Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan kongenital pada kolon yang ditandai
dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus Meissneri dan pleksus
mienterikus Aurbach. Sembilan puluh persen kelainan ini terdapat pada rektum dan
sigmoid. Penyakit ini diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal sel krista
neuralis di daerah kolon distal pada minggu kelima sampai minggu keduabelas kehamilan
untuk membentuk system saraf intestinal. Kelainan ini bersifat genetik yang berkaitan
dengan perkembangan sel ganglion usus dengan panjang yang bervariasi, mulai dari anus,
sfingter ani interna kearah proksimal, tetapi selalu termasuk anus dan setidaktidaknya
sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional. Penyakit
ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886.

Penyakit hirschsprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan


gangguan pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal
dengan panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit hisprung
adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia akan
tetapi yang paling sering pada neonatus. Pada populasi umum kejadian
penyakit Hirschsprung diperkirakan 1 per 5000 kelahiran hidup. Populasi Asia memiliki
angka kejadian paling tinggi yaitu 2,8 per 10.000 kelahiran hidup. Di masa lalu diduga
kejadian timbulnya penyakit ini juga cukup banyak namun tidak terdiagnosis (under
diagnosis), disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat awam tentang gejala
dini penyakit ini, sehingga sering kali penderita datang ke RS sudah terlambat.

Penyakit hirscprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak
terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal
tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara
spontan, spingter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses
secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong yang akhirnya
menyebabkan dilatasi usus proksimal. Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali
dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan
adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun
1863. Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga
tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang
dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus
defisiensi ganglion.

Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin


mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa pasien
seperti terjadinya konstipasi, enterokolitis, perforasi usus serta sepsis yang dapat
menyebabkan kematian. Diagnosis kelainan ini dapat ditegakkkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan rontgen dengan foto polos abdomen maupun barium
enema, pemeriksaan histokimia, pemeriksaan manometri serta pemeriksaan patologi
anatom. Manifestasi penyakit Hirschsprung terlihat pada neonatus cukup bulan dengan
keterlambatan pengeluaran meconium pertama yang lebih dari 24 jam. Kemudian diikuti
tanda-tanda obstruksi, muntah, kembung, gangguan defekasi seperti konstipasi, diare dan
akhirnya disertai kebiasaan defekasi yang tidak teratur. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
perut yang kembung, gambaran usus pada dinding abdomen dan bila kemudian dilakukan
pemeriksaan colok dubur, feses akan keluar menyemprot dan gejala tersebut akan segera
hilang. Pada pemeriksaan enema barium didapatkan tanda-tanda khas penyakit ini, yaitu :
adanya gambaran zone spastik, zone transisi serta zone dilatasi. Gambaran mukosa yang
tidak teratur menunjukkan adanya enterokolitis. Adanya gambaran zone transisi akan
menunjukkan ketinggian kolon yang aganglionik dengan akurasi 90%.. Pemeriksaan
elektromanometri dilakukan dengan memasukkan balon kecil ke dalam rektum dan kolon,
dengan kedalaman yang berbeda-beda akan didapatkan kontraksi pada segmen aganglionik
yang tidak berhubungan dengan kontraksi pada segmen yang ganglionik. Pemeriksaan
patologi anatomi dilakukan dengan memeriksa material yang didapatkan dari biopsi rektum
yang dilakukan dengan cara biopsi hisap maupun biopsi manual. Diagnosis penyakit ini
dapat ditegakkan bila tidak ditemukan sel ganglion Meissner dan sel ganglion Auerbach
serta ditemukan penebalan serabut saraf. Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas
pengobatan non bedah dan pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk
mengobati komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan
umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah
diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya
overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah
terjadinya sepsis. Tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung terdiri atas tindakan bedah
sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk
dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai
ganglion normal bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya enterokolitis yang
diketahui sebagai penyebab utama terjadinya kematian pada penderita penyakit
Hirschsprung. Beberapa metoda penatalaksanaan bedah definitif untuk kelainan
Hirschsprung ini telah diperkenalkan, mula-mula oleh Swenson dan Bill (1946) berupa
prosedur rektosigmoidektomi, Duhamel (1956) berupa prosedur retrorektal, Soave (1966)
berupa prosedur endorektal ekstramukosa serta Rehbein yang memperkenalkan tekhnik
deep anterior resection. Sejumlah komplikasi pasca operasi telah diamati oleh banyak
peneliti, baik komplikasi dini berupa infeksi, dehisiensi luka, abses pelvik dan kebocoran
anastomose, maupun komplikasi lambat berupa obstipasi, inkontinensia dan enterokolitis.
Namun secara umum diperoleh gambaran hasil penelitian bahwa ke-empat prosedur bedah
definitif diatas memberikan komplikasi yang hampir sama, namun masing-masing
prosedur memiliki keunggulan tersendiri dibanding dengan prosedur lainnya, tergantung
keahlian dan pengalaman operator yang mengerjakannya. Enterokolitis merupakan
komplikasi yang amat berbahaya dan merupakan penyebab utama terjadinya mortalitas
maupun morbiditas pada penderita penyakit Hirschsprung yang telah dilakukan operasi
definitif. Keadaan ini diakibatkan oleh karena stasis usus yang memicu proliferasi bakteri
didalam lumen usus diikuti invasi ke mukosa sehingga terjadilah inflamasi lokal maupun
sistemik.

Penatalaksanaan penyakit Hirschsprung terdiri dari tindakan non bedah dan


tindakan bedah. Tindakan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi -
komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai
pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Tindakan bedah pada penyakit ini terdiri dari
tindakan bedah sementara yang bertujuan untuk dekompresi abdomen dengan cara
membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal di bagian distal dan
tindakan bedah definitif yang dilakukan antara lain menggunakan prosedur Duhamel,
swenson, Soafe, dan Rehbein. Dari sekian banyak sarana penunjang diagnostik, maka
diharapkan pada klinisi untuk segera mengetahui gejala dan tanda pada penyakit
Hirschsprung. karena penemuan dan penanganan yang cepat dan tepat dapat mengurangi
penyakit Hirschsprung di dunia khususnya di Indonesia.

(Warner B.W.Chapter 70 Pediatric Surgery in Town Sabiston Textbook of Surgery. 17th


edition. Elsevier Sawnders. Philadelphia. Page 2113-2114)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan kongenital pada kolon yang ditandai
dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus Meissneri dan pleksus
mienterikus Aurbach. Sembilan puluh persen kelainan ini terdapat pada rektum dan
sigmoid. Penyakit ini diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal sel krista
neuralis di daerah kolon distal pada minggu kelima sampai minggu keduabelas kehamilan
untuk membentuk system saraf intestinal. Kelainan ini bersifat genetik yang berkaitan
dengan perkembangan sel ganglion usus dengan panjang yang bervariasi, mulai dari anus,
sfingter ani interna kearah proksimal, tetapi selalu termasuk anus dan setidaktidaknya
sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional. Penyakit
ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun patofisiologi
terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson
dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan
oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion. Risiko tertinggi
terjadinya penyakit Hirschsprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga
penyakit Hirschsprung dan pada pasien penderita Down Syndrome. Rektosigmoid paling
sering terkena, sekitar 75% kasus, fleksura lienalis atau kolon transversum pada 17% kasus.
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya penyakit
Hirschsprung. Penyakit Hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu
aganglionosis dibandingkan oleh ayah.
2.2 Etiologi

Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf


parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu tidak
ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.1,2

a) Ketiadaan sel-sel ganglion

Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus


myenteric (Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis
untuk Hirschsprung’s disease. Okamoto dan Ueda mempostulasikan bahwa
hal ini disebabkan oleh karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest
vagal servikal dari esofagus ke anus pada minggu ke 5 smpai 12 kehamilan.
Teori terbaru mengajukan bahwa neuroblasts mungkin bisa ada namun gagal
untuk berkembang menjadi ganglia dewasa yang berfungsi atau bahwa mereka
mengalami hambatan sewaktu bermigrasi atau mengalami kerusakan karena
elemen-elemen didalam lingkungn mikro dalam dinding usus. Faktor-faktor
yang dapat mengganggu migrasi, proliferasi, differensiasi, dan kolonisasi dari
sel-sel ini mingkin terletak pada genetik, immunologis, vascular, atau
mekanisme lainnya.

b) Mutasi pada RET Proto-oncogene

Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom 10q11.2,


telah ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprung’s disease segmen
panjang dan familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada
tingkat molekular yang diperlukan dalam pertubuhan sel dan diferensiasi ganglia
enterik. Gen lainnya yang rentan untuk Hirschsprung’s disease adalah
endothelin-B receptor gene (EDNRB) yang berlokasi pada kromososm 13q22.
sinyal darigen ini diperlukan untuk perkembangan dan pematangan sel-sel
neural crest yang mempersarafi colon. Mutasi pada gen ini paling sering
ditemukan pada penyakit non-familial dan short-segment. Endothelian-3 gene baru-
baru ini telah diajukan sebagai gen yang rentan juga. Defek dari mutasi genetik ini
adalah mengganggu atau menghambat pensinyalan yang penting untuk
perklembangan normal dari sistem saraf enterik. Mutasi pada proto- oncogene RET
adalah diwariskan dengan pola dominan autosom dengan 50-70% penetrasi dan
ditemukan dalam sekitar 50% kasus familial dan pada hanya 15-20% kasus spordis.
Mutasi pada gen EDNRB diwariskan dengan pola pseudodominan dan ditemukan
hanya pada 5% dari kasus, biasanya yang sporadis.

c) Kelainan dalam lingkungan

Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi sel-
sel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan bermakna dari
antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah
terbukti terdapat pada segmen aganglionik dari usus pasien dengan
Hirschsprung’s disease, namun tidak ditemukan pada usus dengan ganglionik
normal pada kontrol, mengajukan suatu mekanisme autoimun pada
perkembangan penyakit ini.

d) Matriks Protein Ekstraseluler

Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan pergerkan
dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan kolagen tipe IV
yang tinggi alam matriks telah ditemukan dalam segmen usus aganglionik.
Perubahan dalam lingkungan mikro ini didalam usus dapat mencegah migrasi sel-
sel normal neural crest dan memiliki peranan dalam etiologi dari Hirschsprung’s
disease.

Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan kongenital sebagai


berikut: (1)
1. Sindrom Down
2. Sindrom Neurocristopathy
3. Sindrom Waardenburg-Shah
4. Sindrom buta-tuli Yemenite
5. Piebaldism
6. Sindrom Goldberg-Shprintzen
7. Neoplasia endokrin multiple tipe II
8. Sindroma hypoventilasi congenital
Terpusat
9. Cartilage-hair hypoplasia
10. Sindrom hypoventilasi entral
primer (Ondine’s curse)
11. Penyakit Chagas, pada
penyakit ini tripanosoma
menginvasi langsung dinding usus
dan menghancurkan pleksus

2.3 Anatomi Usus Besar


Inervasi

Embriologi

Pada minggu ke-13 terjadi migrasi dari sel neural crest melalui GI Tract dari proximal
menuju distal yang kemudian berdiferensiasi menjadi sel ganglion yang matang.

2.4 Faal Usus Besar

Fungsi utama usus besar adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk membentuk feses yang
padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan, serta mensekresi mukus. Usus
besar dapat mengabsorbsi maksimal 5-8 L cairan dan elektrolit tiap hari. Sekitar 1500 ml kimus
secara normal melewati katup ileosekal, sebagian besar air dan elektrolit di dalam kimus
diabsorbsi di dalam usus besar dan sekitar 100 ml diekskresikan bersama feses. Sebagian besar
absorpsi di pertengahan kolon proksimal, sedangkan bagian distal sebagai tempat penyimpanan
feses sampai akhirnya dikeluarkan pada waktu yang tepat. Gerakan usus besar sangat lambat.1,2
Gerakan usus besar yang khas adalah gerakan pengadukan haustrasi/segmentasi.
Gerakan ini tidak progresif tetapi menyebabkan isi usus bergerak bolak-balik sehingga
memberi cukup waktu untuk terjadi absorbsi. Pada usus besar terdapat banyak bakteri komensal atau
flora normal. Bakteri ini mampu mencerna selulosa, vitamin (K, B₁₂, tiamin, riboflavin, dan
bermacam gas yang menyebabkan flatus di dalam kolon, khususnya CO₂, H₂, CH₄). Selain itu,
pada usus besar tidak mensekresikan enzim pencernaan.1,2

1. (Ganong W. F. 19.. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. Jakarta : EGC
2. Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC

2.5 Patogenesis

Istilah megakolon aganglionik menggambarkan adanya kerusakan primer yang


disebakan karena tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada pleksus submukosa
(Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada satu segmen kolon atau lebih yang dapat
memanjang sampai anus. Tidak adanya inervasi saraf pada kolon tersebut disebabkan karena
terjadi kegagalan migrasi pada sel-sel neuron (neuroblast) pada kolon bagian proksimal
sampai distal. Selain itu, ada teori lain mengatakkan bahwa terjadi mutasi gen RET (gen yang
terletak di kromosom 10p11), berpengaruh pada perkembangan sel-sel neuron pada saluran
cerna – enteric neuron) dan gen GDNF (Glial Cell-Derived Neurotrophic Growth Factor),
mutasi gen tersebut menyebabkan kegagalan migrasi pada sel-sel neuron dan kegagalan
proliferasi pada otot polos dan matriks ekstraseluler yang terjadi pada kehamilan minggu ke-5
dan ke-12. Ketidakadaan inervasi pada kolon ini menimbulkan tidak adanya gerakan peristaltik
yang dapat menyebabkan akumulasi atau penumpukan isi usus dan distensi usus. Selain itu,
kegagalan sfingter anus internal untuk berelaksasi berkontribusi terhadap gejala klinis adanya
obstruksi, karena dapat mempersulit evakuasi zat padat (feses), cairan, dan gas.

Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang aganglionik
mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi usus fungsional. Di bagian
proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan pelebaran dinding usus dengan
penimbunan tinja dan gas yang banyak. Distensi dan iskemia pada usus bisa terjadi sebagai
akibat distensi pada dinding usus, yang berkontribusi menyebabkan enterokolitis (HAEC –
Hirschsprung Associated Enterocolitis) atau terjadinya inflamasi pada usus halus dan kolon
yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder (bakteri), yang merupakan penyebab
kematian pada bayi/anak dengan penyakit Hirschsprung.

2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis

Sekitar 80 persen dari seluruh pasien Hirschsprung’s disease pada usia pertama
kehidupannya mengalami gangguan peristaltic usus, intake yang berkurang, dan distensi
abdomen yang progresif. Lebih dari 90 persen dari seluruh pasien Hirschsprung’s tidak
mengeluarkan meconium pada usia 24 jam pertama kehidupan. Pada heteroanamnesis
sering didapatkan adanya muntah kehijauan, perut kembung, gangguan defekasi/konstipasi
kronis, konsistensi feces yang cair, gagal tumbuh, berat badan tidak berubah, nafsu makan
menurun, ibunya mengalami polihidramnion, adanya riwayat pada keluarga.

Tabel 1

Gejala hirschsprung’s disease


Pada bayi
Muntah hijau
Diare
Meconium <24 jam
Gangguan peristaltic usus (infrequent, explosive bowel movement)
Jaundice
Intake menurun

Anak yang lebih besar


Konstipasi kronis, biasanya dengan onset pada saat bayi
Gagal tumbuh
Malnutrisi
Distensi abdomen yang progresif

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan abdomen :
Inspeksi : gambaran kontur usus, gerakan peristaltik, venektasi
Palpasi : distensi abdomen
Auskultasi : bising usus melemah atau jarang
Colok dubur : feses menyemprot pada saat jari dicabut
Tanda edema : bercak kemerahan disekitar umbilicus, punggung, dan di sekitar
genitalia (jika komplikasi peritonitis)

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

1.Barium enema
Ada beberapa tanda pada penyakit hirscsprung yang dapat ditemukan pada pemeriksaan
barium enema, yang paling penting adalah zona transisi. Pada pasien penderita
hirschsprung spasme pada distal rectum memberikan gambaran seperti peluru kecil jika
dibandingkan dengan colon sigmoid yang proksimal. Segmen aganglion biasanya
berukuran normal tapi bagian proksimal usus yang mempunyai ganglion mengalami
distensi sehingga pada gambaran radiologis terlihat zona transisi.

2.Foto polos abdomen


Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit hirscsprung
karena dapat memperlihatkan loop distensi usus dengan penumpukan udara di daerah
rektum
3.Anorectal manometry
Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk mendiagnosis penyakit hirscsprung, gejala yang
ditemukan adalah kegagalan relaksasi sphincter anii interna ketika rectum dilebarkan
dengan balon

4.Biopsy rectal
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendiagnosis penyakit hirscsprung.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi ada atau tidaknya sel ganglion

2.7 Penatalaksanaan

Tanpa penegakan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat, maka kondisi penderita
Hirschsprung’s disease akan berkembang kearah komplikasi yang serius seperti
enterokolitis akut atau toxic megacolon (Ekenze, et al., 2011). Setelah Hirschsprung’s
disease terdiagnosa, pembedahan merupakan terapi definitif utama (Kessmann, 2006;
Sharp, et al., 2013). Tujuan dilakukannya pembedahan adalah mereseksi bagian
abnormal usus (aganglionic) dan menganastomis bagian usus yang normal dengan
rectum tanpa mempengaruhi kontinensia (Moore, 2010; Ekenze, et al., 2011). Sebelum
dilakukan pembedahan, penderita harus mendapatkan beberapa tindakan, antara lain
pemberian cairan dan elektrolit, antibiotik serta irigasi menggunakan salin hangat
melalui rektal secara berkala untuk mengurangi tekanan intraabdomen (dekompresi
usus) dan mencegah enterokolitis (Wang, et al., 2009; Moore, 2010) Berbagai teknik
pembedahan sudah dilakukan untuk mengatasi Hirschsprung’s disease. Prosedur
Swenson adalah teknik pembedahan pertama yang diperkenalkan Swenson dan Bill
(1948), yaitu dengan merese
bagian usus aganglionic dan anastomosis. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain trauma
pada saraf pelvis dan pembuluh darah akibat diseksi perirektal. Kemudian Rehbein
memperkenalkan teknik dengan prinsip mereseksi aganglonic colon sampai di atas rektum
(± 2 cm dari peritoneal reflection) diikuti tindakan dilatasi adekuat pada sisa rektum dan
anal kanal. Namun, pada studi menunjukkan bahwa konstipasi paska-operasi lebih banyak
terjadi dan dianggap kurang radikal digunakan sebagai terapi definitif (Wilkinson, et al.,
2015).

Pada tahun 1960, Duhamel memperkenalkan teknik pembedahan yang berbeda, yaitu
dengan prinsip bypass partially rectum dan end to end anastomosis menggunakan anal
approach. Dibandingkan dengan teknik sebelumnya, teknik ini relatif tidak menimbulkan
komplikasi pada persarafan sekitar anus. Soave pada tahun 1964 menyempurnakan prosedur
Duhamel dengan menggunakan transabdominal approach. Prinsip prosedur Soave adalah
mencegah diseksi luar pada rektum dan mempertahankan normal muscular cuff untuk
menjaga inervasi di sekitar anal sphincter (Wang, et al., 2009)

Total transanal endorectal pull-through (TTEP) diperkenalkan pertama kali oleh De La


Torre dan Ortega pada tahun 1998 dengan prinsip prosedur complete dissection dan mobisasi
aganglionic colon secara keseluruhan serta anastomosis kolon normal ke anus melalui
muscular tube. Teknik ini paling banyak digunakan oleh para ahli bedah karena komplikasi
konstipasi dan inkontinensia yang minimal (Wang, et al., 2009; Kamal, 2010).
Minimally invasive surgery (MIS) saat ini menjadi teknik pembedahan pilihan pada
banyak kasus thoraks, abdomen, dan cervical. Georgeson adalah ahli bedah pertama yang
melakukan pendekatan ini pertama kali sebagai terapi pada neonatus penderita
Hirschsprung’s disease, dimana dilakukan reseksi pada colo-anal dan dikeluarkan
menggunakan laparoskopi tanpa melakukan colostomy secara cepat dan hati-hati
sehingga meminimalisasi komplikasi metode laparotomi (Jona, 2005; Thomson, et al.,
2015).

2.8 Komplikasi

Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post operatif,


konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hasil
jangka panjang dengan menggunakan 3 prosedur sebanding dan secara umum berhasil
dengan baik bila ditangani oleh tangan yang ahli. Ketiga prosedur ini juga dapat
dilakukan pada aganglionik kolon total diman ileum digunakan sebagai segmen yang
di pull-through. Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya
berhasil baik, walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi
adalah gejala tersering pada pascaoperasi.
BAB III

KESIMPULAN

1. Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan kongenital pada kolon yang ditandai
dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus Meissneri
dan pleksus mienterikus Aurbach. 90% terletak pada recto sigmoid.
2. Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Gejala kardinalnya yaitu,
gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama kehidupan, distensi abdomen
dan muntah.
3. Pemeriksaan penunjang Barium enema, Anorectal Manometry, dan Biopsi suction
sebagai Gold standar.
4. Tatalaksana operatif dengan cara tindakan bedah sementara dan bedah definitif.
5. Komplikasi utama adalah enterokolitis post operatif, konstipasi dan striktur
anastomosis.
6. Prognosis baik. Umumnya, dalam 10 tahun follow up lebih dari 90% pasien
yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuha

Anda mungkin juga menyukai