Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

HEMODIALISA
A. PENGERTIAN
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan fungsi tersebut.

Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan cara
mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan yang lebih
encer (konsentrasi solut lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran semipermeabel
dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekakan eksternal pada membran).

Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau
bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran memungkinkan difusi zat dengan berat molekul
rendah seperti urea, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan
bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah
terlalu besar untuk melewati pori-pori membran. Perbedaan konsentrasi zat pada dua
kompartemen disebut gradien konsentrasi.

Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan
sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi
jangka panjang atau terapi permanen.

Sehelai membran sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerolus serta


tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya.
Sistem ginjal buatan:

1. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat.
2. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara darah dan
bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus darah dan tekanan negatif
(penghisap) dalam kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi).
3. Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam
darah dan mengeluarkan air yang berlebih. Pada hemodilisa, aliran darah yang penuh dengan
toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiter tempat darah tersebut
dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien.

B. INDIKASI
1. Penyakit dalam (Medikal)
- ARF- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan konvensional gagal
mempertahankan RFT normal.
- CRF, ketika pengobatan konvensional tidak cukup
- Snake bite
- Keracunan
- Malaria falciparum fulminant
- Leptospirosis
2. Ginekologi
- APH
- PPH
- Septic abortion

3. Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa


- Peningkatan BUN > 20-30 mg%/hari
- Serum kreatinin > 2 mg%/hari
- Hiperkalemia
- Overload cairan yang parah
- Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
Pada CRF:

1. BUN > 200 mg%


2. Creatinin > 8 mg%
3. Hiperkalemia
4. Asidosis metabolik yang parah
5. Uremic encepalopati
6. Overload cairan
7. Hb: < 8 gr% - 9 gr% siap-siap tranfusi
C. PERALATAN

1. Dialiser atau Ginjal Buatan


Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan kompartemen darah dan
dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur fisik dan tipe membran yang digunakan
untuk membentuk kompartemen darah. Semua factor ini menentukan potensi efisiensi
dialiser, yang mengacu pada kemampuannya untuk membuang air (ultrafiltrasi) dan
produk-produk sisa (klirens).

2. Dialisat atau Cairan dialysis


Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari serum
normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air keran dan bahan kimia
disaring. Bukan merupakan system yang steril, karena bakteri terlalu besar untuk
melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena bakteri
dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada membran
permeable yang besar, air untuk dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat
dialisat biasanya disediakan oleh pabrik komersial. Bath standar umumnya digunakan
pada unit kronis, namun dapat dibuat variasinya untuk memenuhi kebutuhan pasien
tertentu.

3. Sistem Pemberian Dialisat


Unit pemberian tunggal memberikan dialisat untuk satu pasien: system pemberian
multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien. Pada kedua system, suatu alat
pembagian proporsi otomatis dan alat pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat
kontrol rasio konsentrat-air.

4. Asesori Peralatan
Piranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis meliputi pompa darah,
pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk pendeteksi suhu tubuh bila
terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat, perubahan tekanan, udaara, dan kebocoran
darah.

5. Komponen manusia
6. Pengkajian dan penatalaksanaan

D. PROSEDUR HEMODIALISA

Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan memeriksa keamanan


peralatan, perawat sudah siap untuk memulai hemodialisis. Akses ke system sirkulasi dicapai
melalui salah satu dari beberapa pilihan: fistula atau tandur arteriovenosa (AV) atau kateter
hemodialisis dua lumen. Dua jarum berlubang besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk
mengkanulasi fistula atau tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik pada vena
subklavikula, jugularis interna, atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai
dengan kebijakan institusi.
Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa darah.
Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan sebagai aliran “arterial”,
keduanya untuk membedakan darah yang masuk ke dalamnya sebagai darah yang belum
mencapai dialiser dan dalam acuan untuk meletakkan jarum: jarum “arterial” diletakkan paling
dekat dengan anastomosis AV pada vistula atau tandur untuk memaksimalkan aliran darah.
Kantong cairan normal salin yang di klep selalu disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa
darah. Pada kejadian hipotensi, darah yang mengalir dari pasien dapat diklem sementara
cairan normal salin yang diklem dibuka dan memungkinkan dengan cepat menginfus untuk
memperbaiki tekanan darah. Tranfusi darah dan plasma ekspander juga dapat disambungkan
ke sirkuit pada keadaan ini dan dibiarkan untuk menetes, dibantu dengan pompa darah. Infus
heparin dapat diletakkan baik sebelum atau sesudah pompa darah, tergantung peralatan yang
digunakan.

Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir ke dalam
kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan dan zat sisa. Darah yang
meninggalkan dialiser melewati detector udara dan foam yang mengklem dan menghentikan
pompa darah bila terdeteksi adanya udara. Pada kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang akan
diberikan pada dialysis diberikan melalui port obat-obatan. Penting untuk diingat,
bagaimanapun bahwa kebanyakan obat-obatan ditunda pemberiannya sampai dialysis selesai
kecuali memang diperintahkan.

Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui “venosa” atau selang
postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri dengan mengklem
darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan membilas sirkuit untuk
mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang kedalam perangkat akut, meskipun
program dialisis kronik sering membeli peralatan untuk membersihkan dan menggunakan
ulang dialiser.
Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang tindakan dialysis
karena pemajanan terhadap darah. Masker pelindung wajah dan sarung tangan wajib untuk
digunakan oleh perawat yang melakukan hemodialisis.

E. PEDOMAN PELAKSANAAN HEMODIALISA


1. Perawatan sebelum hemodialisa
 Sambungkan selang air dengan mesin hemodialisa
 Kran air dibuka
 Pastikan selang pembuang air dan mesin hemodialisis sudah masuk kelubang atau
saluran pembuangan
 Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak
 Hidupkan mesin
 Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit
 Matikan mesin hemodialisis
 Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat
 Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin hemodialisis
 Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap)
2. Menyiapkan sirkulasi darah
 Bukalah alat-alat dialysis dari set nya
 Tempatkan dializer pada tempatnya dan posisi “inset” (tanda merah) diatas dan
posisi “outset” (tanda biru) di bawah.
 Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inset”dari dializer.
 Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung “out set” dari dializer dan
tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah..
 Set infus ke botol NaCl 0,9% - 500 cc
 Hubungkan set infus ke slang arteri
 Bukalah klem NaCl 0,9%, isi slang arteri sampai ke ujung slang lalu diklem.
 Memutarkan letak dializer dengan posisi “inset” di bawah dan “out set” di atas,
tujuannya agar dializer bebas dari udara.
 Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin
 Buka klem dari infus set ABL, VBL
 Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit, kemudian
naikkan secara bertahap sampai dengan 200 ml/menit.
 Isi bable-trap dengan NaCl 0,9% sampai ¾ cairan
 Berikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengalirkan udara dari dalam
dializer, dilakukan sampai dengan dializer bebas udara (tekanan lebih dari 200
mmHg).
 Lakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500 cc yang
terdapat pada botol (kalf) sisanya ditampung pada gelas ukur.
 Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru
 Sambungkan ujung biru VBL dengan ujung merah ABL dengan menggunakan
konektor.
 Hidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dializer baru 15-20 menit untuk
dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit.
 Kembalikan posisi dializer ke posisi semula di mana “inlet” di atas dan “outlet” di
bawah.
 Hubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10 menit, siap untuk
dihubungkan dengan pasien )soaking.
3. Persiapan pasien
 Menimbang berat badan
 Mengatur posisi pasien
 Observasi keadaan umum
 Observasi tanda-tanda vital
 Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya
mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti di bawah ini:
- Dengan interval A-V shunt / fistula simino
- Dengan external A-V shunt / schungula
- Tanpa 1 – 2 (vena pulmonalis)
F. INTREPRETASI HASIL
Hasil dari tindakan dialysis harus diintrepretasikan dengan mengkaji jumlah cairan
yang dibuang dan koreksi gangguan elektrolit dan asam basa. Darah yang diambil segera
setelah dialysis dapat menunjukkan kadar elektrolit, nitrogen urea, dan kreatinin rendah
palsu. Proses penyeimbangan berlangsung terus menerus setelah dialysis, sejalan perpindahan
zat dari dalam sel ke plasma.

G. KOMPLIKASI
1. Ketidakseimbangan cairan
a. Hipervolemia
b. Ultrafiltrasi
c. Rangkaian Ultrafiltrasi (Diafiltrasi)
d. Hipovolemia
e. Hipotensi
f. Hipertensi
g. Sindrom disequilibrium dialysis
2. Ketidakseimbangan Elektrolit
a. Natrium serum
b. Kalium
c. Bikarbonat
d. Kalsium
e. Fosfor
f. Magnesium
3. Infeksi
4. Perdarahan dan Heparinisasi
5. Troubleshooting
a. Masalah-masalah peralatan
b. Aliran dialisat
c. Konsentrat Dialisat
d. Suhu
e. Aliran Darah
f. Kebocoran Darah
g. Emboli Udara

6. Akses ke sirkulasi
a. Fistula Arteriovenosa
b. Ototandur
c. Tandur Sintetik
d. Kateter Vena Sentral Berlumen Ganda
H. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian Pre HD

 Riwayat penyakit, tahap penyakit


 Usia
 Keseimbangan cairan, elektrolit
 Nilai laboratorium: Hb, ureum, creatinin, PH
 Keluhan subyektif: sesak nafas, pusing, palpitasi
 Respon terhadap dialysis sebelumnya.
 Status emosional
 Pemeriksaan fisik: BB, suara nafas, edema, TTV, JVP
 Sirkuit pembuluh darah.
Pengkajian Post HD

 Tekanan darah: hipotensi


 Keluhan: pusing, palpitasi
 Komplikasi HD: kejang, mual, muntah, dsb
I. KOMPLIKASI HEMODIALISA
Komplikasi terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut:
1. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan di keluarkan.
2. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi
jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
3. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
4. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit.
5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral
dan muncul sebagai serangan kejang.
6. Kram otot yang nyeri terjadi ketikacairan dan elektrolit dengan cepat
meningglkan ruang ekstrasel.
7. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi

J. HIPOTENSI INTRA DIALISA


Pada beberapa literatur, pengertian intradialytic hypotension (IDH) tidak memiliki
standardisasi dan beberapa studi memiliki definisi yang berbeda. Namun kebanyakan
mendefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai munculnya gejala
spesifik. Penurunan tekanan darah bisa relatif atau absolut. Sampai saat ini, belum ada
evidence based yang merekomendasikan pengertian IDH. Manifestasi dari IDH bervariasi
mulai dari asimptomatik sampai dengan syok. The EBPG working group menekankan
bahwa menurunnya tekanan darah, disertai dengan munculnya gejala klinis yang
membutuhkan intervensi medis harus dipikirkan kemungkinan munculnya IDH. Beberapa
literature mengemukakan bahwa IDH ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik ≥
30 atau tekanan darah sistolik absolut dibawah 90 mmHg. Hipotensi pada dialisis bisa
muncul dengan beberapa gambaran klinis: (i) akut (episodik) hipotensi, didefinisikan
sebagai penurunan tekanan darah sistolik secara tiba-tiba dibawah 90 mmHg atau paling
tidak 20 mmHg diikuti dengan gejala klinis, (ii) Rekuren (berulang), secara definisi sama
seperti yang sebelumnya, namun hipotensi terjadi pada 50% dari sesi dialisis, dan (iii)
kronik, yaitu hipotensi persisten yang didefinisikan sebagai tekanan darah interdialisis
tetap dalam kisaran 90-100 mmHg. Pedoman dari NKF KDOQI, mendefiniskan hipotensi
intradialisis (Intradialytic hypotension) sebagai suatu penurunan tekanan darah sistolik ≥
20 mmHg atau penurunan Mean arterial pressure (MAP) >10 mmHg dan menyebabkan
munculnya gejalagejala seperti: perasaan tidak nyaman pada perut (abdominal
discomfort); menguap (yawning); sighing; mual; muntah; otot terasa kram (muscle
cramps), gelisah, pusing, dan kecemasan. Hal ini mengganggu kenyamanan pasien, dan
dapat mencetuskan aritmia jantung, dan sebagai faktor predisposisi untuk penyakit
jantung koroner, infark miokard (Burton et al., 2009) dan/atau kejadian iskemia otak
(Mizumasa et al., 2004). Selain itu, IDH menyebabkan terhalangnya dosis dialisis yang
adequat (adequate dose of dialysis), dimana episode hipotensi menyebabkan efek
kompartemen dan menghasilkan Kt/Vurea suboptimal.1,2,3,4
Komplikasi kardiovaskular dari IDH termasuk: kejadian iskemia (kardiak atau
neurologis); trombosis vaskular; disritmia; dan infark vena mesenterika. Efek IDH jangka
panjang termasuk; kelebihan cairan dikarenakan ultrafiltrasi yang suboptimal dan
pemberian bolus cairan resusitasi, pembesaran ventrikel jantung kanan, yang berhubungan
dengan morbiditas dan mortalitas; serta hipertensi interdialisis.

K. FAKTOR RESIKO HIPOTENSI INTRA DIALISA


Beberapa subgrup pasien yang mempunyai kecenderungan terjadinya IDH antara
lain pasien dengan diabetes CKD, penyakit kardiovaskular, status nutrisi yang jelek, dan
hipoalbuminemia, uremic neuropathy atau disfungsi autonomik, anemia yang berat, usia ≥
65 tahun, dan tekanan darah sistolik predialisis < 100 mmHg. Namun demikian belum ada
penelitian epidemiologis dalam jumlah skala besar untuk mendefinisikan faktor-faktor
resiko yang berhubungan dengan kejadian IDH, walaupun IDH muncul lebih sering pada
pasien dengan diabetes dan hipotensi predialisis. Walaupun pasien dialisis memiliki tensi
yang normal (normotensi) atau hipertensi, dapat mengalami IDH. Derajat beratnya IDH
pada satu pasien mungkin bisa bervariasi dari waktu ke waktu. Insidensi IDH sangat
bervariasi selama periode 24 bulan. Selain itu, ada variasi tekanan darah pada pasien
hemodialisis. Studi penelitian multi-centre cohort yang besar, telah dilaporkan oleh Tisler
et al. Dari penelitian kohort 958 pasien, bersumber dari 11 pusat hemodialisis, dijumpai
226 pasien dengan IDH. Usia, jenis kelamin wanita, diabetes melitus, hiperfosfatemia,
penyakit arteri koroner, dan penyakit ginjal selain glomerulonefritis, dan penggunaan
obat-obat golongan nitrat, menyebabkan angka kejadian IDH lebih tinggi. Analisis
multivariat, menyimpulkan bahwa usia, hiperfosfatemia dan penggunaan obat-obatan
nitrat merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya IDH. Pada studi lain, episode
hipotensi muncul pada 44% pasien dialisis dengan usia ≥ 65 tahun dan 32% pada pasien
dengan usia yang lebih muda. Nakamoto H dkk mengemukakan bahwa kadar albumin
yang rendah merupakan faktor resiko untuk IDH. Abnormalitas dari jantung dapat
meningkatkan resiko terjadinya IDH. Pada studi observasional 15 pasien dialisis,
penurunan tekanan darah lebih tinggi pada pasien dengan disfungsi sistolik, dibandingkan
dengan pasien dengan fungsi sistolik yang normal. Dan juga, disfungsi diastolik bisa
meningkatkan resiko IDH. Pada suatu studi observational, pasien dengan IDH
mempunyai hipertrofi ventrikel kiri yang lebih berat dengan tekanan darah predialisis
yang lebih rendah, dan terganggunya pengisian diastolik ventrikel kiri. Walaupun anemia
dipertimbangkan sebagai faktor resiko untuk terjadinya IDH, belum ada studi yang
membahas hubungan anemia terhadap terjadinya IDH. Neuropati saraf autonom juga
ditemukan sebagai salah satu faktor resiko untuk IDH pada sebagian banyak penelitian,
namun tidak pada semua penelitian. Berikut ini adalah subgrup pasien dengan
hemodialisis kronik yang harus dievaluasi dengan hati-hati karena memiliki faktor resiko
untuk terjadinya IDH:
 Pasien dengan diabetes CKD stadium 5
 Pasien dengan Penyakit kardiovaskular: LVH dan disfungsi diastolik
dengan atau tanpa CHF; Pasien dengan penyakit katup jantung; Pasien dengan
penyakit perikardium (perikarditisi konstriktif atau efusi perikardium)
 Pasien dengan status nutrisi yang buruk, dan hipoalbuminemia
 Pasien dengan uremic neuropathy atau disfungsi autonomik dikarenakan
penyebab lain
 Pasien dengan anemia yang berat
 Pasien yang membutuhkan volume ultrafiltrasi yang lebih besar; misal
pada pasien dengan berat badan yang melebihi interdialytic weight gain
 Pasien dengan usia 65 tahun atau usia yang lebih tua
 Pasien dengan tekanan darah sistolik predialisis < 100 mmHg

L. PATOFISIOLOGI
Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab dari IDH adalah multifaktorial.
Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan darah selama
hemodialisis: umur, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati, anemia, large
interdialytic weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat antihipertensi. Pada sisi lain,
faktor-faktor yang berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat berkontribusi terhadap
instabilitas hemodinamik: sesi hemodialisis yang pendek, laju ultrafiltrasi yang tinggi,
temperatur dialisat yang tinggi, konsentrasi sodium dialisat yang rendah, inflamasi yang
disebabkan aktivasi dari membran dan lain-lain. Faktor yang kelihatannya paling dominan
dari kejadian IDH ini adalah berkurangnya volume sirkulasi darah yang agresif,
dikarenakan ultrafiltrasi, penurunan osmolalitas ekstraselular dengan cepat yang
berhubungan dengan perpindahan sodium, dan ketidakseimbangan antara ultrafiltrasi dan
plasma refilling. Dari segi pandangan fisiologi, IDH dapat dipandang sebagai suatu
keadaan ketidakmampuan dari system kardiovaskular dalam merespon penurunan volume
darah secara adequat. Respon adequate dari sistem kardiovaskular termasuk refleks
aktivasi sitem saraf simpatetik, termasuk takikardia dan vasokonstriksi arteri dan vena
yang merupakan respon dari cardiac underfilling dan hipovolemia. Mekanisme
kompensasi ini dapat terganggu pada beberapa pasien, yang akan menyebabkan mereka
mempunyai faktor resiko terjadinya IDH. Bagaimanapun, hal-hal seperti ini sulit untuk
diukur dan untuk dimodifikasi. Suatu studi komprehensif mengenai regulasi volume darah
selama HD, dapat menolong kita untuk mengerti tentang kemungkinan IDH pada individu
pasien.
Regulasi Volume Darah
Konsep Plasma Refilling
Volume darah tergantung dari dua faktor utama; kapasitas plasma refilling dan laju
ultrafiltrasi. Selama sesi HD, cairan dipindahkan langsung dari kompartemen
intravaskular. Jumlah total cairan tubuh (TBW), sekitar 60% dari berat badan,
didistribusikan di intraseluler (40% BW) dan sebagian lagi di kompartemen ekstraselular
(20% BW). Ekstraselular dapat dibagi lagi menjadi interstisial (15% BW) dan
intravaskular (5% BW). Sehingga hanya sekitar 5-8% dari TBW yang dapat diultrafiltrasi.
Sehingga untuk memindahkan sejumlah cairan substansial dalam jangka waktu tertentu,
kompartemen vaskular harus melakukan refilling secara terus menerus dari ruangan
interstisial. Dalam lingkaran fisiologis, penurunan volume darah akan menginisiasi
peningkatan resistensi vaskular perifer, dikarenakan vasokonstriksi, dan mempertahankan
cardiac output dengan cara meningkatkan heart rate dan kontraktilitas miokard dan
konstriksi dari capacitance vessels. Orang sehat dapat mentoleransi penurunan volume
sirkulasi darah sampai 20% sebelum munculnya hipotensi. Namun, pada pasien dengan
HD, hipotensi dapat muncul hanya dengan penurunan volume darah dalam jumlah yang
lebih sedikit. Terganggunya respon kardiak berupa peningkatan heart rate dan
kontraktilitas miokardium dapat mencetuskan terjadinya IDH. Telah dikemukakan
sebelumnya bahwa adanya penyakit jantung, yang menyebabkan disfungsi sistolik atau
diastolik meningkatkan resiko terjadinya IDH. Penurunan tekanan darah lebih besar pada
pasien dengan disfungsi sistolik dibandingkan denga fungsi sistolik normal. Hipertrofi
ventrikel kiri yang lebih berat dan diastolic filling yang terganggu juga dijumpai pada
pasien IDH.
Plasma refill sebagian besar diperankan oleh tekanan hidrostatik dan tekanan
onkotik. Selama sesi HD awal, tekanan onkotik vaskular meningkat dan tekanan
hidrostatik menurun sebagai hasil dari ultrafiltrasi yang progresif. Perubahan gradien
tekanan menyebabkan cairan bergerak ke dalam vaskular sampai keseimbangan tercapai.
Begitu seterusnya sampai sesi HD berakhir (Santoro et al., 1996). Beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi laju plasma refilling adalah: status hidrasi kompartemen interstisial,
osmolalitas plasma, dan konsentrasi plasma protein, konsentrasi sodium dialisat,
permeabilitas vaskular, dan venous compliance. Sehingga, IDH dapat muncul ketika
terjadinya ketidakseimbangan diantara laju ultrafiltrasi dan kapasitas plasma refilling
yang tidak bisa diatur oleh refleks kompensasi kardiovaskular.
Cardiac underfilling terutama ventricular underfilling merupakan salah satu
mekanisme akibat terganggunya mekanisme kompensasi kardiovaskular yang dapat
memicu sympatico-inhibitory cardiodepressor Bezold-Jarish reflex. Refleks ini berupa
suatu keadaan bradikardia akibat gangguan respon simpatik yang terganggu. Beberapa
penelitian telah menunujukkan bahwa gangguan fungsi simpatik, dapat ditunjukkan
dengan beberapa manifestasi, seperti berkurangnya frekuensi heart rate. Berkurangnya
resistensi dan kapasitansi pembuluh darah selama penurunan volume darah dapat memicu
IDH. Berkurangnya konstriksi dari arteriolar dapat mengganggu respon fisiologis
terhadap keadaan hipovolemia. Berkurangnya konstriksi aktif dan pasif dari venula dan
vena, yang menyebabkan berkurangnya venous return selama hipovolemia.
Telah lama diketahui sebelumnya bahwa iskemia miokardium dapat disebabkan
oleh HD. Sesi HD yang singkat saja dapat berpengaruh secara signifikan terhadap
hemodinamik, dan 20-30% kejadian ini menyebabkan IDH. Pasien HD lebih rentan
terhadap kejadian iskemia miokardium. Dengan bertambah tingginya kejadian ateroma
arteri koroner, pasien diabetes dengan HD, mengalami suatu keadaan yaitu berkurangnya
aliran koroner walaupun tidak dijumpai lesi di pembuluh darah koroner. Pasien HD juga
cenderung mengalami LVH, berkurangnya compliance arteri perifer, gangguan
mikrosirkulasi, dan inefektif mikrosirkulasi, dan inefektif vasoregulasi. Seluruh faktor ini
akan mempredisposisi terjadinya iskemia jantung. Diabetes dapat menyebabkan
komplikasi sistemik seperti neuropati autonom, dan perifer, makroangiopati, dan
progresifitas dari aterosklerosis dan dapat memperberat atau bahkan meningkatkan
kejadian IDH. Salah satu juga yang harus diperhitungkan bahwa uremia sendiri dapat
menyebabkan disfungsi autonom.
Zat-zat Vasoaktif
Beberapa penulis mengindikasikan mengenai mengenai pengaruh dari beberapa substansi
vasoaktif yang disintesis atau dilepaskan selama sesi dialisis berlangsung. Seperti yang
telah diketahui sebelumnya, disfungsi endotel mempunyai peran penting dalam
instabilitas hemodinamik selama dialisis berlangsung. Sebagai respon mekanis dan kimia,
sel endotel akan merespon dengan memproduksi substansi biologis aktif, yaitu:
endothelial derived relaxing factor, NO, endothelin-1. Sebagai contoh, zat-zat
cardiodepressive dan vasodilative adenosine atau nitric oxide (NO) yang mengalami
produksi berlebihan oleh inducible synthase. Adenosin, suatu nukleosida purin endogen,
dilepaskan oleh sel endotel dan miosit vaskular selama terjadinya iskemia jaringan.
Konsentrasi adenosin yang tinggi dan metabolitnya telah banyak dijumpai pada pasien
hemodialisis. Substansi ini bekerja dengan menstimulasi reseptor spesifik dan efek yang
ditimbulkannya adalah supresi dari kontraktilitas jantung, dan berkurangnya heart rate,
relaksasi arteri, dan juga menurunnya pelepasan katekolamin dan renin. Akumulasi dari
adenosin mungkin terjadi karena dipicu oleh IDH yang mencetuskan iskemia, dan hal ini
sepertinya tidak merupakan pemeran utama dari patogenesis terjadinya hipotensi
intradialisis. NO, merupakan zat kimia yang labil, disintesa dari asam amino L-arginine
(L-arg) oleh enzim NOS (Nitric Oxide synthase), studi invitro mengemukakan bahwa
aktivitas dari NO synthase meningkat ketika darah terekspos oleh material membran
hemodialisis. Pada pasien dengan hemodialisis, aktivasi dari sitokin selama hemodialisis
meningkatkan kadar NO, dan uremic milieu telah dilaporkan meningkatkan sintesis dari
NO dengan meningkatkan aktivitas dari NO synthase (NOS). Sebenarnya ada zat yang
menghambat sintesa dari NO, zat ini disebut Asymmetric dimethyarginine (ADMA).
Inhibitor ini bersifat dialyzable. Sehingga, gangguan keseimbangan kadar NO dan ADMA
selama proses HD, dapat mencetuskan instabilitas hemodinamik. Endothelin-1 (ET-1)
dapat memodulasi respon vaskular, dan menentukan respon hemodinamik terhadap
perubahan volume intravaskular selama hemodialisis terjadi.

Komposisi Cairan Dialisat


Dialisat Sodium
Kadar sodium pada cairan dialisat memainkan peranan penting dalam refill
volume darah dari kompartemen interstisial. Pengembalian volume darah dari interstisial
ke dalam kompartemen intravaskular akan rendah bila status hidrasi dari interstisial juga
rendah. Semakin tinggi konsentrasi sodium pada cairan dialisat, maka cairan akan
bergerak dari kompartemen intraselular, sedangkan konsentrasi sodium yang rendah,
disequilibrium antara kompartemen intraselular dan ekstraselular akan terjadi. Oleh
karena itu, dialisis dengan kadar sodium yang rendah, pengembalian volume darah dari
kompartemen interstisial akan terganggu, oleh karena normalnya cairan akan bergerak
dari interstisial kedalam kompartemen intraselular, sementara dengan kadar sodium dalam
dialisat, cairan akan bergerak dari intraselular ke dalam kompartemen interstisial, yang
pada gilirannya akan mempengaruhi pengembalian volume darah dari interstisial kedalam
kompartemen intravaskular.
Beberapa studi, menemukan adanya penurunan insidensi IDH atau insidensi
penurunan tekanan darah pada pasien yang diterapi dengan konsentrasi sodium dialisat
konvensional (138-140 mmol/L) dibandingkan dengan konsentrasi sodium dialisat yang
rendah (≤135 mmol/L). Namun tidak semua studi berpendapat sama seperti yang diatas.
Kadar sodium dialisat yang tinggi (>140 mmol/L) telah dikemukakan dapat
mencegah terjadinya IDH. Walaupun kadar sodium dialisat yang tinggi dapat digunakan
dalam pencegahan IDH, hal ini tidak sepenuhnya bisa diterima, karena beberapa studi
menyimpulkan bahwa dengan kadar sodium dialisat yang tinggi berhubungan dengan
control tekanan darah yang buruk selama sesi dialisis (intradialytic), terutama pada pasien
hipertensi atau peningkatan IDWG. Penggunaan cairan dialisat dengan kadar sodium yang
lebih tinggi(> 140 mEq/L) efektif untuk memastikan adequatnya vascular refilling dan
telah terbukti sebagai salah satu terapi yang efikasi dan toleransinya paling baik untuk
hipotensi episodik.
Kadar sodium pada cairan dialisat dapat dimodifikasi selama hemodialisa dengan
tujuan mengurangi penurunan volume darah yang terlalu agresif selama ultrafiltrasi. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara memodifikasi konsentrasi sodium selama proses
hemodialisis. Pada umumnya, konsentrasi tinggi sodium dialisat digunakan pada awal sesi
HD, sehingga akan menyebabkan influx dari Na lebih awal untuk mencegah penurunan
osmolalitas plasma yang agresif. Banyak penelitian, mengemukakan bahwa dialisis
dengan kadar sodium tinggi, berhubungan dengan peningkatan rasa haus, IDWG, dan
peningkatan level tekanan darah predialisis.

Buffer Dialisat
Asetat, pada dekade sebelumnya digunakan sebagai buffer dialisat, mempunyai
efek vasodilatasi, dan efek kardiodepresan. Pada beberapa studi cross over yang kecil.
Penurunan tekanan darah yang lebih besar atau insidensi IDH yang lebih tinggi dijumpai
pada penggunaan asetat dibandingkan dengan bikarbonat. Suatu studi mengemukakan
bahwa toleransi ultrafiltrasi lebih baik dan signifikan dengan menggunakan bikarbonat
dibandingkan dengan penggunaan asetat. Ada dua studi yang mencoba efek dari
perubahan buffer asetat menjadi bikarbonat. Pada salah satu dari kedua studi tersebut,
merupakan non-randomized cross-over trial, menyimpulkan terjadinya penurunan
insidensi IDH sebesar 50%. Dan juga selama proses hemodiafiltrasi, sedikit terjadi
instabilitas hemodinamik pada penggunaan bikarbonat versus asetat sebagai buffer
dialisat.1,2,3,6 Lebih jauh, diperkirakan bahwa, konsentrasi bikarbonat pada dialisat
mempengaruhi stabilitas hemodinamik. Pada studi randomized cross-over trial, insidensi
IDH secara signifikan lebih rendah dengan menggunakan dialisat bikarbonat.
Bagaimanapun, pada percobaan ini, juga menggunakan konsentrasi kalsium pada dialisat
yang rendah (1.25 mmol/l). Pada beberapa penelitian randomized cross-over, tidak ada
perbedaan instabilitas hemodinamik atau penurunan tekanan darah yang ditemukan
selama penggunaan dialisat bikarbonat dengan konsentrasi 26 atau 32 mmol/L, walaupun
dengan konsentrasi kalsium pada cairan dialisat rendah (1.25 mmol/L). Pada percobaan
ini, insidensi IDH lebih rendah ketika pasien diberikan konsentrasi bikarbonat dialisat. 32
mmol/L dan konsentrasi kalsium dialisat 1.50 mmol/L.1,2,3,6
Konsentrasi bikarbonat dialisat yang rendah kemungkinan akan menyebabkan
insuffisiensi koreksi asidosis dan menyebabkan efek samping pada metabolisme tulang
dan status nutrisi pasien.2 Sebagai kesimpulan, penurunan tekanan darah dan insidensi
IDH lebih tinggi pada penggunaan asetat sebagai buffer dialisat. Konsentrasi bikarbonat
standar tidak menyebabkan instabilitas hemodinamik jika dibandingkan dengan
konsentrasi bikarbonat dialisat yang rendah dengan konsentrasi kalsium 1.50 mmol/L.

Dialisat
kalsium
Perubahan kalsium terionisasi memainkan peranan penting dalam kontraktilitas
miokardium selama hemodialisis berlangsung. Beberapa studi menunjukkan penurunan
kontraktilitas miokardium diantara pasien yang mendapat konsentrasi kalium rendah (1.25
mmol/L) dibandingkan dengan pasien yang mendapat konsentrasi kalium yang tinggi
(1.75 mmol/L). Perubahan tekanan arterial rata-rata selama hemodialisis berbanding
terbalik dengan kadar kalsium terionisasi, sedangkan pada dua studi, yang mana salah
satunya dilakukan pada pasien dengan gangguan jantung disimpulkan bahwa penurunan
tekanan darah lebih sedikit pada pasien dengan konsentrasi kalsium dialisat 1.75 mmol/L
dibandingkan dengan 1.25 mmol/L. Pada studi lain, tidak ada perbedaan respon tekanan
darah dijumpai diantara konsentrasi kalsium rendah ataupun tinggi. Dengan kata lain,
dialisat tinggi kalsium menyebabkan keseimbangan kalsium positif selama dialisis,
sementara keseimbangan kalsium cenderung negatif dengan kadar dialisat rendah
kalsium. Dialisat tinggi kalsium mungkin memiliki efek jangka pendek yang merugikan
berupa kekakuan arteri, dan relaksasi jantung, walaupun penelitan lain tidak menemukan
efek peningkatan kadar kalsium terionisasi dengan penggunaan dialisis tinggi kalsium
pada fungsi diastolic jantung. Hubungan antara konsentrasi kalsium dialisat dan
kalsifikasi vaskular belum sepenuhnya dipelajari. Suatu studi randomized cross-over
menemukan insidensi IDH yang lebih rendah dan penurunan tekanan darah yang lebih
rendah dengan penggunaan konsentrasi kalsium 1.50 mmol/L dibandingkan dengan
dialisis rendah kalsium. Pada studi ini, konsentrasi bikarbonat dialisat adalah 26 mmol/L
(dialisis rendah kalsium) dan 32 mmol/L (konsentrasi kalsium 1.50 mmol/L). Studi
randomized cross-over menilai efek dari kalsium yang diprofil pada stabilitas
hemodinamik pada 18 pasien hemodialisis. Selama periode 9 minggu, terdapat tiga terapi
dengan konsentrasi dialisat kalsium yang berbeda diterapkan, masing-masing 1.25
mmol/L, dan 1.50 mmol/L dan terapi diprofil dengan konsentrasi kalsium 1.25 mmol/L
selama 2 jam pertama, dan 1.75 mmol selama 2 jam selanjutnya. Dengan terapi seperti
itu, kejadian IDH dapat dikurangi dibandingkan dengan konsentrasi dialisat 1.25 mmol/L
dan 1.50 mmol/L. Sebagai kesimpulan, hampir kebanyakan studi menunjukkan efek
positif dialisat tinggi kalsium pada stabilitas hemodinamik selama dialisis dibandingkan
dengan dialisat rendah kalsium. Namun, dialisat tinggi kalsium menyebabkan
keseimbangan kalsium positif pada jangka pendek dan jangka panjang, mempunyai
potensi efek yang merugikan.
Dialisat dan Temperatur tubuh
Selama hemodialisis dengan suhu dialisis standar (≥ 37oC), suhu inti meningkat
walaupun terjadi kehilangan energi melalui sistem ekstrakorporeal. Hal ini dapat
meningkatkan resiko terjadinya IDH. Fenomena ini tidak sepenuhnya dimengerti. Ada
yang mengemukakan oleh karena heat load dari sistem ekstrakorporeal, ataupun proses
sekunder dari perpindahan cairan. Perpindahan cairan berasosiasi dengan peningkatan
metabolic rate dan berkurangnya kehilangan panas dari kulit yang disebabkan oleh
vasokonstriksi perifer sebagai respon dari penurunan volume darah. Peningkatan suhu inti
tubuh menyebabkan dilatasi dari pembuluh darah di kulit, hal ini berlawanan dengan
respon fisiologis dari hipovolemia. Namun hipotesis ini baru-baru ini ditentang. Agar
mencegah peningkatan suhu inti ini, sejumlah energi panas signifikan, sebesar 30% dari
daily resting energy expenditure, harus dikeluarkan oleh sirkuit ekstrakorporeal dengan
mendinginkan dialisat. Berbagai percobaan randomized cross-over menunjukkan bahwa
dialisis dengan temperatur dialisat lebih dingin (pada kebanyakan studi 35oC) dikaitkan
dengan peningkatan reaktivitas dari resistensi perifer dan kapasitansi pemubuluh darah,
meningkatkan kontraktilitas miokardium, mengurangi penurunan tekanan darah, dan
mengurangi frekuensi IDH dibandingkan dengan temperatur dialisat 37-37.5oC. Dialisis
dengan suhu yang lebih dingin dapat menyebabkan gemetar (keringat dingin), namun
tidak semua studi. Penurunan volume darah signifikan lebih tinggi dengan menggunakan
dialisis temperatur dingin, kemungkinan dikarenakan berkurangnya refill volume darah
dari interstisial dikarenakan vasokonstriksi perifer. Walaupun pada studi dimana
penurunan volume darah lebih besar dengan dialisis temperature dingin, stabilitas
hemodinamik meningkat jika dibandingkan dengan temperatur dialysis standar. Oleh
karena dialisis temperatur dingin terkadang dapat menyebabkan gemetar (keringat
dingin), the working group menyarankan untuk menurunkan suhu dialisat secara bertahap,
dari 36.5oC kebawah selama sesi dialisis yang berbeda agar mencapai hasil klinis yang
terbaik pada individu pasien. Agar mengurangi efek samping dan dikarenakan
pengalaman yang terbatas, serta tidak adanya bukti mengenai manfaat dari suhu dialisat <
35oC, the working group menyarankan bahwa suhu dialisat < 35oC tidak boleh
digunakan.
Sebagai kesimpulan, dialisis temperatur dingin efektif dalam mencegah IDH tanpa
efek samping yang merugikan. Agar dapat mengurangi efek samping seperti shivering,
maka dianjurkan penurunan temperatur dialisat secara bertahap mulai dari 36.5oC sampai
didapatkan efek optimal. Sangat sedikit bukti dan keuntungan tambahan dengan
penurunan suhu dialisat < 35oC. Perlu diingat bahwa monitoring temperatur sulit pada
pasien dialisis, dikarenakan variasi suhu ruangan, suhu inti tubuh, dan temperatur dialisat,
serta kurangnya sensitivitas alat untuk memantau gradien suhu dialisat-darah.

M. PENCEGAHAN HIPOTENSI INTRA DIALISA


Berat Badan Kering (Dry body weight)
Perhitungan dry body weight yang tidak tepat dapat menyebabkan underhydration
atau overhydration pasien dialisis. Studi-studi sebelumnya menunjukkan jumlah
signifikan dari pasien tidak stabil yang pada awalnya normohidrasi atau underhidrasi,
menjadi underhydrated pada akhir sesi dialisis. Pada pasien underhydrated, volume
interstisial sangat kurang, dan terganggunya refill dari volume darah, sehingga
menyebabkan penurunan volume darah yang lebih besar. Dengan kata lain, overestimasi
berat badan kering dapat menyebabkan hipertensi dan meningkatkan resiko terjadinya
dilatasi jantung, dan edema paru. Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk menilai
keadaan pasien apakah pasien kemungkinan underhydrated atau overhydrated. Beberapa
metode non-invasif telah dikembangkan. Cardiothoracic ratio dengan X-ray bisa
mendeteksi pasien overhydrated, tetapi tidak dapat digunakan sebagai alat untuk
pencegahan terjadinya IDH. Diameter vena cava inferior, dapat diukur dengan
ekokardiografi, berhubungan dengan volume darah, dan tekanan atrium kanan dan dapat
memprediksi perubahan hemodinamik selama proses dialisis. Analisis Multifrequency
bioimpedance dapat digunakan untuk memprediksi instabilitas hemodinamik pada
beberapa studi. Alat ini juga sangat sensitif dalam mendeteksi perubahan status cairan.
Marker biokimia seperti cGMP, tetapi bukan ANP, dapat memprediksi perubahan
hemodinamik selama dialisis berlangsung. Baik cGMP dan ANP dilepaskansebagai
respon terhadap peregangan atrium kiri. cGMP ditemukan dan dianggap kemungkinan
berguna untuk diagnosis overhydration, namun tidak dapat memprediksi underhydration.
Dan juga BNP, yang dilepaskan sebagai respon terhadap peregangan terhadap ventrikel
kiri, dapat memprediksi overhidration, tetapi tidak underhydration. Sebagai kesimpulan,
melalui beberapa metode objektif dapat digunakan untuk memprediksi perubahan tekanan
darah dan parameter hemodinamik yang lain selama hemodialisis, pada saat ini
penggunaan ekokardiografi vena kava telah menunjukkan hasil yang memuaskan dalam
pengurangan terjadinya IDH. Bagaimanapun, tekhnik ini tergantung operator, dan
mungkin sulit diinterpretasikan pada pasien gagal jantung. Penggunaan bioimpedance
tidak menunjukkan pencegahan terjadinya IDH, namun tekhnik ini mungkin bermanfaat
untuk mendeteksi perubahan status hidrasi.
Tekanan darah dan frekuensi heart rate
Tekanan darah dan frekuensi heart rate harus diukur rutin selama hemodialisis
untuk mengantisipasi IDH. Dua tipe episode hipotensi dapat dibedakan selama
hemodialisis, yaitu bradikardia dan takikardia. Kebanyakan, episode IDH
dikarakteristikkan dengan penurunan tekanan darah bertahap dan peningkatan heart rate.
Alternatif, episod IDH dapat muncul tibatiba dan berhubungan dengan respon bradikardia
(Bezold Jarish Reflex), yang berasal dari aktivasi mekanoreseptor ventrikel kiri
dikarenakan underfilling ventrikel berat. Pada IDH tipe takikardi, diperkirakan bahwa
IDH mungkin dapat dicegah dengan pengaturan ultrafiltrasi,walaupun belum ada studi
yang membuktikan hal ini. Evaluasi jantung harus dilakukan pada pasien dengan
frekuensi IDH yang sering. Keadaan penyakit jantung, menyebabkan disfungsi sistolik
dan disfungsi diastolik dari jantung dapat meningkatkan resiko terjadinya IDH.
Peningkatan kontraktilitas miokardium merupakan respon fisiologik terhadap penurunan
volume darah, dimana respon ini dapat terganggu oleh disfungsi sistolik dari jantung.
Diastolic filling terganggu pada pasien IDH, dan disfungsi diastolik biasanya
berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri, namun bisa juga karena iskemia
miokardium atau fibrosis.
Intervensi Pola hidup
Dalam rangkan mengontrol IDWG, dan mengurangi resiko IDH, asupan garam
harus diperhatikan dan tidak boleh melebihi 6 gram/hari. Restriksi garam menurunkan
IDWG dan meningkatkan kontrol tekanan darah interdialisis. Dua penelitian menilai efek
dari batasan asupan garam terhadap kontrol tekanan darah interdialisis dan insidensi IDH.
IDWG menurun secara signifikan dengan batasan asupan garam, dan insidensi IDH:
0.71±0.8(asupan garam biasa) vs 0.18±0.5 (asupan garam dibatasi). Pada studi lain,
insiden IDH bulanan menurun dari 22% menjadi 7% setelah membatasi asupan garam.
Pada pasien diabetes, hiperglikemia dapat mencetuskan perasaan haus, dan menstimulasi
haus dan meningkatkan IDWG, sehingga diperkirakan kontrol glukosa yang ketat dapat
mengurangi IDWG, namun belum ada data mengenai kontrol glukosa dan IDWG pada
pasien dialisis. Kesimpulan, mengurangi asupan garam (2 gram/90 mmol Na atau 6 gram
NaCl) dapat mengurangi IDWG dan dapat mempunyai peranan dalam pencegahan IDH.
Asupan makanan selama dialisis dapat menyebabkan vasodilatasi splachnic, dan dapat
mencetuskan IDH. Tiga studi menunjukkan penurunan tekanan darah yang lebih besar
dan insidensi IDH lebih besar setelah asupan makanan. Kafein tidak terbukti dapat
mencegah kejadian IDH.
Durasi Dialisis dan Frekuensi
Pemanjangan waktu dialisis atau peningkatan frekuensi dialisis
harusdipertimbangkan pada pasien yang sering mengalami IDH. Pemanjangan waktu
dialisis dapat mengurangi laju ultrafiltrasi, sehingga penurunan volume darah tidak
agresif. Suatu studi membandingkan toleransi intradialisis dengan membandingkan
dialisis selama 4 jam dan 5 jam, dengan hasil penurunan episode hipotensi pada pasien
yang menjalani dialisis selama 5 jam. Lebih jauh, efek dari pengurangan laju ultrafiltrasi,
hanya dapat dicapai dengan memperpanjang waktu dialisis, dan ini telah dilakukan pada
pasien dengan gangguan jantung. Pada studi ini, penurunan tekanan darah sistolik lebih
sedikit pada pasien dengan laju ultrafiltrasi 500 dibandingkan dengan laju ultrafiltrasi
1000. Pada DOPPS, insidensi IDH lebih sedikit 30% pada pasien dengan laju ultrafiltrasi
< 11ml/kg/jam dibandingkan dengan laju ultrafiltrasi standar. Dan mortalitas lebih rendah
pada pasien dengan laju ultrafiltrasi < 10 ml/kg/jam. Pada pasien yang menjalani dialisis 8
jam sebanyak 3 x seminggu, insidensi hipotensi sangat rendah. Dengan frekuensi
hemodialisis yang lebih sering, seperti quotidian dialysis atau short daily dialysis, kontrol
tekanan darah lebih bagus, dan masa ventrikel kiri juga berkurang. Karena frekuensinya
lebih sering, volume ultrafiltrasi dikurangi. Suatu studi menunjukkan pengurangan
insidensi IDH dengan mengganti frekuensi HD dari 3-4 kali seminggu menjadi 6 kali, 2
jam per sesi dialisis. Suatu studi menunjukkan pengurangan kebutuhan infus salin setelah
konversi frekuensi hemodialisis dari 3x seminggu menjadi 6x seminggu. Pada studi
kohort, 23 pasien (11 pasien, short daily dialysis; 12 pasien, long nocturnal dialysis)
dibandingkan dengan 22 HD konvensional (3x seminggu) sebagai kontrol. Terjadi
pengurangan insidensi dialysis-related symptoms pada short daily dialysis. Namun studi
oleh Fagugli et al pada pasien yang stabil, tidak ada perbedaan IDH diantara short daily
dialysis dan dialisis standar 3x seminggu. Sebagai kesimpulan, ada bukti yang
menunjukkan bahwa memperpanjang waktu dialisis dapat menurunkan kejadian IDH,
dengan penurunan laju ultrafiltrasi sehingga penurunan tekanan darah sistolik tidak terlalu
agresif pada pasien dengan fungsi jantung terganggu.

N. PENATALAKSANAAN JIKA TERJADI HIPOTENSI INTRA DIALISA


Pendekatan Lini Pertama
 . Konseling asupan makanan (restriksi garam)
 . Menghindari asupan makanan selama dialysis
 . Pengukuran berat badan kering
 . Penggunaan bikarbonat sebagai buffer dialysis
 . Penggunaan temperatur dialisat 36.5Oc
 . Periksa dosis dan waktu pemberian obat antihipertensi
Pendekatan Lini kedua
 Evaluasi performa jantung
 Penurunan temperatur dialisat secara berkala mulai dari 36.5oC sampai
35oC
 Memperpanjang waktu dialisis dan/atau frekuensi dialysis
 Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1.50 mmol/l
Pendekatan Lini Ketiga
 Pertimbangan pemberian midodrine
 Pertimbangkan suplementasi L-carnitine
Posisi Trendelenburg
Posisi trendelenburg harus dipertimbangkan pada penatalaksanaan IDH. Namun
efikasi masih terbatas. Posisi ini sering digunakan pada penatalaksanaan IDH, dengan
penerapan manuver ini, volume aliran darah berkurang di perifer dan lebih tersentralisasi.
Namun, hanya sedikit studi yang menilai efikasi posisi ini. Pada suatu studi, peningkatan
volume darah hanya sekitar 0.4%. Tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan dalam
perubahan tekanan darah selama dialisis setelah menerapkan posisi terndelenburg.
Sebagai kesimpulan, efek dari posisi trendelenburg pada volume darah sangat kecil.
Stop Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi harus dihentikan selama episode IDH. Menghentikan ultrafiltrasi,
akan mencegah penurunan volume darah lebih jauh, dan akan memfasilitasi refill volume
darah dari kompartemen intrestisial. Memperlambat laju aliran darah terkadang dapat
digunakan dalam pengobatan IDH.
Pemberian Cairan
Salin isotonik harus diinfuskan, pada pasien yang tidak respon dengan
penghentian ultrafiltrasi dan posisi trendelenburg selama episode IDH. Pemberian cairan
ini paling sering diberikan untuk meningkatkan volume darah selama kejadian IDH. Baik
kristaloid dan koloid telah dipelajari dalam pengobatan IDH. Beberapa studi telah menilai
efek dari salin isotonik, glukosa hipertonik, manitol, dan larutan koloid. Pada studi
tersebut membandingkan efek dari isovolumetrik infus glukosa 5 dan 20%, salin 0.9%
dan 3.0% dan manitol 20% dalam volume darah selama ultrafiltrasi, peningkatan volume
darah paling besar selama pemberian larutan glukosa hipertonik. Pada studi lain,
peningkatan volume darah lebih besar setelah pemberian infus 100 ml plasma ekspander
gelofusin dibandingkan dengan 100 cc salin isotonik. Pada studi lain, tidak ada perbedaan
signifikan antara pemberian albumin dibandingkan salin isotonik untuk penatalaksanaan
IDH. Sebagai kesimpulan baik salin isotonik dan larutan albumin sama-sama efektif pada
pengobatan IDH. Salin hipertonik tidak lebih superior dari salin isotonik, dan albumin
tidak lebih superior dari albumin atau HES pada penatalaksanaan IDH.
Intervensi farmakologis
Midrodin merupakan suatu obat alpha-1 agonist oral. Metabolit dari midodrine,
desglymidodrine, menyebabkan konstriksi dari resistance dan capacitance vessels.
Midrodrine mencegah IDH dengan mempertahankan volume darah sentral dan cardiac
output, dan peningkatan resistensi vaskular perifer. Midodrin efektif diekskresikan
melalui hemodialisis, dan waktu paruh berkurang sampai 1.4 jam dengan hemodialisis.
Midodrine memiliki efek jantung yang minimal, dan efek susunan saraf pusat,
dikarenakan spesifisitas terhadap reseptor α1, dan tidak melewati BBB. Pemberian dosis
tunggal midodrine (5 mg) 30 menit sebelum sesi dialisis berhubungan dengan
peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik dan MAP intradialisis dan pos dialisis,
dibandingkan dengan sesi dialisis tanpa penggunaan midodrine. Penelitian lain
menunjukkan efikasi dari penggunaan midodrine berketerusan (8 bulan) dan tidak ada
tanda-tanda efek samping yang berkembang. Namun beberapa literatur pernah
menemukan komplikasinya berupa supine systolic hypertension. Beberapa studi
mengemukakan efek samping yang dijumpai antara lain scalp paresthesias, heartburn,
flushing, nyeri kepala, nyeri leher, dan kelemahan tungkai, urinary urgency, dan gangguan
tidur. Pasien juga harus dimonitor untuk kemungkinan bradikardia, oleh karena midodrine
dapat menstimulasi refleks parasimpatis. Midodrin harus digunakan secara hatihati pada
pasien CHF dan obat-obat kronotropik negatif seperti beta-bloker, digoksin, dan CCB
nondihidropiridin. Penggunaan bersama-sama dengan obat α-adrenergik yang lain seperti
efedrin, pseudoefedrin, dan phenylpropanolamin harus dihindari, oleh karena akan
mencetuskan supine hypertension. Suatu studi membandingkan efektivitas dari midodrine
dan dialisis temperatur dingin. Baik dialisis temperatur dingin, dan midodrine sama-sama
efektif dalam pencegahan IDH, dan tidak ada perbedaan respon tekanan darah dan
insidensi IDH diantara kedua terapi tersebut. Efektivitas dari beberapa obat vasoaktif
dalam pencegahan IDH telah dilaporkan. Data mengenai efektivitas dan keamanan dari
lisin vasopresin, ergotamin, metilen blue, sertralin dan dobutamin sangat terbatas dan
tidak bisa dijadikan rekomendasi. Pada beberapa literatur menyimpulkan bahwa dosis
awal midodrine adalah 2.5 mg, dimakan 30 menit sebelum dialisis, dengan dosis
maksimal 10 mg, efektif dan mungkin aman dalam pencegahan IDH, walaupun data
tentang keamanan dalam penggunaan jangka panjang masih terbatas. Namun, superioritas
dari midodrine dibandingkan dari intervensi lain belum dapat dibandingkan
L-carnitine, suplementasi zat golongan ini harus dipertimbangkan dalam
pencegahan IDH jika pengobatan standar lainnya gagal. Pada pasien hemodialisis, kadar
L-carnitine menjadi rendah oleh karena berkurangnya biosintesis oleh ginjal, dan
kehilangan dari cairan dialisat. Defisiensi l-carnitine dapat menyebabkan berkurangnya
fungsi sistolik dari jantung. Pemberian l-carnitine juga meningkatkan fraksi ejeksi dari
ventrikel kiri. Suatu penelitian dengan pemberian infus L-carnitin 20 mg/kg pada setiap
sesi dialisis mengurangi frekuensi IDH dan kram otot (44% banding 18% dan 36%
banding 13%) dibandingkan dengan plasebo. Mengenai alasan atas keuntungan ini belum
jelas, namun kemungkinan dikarenakan peningkatan fungsi otot polos vaskular dan fungsi
otot jantung. Namun, masih sedikit bukti mengenai suplementasi l-carnitine berguna
dalam pencegahan IDH.
Dopamin, merupakan katekolamin yang memproduksi efek ionotropik dan
kronotropik pada miokardium, sehingga meningkatkan heart rate dan kontraktilitas
jantung. Onset kerja dopamin adalah 5 menit setelah pemberian intravena, dan waktu
paruh sekitar 2.5 menit. Efek predominan dopamin sangat tergantung dosis. Pada dosis
infus rendah (0.5-2 μg/kg/menit) dopamin menyebabkan vasodilatasi. Pada dosis infus
sedang (2-10 μg/kg/menit) dopamin bekerja merangsang β1-adrenoreseptor,
menyebabkan peningkatan kontraktilitas miokardium. Pada dosis infus tinggi (10-20
μg/kg/menit) menyebabkan efek pada α-adrenoreseptor, dengan efek vasokonstriktor dan
peningkatan tekanan darah. Suatu penelitian oleh Wen-Yuan Chiu et al, mengemukakan
bahwa pemberian dopamin selama sesi dialisis dapat diterapi dan efektif untuk grup
pasien IDH simptomatik. Pada penelitiannya, penggunaan infus dopamin pada dosis 20
μg/kg/meenit, dan tidak melebihi dosis tersebut karena dosis tersebut tidak memberikan
efek yang lebih baik untuk miokardium namun meningkatkan resiko vasokonstriksi dan
iskemia.

O. ASUHAN KEPERAWATAN
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul
pada pasien CKD adalah:

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.


2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem
sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual, muntah.
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi
melalui alkalosis respiratorik.
5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat,
keletihan.

INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung
dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:

a. Auskultasi bunyi jantung dan paru


R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-
angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-
10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema


sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria
hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan
dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon
terhadap terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan
cairan
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama
pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual,


muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil:
menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau
menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut
yang dapat mempengaruhi masukan makanan

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi


melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil

Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
- Mempertahankan kulit utuh
- Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan
kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan
pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi
sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk
menurunkan iskemia
e. Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk
memberikan tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada
kulit
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat,
keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Intervensi:
a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat
DAFTAR PUSTAKA

GInting, Ananda Wibawanta. 2010. Hipotensi IntraDialisis. Medan: Divisi Nefrologi Hipertensi
Dept. Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUP H. Adam Malik / RSU. Dr. Pirngadi Medan.
Corwin, E.J. 2001. Alih bahasa : Pendit, B.U. Handbook of pathophysiology. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2000. Alih bahasa: Kariasa,I.M. Nursing care
plans: Guidelines for planning and documenting patients care. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Long, B.C. Essential of medical – surgical nursing : A nursing process approach. Alih bahasa :
Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran; 1996 (Buku asli diterbitkan tahun 1989)
Mansjoer, Arif dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Alih bahasa : Anugerah, P. 2006. Pathophysiology: Clinical concept
of disease processes. 4th Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Alih bahasa : Setyono, J. 2001. Medical – surgical nursing.
Jakarta: Salemba Medika.
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2005. Brunner & Suddarth Textbook of Medical Surgical
Nursing 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses keperawatan),
Bandung.

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo
Agung., Yasmin Asih., Juli, Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.

Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih bahasa: Tim
PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta

Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan untuk
perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa;
Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta

Puji Rahardjo, 2001, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilit II, Edisi III, BP FKUI Jakarta.

Hudak, Gallo, 1996, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume II, Jakarta, EGC.

Anda mungkin juga menyukai