Anda di halaman 1dari 20

Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan Penyakit HIV

Mega Julia Thio

102017249

C5

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510

Email : mega.thio@ymail.com

Abstrak
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh
adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah system
kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS
mudah terkena bebrbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat
oportunistik. Selain itu penderita AIDS sering kali menderita keganasan,khususnya sarcoma
Kaposi dan imfoma yang hanya menyerang otak. HIV menyebabkan beberapa kerusakan
system imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari
CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam prose itu, virus tersebut menghancurkan
CD4+ dan limfosit.
Kata kunci: AIDS, infeksi opurtunistik, sistem imun

Abstract
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) or loss of immune syndrome is a set of
symptoms of the disease that attacks the human body after kekebalannya system ravaged by
HIV. Due to loss of immune system, people with AIDS easily affected bebrbagai this type of
infection of bacteria, fungi, parasites, and viruses that are opportunistic. In addition people
with AIDS often suffer violence, specifically a Sarcoma sarcoma and imfoma who only attack
the brain. HIV causes some damage to immune system and destroy it. This occurs by using
the DNA of CD4 + lymphocytes and to replicate themselves. In prose that, the virus destroys
CD4 + and lymphocytes.
Keywords: AIDS, opurtunistik infections, immune system

1
Pendahuluan
Kita semua mungkin sudah banyak mendengar cerita-cerita yang menyeramkan
tentang HIV/AIDS. Penyebrangan AIDS itu berlangsung secara cepat dan mungkin sekarang
sudah ada disekitar kita. Sampai sekarang belum ada obat yang bisa menyembuhkan AIDS,
bahkan penyakit yang saat ini belum bisa dicegah dengan vaksin.

Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan dengan
AIDS adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yaitu: H = Human (manusia), I
= Immuno deficiency (berkurangnya kekebalan), V = Virus.

Maka dapat dikatakan HIV adalah virus yang menyerang dan merusak sel kekebalan
tubuh manusia sehingga tubuh kehilangan daya tahan dan mudah terserang berbagai penyakit
antara lain TBC, diare, sakit kulit, dll. Kumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh kita
itulah yang disebut AIDS.

Maka, selama bertahun-tahun orang dapat terinfeksi HIV sebelum akhirnya mengidap
AIDS. Namun penyakit yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah sejenis
radang paru-paru yang langka, yang dikenal dengan nama pneumocystis carinii pneumonia
(PCP), dan sejenis kanker kulit yang langka yaitu kaposi’s sarcoma (KS). Biasanya penyakit
ini baru muncul dua sampai tiga tahun setelah penderita didiagnosis mengidap AIDS.
Seseorang yang telah terinfeksi HIV belum tentu terlihat sakit. Secara fisik dia akan sama
dengan orang yang tidak terinfeksi HIV.

Oleh karena itu 90% dari pengidap AIDS tidak menyadari bahwa mereka telah
tertular virus AIDS, yaitu HIV karena masa inkubasi penyakit ini termasuk lama dan itulah
sebabnya mengapa penyakit ini sangat cepat tertular dari satu orang ke orang lain. Masa
inkubasi adalah periode atau masa dari saat penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh (saat
penularan) sampai timbulnya penyakit.1

Skenario 12

Seorang laki – laki berusia 27 tahun datang ke poliklinik dengan berat badan menurun
drastis sejak 1 bulan terakhir.

2
Anamnesis
Anamnesis adalah wawancara yang dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis
penyakit tertentu. Anamnesis memiliki tujuan untuk menentukan diagnosis kemungkinan
sehingga membantu menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk pemeriksaan
fisik dan penunjang. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis)
atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak
memungkinkan untuk diwawancarai.2
Anamnesis yang baik akan terdiri dari:
1. Identitas
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat penyakit dalam keluarga
6. Riwayat pribadi

Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, alamat,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsam dan agama. Keluhan utama adalah keluhan yang
dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke dokter. Riwayat penyakit sekarang
merupakan cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak
sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Riwayat penyakit dahulu bertujuan
untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah
diderita dengan penyakitnya sekarang. Riwayat penyakit keluarga penting untuk mencari
kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi. Riwayat pribadi meliputi
data-data sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebiasaan.2

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-
temuan dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan visual atau
pemeriksaan pandang (inspeksi), pemeriksaan raba (palpasi), pemeriksaan ketok (perkusi),
dan pemeriksaan dengar dengan menggunakan stetoskop (auskultasi). Sikap sopan santun dan
rasa hormat terhadap tubuh dan pribadi pasien yang sedang diperiksa harus diperhatikan
dengan baik oleh pemeriksa.2
Salah satu pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah dengan memeriksa tanda-tanda
vital. Tanda-tanda vital adalah nadi, pernapasan, suhu, dan tekanan darah. Semua harus

3
diukur dalam setiap pemerikaan yang lengkap dan dalam banyak pertemuan vital.
Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut vital karena mengandung ukuran-ukuran klinis kuantitatif.
Nadi merupakan refleksi perifer dari kerja jantung dan penjalaran gelombang dari
proksimal (pangkal aorta) ke distal. Gelombang nadi tidak bersamaan dengan aliran darah
tetapi menjalar lebih cepat. Intensitas nadi berhubungan dengan karakteristik pemnbuluh
darah dan tekanan nadi. Kecepatan denyut nadi normal pada dewasa yang sehat berkisar dari
50-100 denyut/menit.2
Kecepatan pernapasan dan polanya dikendalikan oleh kemosensor-kemosensor dan
otak. Untuk orang normal, peningkatan konsentrasi karbondioksida dan ion hidrogen dalam
darah merangsang peningkatan ventilasi. Pemeriksa harus waspada bahwa, peningkatan
kecepatan pernapasan involunter sering terjadi bila subjek menyadari bahwa pernapasannya
sedang diamati. Untuk alasan ini, penghitungan kecepatan pernapasan dilakukan secara diam-
diam. Kecepatan pernapasan normal adalah 12-18x/menit pada orang dewasa.2
Sistem-sistem enzim mamalia bekerja dengan baik pada satu rentang suhu yang
sempit. Oleh karena itu suhu tubuh mamalia berada pada keadaan yang agak konstan. Suhu
tubuh fisiologis manusia rata-rata adalah 37oC.2
Tekanan darah diukur dalam torr, singkatan dar torricelli, satuan tekanan yang
sebelumnya dikenali sebagai milimeter air-raksa. Tekanan darah normal pada kebanyakan
orang dewasa sehat berkisar antara 90/50 dengan 140/90.2
Selain tanda-tanda vital, ada beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan.
Pemeriksaan itu salah satunya dengan melakukan observasi kelopak mata dan inspeksi sklera
serta konjungtiva tiap-tiap mata. Selain itu, pemeriksaan abdomen juga dilakukan dengan
menginspeksi, auskultasi, dan perkusi. Palpasi abdomen dengan lembut, kemudian lakukan
palpasi dalam. Lakukan pemeriksaan hepar dan lien denngan perkusi dan kemudian palpasi.
Coba meraba kedua ginjal, jika dicurigai ada infeksi maka lakukan perkusi di daerah
posterior pada sudut kostovertebralis. Pada pemeriksaan ekstremitas bawah yang dilakukan
dalam posisi berbaring, lakukan pula tes rasa nyeri.2

Diagnosis HIV/AIDS

Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat tidak spesifik dan menyerupai
infeksi virus lain yaitu: letargi, malaise, sakit tenggorokan, mialgia (nyeri otot), demam dan
berkeringat. Pasien mugkin mengalami beberapa gejala, tetapi tidak mengalami keseluruhan
gejala tersebut di atas. Pada stadium awal, pemeriksaan laboratorium merupakan cara terbaik

4
untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi virus HIV atau tidak. Diagnosis laboratorium
dapat dilakukan dengan dua metode:
a. Langsung: yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan menggunakan
mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara deteksi antigen virus
yang makin popular belakangan ini adalah PCR (polymerase chain reaction) . PCR
untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes
ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.
b. Tidak Langsung: dengan melihat respon zat anti spesifik, misalnya dengan ELISA,
western blot, immunofluorescent assay (IFA), atau radioimmunoprecipitation assay
(RIPA). Untuk diagnosis HIV yang lazim dipakai:
 ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay) Tes skrining yang
digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA (enzyme-linked
immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV,
tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit
lain bisa juga menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit yang bisa
menyebabkan false positif, antara lain adalah penyakit autoimun, infeksi
virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkan
false positif (Nursalam dan. Tes ini mempunyai sensitivitas tinggi yaitu
sebesar 98,1%-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3
bulan setelah infeksi. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan
western blot.
 Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan
untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada
rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes negatif. Sedangkan bila
hampir atau semua rantai protein ditemukan, berarti hasil tes positif. Tes
Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang
menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulang lagi setelah
dua minggu dengan sampel yang sama. Jika tes Western Blot tetap tidak bisa
disimpulkan, maka tes Western Blot harus diulang lagi setelah enam
bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negatif. Western
Blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6%-100%. Pemerikasaannya
cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.3

5
Epidemiologi

UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta
jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu epidemik
paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan antiretrovirus
bertambah baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8
juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup pada tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000)
merupakan anak-anak. Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan
HIV. Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta
orang dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar sejak
tahun 1981.4

Afrika Sub-Sahara tetap merupakan wilayah terburuk yang terinfeksi, dengan


perkiraan 21,6 sampai 27,4 juta jiwa kini hidup dengan HIV. Dua juta [1,5&-3,0 juta] dari
mereka adalah anak-anak yang usianya lebih rendah dari 15 tahun. Lebih dari 64% dari
semua orang yang hidup dengan HIV ada di Afrika Sub Sahara, lebih dari tiga per empat
(76%) dari semua wanita hidup dengan HIV. Pada tahun 2005, terdapat 12.0 juta [10.6-13.6
juta] anak yatim/piatu AIDS hidup di Afrika Sub Sahara. Asia Selatan dan Asia
Tenggara adalah terburuk kedua yang terinfeksi dengan besar 15%. 500.000 anak-anak mati
di region ini karena AIDS. Dua-tiga infeksi HIV/AIDS di Asia muncul di India, dengawn
perkiraan 5.7 juta infeksi (perkiraan 3.4 - 9.4 juta) (0.9% dari populasi), melewati perkiraan
di Afrika Selatan yang sebesar 5.5 juta (4.9-6.1 juta) (11.9% dari populasi) infeksi, membuat
negara ini dengan jumlah terbesar infeksi HIV di dunia. Di 35 negara di Afrika dengan
perataan terbesar, harapan hidup normal sebesar 48.3 tahun - 6.5 tahun sedikit daripada akan
menjadi tanpa penyakit.4

Etiologi

AIDS merupakan bentuk terparah dari infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang
biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T
CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara langsung
dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat
berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga
kurang dari 200 per mikroliter (µL) darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan
akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi
laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang

6
diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi
tertentu.1

Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi


AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami
AIDS hanya sekitar 9,2 bulan. Namun, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang
sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang
memengaruhinya, di antaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti
fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi. Orang tua umumnya memiliki kekebalan
yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami
perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan
adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit
ini.1

Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi
cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran
mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko
daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih
besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko
karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara
umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan
sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan
gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga
karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen
dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika
Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS
akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid.
Risiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit
menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang
menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.2

Kontaminasi patogen melalui darah merupakan jalur penularan ini terutama


berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi
darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang
mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit

7
(patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis
B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari
semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat
Tiongkok, dan Eropa Timur. Risiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum
yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure
prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu. Pekerja fasilitas
kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun
lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan
menerima rajah dan tindik tubuh.2

Penularan masa perinatal yaitu transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui
rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat
persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan
persalinan adalah sebesar 25%. Namun, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi
antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar
1%. Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat
persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan
risiko penularan sebesar 4%.2

Manifestasi Klinis AIDS

Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang penderita AIDS


adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditujukan pada umumnya adalah bermula
dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada berbagai penderita penyakit lain, namun
secara umum dapat kiranya dikemukakan sebagai berikut : Rasa lelah dan lesu, berat badan
menurun secara drastis , demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam, mencret dan
kurang nafsu makan, bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut, pembengkakan leher
dan lipatan paha, radang paru-paru, kanker kulit.
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan
infeksi oportunistik :
Manifestadi tumor diantaranya; Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan
organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual,
dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer. Limfoma
ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan kurang lebih 1
tahun.

8
Manifestasi Oportunistik diantaranya adalah manifestasi pada paru-paru: Pneumonia
Pneumocystis (PCP) pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi
paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
Cytomegalo Virus (CMV) pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-
paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada
30% penderita AIDS. Mycobacterium Avilum menimbulkan pneumoni difus, timbul pada
stadium akhir dan sulit disembuhkan. Mycobacterium Tuberculosis biasanya timbul lebih
dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru.
Manifestasi pada Gastroitestinal tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan
turun lebih 10% per bulan.
Manifestasi Neurologis sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi
Neurologis, yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum
adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan neuropari perifer.5

Patofisiologi Infeksi HIV

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan etiologi dari infeksi HIV/AIDS.


Penderita AIDS adalah individu yang terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 < 200µL meskipun
tanpa ada gejala yang terlihat atau tanpa infeksi oportunistik. HIV ditularkan melalui kontak
seksual, paparan darah yang terinfeksi atau sekret dari kulit yang terluka, dan oleh ibu yang
terinfeksi kepada janinnya atau melalui laktasi. Molekul reseptor membran CD4 pada sel
sasaran akan diikat oleh HIV dalam tahap infeksi. HIV terutama akan menyerang limfosit
CD4. Limfosit CD4 berikatan kuat dengan gp120 HIV sehingga gp41 dapat memerantarai
fusi membrane virus ke membran sel. Dua ko-reseptor permukaan sel, CCR5 dan CXCR4
diperlukan, agar glikoprotein gp120 dan gp41 dapat berikatan dengan reseptor CD4.
Koreseptor menyebabkan perubahan konformasi sehingga gp41 dapat masuk ke membran sel
sasaran. Selain limfosit, monosit dan makrofag juga rentan terhadap infeksi HIV. Monosit
dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservoir untuk HIV tetapi tidak
dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politronik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia,
seperti sel Natural Killer (NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel langerhans, sel dendritik,
sel mikroglia dan berbagai jaringan tubuh. Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4, maka
berlangsung serangkaian proses kompleks kemudian terbentuk partikel-partikel virus baru
dari yang terinfeksi. Limfosit CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan
provirus atau mungkin mengalami siklus-siklus replikasi sehingga menghasikan banyak
virus. Infeksi pada limfosit CD4 juga dapat menimbulkan sitopatogenitas melalui beragam

9
mekanisme termasuk apoptosis (kematian sel terprogram) anergi (pencegahan fusi sel lebih
lanjut), atau pembentukan sinsitium (fusi sel).3

Patogenesis HIV/AIDS

Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen dan
sekret vagina. Sebagian besar penularan terjadi melalui hubungan seksual. Jika virus masuk
ke dalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA virus diubah menjadi DNA oleh enzim
reverse transcriptase yang dimiliki oleh HIV, DNA pro-virus tersebut kemudian
diintegrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen
virus. HIV menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen permukaan
CD4, terutama sekali limposit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan
mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, virus juga dapat menginfeksi
sel monosit dan makrofag, sel langerhas pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe,
makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus
yang masuk ke dalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi
banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itusendiri . Sistem kekebalan tubuh
menjadi lumpuh akibat hancurnya limposit T4 secara besar-besaran yang mengakibatkan
timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala-gejala klinis
AIDS. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun
sesudah infeksi.3

Pemeriksaan Penunjang untuk Mengetahui Adanya HIV


ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay). Elisa adalah suatu tes skrining yang
digunakan untuk mendiagnosis HIV. Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes
ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, maksudnya penyakit lain juga bisa
menunjukkan hasil positif sehingga menyebabkan positif palsu diantaranya penyakit
autoimun ataupun karena infeksi. Sensivitas ELISA antara 98,1%-100% dan dapat
mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam darah.2
Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk menemukan orang yang
tidak mengidap HIV) antara 99,6% – 100%. Namun pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan
membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa
menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi

10
setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika test Western Blot tetap tidak bisa
disimpulkan, maka test Western Blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan.2
PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif
dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas
Terapi utama untuk pasien dengan HIV/AIDS adalah anti retroviral (ARV).
Tujuannya adalah untuk menekan supaya replikasi dan perkembangan virus menjadi
seminimal mungkin. Dengan begitu, sistem imun akan membaik sehingga infeksi sekunder
dapat dicegah. Obat ini diminum seumur hidup. Pemberian terapi ARV dapat menurunkan
penyebaran HIV hingga 92%. Terapi penunjang lain antara lain adalah profilaksis infeksi
Pneumonia jirovecii dan toksoplasmosis pada pasien dengan CD4 kurang dari 200 sel/mm3.
Profilaksis primer tersebut menggunakan kotrimoksasol double strength 1 tablet perhari.
Selain itu, karena fungsi imun yang buruk, infeksi oportunistik menjadi salah satu masalah
utama penderita AIDS. Terapi sesuai dengan infeksi yang terjadi.4

Diagnosa Banding

Candidiasis atau candidosis merupakan bentuk paling umum dari mikosis oral
superficial. Canadidiasis oral merupakan infeksi oportunistik yang paling umum
mempengaruhi mukosa oral. Pada sebagian besar kasus, lesi tersebut disebabkan oleh jamur
Candida albicans.2
TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan batang
aerobic tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar UV. Bakteri
yang jarang sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M. Bovis dan M. Avium.HIV
merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi
HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity),
sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah
orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian
penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.2
Sifilis adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri spiroset
Treponema pallidum sub-spesies pallidum. Rute utama penularannya melalui kontak seksual;
infeksi ini juga dapat ditularkan dari ibu ke janin selama kehamilan atau saat kelahiran, yang
menyebabkan terjadinya sifilis kongenital. Penyakit lain yang diderita manusia yang

11
disebabkan oleh Treponema pallidum termasuk frambusia atau patek (subspesies pertenue),
pinta (sub-spesies carateum), dan bejel (sub-spesies endemicum).4
Kutil Genitalis atau dengan nama lain Kondiloma Akuminata merupakan kutil di
dalam atau di sekeliling vagina, penis atau dubur, yang ditularkan melalui hubungan seksual.
Kondiloma akuminatum ialah vegetasi oleh Human Papiloma Virus tipe tertentu, bertangkai,
dan permukaannya berjonjot. Tipe HPV tertentu mempunyai potensi onkogenik yang tinggi,
yaitu tipe 16 dan 18. tipe ini merupakan jenis virus yang paling sering dijumpai pada kanker
serviks. Sedangkan tipe 6 dan 11 lebih sering dijumpai pada kondiloma akuminatum dan
neoplasia intraepitelial serviks derajat ringan.5

Prognosis

Para peneliti telah mengamati dua pola umum penyakit pada anak yang terinfeksi HIV
Sekitar 2% dari anak-anak mengembangkan penyakit serius pada tahun pertama kehidupan,
sebagian besar anak-anak ini meninggal pada usia 0 tahun. Perempuan yang terinfeksi HIV
dan terdeteksi dini serta menerima pengobatan yang tepat bertahan lebih lama daripada pria,
orang tua yang didiagnosis HIV tidak hidup selama orang muda yang memiliki virus ini
meskipun ada upaya yang signifikan namun tidak ada vaksin yang efektif terhadap HIV oleh
karena itu hal ini dapat berakibat fatal jika tidak ada pengobatan.5

Cara Penularan HIV/AIDS

Penularan HIV yang diketahui dan diakui saat ini adalah melalui hubungan seksual
(homo maupun heteroseksual), darah (termasuk penggunaan jarum suntik), dan
transplasental/perinatal (dari ibu ke anak yang akan lahir). Ada lima unsur yang perlu
diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu: sumber infeksi, vehikulum/media
perantara, hospes yang rentan, tempat keluar dan tempat masuk hospes baru.3
a. Transmisi Seksual
Hubungan seksual (penetrative sexual intercourse) baik vaginal maupun oral
merupakan cara transmisi yang paling sering terutama pada pasangan seksual pasif yang
menerima ejakulasi semen pengidap HIV. Diperkiran tiga per empat pengidap HIV di dunia
mendapatkan infeksi dengan cara ini. HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual dari
pria-wanita, wanita-pria, dan pria-pria. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani,
cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur atau mulut
sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah. Selama

12
berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa
menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual.3
b. Transmisi Nonseksual
Penularan virus HIV non seksual terjadi melalui jalur pemindahan darah atau
produk darah (transfusi darah, alat suntik, alat tusuk tato, tindik, alat bedah, dan melalui
luka kecil di kulit), jalur transplantasi alat tubuh, jalur transplasental yaitu penularan dari ibu
hamil dengan infeksi HIV kepada janinnya. Transmisi HIV non seksual dapat terjadi pula
pada petugas kesehatan yang merawat penderita HIV/AIDS dan petugas laboratorium yang
menangani spesimen cairan tubuh yang berasal dari penderita. Penularan terjadi karena
tertusuk jarum suntik yang sebelumnya digunakan penderita atau kulit mukosa yang terkena
cairan tubuh penderita.3

Gejala Klinis HIV/AIDS

a. HIV Stadium I
Bersifat asimptomatik, aktivitas normal dan dijumpai adanya limfadenopati
Generalisata Persisten (LGP): yakni pembesaran kelenjar getah bening di beberapa
tempat yang menetap.
b. HIV Stadium II
Berat badan menurun <10%, ulkus atau jamur di mulut, herpes zoster dalam lima
sinusitis rekuren.
c. HIV Stadium III
Berat badan menurun >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari satu
bulan, demam berkepanjangan lebih dari satu bulan.
d. HIV Stadium IV
Berat badan menurun >10%, gejala-gejala infeksi pneumosistosis, TBC,
kriptokokosis, herpes zoster dan infeksi lainnya sebagai komplikasi turunnya sistem
imun.2

Pencegahan HIV/AIDS

Pencegahan Primer Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang
sehat tetap sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer merupakan hal
yang paling penting, terutama dalam merubah perilaku. Beberapa hal yang perlu

13
diperhatikan antara lain : Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan
pendekatan “ABC” yaitu, Abstinence, artinya absen seks ataupun tidak melakukan
hubungan seks bagi orang yang belum menikah merupakan metode paling aman untuk
mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, jika tidak memungkinkan pilihan
kedua adalah Be Faithful, artinya tidak berganti-ganti pasangan. Jika kedua hal tersebut tidak
memungkinkan juga, maka pilihan berikutnya adalah penggunaan kondom secara konsisten
(Use Condom). Berhenti menjadi pengguna NAPZA terutama narkotika suntikan, atau
mengusahakan agar selalu menggunakan jarum suntik yang steril serta tidak mengunakannya
secara bersama-sama. Di sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan
kewaspadaan universal (universal precaution) untuk mengurangi risiko penularan HIV
melalui darah. Kewaspadaan universal ini meliputi cuci tangan dengan sabun dan air
mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan, penggunaan alat pelindung
yang sesuai untuk setiap tindakan, pengelolaan dan pembuangan alat tajam secara hati-hati,
pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi, desinfeksi dan
sterilisasi dengan benar.3
Pencegahan Sekunder : Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun
secara progresif sehingga muncul berbagai infeksi opurtunistik yang akhirnya dapat berakhir
pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang
efektif. sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut :
Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita.
Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik dan pemberian
vitamin. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai
penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS.28 Jenis-jenis mikroba yang
menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa (Pneumocystis carinii, Toxoplasma, dan
Cryptotosporidium), jamur (Kandidiasis), virus (Herpes, cytomegalovirus/CMV, Papovirus)
dan bakteri (Mycobacterium TBC, Mycobacterium ovium intra cellular, Streptococcus, dll).
Penanganan terhadap infeksi opurtunistik ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme
penyebabnya dan diberikan terus-menerus. Pengobatan antiretroviral (ARV), ARV bekerja
langsung menghambat enzim reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease.
Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi
opurtunistik menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan
mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan pasien HIV/AIDS ataupun
membunuh HIV.3

14
Pencegahan Tersier: Orang yang didiagnosis HIV biasanya banyak menerima
diskriminasi saat membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi
obat, selain itu juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya.
ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat
melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Misalnya : Memperbolehkannya
untuk membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan perasaannya, membangkitkan
harga dirinya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau mengenang masa lalu yang indah,
menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya Mengajarkan pada keluarga
untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diri atau orang
lain.3

Komplikasi HIV/AIDS
Penyakit paru-paru utama foto sinar-X pneumonia pada paru-paru, disebabkan oleh
Pneumocystis jirovecii. Pneumonia pneumocystis (PCP)[10] jarang dijumpai pada orang
sehat yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang
terinfeksi HIV. Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya
diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat,
penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang,
penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites,
walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200
per µL.2
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang
terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute
pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat
muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun,
resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini.
Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena
digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun
tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak
ditemukan.2
Penyakit saluran pencernaan utama Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan
(esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV,
penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1

15
atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya
langka.2
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena
berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella,
Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak
umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex,
dan virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis). Pada beberapa kasus, diare
terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani HIV, atau
efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga
merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare
(misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan
merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta
mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan
dengan HIV.3
Penyakit saraf dan kejiwaan utama infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan
tingkah laku karena gangguan pada saraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh
infeksi organisma atas sistem saraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung
dari penyakit itu sendiri.
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit
yang menghancurkan selubung saraf (mielin) yang menutupi serabut sel saraf (akson),
sehingga merusak penghantaran impuls saraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70%
populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya
ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit
ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya
menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.
Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia)
yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang
disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh
makrofag dan mikroglia pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan
neurotoksin. Kerusakan saraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif,
perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini
berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada
plasma darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 10-

16
20%,[18] namun di India hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV. Perbedaan ini
mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di India.
Kanker dan tumor ganas: Sarkoma Kaposi adalah pasien dengan infeksi HIV pada
dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini
karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik; yaitu terutama virus Epstein-Barr
(EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV).
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel
darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt
(Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell
lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem saraf pusat primer, lebih sering muncul pada
pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis)
yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian
besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS.
Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia. Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat
terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan
kanker anus. Namun, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan kanker
usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-
tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam menangani
AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada
saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien
yang terinfeksi HIV.2
Infeksi oportunistik lainnya: Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik
dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi
oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo.
Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang
dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang
dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei,
atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah
tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia
Tenggara.4

17
Penatalaksanaan HIV/AIDS
Aspek Medis meliputi : Pengobatan suportif adalah penilaian gizi penderita sangat
perlu dilakukan dari awal sehingga tidak terjadi hal hal yang berlebihan dalam pemberian
nutrisi atau terjadi kekurangan nutrisi yang dapat menyebabkan perburukan keadaan
penderita dengan cepat. Penyajian makanan hendaknya bervariatif sehingga penderita dapat
tetap berselera makan. Bila nafsu makan penderita sangat menurun dapat dipertimbangkan
pemakaian obat Anabolik Steroid. Proses Penyedian makanan sangat perlu diperhatikan agar
pada saat proses tidak terjadi penularan yang fatal tanpa kita sadari. Seperti misalnya
pemakaian alat-alat memasak, pisau untuk memotong daging tidak boleh digunakan untuk
mengupas buah, hal ini di maksudkan untuk mencegah terjadinya penularan Toksoplasma,
begitu juga sebaliknya untuk mencegah penularan jamur.
Pencegahan dan pengobatan infeksi Oportunistik. Meliputi penyakit infeksi
Oportunistik yang sering terdapat pada penderita infeksi HIV dan AIDS. Tuberkulosis
sejak epidemi AIDS maka kasus TBC meningkat kembali. Dosis INH 300 mg setiap hari
dengan vit B6 50 mg paling tidak untuk masa satu tahun. Toksoplasmosis sangat perlu
diperhatikan makanan yang kurang masak terutama daging yang kurang matang. Obat
: TMP-SMX 1 dosis/hari. CMV virus ini dapat menyebabkan Retinitis dan dapat
menimbulkan kebutaam. Ensefalitis, Pnemonitis pada paru, infeksi saluran cernak yang dapat
menyebabkan luka pada usus. Obat : Gansiklovir kapsul 1 gram tiga kali sehari. Jam yang
paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah jamur Kandida.
Obat : Nistatin 500.000 u per hari Flukonazol 100 mg per hari.
Aspek Psikologis, meliputi : Perawatan personal dan dihargai, mempunyai seseorang
untuk diajak bicara tentang masalah-masalahnya, jawaban-jawaban yang jujur dari
lingkungannya, tindak lanjut medis, mengurangi penghalang untuk pengobatan,
pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka
Aspek Sosial. Seorang penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk
dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi 3 hal: Emotional
support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan diperhatikan. Cognitive support,
meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat. Materials support, meliputi bantuan /
pelayanan berupa sesuatu barang dalam mengatasi suatu masalah. Dukungan sosial terutama
dalam konteks hubungan yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga
barangkali merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting.5

18
Kesimpulan
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh
virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) . Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita
AIDS mudah terkena bebrbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang
bersifat oportunistik. Infeksi opurtunistik pada kasus ini merupakan candidiasis oral.

19
Daftar Pustaka
1. Tjokronegoro A, Utama H. Buku ajar ilmu penyakit dalam jlid II. Edisi 3. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI;2003.h.81-4
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi V.
Jakarta: Internal Publishing;209.h.2861-8
3. Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. Buku ajar patofisiologi. Jakarta: EGC;2011.h.483-6
4. Budi M, Unandar, Syaiful FD. Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Aquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Dalam: Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Edisi 5. Jakarta: FKUI;2010.h.427-431
5. Setiati S, Alwi L. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6. Jakarta: Interna
Publishing;2014.h.504-10

20

Anda mungkin juga menyukai