DEFINISI
A. Pengertian
Sedasi adalah anestesi dimana obat diberikan untuk menenangkan pasien dalam suatu
periode yang dapat membuat pasien cemas, tidak nyaman, atau gelisah. Seringkali diberikan
kepada pasien segera sebelum pembedahan atau selama prosedur medis tidak nyaman.
Sedasi menggunakan obat-obatan sedatif.
Sedasi adalah tehnik di mana satu atau lebih obat yang digunakan untuk menekan sistem
saraf pusat dari pasien sehingga mengurangi kesadaran pasien untuk lingungannya
Sedasi adalah penggunaan obat untuk menghasilkan keadaan depresion dari sistem saraf
pusat sehingga memungkinkan untuk dilakukan tindakan. Selama tindakan, kontak verbal
dengan pasien harus tetap terjaga. Berdasarkan definisi ini, maka setiap kehilangan
kesadaran yang berhubungan dengan teknik yang dilakukan dapat didefinisikan
sebagai anestesi umum. Selama sedasi, diharapkan pasien dapat dipertahankan jalan
napas dan refleks protektif.
Kebanyakan prosedur, yang dilakukan pada orang dewasa dalam keadaan sadar, tetapi
pada anak memerlukan anestesi umum terutama jika prosedur dengan waktu yang lama atau
menyakitkan.
Pedoman terbaru dari Department of Health on general anaesthesia and dentistry telah
merekomendasikan untuk lebih banyak menggunakan sedasi sadar dan lokal
anestesi, sisanya untuk keadaan yang sangat mutlak baru menggunakan anestesi umum.
Jika pemilihan pasien dilakukan secara cermat, dan dengan prosedur yang sesuai,
penggunaan sedasi bisa sangat berhasil.
Tingkatan sedasi dari ringan sampai dalam :
1. Sedasi Minimal (anxiolysis)
Dalam keadaan ini pasien dapat merespon perintah verbal dan mungkin memiliki
beberapa gangguan kognitif, tetapi tidak ada efek pada status kardiopulmoner.
2. Sedasi Moderat
Ada depresi kesadaran, tetapi pasien dalam keadaan in dapat merespons dengan tepat
perintah verbal, baik sendiri atau bersama dengan stimulasi taktil cahaya. Pasien mampu
mempertahankan jalan nafas secara independen, ventilasi yang cukup dan fungsi jantung
biasanya terpengaruh oleh obat yang diberikan.
3. Sedasi Dalam.
Pasien pada kondisi ini tidak mudah terbangun, tetapi merespon dengan sengaja (tidak
hanya menarik) setelah stimulasi berulang atau menyakitkan. Pasien mungkin
1
memerlukan bantuan menjaga jalan nafas dan ventilasi yang cukup, tetapi status
kardiovaskuler normal dipertahankan selama ventilasi.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Sebagai acuan untuk pemberian sedasi untuk pasien yang akan menjalani prosedur
anestesi yang seragam diseluruh unit Rumah Sakit.
2. Tujuan Khusus
a. Keselamatan pasien.
b. Meminimalkan rasa sakit dan kecemasan terkait dengan prosedur.
c. Meminimalkan gerakan pasien selama prosedur.
d. Memaksimalkan kemungkinan keberhasilan dari prosedur dan pasien kembali sadar
secepat mungkin.
Indikasi untuk sedasi prosedural dapat bervariasi dari pasien ke pasien
berdasarkan tingkat kecemasan dan rasa sakit yang terkait dengan prosedur. Perawatan
individual penting ketika menentukan apakah pasien membutuhkan sedasi prosedural.
Pasien mungkin perlu obat anti kecemasan, obat nyeri, imobilisasi.
BAB II
RUANG LINGKUP
A. Ruang lingkup
1. Panduan ini diterapkan kepada dokter anestesi dan perawat penata anestesi di unit kamar
operasi.
2. Pelaksana panduan ini adalah dokter anestesi dan perawat penata anestesi di unit kamar
operasi yang bekerja di rumah sakit.
BAB III
TATA LAKSANA
B.Kontraindikasi
Kontra indikasi untuk sedasi :
1. Pasien menolak / keluarga menolak.
2. Bayi kecil dengan prosedur tidak menyakitkan, biasanya dapat dengan pemberian
makanan dan menjaga tetap hangat sehingga bayinya bisa tidur selama prosedur.
Mereka tidak harus dibius.
3. Bayi prematur <56 minggu dari usia konsepsional, karena berisiko terjadinya depresi
pernapasan serta sedasi berlebihan.
4. Gangguan perilaku berat.
5. Diketahuinya ada masalah pada jalan napas, misalnya obstruktif sleep apnea,
abnormalitas kraniofasial.
6. Adanya penyakit pernapasan yang secara signifikan memerlukan terapi oksigen.
7. Adanya ketidakstabilan jantung yang signifikan.
8. Adanya penyakit ginjal atau hati yang diprediksi akan menghambat bersihan obat
sedasi.
9. Berisiko secara signifikan untuk terjadinya refluks gastro-esofagus.
10. Peningkatan tekanan intrakranial.
11. Epilepsi berat atau tidak terkontrol.
12. Alergi atau kontraindikasi spesifik untuk obat-obatan sedasi atau gas (misalnya
nitrogen oksida harus dihindari jika dijumpai adanya pneumotoraks).
13. Prosedur lama atau menyakitkan.
C. Penggunaan Obat
Sedasi yang efektif harus memungkinkan prosedur dilakukan dimana pasien
sementara dalam keadaan mengantuk, bebas nyeri, dengan ketakutan atau kecemasan
yang minimal. Penggunaan anestesi lokal dan analgesik sederhana sangatlah penting, dan
terapi pengalihan perhatian juga sangat berguna untuk anak anak. Orang tua sering
dihadirkan, dimana hal ini sangat membantu dalam menjaga kepercayaan anak.
4
Kebanyakan obat sedasi, yang diberikan dalam jumlah tertentu, dapat beresiko
menghasilkan ketidaksadaran pada anak. Hal ini dapat menyebabkan hipoksia, hiperkapnia
dan berpotensi terjadi aspirasi. Untuk itu pada penggunaan tehnik sedasi non-
anestesi, maka harus mempunyai margin of safety lebar.
Pasien harus dipersiapkan seolah-olah mereka akan mengalami anestesi umum, mereka
harus:
1. Diberitahu tentang prosedur yang akan dilakukan dan telah memberikan persetujuan
tindakan.
2. Dipuasakan.
3. Dilakukan pemeriksaan kesehatan umum terakhir dan diidentifikasi faktor-faktor
risiko potensial seperti alergi atau kondisi medis lainnya.
Penilaian dosis obat oral dalam bentuk kombinasi mungkin agak sulit, dimana
kemungkinan akan meningkatkan sedasi yang efektif tetapi juga berpotensi meningkatkan
kejadian efek samping.
Hal ini terutama terjadi pada bayi yang kecil dan pada anak dengan kelainan ginjal, hati
atau fungsi neurologis dimana kerja obat sukar untuk diprediksi.
NAMA OBAT SEDASI INTRA VENA
NAMA DOSIS (IV) DURASI REVERSAL
OBAT OBAT
Midazolam Dewasa 0,05mg/kg - 0,2mg/kg 20-30 menit Flumazenil 0,2mg
Diazepam Dewasa 5mg-20mg 1-8 jam Flumazenil 0,2mg
(valium)
Fentanyl Dewasa 0,5-1mcg/kg maks. 30-60 menit Nalaxone 0,4mg
250mcg
Ketamine Dewasa 0,2-1,0mg/kg 15-30 menit -
(ketalar)
Propofol Dewasa 0,2-1,0mg/kg maks 15-3 menit -
(Diprivan) 2mg/kg
Tabel 3.1 Obat Sedasi Intravena
5
NAMA OBAT SEDASI INHALASI
NAMA DOSIS DURASI OBAT
OBAT
Halotan Dewasa 25%-50% Halotan dalam O2
Tabel 3.3 Obat Sedasi Anestesi
Anestesia pada bayi dan anak kecil berbeda dengan anestesia pada orang dewasa,
karena mereka bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini. Seperti pada anestesia untuk
orang yang dewasa anestesia anak kecil dan bayi khususnya harus ditangani oleh dokter
spesialis anestesiologi atau dokter yang sudah berpengalaman.
6
desaturasi mungkin tidak bermakna pada pasien muda, episode yang sama pada
pasien usia lanjut dapat mengakibatkan konsekuensi serius, seperti aritmia dan iskemia
jantung.
Pemantauan klinis pada pasien usia lanjut mungkin lebih dituntut dibandingkan
pasien yang lebih muda. Selama prosedur, individu yang bertugas harus dapat mengawasi
pasien.Individu ini tidaklah melakukan prosedur melainkan harus terus memantau respon,
kerjasama, dan tanda-tanda vital pasien.Karena pasien yang tersedasi harus responsif
setiap saat, maka komunikasi dengan pasien adalah salah satu metode pemantauan yang
paling berharga.
Pertimbangan sedasi pada dewasa/orang tua :
1. Adanya beberapa komorbiditas : penyakit koroner, aritmia.
2. Riwayat cedera serebrovaskular sebelumnya.
3. Kesulitan memposisikan pasien.
4. Nyeri kronis terutama bagian tulang belakang dan spinal.
5. Prevalensi hipoksia kronis dan kebutuhan oksigen di rumah.
6. Gangguan fungsi pendengaran dan visual yang mengganggu komunikasi.
7. Demensia dan disfungsi kognitif.
7
3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi (potensiasi, sinergis, antagonis dll) dengan obat-obat anestetik.
Misalnya obat anti hipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotik golongan
aminoglikosida, obat penyakit jantung (seperti digitalis, diuretika), monoamino
oxidase inhibitor, bronkodilator. Keputusan untuk melanjutkan medikasi selama periode
sebelum anestesi tergantung dari beratnya penyakit dasarnya. Biasanya obat-obatan
yang dipakai pasien tetap diteruskan tetapi mengalami perubahan dosis, diubah menjadi
preparat dengan masa kerja lebih singkat atau dihentikan untuk sementara waktu. Akan
tetapi, secara umum dikatakan bahwa medikasi dapat dilanjutkan sampai waktu
untuk dilakukan pembedahan.
4. Alergi dan reaksi obat. Reaksi alergi kadang-kadang salah diartikan oleh pasien dan
kurangnya dokumentasi sehingga tidak didapatkan keterangan yang memadai.
Beratnya berkisar dari asimptomatik hingga reaksi anafilaktik yang mengancam
kehidupan, akan tetapi seringkali alergi dilaporkan hanya intoleransi obat-obatan.
Pada evaluasi pre operatif dicatat seluruh reaksi obat dengan penjelasan tentang
kemungkinan terjadinya respon alergi yang serius, termasuk reaksi terhadap plester,
sabun iodine dan lateks. Jika respon terlihat, obat penyebab tidak diberikan lagi
tanpa tes imunologik atau diberi terapi awal dengan antihistamin atau kortikosteroid.
5. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami di waktu yang lalu, berapa kali dan
selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih
sadar dan perawatan intensif pasca bedah.
6. Riwayat keluarga.
Riwayat anestesi yang merugikan atau membahayakan pada keluarga yang lain
sebaiknya juga dievaluasi. Wanita pada usia produktif sebaiknya ditanyakan tentang
kemungkinan mengandung. Pada kasus meragukan, pemeriksaan kehamilan preoperatif
merupakan suatu indikasi.
7. Riwayat sosial yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti :
a. Perokok berat (diatas 20 batang perhari) dapat mempersulit induksi anestesi karena
merangasang batuk, sekresi jalan napas yang banyak, memicu atelektasis dan
pneumonia pasca bedah. Rokok sebaiknya dihentikan minimal 24 jam
sebelumnya untuk menghindari adanya CO dalam darah.
b. Pecandu alcohol umumnya resisten terhadap obat-obat anestesi khususnya golongan
barbiturat. Peminum alkohol dapat menderita sirosis hepatic.
8
c. Meminum obat-obat penenang atau narkotik.
8. Makan minum terakhir (khusus untuk operasi emergency).
G. Pemeriksaan Fisik
Perhatian khusus dilakukan untuk evaluasi jalan napas, jantung, paru-paru dan
pemeriksaan neurologik. Jika ingin melaksanakan teknik anestesi regional maka perlu
dilakukan pemeriksaan extremitas dan punggung.
Pemeriksaan fisik sebaiknya terdiri dari :
1. Keadaan umum : gelisah, takut, kesakitan, malnutrisi, obesitas.
2. Tanda-tanda vital
a. Tinggi dan berat badan perlu untuk penentuan dosis obat terapeutik dan pengeluaran
urine yang adekuat selama operasi .
b. Tekanan darah sebaiknya diukur dari kedua lengan dan tungkai (perbedaan
bermakna mungkin memberikan gambaran mengenai penyakit aorta thoracic atau
cabang-cabang besarnya).
c. Denyut nadi pada saat istirahat dicatat ritmenya, perfusinya (berisi) dan jumlah
denyutnya. Denyutan ini mungkin lambat pada pasien dengan pemberian beta blok
dan cepat pada pasien dengan demam, regurgitasi aorta atau sepsis. Pasien yang
cemas dan dehidrasi sering mempunyai denyut nadi yang cepat tetapi lemah.
d. Respirasi diobservasi mengenai frekwensi pernapasannya, dalamnya dan pola
pernapasannya selama istirahat.
e. Suhu tubuh (Febris/hipotermi).
f. Wong baker
Skala untuk menilai tingkat nyeri.
3. Kepala dan leher
a. Mata
Anemis, ikteric, pupil (ukuran, isokor/anisokor, reflek cahaya).
b. Hidung
Polip, septum deviasi, perdarahan.
c. Gigi
Gigi palsu, gigi goyang, gigi menonjol, lapisan tambahan pada gigi, kelainan
ortodontik lainnya.
d. Mulut
9
Lidah pendek/besar, TMJ (buka mulut … jari), Pergerakan (baik/kurang baik),
sikatrik, fraktur, trismus, dagu kecil.
e. Tonsil
Ukuran (T1-T3), hiperemis, perdarahan.
f. Leher
Ukuran (panjang/pendek), sikatrik, masa tumor, pergerakan leher (mobilitas sendi
servical) pada fleksi ektensi dan ritasi, TMD, trakea (deviasi), karotik bruit, kelenjar
getah bening.
g. Dalam prediksi kesulitan intubasi sering di pakai 8T yaitu : teet, tongue, temporo
mandibula joint, Tonsil, Torticolis, Tiroid notch/TMD, Tumor, Trakea.
4. Thoraks
a. Precardial.
Auskultasi jantung mungkin ditemukan mur mur (bising katup), irama gallop atau
perikardial rub.
b. Paru-paru.
1) Inspeksi
a) Bentuk dada (Barrel chest, pigeon chest, pectus excavatum, kifosis, skoliosis).
b) Frekwensi (bradipnue/takipnue).
c) Sifat pernafasan (torakal, torako abdominal/abdominal torako).
d) Irama pernafasan (reguler/ireguler, cheyne stokes, biot).
e) Sputum (purulen, pink frothy).
f) Kelainan lain (stridor, hoarseness/serak, sindroma pancoas).
2) Palpasi : Premitus (normal, mengeras, melemah).
3) Auskultasi : Bunyi nafas pokok (vesikuler, bronchial, bronkovesikuler, amporik),
bunyi nafas tambahan (ronchi kering/wheezing, ronchi basah/rales, bunyi gesekan
pleura, hippocrates succussion).
4) Perkusi : sonor, hipersonor, pekak, redup.
5. Abdomen
Peristaltik (kesan normal/meningkat/menurun), Hati dan limpa (teraba/tidak, batas,
ukuran, permukaan), distensi, massa atau asites (dapat menjadi predisposisi untuk
regurgitasi).
6. Urogenitalia
Kateter (terpasang/tidak), urin [volume : cukup (0,5-1 cc/jam), anuria (<20 cc/24 jam),
10
oliguria (25 cc/jam atau 400 cc/24jam), Poliuria (>2500 cc/24 jam)], kwalitas (BJ,
sedimen), tanda-tanda sumbatan saluran kemih (seperti kolik renal).
7. Muskulo Skletal-Extremitas
Edema tungkai, fraktur, gangguan neurologik/kelemahan otot (parese, paralisis,
neuropati perifer, distropi otot), perfusi ke distal (perabaan hangat/dingin, cafilay
refil time, keringat), Clubbing fingger, sianosis, anemia dan deformitas, infeksi
kutaneus (terutama rencana canulasi vaskuler atau blok saraf regional).
I. Perencanaan Sedasi
Rencana sedasi diperlukan untuk menyampaikan strategi penanganan sedasi secara
umum.
Secara garis besar komponen dari rencana sedasi adalah :
1. Ringkasan tentang anamnesis pasien atau asesmen pra sedasi yaitu hasil-hasil
pemeriksaan fisik sehubungan dengan penatalaksanaan sedasi, buat dalam daftar
masalah, satukan bersamaan dengan beberapa daftar masalah yang digunakan oleh
dokter yang merawat (DPJP).
11
2. Perencanaan teknik sedasi yang akan digunakan termasuk tehnik berbagai modus
sedasi.
3. Perencanaan penanganan nyeri post tindakan bila perlu.
4. Monitoring selama sedasi dan pasca sedasi di Recovery Room (RR).
5. Setelah tindakan khusus misalnya di Radiologi, IGD sebelum ke unit rawat inap atau
HCU pasien di monitor di RR.
6. Pernyataan tentang resiko-resiko yang ada, informed consent dan pernyataan bahwa
semua pertanyaan telah dijawab dituliskan di form Informed consent anesthesi bila
perlu.
7. Persiapan peralatan spesialistik.
8. Dibuat dan didokumentasi kriteria untuk pemulihan dan discharge dari sedasi di form
sedasi.
9. Klasifikasi status fisik dan penilaian singkat.
J. Menentukan Prognosis
Pada kesimpulan evaluasi pra sedasi setiap pasien ditentukan klasifikasi status fisik
menurut American Society of Anestesiologist (ASA). Hal ini merupakan ukuran umum
keadaan pasien.
Klasifikasi status fisik menurut ASA adalah sebagai berikut :
1. ASA 1 : Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain penyakit yang
akan dioperasi.
2. ASA 2 : Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang selain
penyakit yang akan dioperasi. Misalnya diabetes mellitus yang terkontrol atau
hipertensi ringan
3. ASA 3 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat selain penyakit yang akan dioperasi,
tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya diabetes mellitus yang tak terkontrol, asma
bronkial, hipertensi tak terkontrol
4. ASA 4 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam jiwa selain
penyakit yang akan dioperasi. Misalnya asma bronkial yang berat, koma diabetikum.
5. ASA 5 : Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan anestesi mungkin saja
dapat menyelamatkan tapi risiko kematian tetap jauh lebih besar. Misalnya operasi
pada pasien koma berat.
6. ASA 6 : Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana organnya akan
12
diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor bagi yang membutuhkan. Untuk
operasi darurat, dibelakang angka diberi huruf E (emergency) atau D (darurat) misalnya
: operasi apendiks tanpa komplikasi diberi kode ASA 1 E.
L. Informed Consent
Pasien, anggota keluarga atau wali pasien harus diberitahu tentang intervensi
anestesi maupun sedasi dan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. Kapasitas
putusan merupakan prasyarat untuk suatu informed consent yang sesuai dengan hukum
dan moral. Pasien usia lanjut mungkin tidak sepenuhnya memahami intervensi yang
direncanakan, sehingga kerabat terdekat harus terlibat untuk memperoleh informed
consent yang terperinci. Status mental dan kognitif pasien harus dipertimbangkan dan
didokumentasikan.
14
BAB IV
DOKUMENTASI
BAB V
PENUTUP
Pelayanan bedah dan anestesi di rumah sakit merupakan salah satu bagian dari pelayanan
kesehatan yang berkembang dengan cepat seiring dengan peningkatan ilmu pengetahuan dan
tehnologi dibidang kesehatan.
Penggunaan anestesi, sedasi dan intervensi bedah adalah proses yang umum dan merupakan
prosedur yang kompleks di rumah sakit. Tindakan–tindakan ini membutuhkan asesmen pasien
yang lengkap dan komprehensif, perencanaan asuhan yang terintegrasi, monitoring pasien yang
berkesinambungan dan kriteria transfer untuk pelayanan berkelanjutan, rehabilitasi serta
akhirnya transfer maupun pemulangan pasien.
15
Dengan adanya panduan sedasi ini memberikan acuan untuk melaksanakan perbaikan dalam
rangka peningkatan mutu dan keselamatan pasien dalam hal pelayanan sedasi anestesi di RS
Borneo Citra Medika Tanah Laut.
Lampiran 1
16
2. Tekanan darah 20 – 50 % dari
1
tekanan darah pra-anestesi.
3. Tekanan darah > 50% dari tekanan
0
darah pra-anestesi.
1. Sadar penuh. 2
4. Kesadaran 2. Bisa dipanggil atau dibangunkan. 1
3. Tidak memberi respon/ jawaban 0
1. Merah muda. 2
5. Warna Kulit 2. Pucat, ikterus. 1
3. Sianosis. 0
Total
Score ≥ 9 pasien boleh pindah ruangan
Tabel. Lampiran 1 Kriteria Pemulihan Pasien Pasca Anestesi / Sedasi Untuk Pasien Dewasa
(Alderette Score)
17
lutut
Tak mampu fleksi
0
pergelangan kaki
Bila skor ≥2 pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan
Tabel. Lampiran 3 Kriteria Pemulihan Pasien Pasca Anestesi Regional (SAB)
Lampiran 2
19