Anda di halaman 1dari 27

TUGAS REFERAT

MENINGOENSEFALITIS BAKTERIALIS

OLEH
Jihan Istighfaroh
H1A 014 034

PEMBIMBING
dr. I Wayan Subagiartha, Sp. S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya.
Referat yang berjudul “Meningoensefalitis Bakterialis” ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Neurologi RSUD Provinsi
Nusa Tenggara Barat.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada
penulis.

1. dr. I Wayan Subagiartha, Sp.S, selaku supervisor sekaligus pembimbing,


2. dr. Esther Sampe, Sp.S, selaku Ketua SMF Neurologi RSUP NTB,
3. dr. Ilsa Hunaifi, Sp.S, selaku Koordinator Pendidikan SMF Neurologi RSUP
NTB dan supervisor,
4. dr. Herpan Syafii Harahap, M.Biomed, Sp.S selaku supervisor,
5. dr. Muhammad Ghalvan Sahidu, Sp.N, selaku supervisor,
6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat dan
tambahan pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam
menjalankan praktik sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih.

Mataram, 20 Juli 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 2

2.1 Definisi .......................................................................................... 2

2.2 Etiologi .......................................................................................... 3

2.3 Epidemiologi .................................................................................. 4

2.4 Anatomi Meningens dan Cairan Serebrospinal ............................. 5

2.5 Patofisiologi ................................................................................... 9

2.6 Manifestasi Klinis .......................................................................... 11

2.7 Diagnosis ....................................................................................... 13

2.8 Penatalaksanaan ............................................................................. 16

2.9 Komplikasi ..................................................................................... 19

2.10 Prognosis ...................................................................................... 20

BAB IV KESIMPULAN ........................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 22


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Meningitis adalah peradangan akut pada meninges yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, virus, atau jamur. Peradangan paling sering disebabkan oleh virus atau
bakteri, yang sampai ke mening akibat infeksi di bagian lain tubuh melalui aliran
darah atau dari lokasi dekat otak.1,2
Meningoensefalitis menunjukkan proses inflamasi yang melibatkan meningen
dan parenkim otak. Organisme yang menyebabkan meningitis sering juga
menyebabkan ensefalitis dan juga sebaliknya. Onset terjadinya penyakit biasanya
tiba-tiba dan dapat menyebabkan kematian atau kecacatan jika terapi yang sesuai
tidak segera dilakukan secara adekuat.3 Inflamasi pada meningoensefalitis melibatkan
Central Nervous System (CNS) sehingga dapat menimbulkan gejala berupa
penurunan kesadaran, kejang, peningkatan tekanan intrakranial, dan infark iskemik. 1,2
Berdasarkan etiologinya, meningoensefalitis diklasifikasikan menjadi
meningoensefalitis bakterialis dan meningoensefalitis aseptik. Kasus
meningoensefalitis lebih banyak disebabkan oleh bakteri dengan insidensi sebesar 2-6
kasus per 100.000 penduduk per tahunnya.4,5

Meningoensefalitis Bakterialis dapat menyerang semua usia dan jenis kelamin.


Puncak kejadian Meningoensefalitis Bakterialis ialah pada neonatus maupun bayi dan
lebih sering menyerang pria.4,5 Faktor risiko yang berkaitan dengan kejadian
Meningoensefalitis Bakterialis, antara lain ialah status immunocompromised, defek
neuroektodermal kongenital, trauma pada kranial, infeksi, maupun penyakit kronik.4-7
Meningoensefalitis Bakterialis memiliki trias klinik, yaitu demam, nyeri
kepala hebat, dan kaku kuduk. Gejala klinik lainnya dapat berbeda-beda tergantung
dari bakteri patogen penyebabnya.4,8 Meningoensefalitis tetap menjadi penyakit
kegawatdaruratan neurologis dan infeksi dengan tingkat kematian yang tinggi,
meskipun saat ini telah ada berbagai kemajuan teknologi untuk diagnostik, terapi
antibiotik dan penggunaan ajuvan sebagai agen anti inflamasi.3

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam tinjauan pustaka ini antara lain:
1. Apakah definisi meningoensefalitis?
2. Bagaimana epidemiologi meningoensefalitis?
3. Bagaimana etiologi meningoensefalitis?
4. Bagaimana patofisiologi meningoensefalitis?
5. Bagaimana manifestasi klinis meningoensefalitis?
6. Bagaimana menegakkan diagnosis pasien meningoensefalitis?
7. Bagaimana terapi yang diberikan pada pasien meningoensefalitis?

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan tinjauan pustaka ini penting bagi dokter muda sebagai calon dokter
umum agar mampu mengenali, memahami, dan mendiagnosa suatu penyakit dengan
tepat dimulai dari definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis dan
diagnosis sehingga dapat menentukan tatalaksana awal, prognosis, informasi, dan
edukasi yang tepat kepada pasien.

1.4 Manfaat Penulisan


Penulisan tinjauan pustaka ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi
dalam mempelajari kasus meningoensefalitis yang berlandaskan teori guna
memahami bagaimana cara mengenali, mengobati, dan edukasi pasien sehingga dapat
mengoptimalisasi kemampuan dan pelayanan dalam merawat pasien yang menderita
meningoensefalitis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Meningitis merupakan suatu infeksi dengan proses peradangan yang melibatkan


piamater, arakhnoid, ruangan subarachnoid, dan dapat meluas ke permukaan jaringan
otak dan medulla spinalis. Ensefalitis merupakan infeksi dengan proses peradangan
yang mengenai parenkim otak.1 Reaksi inflamasi yang mengenai lapisan meningens,
rongga subarachnoid, dan parenkim otak disebut meningoensephalitis.9
Berdasarkan etiologinya, meningoensefalitis terbagi menjadi 2 kategori, yaitu
meningoensefalitis bakterialis dan meningoensefalitis aseptik. Meningoensefalitis
Bakterialis merupakan proses inflamasi sekunder pada meningeal secara akut akibat
infeksi bakteri yang merekruitmen leukosit ke dalam Cairan Serebrospinal (CSS).
Meningoensefalitis aseptik merupakan inflamasi meningeal yang tidak diakibatkan
oleh infeksi bakteri, seperti infeksi virus, jamur, atau penyakit kronik lainnya.4,5
2.2 Epidemiologi

Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih


merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya masih
cukup tinggi, di antara penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah infeksi Susunan
Saraf Pusat (SSP) seperti meningoensefalitis. Centers for Diaseases Control and
Prevention (CDC) melaporkan bahwa pada tahun 1998-2007 di Amerika Serikat
dilaporkan 33 kasus Primary Amebic Meningoencephalitis (PAM) dan merupakan
penyebab kematian pada 23 orang pada tahun 1995-2004 dan 6 orang di tahun 2007. 3
World Health Organizatition (2011) melaporkan bahwa Case Fatality Rate (CFR)
dari meningoensefalitis di Asia yang disebabkan oleh Togavirus adalah sekitar 20%.
Di Indonesia, Meningitis/ ensefalitis merupakan penyebab kematian pada semua
umur dengan urutan ke 17 (0,8%) setelah malaria.10

Rata-rata insidensi Meningoensefalitis Bakterialis ialah 2 - 6 kasus per 100.000


penduduk setiap tahunnya dengan puncak kejadian pada kelompok neonatus maupun
bayi. Insidensi Meningoensefalitis Bakterialis pada neonatus dapat mencapai 400
kasus per 100.000 penduduk per tahunnya sedangkan pada bayi ≤2 tahun dapat
mencapai 20 kasus per 100.000 penduduk per tahunnya.4,5 Sejak tahun 1990 hingga
tahun 2013 telah terjadi penurunan jumlah insidensi Meningoensefalitis Bakterialis
yaitu penurunan sebesar 43% kasus pada neonatus, 54% kasus pada anak kurang dari
5 tahun, dan 2,7% kasus populasi >5 tahun. Penurunan ini dikarenakan adanya vaksin
yang mampu mencegah infeksi bakteri penyebab Meningoensefalitis Bakterialis.11

Berdasarkan patogennya, tingkat insiden tahunan (per 100.000)


Meningoensefalitis Bakterialis paling banyak diakibatkan oleh Streptococcus
pneumonia dengan rincian sebagai berikut Streptococcus pneumonia (1,1), Neisseria
meningitidis (0,6), Streptococcus grup B (0,3), Listeria monocytogenes (0,2), dan
Haemophilus influenza (0,2).4,6

2.3 Etiologi

Secara umum, pembagian etiologi Meningoensefalitis Bakterialis pada usia


dewasa ialah Meningoensefalitis Bakterialis akibat bakteri meningokokal dan
pneumokokal. Meningoensefalitis Bakterialis meningokokal biasanya disebabkan
oleh Neisseria meningitides, sedangkan Meningoensefalitis Bakterialis penumokokal
biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae.4,6 Beberapa literatur
mengelompokkan bakteri penyebab tersering pada kasus Meningoensefalitis
Bakterialis berdasarkan usia dan faktor risiko penderita. Pengelompokan bakteri
penyebab dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Penyebab Umum Meningoensefalitis Bakterialis berdasarkan Usia dan Faktor Risiko.4,6.8

Karakteristik Bakteri penyebab


Neonatus (<3 bulan) Escherichia coli; Streptococcus grup B; Listeria
monocytogenes
Bayi dan anak (>3 bulan) S. pneumonia; N. meningitidis; H. infl uenzae
Dewasa (<50 tahun) S. pneumonia; N. Meningitidis
imunokompeten
Dewasa (>50 tahun) S. pneumonia; N. meningitidis; Listeria
monocytogenes
Fraktur kranium/pasca Staphylococcus epidermidis; Staphylococcus
bedah saraf aureus; bakteri gram negatif (Klebsiella,
Proteus, Pseudomonas, E. coli); Streptococcus
grup A dan D; S. pneumonia; H. infl uenzae
Kebocoran CSS Bakteri gram negatif; S. pneumonia
Kehamilan Listeria monocytogenes
Imunodefisiensi
Neutropenia Pseudomonas aeruginosa; Enterobacter; Listeria
3
(<1.000/mm ): Kemoterapi monocytogenes; E. Coli; Klebsiella pneumoniae;
& anemia aplastik S. aureus; and Coagulasenegative Staphylococci
Defisiensi imunoglobulin: S. pneumoniae; H. Influenzae; and N.meningitides
CLL, mieloma multipel, &
splenektomi
Defek limfosit-T dan Listeria monocytogenes
makrofag: AIDS &
transplantasi organ

2.4 Anatomi Meningens dan Cairan Serebrospinal

Bagian otak yang terlibat dalam Meningoensefalitis Bakterialis ialah bagian


parenkim otak dan meningens (Gambar 2.1). Anatomi otak merupakan struktur yang
kompleks dan rumit karena fungsi organ ini sebagai pusat kendali dengan
menerima, menafsirkan, serta untuk mengarahkan informasi sensorik di seluruh
tubuh. Parenkim otak secara umum terbagi menjadi beberapa lobus, yaitu lobus
frontalis, lobus temporalis, lobus parietalis, dan lobus oksipitalis. Parenkim otak
dilindingi oleh selaput yang terdiri dari jaringan ikat yang disebut meningens.
Meningens memiliki 3 lapisan, yaitu lapisan duramater, araknoid, dan piamater.5
Gambar 2.1. Anatomi Sistem Saraf Pusat yang Terlibat dalam
Meningoensefalitis Bakterialis. Selaput otak (meningens) memiliki 3 lapisan yaitu
duramater yang merupakan lapisan paling luar, araknoid, dan piamater. Diantara
araknoid dan piamater terdapat ruang subaraknoid yang merupakan tempat
perembesan CSS menuju aliran darah. CSS akan melewati berbagai ventrikel di
intrakranial.5
a. Duramater
Duramater dibentuk dari jaringan ikat fibrous. Secara konvensional
duramater terdiri dari dua lapis, yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat, namun pada tempat-
tempat tertentu terpisah. Pada pemisahan dua lapisan duramater ini,
diantaranya terdapat sinus venosus yang menerima darah dari drainase vena
pada otak dan mengalir menuju vena jugularis interna. Lapisan endosteal
merupakan lapisan periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang
cranium. Lapisan meningeal merupakan lapisan duramater yang sebenarnya
atau disebut dengan cranial duramater. Lapisan ini melanjutkan diri menjadi
menjadi duramater spinalis setelah melewati foramen magnum yang berakhir
pada segmen kedua dari os sacrum.12
Pada lapisan duramater ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh
darah yang berasal dari arteri karotis interna, a. maxillaris, a. pharyngeus
ascendens, a. occipitalis, dan a. vertebralis. Pada duramater terdapat banyak
ujung-ujung saraf sensorik yang peka terhadap regangan sehingga jika
terjadi stimulasi pada ujung-saraf ini dapat menimbulkan sakit kepala yang
hebat.12
b. Araknoid
Lapisan ini merupakan suatu membrane yang impermeable halus, yang
menutupi otak dan terletak diantara piamater dan duramater. Membran ini
dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial yaitu spatium subdurale dan
dari piamater oleh kavum subaraknoid yang berisi cairan serebrospinal. Pada
daerah tertentu araknoid menonjol ke dalam sinus venosus membentuk vili
araknoidales. Agregasi vili araknoid disebut sebagai granulations
arachnoidales. Vili araknoidales ini berfungsi sebagai tempat perembesan
cairan serebrospinal ke dalam aliran darah.12
c. Piamater
Lapisan piamater berhubungan erat dengan otak dan mengikuti tiap
sulkus dan girus. Piamater merupakan lapisan dengan banyak pembuluh
darah. Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang berakhir
sebagai end feet dalam piamater untuk membentuk selaput pia-glia. Selaput
ini berfungsi untuk mencegah masuknya bahan-bahan yang merugikan ke
dalam sistem saraf pusat.12

Cairan serebrospinal (CSS) merupakan cairan yang melindungi otak dan


medulla spinalis terhadap benturan. Dalam keadaan normal, CSS berwarna jernih dan
hampir bebas protein. Volume cairan cerebrospinal ini pada orang dewasa normal
rata-rata 135 ml. Dari jumlah ini diperkirakan 80 ml berada dalam ventrikel dan 55
ml terdapat di dalam rongga subaraknoid. Komposisi CSS terdiri dari air, sejumlah
kecil protein, gas dalam larutan (O2 dan CO2), ion natrium, kalium, kalsium, klorida,
dan sedikit sel darah putih (limfosit dan monosit) serta bahan- bahan organik
lainnya.12
Cairan serebrospinal (CSS) disekresi oleh pleksus koroidalis. Lapisan epitel
pleksus koroidalis merupakan bagian penting bagi pengangkutan transeluler zat
pelarut dan zat larut dari pembuluh koroid ke ventrikel. Setelah disekresi oleh
pleksus koroidalis pada ventrikel lateral, CSS mengalir melalui formaen
interventrikular dan masuk ke ventrikel tiga. Selanjutnya CSS mengalir melewati
aquaduktus Sylvii dan menuju ventrikel keempat dan kemudian memasuki ruang
subaraknoid dan sisterna melalui foramen magendi pada bagian medial dan foramen
luska pada bagian lateral. Dari sisterna ini sebagian besar CSS akan mengalir ke
bagian medial maupun lateral permukaan hemisfer serebri dan menuju sinus sagitalis
superior. Pada ruang subaraknoid, CSS merembes melalui saluran-saluran pada
granulasi araknoid untuk bersatu dengan darah vena di dalam sinus sagitalis posterior.
Sebagian kecil CSS mengalir ke bawah menuju ruang subaraknoid medula spinalis.
Vili araknoidalis merupakan tempat absorbsi CSS ke dalam vena pada sinus
venosus.12

2.5 Patofisiologi
Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat dapat melalui invasi langsung,
penyebaran hematogen, ataupun embolisasi trombus yang terinfeksi. Pada
Meningoensefalitis Bakterialis, transmisi bakteri umumnya melalui droplet respirasi
atau kontak langsung dengan karier.4 Proses masuknya bakteri ke dalam sistem saraf
pusat merupakan mekanisme yang kompleks dan dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2.
Mekanisme Masuknya
Bakteri ke Sistem Saraf
Pusat. Bakteri melakukan
kolonisasi nasofaring
dengan berikatan pada sel
epitel menggunakan vili
adhesive atau fimbrae.
Komponen polisakarida
pada kapsul bakteri
membantu bakteri tersebut
mengatasi mekanisme
pertahanan immunoglobulin
A (IgA) pada mukosa
nosofaringeal. Bakteri yang
telah berkolonisasi
kemudian melewati sel
epitel (endotelium) ke
dalam ruang intravaskuler
dimana bakteri relatif
terlindungi dari respons
humoral komplemen karena
kapsul polisakarida atau
enzin protease yang
dimilikinya. Bakteri
kemudian melewati sawar
darah otak dan memasuki
ruang subaraknoid serta
cairan serebrospinal (CSS)
melalui pleksus koroid.
Perpindahan bakteri terjadi
melalui kerusakan endotel
yang disebabkan oleh
bakteri tersebut. Bakteri
kemudian akan memicu
respon inflamasi berupa
rekruitmen neutrofil.4,5
Kolonisasi bakteri dapat terjadi akibat adhesi bakteri ke dinding sel dan
mekanisme bakteri dalam menghindari respon imun host (Gambar 2.4). Pada bakteri
meningokokal, proses adhesi menggunakan vili tipe IV yang berikatan dengan
reseptor PAFR, β2 adrenoseptor, atau CD147 pada dinding sel serta dibantu oleh
lipopolisakarida dan protein untuk mempertahankan proses adhesi. Pada bakteri
pneumokokal, reseptor yang terlibat pada proses adhesi ialah PAFR, reseptor laminin,
dam PIgR. Invasi bakteri ke ruang intavaskuler dapat melalui mekanisme transseluler
atau periseluler. Bakteri pneumokokal dapat melalui kedua cara ini menggunakan
reseptor PAFR, sedangkan bakteri meningokokal hanya mampu melalui cara
periseluler dengan bantuan vakuola fagositik.11

Gambar 2.3. Perbedaan MEB Pneumokokal dan Meningokokal. Mekanisme


spesifik terkait cara transmisi bakteri ke CSS antara S. pneumoniae dan N.
meningitidis nampak berbeda namun kerugian yang dihasilkan hampir sama.
Mekanisme pertahanan diri terhadap respon imun host pada S. pneumoniae ialah
dengan mengeluarkan toksin PLY yang mengakibatkan penuruan kontraktilitas siliar
pada nasofaring dan penurunan produksi mukus, sedangkan pada N. meningitidis
ialah mengunakan protein opaque yang dapat menghindari IgA host. Invasi
pneumokokal ke ruang intravaskular dapat melalui transseluler atau periseluler,
sedangkan meningokokal hanya melalui periseluler. Mekanisme ini akan terus
berlanjut hingga bakteri mencapai sistem saraf pusat. Ketika bakteri sudah mencapai
sistem neuronal, sawar darah otak akan mengalami gangguan dan menyebabkan
proses inflamasi di otak. Efek lain yang dapat terjadi ialah peningkatan tekanan
intrakranial dan produksi radikal bebas yang dapat menyebabkan stres oksidatif dan
kerusakan neuron.11
2.6 Manifestasi Klinis
Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala meningitis
dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti oleh
perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang tanda neurologik fokal, tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik.13

Meningoensefalitis Bakterialis memiliki trias klinik, yaitu demam, nyeri kepala


hebat, dan kaku kuduk.4 Literatur lain menyebutkan bahwa trias klinik
Meningoensefalitis Bakterialis ialah demam, kaku kuduk, dan perubahan kesadaran.
Terdapat 4 tanda dan gejala utama Meningoensefalitis Bakterialis, yaitu demam, kaku
kuduk, perubahan kesadaran, dan nyeri kepala. Apabila terdapat minimal 2 tanda dan
gejala tersebut, dapat dicurigai ke arah Meningoensefalitis Bakterialis. 5,8 Namun
apabila hanya ditemukan tanda demam dan nyeri kepala, diagnosa ke arah penyakit
inflamasi pada daerah kepala selain Meningoensefalitis Bakterialis juga memiliki
kemungkinan yang besar.4,7 Pada sebagian kasus Meningoensefalitis Bakterialis yang
melibatkan sistem saraf pusat akan terjadi gejala berupa fotofobia, mual dan muntah,
kejang, dan gejala serebral fokal lainnya.8

Tanda rangsang meningeal yang paling mungkin terlihat adalah kaku kuduk,
namun kaku kuduk tidak selalu ditemukan pada pasien koma, sopor, ataupun lansia.
Tanda rangsang meningeal lainnya seperti Kernig’s sign dan Brudzinski memiliki
signifikansi ke arah Meningoensefalitis Bakterialis yang sama dengan kaku kuduk,
hanya saja tanda ini lebih sulit ditemukan. Kernig’s sign dan Brudzinski hanya dapat
ditemukan pada sekitar 50% penderita Meningoensefalitis Bakterialis dewasa.4,5

Gejala Meningoensefalitis Bakterialis dapat berbeda-beda tergantung dari


patogen dan usia penderitanya. Pada Meningoensefalitis Bakterialis meningokokal
umumnya terjadi perburukan kondisi yang sangat cepat, seperti kesadaran penderita
menjadi delirium atau sopor dalam kurun waktu beberapa jam. Selain itu, pada
Meningoensefalitis Bakterialis meningokokal juga dapat ditemukan kelainan kulit
berupa ruam peteki atau purpura, syok sirkulasi, dan pada lingkungan tinggal
penderita sedang mengalami wabah lokal meningitis. Pada Meningoensefalitis
Bakterialis pneumokokal umumnya didahului oleh adanya infeksi paru, telinga, sinus,
ataupun katup jantung. Meningoensefalitis Bakterialis pneumokokal juga sering
terjadi pada pasien pasca splenektomi, lansia, anemia bulan sabit, fraktur basus
kranium, dan pengonsumsi alkohol berat. Meningoensefalitis Bakterialis yang
disebabkan oleh H. influenzae biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas
maupun telinga pada anak-anak.4.7

Berdasarkan usianya, Meningoensefalitis Bakterialis pada anak maupun dewasa


memiliki gejala yang sama berupa demam, nyeri kepala hebat, kaku kuduk, dan
jarang disertai dengan kejang generalisata dan gangguan kesadaran.6 Kaku kuduk
pada usia dewasa atau lebih tua tidak hanya mengindikasikan ke arah iritasi
meningeal, melainkan dapat mengarah ke diagnosis spondilosis servikal,
parkinsonism, atau rigiditas paratonik. Kaku kuduk akibat iritasi meningeal umumnya
ditandai dengan tahanan pada fleksi leher namun dapat menoleh ke segala sisi secara
pasif.4 Meningoensefalitis Bakterialis pada nenonatus memiliki gejala berupa nyeri
kepala yang ditandai dengan sikap neonatus yang sering memegang kepala atau
menangis, demam, penurunan kesadaran, muntah, kejang, dan bulging fontanel
sebagai tanda terjadinya iritasi meningeal. Tanda rangsang meningeal atau kaku
kuduk pada nenonatus sangat jarang ditemui dan umumnya ditemui pada
Meningoensefalitis Bakterialis onset lanjut.7
2.7 Diagnosis

Apabila pada pemeriksaan tidak ditemukan adanya tanda rangsang meningeal,


terdapat beberapa diferensial diagnosis Meningoensefalitis Bakterialis (Tabel 2.2).

Tabel 2.2 Diferensial Diagnosis Meningoensefalitis Bakterialis.6

Penyakit Gejala Klinik Pemeriksaan Penunjang


Herpes simpleks Demam, bingung, CSS: limfositosis, eritrosit
virus ensefalitis perubahan perilaku, nyeri CT/MRI: peningkatan
kepala, kejang fokal atau intensitas T2 di lobus
generalisata, defisit temporal
neurologik fokal EEG: periodik spike dan
gelombang lambat di lobus
temporal
Massa-abses otak, Nyeri kepala sebagian atau CSS: lontraindikasi
subdural seluruh kepala, defisit CECT/CEMR: tampak
empiema/epidural fokal, kejang fokal atau massa
abses generalisata, dapat disertai
atau tanpa demam
Subaraknoid Nyeri kepala hebat, CSS: eritrosit,
hemoragik muntah, sinkop, kaku xanthochromia
kuduk, ophthalmoplegia, CT (non-kontras):
defisit fokal, penurunan perdarahan di sisterna
sensorium basalis
Meningitis fungal Demam, nyeri kepala, lesi CSS: limfositik
kulit, parese nervus kranial pleomorfosis, cryptococcal
antigen positif
Biopsi kelainan kulit
Sindrom Riwayat penggunaan anti CSS: normal
neuroleptikmaligna psikotik, demam, rigiditas, Serum CPK: meningkat
sensorium fluktuatif, TLC: 15.000 – 30.000
instabilitas autonomik sel/mm3
Penyakit Lyme Riwayat gigitan kutu CSS: sel mononukelar
dan/atau erythema pleositosis dan intra-thecal,
chronicum migrans, parese produksi anti-borrelia
nervus fasialis burgdorferi antibodi
Serum: serologi Lyme
Infeksi riketsia Nyeri kepala demam, ruam Biopsi kelainan kulit
peteki, penurunan
kesadaran
Meningitis Nyeri kepala, CSS: limfositik pleositosis
tuberkulosa meningismus, bingung, X-ray thoraks:
kejang, dan koma infiltrsdi/military mottling
Diagnosa standar pada Meningoensefalitis Bakterialis ialah pungsi lumbal
untuk menganalisa Cairan Serebrospinal (CSS). Namun sebelum dilakukannya
pungsi lumbal, perlu dilakukan CT scan kepala untuk menyingkirkan kontraindikasi
relatif pungsi lumbal, yaitu massa otak, hidrosefalus, dan edema serebri.6

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan jenis leukosit, kadar
glukosa, kadar ureum. Pada meningitis purulenta didapatkan peningkatan leukosit
dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis, biasanya terdapat kenaikan jumlah
leukosit.Gangguan elektrolit sering terjadi karena dehidrasi. Di samping itu
hiponatremia dapat terjadi akibat pengeluaran hormon ADH (Anti Diuretic Hormon)
yang menurun.13,14
Pada Mycobacterium tuberculosa, leukosit meningkat sampai 500/mm3 dengan
sel mononuklear yang dominan, pemeriksaan pada darah ditemukan jumlah leukosit
meningkat sampai 20.000, dan test tuberkulin sering positif.13
b. Pemeriksaan Lumbal Pungsi
Tabel 2.3. Perbedaan Karakter CSS pada Jenis Patogen yang Berbeda.
Karekteristik CSS yang membedakan patogen penyebab meningoensefalitis ialah
warna CSS, tekanan intrakranial, jumlah sel leukosit, kadar glukosa dan protein pada
CSS. Pada Meningoensefalitis Bakterialis warna CSS umumnya keruh atau purulen,
sedangkan patogen lainnya menyebabkan warna CSS masih tetap jernih. Tekanan
intrakranial pada meningoensefalitis dapat meningkat atau normal, namun dikatakan
pada Meningoensefalitis Bakterialis dan meningoensefalitis tuberkulosa hampir
selalu meningkat. Peningkatan sel leukosit pada meningoensefalitis juga berbeda
kadarnya. Pada Meningoensefalitis Bakterialis leukosit yang dominan ialah sel
polimorfonuklear, sedangkan meningoensefalitis dengan patogen lainnya dominan
sel mononuklear. Kadar glukosa dan protein pada meningoensefalitis dapat rendah,
normal, ataupun meningkat sesuai dengan patogennya.4,8,11
Lumbal pungsi tidak dilakukan bila terdapat edema papil, atau terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.15
c. Pemeriksaan Nonne-Pandy
Test Nonne
Percobaan ini juga dikenal dengan nama test Nonne-Apelt atau test RossJones,
menggunakan larutan jenuh amoniumsulfat sebagai reagens (ammonium sulfat 80 gr :
aquadest 100 ml: saring sebelum memakainya). Test ini terutama untuk menguji
kadar globulin dalam cairan otak.
Dalam keadaan normal hasil test ini negative, artinya : tidak terjadi kekeruhan
pada perbatasan. Semakin tinggi kadar globulin semakin tebal cincin keruh yang
terjadi.
Test Pandy

Reagen Pandy, yaitu larutan jenuh fenol dalam air (phenolum liquefactum 10 ml:
aquadest 90 ml: simpan beberapa hari dalam lemari pengeram 37oC dengan sering
dikocok-kock) bereaksi dengan globulin dan dengan albumin.

Dalam keadaan normal tidak akan terjadi kekeruhan atau kekeruhan yang sangat
ringan berupa kabut halus. Sedemikian tinggi kadar protein, semakin keruh hasil
reaksi ini yang selalu harus segera dinilai setelah pencampuran LCS dengan reagen ini.

Nonne Pandy Interpretasi

+ + Globulin , dan atau Albumin



- + Albumin
- - Globulin (-) , Albumin ¯
d. CT Scan dan MRI
CT scan dan Magnetic Resonance Maging (MRI) otak dapat menyingkirkan
kemungkinan lesi massa dan menunjukkan edema otak.13
Gambaran CT scan kepala pada Meningoensefalitis Bakterialis dapat dilihat
pada Gambar 2.4. Apabila CT scan tidak dapat dilakukan, pungsi lumbal tidak boleh
dilakukan pada penderita dengan gangguan kesadaran, keadaan imunokompromise,
riwayat penyakit sistem saraf pusat (massa, stroke, infeksi fokal), defisit neurologik
fokal, dan papil edema yang merupakan tanda herniasi. 4 Algoritma diagnosa
Meningoensefalitis Bakterialis dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.4. Hasil CT-scan Kepala pada Meningoensefalitis Bakterialis. Tampak


infark lakunar pada pasien Meningoensefalitis Bakterialis di daerah lobus
frontoparietal kiri disertai infark lakunar pada basal ganglia kanan dan efusi subdural
bilateral (gambar kiri). CT-scan tanpa kontras menunjukkan Meningoensefalitis
Bakterialis akut dengan ventrikulomegali ringan dan hilangnya sulkus (gambar
kanan).16
Gambar 2.5. Algoritma Diagnosa Meningoensefalitis Bakterialis. Apabila pada
pemeriksaan fisik dan anamnesis sudah mengarah ke kecurigaan Meningoensefalitis
Bakterialis, lakukan CT scan kepala segera dan evaluasi apakah terdapat
kontraindikasi pungsi lumbal. Jika tidak ada ditemukan kontraindikasi, lakukan kultur
darah dan pungsi lumbal segera. Namun apabila ditemukan kontraindikasi ataupun
defisit neurologik fokal, kejang, riwayat penyakit neurologis dengan massa
intrakranial, lakukan kultur darah saja. Apabila analisa CSS pada pungsi lumbal
sudah mengarah ke Meningoensefalitis Bakterialis, segera lakukan pewarnaan gram
dan kultur CSS agar mengetahui bakteri spesifik penyabab Meningoensefalitis
Bakterialis.4

2.8 Penatalaksanaan

Terapi utama pada Meningoensefalitis Bakterialis ialah antibiotik. Sembari


menunggu hasil kultur CSS untuk menentukan bakteri penyebab Meningoensefalitis
Bakterialis, penderita dapat diberikan terapi antibiotik empirik terlebih dahulu. Terapi
antibiotik empirik didasarkan pada epidemiologi bakteri tersering yang menginfeksi
sesuai dengan karakteristik penderita. Sesuai dengan epidemiologi di Indonesia,
pilihan terapi antibiotik empirik dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Terapi Antibiotik Empiris pada Meningoensefalitis Bakterialis.


Gambar diatas menjelaskan bahwa penderita terbagi menjadi beberapa golongan
karakter dan golongan karakter masing-masing memiliki etiologi tersering yang
berbeda-beda berdasarkan epidemiologinya. Hal itu yang membuat pilihan terapi
antibiotik empirisnya juga hampir berbeda.4
Setelah hasil kultur keluar, antibiotik empirik dapat diganti dengan antibiotik
spesifik seperti pada Gambar 2.7. Durasi pemberian antibiotik berbeda-beda
tergantung patogennya. Berdasarkan rekomendasi WHO, meningoensefalitis
meningokokal dan haemofilus memerlukan terapi antibiotik minimal 5 hari pada
situasi non-epidemik, namun pada beberapa negara disarankan minimal 7 hari. Untuk
meningoensefalitis pneumokokal dianjurkan terapi antibiotik spesifik minimal 10-14
hari.1 Berdasarkan literatur lain, meningoensefalitis yang disebabkan oleh H.
influenzae dan N. meningitides memerlukan terapi antibiotik minimal 7 hari, S.
pneumoniae 10-14 hari, L. monocytogens dan Sterptokokus grup B 14-21 hari, dan
basil gram negatif (selain H. influenzae) minimal 21 hari.6
Gambar 2.7. Terapi Antibiotik Spesifik pada Meningoensefalitis Bakterialis.
Gambar diatas menjelaskan terapi antibiotik utama dan alternatif pada
Meningoensefalitis Bakterialis berdasarkan patogen spesifik yang menginfeksi.4,8
Selain mendapatkan terapi antibiotik, penderita Meningoensefalitis Bakterialis
juga mendapatkan terapi kortikosteroid berupa deksametason. Pemberian ini masih
sangat kontroversial, namun mengingat efek positif yang signifikan terhadap
Meningoensefalitis Bakterialis, terapi ini masih digunakan. Sejumlah pakar
berpendapat pemberian deksametason harus dihentikan jika hasil kultur CSS
menunjukkan penyebab Meningoensefalitis Bakterialis bukan H. influenzae atau S.
pneumoniae, namun kelompok pakar lain merekomendasikan pemberian
deksametason apapun etiologinya.4
Deksametason dapat menurunkan respons inflamasi di ruang subaraknoid yang
secara tak langsung dapat menurunkan risiko edema serebral, peningkatan tekanan
intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron. Deksametason
diberikan selama 4 hari dengan dosis 10 mg atau 0,15 mg/kgBB setiap 6 jam secara
intravena.1,2 Terapi lain yang dapat diberikan ialah terapi suportif dan simptomatik.
Terapi suportif yang dimaksud ialah terapi untuk mempertahankan penderita pada
posisi homeostasis dengan status normoglikemia dan normovolemia. Apabila
penderita mengalami kejang, maka dapat diberikan terapi kejang sebagai terapi
simptomatik. Penderita juga perlu diberikan Proton Pump Inhibitor (PPI) untuk
mencegah stress-induced gastritis akibat permberian kortikosteroid IV.4
Saat ini telah berkembang terapi profilaksis pada Meningoensefalitis
Bakterialis. Individu yang mengalami kontak dengan pasien terinfeksi meningokokal
harus diberi antibiotik profilaksis. Pilihan antibiotik yang biasa diberikan adalah
ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal atau rifampisin 2x600 mg selama 2 hari.
Profilaksis tidak dibutuhkan jika durasi sejak penemuan kasus infeksi meningokokal
sudah lebih dari 2 minggu. Imunisasi S. pneumoniae, H. influenza dan N.
meningitidis diketahui menurunkan insiden meningitis secara bermakna. Apabila
tinggal dengan anak >4 tahun dan memiliki vaksinisasi H. influenza yang tidak
lengkap, dianjurkan mengonsumsi antibiotik profilaksis yaitu rifampisin
20mg/kgBB/hari selama 4 hari. Pada streptokokus grup B terutama yang sering
menginfeksi ibu hamil dengan risiko, diperlukan profilaksis berupa Penisilin G
dengan dosis inisial 5 juta unit intravena kemudian 2,5-3 juta unit setiap 4 jam selama
periode intrapartum.4,8

2.9 Komplikasi

Salah satu komplikasi dari Meningoensefalitis Bakterialis ialah Sydrome of


Inappropriate ADH secretion (SIADH). SIADH terutama terjadi pada anak-anak
dengan insidensi 28-88% dari kasus Meningoensefalitis Bakterialis pada anak-anak.
Untuk meningkatkan perfusi serebral dan mengurangi risiko terjadinya iskemia otak,
tubuh mensekresi ADH agar volume intravaskular meningkat. Efek peningkatan ADH
ialah meningkatnya penyerapan cairan di ginjal dan meningkatnya pelepasan natrium.
Kriteria diagnosis SIADH ialah hiponatremia (<135 mEq/l) dengan serum
hipoosmolar, urin pekat, sodium urin >25 mEq/l, dan tidak ada kelainan ginjal
ataupun endokrin. Tatalaksana primer SIADH ialah restriksi cairan menjadi setengah
dari cairan normal atau sekitar 800 - 1.000 ml/m2/24 jam.6
Komplikasi paling sering lainnya ialah hilangnya fungsi pendengaran apabila
struktur pada otak yang berhubungan dengan pendengaran mengalami inflamasi.
Selain itu dapat juga berupa kejang yang berlanjut, hidrosefalus, dan penyebaran
infeksi ke organ lain atau bahkan menyebabkan sepsis. Jenis Meningoensefalitis
Bakterialis pneumokokal dikatakan lebih sering menimbulkan komplikasi
dibandingkan dengan Meningoensefalitis Bakterialis meningokokal.11

2.10 Prognosis

Meningoensefalitis pneumokokal memiliki tingkat fatalitas tertinggi, yaitu 19-


37%. Pada sekitar 30% pasien yang bertahan hidup pasca terkena Meningoensefalitis
Bakterialis, terdapat sekuel defisit neurologik seperti gangguan pendengaran dan
defisit neurologik fokal lain yang menetap. Individu yang memiliki faktor risiko
memiliki prognosis yang buruk adalah pasien immunocompromised, usia di atas 65
tahun, gangguan kesadaran, jumlah leukosit CSS yang rendah, dan infeksi
pneumokokus. Beberapa literatur mengatakan bahwa penundaan pemberian antibiotik
>3 jam setelah pasien masuk rumah sakit dapat meningkatkan angka mortalitas.4

BAB III

KESIMPULAN

Meningoensefalitis merupakan inflamasi pada meningen disertai parenkim otak.


Berdasarkan etiologinya, meningoensefalitis diklasifikasikan menjadi
meningoensefalitis bakterialis dan meningoensefalitis aseptik. Kasus
meningoensefalitis lebih banyak disebabkan oleh bakteri dengan insidensi sebesar 2-6
kasus per 100.000 penduduk per tahunnya. Pembagian etiologi Meningoensefalitis
Bakterialis pada usia dewasa ialah Meningoensefalitis Bakterialis akibat bakteri
meningokokal dan pneumokokal. Meningoensefalitis Bakterialis memiliki trias
klinik, yaitu demam, nyeri kepala hebat, dan kaku kuduk. Gejala lainnya dapat berupa
perubahan kesadaran, mual dan muntah, kejang, dan defisit neurologik fokal. Adanya
tanda rangsang meningeal mengarahkan kecurigaan lebih besar ke arah iritasi
meningeal, yaitu meningoensefalitis.

Secara epidemiologi, kelompok karakter penderita Meningoensefalitis


Bakterialis memiliki bakteri tersering tersendiri sebagai penyebab Meningoensefalitis
Bakterialis. Berdasarkan pengelompokan ini, dapat ditentukan acuan penggunaan
terapi antibiotik empiris pada Meningoensefalitis Bakterialis. Terapi antibiotik
empiris dilakukan sembari menunggu hasil kultur CSS. Pengambilan CSS pada
penderita Meningoensefalitis Bakterialis dilakukan dengan cara pungsi lumbal
sebagai standar diagnosa Meningoensefalitis Bakterialis. Ketika kultur CSS sudah
selesai, tatalaksana antibiotik harus sesuai dengan regimen patogen penyebab.

DAFTAR PUSTAKA

1. Khajeh A, Mood BS, Soleimani GR. Pediatric Meningoencephalitis; A


Research on Patients Hospitalized in Zahedan Southeastern Iran;
International Journal of Infection. 2014.
2. Omics International. Journal of Meningitis. 2019.
3. Rasul, C.H., et al. 2012. Outcome and Prognostic Factors of Acute
Meningoencephalitis in Children of Southern Bangladesh. Sri Lanka Journal
of Child Health : volume 1, nomor 4, halaman 27-32.
4. Meisadone G., Soebroto AD., Estiasari R. Diagnosis dan Tatalaksana
Meningitis Bakterialis. Cermin Dunia Kedokteran. 2015. 42(1):15-19. [pdf]
5. Mace SE. Acute Bacterial Meningitis. Emergency Medicine Clinics of North
America. 2008. 38(2008):281-317. [pdf]
6. Dhamija RM., Bansal J. Bacterial Meningitis (Meningoencephalitis): A
Review. Indian Academy of Clinical Medicine Journal. 2006. 7(3):225-235.
[pdf]
7. Ropper AH., Samuels MA., Klein JP. Adams and Victor’s: Principles of
Neurology, 10th edition. New York: McGraw-Hill. 2014; pp.698-708.
8. Bamberger DM. Diagnosis, Initial Management, and Prevention of
Meningitis. American Academy of Family Physicians. 2010. 82(12):1491-
1498. [pdf]
9. Harisson
10. Balitbangkes Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. 2008.
11. McGill F., Heyderman RS., Panagiotou S., Tunkel AR., Solomon T. Acute
Bacterial Meningitis in Adults. The Lancet. 2016. 388(10063): 3036-3047.
[pdf] Snell RS. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC. 2011.
12. Nelson, 1996. Ilmu Kesehatan Anak, Bagian 2. Kedokteran EGC, Jakarta.
13. Hasan, R., Alatas, H., 2002. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 3.
Infomedika, Jakarta.
14. Swanson, D. 2015. Meningitis.An Official Journal of the American Academy
of Pediatrics : volume 36, nomor 12.
15. Incesu L. Bacterial Meningitis Imaging. Medscape. 2019. [online]

Anda mungkin juga menyukai