari parameter-parameter yang ada. Indeks antropometri

terdiri dari berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U),

dan berat badan menurut umur (BB/U). Untuk mengetahui balita stunting atau tidak

indeks yang digunakan adalah indeks tinggi badan menurut umur (TB/U).
Tabel 2.7 Indeks Antropometri

No Indeks Kategori Ambang Batas (Z-Score)


Status Gizi

1 Berat Badan Menurut Umur Gizi Buruk <- 3 SD

(BB/U) Gizi Kurang -3 SD sampai dengan -2 SD

Anak Umur 0-60 Bulan Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD

Gizi Lebih > 2 SD

2 Panjang Badan Menurut Sangat Pendek <- 3 SD


Umur (PB/U) Atau Tinggi
Pendek -3 SD sampai dengan -2 SD
Badan Menurut Umur (TB/U)
Anak Usia 0-60 Bulan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD

Tinggi > 2 SD

3 Berat Badan Menurut Sangat Kurus <- 3 SD


Panjang Badan (BB/PB) Atau
Kurus -3 SD sampai dengan -2 SD
Berat Badan Menurut Tinggi
Badan (BB/TB) Anak Usia 0- Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
60 Bulan
Gemuk > 2 SD

4 Indeks Masa Tubuh Menurut Sangat Kurus <- 3 SD


Umur (IMT/U) Anak Usia 0-
Kurus -3 SD sampai dengan -2 SD
60 Bulan
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD

Gemuk > 2 SD

Sumber: Data Kemenkes RI (2011)


2.8 Kerangka Teori

Berdasarkan dasar teori yang telah diuraikan, maka disusun suatu kerangka teori yaitu,

sebagai berikut :

Faktor Internal Faktor Eksternal

PAMSIMAS,
Nutrisi ibu hamil Sumber air
sumur gali,
minum
galon

Mencuci
Penyakit infeksi Personal hygiene tangan dan Keberadaan
pola asuh bakteri E.Coli

Sanitasi jamban dan


Nutrisi balita ketersediaan
lingkungan
tempat Penyakit saluran
sampah pencernaan

Pertumbuhan
balita

Stunting pada
Balita

Kerangka Teori

Sumber : Teori Modifikasi WHO (2013) dan Sinatrya (2019)


BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN

HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara

konsep satu terhadap konsep lainnya, atau antara variabel satu dengan variabel lain dari

masalah yang ingin di teliti (Notoatmodjo, 2012). Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah

diuraikan pada BAB II dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

stunting pada balita yaitu faktor internal dan faktor ekstenal. Faktor internaldiantaranya yaitu

nutrisi ibu pada saat hamil, penyakit infeksi, dan nutrisi balita. Sedangkan faktor eksternal

diantaranya yaitu sumber air minum, personal hygiene dan sanitasi lingkungan. Berdasarkan

hal tersebut diatas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam

bentuk bagan seperti dibawah ini :


Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor Eksternal :

1. Sumber air minum


Stunting pada balita
2. Bakteri escherchia coli
pada air minum
3. Personal Hygiene
4. Sanitasi lingkungan

Variabel Pengganggu

Faktor Internal :

1. Nutrisi ibu hamil


2. Penyakit infeksi
3. Nutrisi balita

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

Keterangan :
: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti


3.2 Definisi Operasional

Menurut Badriah (2012) menyatakan bahwa definisi operasional adalah proses apa

yang dilakukan agar variabel yang didefinisikan terjadi. Untuk membatasi ruang lingkup

ataupun pengertian variabel-variabel yang diteliti, perlu diberi batasan yang bermanfaat untuk

mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang

bersangkutan.

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Bebas Ukur

Sumber air Air minum adalah air Wawancara Kuesioner 1= air isi Nominal
minum yang melalui proses ulang (isi
pengolahan atau tanpa ulang dari
proses pengolahan yang depot air
melalui syarat dan dapat 2= air non isi
langsung diminum ulang (air dari
(Permenkes RI No. sumur/bor
492/Menkes/Per/IV/2010 pompa yang
tentang persyaratan di masak
kualitas air minum). terlebih
dahulu)
Pemeriksaan Pemeriksaan air minum Uji bakteri Uji 0= negatif Ordinal
bakteri pada balita yang escherchia Laboratorium atau tidak
escherchia mengalami stunting dan coli adanya
coli pada air yang tidak mengalami keberadaan
minum stunting. bakteri
escherchia
coli
1= positif atau
adanya
keberadaan
bakteri
escherchia
coli
Personal Personal hygiene adalah Wawancara Kuesioner 1= baik : Ordinal
Hygiene semua perilaku yang >75%
dilakukan atas dasar 2= sedang :
kesadaran sehingga 40% -75%
anggota keluarga dapat 3= kurang :
menolong dirinya sendiri <40%
dibidang kesehatan dan
berperan aktif dalam
kegiatan-kegiatan
kesehatan di masyarakat
(Anik Maryunani, 2013)

Sanitasi Sanitasi adalah suatu Wawancara Kuesioner 1= bersih Nominal


lingkungan usaha yang mengawasi (memenuhi
beberapa faktor kriteria
lingkungan fisik yang kebersihan
berpengaruh kepada yang sudah
manusia terutama ditetapkan)
terhadap hal-hal yang 2= tidak
mempengaruhi efek, bersih (tidak
merusak perkembangan memenuhi
fisik, kesehatan dan kriteria
keberlangsungan hidup kebersihan
(WHO). yang sudah di
tetapkan)

Variabel
Terikat
Stunting Keadaan gizi balita, yang Mengukur Alat ukur 1 = tidak Ordinal
pada balita diukur dengan Tinggi tinggi badan stunting, jika
membandingkan usia Badan menggunakan
dengan tinggi badan strature -2 SD sampai
menggunakan standar meter. dengan 2SD.
WHO 2 = stunting,
jika <-3 SD
sampai
dengan <-2
SD

3.3 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya

harus diuji secara empiris (Badriah, 2012). Hipotesis dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan antara sumber air minum dengan kejadian stunting pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Sedong Kabupaten Cirebon tahun 2020.

2. Terdapat hubungan antara bakteri escherchia coli pada air minum dengan kejadian

stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sedong Kabupaten Cirebon tahun

2020.

3. Terdapat hubungan antara hygiene dengan kejadian stunting pada balita di wilayah

kerja Puskesmas Sedong Kabupaten Cirebon tahun 2020.

4. Terdapat hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Sedong Kabupaten Cirebon tahun 2020.


BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan rancangan case

control. Studi case control digunakan untuk tujuan mengetahui hubungan antara suatu paparan

terhadap penyakit tertentu. Dalam studi ini di perlukan kelompok berpenyakit dan dengan

perbandingan dari suatu sup tidak berpenyakit (Heriana. 2018). Penelitian ini dilakukan untuk

melihat hubungan antara kadar bakteri Escherenchia Coli pada air minum dengan kejadian

stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sedong Kabupaten Cirebon tahun 2020.

4.2 Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimilki atau

didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo,

2012). Variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiono, 2015).

4.2.1 Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain (Nursalam, 2017).

Variabel bebas dalam penelitian ini sumber air minum, Pemeriksaan bakteri escherchia coli

pada air minum, personal hygiene, dan sanitasi lingkungan.

4.2.2 Variabel Terikat

Variabel terikat adalah variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variabel lain (Nursalam,

2017). Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian stunting pada balita.
4.2.3 Variabel Pengganggu

Variabel pengganggu adalah variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan

variabel yang sedang diteliti tetapi tidak dapat dilihat, diukur dan dimanipulasi (Nursalam,

2017). Variabel pengganggu dalam penelitian ini adalah nutrisi ibu hamil, penyakit infeksi,

dan nutrisi balita.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi

Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam suatu penelitian

(Notoatmodjo, 2010). Populasi pada kasus ini adalah balita stunting dan populasi kontrol pada

penelitian ini adalah balita yang tidak stunting. Populasi balita di wilayah kerja Puskesmas

Sedong sebanyak 2.823 balita, populasi balita yang diukur antropometri nya sebanyak 2.823

balita, dan populasi balita stunting sebanyak 320 balita, balita yang status gizi indeks TB/U

pendek sebanyak 269 balita, dan balita yang status gizi indeks TB/U pendek sebanyak 51

balita.

4.3.2 Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian

dan dipilih melalui suatu teknik pengambilan sampel. Sampel harus representatif yaitu sampel

yang dapat mewakili populasi yang ada. Semakin banyak sampel maka hasil penelitian akan

semakin representatif dan mendekati jumlah populasi (Nursalam, 2017). Adapun sampel

dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Sampel manusia

Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 39 balita yang mengalami

stunting dan 39 balita yang tidak stunting di Desa Kertawangun Kecamatan Sedong

Kabupaten Cirebon tahun 2020.


2. Sampel air minum

Sampel air minum yang digunakan berasal dari Penyediaan air minum dan

sanitasi berbasis masyarakat (PAMSIMAS), sumur gali, dan galon.

a. Alur pengambilan sampel

Persiapan alat dan Menuju titik Mengirimkan


Pengambilan sampel sampel air
bahan pengambilan air minum
sampel air minum ke
minum LABKESDA

Analisis hasil Dilakukan uji


pengujian air Hasil pengujian air bakteri e.coli
minum minum pada air minum
oleh
LABKESDA

Gambar 4.1 Diagram alur pengambilan sampel air minum

Alur pengambilan sampel air minum dimulai dari mempersiapkan

peralatan dan bahan untuk mengambil sampel air, langkah kedua yaitu menuju

titik pengambilan sampel air minum yang telah ditentukan. Titik pengambilan

sampel yaitu pada air minum yang menggunakan PAMSIMAS, sumur gali, dan

galon. Langkah ketiga yaitu dilakukannya pengambilan sampel air minum.

Jenis pengambilan sampel yaitu pemeriksaan bakteriologis e.coli pada air

minum. Langkah keempat yaitu mengirimkan sampel air minum ke

Laboratorium Kesehatan Daerah (LABKESDA) Kota Cirebon untuk dilakukan

pengujian kualitas air minum secara bakteriologis. Langkah selanjutnya yaitu

menganalisis hasil pengujian air minum dalam kategori memenuhi syarat dan

tidak memenuhi syarat sesuai batas maksimum yang telah ditentukan.


4.3.3 Teknik Sampling

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi

(Nursalam, 2017). Pada penelitian ini dengan cara non probability sampling yaitu apabila

besarnya peluang anggota populasi untuk terpilih sebagai sempel tidak diketahui (Badriah,

2012). Pada kelompok kasus pemilihan sampel menggunakan total sampling yaitu teknik

pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi (Sugiono, 2015).

Pada kelompok kontrol penelitian ini menggunakan perbandingan kelompok kasus :

kelompok kontrol yaitu 1:1. Sampel kontrol pada penelitian ini yaitu 39 balita. Sampel kontrol

pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu pengambilan sampel

dengan mempertimbangkan ciri-ciri atau karakteristik tertentu (Notoatmodjo, 2012).

Kelompok kontrol pada penelitian ini akan diambil pada saat responden datang ke posyandu

sampai sampel terpenuhi. Dan jika sampel belum tercapai maka peneliti akan melakukan

kunjungan kerumah.

Menurut Notoatmodjo (2012) pengambilan sampel dalam penelitian harus memenuhi

kriteria inklusi dan ekslusi. Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi

oleh setiap anggota populasi yang akan diambil sebagai sempel. Sedangkan kriteria ekslusi

adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel.

1. Kriteria inklusi :

a. Ibu yang bersedia menjadi responden dan menandatangani lembar intervensi.

b. Ibu yang mempunyai buku KIA

c. Ibu yang memiliki balita stunting

d. Ibu yang memiliki balita normal

2. Kriteria ekslusi :

a. Ibu yang menolak menjadi responden

b. Ibu yang tidak mempunyai buku KIA


4.4 Instrumen Penelitian

Instrumen adalah alat pengumpulan data yang telah baku atau alat pengumpulan data

yang memiliki standar validitas dan reabilitas (Badriah, 2012). Dalam penelitian ini instrumen

penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data untuk variabel, sumber air minum, bakteri

escherechia coli pada air minum, personal hygiene, dan sanitasi lingkungan menggunakan

lembar observasi atau kuesioner dan melakukan uji laboratorium mengenai bakteri escherechia

coli. Adapun untuk mengukur variabel kejadian stunting menggunakan strature meter untuk

mengukur tinggi badan.

4.4.1 Uji Validitas dan Uji Reabilitas

Instrumen yang baik harus memenuhi dua syarat penting yaitu valid dan reliabel.

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kevalidan atau kesehihan

suatu instrumen, suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang

diinginkan (Arikunto, 2014).

Hasil penelitian dapat dipercaya atau tidak sangat tergantung pada akrusi dan

kecermatan data yang diperoleh oleh tingkat validitas dan reliabilitas instrumen sebagai alat

ukur data tersebut (Heriana, 2015). Pada penelitian ini peneliti tidak melakukan uji validitas

dan reliabilitas karena instrumen yang digunakan sudah baku. Adapun alat ukur untuk menilai

tinggi badan balita menggunakan strature meter yang baru sehingga masih bisa digunakan

dalam kondisi yang baik.

4.5 Teknik Pengumpulan Data

4.5.1 Sifat dan Sumber Data

1. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat langsung dan subyek penelitian dengan

menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek
sebagai sumber informasi yang dicari (Badriah, 2012). Data primer pada

penelitian ini diperoleh dengan mendapatkan data pengukuran tinggi badan balita

pada saat kegiatan posyandu.

2. Data Sekunder

Data sekunder atau data tangan kedua adalah data yang didapat melalui pihak

lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti atau subyek penelitiannya (Badriah,

2012). Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari Puskesmas Sedong

Kabupaten Cirebon.

4.5.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode

observasi untuk mendapatkan data. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian

ini yaitu lembar kuesioner dan lembar uji laboratorium bakteri e.coli pada air minum. Teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap persiapan,

pelaksanaan, dan pendokumentasian.

Adapun langkah-langkah pengumpulan data, sebagai berikut :

1. Tahap persiapan

Dalam tahap ini peneliti melakukan persiapan seperti menentukan

masalah dan lokasi penelitian, melakukan studi pendahuluan dan

mempersiapkan keperluan sebelum proses penelitian dilakukan, seperti

membuat surat-surat untuk keperluan izin penelitian di Puskesmas Sedong

Kabupaten Cirebon dan di Desa Kertawangun Kecamatan Sedong Kabupaten

Cirebon. Kemudian menyusun proposal penelitian dilanjutkan dengan

mempersiapkan sidang proposal.


2. Tahap pelaksanaan

Pada tahapan pelaksanaan peneliti melaksanakan penelitian di Desa

Kertawangun Kecamatan Sedong Kabupaten Cirebon. Sebelum memberikan

lembar observasi peneliti melakukan informed consent kepada responden, yaitu

menjelaskan kepada responden mengenai bakteri e.coli pada air minum dan

kejadian stunting pada balita. Apabila responden setuju, maka peneliti

melakukan wawancara terhadap responden. Untuk lebih jelasnya kegiatan yang

dilakukan peneliti, yaitu :

a) Pengisian lembar informed consent

1. Peneliti memberikan lembar informed consent dan menjelaskan

tentang cara mengisi lembar informed consent

2. Responden mengisi lembar informed consent

3. Peneliti mengumpulkan lembar informed consent yang telah diisi

oleh responden

b) Pengisian kuesioner

Pengisian kuesioner dilakukan dengan cara saat posyandu atau door to

door ke setiap rumah dan saat pengisian kuesioner dibacakan oleh

peneliti.

c) Pengambilan sampel air

Untuk pengambilan samper air minum dilakukan dengan kebiasaan

masyarakat Desa Kutawangun mengkonsumsi air minum yang

bersumber dari PAMSIMAS, sumur gali, dan galon. Adapun tahapan

pengambilan samper air minum sebagai berikut :

1. Menyiapkan peralatan pengambilan sampel air

2. Melakukan pengambilan sampel air minum


3. Membawa sampel air minum ke Laboratorium Kesehatan Daerah

(LABKESDA) Kota Cirebon.

d) Pengujian bakteri e.coli pada air minum

Melakukan pengujian bakteri e.coli pada air minum yang dilakukan oleh

petugas Laboratorium Kesehatan Daerah (LABKESDA) Kota Cirebon.

3. Tahap pendokumentasian

Pada tahap terakhir penelotian, setelah mendapatkan seluruh data

penelitian, data tersebut dimasukan kedalam komputer (input) untuk diolah dan

dibuat hasil penelitian dalam bentuk tabel dan dilampirkan pada bab hasil

penelitian dan disusun menjadi sebuah laporan hasil penelitian yang digunakan

dalam kegiatan sidang skripsi.

4.6 Rancangan Pengolahan dan Analisis Data

4.6.1 Rancangan Pengolahan

Makna pengelolaan data penelitian yang telah diperoleh dimaksud sebagai suatu cara

mengorganisasikan data sedemikian rupa agar data tersebut dapat dibaca dan dapat ditafsirkan

(Badriah, 2012).

Pengolahan data merupakan salah satu bagian rangkaian penelitian setelah kegiatan

pengumpulan data (Heriana, 2015). Agar analisis penelitian menghasilkan informasi yang

benar, paling tidak ada empat tahapan dalam pengelolaan data yang harus dilalui, yaitu :

1. Editing

Editing merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau

kuesioner. Dalam hal ini peneliti melakukan penyuntingan terhadap kelengkapan isian

kuesioner.
2. Coding

Coding merupakan kegiatan mengubah data yang terbentuk kalimat atau huruf menjadi

data angka atau bilangan. Dalam hal ini peneliti memberi kode untuk setiap variabel

penelitian.

3. Processing

Pemrosesan data dilakukan dengan cara memasukan data dari kuesioner ke paket

program yang dapat digunakan untuk pemrosesan data dengan masing-masing memiliki

kelebihan dan kekurangan. Salah satu paket program yang akan digunakan untuk

memasukan data adalah dengan paket program software pengolahan statistik berbasis

windows.

4. Cleaning

Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang

sudah dimasukan apakah ada kesalahan atau tidak. Pada tahap ini, data yang sama

dikelompokan engan teliti dan teratur, kemudian dihitung dan dijumlahkan, lalu

digambarkan dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi.

4.6.2 Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan pengolahan statistik yang terdiri dari analiss univariat

dan analisis bivariat :

1. Analisis univariat

Tujuan dari analisis univariat adalah untuk menjelaskan/mendeskripsikan karakteristik

masing-masing variabel yang diteliti (Heriana, 2015).

Analisis data dilakukan untuk melihat tiap variabel dan hasil penelitian. Pada

umumnya hasil analisis ini menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel

(Badriah, 2012). Pada penelitian ini, analisis univariatnya menggunakan data jenis data
kategorik untuk variabel bebas sumber air minum, personal hygiene dan sanitasi

lingkungan.

2. Analisis bivariat

Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan dua variabel tersebut, biasanya

digunakan pengujian statistik. Jenis uji statistik yang digunakan sangat tergantung jenis

data/variabel yang dihubungkan (Heriana, 2015).

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan satu sama

lain, dapat dalam dudukan yang sejajar (pada pendekatan komperasi) dan kedudukan

yang merupakan sebab akibat atau eksperimentasi (Badriah, 2012).

Pada analisis tingkat bivariat, tiap variabel independen akan ditabulasi silangkan

dengan variabel dependen dalam tabulasi silang. Pada tabulasi silang 2X2 akan dicari

nilai OR (Odds Ratio) untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel

independen dan variabel dependen. Selain itu, akan dilakukan uji statistik menggunakan

uji Chi-Square dipilih sesuai dengan kegunaanya, yaitu untuk menguji independen

diantara dua variabel, menguji perbedaan proporsi atau persentase anatara beberapa

kelompok data dan juga digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel

independen dan variabel dependen.

Tabel 4.1 Tabulasi Silang antara Variabel Independen dengan


Variabel Dependen
Stunting (+) Stunting (-) Total

Faktor risiko (+) A B A –B

Faktor risiko (-) C D C –D

Total A+C B+D A+B+C+D


Perhitungan Odds Ratio

Odds stunting (+) pada kelompok faktor risiko (+) : A/B

Odds stunting (-) pada kelompok faktor risiko (-) : C/D

Odds Ratio : ( A/C) : (B/D) = AD/BC

Interpretasi nilai OR :

Bila nilai OR = 1, berarti variabel yang diduga sebagai faktor risiko tidak ada

pengaruhnya dalam kejadian efek atau bersifat netral.

1. Bila nilai OR > 1 dan rentan interval kepercayaan tidak mencakup angka 1, berarti

variabel tersebut merupakan faktor risiko untuk timbulnya penyakit.

2. Bila nilai OR < 1 dan rentan interval kepercayaan tidak mencakup angka 1, berarti

faktor yang diteliti merupakan faktor protektif, bukan faktor risiko.

3. Bila nilai interval kepercayaan OR mencakup angka 1, berarti pada populasi yang

diwakili oleh sampel tersebut masih mungkin nilai rasio prevalensinya = 1

Uji statistik Chi-Square menggunakan rumus :

(𝐹𝑜 − 𝐹𝑒)2
𝑥2 = ⅀
𝐹𝑒
Keterangan :

⅀ : Jumlah baris dan kolom

Fo : Frekuensi hasil observasi

Fe : Frekuensi yang diharapkan

Variabel dependen digunakan derajat kemaknaan alpha (α) = 0,05. Bila nilai ρ value ≤

alpha (0,05) taraf signifikan artinya ada hubungan antara dua variabel yang
diteliti/hubungan bermakna, sedangkan bila nilai ρ value ≥ alpha (0,05) artinya tidak ada

hubungan antar dua variabel yang diteliti/hubungan tidak bermakna (Notoatmodjo, 2012)

4.7 Etika Penelitian

Penelitian kesehatan pada umumnya dan penelitian kesehatan masyarakat pada khusunya

menggunakan manusia sebagai peneliti dan objek yang diteliti. Dalam pelaksanaan penelitian

harus diperhatikan hubungan antara kedua belah pihak secara etika dan masing-masing

keduanya memiliki hak dan kewajiban. Hak-hak dan kewajiban harus diakui dan dihargai oleh

masing-masing pihak tersebut. Peneliti sebagai pihak yang memerlukan informasi semestinya

menempatkan diri lebih rendah dari pihak yang memberikan informasi. Sebagai perwujudan

hak-hak responden, maka sebelum dilakukan pengambilan data atau wawancara terlebih

dahulu dilakukan dimintakan persetujuannya (inform concent) (Notoatmodjo, 2014).

4.7.1 Hak dan Kewajiban Responden

Menurut Notoatmodjo (2014) ada beberapa hak dan kewajiban responden yang harus

dipenuhi diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Hak Responden

a. Hak untuk dihargai privasinya

b. Hak untuk merahasiakan informasi yang diberikan

c. Hak memperoleh jaminan keamanan atau keselamatan akibat dari informasi

yang diberikan

d. Hak memperoleh imbalan atau kompensasi

2. Kewajiban Responden

Setelah adanya inform concent dari responden, artinya responden mempunyai

kewajiban untuk memberikan informasi yang diperlukan oleh peneliti.


4.7.2 Hak dan Kewajiban Peneliti

Menurut Notoatmodjo (2014) selain hak kewajiban responden, peneliti juga memiliki

hak dan kewajiban ketika melakukan penelitian. Adapun hak dan kewajiban tersebut

diantanya adalah sebagai berikut :

1. Hak Peneliti

Apabila responden menyetujui inform concent, peneliti mempunyai hak untuk

memperoleh informasi yang diperlukan sejujur-jujurnya dan selengkap-lengkapnya

dari responden.

2. Kewajiban Peneliti

a. Menjaga privasi responden

b. Menjaga kerahasiaan responden

c. Memberikan imbalan atau kompensasi responden

4.8 Waktu dan Lokasi Penelitian

4.8.1 Waktu

Penelitian dilakukan pada pada bulan April sampai Mei 2020.

4.8.2 Lokasi

Penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Sedong Kabupaten Cirebon tahun

2020.

Anda mungkin juga menyukai