PENDAHULUAN
1
usia 1 bulan. Tingkat kecukupan gizi yang kurang terutama energi dan protein,
pola asuh atau perawatan bayi yang kurang optimal serta penyakit infeksi
(Prawirohartono, 1997: 309 dalam Royal, 2010: 13).
Menurut Wardhana (2004: 127), pencemaran partikel seperti debu pada
peristiwa meletusnya gunung berapi merupakan dampak pencemaran partikel yang
disebabkan karena peristiwa alamiah (faktor internal). Secara umum partikel-
partikel yang mencemari udara dapat merusak lingkungan dan menimbulkan
gangguan kesehatan pada manusia. Partikel-partikel tersebut dapat menimbulkan
berbagai macam penyakit saluran pernapasan. Pada saat menarik nafas, udara yang
mengandung partikel akan terhirup masuk ke dalam paru-paru. Ukuran debu
partikel (debu) yang masuk ke dalam paru-paru akan menentukan letak
penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Partikel yang berukuran kurang
dari 5 mikron akan bertahan di saluran nafas bagian atas, sedangkan partikel 3-5
mikron akan tertahan di bagian tengah, partikel lebih kecil 1-3 mikron akan masuk
ke kantung paru-paru, menempel pada alveoli. Partikel yang lebih kecil, kurang 1
mikron akan ikut keluar saat dihembuskan.
Menurut data laporan kasus kesakitan Puskesmas Jongaya Tahun 2019,
angka kejadian ISPA menduduki peringkat pertama yaitu 3113 kasus. Berdasarkan
data laporan kasus kesakitan, kejadian ISPA pada kisaran umur 1-5 tahun
sebanyak 617 kasus.Sanitasi rumah merupakan usaha kesehatan masyarakat yang
menitik beratkan pada pengawasan terhadap struktur fisik, yaitu digunakan sebagai
tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana sanitasi
tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan
alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan
kotoran manusia dan penyediaan air bersih (Azwar, 1990: 79-100).
Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan penyakit
menular terutama ISPA. Lingkungan perumahan sangat berpengaruh pada
terjadinya dan tersebarnya ISPA.Rumah yang jendelanya kurang proporsional
2
ukurannya, menyebabkan pertukaran udara yang tidak dapat berlangsung dengan
baik, akibatnya asap dapur dan asap rokok dapat terkumpul dalam rumah. Bayi
dan anakyang sering menghisap asap lebih mudah terserang ISPA. Rumah yang
lembab dan basah karena banyak air yang terserap di dinding tembok dan matahari
pagi sukar masuk dalam rumah juga memudahkan anak-anak terserang ISPA
(Ranuh, 1997: 8).
Perkembangan persebaran penyakit menggambarkan secara spesifik peran
lingkungan terhadap terjadinya penyakit dan wabah dan sejak lama sudah
diperkirakan pengaruh lingkungan terhadap terjadinya penyakit. Ditinjau dari segi
ilmu kesehatan lingkungan, penyakit terjadi karena adanya interaksi antara
manusia dengan lingkungannya (Soemirat, 2007: 18).
Puskesmas Jongaya memiliki 3 wilayah kerja yaitu Kelurahan Pa’Baeng-
Baeng, Jongaya dan Bongaya. Berdasarkan kejadian ISPA yang terjadi di
Puskesmas Jongaya Kota Makassar, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengungkap hubungan kondisi faktor lingkungan yang spesifik dan kejadian ISPA
khususnya pada balita di wilayah kerja Puskesmas Jongaya, Kota Makassar.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat permasalahan dalam
penelitian ini antara lain berbagai pengaruh penyebab ISPA. Banyak faktor yang
berkaitan dengan terjadinya penyakit ISPA ini antara lain faktor lingkungan, faktor
perilaku, umur, letak geografis, musim dan sanitasi, adanya bencana alam (pasca
erupsi) serta faktor lainnya.
3
C. Batasan Masalah
Penelitian ini hanya difokuskan mengenai kondisi lingkungan dari sanitasi
rumah dan lingkungan di wilayah kerja Puskesmas Jongaya Kota Makassar yaitu:
1. Pengkajian tentang faktor lingkungan yang berhubungan dengan kejadian ISPA
pada balita dan perbedaan kondisi lingkungan pada balita yang mengalami
ISPA dan balita yang tidak mengalami kejadian ISPA di wilayah kerja
Puskesmas Jongaya Kota Makassar PeriodeOktober-November 2019.
2. Pengkajian tentang hubungan subfaktor lingkungan dalam memicu kejadian
ISPA dan faktor lingkungan yang paling dominan dalam mendukung kejadian
ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Jongaya Kota Makassar
PeriodeOktober-November 2019.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka dirumuskan permasalahan
dalam penelitian ini yaitu:
1. Apa saja faktor lingkungan yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada
balita dan perbedaan kondisi lingkungan pada balita yang mengalami ISPA dan
balita yang tidak mengalami kejadian ISPA di Puskesmas Jongaya Kota
Makassar PeriodeOktober-November 2019?
2. Bagaimana hubungan subfaktor lingkungan dalam memicu kejadian ISPA dan
faktor lingkungan yang paling dominan dalam memicu kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Jongaya Kota Makassar PeriodeOktober-
November 2019?
4
E. Tujuan Masalah
1. Untuk mengidentifikasi faktor lingkungan yang memicu kejadian ISPA pada
balita dan mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kondisi lingkungan pada
balita yang mengalami ISPA dan balita yang tidak mengalami kejadian ISPA di
wilayah kerja Puskesmas Jongaya Kota Makassar PeriodeOktober-November
2019.
2. Untuk mengetahui hubungan subfaktor lingkungan dalam memicu kejadian
ISPA dan faktor lingkungan yang paling dominan dalam memicu kejadian
ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Jongaya Kota Makassar
PeriodeOktober-November 2019.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini antaralain:
1. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu informasi dalam upaya
menjaga sanitasi lingkungan guna mencegah dan mengurangi resiko terjadinya
kejadian ISPA pada balita.
2. Bagi Dinas Kesehatan
Sebagai bahan masukan dalam penentuan intervensi dari permasalahan
kesehatan yang terjadi yang berhubungan dengan faktor lingkungan dan
kejadian ISPA pada balita.
3. Keilmuan
Sebagai bahan masukan dan dokumen ilmiah yang bermanfaat dalam
mengembangkan ilmu terkait tentang masalah ISPA pada balita serta dapat
digunakan dan bahan perbandingan penelitian yang serupa di daerah lain.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
a. Definisi ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA
atas dan bawah menurut Nelson (2002: 1456-1483), Infeksi saluran
pernapasan atas adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dan bakteri
termasuk nasofaringitis atau common cold, faringitis akut, uvulitis akut,
rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis. Sedangkan, infeksi saluran
pernapasan akut bawah merupakan infeksi yang telah didahului oleh infeksi
saluran atas yang disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder, yang termasuk
dalam penggolongan ini adalah bronkhitis akut, bronkhitis kronis,
bronkiolitis dan pneumonia aspirasi.
6
b. Jenis-Jenis ISPA
Penyakit Infeksi akut menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari
saluran nafas mulai hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah)
termasuk jaringan aksesoris seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni antara lain:
1) Infeksi
Infeksi merupakan masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam
tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala
penyakit.
2) Saluran pernapasan
Saluran pernapasan merupakan organ mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ aksesorinya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
3) Infeksi Akut
Infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
ditentukan untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari.
1) ISPA Non-Pneumonia
Merupakan penyakit yang banyak dikenal masyarakat dengan istilah
batuk dan pilek (common cold).
2) ISPA Pneumonia
7
Pengertian pneumonia sendiri merupakan proses infeksi akut yang
mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi
kuman bakteri, yang ditandai olehgejala klinik batuk, disertai adanya
nafas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah.
8
sakit telinga dan demam. Berikut gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain
sebagai berikut:
9
b) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
c) Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
d) Sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas
e) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
f) Tenggorokan berwarna merah
d. Penyebab ISPA
ISPA dapat disebabkan oleh banyak hal. Antara lain:
1) Menurut Nelson (2002, 1455-1457), Virus penyebab ISPA meliputi virus
parainfluenza, adenovirus, rhinovirus, koronavirus, koksakavirus A dan
B, Streptokokus dan lain-lain.
10
2) Perilaku individu, seperti sanitasi fisik rumah, kurangnya ketersediaan air
bersih (Depkes RI, 2005: 30).
11
3) Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni
rumah meliputi penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, limbah rumah
tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian tidak
berlebihan dan cukup sinar matahari pagi.
4) Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang
timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah, antara lain fisik rumah
yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung
membuatpenghuninya jatuh tergelincir.
12
Rumah yang tidak sehat dapat menjadi reservoir penyakit bagi
seluruh lingkungan, jika kondisi tidak sehat bukan hanya pada satu
rumah tetapi pada kumpulan rumah (lingkungan pemukiman).
Timbulnya permasalahan kesehatan dilingkungan pemukiman pada
dasarnyadisebabkan karena tingkat kemampuan ekonomi yang rendah,
karena rumah dibangun berdasarkan kemampuan penghuninya
(Notoatmodjo, 2007: 168).
13
dan lingkungan sosial manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimia)
meliputi udara, kelembaban, air dan pencemaran udara. Berkaitan dengan
ISPA adalah termasuk air borne disease karena salah satu penularannya
melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pernapasan, maka udara secara epidemologi mempunyai peranan penting
yang besar pada transmisi penyakit infeksi saluran pernapasan.
Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran
kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality) adalah ISPA. ISPA
dapat meliputi bagian atas saja dan bahkan bagian bawah seperti
laringitis, tracheobronchitis, bronkhitis dan pneumonia (Keman, 2005:
33).
Perkembangan timbulnya penyakit menggambarkan secara spesifik
peran lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah sejak lama sudah
diperkirakan pengaruh lingkungan terhadap terjadinya penyakit. Apabila
dilihat dari segi ilmu lingkungan, penyakit terjadi karena adanya interaksi
antara manusia dengan lingkungan hidupnya (Soemirat, 2007: 18).
Status kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu induk
semang (host), agen penyakit (agent) dan lingkungan (environment)
seperti ditunjukkan pada (Gambar 5). Ketiga faktor tersebut akan
berinteraksi dan menimbulkan hasil positif maupun negatif. Hasil
interaksi akan menimbulkan keadaan sehat sedangkan interaksi yang
negatif akan memberikan keadaan sakit.
14
Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam ruangan
yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu atau arang
atau asap. Di samping itu ditentukan oleh ventilasi, kepadatan penghuni,
suhu ruangan, kelembaban, penerangan alami, jenis lantai, dinding, atap,
saluran pembuangan air limbah, tempat pembuangan sampah,
ketersediaan air bersih, dan debu (polutan).
1) Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama
adalah menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga
keseimbangan O2 tetap terjaga,karena kurangnya ventilasi menyebabkan
kurangnya O2yang berarti kadar CO2 menjadi racun. Fungsi
keduaadalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri,
terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam
kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007: 170-171).
Menurut Notoatmodjo (2007: 170), ventilasi adalah proses udara
segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup
secara alamiah maupun buatan. Berdasarkan kejadiannya ventilasi dibagi
menjadi dua yaitu:
a) Ventilasi alamiah
Ventilasi alamiah berguna untuk mengalirkan udara di dalam ruangan
yang terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu dan lubang angin.
Selain itu ventilasi alamiah juga menggerakkan udara sebagai hasil
poros dinding ruangan, atap dan lantai.
b) Ventilasi buatan
Ventilasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat mekanis
maupun elektrik. Alat-alat tersebut di antaranya adalah kipas angin,
exhauster dan AC.
15
Menurut Dinata (2007: 2), syarat ventilasi yang baik adalah sebagai
berikut:
a) Lubang-lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan,
sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup)
minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10 % dari luas
ruangan.
b) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan
lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan
sampai terhalang oleh barang-barang besar misalnya lemari, dinding,
sekat, dan lain-lain.
2) Kepadatan Hunian
Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai
fungsinya. Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu
memperhatikan standar minimal jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal
harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur, ruang tamu, ruang makan,
dapur, kamar mandi dan kakus.
Berdasarkan Kepmenkes RI No.829 tahun 1999 tentang kesehatan
perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidurminimal 8m2 dan tidak
dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu kamar tidur.
Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan
16
mempunyai dampak kurangnya oksigen di dalam ruangan sehingga daya
tahan penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran
pernafasan seperti ISPA.
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak
sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan
oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban
akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin
banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin cepat
udararuangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan
banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan
diikuti oleh peningkatan CO2 dan dampakpeningkatanCO2dalam
ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan.
3) Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu
optimum 18-30°C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah
18°C atau di atas 30°C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat.
Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor
resiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali. Suhu dalam ruangan
berperan untuk menjaga rumah dalam kelembaban optimal untuk
membebaskan bakteri dan virus (Erna, 2005: 77).
4) Kelembaban Ruangan
Kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi penurunanan
daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap
penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat
meningkatkan daya tahan hidup bakteri. Menurut Kemenkes No.
829/Menkes/SK/VII/1999 kelembaban dianggap baik jika memenuhi 40-
70% dan buruk jikakurang dari 40% atau lebih dari 70%. Kelembaban
17
berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak lancar
akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga
kelembaban udaranya tinggi. Sebuah rumah yang memiliki kelembaban
udara tinggi memungkinkan adanya tikus, kecoa dan jamur yang
semuanya memiliki peran besar dalam patogenesis penyakit pernafasan
(Krieger dan Higgins, 2002: 758-759).
5) Penerangan Alami
Menurut Azwar (1986: 93), salah satu syarat rumah sehat ialah
tersedianya cahaya yang cukup. Suatu rumah atau ruangan yang tidak
mempunyai cahaya dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman dan
dapat mendatangkan penyakit.
Cahaya alami menggunakan sumber cahaya yang terdapat di alam,
biasanya dapat berupa matahari, binatang, dan lain-lainnya. Cahaya alami
dipengaruhi oleh keadaan alam itu sendiri. Jika awan menutupi matahari,
maka jumlah cahaya yang masuk ke ruangan tentu akan berkurang.
Cahaya matahari memegang peranan penting karena dapat
membunuh bakteri di dalam rumah, misalnya bakteri penyebab penyakit
ISPA. Oleh karena itu, rumah yangsehat harus memiliki jalan masuk
cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-
kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam
ruangan rumah (Azwar, 1986: 97,99).
Pencahayaan alami menurut Kemenkes
No.829/Menkes/SK/VII/1999 dianggap baik jika besarnya antara 60-120
Lux dan buruk jika kurang dari 60 Lux atau lebih dari 120 Lux. Hal ini
yang perlu diperhatikan dalam membuat jendela, perlu diusahakan agar
matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, dan tidak terhalang
oleh bangunan lain. Fungsi jendela yang dimaksud sebagai ventilasi dan
juga sebagai jalam masuk cahaya. Lokasi jendela harus diperhatikan agar
18
sinar matahari lebih lama menyinari lantai (bukan dinding), maka
sebaiknya jendela harus berada ditengah-tengah tinggi dinding (tembok).
6) Lantai
Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA
karena lantai yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik
untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang
baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan
lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, keadaan lantai perlu
diplester dan akan lebih baik apabiladilapisi ubin atau keramik yang
mudah dibersihkan (Kemenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999).
Lantai yang baik dilingkungan pedesaan adalah tanah biasa yang
dipadatkan. Syaratnya adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan
tidak basah pada musim penghujan, karena lantai yang basah akan
menimbulkan sarang penyakit (Notoatmodjo: 168-169).
7) Dinding
Dinding mempunyai fungsi sebagai pendukung atau penyangga
atap juga untuk melindungi rumah dari gangguan panas, hujan dan angin
dari luar dan juga sebagai pembatas antara dalam dan luar rumah.
Dinding juga berguna untuk mempertahankan suhu dalam ruangan,
merupakan media bagi proses rising damp (kelembaban yang naik dari
tanah) yang merupakan salah satu penyebab kelembaban dalam rumah.
Bahan dinding yang baik adalah dinding yang terbuat dari bahan tahan
api seperti batu bata yang sering disebut tembok (Erna, 2005: 78).
8) Atap
Salah satu fungsi atap yaitu melindungi masuknya debu dalam
rumah. Atap sebaiknya diberi plafon atau langit-langit, agar debu tidak
langsung masuk ke dalam rumah. Atap genteng merupakan atap yang
19
cocok di daerah tropis.Atap seng atau atap asbes tidak cocok untuk
rumah pedesaan, disamping mahal juga dapat menimbulkan suhu panas
dalam rumah (Notoatmodjo, 2007: 169).
20
sedangkan yang tidak membusuk dapat berupa plastik, kertas, kertas,
logam ataupun abu dan lain-lain.
21
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor
416/Menkes/Per/IX/1990, yang dimaksud air bersih adalah air yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat diminum apabila telah masak. Air bersih yang baik
harus memenuhi syarat kualitas air bersih, yaitu:
a) Syarat fisik, yaitu tidak berwarna, tidak mempunyai rasa dan tidak
berbau.
b) Syarat kimia, yaitu tidak mengandung zat kimia atau mineral yang
berbahaya bagi kesehatan manusia.
c) Syarat bakteriologis, yaitu tidak mengandung bakteriE.Coli yang
melampaui batas yang ditentukan.
22
B. Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
1. Ada perbedaan antara kondisi faktor lingkungan antara balita yang mengalami
kejadian ISPA dan balita yang tidak mengalami ISPA di wilayah kerja
Puskesmas Jongaya Kota Makassar.
2. Hubungan kondisi subfaktor lingkungan:
a. Ada hubungan kepadatan penghuni dengan angka kejadian ISPA.
b. Ada hubungan ventilasi dengan angka kejadian ISPA.
c. Ada hubungan suhu ruangan dengan angka kejadian ISPA.
d. Ada hubungan kelembaban dengan angka kejadian ISPA.
e. Ada hubungan penerangan dengan angka kejadian ISPA.
f. Ada hubungan dinding rumah dengan angka kejadian ISPA.
g. Ada hubungan lantai rumah dengan angka kejadian ISPA.
23
h. Ada hubungan atap rumah dengan angka kejadian ISPA.
i. Ada hubungan debu dengan angka kejadian ISPA.
j. Ada hubungan SPAL dengan angka kejadian ISPA.
k. Ada hubungan tempat pembuangan sampah dengan angka kejadian ISPA.
l. Ada hubungan ketersediaan air bersih dengan angka kejadian ISPA.
24
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini menggunakan desain cross sectional,
rancangan penelitian cross sectional adalah penelitian non eksperimental yang
mempelajari dinamika hubungan faktor-faktor resiko dengan efek dengan
pendekatan point time, yaiu variabel diobservasi pada saat yang sama termasuk
variabel-variabel faktor resiko dan variabel efek. (Pratiknya, 2007)
Pemilihan desain penelitian cross sectional ini karena memiliki beberapa
keuntungan yaitu memberikan kemudahan untuk dilakukan dan murah serta tidak
memerlukan follow up. (Murti,1997). Selain itu dengan desain penelitian ini
sifatnya relatif sederhana,ekonomis dalam segi waktu, dan banyak variabel yang
dapat dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. (Notoatmodjo,2002)
25
2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah anak balita. Sedangkan respondennya
ibu balita, cara pengambilan sampel dilakukan secara Non Random Sampling
yaitu consecutive sampling, dimana semua subyek yang datang dan memenuhi
kriteria pemilihan sampel dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek
yang diperlukan terpenuhi yaitu sebanyak 88 balita. Besar sampel penelitian
diperoleh dari hasil perhitungan besar sampel menggunakan rumus Lemeshow
(1997) sebagai berikut:
𝛼
𝑍 2 (1−2𝑝)(1−𝑝)𝑁
n= 𝛼
d2 (N−1)+ Z2 (1−2𝑝)(1−p)
n = 87,5 ~ 88 orang
Keterangan:
n = Besaran sampel
1-ɑ/2 = Selang kepercayaan 95% (maka Z1-ɑ/2 = 1,96)
p = Perkiraan proporsi (prevalensi) penyakit (atau paparan) pada
populasi. Apabila tidak diketahui maka digunakan p: 0,5 untuk
menghasilkan nilai n terbesar (Notoatmodjo, 2010)
q = 1-p
N = Besaran populasi
26
d = Presisi absolute yang diinginkan pada kedua sisi proporsi populasi,
yaitu sebesar 5%
D. Batasan Operasional
1. ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan suatu penyakit
pernapasan akut yang disebabkan oleh virus dan bakteri ditandai dengan gejala
batuk, pilek, serak, demam, dan mengeluarkan ingus atau lendir yang
berlangsung sampai dengan 14 hari (Depkes RI, 2012)
2. Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang menimbulkan atau mungkin menimbulkan
pengaruh yang merugikan bagi kesehatan yang meliputi kondisi sesuai syarat
rumah sehat meliputi ventilasi, kepadatan penghuni, penerangan alami, suhu
ruangan, kelembaban, lantai rumah, dinding rumah, atap rumah, sumber air
bersih, tempat pembuangan sampah, saluran pembuangan air limbah, dan
polutan (debu).
a. Ventilasi
Lubang angin untuk proses pergantian udara segar ke dalam dan
mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah
maupun buatan.
1) Baik (10% dari luas lantai)
2) Tidak baik (< 10% dari luas lantai)
b. Kepadatan Penghuni
Meliputi jumlah penghuni dalam rumah dengan ukuran luasan rumah.
Dengan kategori:
1) Baik: ≤ 2 orang
2) Tidak baik: > 2 orang
c. Penerangan Alami (Intensitas Cahaya)
27
Merupakan penerangan rumah secara alami oleh sinar matahari untuk
mengurangi kelembaban dan membunuh bakteri penyebab ISPA. Dengan
kategori:
1) Baik (60 – 120 Lux)
2) Tidak baik (< 60 atau > 120 Lux)
d. Suhu Ruangan
Suhu dalam ruangan untuk menjaga tidak terlalu banyak kehilangan
panas atau sebaliknya tubuh tidak sampai kepanasan. Dengan kategori:
1) Baik: 18◦C - 30◦C
2) Tidak baik: < 18◦C atau > 30◦C
e. Kelembaban
Merupakan kandungan uap air yang dapat dipengaruhi oleh sirkulasi
udara dalam rumah dengan kategori:
1) Baik: 40% - 70%
2) Tidak baik: < 40% atau > 70%
f. Lantai Rumah
Merupakan salah satu bahan bangunan rumah untuk melengkapi
sebuah rumah. Dengan kategori:
1) Baik: kadap air dan tidak lembab (keramik dan ubin)
2) Tidak baik: menghasilkan debu dan lembab (semen dan tanah)
g. Dinding Rumah
Merupakan salah satu bahan bangunan untuk mendirikan sebuah
rumah. Dengan kategori:
1) Baik: permanen atau tembok
2) Tidak baik: semi permanen, bambu dan kayu/papan
h. Atap Rumah
Merupakan salah satu bagian fungsi rumah untuk melindungi
masuknya debu ke dalam rumah. Dengan kategori:
1) Baik: genteng dan menggunakan langit-langit
28
2) Tidak baik: asbes atau seng dan tidak menggunakan langit-langit
i. Sumber Air Bersih
Merupakan sumber air yang berasal dari sumber mata air yang
terlindung atau sumur pompa maupun sumur gali, PDAM, dan sumber air
bersih yang memenuhi syarat kesehatan.
j. Tempat Pembuangan Sampah
Merupakan bak tempat pembuangan sampah dan cara pengelolaan
sampah.
k. Saluran Pembuangan Air Limbah
Merupakan saluran untuk mengalirkan air limbah ke sebuah lubang
atau sumur resapan yang memenuhi syarat kesehatan.
l. Polutan (Debu)
Merupakan partikel yang tidak murni dan mencemari udara yang
berada di dalam ruangan atau di luar ruangan.
E. Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk memecahkan masalah penelitian sekaligus
menyampaikan informasi tentang hasil penelitian. Analisa data dilakukan dengan
sistem computer. Jenis data adalah kategorikal, maka teknik analisa yang
digunakan adalah Chi-Square untuk melihat hubungan antara variable dependent
dan independent.
Hubungan antara variable dependent dan independent ditentukan
berdasarkan P value yang dihasilkan. Bila P value < 0.05, hasil uji statistic
dikatakan bermakna (ada hubungan antara variable yang diuji) dan bila P value >
0.05, hasil uji statistic dikatakan tidak bermakna (tidak ada hubungan antara
variable yang diuji).
Untuk melihat atau mengetahui keeratan hubungan antara variable
dependent dan independent digunakan nilai Odds Ratio (OR), yaitu perbandingan
antara prevalensi kejadian penyakit pada kelompok resiko dengan prevalensi
29
kejadian penyakit pada kelompok tanpa resiko. Nilai Odds Ratio ini menunjukkan
Odds terjadinya penyakit pada kelompok terpajan dengan kelompok tidak
terpajan. Bila OR > 1 dinyatakan pajanan merupakan resiko bagi terjadinya
penyakit, sebaliknya bila nilai OR < 1 berarti pajanan merupakan pencegah
terjadinya penyakit.
30
BAB IV
HASIL KEGIATAN
A. Profil Puskesmas
a. Letak Geografis
Puskesmas Jongaya berlokasi di Jl. Andi Tonro No.49 Makassar,
mencakup 3 (tiga) wilayah kelurahan, yaitu : Kelurahan Pa’baeng-baeng,
Kelurahan Jongaya, dan Kelurahan Bongaya, yang merupakan bagian dari
Kecamatan Tamalate Kota Makassar dengan batas-batas sebagai berikut :
1. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kel. Parang Kec. Mamajang.
2. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kelurahan Mannuruki.
3. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Maccini Sombala.
4. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Sambung Jawa.
Luas wilayah kerja Puskesmas Jongaya adalah 20.525 km2
Tabel 1. Luas Wilayah, Jumlah RT/RW menurut kelurahan di wilayah kerja
Puskesmas Jongaya Tahun 2018
No. Kelurahan Luas (Ha) RT RW
2. Jongaya 47,75 51 14
3. Bongaya 99,8 46 12
31
Gambar 3. Puskesmas Jongaya
b. Keadaan Demografis
Kependudukan merupakan permasalahan yang dihadapi dewasa ini,
bukan hanya menyangkut jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dan arus
urbanisasi dengan segala dampak sosial ekonomi, dan keamanan menjadi
keharusan untuk mengendalikan angka kelahiran dan kematian. Pbahasan
mengenai kependudukan mencakup masalah pertumbuhan penduduk dan
struktur penduduk menurut kelompok umur.
Dalam upaya menekan laju pertumbuhan penduduk dilaksanakan
melalui tingkat kelahiran dan penurunan angka kematian (bayi, anak balita,
dan ibu) dimana pertumbuhan yang tinggi akan menambah beban
pembangunan. Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Jongaya pada
tahun 2018 adalah 45.358 jiwa.
Kepadatan penduduk sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan
serta masalah sosial ekonomi. Hal ini terjadi karena faktor gizi yang
berhubungan dengan lingkungan, perumahan dan sanitasi yang kotor
menyebabkan berbagai macam penyakit yang muncul. Di samping itu,
kepadatan penduduk sebagai lambing perkembangan suatu daerah.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Jongaya, kepadatan
32
penduduk adalah jiwa per kilometer persegi, yaitu 2,21 jiwa/km2. Jumlah
kepala keluarga (KK) tahun 2018 di wilayah kerja Puskesmas Jongaya
adalah 10.465 KK.
Komposis umur di wilayah kerja Puskesmas Jongaya dapat dilihat
seperti berikut:
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di
Wilayah Kerja Puskesmas Jongaya Tahun 2018.
Kelompok Umur Jenis Kelamin Jumlah
(tahun) Laki-laki Perempuan
0-4 2302 2530 4832
5-9 1871 2108 3979
10-14 1536 1872 3408
15-19 2028 2643 4671
20-24 2684 3566 6240
25-29 2434 2830 5264
30-34 1872 2314 4186
35-39 1344 1473 2871
40-44 1057 1372 2429
45-49 939 1074 2013
50-54 721 930 1651
55-59 509 690 1199
60-64 521 647 1168
65-69 359 550 909
70-74 161 246 407
75+ 73 112 185
Jumlah 20.411 24.947 45.358
33
c. Sarana Kesehatan
Sarana kesehatan milik pemerintah, swasta dan partisipasi masyarakat yang
terdapat dalam wilayah kerja Puskesmas Jongaya turut berperan dalam
peningkatan status derajat kesehatan masyarakat dalam wilayah kerja
Puskesmas.
Tabel 3. Sarana Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Jongaya Tahun
2018.
Sarana Kesehatan Jumlah
RS Umum 1
Puskesmas 1
Balai/ Klinik Pengobatan 1
Dokter Praktek 24
Bidan Praktik Swasta 2
Apotek 8
Posyandu 38
Posbindu 7
Total 74
d. Tenaga Kesehatan
Jumlah tenaga kesehatan yang terdapat di Puskesmas Jongaya
terdapat dalam tabel berikut:
Tabel 4. Jumlah tenaga kesehatan di wilayah kerja puskesmas jongaya
tahun 2018.
No. Tenaga Kesehatan Jumlah
1. Kepala Pukesmas 1
2. Kasuag Tata Usaha 1
3. Dokter Umum 3
4. Gokter Gigi 2
34
5. Bidan 7
6. Perawat 18
7. Tenaga Kesehatan Masyarakat 2
8. Tenaga Kesehatan Lingkungan 2
9. Laboran 1
10. Tenaga Gizi 2
11. Tenaga Teknik Kefarmasian 1
12. Tenaga Apoteker 1
13. Pekarya Kesehatan 2
Tenaga Non- PNS
14. Tenaga Kontrak (Dokter) 1
15. Tenaga Magang 22
16. Tenaga Keamanan 3
17. Cleaning Service 2
18. Supir 2
Total 73
e. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Puskesmas Jongaya berdasarkan peraturan Walikota no.
41 tahun 2012 terdiri atas:
1) Kepala Puskesmas
2) Kepala Kasubag Tata Usaha
3) Kelompok Jabatan Fungsional
Upaya Kesehatan Esensial dan Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Upaya promosi kesehatan
Upaya kesehatan lingkungan
Upaya KIA-KB
Upaya Gizi
35
Pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat
Upaya Kesehatan Pengembangan
Upaya kesehatan jiwa
Upaya kesehatan gizi masyarakat
Pengobatan kesehatan tradisional komplementer
Upaya kesehatan olahraga
Upaya kesehatan indera
Upaya kesehatan usia
UKGS
UKS
Upaya kesehatan kerja
Upaya Kesehatan Masyarakat, Perorangan, Kefarmasian dan
Laboratorium
Pelayanan pemeriksaan umum
Pelayanan kesehatan gigi dan mulut
Pelayanan KIA-KB
Pelayanan laboratorium
Pelayanan rawat inap umum
Pelayanan persalinan
UGD
LKB
Jaringan Pelayanan Puskesmas dan Jejaring Fasilitas Pelayanan
Kesehatan
Bidan kelurahan
Puskesmas keliling
36
f. Visi dan Misi Puskesmas Jongaya
1) Visi
Visi puskesmas Jongaya adalah untuk mewujudkan pelayanan
kesehatan yang terstandar di wilayah kerja Puskesmas Jongaya
2) Misi
Misi Puskesmas Jongaya adalah sebagai berikut:
a) Menyediakan pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau
b) Menyediakan pelayanan kesehatan berbasis teknologi
c) Menciptakan lingkungan sehat berbasis masyarakat
d) Meningkatkan peran serta masyarakat untuk mendukung perilaku
sehat,
g. Daftar Penyakit Terbanyak di Willayah Kerja Puskesmas Jongaya
Terdapat beberapa penyakit yang sering ditemui selama pelayanan di
Puskesmas Jongaya. Berikut adalah tabel sepuluh penyakit terbanyak di
Puskesmas Jongaya.
Tabel 5. Sepuluh Penyakit Terbanyak di Puskesmas Jongaya tahun 2018.
No. Penyakit Jumlah
1. Common Cold 2567
2. ISPA 1740
3. Hipertensi 1473
4. Gastritis 1181
5. Dermatitis 1053
6. Myalgia 871
7. Diabetes Melitus 766
8. Rheumatoid Arthritis 512
9. GEA 498
10 Demam Tifoid 255
37
B. Hasil Penelitian
ISPA P
VARIABEL Ya (%) Tidak (%) Total (%)
OR
Value
FaktorLingkungan
KepadatanPenghuni
1. Ya 40 45,0 28 31,7 67 76,7
0,015 6,258
Tidak 4 5,0 16 18,3 21 23,3
JenisLantai
2. Ya 22 25,0 37 41,7 59 66,7
0,006 7,759
Tidak 22 25,0 7 8,3 29 33,3
DindingRumah
3. Ya 16 18,3 41 46,7 57 65,0
0,000 23,568
Tidak 28 31,7 3 3,3 31 35,0
PeneranganAlami
Baik 37 41,7 37 41,7 74 83,3
4.
KurangBaik 4 5,0 6 6,7 10 11,3 0,788 0,483
TidakBaik 3 3,3 1 1,7 4 5,0
AtapRumah
5. Ya 21 23,3 35 40,0 56 63,3
0,007 7,379
Tidak 23 26,7 9 10,0 32 36,7
Debu (Polutan)
Baik 3 3,3 12 13,3 15 16,7
6. CukupBaik 3 3,3 10 11,7 13 15,0
0,025 9,794
KurangBaik 23 26,7 13 15,0 37 41,7
TidakBaik 15 16,7 9 10,0 23 26,7
Ketersediaan Air Bersih
Baik 31 35,0 40 45,0 70 80,0
7. CukupBaik 9 10,0 3 3,3 12 13,3
0,191 5,618
KurangBaik 1 1,7 1 1,7 3 3,3
TidakBaik 3 3,3 0 0,0 3 3,3
TempatPembuanganSampah
8. Ya 34 38,3 40 45,0 73 83,3
0,166 1,966
Tidak 10 11,7 4 5,0 15 16,7
SaluranPembuangan Air Limbah
Baik 19 21,7 35 40,0 54 61,7
9.
KurangBaik 15 16,7 7 8,3 22 25,0 0,009 10,081
TidakBaik 10 11,7 1 1,7 12 13,3
Ventilasi
10. Ya 3 3,3 3 3,3 6 6,7
1,000 0,000
Tidak 41 46,7 41 46,7 82 93,3
Suhu
11. Ya 35 40,0 41 46,7 76 86,7
0,129 2,401
Tidak 9 10,0 3 3,3 12 13,3
Kelembaban
12. Ya 6 6,7 18 20,0 23 26,7
0,020 5,649
Tidak 38 43,3 26 30,0 65 73,3
13. IntensitasCahaya
38
Ya 18 20,0 35 40,0 53 60,0
0,002 10,357
Tidak 26 30,0 9 10,0 35 40,0
C. Pembahasan
a. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA
Dari table di atas berdasarkan uji chi-square di dapatkan 40 orang
yang penderita ISPA dan 27 orang tidak menderita ISPA dengan
kepadatan hunian tinggi sedangkan 4 orang menderita ISPA dan 16 orang
tidak menderita ISPA dengan kepadatan hunian rendah, Dari nilai
P=0.015 sehingga dikatakan adanya hubungan antara factor lingkungan
dengan kepadatan hunian yang tinggi, dengan terjadinya kejadian ISPA,
serta OR=6.25 berarti kepadatan penduduk menjadi salah satu faktor
resiko terjadinya ISPA.
Sesuai dengan teori berdasarkan Kemenkes RI No.829 tahun 1999
tentang kesehatan perumahan menetapkan bahwa Luas ruang tidur
minimal 8 mm2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur
dalam 1 kamar tidur karena bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan
jumlah penghuni,akan menyebabkan kurangnya oksigen dalam ruangan,
sehingga daya tahan penghuninya menurun dan dapat menyebabkan ISPA.
39
adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai
harus kedap air dan mudah dibersihkan (Kemenkes No.
829/Menkes/SK/VII/1999).
40
e. Hubungan Atap Rumah dengan Kejadian ISPA
Dari table sesuai uji Chi-Square faktor atap rumah genteng dengan
jumlah kejadian ISPA sebanyak 21 orang sedangkan atap rumah bukan
genteng dengan jumlah kejadian ISPA sebanyak 32 orang dengan Nilai
P=0.007 sehingga dikatakan memiliki hubungan yang bermakna terhadap
kejadian ISPA dan menjadi Nilai OR = 7,379 yang artinya memiliki faktor
resiko terhadap kejadian ISPA. Sesuai dengan teori menurut Noto
Atmodjo yang menyatakan bahwa atap genteng cocok untuk daerah tropis,
sedangkan atap seng atau asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan,
disamping mahal juga dapat menimbulkan suhu panas dalam rumah.
41
g. Hubungan Ketersediaan Air Bersih dengan Kejadian ISPA
Dari table sesuai uji Chi-Square faktor ketersediaan air bersih yang
baik memiliki angka kejadian ISPA sebanyak 31 orang sedangkan
ketersediaan air yang kurang baik memiliki angka kejadian ISPA sebanyak
1 orang dengan Nilai P=0.191 sehingga dikatakan tidak memiliki
hubungan yang bermakna terhadap kejadian ISPA dan memiliki Nilai OR
= 10,081 yang artinya menjadi salah satu faktor pencegah terhadap
kejadian ISPA.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor
416/Menkes/Per/IX/1990, yang dimaksud air bersih adalah air yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat diminum apabila telah masak. Air bersih yang baik
harus memenuhi syarat kualitas air bersih, yaitu tidak berwarna, tidak
mempunyai rasa dan tidak berbau, tidak mengandung zat kimia atau
mineral yang berbahaya bagi kesehatan manusia, dan tidak mengandung
bakteri E.Coli yang melampaui batas yang ditentukan.
42
abu dan lain-lain. Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat disebabkan
karena kontak langsung dengan sampah maupun tidak langsung akibat
pembusukan, pembakaran dan pembuangan. Efek tidak langsung lainnya
berupa penyakit bawaan vektor yang berkembang biak di dalam sampah.
43
dan pasir. Jarak antara sumur air bersih ke sumur resapan minimum 10 m
supaya tidak mencemari (Yulestra Putra, 2004: 2-4).
44
dalam rumah yang kurang baik memiliki angka kejadian ISPA sebanyak 9
orang dengan nilai p= 0,129 sehingga dikatakan tidak memiliki hubungan
bermakna terhadap kejadian ISPA dengan nilai OR= 2,401. Sesuai dengan
teori menurut Erna (2005), salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah
memiliki suhu optimum 18-30°C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah
dibawah 18°C atau di atas 30°C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi
syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi
faktor resiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali. Suhu dalam
ruangan berperan untuk menjaga rumah dalam kelembaban optimal untuk
membebaskan bakteri dan virus.
45
memiliki peran besar dalam patogenesis penyakit pernafasan (Krieger dan
Higgins, 2002: 758-759).
46
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan antara lain:
1. Faktor lingkungan yang memicu kejadian ISPA pada balita antara lain jenis
lantai, dinding rumah, atap rumah, debu, ventilasi, intensitas cahaya,
kelembaban.
2. Ada hubungan perbedaan faktor lingkungan pada balita yang mengalami
ISPA dan tidak mengalami ISPA di Puskesmas Jongaya pada periode
Oktober-November 2019.
3. Faktor yang paling dominan dalam memicu kejadian ISPA pada balita
adalah dinding rumah.
4. Hubungan faktor lingkungan dalam memicu kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Jongaya pada periode Oktober-November 2019 menunjukkan :
a. Adanya hubungan subfaktor lingkungan antara lain meliputi
kepadatan penghuni, jenis lantai, dinding rumah, atap rumah, debu,
saluran pembuangan air limbah, dan kelembaban, intensitas cahaya.
b. Tidak adanya hubungan subfaktor lingkungan antara lain meliputi
penerangan alami, ketersediaan air bersih, tempat pembuangan sampah,
ventilasi, dan suhu.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka peneliti menyarankan:
1. Puskesmas untuk melakukan pengembangan wawasan terhadap ibu dan
keluarga tentang ISPA dan hubungannya dengan lingkungan, serta faktor-
faktor lain yang berperan dalam kejadian ISPA, baik secara perseorangan
maupun konsultasi langsung dengan pasien dan secara massal misalnya
melali penyuluhan.
47
2. Puskesmas dapat melalukan penelitian lebih lanjut mengenai kejadian ISPA
dan hubungannya dengan faktor gizi, faktor genetic maupun imunitas.
48
DAFTAR PUSTAKA
Nur Ahmad Yusuf. (2003). Hubungan Sanitasi Rumah secara fisik dengan
kejadian ISPA pada Balita. Jurnal KesehatanLingkungan Vol.1 No.2 :1-11.
Anggi Sarhosi. (2001). Hubungan Kadar Debu Total Dengan Kejadian ISPA Pada
Balita Di Sekitar Jalan Masuk Truk pengangkut Sampah ke TPA Jatibarang
Kecamatan Mijen. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Depkes RI. (2000). Informasi Tentang ISPA pada Balita. Jakarta : Pusat
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat.
49
50
Krieger, J. dan Higgins, D. L. (2002). Housing and Health. Time Again for Public
Health action.
50
51
Triska dan Lilis Sulistyorini. (2007). Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Anak Balita.Jurnal
Kesehatan Lingkungan.Vol.2 No.1.Hlm. 1-11.
Vita. (2009). Skripsi. Hubungan Antara Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) pada balita didesa Cepogo
Kabupaten Boyolali.Universitas Muhammadiyah Surakarta.
51