PENDAHULUAN
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan kongenital pada kolon yang ditandai
dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus Meissneri dan pleksus
mienterikus Aurbach. Sembilan puluh persen kelainan ini terdapat pada rektum dan
sigmoid. Penyakit ini diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal sel krista
neuralis di daerah kolon distal pada minggu kelima sampai minggu keduabelas kehamilan
untuk membentuk system saraf intestinal. Kelainan ini bersifat genetik yang berkaitan
dengan perkembangan sel ganglion usus dengan panjang yang bervariasi, mulai dari anus,
sfingter ani interna kearah proksimal, tetapi selalu termasuk anus dan setidaktidaknya
sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional. Penyakit
ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886.
Penyakit hirscprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak
terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal
tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara
spontan, spingter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses
secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong yang akhirnya
menyebabkan dilatasi usus proksimal. Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali
dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan
adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun
1863. Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga
tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang
dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus
defisiensi ganglion.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan kongenital pada kolon yang ditandai
dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus Meissneri dan pleksus
mienterikus Aurbach. Sembilan puluh persen kelainan ini terdapat pada rektum dan
sigmoid. Penyakit ini diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal sel krista
neuralis di daerah kolon distal pada minggu kelima sampai minggu keduabelas kehamilan
untuk membentuk system saraf intestinal. Kelainan ini bersifat genetik yang berkaitan
dengan perkembangan sel ganglion usus dengan panjang yang bervariasi, mulai dari anus,
sfingter ani interna kearah proksimal, tetapi selalu termasuk anus dan setidaktidaknya
sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional. Penyakit
ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun patofisiologi
terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson
dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan
oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion. Risiko tertinggi
terjadinya penyakit Hirschsprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga
penyakit Hirschsprung dan pada pasien penderita Down Syndrome. Rektosigmoid paling
sering terkena, sekitar 75% kasus, fleksura lienalis atau kolon transversum pada 17% kasus.
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya penyakit
Hirschsprung. Penyakit Hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu
aganglionosis dibandingkan oleh ayah.
2.2 Etiologi
Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi sel-
sel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan bermakna dari
antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah
terbukti terdapat pada segmen aganglionik dari usus pasien dengan
Hirschsprung’s disease, namun tidak ditemukan pada usus dengan ganglionik
normal pada kontrol, mengajukan suatu mekanisme autoimun pada
perkembangan penyakit ini.
Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan pergerkan
dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan kolagen tipe IV
yang tinggi alam matriks telah ditemukan dalam segmen usus aganglionik.
Perubahan dalam lingkungan mikro ini didalam usus dapat mencegah migrasi sel-
sel normal neural crest dan memiliki peranan dalam etiologi dari Hirschsprung’s
disease.
Embriologi
Pada minggu ke-13 terjadi migrasi dari sel neural crest melalui GI Tract dari proximal
menuju distal yang kemudian berdiferensiasi menjadi sel ganglion yang matang.
Fungsi utama usus besar adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk membentuk feses yang
padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan, serta mensekresi mukus. Usus
besar dapat mengabsorbsi maksimal 5-8 L cairan dan elektrolit tiap hari. Sekitar 1500 ml kimus
secara normal melewati katup ileosekal, sebagian besar air dan elektrolit di dalam kimus
diabsorbsi di dalam usus besar dan sekitar 100 ml diekskresikan bersama feses. Sebagian besar
absorpsi di pertengahan kolon proksimal, sedangkan bagian distal sebagai tempat penyimpanan
feses sampai akhirnya dikeluarkan pada waktu yang tepat. Gerakan usus besar sangat lambat.1,2
Gerakan usus besar yang khas adalah gerakan pengadukan haustrasi/segmentasi.
Gerakan ini tidak progresif tetapi menyebabkan isi usus bergerak bolak-balik sehingga
memberi cukup waktu untuk terjadi absorbsi. Pada usus besar terdapat banyak bakteri komensal atau
flora normal. Bakteri ini mampu mencerna selulosa, vitamin (K, B₁₂, tiamin, riboflavin, dan
bermacam gas yang menyebabkan flatus di dalam kolon, khususnya CO₂, H₂, CH₄). Selain itu,
pada usus besar tidak mensekresikan enzim pencernaan.1,2
1. (Ganong W. F. 19.. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. Jakarta : EGC
2. Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
2.5 Patogenesis
Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang aganglionik
mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi usus fungsional. Di bagian
proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan pelebaran dinding usus dengan
penimbunan tinja dan gas yang banyak. Distensi dan iskemia pada usus bisa terjadi sebagai
akibat distensi pada dinding usus, yang berkontribusi menyebabkan enterokolitis (HAEC –
Hirschsprung Associated Enterocolitis) atau terjadinya inflamasi pada usus halus dan kolon
yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder (bakteri), yang merupakan penyebab
kematian pada bayi/anak dengan penyakit Hirschsprung.
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Sekitar 80 persen dari seluruh pasien Hirschsprung’s disease pada usia pertama
kehidupannya mengalami gangguan peristaltic usus, intake yang berkurang, dan distensi
abdomen yang progresif. Lebih dari 90 persen dari seluruh pasien Hirschsprung’s tidak
mengeluarkan meconium pada usia 24 jam pertama kehidupan. Pada heteroanamnesis
sering didapatkan adanya muntah kehijauan, perut kembung, gangguan defekasi/konstipasi
kronis, konsistensi feces yang cair, gagal tumbuh, berat badan tidak berubah, nafsu makan
menurun, ibunya mengalami polihidramnion, adanya riwayat pada keluarga.
Tabel 1
1.Barium enema
Ada beberapa tanda pada penyakit hirscsprung yang dapat ditemukan pada pemeriksaan
barium enema, yang paling penting adalah zona transisi. Pada pasien penderita
hirschsprung spasme pada distal rectum memberikan gambaran seperti peluru kecil jika
dibandingkan dengan colon sigmoid yang proksimal. Segmen aganglion biasanya
berukuran normal tapi bagian proksimal usus yang mempunyai ganglion mengalami
distensi sehingga pada gambaran radiologis terlihat zona transisi.
4.Biopsy rectal
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendiagnosis penyakit hirscsprung.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi ada atau tidaknya sel ganglion
2.7 Penatalaksanaan
Tanpa penegakan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat, maka kondisi penderita
Hirschsprung’s disease akan berkembang kearah komplikasi yang serius seperti
enterokolitis akut atau toxic megacolon (Ekenze, et al., 2011). Setelah Hirschsprung’s
disease terdiagnosa, pembedahan merupakan terapi definitif utama (Kessmann, 2006;
Sharp, et al., 2013). Tujuan dilakukannya pembedahan adalah mereseksi bagian
abnormal usus (aganglionic) dan menganastomis bagian usus yang normal dengan
rectum tanpa mempengaruhi kontinensia (Moore, 2010; Ekenze, et al., 2011). Sebelum
dilakukan pembedahan, penderita harus mendapatkan beberapa tindakan, antara lain
pemberian cairan dan elektrolit, antibiotik serta irigasi menggunakan salin hangat
melalui rektal secara berkala untuk mengurangi tekanan intraabdomen (dekompresi
usus) dan mencegah enterokolitis (Wang, et al., 2009; Moore, 2010) Berbagai teknik
pembedahan sudah dilakukan untuk mengatasi Hirschsprung’s disease. Prosedur
Swenson adalah teknik pembedahan pertama yang diperkenalkan Swenson dan Bill
(1948), yaitu dengan merese
bagian usus aganglionic dan anastomosis. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain trauma
pada saraf pelvis dan pembuluh darah akibat diseksi perirektal. Kemudian Rehbein
memperkenalkan teknik dengan prinsip mereseksi aganglonic colon sampai di atas rektum
(± 2 cm dari peritoneal reflection) diikuti tindakan dilatasi adekuat pada sisa rektum dan
anal kanal. Namun, pada studi menunjukkan bahwa konstipasi paska-operasi lebih banyak
terjadi dan dianggap kurang radikal digunakan sebagai terapi definitif (Wilkinson, et al.,
2015).
Pada tahun 1960, Duhamel memperkenalkan teknik pembedahan yang berbeda, yaitu
dengan prinsip bypass partially rectum dan end to end anastomosis menggunakan anal
approach. Dibandingkan dengan teknik sebelumnya, teknik ini relatif tidak menimbulkan
komplikasi pada persarafan sekitar anus. Soave pada tahun 1964 menyempurnakan prosedur
Duhamel dengan menggunakan transabdominal approach. Prinsip prosedur Soave adalah
mencegah diseksi luar pada rektum dan mempertahankan normal muscular cuff untuk
menjaga inervasi di sekitar anal sphincter (Wang, et al., 2009)
2.8 Komplikasi
KESIMPULAN
1. Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan kongenital pada kolon yang ditandai
dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus Meissneri
dan pleksus mienterikus Aurbach. 90% terletak pada recto sigmoid.
2. Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Gejala kardinalnya yaitu,
gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama kehidupan, distensi abdomen
dan muntah.
3. Pemeriksaan penunjang Barium enema, Anorectal Manometry, dan Biopsi suction
sebagai Gold standar.
4. Tatalaksana operatif dengan cara tindakan bedah sementara dan bedah definitif.
5. Komplikasi utama adalah enterokolitis post operatif, konstipasi dan striktur
anastomosis.
6. Prognosis baik. Umumnya, dalam 10 tahun follow up lebih dari 90% pasien
yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuha