Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi penyakit yang
menyerang pada balita yang terjadi di saluran napas dan kebanyakan merupakan
infeksi virus. Penderita akan mengalami demam, batuk, dan pilek berulang serta
anoreksia. Di bagian tonsilitis dan otitis media akan memperlihatkan adanya
inflamasi pada tonsil atau telinga tengah dengan jelas. Infeksi akut pada balita
akan mengakibatkan berhentinya pernapasan sementara atau apnea (Meadow,
2005: 153-154).
ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita. Menurut para ahli,
daya tahan tubuh anak sangat berbeda dengan orang dewasa karena sistem
pertahanan tubuhnya belum kuat. Apabila dalam satu rumah anggota keluarga
terkena pilek, balita akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi anak yang lemah,
proses penyebaran penyakit menjadi lebih cepat. Resiko ISPA mengakibatkan
kematian pada anak dalam jumlah kecil, akan tetapi menyebabkan kecacatan
seperti otitis media akuta (OMA) dan mastoiditis. Bahkan dapat menyebabkan
komplikasi fatal yakni pneumonia (Anonim, 2010: 111).
Pertumbuhan balita yang tercermin pada status gizi dapat dipantau melalui
grafik pertumbuhan berdasarkan standar tertentu misalnya WorldHealth
Organization-The National Center Health Statistics (WHO-NCHS).Apabila terjadi
perubahan grafik pertumbuhan, baik dalam pertumbuhanmassa tubuh maupun
pertumbuhan linier, yang keduanya menjurus ke arah penurunan grafik bila
dibandingkan dengan standar, maka dikatakan mengalami goncangan
pertumbuhan (growth faltering) (Satoto, 1990: 10 dalam Royal, 2010: 12).
Goncangan pertumbuhan berkaitan dengan kekurangan gizi sejak bayi dalam
kandungan atau Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan banyaknya bayi yang
diberi makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak usia 1 bulan, bahkan sebelum

1
usia 1 bulan. Tingkat kecukupan gizi yang kurang terutama energi dan protein,
pola asuh atau perawatan bayi yang kurang optimal serta penyakit infeksi
(Prawirohartono, 1997: 309 dalam Royal, 2010: 13).
Menurut Wardhana (2004: 127), pencemaran partikel seperti debu pada
peristiwa meletusnya gunung berapi merupakan dampak pencemaran partikel yang
disebabkan karena peristiwa alamiah (faktor internal). Secara umum partikel-
partikel yang mencemari udara dapat merusak lingkungan dan menimbulkan
gangguan kesehatan pada manusia. Partikel-partikel tersebut dapat menimbulkan
berbagai macam penyakit saluran pernapasan. Pada saat menarik nafas, udara yang
mengandung partikel akan terhirup masuk ke dalam paru-paru. Ukuran debu
partikel (debu) yang masuk ke dalam paru-paru akan menentukan letak
penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Partikel yang berukuran kurang
dari 5 mikron akan bertahan di saluran nafas bagian atas, sedangkan partikel 3-5
mikron akan tertahan di bagian tengah, partikel lebih kecil 1-3 mikron akan masuk
ke kantung paru-paru, menempel pada alveoli. Partikel yang lebih kecil, kurang 1
mikron akan ikut keluar saat dihembuskan.
Menurut data laporan kasus kesakitan Puskesmas Jongaya Tahun 2019,
angka kejadian ISPA menduduki peringkat pertama yaitu 3113 kasus. Berdasarkan
data laporan kasus kesakitan, kejadian ISPA pada kisaran umur 1-5 tahun
sebanyak 617 kasus.Sanitasi rumah merupakan usaha kesehatan masyarakat yang
menitik beratkan pada pengawasan terhadap struktur fisik, yaitu digunakan sebagai
tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana sanitasi
tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan
alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan
kotoran manusia dan penyediaan air bersih (Azwar, 1990: 79-100).
Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan penyakit
menular terutama ISPA. Lingkungan perumahan sangat berpengaruh pada
terjadinya dan tersebarnya ISPA.Rumah yang jendelanya kurang proporsional

2
ukurannya, menyebabkan pertukaran udara yang tidak dapat berlangsung dengan
baik, akibatnya asap dapur dan asap rokok dapat terkumpul dalam rumah. Bayi
dan anakyang sering menghisap asap lebih mudah terserang ISPA. Rumah yang
lembab dan basah karena banyak air yang terserap di dinding tembok dan matahari
pagi sukar masuk dalam rumah juga memudahkan anak-anak terserang ISPA
(Ranuh, 1997: 8).
Perkembangan persebaran penyakit menggambarkan secara spesifik peran
lingkungan terhadap terjadinya penyakit dan wabah dan sejak lama sudah
diperkirakan pengaruh lingkungan terhadap terjadinya penyakit. Ditinjau dari segi
ilmu kesehatan lingkungan, penyakit terjadi karena adanya interaksi antara
manusia dengan lingkungannya (Soemirat, 2007: 18).
Puskesmas Jongaya memiliki 3 wilayah kerja yaitu Kelurahan Pa’Baeng-
Baeng, Jongaya dan Bongaya. Berdasarkan kejadian ISPA yang terjadi di
Puskesmas Jongaya Kota Makassar, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengungkap hubungan kondisi faktor lingkungan yang spesifik dan kejadian ISPA
khususnya pada balita di wilayah kerja Puskesmas Jongaya, Kota Makassar.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat permasalahan dalam
penelitian ini antara lain berbagai pengaruh penyebab ISPA. Banyak faktor yang
berkaitan dengan terjadinya penyakit ISPA ini antara lain faktor lingkungan, faktor
perilaku, umur, letak geografis, musim dan sanitasi, adanya bencana alam (pasca
erupsi) serta faktor lainnya.

3
C. Batasan Masalah
Penelitian ini hanya difokuskan mengenai kondisi lingkungan dari sanitasi
rumah dan lingkungan di wilayah kerja Puskesmas Jongaya Kota Makassar yaitu:
1. Pengkajian tentang faktor lingkungan yang berhubungan dengan kejadian ISPA
pada balita dan perbedaan kondisi lingkungan pada balita yang mengalami
ISPA dan balita yang tidak mengalami kejadian ISPA di wilayah kerja
Puskesmas Jongaya Kota Makassar PeriodeOktober-November 2019.
2. Pengkajian tentang hubungan subfaktor lingkungan dalam memicu kejadian
ISPA dan faktor lingkungan yang paling dominan dalam mendukung kejadian
ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Jongaya Kota Makassar
PeriodeOktober-November 2019.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka dirumuskan permasalahan
dalam penelitian ini yaitu:
1. Apa saja faktor lingkungan yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada
balita dan perbedaan kondisi lingkungan pada balita yang mengalami ISPA dan
balita yang tidak mengalami kejadian ISPA di Puskesmas Jongaya Kota
Makassar PeriodeOktober-November 2019?
2. Bagaimana hubungan subfaktor lingkungan dalam memicu kejadian ISPA dan
faktor lingkungan yang paling dominan dalam memicu kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Jongaya Kota Makassar PeriodeOktober-
November 2019?

4
E. Tujuan Masalah
1. Untuk mengidentifikasi faktor lingkungan yang memicu kejadian ISPA pada
balita dan mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kondisi lingkungan pada
balita yang mengalami ISPA dan balita yang tidak mengalami kejadian ISPA di
wilayah kerja Puskesmas Jongaya Kota Makassar PeriodeOktober-November
2019.
2. Untuk mengetahui hubungan subfaktor lingkungan dalam memicu kejadian
ISPA dan faktor lingkungan yang paling dominan dalam memicu kejadian
ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Jongaya Kota Makassar
PeriodeOktober-November 2019.

F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini antaralain:
1. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu informasi dalam upaya
menjaga sanitasi lingkungan guna mencegah dan mengurangi resiko terjadinya
kejadian ISPA pada balita.
2. Bagi Dinas Kesehatan
Sebagai bahan masukan dalam penentuan intervensi dari permasalahan
kesehatan yang terjadi yang berhubungan dengan faktor lingkungan dan
kejadian ISPA pada balita.
3. Keilmuan
Sebagai bahan masukan dan dokumen ilmiah yang bermanfaat dalam
mengembangkan ilmu terkait tentang masalah ISPA pada balita serta dapat
digunakan dan bahan perbandingan penelitian yang serupa di daerah lain.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka
1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
a. Definisi ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA
atas dan bawah menurut Nelson (2002: 1456-1483), Infeksi saluran
pernapasan atas adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dan bakteri
termasuk nasofaringitis atau common cold, faringitis akut, uvulitis akut,
rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis. Sedangkan, infeksi saluran
pernapasan akut bawah merupakan infeksi yang telah didahului oleh infeksi
saluran atas yang disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder, yang termasuk
dalam penggolongan ini adalah bronkhitis akut, bronkhitis kronis,
bronkiolitis dan pneumonia aspirasi.

Gambar 1. Anatomi Saluran Pernafasan Berdasarkan Lokasi Anatomi


Sumber:repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20483/Chapter%20II.pdf

6
b. Jenis-Jenis ISPA
Penyakit Infeksi akut menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari
saluran nafas mulai hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah)
termasuk jaringan aksesoris seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni antara lain:

1) Infeksi
Infeksi merupakan masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam
tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala
penyakit.

2) Saluran pernapasan
Saluran pernapasan merupakan organ mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ aksesorinya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

3) Infeksi Akut
Infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
ditentukan untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari.

Penyakit ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian


atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk paru-paru) dan organ
aksesoris saluran pernafasan. Berdasarkan batasan tersebut jaringan paru
termasuk dalamsaluran pernafasan (respiratory tract). Program
pemberantasan penyakit (P2) ISPA dalam 2 golongan yaitu:

1) ISPA Non-Pneumonia
Merupakan penyakit yang banyak dikenal masyarakat dengan istilah
batuk dan pilek (common cold).

2) ISPA Pneumonia

7
Pengertian pneumonia sendiri merupakan proses infeksi akut yang
mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi
kuman bakteri, yang ditandai olehgejala klinik batuk, disertai adanya
nafas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah.

Berdasarkan kelompok umur program-program pemberantasan ISPA


(P2 ISPA) mengklasifikasikan ISPA sebagai berikut:

1) Kelompok umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan atas:


a) Pneumonia berat: apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya
penarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam dan
adanya nafas cepat, frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih.
b) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): bila tidak ditemukan tanda
tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada
nafas cepat, frekuensi kurang dari 60 menit.

2) Kelompok umur 2 bulan - <5 tahun diklasifikasikan atas:


a) Pneumonia berat: apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya
tarikan dinding dada dan bagian bawah ke dalam.
b) Pneumonia: tidak ada tarikan dada bagian bawah ke dalam, adanya
nafas cepat, frekuensi nafas 50 kali atau lebih pada umur 2 - <12 bulan
dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan-bulan - <5 tahun.
c) Bukan pneumonia: tidak ada tarikan dinding dadabagian bawah ke
dalam, tidak ada nafas cepat, frekuensi kurang dari 50 kali per menit
pada anak umur 2- <12 bulan dan kurang dari 40 permenit 12 bulan -
<5 bulan.

Penyakit ISPA pada balita dapat menimbulkan bermacam-macam


tanda dan gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek,

8
sakit telinga dan demam. Berikut gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain
sebagai berikut:

1) Gejala dari ISPA ringan


Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu
atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
a) Batuk
b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara
(pada waktu berbicara atau menangis)
c) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C.

2) Gejala dari ISPA sedang


Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala
dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
a) Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu: untuk kelompok
umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih
untuk umur 2-<12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur
12 bulan - < 5 tahun.
b) Suhu tubuh lebih dari 39°C
c) Tenggorokan berwarna merah
d) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f) Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)

3) Gejala dari ISPA Berat


Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-
gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-
gejala sebagai berikut:
a) Bibir atau kulit membiru

9
b) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
c) Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
d) Sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas
e) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
f) Tenggorokan berwarna merah

c. Proses Terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan


Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkhus dilapisi oleh
membran mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung
disaring, dihangatkan dan dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat
disaring oleh rambut yang terdapat dalam hidung, sedangkan partikel debu
yang halus akan terjerat dalam membran mukosa. Gerakan silia mendorong
membran mukosa ke posterior ke rongga hidung dan ke arah superior
menuju faring.
Secara umum efek pencemaran udara terhadap pernafasan dapat
menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan
dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat
iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga
menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan makrofage di saluran
pernafasan. Akibat dari dua hal tersebut akan menyebabkan kesulitan
bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri tidak dapat dikeluarkan
dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran
pernafasan (Mukono, 2008: 17).

d. Penyebab ISPA
ISPA dapat disebabkan oleh banyak hal. Antara lain:
1) Menurut Nelson (2002, 1455-1457), Virus penyebab ISPA meliputi virus
parainfluenza, adenovirus, rhinovirus, koronavirus, koksakavirus A dan
B, Streptokokus dan lain-lain.

10
2) Perilaku individu, seperti sanitasi fisik rumah, kurangnya ketersediaan air
bersih (Depkes RI, 2005: 30).

Untuk pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu:


a) Imunisasi
b) Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) polusi di dalam maupun di
luar rumah
c) Mengatasi demam
d) Perbaikan makanan pendamping ASI
e) Penggunaan air bersih untuk kebersihan dan untuk minum.

e. Cara Penularan ISPA


Penyebaran melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda
yang telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA (hand to hand
transmission) dan dapat juga ditularkan melalui udara tercemar (air borne
disease) pada penderita ISPA yang kebetulan mengandung bibit penyakit
melalui sekresi berupa saliva atau sputum.

2. Rumah Sehat dan Faktor Lingkungan


a. Pengertian Rumah Sehat
Menurut Azwar (1986: 81), rumah dapat diartikan sebagai tempat
untuk melepaskan lelah, beristirahat, tempat bergaul dengan keluarga,
sebagai tempat untuk melindungi diri dari segala ancaman, sebagai lambang
sosial.
Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria
yaitu:
1) Memenuhi kebutuhan fisiologis meliputi pencahayaan, penghawaan,
ruang gerak yang cukup dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
2) Memenuhi kebutuhan psikologis meliputi privacy, komunikasi yang
sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah.

11
3) Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni
rumah meliputi penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, limbah rumah
tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian tidak
berlebihan dan cukup sinar matahari pagi.
4) Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang
timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah, antara lain fisik rumah
yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung
membuatpenghuninya jatuh tergelincir.

Menurut Depkes RI (2005: 30), rumah sehat adalah proporsi rumah


yang memenuhi kriteria sehat minimum komponen rumah dan sarana
sanitasi dari tiga komponen (rumah, sarana sanitasi dan perilaku) di satu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Minimum yang memenuhi
kriteria sehat pada masing-masing parameter adalah sebagai berikut:
a) Minimum dari kelompok komponen rumah adalah langit-langit,
dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, ventilasi,
sarana pembuangan asap dapur dan pencahayaan.
b) Minimum kelompok fasilitas pendukung rumah sehat adalah sarana
air bersih, jamban (sarana pembuangan kotoran), sarana pembuangan
air limbah (SPAL) dan sarana pembuangan sampah.
c) Perilaku
Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat untuk
menitikberatkan pada pengawasan terhadap strukur fisik yang
digunakan sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat
kesehatan manusia (Azwar, 1986: 8).
Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan
penyakit menular, terutama ISPA. Lingkungan perumahan sangat
berpengaruh pada terjadinya dan tersebarnya ISPA (Azwar, 1990: 84-
100).

12
Rumah yang tidak sehat dapat menjadi reservoir penyakit bagi
seluruh lingkungan, jika kondisi tidak sehat bukan hanya pada satu
rumah tetapi pada kumpulan rumah (lingkungan pemukiman).
Timbulnya permasalahan kesehatan dilingkungan pemukiman pada
dasarnyadisebabkan karena tingkat kemampuan ekonomi yang rendah,
karena rumah dibangun berdasarkan kemampuan penghuninya
(Notoatmodjo, 2007: 168).

Menurut Ranuh (1997: 8), sanitasi lingkungan memiliki peran


yang cukup dominan dalam penyediaan lingkungan yang mendukung
kesehatan anak dan tumbuh kembangnya. Kebersihan, baik kebersihan
perorangan maupun lingkungan memegang peranan penting dalam
timbulnya penyakit. Akibat dari kebersihan yang kurang, maka anak
akan sering sakit misal diare, kecacingan, tifus abdominialis, hepatitis,
malaria, demam berdarah dan sebagainya. Demikian pula dengan
polusi udara yang tidak baik yang berasal dapat berpengaruh terhadap
tingginya angka kejadian ISPA.

b. Faktor Lingkungan (Environment)


Lingkungan merupakan segala sesuatu ataupun kondisi di sekitar
ruang lingkup kehidupan manusia/individu. Salah satu diantaranya
adalah lingkungan fisik yaitu temperatur, cahaya, pertukaran udara,
perumahan, pakaian, air, tanah dan sebagainya (Dainur, 1995: 8).
Faktor lingkungan memegang peranan yang penting dalam
menentukan terjadinya proses interaksi antara host denganagent dalam
proses terjadinya penyakit. Secara garis besarnyalingkungan terdiri dari
lingkungan fisik, biologis dan sosial.
Keadaan fisik sekitar manusia berpengaruh terhadap manusia baik
secara langsung maupun tidak terhadap lingkungan–lingkungan biologis

13
dan lingkungan sosial manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimia)
meliputi udara, kelembaban, air dan pencemaran udara. Berkaitan dengan
ISPA adalah termasuk air borne disease karena salah satu penularannya
melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pernapasan, maka udara secara epidemologi mempunyai peranan penting
yang besar pada transmisi penyakit infeksi saluran pernapasan.
Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran
kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality) adalah ISPA. ISPA
dapat meliputi bagian atas saja dan bahkan bagian bawah seperti
laringitis, tracheobronchitis, bronkhitis dan pneumonia (Keman, 2005:
33).
Perkembangan timbulnya penyakit menggambarkan secara spesifik
peran lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah sejak lama sudah
diperkirakan pengaruh lingkungan terhadap terjadinya penyakit. Apabila
dilihat dari segi ilmu lingkungan, penyakit terjadi karena adanya interaksi
antara manusia dengan lingkungan hidupnya (Soemirat, 2007: 18).
Status kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu induk
semang (host), agen penyakit (agent) dan lingkungan (environment)
seperti ditunjukkan pada (Gambar 5). Ketiga faktor tersebut akan
berinteraksi dan menimbulkan hasil positif maupun negatif. Hasil
interaksi akan menimbulkan keadaan sehat sedangkan interaksi yang
negatif akan memberikan keadaan sakit.

Gambar 2. Interaksi host, agent dan environment


(Notoatmodjo, 2007: 37 ; Mukono, 2008: 10)

14
Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam ruangan
yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu atau arang
atau asap. Di samping itu ditentukan oleh ventilasi, kepadatan penghuni,
suhu ruangan, kelembaban, penerangan alami, jenis lantai, dinding, atap,
saluran pembuangan air limbah, tempat pembuangan sampah,
ketersediaan air bersih, dan debu (polutan).

1) Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama
adalah menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga
keseimbangan O2 tetap terjaga,karena kurangnya ventilasi menyebabkan
kurangnya O2yang berarti kadar CO2 menjadi racun. Fungsi
keduaadalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri,
terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam
kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007: 170-171).
Menurut Notoatmodjo (2007: 170), ventilasi adalah proses udara
segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup
secara alamiah maupun buatan. Berdasarkan kejadiannya ventilasi dibagi
menjadi dua yaitu:
a) Ventilasi alamiah
Ventilasi alamiah berguna untuk mengalirkan udara di dalam ruangan
yang terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu dan lubang angin.
Selain itu ventilasi alamiah juga menggerakkan udara sebagai hasil
poros dinding ruangan, atap dan lantai.

b) Ventilasi buatan
Ventilasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat mekanis
maupun elektrik. Alat-alat tersebut di antaranya adalah kipas angin,
exhauster dan AC.

15
Menurut Dinata (2007: 2), syarat ventilasi yang baik adalah sebagai
berikut:
a) Lubang-lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan,
sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup)
minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10 % dari luas
ruangan.
b) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan
lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan
sampai terhalang oleh barang-barang besar misalnya lemari, dinding,
sekat, dan lain-lain.

Menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang


ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal secara umum penilaian
ventilasi rumah dapat dilakukan dengan cara melihat indikator
penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan
adalah lebih dari sama dengan 10% dari luas lantai rumah dan
luasventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah kurang dari
10% dari luas lantai rumah.

2) Kepadatan Hunian
Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai
fungsinya. Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu
memperhatikan standar minimal jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal
harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur, ruang tamu, ruang makan,
dapur, kamar mandi dan kakus.
Berdasarkan Kepmenkes RI No.829 tahun 1999 tentang kesehatan
perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidurminimal 8m2 dan tidak
dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu kamar tidur.
Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan

16
mempunyai dampak kurangnya oksigen di dalam ruangan sehingga daya
tahan penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran
pernafasan seperti ISPA.
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak
sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan
oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban
akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin
banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin cepat
udararuangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan
banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan
diikuti oleh peningkatan CO2 dan dampakpeningkatanCO2dalam
ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan.

3) Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu
optimum 18-30°C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah
18°C atau di atas 30°C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat.
Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor
resiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali. Suhu dalam ruangan
berperan untuk menjaga rumah dalam kelembaban optimal untuk
membebaskan bakteri dan virus (Erna, 2005: 77).

4) Kelembaban Ruangan
Kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi penurunanan
daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap
penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat
meningkatkan daya tahan hidup bakteri. Menurut Kemenkes No.
829/Menkes/SK/VII/1999 kelembaban dianggap baik jika memenuhi 40-
70% dan buruk jikakurang dari 40% atau lebih dari 70%. Kelembaban

17
berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak lancar
akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga
kelembaban udaranya tinggi. Sebuah rumah yang memiliki kelembaban
udara tinggi memungkinkan adanya tikus, kecoa dan jamur yang
semuanya memiliki peran besar dalam patogenesis penyakit pernafasan
(Krieger dan Higgins, 2002: 758-759).

5) Penerangan Alami
Menurut Azwar (1986: 93), salah satu syarat rumah sehat ialah
tersedianya cahaya yang cukup. Suatu rumah atau ruangan yang tidak
mempunyai cahaya dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman dan
dapat mendatangkan penyakit.
Cahaya alami menggunakan sumber cahaya yang terdapat di alam,
biasanya dapat berupa matahari, binatang, dan lain-lainnya. Cahaya alami
dipengaruhi oleh keadaan alam itu sendiri. Jika awan menutupi matahari,
maka jumlah cahaya yang masuk ke ruangan tentu akan berkurang.
Cahaya matahari memegang peranan penting karena dapat
membunuh bakteri di dalam rumah, misalnya bakteri penyebab penyakit
ISPA. Oleh karena itu, rumah yangsehat harus memiliki jalan masuk
cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-
kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam
ruangan rumah (Azwar, 1986: 97,99).
Pencahayaan alami menurut Kemenkes
No.829/Menkes/SK/VII/1999 dianggap baik jika besarnya antara 60-120
Lux dan buruk jika kurang dari 60 Lux atau lebih dari 120 Lux. Hal ini
yang perlu diperhatikan dalam membuat jendela, perlu diusahakan agar
matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, dan tidak terhalang
oleh bangunan lain. Fungsi jendela yang dimaksud sebagai ventilasi dan
juga sebagai jalam masuk cahaya. Lokasi jendela harus diperhatikan agar

18
sinar matahari lebih lama menyinari lantai (bukan dinding), maka
sebaiknya jendela harus berada ditengah-tengah tinggi dinding (tembok).

6) Lantai
Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA
karena lantai yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik
untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang
baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan
lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, keadaan lantai perlu
diplester dan akan lebih baik apabiladilapisi ubin atau keramik yang
mudah dibersihkan (Kemenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999).
Lantai yang baik dilingkungan pedesaan adalah tanah biasa yang
dipadatkan. Syaratnya adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan
tidak basah pada musim penghujan, karena lantai yang basah akan
menimbulkan sarang penyakit (Notoatmodjo: 168-169).

7) Dinding
Dinding mempunyai fungsi sebagai pendukung atau penyangga
atap juga untuk melindungi rumah dari gangguan panas, hujan dan angin
dari luar dan juga sebagai pembatas antara dalam dan luar rumah.
Dinding juga berguna untuk mempertahankan suhu dalam ruangan,
merupakan media bagi proses rising damp (kelembaban yang naik dari
tanah) yang merupakan salah satu penyebab kelembaban dalam rumah.
Bahan dinding yang baik adalah dinding yang terbuat dari bahan tahan
api seperti batu bata yang sering disebut tembok (Erna, 2005: 78).

8) Atap
Salah satu fungsi atap yaitu melindungi masuknya debu dalam
rumah. Atap sebaiknya diberi plafon atau langit-langit, agar debu tidak
langsung masuk ke dalam rumah. Atap genteng merupakan atap yang

19
cocok di daerah tropis.Atap seng atau atap asbes tidak cocok untuk
rumah pedesaan, disamping mahal juga dapat menimbulkan suhu panas
dalam rumah (Notoatmodjo, 2007: 169).

9) Saluran Pembuangan Air Limbah


Limbah rumah tangga adalah limbah yang berasal dari dapur,
kamar mandi, cucian, limbah bekas industri rumah tangga dan kotoran
manusia. Limbah merupakan buangan atau sesuatu yang tidak terpakai
berbentuk cair, gas, dan padat. Dalam air limbah terdapat bahan kimia
yang sukar untuk dihilangkan dan berbahaya. Bahan kimia tersebut dapat
memberi kehidupan bagi kuman-kuman penyebab penyakit disentri,
tipus, kolera dan penyakit lainnya. Air limbah tersebut harus diolah agar
tidak membahayakan kesehatan lingkungan. Air limbah harus dikelola
untuk mengurangi pencemaran (Yulesta Putra, 2004: 2-4).

Pengelolaan air limbah yang dapat dilakukan yaitu pengelolaan


limbah air bekas mandi dan cuci dialirkan ke bak kontrol dan langsung
ke sumur resapan. Bak kontrol perlu ditutup dan diberi pegangan agar
memudahkan pengambilan tutup bak. Air akan tersaring pada bak
resapan air yang keluar dari bak resapan sudah bebas dari pencemaran.
Tempat mandi dan cuci dibuat dari batu bata, campuran semen dan pasir.
Kemudian dibuat sumurresapan yang terbuat dari susunan batu bata
kosong yang diberi kerikil dan lapisan ijuk. Sumur resapan diberi kerikil
dan pasir. Jarak antara sumur air bersih ke sumur resapan minimum 10 m
supaya tidak mencemari (Yulestra Putra, 2004: 2-4).

10) Tempat Pembuangan Sampah


Sampah ialah segala sesuatu yang tidak lagi dikehendaki oleh
pemilik dan bersifat padat. Sampah ini ada yang membusuk terutama dari
atas zat-zat organik seperti sisa sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain,

20
sedangkan yang tidak membusuk dapat berupa plastik, kertas, kertas,
logam ataupun abu dan lain-lain.

Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat disebabkan karena


kontak langsung dengan sampah maupun tidak langsung akibat
pembusukan, pembakaran dan pembuangan. Efek tidak langsung lainnya
berupa penyakit bawaan vektor yang berkembang biak di dalam sampah.

11) Sumber Air Bersih


Air sangat vital bagi kehidupan manusia. Air yang bisa digunakan
untuk keperluan sehari-hari harus diperhatikan kualitas dan kuantitasnya.
Kualitas air yang baik jika air memenuhi syarat kesehatan seperti syarat
fisik, kimia, bakteriologi dan radioaktif. Jumlah air yang digunakanjuga
harus memenuhi keperluan untuk melakukan semua kegiatan seperti
memasak, mencuci dan mandi.
Menurut peraturan pemerintahan RI. No.24/LA-18/1981 tentang
kriteria dan standar kualitas nasional menggolongkan air menurut
penggunaannya, air dibagi menjadi 5 golongan:
a) Air golongan A yaitu air baku yang tanpa ada pengelolaan terlebih
dahulu.
b) Air golongan B yaitu air baku untuk keperluan rumah tangga.
c) Air golongan C yaitu air baku untuk keperluan perikanan dan
peternakan.
d) Air golongan D yaitu air baku yang baik untuk keperluan pertanian
yang dapat dimanfaatkan untu usaha perkotaan, industri, listrik tenaga
air.
e) Air golongan E yaitu air baku yang tidak termasuk kategori A, B, C,
maupun D.

21
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor
416/Menkes/Per/IX/1990, yang dimaksud air bersih adalah air yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat diminum apabila telah masak. Air bersih yang baik
harus memenuhi syarat kualitas air bersih, yaitu:
a) Syarat fisik, yaitu tidak berwarna, tidak mempunyai rasa dan tidak
berbau.
b) Syarat kimia, yaitu tidak mengandung zat kimia atau mineral yang
berbahaya bagi kesehatan manusia.
c) Syarat bakteriologis, yaitu tidak mengandung bakteriE.Coli yang
melampaui batas yang ditentukan.

12) Pencemaran udara (air pollutant)


Menurut Azwar, (1986: 170-171) polutan merupakan faktor-faktor
yang mempunyai sifat mencemarkan. Dampak dari pergeseran atau
perubahan kondisi lingkungan akibat erupsi merapi merupakan hubungan
polutan yang berdampak langsung dengan timbulnya gangguan kesehatan
manusia. Dampak polutan ini dapat ditemukan pada hal-hal yang oleh
manusia dibutuhkan untuk kelangsungan hidupannya seperti udara dan
air. Dari penggolongan pencemaran yang terjadi di alam, apabila ditinjau
dari hal yang mencemarinya termasuk dalam pencemaran udara atau (air
pollution).

22
B. Kerangka Berpikir

Syarat Rumah Sehat dan Kondisi Faktor Status Gizi


Lingkungan:
Faktor Genetik
Kepadatan penghuni, ventilasi, suhu,
Imunitas
kelembaban, penerangan alami, dinding,
lantai, atap, debu, Saluran pembuangan air
limbah, tempat pembuangan sampah dan
ketersediaan air bersih.

Tingginya Angka Kejadian ISPA pada Balita Di Wilayah Kerja


Puskesmas Jongaya Kota Makassar

Hubungan Faktor Lingkungan terhadap Kejadian ISPA pada Balita

: Variabel yang diteliti


: Variabel yang tidak diteliti

C. Hipotesis
1. Ada perbedaan antara kondisi faktor lingkungan antara balita yang mengalami
kejadian ISPA dan balita yang tidak mengalami ISPA di wilayah kerja
Puskesmas Jongaya Kota Makassar.
2. Hubungan kondisi subfaktor lingkungan:
a. Ada hubungan kepadatan penghuni dengan angka kejadian ISPA.
b. Ada hubungan ventilasi dengan angka kejadian ISPA.
c. Ada hubungan suhu ruangan dengan angka kejadian ISPA.
d. Ada hubungan kelembaban dengan angka kejadian ISPA.
e. Ada hubungan penerangan dengan angka kejadian ISPA.
f. Ada hubungan dinding rumah dengan angka kejadian ISPA.
g. Ada hubungan lantai rumah dengan angka kejadian ISPA.

23
h. Ada hubungan atap rumah dengan angka kejadian ISPA.
i. Ada hubungan debu dengan angka kejadian ISPA.
j. Ada hubungan SPAL dengan angka kejadian ISPA.
k. Ada hubungan tempat pembuangan sampah dengan angka kejadian ISPA.
l. Ada hubungan ketersediaan air bersih dengan angka kejadian ISPA.

24
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini menggunakan desain cross sectional,
rancangan penelitian cross sectional adalah penelitian non eksperimental yang
mempelajari dinamika hubungan faktor-faktor resiko dengan efek dengan
pendekatan point time, yaiu variabel diobservasi pada saat yang sama termasuk
variabel-variabel faktor resiko dan variabel efek. (Pratiknya, 2007)
Pemilihan desain penelitian cross sectional ini karena memiliki beberapa
keuntungan yaitu memberikan kemudahan untuk dilakukan dan murah serta tidak
memerlukan follow up. (Murti,1997). Selain itu dengan desain penelitian ini
sifatnya relatif sederhana,ekonomis dalam segi waktu, dan banyak variabel yang
dapat dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. (Notoatmodjo,2002)

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Jongaya Kota Makassar Provinsi
Sulawesi Selatan yang terdiri dari 3 Kelurahan yaitu Pa’Baeng-Baeng, Jongaya
dan Bongaya dengan 36 RW dan 135 RT. Waktu penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Oktober-November 2019.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh anak balita dengan umur 0
hingga 59 bulan yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Jongaya Kota
Makassar Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu sebanyak 2216 balita (Profil
Puskesmas Jongaya, 2019)

25
2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah anak balita. Sedangkan respondennya
ibu balita, cara pengambilan sampel dilakukan secara Non Random Sampling
yaitu consecutive sampling, dimana semua subyek yang datang dan memenuhi
kriteria pemilihan sampel dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek
yang diperlukan terpenuhi yaitu sebanyak 88 balita. Besar sampel penelitian
diperoleh dari hasil perhitungan besar sampel menggunakan rumus Lemeshow
(1997) sebagai berikut:

𝛼
𝑍 2 (1−2𝑝)(1−𝑝)𝑁
n= 𝛼
d2 (N−1)+ Z2 (1−2𝑝)(1−p)

(1,96)2 (1−0,5)(1−0,5) 2216


n=
(0,1)2 (2216−1)+ (1,96)2 (1−0,5)(1−0,5)
(3,8)(0,5)(0,5)(2216)
n = (0,01)(2215)+(3,8)(0,5)(0,5)
2105,2
n=
24,05

n = 87,5 ~ 88 orang

Keterangan:
n = Besaran sampel
1-ɑ/2 = Selang kepercayaan 95% (maka Z1-ɑ/2 = 1,96)
p = Perkiraan proporsi (prevalensi) penyakit (atau paparan) pada
populasi. Apabila tidak diketahui maka digunakan p: 0,5 untuk
menghasilkan nilai n terbesar (Notoatmodjo, 2010)
q = 1-p
N = Besaran populasi

26
d = Presisi absolute yang diinginkan pada kedua sisi proporsi populasi,
yaitu sebesar 5%

D. Batasan Operasional
1. ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan suatu penyakit
pernapasan akut yang disebabkan oleh virus dan bakteri ditandai dengan gejala
batuk, pilek, serak, demam, dan mengeluarkan ingus atau lendir yang
berlangsung sampai dengan 14 hari (Depkes RI, 2012)
2. Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang menimbulkan atau mungkin menimbulkan
pengaruh yang merugikan bagi kesehatan yang meliputi kondisi sesuai syarat
rumah sehat meliputi ventilasi, kepadatan penghuni, penerangan alami, suhu
ruangan, kelembaban, lantai rumah, dinding rumah, atap rumah, sumber air
bersih, tempat pembuangan sampah, saluran pembuangan air limbah, dan
polutan (debu).
a. Ventilasi
Lubang angin untuk proses pergantian udara segar ke dalam dan
mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah
maupun buatan.
1) Baik (10% dari luas lantai)
2) Tidak baik (< 10% dari luas lantai)
b. Kepadatan Penghuni
Meliputi jumlah penghuni dalam rumah dengan ukuran luasan rumah.
Dengan kategori:
1) Baik: ≤ 2 orang
2) Tidak baik: > 2 orang
c. Penerangan Alami (Intensitas Cahaya)

27
Merupakan penerangan rumah secara alami oleh sinar matahari untuk
mengurangi kelembaban dan membunuh bakteri penyebab ISPA. Dengan
kategori:
1) Baik (60 – 120 Lux)
2) Tidak baik (< 60 atau > 120 Lux)
d. Suhu Ruangan
Suhu dalam ruangan untuk menjaga tidak terlalu banyak kehilangan
panas atau sebaliknya tubuh tidak sampai kepanasan. Dengan kategori:
1) Baik: 18◦C - 30◦C
2) Tidak baik: < 18◦C atau > 30◦C
e. Kelembaban
Merupakan kandungan uap air yang dapat dipengaruhi oleh sirkulasi
udara dalam rumah dengan kategori:
1) Baik: 40% - 70%
2) Tidak baik: < 40% atau > 70%
f. Lantai Rumah
Merupakan salah satu bahan bangunan rumah untuk melengkapi
sebuah rumah. Dengan kategori:
1) Baik: kadap air dan tidak lembab (keramik dan ubin)
2) Tidak baik: menghasilkan debu dan lembab (semen dan tanah)
g. Dinding Rumah
Merupakan salah satu bahan bangunan untuk mendirikan sebuah
rumah. Dengan kategori:
1) Baik: permanen atau tembok
2) Tidak baik: semi permanen, bambu dan kayu/papan
h. Atap Rumah
Merupakan salah satu bagian fungsi rumah untuk melindungi
masuknya debu ke dalam rumah. Dengan kategori:
1) Baik: genteng dan menggunakan langit-langit

28
2) Tidak baik: asbes atau seng dan tidak menggunakan langit-langit
i. Sumber Air Bersih
Merupakan sumber air yang berasal dari sumber mata air yang
terlindung atau sumur pompa maupun sumur gali, PDAM, dan sumber air
bersih yang memenuhi syarat kesehatan.
j. Tempat Pembuangan Sampah
Merupakan bak tempat pembuangan sampah dan cara pengelolaan
sampah.
k. Saluran Pembuangan Air Limbah
Merupakan saluran untuk mengalirkan air limbah ke sebuah lubang
atau sumur resapan yang memenuhi syarat kesehatan.
l. Polutan (Debu)
Merupakan partikel yang tidak murni dan mencemari udara yang
berada di dalam ruangan atau di luar ruangan.

E. Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk memecahkan masalah penelitian sekaligus
menyampaikan informasi tentang hasil penelitian. Analisa data dilakukan dengan
sistem computer. Jenis data adalah kategorikal, maka teknik analisa yang
digunakan adalah Chi-Square untuk melihat hubungan antara variable dependent
dan independent.
Hubungan antara variable dependent dan independent ditentukan
berdasarkan P value yang dihasilkan. Bila P value < 0.05, hasil uji statistic
dikatakan bermakna (ada hubungan antara variable yang diuji) dan bila P value >
0.05, hasil uji statistic dikatakan tidak bermakna (tidak ada hubungan antara
variable yang diuji).
Untuk melihat atau mengetahui keeratan hubungan antara variable
dependent dan independent digunakan nilai Odds Ratio (OR), yaitu perbandingan
antara prevalensi kejadian penyakit pada kelompok resiko dengan prevalensi

29
kejadian penyakit pada kelompok tanpa resiko. Nilai Odds Ratio ini menunjukkan
Odds terjadinya penyakit pada kelompok terpajan dengan kelompok tidak
terpajan. Bila OR > 1 dinyatakan pajanan merupakan resiko bagi terjadinya
penyakit, sebaliknya bila nilai OR < 1 berarti pajanan merupakan pencegah
terjadinya penyakit.

30
BAB IV
HASIL KEGIATAN

A. Profil Puskesmas
a. Letak Geografis
Puskesmas Jongaya berlokasi di Jl. Andi Tonro No.49 Makassar,
mencakup 3 (tiga) wilayah kelurahan, yaitu : Kelurahan Pa’baeng-baeng,
Kelurahan Jongaya, dan Kelurahan Bongaya, yang merupakan bagian dari
Kecamatan Tamalate Kota Makassar dengan batas-batas sebagai berikut :
1. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kel. Parang Kec. Mamajang.
2. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kelurahan Mannuruki.
3. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Maccini Sombala.
4. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Sambung Jawa.
Luas wilayah kerja Puskesmas Jongaya adalah 20.525 km2
Tabel 1. Luas Wilayah, Jumlah RT/RW menurut kelurahan di wilayah kerja
Puskesmas Jongaya Tahun 2018
No. Kelurahan Luas (Ha) RT RW

1. Pa’ baeng-baeng 57,2 38 10

2. Jongaya 47,75 51 14

3. Bongaya 99,8 46 12

Jumlah 20.525 135 36

31
Gambar 3. Puskesmas Jongaya

b. Keadaan Demografis
Kependudukan merupakan permasalahan yang dihadapi dewasa ini,
bukan hanya menyangkut jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dan arus
urbanisasi dengan segala dampak sosial ekonomi, dan keamanan menjadi
keharusan untuk mengendalikan angka kelahiran dan kematian. Pbahasan
mengenai kependudukan mencakup masalah pertumbuhan penduduk dan
struktur penduduk menurut kelompok umur.
Dalam upaya menekan laju pertumbuhan penduduk dilaksanakan
melalui tingkat kelahiran dan penurunan angka kematian (bayi, anak balita,
dan ibu) dimana pertumbuhan yang tinggi akan menambah beban
pembangunan. Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Jongaya pada
tahun 2018 adalah 45.358 jiwa.
Kepadatan penduduk sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan
serta masalah sosial ekonomi. Hal ini terjadi karena faktor gizi yang
berhubungan dengan lingkungan, perumahan dan sanitasi yang kotor
menyebabkan berbagai macam penyakit yang muncul. Di samping itu,
kepadatan penduduk sebagai lambing perkembangan suatu daerah.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Jongaya, kepadatan

32
penduduk adalah jiwa per kilometer persegi, yaitu 2,21 jiwa/km2. Jumlah
kepala keluarga (KK) tahun 2018 di wilayah kerja Puskesmas Jongaya
adalah 10.465 KK.
Komposis umur di wilayah kerja Puskesmas Jongaya dapat dilihat
seperti berikut:
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di
Wilayah Kerja Puskesmas Jongaya Tahun 2018.
Kelompok Umur Jenis Kelamin Jumlah
(tahun) Laki-laki Perempuan
0-4 2302 2530 4832
5-9 1871 2108 3979
10-14 1536 1872 3408
15-19 2028 2643 4671
20-24 2684 3566 6240
25-29 2434 2830 5264
30-34 1872 2314 4186
35-39 1344 1473 2871
40-44 1057 1372 2429
45-49 939 1074 2013
50-54 721 930 1651
55-59 509 690 1199
60-64 521 647 1168
65-69 359 550 909
70-74 161 246 407
75+ 73 112 185
Jumlah 20.411 24.947 45.358

33
c. Sarana Kesehatan
Sarana kesehatan milik pemerintah, swasta dan partisipasi masyarakat yang
terdapat dalam wilayah kerja Puskesmas Jongaya turut berperan dalam
peningkatan status derajat kesehatan masyarakat dalam wilayah kerja
Puskesmas.
Tabel 3. Sarana Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Jongaya Tahun
2018.
Sarana Kesehatan Jumlah
RS Umum 1
Puskesmas 1
Balai/ Klinik Pengobatan 1
Dokter Praktek 24
Bidan Praktik Swasta 2
Apotek 8
Posyandu 38
Posbindu 7
Total 74

d. Tenaga Kesehatan
Jumlah tenaga kesehatan yang terdapat di Puskesmas Jongaya
terdapat dalam tabel berikut:
Tabel 4. Jumlah tenaga kesehatan di wilayah kerja puskesmas jongaya
tahun 2018.
No. Tenaga Kesehatan Jumlah
1. Kepala Pukesmas 1
2. Kasuag Tata Usaha 1
3. Dokter Umum 3
4. Gokter Gigi 2

34
5. Bidan 7
6. Perawat 18
7. Tenaga Kesehatan Masyarakat 2
8. Tenaga Kesehatan Lingkungan 2
9. Laboran 1
10. Tenaga Gizi 2
11. Tenaga Teknik Kefarmasian 1
12. Tenaga Apoteker 1
13. Pekarya Kesehatan 2
Tenaga Non- PNS
14. Tenaga Kontrak (Dokter) 1
15. Tenaga Magang 22
16. Tenaga Keamanan 3
17. Cleaning Service 2
18. Supir 2
Total 73

e. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Puskesmas Jongaya berdasarkan peraturan Walikota no.
41 tahun 2012 terdiri atas:
1) Kepala Puskesmas
2) Kepala Kasubag Tata Usaha
3) Kelompok Jabatan Fungsional
 Upaya Kesehatan Esensial dan Keperawatan Kesehatan Masyarakat
 Upaya promosi kesehatan
 Upaya kesehatan lingkungan
 Upaya KIA-KB
 Upaya Gizi

35
 Pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat
 Upaya Kesehatan Pengembangan
 Upaya kesehatan jiwa
 Upaya kesehatan gizi masyarakat
 Pengobatan kesehatan tradisional komplementer
 Upaya kesehatan olahraga
 Upaya kesehatan indera
 Upaya kesehatan usia
 UKGS
 UKS
 Upaya kesehatan kerja
 Upaya Kesehatan Masyarakat, Perorangan, Kefarmasian dan
Laboratorium
 Pelayanan pemeriksaan umum
 Pelayanan kesehatan gigi dan mulut
 Pelayanan KIA-KB
 Pelayanan laboratorium
 Pelayanan rawat inap umum
 Pelayanan persalinan
 UGD
 LKB
 Jaringan Pelayanan Puskesmas dan Jejaring Fasilitas Pelayanan
Kesehatan
 Bidan kelurahan
 Puskesmas keliling

36
f. Visi dan Misi Puskesmas Jongaya
1) Visi
Visi puskesmas Jongaya adalah untuk mewujudkan pelayanan
kesehatan yang terstandar di wilayah kerja Puskesmas Jongaya
2) Misi
Misi Puskesmas Jongaya adalah sebagai berikut:
a) Menyediakan pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau
b) Menyediakan pelayanan kesehatan berbasis teknologi
c) Menciptakan lingkungan sehat berbasis masyarakat
d) Meningkatkan peran serta masyarakat untuk mendukung perilaku
sehat,
g. Daftar Penyakit Terbanyak di Willayah Kerja Puskesmas Jongaya
Terdapat beberapa penyakit yang sering ditemui selama pelayanan di
Puskesmas Jongaya. Berikut adalah tabel sepuluh penyakit terbanyak di
Puskesmas Jongaya.
Tabel 5. Sepuluh Penyakit Terbanyak di Puskesmas Jongaya tahun 2018.
No. Penyakit Jumlah
1. Common Cold 2567
2. ISPA 1740
3. Hipertensi 1473
4. Gastritis 1181
5. Dermatitis 1053
6. Myalgia 871
7. Diabetes Melitus 766
8. Rheumatoid Arthritis 512
9. GEA 498
10 Demam Tifoid 255

37
B. Hasil Penelitian

ISPA P
VARIABEL Ya (%) Tidak (%) Total (%)
OR
Value
FaktorLingkungan
KepadatanPenghuni
1. Ya 40 45,0 28 31,7 67 76,7
0,015 6,258
Tidak 4 5,0 16 18,3 21 23,3
JenisLantai
2. Ya 22 25,0 37 41,7 59 66,7
0,006 7,759
Tidak 22 25,0 7 8,3 29 33,3
DindingRumah
3. Ya 16 18,3 41 46,7 57 65,0
0,000 23,568
Tidak 28 31,7 3 3,3 31 35,0
PeneranganAlami
Baik 37 41,7 37 41,7 74 83,3
4.
KurangBaik 4 5,0 6 6,7 10 11,3 0,788 0,483
TidakBaik 3 3,3 1 1,7 4 5,0
AtapRumah
5. Ya 21 23,3 35 40,0 56 63,3
0,007 7,379
Tidak 23 26,7 9 10,0 32 36,7
Debu (Polutan)
Baik 3 3,3 12 13,3 15 16,7
6. CukupBaik 3 3,3 10 11,7 13 15,0
0,025 9,794
KurangBaik 23 26,7 13 15,0 37 41,7
TidakBaik 15 16,7 9 10,0 23 26,7
Ketersediaan Air Bersih
Baik 31 35,0 40 45,0 70 80,0
7. CukupBaik 9 10,0 3 3,3 12 13,3
0,191 5,618
KurangBaik 1 1,7 1 1,7 3 3,3
TidakBaik 3 3,3 0 0,0 3 3,3
TempatPembuanganSampah
8. Ya 34 38,3 40 45,0 73 83,3
0,166 1,966
Tidak 10 11,7 4 5,0 15 16,7
SaluranPembuangan Air Limbah
Baik 19 21,7 35 40,0 54 61,7
9.
KurangBaik 15 16,7 7 8,3 22 25,0 0,009 10,081
TidakBaik 10 11,7 1 1,7 12 13,3
Ventilasi
10. Ya 3 3,3 3 3,3 6 6,7
1,000 0,000
Tidak 41 46,7 41 46,7 82 93,3
Suhu
11. Ya 35 40,0 41 46,7 76 86,7
0,129 2,401
Tidak 9 10,0 3 3,3 12 13,3
Kelembaban
12. Ya 6 6,7 18 20,0 23 26,7
0,020 5,649
Tidak 38 43,3 26 30,0 65 73,3
13. IntensitasCahaya

38
Ya 18 20,0 35 40,0 53 60,0
0,002 10,357
Tidak 26 30,0 9 10,0 35 40,0

C. Pembahasan
a. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA
Dari table di atas berdasarkan uji chi-square di dapatkan 40 orang
yang penderita ISPA dan 27 orang tidak menderita ISPA dengan
kepadatan hunian tinggi sedangkan 4 orang menderita ISPA dan 16 orang
tidak menderita ISPA dengan kepadatan hunian rendah, Dari nilai
P=0.015 sehingga dikatakan adanya hubungan antara factor lingkungan
dengan kepadatan hunian yang tinggi, dengan terjadinya kejadian ISPA,
serta OR=6.25 berarti kepadatan penduduk menjadi salah satu faktor
resiko terjadinya ISPA.
Sesuai dengan teori berdasarkan Kemenkes RI No.829 tahun 1999
tentang kesehatan perumahan menetapkan bahwa Luas ruang tidur
minimal 8 mm2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur
dalam 1 kamar tidur karena bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan
jumlah penghuni,akan menyebabkan kurangnya oksigen dalam ruangan,
sehingga daya tahan penghuninya menurun dan dapat menyebabkan ISPA.

b. Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian ISPA


Dari table diatas, jenis lantai yang digunakan dalam rumah terhadap
kejadian ISPA memiliki Nilai P = 0.006 yang artinya didapatkan hubungan
bermakna terhadap kejadian ISPA sedangkan Nilai 0R=7,759 yang berarti
jenis lantai dalam rumah menjadi salah satu factor resiko kejadian ISPA,
Sesuai dengan teori Menurut Kemenkes No 829 yang menyatakan Bahan
Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA karena lantai
yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk
perkembang biakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik

39
adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai
harus kedap air dan mudah dibersihkan (Kemenkes No.
829/Menkes/SK/VII/1999).

c. Hubungan Dinding Rumah dengan Kejadian ISPA


Dari table sesuai uji Chi-Square faktor dinding rumah yang permanen
dengan jumlah kejadian ISPA sebanyak 16 orang dengan Nilai P=0.000
sehingga dikatakan memiliki hubungan yang sangat bermakna terhadap
kejadian ISPA dan menjadai faktor resiko tertinggi terhadap kejadian
ISPA dengan nilai OR = 23.568. Sesuai dengan teori, yang menyatakan
bahwa dinding berguna untuk mempertahankan suhu dalam ruangan,
merupakan media bagi proses rising damp (kelembaban yang naik dari
tanah) yang merupakan salah satu penyebab kelembaban dalam rumah
sehingga bahan dinding yang baik dapat mempengaruhi Suhu didalam
rumah,dimana seperti diketahui bahwa suhu menjadi alah satu faktor
terjadinya ISPA (Erna, 2005: 78).

d. Hubungan Pencahayaan dengan Kejadian ISPA


Dari table sesuai uji Chi-Square faktor penerangan alami memiliki
Nilai P=0.788 sehingga dikatakan tidak memiliki hubungan yang sangat
bermakna terhadap kejadian ISPA dan menjadai faktor pencegah terhadap
kejadian ISPA dengan Nilai OR = 0.483 Sesuai dengan teori, Menurut
Azwar (1986: 93), salah satu syarat rumah sehat ialah tersedianya cahaya
yang cukup. Suatu rumah atau ruangan yang tidak mempunyai cahaya
dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman dan dapat mendatangkan
penyakit.Cahaya matahari memegang peranan penting karena dapat
membunuh bakteri di dalam rumah, misalnya bakteri penyebab penyakit
ISPA sehingga dapat dikatakan bahwa cahaya yang baik dapat menjadi
pencegah terjadinya penyakit ISPA.

40
e. Hubungan Atap Rumah dengan Kejadian ISPA
Dari table sesuai uji Chi-Square faktor atap rumah genteng dengan
jumlah kejadian ISPA sebanyak 21 orang sedangkan atap rumah bukan
genteng dengan jumlah kejadian ISPA sebanyak 32 orang dengan Nilai
P=0.007 sehingga dikatakan memiliki hubungan yang bermakna terhadap
kejadian ISPA dan menjadi Nilai OR = 7,379 yang artinya memiliki faktor
resiko terhadap kejadian ISPA. Sesuai dengan teori menurut Noto
Atmodjo yang menyatakan bahwa atap genteng cocok untuk daerah tropis,
sedangkan atap seng atau asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan,
disamping mahal juga dapat menimbulkan suhu panas dalam rumah.

f. Hubungan Polutan dengan Kejadian ISPA


Dari table uji Chi-Square faktor debu dalam rumah (polutan) memiliki
angka kejadian ISPA sebanyak 23 orang sedangkan yang memiliki debu
minimal di dalam rumah memiliki angka kejadian ISPA sebanyak 15
orang dengan Nilai P=0.025 sehingga dikatakan memiliki hubungan yang
bermakna terhadap kejadian ISPA dan menjadi faktor resiko terhadap
kejadian ISPA dengan Nilai OR = 9,794. Sesuai dengan teori, Menurut
Azwar, (1986: 170-171) polutan merupakan faktor-faktor yang
mempunyai sifat mencemarkan. Dampak dari pergeseran atau perubahan
kondisi lingkungan akibat erupsi merapi merupakan hubungan polutan
yang berdampak langsung dengan timbulnya gangguan kesehatan manusia.
Dampak polutan ini dapat ditemukan pada hal-hal yang oleh manusia
dibutuhkan untuk kelangsungan hidupannya seperti udara dan air. Dari
penggolongan pencemaran yang terjadi di alam, apabila ditinjau dari hal
yang mencemarinya termasuk dalam pencemaran udara atau (air
pollution).

41
g. Hubungan Ketersediaan Air Bersih dengan Kejadian ISPA
Dari table sesuai uji Chi-Square faktor ketersediaan air bersih yang
baik memiliki angka kejadian ISPA sebanyak 31 orang sedangkan
ketersediaan air yang kurang baik memiliki angka kejadian ISPA sebanyak
1 orang dengan Nilai P=0.191 sehingga dikatakan tidak memiliki
hubungan yang bermakna terhadap kejadian ISPA dan memiliki Nilai OR
= 10,081 yang artinya menjadi salah satu faktor pencegah terhadap
kejadian ISPA.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor
416/Menkes/Per/IX/1990, yang dimaksud air bersih adalah air yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat diminum apabila telah masak. Air bersih yang baik
harus memenuhi syarat kualitas air bersih, yaitu tidak berwarna, tidak
mempunyai rasa dan tidak berbau, tidak mengandung zat kimia atau
mineral yang berbahaya bagi kesehatan manusia, dan tidak mengandung
bakteri E.Coli yang melampaui batas yang ditentukan.

h. Hubungan Tempat Pembuangan Sampah dengan Kejadian ISPA


Dari tabel sesuai uji Chi-Square faktor tersedianya tempat
pembuangan sampah memiliki angka kejadian ISPA sebanyak 34 orang
sedangkan yang tidak memiliki tempat pembuangan sampah angka
kejadian ISPA sebanyak 10 orang dengan nilai p= 0,166 sehingga
dikatakan tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian
ISPA dengan nilai OR= 1,966 yang artinya menjadi salah satu faktor
pencegah terjadinya ISPA.
Sampah ialah segala sesuatu yang tidak lagi dikehendaki oleh pemilik
dan bersifat padat. Sampah ini ada yang membusuk terutama dari atas zat-
zat organik seperti sisa sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain, sedangkan
yang tidak membusuk dapat berupa plastik, kertas, kertas, logam ataupun

42
abu dan lain-lain. Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat disebabkan
karena kontak langsung dengan sampah maupun tidak langsung akibat
pembusukan, pembakaran dan pembuangan. Efek tidak langsung lainnya
berupa penyakit bawaan vektor yang berkembang biak di dalam sampah.

i. Hubungan Pembuangan Air Limbah dengan Kejadian ISPA


Dari tabel uji Chi-Square faktor pembuangan air limbah yang baik
memiliki angka kejadian ISPA sebanyak 19 orang sedangkan yang
memiliki pembuangan limbah yang kurang baik memiliki angka kejadian
ISPA sebanyak 15 orang dengan nilai p= 0,009, sehingga dikatakan
memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian ISPA dan menjadi
salah satu faktor risiko terhadap kejadian ISPA dengan nilai OR= 10,081.
Sesuai dengan teori, menurut Yulesta, (2004) limbah rumah tangga adalah
limbah yang berasal dari dapur, kamar mandi, cucian, limbah bekas
industri rumah tangga dan kotoran manusia. Limbah merupakan buangan
atau sesuatu yang tidak terpakai berbentuk cair, gas, dan padat. Dalam air
limbah terdapat bahan kimia yang sukar untuk dihilangkan dan berbahaya.
Bahan kimia tersebut dapat memberi kehidupan bagi kuman-kuman
penyebab penyakit disentri, tipus, kolera dan penyakit lainnya. Air limbah
tersebut harus diolah agar tidak membahayakan kesehatan lingkungan. Air
limbah harus dikelola untuk mengurangi pencemaran.
Pengelolaan air limbah yang dapat dilakukan yaitu pengelolaan
limbah air bekas mandi dan cuci dialirkan ke bak kontrol dan langsung
ke sumur resapan. Bak kontrol perlu ditutup dan diberi pegangan agar
memudahkan pengambilan tutup bak. Air akan tersaring pada bak
resapan air yang keluar dari bak resapan sudah bebas dari pencemaran.
Tempat mandi dan cuci dibuat dari batu bata, campuran semen dan pasir.
Kemudian dibuat sumurresapan yang terbuat dari susunan batu bata
kosong yang diberi kerikil dan lapisan ijuk. Sumur resapan diberi kerikil

43
dan pasir. Jarak antara sumur air bersih ke sumur resapan minimum 10 m
supaya tidak mencemari (Yulestra Putra, 2004: 2-4).

j. Hubungan Ventilasi dengan Kejadian ISPA


Dari tabel uji Chi-Square responden yang memiliki ventilasi rumah
memiliki angka kejadian ISPA sebanyak 3 orang sedangkan responden
yang tidak memiliki ventilasi rumah sebanyak 41 orang dengan nilai p=
1,000 sehingga dikatakan tidak memiliki hubungan antara faktor ventilasi
rumah dengan kejadian ISPA dengan nilai OR= 0,000.
Ventilasi penting untuk menjamin ketersediaan dan mengalirkan
udara dalam ruangan. dengan adanya pergerakan udara oleh ventilasi
diharapkan mikroorganisme penyebab ISPA dapat terbuang dan terbawa
oleh aliran udara keluar sehingga dalam ruangan dapat bersih dari
penyebab ISPA. Namun, apabila ventilasi rumah tidak memenuhi syarat
kesehatan, maka dapat membahayakan saluran pernapasan dikarenakan
kelembaban dalam rumah menjadi tinggi akibat proses penguapan cairan
dari kulit sehingga dapat menjadi tempat pertumbuhan dan
perkembangbiakan kuman pathogen yang dapat mengakibatkan
peningkatan risiko kejadian ISPA pada balita.
Pada penelitian ini, tidak didapatkan hubungan antara faktor ventilasi
dengan kejadian ISPA pada balita. Kebiasaan membuka jendela kamar
tidur menurut Noto Atmojo (2003) adalah untuk memenuhi syarat
kesehatan dimana unduk dapat lebih memberikan kesejukan pada ruangan,
sebaiknya jendela dan lubang angin selalu terbuka serta dapat menerima
masuknya cahaya dari luar.

k. Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA


Dari tabel sesuai uji Chi-Square hubungan faktor suhu dalam rumah
yang baik dengan angka kejadian ISPA sebanyak 35 orang sedangkan suhu

44
dalam rumah yang kurang baik memiliki angka kejadian ISPA sebanyak 9
orang dengan nilai p= 0,129 sehingga dikatakan tidak memiliki hubungan
bermakna terhadap kejadian ISPA dengan nilai OR= 2,401. Sesuai dengan
teori menurut Erna (2005), salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah
memiliki suhu optimum 18-30°C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah
dibawah 18°C atau di atas 30°C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi
syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi
faktor resiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali. Suhu dalam
ruangan berperan untuk menjaga rumah dalam kelembaban optimal untuk
membebaskan bakteri dan virus.

l. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA


Dari tabel sesuai uji Chi-Square faktor kelembaban yang memiliki
batasan baik (40%-70%) memiliki angka kejadian ISPA sebanyak 6 orang
dan kelembaban yang memiliki batasan <40% atau >70% memiliki angka
kejadian ISPA sebanyak 38 orang dengan nilai p= 0,020, sehingga
dikatakan memiliki hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan
kejadian ISPA dan menjadi salah satu faktor risiko ISPA dengan OR=
5,649.
Kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi penurunanan
daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap
penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat meningkatkan
daya tahan hidup bakteri. Menurut Kemenkes No.
829/Menkes/SK/VII/1999 kelembaban dianggap baik jika memenuhi 40-
70% dan buruk jikakurang dari 40% atau lebih dari 70%. Kelembaban
berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak lancar
akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga
kelembaban udaranya tinggi. Sebuah rumah yang memiliki kelembaban
udara tinggi memungkinkan adanya tikus, kecoa dan jamur yang semuanya

45
memiliki peran besar dalam patogenesis penyakit pernafasan (Krieger dan
Higgins, 2002: 758-759).

m. Hubungan Intensitas Cahaya dengan Kejadian ISPA


Dari tabel sesuai uji Chi-Square faktor intensitas cahaya yang baik
(60-120 Lux) memiliki angka kejadian ISPA sebanyak 18 orang dan yang
memiliki intensitas cahaya yang tidak baik (<60 atau >120 Lux) memiliki
angka kejadian ISPA sebanyak 26 orang, dengan nilai p= 0,002 sehingga
dikatakan memiliki hubungan yang berfmakna antara intensitas cahaya
dengan kejadian ISPA dan menjadi salah satu faktor risiko kejadian ISPA
dengan nilai OR= 10,357.
Menurut teori yang ada, pencahayaan alami menurut Kemenkes
No.829/Menkes/SK/VII/1999 dianggap baik jika besarnya antara 60-120
Lux dan buruk jika kurang dari 60 Lux atau lebih dari 120 Lux. Hal ini
yang perlu diperhatikan dalam membuat jendela, perlu diusahakan agar
matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, dan tidak terhalang
oleh bangunan lain. Fungsi jendela yang dimaksud sebagai ventilasi dan
juga sebagai jalam masuk cahaya. Lokasi jendela harus diperhatikan agar
sinar matahari lebih lama menyinari lantai (bukan dinding), maka
sebaiknya jendela harus berada ditengah-tengah tinggi dinding (tembok).

46
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan antara lain:
1. Faktor lingkungan yang memicu kejadian ISPA pada balita antara lain jenis
lantai, dinding rumah, atap rumah, debu, ventilasi, intensitas cahaya,
kelembaban.
2. Ada hubungan perbedaan faktor lingkungan pada balita yang mengalami
ISPA dan tidak mengalami ISPA di Puskesmas Jongaya pada periode
Oktober-November 2019.
3. Faktor yang paling dominan dalam memicu kejadian ISPA pada balita
adalah dinding rumah.
4. Hubungan faktor lingkungan dalam memicu kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Jongaya pada periode Oktober-November 2019 menunjukkan :
a. Adanya hubungan subfaktor lingkungan antara lain meliputi
kepadatan penghuni, jenis lantai, dinding rumah, atap rumah, debu,
saluran pembuangan air limbah, dan kelembaban, intensitas cahaya.
b. Tidak adanya hubungan subfaktor lingkungan antara lain meliputi
penerangan alami, ketersediaan air bersih, tempat pembuangan sampah,
ventilasi, dan suhu.

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka peneliti menyarankan:
1. Puskesmas untuk melakukan pengembangan wawasan terhadap ibu dan
keluarga tentang ISPA dan hubungannya dengan lingkungan, serta faktor-
faktor lain yang berperan dalam kejadian ISPA, baik secara perseorangan
maupun konsultasi langsung dengan pasien dan secara massal misalnya
melali penyuluhan.

47
2. Puskesmas dapat melalukan penelitian lebih lanjut mengenai kejadian ISPA
dan hubungannya dengan faktor gizi, faktor genetic maupun imunitas.

48
DAFTAR PUSTAKA

Nur Ahmad Yusuf. (2003). Hubungan Sanitasi Rumah secara fisik dengan
kejadian ISPA pada Balita. Jurnal KesehatanLingkungan Vol.1 No.2 :1-11.

Ahmad Watik Praktiknya. (2003). Dasar-dasar Metodologi PenelitianKedokteran


dan Kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Anggi Sarhosi. (2001). Hubungan Kadar Debu Total Dengan Kejadian ISPA Pada
Balita Di Sekitar Jalan Masuk Truk pengangkut Sampah ke TPA Jatibarang
Kecamatan Mijen. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.

Anonim. (2010). Data Kesehatan Merapi 10 besar penyakit Pengungsi


https://sites.google.com/site/datakesehatanmerapi/home/berita-
baru/10besarpenyakitpengungsi4des2010. Diakses pada tanggal 19 Januari
2020, Jam 20.04 WITA.

Arlinah Madjid dan Jack Gigas. (2010). Informasi jalin merapi di


KecamatanCangkringan.http://merapi.combine.or.id/sitrep/340417000206/1
1364/kondisi-ekonomi-dusun-jiwan-desa argomulyo.html. Diakses pada
tanggal 19Januari 2020, Jam 20.04 WITA.

Azrul Azwar. (1990). Pengantar Ilmu Kesehatan


Lingkungan.Jakarta.Mutiara.

Behrman, Kliegmann, & Arvin. (2002). Ilmu kesehatan Anak Vol.2Edisi.15.


Jakarta. EGC.

BBTKL DIY. (2010). Dampak Kesehatan Akibat Pencemaran Udara. Diakses


dari http://www.btkljogja.or.id/detailberita/134/ pada tanggal 19 Januari
2020, Jam 13.24 WITA.

Dainur. (1995). Materi-Materi Pokok Ilmu Kesehatan Masyarakat.Jakarta:Widya


Medika.

Depkes RI. (2000). Informasi Tentang ISPA pada Balita. Jakarta : Pusat
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat.

Dinata. (2007). Aspek Teknis dalam Penyehatan Rumah.


Diakseshttp://miqrasehat.blogspot.com/2007/07/aspek-teknis-
dalampenyehatan-rumah.html. Diakses pada tanggal 19 Januari 2020, Jam
13.24 WITA.

Erna Kusuma Wati.(2005). Hubungan Episode Infeksi Saluran Pernapasan Akut


(ISPA) dengan Pertumbuhan bayi umur 3-6 Bulan Di Kecamatan Suruh

49
50

Kabupaten Semarang. Tesis.Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas


Diponegoro.

Google map. (2012).Lokasi wilayah desa Argomulyo,Sleman.Diakses dari


http://maps.google.co.id/. Diakses pada tanggal 19 Januari 2020, Jam 18.24
WITA.

H.J Mukono. (2008).Pencemaran Udara dan Pengaruhnya TerhadapGangguan


Saluran Pernapasan. Surabaya : AirlanggaUniversity Press.

__________. (2008).Prinsip Kesehatan Lingkungan Edisi


kedua.Surabaya : Airlangga University Press.

Juli Soemirat. (2005).Epidemiologi Lingkungan. Yogyakarta: UGM Press.

___________. (2006). Kesehatan Lingkungan.Yogyakarta.UGM Press.

Krieger, J. dan Higgins, D. L. (2002). Housing and Health. Time Again for Public
Health action.

Meadow,Roy & Newell, Simon. (2002).Pediatrika Edisi 7.Jakarta:Erlangga.

Notoatmodjo.(2007). Kesehatan Masyarakat.Yogyakarta : Rineke Cipta.

________________. (2005).MetodePenelitian Kesehatan.Yogyakarta:Rineka


Cipta.

Nur Achmad Y dan Lilis S. (2005).Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik


Dengan Kejadian ISPA Pada Balita. Jurnal KesehatanLingkungan. Vol.1
No:2.Hal.115-117.

Puskesmas Cangkringan. (2011). Laporan kasus kesakitan


Tahun2011.Yogyakarta.

Ranuh.(1997). Masalah ISPA dan KelangsunganHidup


Anak.Surabaya.Continuing Education.Ilmu Kesehatan Anak.

SH Sirait. (2010). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran


Pernafasan Atas Akut (ISPAa) pada Anak. Jurnal Universitas Sumatera
Utara. Hlm.22-39.

Suharsimi Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Edisi Revisi VI.Jakarta:


Rineka cipta.

Sugiyono. (2006). Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Tri Bambang H. (2005). Skripsi.Hubungan Ventilasi, Pencahayaan, Suhu dan


Kelembaban Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas

50
51

Klirong Kecamtan Klirong Kabupaten Kebumen. Skripsi.Universitas


Diponegoro.

Triska dan Lilis Sulistyorini. (2007). Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Anak Balita.Jurnal
Kesehatan Lingkungan.Vol.2 No.1.Hlm. 1-11.

Vita. (2009). Skripsi. Hubungan Antara Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) pada balita didesa Cepogo
Kabupaten Boyolali.Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Wisnu Arya Wardhana. (2004). Dampak Pencemaran Lingkungan.Yogyakarta:


Andi Offset.

51

Anda mungkin juga menyukai